Epistimologi Dan Metodologi
PENDAHULUAN
Salah satu bagian yang paling penting dari ilmu pengetahuan adalah kajian epistimologi mengenai keberadaan suatu ilmu. Kajian mengenai epistemologi bersangkutan dengan pertanyaan-pertanyaan tentang pengetahuan. Dalam pembahasan filsafat ilmu, epistemologi dikenal sebagai sub sistem dari filsafat. Epistemologi adalah teori pengetahuan, yaitu membahas tentang bagaimana cara mendapatkan pengetahuan dari objek yang ingin dipikirkan.
Pengetahuan merupakan khasanah kekayaan mental yang secara langsung atau tak langsung turut memperkaya kehidupan kita. Pengetahuan juga dapat dikatakan sebagai jawaban dari berbagai pertanyaan yang muncul dalam kehidupan. Dari sebuah pertanyaan, diharapkan mendapatkan jawaban yang benar. Maka dari itu muncullah masalah, bagaimana cara kita menyusun pengetahuan yang benar?. Masalah inilah yang pada ilmu filsafat di sebut dengan epistimologi. Setiap jenis pengetahuan memiliki ciri-ciri spesifik atau metode ilmiah mengenai apa (ontologi), bagaimana (epistimologi), dan untuk apa (aksiologi) pengetahuan tersebut disusun. Ketiga landasan saling memiliki keterkaitan; ontologi ilmu terkait dengan epistemologi ilmu dan epistemologi ilmu terkait dengan aksiologi ilmu dan seterusnya. (Suriasumantri, 2007:105)
Epistemologi merupakan salah satu diantara tiga hal besar yang menentukan pandangan hidup seseorang. Pandangan disini berkaitan erat dengan kebenaran, baik itu sifat dasar, sumber maupun keabsahan kebenaran tersebut. Konsep ilmu pengetahuan yang berkembang pesat dewasa ini beserta aspek-aspek praktis yang ditimbulkannya dapat dilacak akarnya pada struktur pengetahuan yang membentuknya.
Latar belakang hadirnya pembahasan epistemologi itu adalah karena para pemikir melihat bahwa panca indra lahir manusia yang merupakan satu-satunya alat penghubung manusia dengan realitas eksternal terkadang atau senantiasa melahirkan banyak kesalahan dan kekeliruan dalam menangkap objek luar, dengan demikian, sebagian pemikir tidak menganggap valid lagi indra lahir itu dan berupaya membangun struktur pengindraan valid yang rasional. Namun pada sisi lain, para pemikir sendiri berbeda pendapat dalam banyak persoalan mengenai akal dan rasionalitas, dan keberadaan argumentasi akal yang saling kontradiksi dalam masalah-masalah pemikiran kemudian berefek pada kelahiran aliran Sophisme yang mengingkari validitas akal dan menolak secara mutlak segala bentuk eksistensi eksternal.
kemajuan ilmu empirik, lahir kembali kepercayaan kuat terhadap indra lahir yang berpuncak pada Positivisme. Pada era tersebut, epistemologi lantas menjadi suatu disiplin ilmu baru di Eropa yang dipelopori oleh Descartes (1596-1650) dan dikembangkan oleh filosof Leibniz (1646–1716) kemudian disempurnakan oleh John Locke di Inggris. (Hardono, 1997: 35)
Istilah epistemologi pertama kali dipakai oleh J.F. Feriere dari Institute of Metaphysics pada tahun 1854 M dengan tujuan membedakan antara 2 cabang filsafat yaitu epistemologi dengan ontologi. Epistemologi ialah cabang filsafat yang menyelidiki asal mula, susunan, metode-metode dan sahnya pengetahuan (Buku Unsur-Unsur Filsafat, Louis Kattsoff).
Secara etimologi, epistemologi merupakan kata gabungan yang diangkat dari dua kata dalam bahasa Yunani, yaitu episteme dan logos. Episteme artinya pengetahuan, sedangkan logos lazim dipakai untuk menunjukkan adanya pengetahuan sistematik. Dengan demikian epistemologi dapat diartikan sebagai pengetahuan sistematik mengenai pengetahuan. Dalam Bahasa Inggris epistemologis disebut sebagai The Theory of Knowledge dan dalam bahasa Indonesia epistemologi disebut filsafat pengetahuan.
Epistemologi is one the core areas of philosophy. It is concerned with the nature, sources and limits of knowledge. There is a vast array of view about those topics, but one virtually universal presupposition is that knowledge is true belie, but not mere true belief (Concise Routledge Encyclopedia of Philosophy, Taylor and Francis, 2003)
Epistemologi juga disebut logika, yaitu ilmu tentang pikiran. Akan tetapi, logika dibedakan menjadi dua, yaitu logika minor dan logika mayor. Logika minor mempelajari struktur berpikir dan dalil-dalilnya, seperti silogisme. Logika mayor mempelajari hal pengetahuan, kebenaran, dan kepastian yang sama dengan lingkup epistemologi.
Jadi epistemologi adalah pengetahuan sistematik mengenai pengetahuan. Ia merupakan cabang filsafat yang membahas tentang bagaimana proses yang memungkinkan diperoleh pengetahuan berupa ilmu, bagaimna prosedurnya, hal-hal apa yang perlu diperhatikan agar didapat pengetahuan yang benar, apa kriterianya, cara, teknik, sarana apa yang digunakan untuk mendapatkan pengetahuan berupa ilmu. Begitu luasnya tentang Epistemologi, maka dalam makalah ini akan dibahas mengenai Epistemologi dalam pengetahuan, metode ilmiah dan pengetahuan ilmiah (ilmu) serta metode-metode apa yang digunakan untuk memperoleh pengetahuan tersebut.
BAB I PEMBAHASAN 1.1 Pengertian Epistimologi
Ada beberapa pengertian mengenai epistimologi yang diungkapkan para ahli yang dapat dijadikan sebagai dasar untuk memahami apa sebenarnya epistimologi itu. Secara sederhana epistimologi juga disebut teori pengetahuan (theory of knowledge).
Epistimologi berasal dari kata Yunani episteme berarti pengetahuan, dan logos berarti teori. Epistemologi dapat didefinisikan sebagai cabang filsafat yang mempelajari asal mula atau sumber, struktur, metode dan sahnya (validitasnya) pengetahuan. Dalam kajian Epistemologi, kajian mengenai kebenaran haruslah haruslah objektif sehingga siapapun akan mendapatkan paham yang sama pada saat memandang sebuah masalah dan solusi dari masalah tersebut. Kajian mengenai relativistik mungkin saja masuk dalam ranah ini namun dalam pandangan ilmu pengetahuan, seluruh pengamat adalah benar hanya saja melihat dari sisi yang berbeda, oleh karean itu ketika sudut pandang dari setiap pengamat disamakan akan muncul sisi yang sama.
Pengertian lain, mengenai epistemologi menyatakan bahwa epistimologi merupakan pembahasan mengenai bagaimana mendapatkan pengetahuan atau lebih menitikberatkan pada sebuah proses penecarian ilmu: apakah sumber-sumber pengetahuan ? apakah hakikat, jangkauan dan ruang lingkup pengetahuan? Sampai tahap mana pengetahuan yang mungkin untuk ditangkap manusia (William S.Sahakian dan Mabel Lewis Sahakian, 1965, dalam Jujun S.Suriasumantri, 2005).
Menurut Musa Asy’arie, epistemologi adalah cabang filsafat yang membicarakan mengenai hakikat ilmu, dan ilmu sebagai proses adalah usaha yang sistematik dan metodik untuk menemukan prinsip kebenaran yang terdapat pada suatu obyek kajian ilmu.
Sedangkan, P.Hardono Hadi menyatakan, bahwa epistemologi adalah cabang filsafat yang mempelajari dan mencoba menentukan kodrat dan skope pengetahuan, pengandaian-pengandaian dan dasarnya, serta pertanggungjawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki.
Sedangkan D.W Hamlyn mendefinisikan epistemologi sebagai cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan, dasar dan pengendaian-pengendaiannya serta secara umum hal itu dapat diandalkannya sebagai penegasan bahwa orang memiliki pengetahuan.
Ruang Lingkup Epistemologi
M.Arifin merinci ruang lingkup epistemologi, meliputi hakikat, sumber dan validitas pengetahuan. Mudlor Achmad merinci menjadi enam aspek, yaitu hakikat, unsur, macam, tumpuan, batas, dan sasaran pengetahuan. Bahkan, A.M Saefuddin menyebutkan, bahwa epistemologi mencakup pertanyaan yang harus dijawab, apakah ilmu itu, dari mana asalnya, apa sumbernya, apa hakikat-nya, bagaimana membangun ilmu yang tepat dan benar, apa kebenaran itu, mungkinkah kita mencapai ilmu yang benar, apa yang dapat kita ketahui, dan sampai dimanakah batasannya. Semua pertanyaan itu dapat diringkas menjadi dua masalah pokok; masalah sumber ilmu dan masalah benarnya ilmu.
M. Amin Abdullah menilai, bahwa seringkali kajian epistemologi lebih banyak terbatas pada dataran konsepsi asal-usul atau sumber ilmu pengetahuan secara konseptual-filosofis. Sedangkan Paul Suparno menilai epistemologi banyak membicarakan mengenai apa yang membentuk pengetahuan ilmiah. Sementara itu, aspek-aspek lainnya justru diabaikan dalam pembahasan epistemologi, atau setidak-tidaknya kurang mendapat perhatian yang layak.
Kecenderungan sepihak ini menimbulkan kesan seolah-olah cakupan pembahasan epistemologi itu hanya terbatas pada sumber dan metode pengetahuan, bahkan epistemologi sering hanya diidentikkan dengan metode pengetahuan. Terlebih lagi ketika dikaitkan dengan ontologi dan aksiologi secara sistemik, seseorang cenderung menyederhanakan pemahaman, sehingga memaknai epistemologi sebagai metode pemikiran, ontologi sebagai objek pemikiran, sedangkan aksiologi sebagai hasil pemikiran, sehingga senantiasa berkaitan dengan nilai, baik yang bercorak positif maupun negatif. Padahal sebenarnya metode pengetahuan itu hanya salah satu bagian dari cakupan wilayah epistemologi.
Objek Dan Tujuan Epistemologi
Dalam filsafat terdapat objek material dan objek formal. Objek material adalah sarwa-yang-ada, yang secara garis besar meliputi hakikat Tuhan, hakikat alam dan hakikat manusia. Sedangkan objek formal ialah usaha mencari keterangan secara radikal (sedalam-dalamnya, sampai ke akarnya) tentang objek material filsafat (sarwa-yang-ada).
Tujuan epistemologi menurut Jacques Martain mengatakan: “Tujuan epistemologi bukanlah hal yang utama untuk menjawab pertanyaan, apakah saya dapat tahu, tetapi untuk menemukan syarat-syarat yang memungkinkan saya dapat tahu”. Hal ini menunjukkan, bahwa epistemologi bukan untuk memperoleh pengetahuan kendatipun keadaan ini tak bisa dihindari, akan tetapi yang menjadi pusat perhatian dari tujuan epistemologi adalah lebih penting dari itu, yaitu ingin memiliki potensi untuk memperoleh pengetahuan.
Landasan Epistemologi
Kholil Yasin menyebut pengetahuan dengan sebutan pengetahuan biasa (ordinary knowledge), sedangkan ilmu pengetahuan dengan istilah pengetahuan ilmiah (scientific knowledge). Hal ini sebenarnya hanya sebutan lain. Disamping istilah pengetahuan dan pengetahuan biasa, juga bisa disebut pengetahuan sehari-hari, atau pengalaman sehari-hari. Pada bagian lain, disamping disebut ilmu pengetahuan dan pengetahuan ilmiah, juga sering disebut ilmu dan sains. Sebutan-sebutan tersebut hanyalah pengayaan istilah, sedangkan substansisnya relatif sama, kendatipun ada juga yang menajamkan perbedaan, misalnya antar sains dengan ilmu melalui pelacakan akar sejarah dari dua kata tersebut, sumber-sumbernya, batas-batasanya, dan sebagainya.
Metode ilmiah berperan dalam tataran transformasi dari wujud pengetahuan menuju ilmu pengetahuan. Bisa tidaknya pengetahuan menjadi ilmu pengetahuan yang bergantung pada metode ilmiah, karena metode ilmiah menjadi standar untuk menilai dan mengukur kelayakan suatu ilmu pengetahuan. Sesuatu fenomena pengetahuan logis, tetapi tidak empiris, juga tidak termasuk dalam ilmu pengetahuan, melaikan termasuk wilayah filsafat. Dengan demikian metode ilmiah selalu disokong oleh dua pilar pengetahuan, yaitu rasio dan fakta secara integratif.
Kebenaran epistemologis adalah kebenaran yang berhubungan dengan pengetahuan manusia. Kebenaran dalam arti ontologis adalah kebenaran sebagai sifat dasar yang melekat pada hakikat segala sesuatu yang ada atau diadakan. Kebenaran dalam arti semantis adalah kebenaran yang terdapat serta melekat dalam tutur kata dan bahasa. Namun, dalam pembahasan ini dibahas kebenaran epistemologis karena kebenaran yang lainnya secana inheren akan masuk dalam kategori kebenaran epistemologis.
Teori yang menjelaskan kebenaran epistemologis adalah sebagai berikut:
1. Teori Korespondensi
benar apabila di dalam kemanunggalan yang sifatnya intrinsik, intensional, dan pasif-aktif terdapat kesesuaian antara apa yang ada di dalam pengetahuan subjek dengan apa yang ada di dalam objek.
Hal itu karena puncak dan proses kognitif manusia terdapat di dalam budi atau pikiran manusia (intelectus), maka pengetahuan adalah benar bila apa yang terdapat di dalam budi pikiran subjek itu benar sesuai dengan apa yang ada di dalam objek. Teori korespondensi mi pada umumnya dianut oleh para pengikut realisme. Di antara pelopor teori korespondensi mi adalah Plato, Aristoteles, Moore, Russel, Ramsey, dan Tarski.54 Teori mi dikembangkan oleh Bertrand Russell(1872-197O).
Seseorang yang bernama K. Roders, seorang penganut realisme kritis Amerika, berpendapat, bahwa: keadaan benar mi terletak dalam kesesuaian antara “esensi atau arti yang kita berikan” dengan “esensi yang terdapat di dalam objeknya” Namun yang menjadi permasalahan sekarang adalah apakah realitas itu objektif atau subjektif? Dalam hal ini ada dua pandangan realisme epistemologis dan idealisme epistemologis. Realisme epistemologis berpandangan, bahwa terdapat realitas yang independen (tidak tergantung), yang terlepas dan pemikiran; dan kita tidak dapat mengubahnya bila kita mengalaminya atau memahaminya.
Itulah sebabnya realisme epistemologis kadangkala disebut objektivisme. Dengan perkataan lain: realisme epistemologis atau objektivitisme berpegang kepada kemandirian kenyataan, tidak tergantung pada yang di luarnya. Sedangkan idealisme epistemologis berpandangan bahwa setiap tindakan mengetahui berakhir di dalam suatu ide, yang merupakan suatu peristiwa subjektif .
2. Teori Koherensi
Tentang Kebenaran Teori yang kedua adalah teori koherensi atau konsistensi, the consistence theory of truth, yang sering pula dinamakan the coherence theory of truth. Menurut teori mi kebenaran tidak dibentuk atas hubungan antara putusan (judgement) dengan sesuatu yang lain, yaltu fakta atau realitas, tetapi atas hubungan antara putusan-putusan itu sendiri. Dengan perkataan lain, kebenaran ditegakkan atas hubungan antara puiusan yang baru itu dengai putusán-putusan lainnya yang telah kita ketahui dan akui kebenarannya terlenih dahulu.
dibawah pengaruh Hegel dan diikuti oleh pengikut mazhab idealisme.
Seperti filsuf Britania F. M Bradley (18641924).61) Idealisme epistemologi berpandangan bahwa objek pengetahuan, atau kualitas yang kita serap dengan indera kita itu tidaklah berwujud terlepas dan kesadaran tentang objek tersebut. Itulah sebabnya teori ini sering disebut subjecktivisme.
Kedua, teori ini agaknya dapat dinamakan teori penyaksian (justifikasi) tentang kebenaran, karena menurut teori ini satu putusan dianggap benar apabila mendapat penyaksianpenyaksian (justifikasi, pembenaran) oleh putusan-putusan Iainnya yang terdahulu yang sudah diketahui, diterima, dan diakui benarnya.
3. Teori Pragmatisme
Tentang Kebenaran Teori ketiga adalah teori pragmatisme tentang kebenaran, the pramagtic (pramagtist) theory of truth. Pramagtisme berasal dan bahasa Yunani pragma, artinya yang dikerjakan, yang dilakukan, perbuatan, tindakan, sebutan bagi filsafat yang dikembangkan oleh William James di Amerika Serikat. Menurut filsafat ml benar tidaknya suatu ucapan, dali!, atau teori semata mata bergantung kepada asas manfaat. Sesuatu dianggap benar jika mendatangkan manfaat dan akan dikatakan salah jika tidak mendatangkan manfaat.
Menurut teori pragmatisme, suatu kebenaran dan suatu pernyataan diukur dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan manusia. Teori, hipotesa atau ide adalah benar apabila ia membawa kepada akibat yang memuaskan, apabila ia berlaku dalam praktik, apabila Ia mempunyat nilai praktis. Kebenaran terbukti oleh kegunaannya, oleh hasilnya, dan oleh akibat- akibat praktisnya. Jadi kebenaran ialah apa saja yang berlaku. .
4. Agama Sebagai Teori Kebenaran
Manusia ada!ah makhluk pencari kebenaran. Salah satu cara untuk menemukan suatu kebenaran adalah melalui agama. Agama dengan karakteristiknya sendiri memberikan jawaban atas segala persoalan asasi yang dipertanyakan manusia; baik tentang alam, manusia, maupun tentang Tuhan. Kalau ketiga teori kebenaran sebelumnya lebih mengedepankan akal, budi, rasio, dan reason manusia, dalam agama yang dikedepankan adalah wahyu yang bersumber dan Tuhan. .
Tasawuflah yang menghilangkan keragu-raguan tentang segala sesuatu. Kebenaran menurut agama inilah yang dianggap oleh kaum sufi sebagai kebenaran mutlak; yaitu kebenaran yang sudah tidak dapat diganggu gugat lagi. Namun Al-Ghazali tetap merasa kesulitan menentukan kriteria kebenaran. Akhirnya kebenaran yang di dapatnya adalah kebenaran subjektif atau inter-sujektif.
1.2 METODOLOGI
Metodologi atau methodology dalam bahasa Inggris, diserap dari bahasa Perancis “méthodologie” yang berasal dari bahasa Latin modern “methodologia” yang tersusun dari kata Latin “methodos – logia” (merriam-webster). Beberapa pendapat juga mengemukakan bahwa metodologi berasal dari bahasa Yunani yang tersusun dari kata “methodos – logos“. Dengan penambahan leksem “logia atau logos” menunjukkan pengertian “yang bersifat ilmiah” atau menunjuk pada ilmu itu sendiri.
Dalam bahasa Indonesia, memahami pengertian metode merupakan hal yang harus dilakukan terlebih dahulu sebelum beranjak pada definisi metodologi. Hal ini bertujuan untuk menyelaraskan kerangka pikir dan memberi pijakan untuk melangkah ke tahap selanjutnya secara sitematis. KBBI menerangkan bahwa metodologi terdiri dari lima suku kata “me-to-do-lo-gi” yang memiliki pengertian “ilmu tentang metode atau uraian tentang metode”.
BAB II
KESIMPULAN
Epistemologi adalah pengetahuan sistematik mengenai pengetahuan. Ia merupakan cabang filsafat yang membahas tentang bagaimana proses yang memungkinkan diperoleh pengetahuan berupa ilmu, bagaimna prosedurnya, hal-hal apa yang perlu diperhatikan agar didapat pengetahuan yang benar, apa kriterianya, cara, teknik, sarana apa yang digunakan untuk mendapatkan pengetahuan berupa ilmu.
Pengetahuan adalah kemampuan manusia seperti perasaan, pikiran, pengalaman, pengamatan, dan intuisi yang mampu menangkap alam dan kehidupannya serta mengabstraksikannya untuk mencapai suatu tujuan. Pengetahuan yang diakui dan teruji kebenarannya melalui metode ilmiah disebut pengetahuan ilmiah atau ilmu pengetahuan (sains).
Ilmu pengetahuan diperoleh berdasarkan analisis dengan langkah-langkah yang sistematis (metode ilmiah) menggunakan nalar yang logis. Sarana berpikir ilmiah adalah bahasa, matematika dan statistika. Metode ilmiah menggabungkan cara berpikir deduktif dan induktif sehingga menjadi jembatan penghubung antara penjelasan teoritis dengan pembuktian yang dilakukan secara empiris. Secara rasional, ilmu menyusun pengetahuannya secara konsisten dan kumulatif, sedangkan secara empiris ilmu memisahkan pengetahuan yang sesuai dengan fakta dari yang tidak. Dengan metode ilmiah berbagai penjelasan teoritis (atau juga naluri) dapat diuji, apakah sesuai dengan kenyataan empiris atau tidak.
Berfikir dan pengetahuan dilihat dari ciri prosesnya dapat dibagi ke dalam :
(1) Berfikir biasa dan sederhana menghasilkan pengetahuan biasa (pengetahuan eksistensial);
(2) Berfikir sistematis faktual tentang objek tertentu menghasilkan pengetahuan ilmiah (ilmu);
(3) Berfikir radikal tentang hakekat sesuatu menghasilkan pengetahuan filosofis (filsafat).
DAFTAR PUSTAKA
Hamami, Abbas, 1997, Epistemologi Ilmu. Yogyakarta: Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada.
Hardono, Hadi, 1997, Epistemologi, Filsafat Pengetahuan. Yogyakarta:Kanisius.
Kartanegara, Mulyadi, 2003, Pengantar Epistemologi Islam, Bandung: Mizan.
Lubis, Mochtar, 1978, Manusia Indonesia, Jakarta: Yayasan Idayu.
Nasution, Andi Hakim, 1988, Pengantar Filsafat Sains. Jakarta: Litera Antar Nusa.
Suriasmantri, Jujun S. , 2000, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Sinar Harapan.