• Tidak ada hasil yang ditemukan

FILSAFAT dan FILSAFAT ISLAM docx

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "FILSAFAT dan FILSAFAT ISLAM docx"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

Refreshment Filsafat Islam;

Studi Informatif Dalam Perspektif Sejarah Dan Masa Depan

Qolbi Khoiri

(Dosen Fakultas Ushuluddin, Adab dan Dakwah IAIN Bengkulu) Abstrak

Perkembangan pemikiran Islam mengalami lompatan sejak pemerintahan Islam pindah ke Damaskus, yakni pada masa Bani Umaiyah. Pada saat itu umat Islam dihadapkan pada kebutuhan untuk menjawab persoalan-persoalan riil di masyarakat yang tidak cukup dijawab dengan Qur’an dan Hadits. Karena alasan inilah, maka ijtihad pada masa itu mengalami pertumbuhan yang sangat signifikan, khususnya pada masa kebesaran pemerintahan Bani Abbasyiyah yang berpusat di Baghdad. Pada dasarnya studi tentang filsafat Islam dapat dilakukan oleh siapapun dan dengan metode (cara) apapun. Termasuk model-model studi yang lebih sistematis yang sudah pernah dirumuskan secara ilmiah. Terdapat beberapa model atau metode dalam filsafat yaitu Pertama, Metode Deskriptif; kedua, metode analisis; ketiga, metode sistesis; keempat, metode komparatif. Selain itu adapula model lain dari kajian filsafat Islam yaitu: Pertama, Model Amin Abdullah. Model yang dikembangkan oleh Amin Abdullah adalah model studi tokoh; ; kedua, Model Otto Horrasowitz, Majid Fakhry dan Harun Nasution. Ketiga tokoh ini menggunakan model pendekatan campuran antara pendekatan his-toris, pendekatan kawasan, pendekatan substansi dan tema-tema yang menjadi konsep filosofis sang filsuf; ketiga, Model studi tema-tematik. Model ini seperti yang dilakukan oleh Oliver Leaman dan Seyyed Husein Nasr; keempat, model studi tematik al-Quran dengan kerangka filsafat

Kata Kunci : Refreshment, Filsafat Islam A. PENDAHULUAN

Pada awal pertumbuhannya, pemikiran Islam bergerak secara dinamis dan menghasilkan khazanah ilmu pengetahuan dan peradaban yang tinggi, bagai mercusuar yang sulit tertandingi. Namun, sejak abad ke- 13, khazanah pemikiran Islam mengalami kemandekan, justru di saat Barat mulai menampakkan kreatifitasnya dalam membangun peradaban.

(2)

mengalami pertumbuhan yang sangat signifikan, khususnya pada masa kebesaran pemerintahan Bani Abbasyiyah yang berpusat di Baghdad.

Dalam pandangan Amin Abdullah, pesatnya perkembangan pemikiran umat Islam pada masa kebesaran Islam di Baghdad adalah karena mereka mampu menggunakan filsafat sebagai alat untuk berijtihad.1 Dengan struktur .

ilmiah yang terbangun dalam tradisi filsafat, umat Islam berupaya mengkaji khazanah keislaman dan mengembangkannya dalam beragam disiplin ilmu, seperti kalam, Fiqh, nahwu, tafsir, tasawuf dan lain-lain. Tanpa dukungan filsafat, ilmu keislaman akan mengalami kelumpuhan, karena ketidak mampuannya mengembangkan pemikiran melalui struktur logis yang ditawarkannya.

Pada tulisan ini penulis akan mencoba mengulas mengenai hal ini yang meliputi Pengertian filsafat, Klasifikasi, metode pengkajian filsafat dalam studi pemikiran Islam serta contoh-contohnya dan Analisa Metode Kebermanfaatan Filsafat bagi Masa Depan ,.

B. PEMBAHASAN 1. Pengertian Filsafat

Perkataan Inggris philosophy yang berarti filsafat berasal dari kata Yunani “philosophia” yang lazim diterjemahkan sebagai cinta kearifan. Akar katanya ialah philos (philia, cinta) dan sophia (kearifan). Menurut pengertiannya yang semula dari zaman Yunani Kuno itu filsafat berarti cinta kearifan. Namun, cakupan pengertian sophia yang semula itu ternyata luas sekali. Dahulu sophia tidak hanya berarti kearifan saja, melainkan meliputi pula kebenaran pertama, pengetahuan luas, kebajikan intelektual, pertimbangan sehat sampai kepandaian pengrajin dan bahkan kecerdikkan dalam memutuskan soal-soal praktis.2

Banyak pengertian-pengertian atau definisi-definisi tentang filsafat yang telah dikemukakan oleh para filsuf. Menurut Merriam-Webster

1Amin Abdullah, Falsafah Kalam di Era Posmodernisme, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), 1995, h. 19

(3)

seperti yang di ungkapkan Soeparmo, 3 secara harafiah filsafat berarti cinta

kebijaksanaan. Maksud sebenarnya adalah pengetahuan tentang kenyataan-kenyataan yang paling umum dan kaidah-kaidah realitas serta hakekat manusia dalam segala aspek perilakunya seperti: logika, etika, estetika dan teori pengetahuan.

Kalau menurut tradisi filsafati dari zaman Yunani Kuno, orang yang pertama memakai istilah philosophia dan philosophos ialah Pytagoras (592-497 S.M.), yakni seorang ahli matematika yang kini lebih terkenal dengan dalilnya dalam geometri yang menetapkan a2 + b2 = c2. Pytagoras menganggap dirinya “philosophos” (pencinta kearifan). Baginya kearifan yang sesungguhnya hanyalah dimiliki semata-mata oleh Tuhan. Selanjutnya, orang yang oleh para penulis sejarah filsafat diakui sebagai Bapak Filsafat ialah Thales (640-546 S.M.). Ia merupakan seorang Filsuf yang mendirikan aliran filsafat alam semesta atau kosmos dalam perkataan Yunani. Menurut aliran filsafat kosmos, filsafat adalah suatu penelaahan terhadap alam semesta untuk mengetahui asal mulanya, unsur-unsurnya dan kaidah-kaidahnya.4

Menurut sejarah kelahiran istilahnya, filsafat terwujud sebagai sikap yang ditauladankan oleh Socrates. Yaitu sikap seorang yang cinta kebijaksanaan yang mendorong pikiran seseorang untuk terus menerus maju dan mencari kepuasan pikiran, tidak merasa dirinya ahli, tidak menyerah kepada kemalasan, terus menerus mengembangkan penalarannya untuk mendapatkan kebenaran.5

Timbulnya filsafat karena manusia merasa kagum dan merasa heran. Pada tahap awalnya kekaguman atau keheranan itu terarah pada gejala-gejala alam. Dalam perkembangan lebih lanjut, karena persoalan manusia makin kompleks, maka tidak semuanya dapat dijawab oleh filsafat secara memuaskan. Jawaban yang diperoleh menurut Koento

3Soeparmo, Struktur Keilmuwan Dan Teori Ilmu Pengetahuan Alam, (Surabaya: Airlangga University Press, 1984)., h. 2

(4)

Wibisono dkk,6 dengan melakukan refleksi yaitu berpikir tentang

pikirannya sendiri. Dengan demikian, tidak semua persoalan itu harus persoalan filsafat.

Dilihat dari arti praktisnya, filsafat adalah alam berfikir atau alam pikiran. berfilsafat adalah berfikir. Langeveld, dalam bukunya "pengantar pada pemikiran filsafat" (1959) menyatakan, bahwa filsafat adalah suatu perbincangan mengenai segala hal, sarwa sekalian alam secara sistematis sampai ke akar-akarnya. Apabila dirumuskan kembali, filsafat adalah suatu wacana, atau perbincangan mengenai segala hal secara sistematis sampai konsekwensi terakhir dengan tujuan menemukan hakekatnya.

Sementara menurut Immanuel Kant menyatakan, bahwa filsafat adalah ilmu pengetahuan yang menjadi pokok dan pangkal dari segala pengetahuan yang didalamnya mencakup empat persoalan, yaitu apa yang dapat diketahui (metafisika), apa yang seharusnya diketahui (etika), sampai dimana harapan kita (agama), dan apa yang dinamakan dengan manusia (antropologi), dan menurut Hasbullah Bakri merumuskan filsafat adalah ilmu yang menyelidiki segala sesuatu dengan mendalam mengenai ketuhanan, alam, semesta alam, dan manusia sehingga dapat menghasilkan pengetahuan tentang bagaimana hekekat ilmu filsafat dapat dicapai oleh akal manusia dan bagaimana seharusnya sikap manusia setelah mencapai pengetahuan itu.

2. Klasifikasi Filsafat Menurut Daerah Munculnya

Di seluruh dunia, banyak orang yang menanyakan pertanyaan yang sama dan membangun tradisi filsafat, menanggapi dan meneruskan banyak karya-karya sesama mereka. Oleh karena itu filsafat biasa diklasifikasikan menurut daerah geografis dan budaya. Pada dewasa ini filsafat biasa dibagi menjadi:

(5)

Aristoteles, Thomas Aquinas, Réne Descartes, Immanuel Kant, Georg Hegel, Arthur Schopenhauer, Karl Heinrich Marx, Friedrich Nietzsche, dan Jean-Paul Sartre.

b. Filsafat Timur; adalah tradisi falsafi yang terutama berkembang di Asia, khususnya di India, Tiongkok dan daerah-daerah lain yang pernah dipengaruhi budayanya. Sebuah ciri khas Filsafat Timur ialah dekatnya hubungan filsafat dengan agama. Meskipun hal ini kurang lebih juga bisa dikatakan untuk Filsafat Barat, terutama di Abad Pertengahan, tetapi di Dunia Barat filsafat ’an sich’ masih lebih menonjol daripada agama. Nama-nama beberapa filsuf: Siddharta Gautama/Buddha, Bodhidharma, Lao Tse, Kong Hu Cu, Zhuang Zi dan juga Mao Zedong.

c. Filsafat Timur Tengah; ini sebenarnya mengambil tempat yang istimewa. Sebab dilihat dari sejarah, para filsuf dari tradisi ini sebenarnya bisa dikatakan juga merupakan ahli waris tradisi Filsafat Barat. Sebab para filsuf Timur Tengah yang pertama-tama adalah orang-orang Arab atau orang-orang Islam (dan juga beberapa orang Yahudi), yang menaklukkan daerah-daerah di sekitar Laut Tengah dan menjumpai kebudayaan Yunani dengan tradisi falsafi mereka. Lalu mereka menterjemahkan dan memberikan komentar terhadap karya-karya Yunani. Bahkan ketika Eropa setalah runtuhnya Kekaisaran Romawi masuk ke Abad Pertengahan dan melupakan karya-karya klasik Yunani, para filsuf Timur Tengah ini mempelajari karya-karya yang sama dan bahkan terjemahan mereka dipelajari lagi oleh orang-orang Eropa. Nama-nama beberapa filsuf Timur Tengah: Avicenna(Ibnu Sina), Ibnu Tufail, dan Averroes.

3. Objek Kajian Filsafat

(6)

Isi filsafat ditentukan oleh objek apa yang dipikirkan. Objek yang dipikirkan oleh filosuf ialah segala yang ada dan yang mungkin ada, jadi luas sekali. Objek yang diselidiki oleh filsafat ini disebut objek materia, yaitu segala yang ada dan mungkin ada tadi. tentang objek materia ini banyak yang sama dengan objek materia sains. Bedanya ialah dalam dua hal. Pertama, sains menyelidiki objek materia yang impiris; filsafat menyelidiki objek itu juga, tetapi bukan bagian yang impriris, melainkan bagian yang abtraknya. Kedua, ada objek materia filsafat yang memang tidak dapat diteliti oleh sains, seperti Tuhan, hari akhir, yaitu objek materia yang untuk selama-lamanya tidak empiris. Jadi, objek meteria filsafat tetap saja luas dari objek materia sains.

Selain objek materia, ada lagi objekforma, yaitu sifat penyelidikan. Objek forma filsafat ialah penyelidikan yang mendalam. Artinya, ingin tahunya filsafat adalah ingin tahu bagian dalamnya. Kata mendalam artinya ingin tahu tentang objek yang tidak empiris. Penyelidikan sain tidak mendalam karena ia hanya ingin tahu sampai batas objek itu daat diteliti secara empiris. Jadi, objek penelitian sains ialah pada batas dapat diriset, sedangkan objek penelitian filsafat adalah pada daerah tidak dapat diriset, tetapi dapat dipikirkan secara logis. Jadi, sains menyelidiki dengan riset, filsafat meneliti dengan memikirkannya.

4. Metode Pengkajian Filsafat dalam Pemikiran Islam

Pada dasarnya studi tentang filsafat Islam dapat dilakukan oleh siapapun dan dengan metode (cara) apapun. Termasuk model-model studi yang lebih sistematis yang sudah pernah dirumuskan secara ilmiah. Adalah Ibrahim Madkour7, membagi metode-metode studi filsafat Islam

sebagaimana berikut:

Pertama, Metode Deskriptif, yang bermakna suatu metode untuk pengumpulan keterangan-keterangan yang mendekati hakikatnya, mendasar sifatnya, dan menyangkut esensinya yang dipandang amat diperlukan dalam menyusun pandangan kefilsafatan.

(7)

Kedua, metode analisis yaitu suatu metode untuk memahami nilai-nilai kefilsafatan secara detil dengan menguraikan makna-makna yang terkandung dalam data-data, serta menghubungkan makna tersebut dengan makna lain yang didapat dari kandungan data yang lain pula. Sehingga diperoleh sebuah kesimpulan akhir yang dianggap benar.

Ketiga, metode sintesis, yaitu metode yang menyatupadukan berbagai esensi dan keterangan yang mendasar, sehingga tersusun sebuah pandangan baru dalam bidang kefilsafatan, sebagai hasil konvergensi berbagai macam esensi.

Keempat, metode komparatif, yakni metode yang berusaha mendapatkan esensi tertentu dalam bidang kefilsafatan dengan jalan membandingkan esensi, keterangan yang mendasar dan berbagai aliran dalam filsafat. Metode ini lebih berorientasi pada perbandingan ciri-ciri pemikiran kefilsafatan, bukan keseragaman yang tampak pada nilai kefilsafatannya.

Kelima, metode fenomenologis. Metode ini berusaha memahami fenomena sebagai data dengan menekankan inti kesadarannya, bukan persepsi awal peneliti. Dengan kata lain, fenomena yang hendak diteliti dibiarkan mengalir apa adanya tanpa intervensi dari peneliti.

Seperti halnya metode studi filsafat, model-model studi filsafat Islam pun variatif dan terus berkembang. Di sini penulis sengaja menyajikan model yang diperkenalkan oleh Abuddin Nata, sebagai bahan perbandingan bagi pengembangan studi filsafat Islam selanjutnya. Setidak-tidaknya, menurut Abuddin Nata, ada tiga model studi filsafat Islam yang dapat dikembangkan, yaitu :

Pertama, Model Amin Abdullah. Model yang dikembangkan oleh Amin Abdullah adalah model studi tokoh, dimana dalam disertasinya Amin membandingkan konsep etika menurut al-Ghazali dan Immanuel Kant.8 Dalam melakukan penelitiannya, Amin meneliti karya-karya yang

(8)

telah ditulis oleh kedua tokoh tersebut tentang etika, sebagai sumber primer, maupun karya-karya yang ditulis oleh orang lain tentang konsep etika kedua tokoh tersebut.

Kedua, Model Otto Horrasowitz, Majid Fakhry dan Harun Nasution.9 Ketiga tokoh ini menggunakan model pendekatan campuran

antara pendekatan historis, pendekatan kawasan, pendekatan substansi dan tema-tema yang menjadi konsep filosofis sang filsuf. Harun Nasution misalnya, ia mengkaji filsafat dengan menggunakan metode historis, tokoh dan ide-idenya. Begitu juga halnya dengan Horrasowits dan Majid Fakhry, selain membahas kesejarahan filsafat dan tokoh-tokohnya, mereka juga meneliti ajaran-ajaran sang filsuf tentang cahaya, etika, epistimologi, wahyu, gerak, jiwa dan lain-lain. Model ini dapat disebut sebagai metode holistik, karena variabel filsafatyang digunakan bervariasi.

Ketiga, Model studi tematik. Model ini seperti yang dilakukan oleh Oliver Leaman dan Seyyed Husein Nasr.10 Kajian ini menggunakan

metode kepustakaan dan analisis atas pemikiran-pemikian filsuf muslim klasik berdasarkan tema-tema tertentu, seperti mistisisme, ontologi, pengetahuan, ilmu dan lain-lain.

Keempat, model studi tematik al-Quran dengan kerangka filsafat. Metode ini diperkenalkan oleh Afzalurrahman. Model studi ini berdasarkan pada tema-tema tertentu seperti Tuhan, manusia, wahyi, alam semesta dan lain-lainyang ada di dalam al-Quran untuk dikaji secara filosofis. Metode yang dipakai dalam model ini adalah analisis bahasa dan hermeneutik. Sesekali juga dapat meng-gunkan analisis saintifik. Hasil yang dapat dicapai dengan model studi ini adalah kesimpulan-kesimpulan atas makna ayat sebagai paradigma al-Quran.

9Lebih lanjut dapat di tinjau dalam bukunya di antaranya, Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy. New York: Columbia University Press, 1983 dan Majid Fakhry. Sejarah Filsafat Islam. ter. Drs. R. Mulyadi Kartanegara. Jakarta: Pustaka Jaya. 1987. juga dapat di lacak mengenai model ini dalam Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang. 1973

(9)

Selain keempat model studi tersebut, barangkali tidak sedikit model lain yang dapat digunakan untuk mengkaji filsafat. Hal ini tidak mustahil mengingat kinerja filsafat yang bertumpu pada rasionalitas akan selalu berkembang sesuai dengan perkembangan rasio.

5. Contoh-Contoh Kajian Filsafat dalam Pemikiran Islam

Contoh pemikiran filsafat dari Filsuf muslim berikut ini yang penulis kemukakan adalah

a. Abu Nasr Muhammad Al-Farabi (870-950 M).

Dalam tulisan-tulisannya, kerangka pemikirannya cenderung berusaha memadukan corak filsafat Aristoteles dan Neoplatonisme dengan pemikiran keislaman mazhab Syiah Imamiyah. Ia percaya, seperti halnya al-Razi, bahwa akal merupakan akses utama untuk mencapai kebenaran. Sekalipun kurang sependapat dengannya ketika mengecilkan arti penting kenabian. Bagi al-Farabi, untuk membangun suatu pemerintahan yang ideal (al-madinah al-fadhilah), masyarakat manapun haruslah mendapat bimbingan dari seseorang yang beroleh wahyu dari Allah. Ia juga percaya sebagaimana para sufi bahwa kesadaran penuh akan wahyu bergantung pada spiritualitas yang diolah dan dipertinggi.11

Tentang penciptaan alam, Al-Farabi mengembangkan konsep esensi dan eksistensi Aristotelian dengan memberi pembedaan antara pengada yang niscaya (wajib al-wujud li dzatihi / wujud mutlak) dan pengada yang kontingen (wajib al-wujud li ghairih / wujud-mungkin). Wujud-mungkin adalah makhluk yang menjadi bukti adanya wujud-mutlak yaitu Allah.12 Dalam hal ini Al-Farabi tidak sependapat dengan

al-Razi yang mempercayai bahwa bahan dunia telah ada sebelum penciptaan, tetapi lebih sependapat dengan gagasan neoplatonis al-Kindi yang menyatakan bahwa semua ciptaan beremanasi dari Allah dan pikiran manusia mampu mengetahui hal tersebut melalui

11Nurcholis Madjid, Khazanah Intelektual Nurcholish Islam (Jakarta : Bulan Bintang,1984), h. 30

(10)

penerangan intelegensi yang lebih tinggi dan eksternal. Dalam teori emanasi (al-faidl) al-Farabi tersebut, Tuhan dilukiskan sebagai yang sama sekali Esa dan karenanya tidak bisa didefinisikan. Menurutnya, definisi hanya akan menisbatkan batasan dan susunan kepada Tuhan yang itu mustahil bagi-Nya. Tuhan itu adalah substansi yang azali, akal murni yang berfikir dan sekaligus difikirkan. Ia adalah aql, aqil dan ma’qul sekaligus. Karena pemikiran Tuhan tentang diri-Nya merupakan daya yang dahsyat, maka daya itu menciptakan sesuatu. Yang diciptakan pemikiran Tuhan tentang diri-Nya itu adalah Akal I. Jadi, Yang Maha Esa menciptakan yang Esa. Dalam diri Akal I inilah mulai terdapat arti banyak. Obyek pemikiran Akal I adalah Tuhan dan dirinya sendiri.13 Pemikirannya tentang Tuhan menghasilkan Akal II

dan pemikirannya tentang dirinya menghasilkan Langit Pertama. Akal II juga mempunyai obyek pemikiran, yaitu Tuhan dan dirinya sendiri. Pemikirannya tentang Tuhan menghasilkan Akal III dan pemikirannya tentang dirinya sendiri menghasilkan Alam Bintang. Begitulah Akal selanjutnya berfikir tentang Tuhan dan menghasilkan Akal dan berfikir tentang dirinya sendiri dan menghasilkan benda-benda langit lainnya, yaitu: Akal III menghasilkan Akal IV dan Saturnus; Akal IV menghasilkan Akal V dan Yupiter; Akal V menghasilkan Akal VI dan Mars; Akal VI menghasilkan Akal VII dan Matahari; Akal VII menghasilkan Akal VIII dan Venus; Akal VIII menghasilkan Akal IX dan Merkuri; Akal IX menghasilkan Akal X dan Bulan; dan Akal X menghasilkan hanya Bumi. Pemikiran Akal X tidak cukup kuat lagi untuk menghasilkan Akal.

Demikianlah gambaran alam dalam astronomi yang diketahui pada zaman al-Farabi, yaitu alam yang terdiri atas sepuluh falak. Pemikiran Akal X tentang Tuhan tidak lagi menghasilkan Akal, karena tidak ada lagi planet yang akan diurusnya. Memang tiap-tiap Akal itu

(11)

mengurus planet yang diwujudkannya. Begitulah Tuhan menciptakan alam semesta dalam filsafat emanasi Al-Farabi. Tuhan tidak langsung menciptakan yang banyak itu, tetapi melalui Akal-Akal dalam rangkaian emanasi. Dengan demikian dalam diri Tuhan tidak terdapat arti banyak dan Tuhan juga tidak langsung berhubungan dengan yang banyak. Inilah tauhid yang murni dalam pendapat Al-Farabi dan filsuf-filsuf muslim berikutnya yang menganut faham emanasi. Implikasi logis dari faham emanasi ini adalah pendapat bahwa alam diciptakan bukan dari tiada atau nihil (creatio ex nihilo) sebagaimana sebelumnya masih diterima oleh al-Kindi, tetapi dari sesuatu materi asal yang sudah ada sebelumnya yaitu api, udara, air dan tanah. Materi asal itupun bukannya timbul dari ketiadaan, tetapi dari sesuatu yang dipancarkan oleh pemikiran Tuhan.

(12)

bahwa filsafat memang tidak untuk konsumsi semua lapisan masyarakat, tetapi (seperti diistilahkan Ibnu Sina) hanya untuk kalangan terpelajar (khawwas) saja. Harmonisasi antara akal dan wahyu dalam konteks kefilsfatan ini nantinya dikerjakan pula oleh Ibn Thufail dalam karya terkenalnya Hayy ibn Yaqzan dan Ibnu Rusyd dalam proyek ta’wil-nya.

b. Ibnu Sina (980-1037 M)

Ia adalah filsuf peripatetik muslim berdarah Persia yang memiliki pengaruh sangat besar terhadap para filsuf Barat terkemudian.14 Ia melanjutkan konsepsi mutlak dan

wujud-mungkin dari al-Farabi. Lebih lanjut ia juga menemukan bahwa antara esensi benda dan eksistensinya dapatlah dibedakan dalam banyak kasus. Seseorang dapat saja mempunyai ide tentang struktur dasariah suatu benda tanpa harus mengetahui apakah ia eksis. Tetapi dalam kasus Tuhan, sebagai suatu kesatuan yang sempurna, maka eksistensi tidak bisa menjadi sifat yang ditambahkan melainkan bagian yang integral dari esensi-Nya. Ibnu Sina juga mengambil penalaran emanasi-hierarkis Neoplatonis yaitu dari intelek Tuhan atau Pikiran Murni memancar intelegensi lainnya.15 Tetapi ia menganggap materi

sebagai fondasi abadi benda-benda, bukan sekedar emanasi realitas spiritual yang suram. Konsepsinya tentang kosmogoni ini bersifat sangat naturalistik, misalnya dari pandangannya tentang bagaimana Tuhan campur tangan dalam kehidupan manusia. Menurutnya hal itu tidak dilakukan melalui takdir atau mukjizat, melainkan melalui keteraturan hukum-hukum alam yang niscaya. Karena pandangan ini pula, Ibnu Sina memandang bahwa kehendak bebas yang murni pada manusia tidak mungkin ada.

Ibnu Sina juga mengembangkan pemikiran tentang jiwa yang sudah diawali oleh aI-Farabi, yaitu membagi jiwa menjadi tiga bagian:

(13)

(1) Jiwa tumbuh-tumbuhan dengan daya makan, tumbuh dan berkembang biak; (2) Jiwa binatang dengan daya gerak dan pancaindera. Indera ada dua macam: (a) Indra luar, yaitu pendengaran, penglihatan, rasa dan raba; dan (b) Indra dalam yang berada di otak dengan fungsi: menerima kesan-kesan yang diperoleh pancaindra; menggambarkan kesan-kesan tersebut; mengatur gambar-gambar ini; menangkap arti-arti yang terlindung dalam gambar-gambar tersebut; dan menyimpan arti-arti itu sebagai ingatan; (3) Jiwa manusia dengan daya tunggalnya yaitu berfikir yang disebut akal. Akal terbagi dua: (a) Akal praktis, yang menerima arti-arti yang berasal dari materi melalui indra pengingat yang ada dalam jiwa binatang; dan (b) Akal teoritis, yang menangkap arti-arti murni, yang tak pernah ada dalam materi seperti Tuhan, roh dan malaikat. Akal praktis memusatkan perhatian kepada alam materi, sedangkan akal teoritis kepada alam metafisik. Dalam diri manusia terdapat tiga macam jiwa ini, dan jelas bahwa yang terpenting diantaranya adalah jiwa berfikir manusia yang disebut akal itu. Akal teoritis mempunyai empat tingkatan: (1) Akal potensial, yaitu akal yang mempunyai potensi untuk rnenangkap arti-arti murni; (2) Akal bakat, yang telah mulai dapat rnenangkap arti-arti murni; (3) Akal aktual, yang telah mudah dan lebih banyak rnenangkap arti- arti murni; dan (4) Akal perolehan yang telah sernpurna kesanggupannya menangkap arti-arti murni (bandingkan dengan klasifikasi akal menurut al-Kindi dan al-Farabi). Akal tingkat keempat inilah yang dimiliki oleh para filsuf. Akal inilah yang dapat menangkap arti-arti murni yang dipancarkan Tuhan melalui Akal X ke Bumi.16

Sifat seseorang banyak bergantung pada jiwa mana dari tiga yang tersebut di atas berpengaruh pada dirinya. Jika jiwa tumbuh-tumbuhan dan binatang yang berpengaruh, orang itu dekat menyerupai binatang. Tetapi jika jiwa manusia yang berpengaruh terhadap dirinya

(14)

maka ia dekat menyerupai malaikat. Dan dalam hal ini akal praktis mempunyai malaikat. Akal inilah yang mengontrol badan manusia, sehingga hawa nafsu yang terdapat di dalamnya tidak menjadi halangan bagi akal praktis untuk membawa manusia kepada kesempurnaan. Setelah tubuh manusia mati, yang akan tinggal menghadapi perhitungan di depan Tuhan adalah jiwa manusia. Jiwa tumbuh-tumbuhan dan jiwa binatang akan lenyap dengan hancurnya tubuh kembali menjadi tanah. Jiwa tumbuh-tumbuhan dan binatang lenyap dengan matinya tubuh karena keduanya hanya mempunyai fungsi-fungsi fisik. Kedua jiwa ini, karena telah rnemperoleh balasan di dunia, tidak akan dihidupkan kembali di akhirat. Sementara jiwa manusia berlainan dengan kedua jiwa di atas dengan fungsinya yang bersifat abstrak dan rohani. Karena itu balasan yang akan diterimanya bukan di dunia, tetapi di akhirat. Kalau jiwa tumbuh-tumbuhan dan binatang tidak kekal, jiwa manusia adalah kekal. Jika ia telah mencapai kesempurnaan sebelum berpisah dengan badan ia akan mengalami kebahagiaan di akhirat. Tetapi kalau ia berpisah dari badan dalam keadaan belum sempurna ia akan mengalami kesengsaraan kelak. Penalaran inilah yang mendasari faham bahwa yang akan menghadapi perhitungan kelak di akhirat adalah jiwa manusia, dan secara logis menolak adanya kebangkitan jasmani. Ibnu Sina percaya bahwa ruh bersifat abadi.17

6. Fungsi Filsafat di Masa Depan

a. Menjawab Tantangan Kontemporer

Pada saat ini, umat Islam telah dilanda berbagai persoalan ilmiah filosofis, yang datang dari pandangan ilmiah-filosofis Barat yang bersifat sekuler. Berbagai teori ilmiah, dari berbagai bidang, fisika, biologi, psikologi, dan sosiologi, telah, atas nama metode ilmiah, menyerang fondasi-fondasi kepercayaan agama. Tuhan tidak dipandang perlu lagi dibawa-bawa dalam penjelasan ilmiah. Misalnya

(15)

bagi Laplace (w. 1827), kehadiran Tuhan dalam pandangan ilmiah hanyalah menempati posisi hipotesa. Dan ia mengatakan, sekarang saintis tidak memerlukan lagi hipotetsa tersebut, karena alam telah bisa dijelaskan secara ilmiah tanpa harus merujuk kepada Tuhan. Baginya, bukan Tuhan yang telah bertanggung jawab atas keteraturan alam, tetapi adalah hukukm alam itu sendiri. Jadi Tuhan telah diberhentikan sebagai pemelihara dan pengatur alam.

Mengenai hal ini, maka filsafat menjadi sarana b. Filsafat sebagai Pendukung Agama

Berbeda dengan yang dikonsepsikan al-Ghazali, di mana filsafat dipandang sebagai lawan bagi agama, kini filsafat bisa kita jadikan sebagai mitra atau pendukung bagi agama. Dalam keadaan di mana agama mendapat serangan yang gencar dari sains dan filsafat modern, filsafat Islam bisa bertindak sebagai pembela atau tameng bagi agama, dengan cara menjawab serangan sains dan filsafat modern terhadap agama secara filosofis dan rasional. Selama ini filsafat dicurigai sebagai disiplin ilmu yang dapat mengancam agama. Ya, memang betul. Apaalagi filsafat yang selama ini kita pelajari bukanlah filsafat Islam, melainkan filsafat Barat yang telah lama tercerabut dari akar-akar metafisiknya. Tetapi kalau kita betul-betul mempelajari filsafat Islam dan mengarahkannya secara benar, maka filsafat Islam juga adalag sangat potensial untuk menjadi mitra filsafat atau bahwan pendukung agama.

Demikian juga serangan terhadap validitas pengalaman mistik dan religius, juga telah dijawab secara mendalam oleh Muhammad Iqbal dalam bukunya Reconstruction of Religiuous Thought in Islam

dan Mehdi Ha’iri Yazdi dalam bukunya The Principle of Epistemology

in Islamic Philosophy: Knowledge by Presence. Dalam kedua karya

(16)

saja masih banyak hal yang dapat dilakukan filsafat Islam untuk mendukung agama, yang tidak pada tempatnya untuk dijelaskan secara rinci di sini.

7. Analisis Metode

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, terlihat Al-Fârâbî mendefinisikan kebijaksanaan tertinggi sebagai "pengetahuan paling tinggi tentang Yang Maha Esa sebagai Sebab pertama dari setiap eksistensi sekaligus Kebenaran pertama yang merupakan sumber dari setiap kebenaran". Mengikuti Aristoteles, Al-Fârâbî menggunakan istilah filsafat untuk merujuk pada pengetahuan metafisis yang diungkapkan dalam bentuk-bentuk rasional serta ilmu-ilmu,yang dijabarkan dari pengetahuan metafisis yang didasarkan pada metode demonstrasi yang meyakinkan. Karena itu, filsafat Al-Fârâbî terdiri dari empat bagian: ilmu-ilmu matematis, fisika (filsafat alam), metafisika, dan ilmu tentang masyarakat (politik). Perbedaan filsafat-agama oleh Al-Fârâbî dibayangkan dalam konteks satu tradisi wahyu yang sama. Tetapi perbedaan itu memiliki keabsahan universal, yang dapat diterapkan bagi setiap tradisi wahyu. Dengan meninjau tiap-tiap tradisi dalam batas-batas pembagian hierarkis menjadi filsafat dan agama, Al-Farabi memberikan teori untuk menjelaskan fenomena, keragaman agama. Menurutnya, agama berbeda itu satu sama lain karena kebenaran-kebenaran intelektual dan spiritual yang sama bisa jadi memiliki banyak penggambaran imajinatif yang berlainan. Kendati demikian, terdapat kesatuan pada setiap tradisi wahyu didataran filosofis, karena pengetahuan filosofis tentang realitas sesungguhnya hanya satu dan sama bagi setiap bangsa dan masyarakat.

(17)

meskipun dia berpendapat bahwa sebagian dari lambang dan citra religius agama tersebut tak memuaskan atau bahkan membahayakan. Tulisnya:

Tiruan dari hal-hal macam itu bertingkat-tingkat dalam keutamaannya; penggambaran imajinatif sebagian dari mereka lebih baik dan lebih sempurna, sementara yang lainnya kurang baik dan kurang sempurna; sebagian lebih dekat pada kebenaran, sebagian lain lebih jauh. Dalam beberapa hal, butir-butir pandangannya sedikit-atau bahkan tidak dapat-diketahui, atau malah sulit berpendapat menentang mereka, sementara dalam beberapa hal lainnya, butir-butir pandangannya banyak atau mudah dilacak, di samping mudah memahami pendapat tentang mereka atau untuk menolak mereka.

Perbedaan filsafat-agama sebagaimana telah dirumuskan Al-Fârâbî, lagi-lagi, menjadi fokus pemusatan hierarki ilmu dalam pemikirannya. Ketika perbedaan ini diterapkan baik pada dimensi teoretis maupun praktis dari wahyu, seperti dikemukakan sebelumnya, kita akan sampai pada hasil yang menyoroti lebih jauh perlakuan Al-Fârâbî terhadap ilmu-ilmu religius dalam klasifikasinya dikaitkan dengan ilmu-ilmu filosofis. Kalâm dan fiqh, satu-satunya ilmu-ilmu religius yang muncul dalam klasifikasinya, Al-Fârâbî adalah ilmu-ilmu eksternal atau eksoterik dari dimensi-dimensi wahyu secara teoretis dan praktis. Metafisika (al-'ilm al-ilâhî) dan politik (al-'ilm al-madanî) berturut-turut merupakan mitra filosofisnya.

(18)

bahwa kenabian adalah suatu bentuk imajinasi tertinggi. Dengan prestasi-prestasi yang hebat dalam filsafat, Ibn Sina kemudian diberi gelar Guru Utama (al-Syaikh al-Rais).

Dari analisis di atas maka penulis memandang bahwa model kajian filsafat Al-Farabi dan Ibnu Sina cendrung pada model atau metode analisis yaitu suatu metode untuk memahami nilai-nilai kefilsafatan secara detil dengan menguraikan makna-makna yang terkandung dalam data-data, serta menghubungkan makna tersebut dengan makna lain yang didapat dari kandungan data yang lain pula, sehingga diperoleh sebuah kesimpulan akhir yang dianggap benar, dan metode sistesis, yaitu metode yang menyatupadukan berbagai esensi dan keterangan yang mendasar, sehingga tersusun sebuah pandangan baru dalam bidang kefilsafatan, sebagai hasil konvergensi berbagai macam esensi.

C. SIMPULAN

Dari pembahasan yang telah penulis uraikan maka dapat di ambil kesimpulan sebagai berikut :

1. Pengertian dari filsafat secara umum adalah berarti cinta kebijaksanaan. Maksud sebenarnya adalah pengetahuan tentang kenyataan-kenyataan yang paling umum dan kaidah-kaidah realitas serta hakekat manusia dalam segala aspek perilakunya seperti: logika, etika, estetika dan teori pengetahuan

(19)
(20)

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Abbas Mahmud Aqqad, Filsafat Pemikiran Ibn Sina,Solo: Pustaka Mantiq, 1988

Amin Abdullah, Teologi dan Filsafat dalam Perspektif Globalisasi E Mukti Ali,

Agama Dalam Pergumulan Masyarakat, Yogya, Tiara Wacana, 1998

______, Falsafah Kalam di Era Posmodernisme, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995

Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang. 1973

Husain Nasr, Tiga Pemikir Islam, terj. A. Mujahid, Bandung, Risalah, 1986

Ibrahim Madkour, “Al-Farabi” dalam MM. Syarif (Ed), History of Muslim Philosophy alih bahasa Ilyas Hasan Para Filosof Muslim Bandung : Mizan, 1992

______, Filsafat Islam: Metode dan Penerapannya I. ter. Yudian Wahyudi Asmin dan Ahmad Hakim Mudzakir. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996

JMW Bakker, Sejarah Filsafat dalam Islam Yogyakarta : Kanisius, 1986

Koento Wibisono S. Dkk, Filsafat Ilmu Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan, Klaten: Intan Pariwara, 1997

Leaman, Oliver Pengantar Filsafat Islam, Jakarta, Rajawali Pres, 1988

Liang Gie The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Liberty, 1999., Cet. Ke-4

Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy. New York: Columbia University Press, 1983

______, Sejarah Filsafat Islam, ter. Mulyadhi KartanegaraJakarta: Pustaka Jaya, 1987

Nurcholis Madjid, Khazanah Intelektual Nurcholish Islam Jakarta : Bulan Bintang,1984

Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilizatiob in Islam. New York: New American Library, 1970,

Referensi

Dokumen terkait

Dari tabel 4.3 secara keseluruhan dari hasil pengujian dengan menggunakan variabel perubahan jumlah node pada masing-masing node pedestrian, cars dan tram serta

Pengendalian ion-ion dalam air boiler tersebut pada sistem boiler dilakukan dengan membuang sebagian dari air boiler secara kontinyu dandisebut sebagai blow-down; Tujuan

Berdasarkan hasil penelitian serta analisis data dan pembahasan yang telah dilakukan terhadap keputusan masyarakat dalam memilih apartemen di Kota Depok, didapatkan

Kemungkinan intervensi yang dilakukan oleh kesehatan masyarakat mencakup tentang meningkatkan usia mengemudi, menuntut standar yang ketat untuk lisensi,

Kondisi pada kuadran II ini merupakan kondisi yang cukup rawan karena akan menjadi ajang kepentingan banyak pihak, termasuk pihak asing untuk berebut memanfaatkan (eksploitasi)

kokurikuler yang dikelola secara integritas dalam mencapai tujuan kurikulum. 3) Meningkatkan relevansi dan efektivitas pembelajaran sesuai dengan kebutuhan. peserta didik

Publikasi ilmiah juga harus diperhatikan oleh dosen dan peneliti agar karya ilmiah mereka tidak terjerumus ke dalam jurnal predator dan benar-benar terindeks oleh pangkalan

Manfaat sistem ini adalah menciptakan suatu aliran informasi yang baru sebagai media penerima dan penyampai informasi yang terstruktur, konsisten dan dinamis dalam satu