6 2.1 KAJIAN TEORI
2.1.1 Hasil Belajar
Hasil belajar adalah salah satu bagian terpenting dalam pembelajaran.
Nana Sudjana (2009:3) mengemukakan bahwa hasil belajar siswa pada
hakikatnya adalah perubahan tingkah laku sebagai hasil belajar dalam
pengertian luas mencangkup bidang kognitif, afektif, dan psikomotorik.
Sedangkan menurut Agus Suprijono (2009:5) hasil belajar adalah pola-pola
perbuatan, nilai-nilai, pengertian-pengertian, sikap-sikap, apresiasi dan
keterampilan. Selanjutnya Dimyati dan Mudjiono (2013:3) menyebutkan
bahwa hasil belajar merupakan hasil dari suatu interaksi tindak belajar dan
tindak mengajar. Dari sisi guru, tindak mengajar diakhiri dengan proses
evaluasi hasil belajar. Dari sisi siswa, hasil belajar merupakan berakhirnya
pengajaran dari puncak proses belajar.
Berdasarkan pendapat para ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa hasil
belajar merupakan perubahan dari kemampuan yang dimiliki siswa setelah
melakukan proses pembelajaran, baik kemampuan kognitif, afektif, maupun
psikomotorik. Hasil belajar dapat dilihat dari kegiatan evaluasi dalam proses
pembelajaran, kegiatan evaluasi mempunyai tujuan untuk mendapatkan data
yang dapat menunjukkan kemampuan siswa dalam mencapai tujuan
pembelajaran.
Bloom, dkk (Dimyati dan Mudjiono, 2013: 26) menyebutkan enam jenis
perilaku ranah kognitif, yaitu:
1) Pengetahuan, mencapai kemampuan ingatan tentang hal yang telah
dipelajari dan tersimpan dalam ingatan. Pengetahuan itu berkenaan
dengan fakta, peristiwa, pengertian kaidah, teori, prinsip, atau metode.
2) Pemahaman, mencakup kemampuan menangkap arti dan makna tentang
3) Penerapan, mencangkup kemampuan menerapkan metode dan kaidah
untuk menghadapi masalah yang nyata dan baru. Misalnya,
menggunakan prinsip.
4) Analisis, mencakup kemampuan merinci suatu kesatuan ke dalam
bagian-bagian sehingga struktur keseluruhan dapat dipahami dengan
baik. Misalnya mengurangi masalah menjadi bagian yang telah kecil.
5) Sintesis, mencakup kemampuan membentuk suatu pola baru. Misalnya
kemampuan menyusun suatu program.
6) Evaluasi, mencakup kemampuan membentuk pendapat tentang
beberapa hal berdasarkan kriteria tertentu. Misalnya, kemampuan
menilai hasil karangan.
2.1.2 Model Pembelajaran
Model pembelajaran merupakan landasan praktik pembelajaran hasil
penurunan teori psikologi pendidikan dan teori belajar yang dirancang
berdasarkan analisis terhadap implementasi kurikulum dan implikasinya
pada tingkat operasional di kelas (Suprijono, 2009:45). Sedangkan menurut
Joyce dan Well (Rusman, 2010:133) model pembelajaran adalah suatu
rencana atau pola yang dapat digunakan untuk membentuk kurikulum
(rencana pembelajaran jangka panjang), merancang bahan-bahan
pembelajaran, dan membimbing pembelajaran di kelas atau yang lain.
Selain itu menurut Arends model pembelajaran mengacu kepada suatu
pendekatan pembelajaran tertentu termasuk tujuannya, sintaksnya,
lingkungannya, dan sistem manajemennya (Hariyanto dan Warsono,
2013:173). Merujuk pemikiran Joyce (Suprijono, 2009:46), fungsi model
pembelajaran yaitu guru dapat membantu siswa mendapat informasi, ide
ketrampilan, cara berpikir, dan mengekspresikan ide.
Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa
model pembelajaran adalah sebuah pola yang digunakan sebagai pedoman
2.1.3 Pengertian Model Pembelajaran Kooperatif
Hamid Hasan dalam Solihatin dan Raharjo (2009:4) kooperatif
mengandung pengertian bekerja bersama untuk mencapai tujuan bersama.
Menurut Johnson & Johnson dalam Warsono dan Hariyanto (2013:161)
mendefinisikan pembelajaran kooperatif adalah penerapan pembelajaran
terhadap kelompok kecil sehingga para siswa dapat bekerja sama untuk
memaksimalkan pembelajaran sendiri serta memaksimalkan pembelajaran
anggota kelompok yang lain. Sedangkan Slavin dalam Isjoni (2013:15)
menyatakan bahwa pembelajaran kooperatif adalah sebuah model
pembelajaran di mana siswa belajar dan bekerja dalam kelompok-kelompok
kecil secara kolaboratif yang anggotanya terdiri dari 4 sampai 6, dengan
struktur kelompok yang bersifat heterogen. Selain itu Solihatin dan Raharjo
(2009:4) menyatakan bahwa Pembelajaran kooperatif adalah sesuatu sikap
atau perilaku bersama dalam bekerja atau membantu di antara sesama dalam
struktur kerja sama yang teratur dalam kelompok, yang terdiri dari dua
orang atau lebih di mana keberhasilan kerja sangat dipengaruhi oleh
keterlibatan dari setiap anggota kelompok itu sendiri. Selanjutnya Rusman
(2010:204) mendefinisikan pembelajaran kooperatif sebagai teknik
pengelompokan yang di dalamnya siswa bekerja terarah pada tujuan belajar
bersama dalam kelompok kecil yang umumnya terdiri dari 4-5 orang. Dan
Agus Suprijono (2009:54) menyatakan bahwa pembelajaran kooperatif
adalah konsep yang lebih luas meliputi semua jenis kerja kelompok
termasuk bentuk-bentuk yang lebih dipimpin oleh guru atau diarahkan oleh
guru.
Jadi dapat disimpulkan bahwa pembelajaran kooperatif adalah
pembelajaran yang menuntut siswa belajar dan bekerjasama didalam
kelompok untuk mencapai tujuan yang sama. Faktor-faktor yang
mempengaruhi kelompok (Gulo, 2002:130-131):
1) Anggota yang sok tahu, yang selalu tidak setuju dan tidak menghargai
2) Anggota yang suka berbicara, berbicara terlalu banyak sehingga
anggota lain bersifat pasif dan hanya berfungsi sebagai pendengar.
3) Kepopuleran anggota
4) Status sosial anggota
5) Perasaan ragu
6) Merasa rendah diri sehingga mudah tersinggun jika dikritik, reaksi
berlebihan jika mendapat pujian, menganggap bahwa semua kecaman
atau kritik diarahkan pada dirinya, suka mengecam atau merendahkan
orang lain.
7) Anggota yang selalu siap membantu, baik dalam memberikan
informasi, saran, atau tenaga yang diperlukan dalam proses kerja
kelompok.
8) Besarnya kelompok
2.1.4 Unsur-Unsur Pembelajaran Kooperatif
Menurut Roger dan David Johnson (Suprijono, 2009:58) cooperative
learning memiliki lima unsur, yaitu:
a. Postive interdependence (saling ketergantungan positif)
Ada beberapa cara untuk menumbuh kembangkan rasa saling
ketergantungan positif, yaitu:
1) Menumbuhkan perasaan peserta didik bahwa dirinya terintegrasi
dalam kelompok, pencapaian tujuan terjadi jika semua anggota
kelompok mencapai tujuan.
2) Mengusahakan agar semua anggota kelompok mendapatkan
penghargaan yang sama jika kelompok mereka berhasil mencapai
tujuan.
3) Mengatur sedemikian rupa sehingga setiap peserta didik dalam
kelompok hanya mendapatkan sebagian dari keseluruhan tugas
4) Setiap peserta didik ditugasi dengan tugas atau peran yang saling
mendukung, saling berhubungan, saling melengkapi dan saling terikat
dengan peserta didik lain dalam kelompok.
b. Personal responsibility (tanggung jawab perseorangan)
Tujuan cooperative learning adalah untuk membentuk semua anggota
kelompok menjadi pribadi yang kuat. Tanggung jawab perseorangan
adalah kunci untuk menjamin semua anggota yang diperkuat oleh
kegiatan belajar bersama. Artinya, setelah mengikuti kelompok belajar
bersama, anggota kelompok harus dapat menyelesaikan tugas yang sama.
Beberapa cara untuk menumbuhkan tangung jawab perseorangan yaitu:
1) Kelompok belajar jangan terlalu besar.
2) Melakukan assesment terhadap setiap siswa.
3) Memberi tugas kepada siswa, yang dipilih secara random untuk
mempresentasikan hasil kelompoknya kepada guru maupun kepada
seluruh peserta didik di depan kelas.
4) Mengamati setiap kelompok dan mencatat frekuensi individu dalam
membantu kelompok.
5) Menugasi seseorang peserta didik untuk berperan sebagai pemeriksa
di kelompoknya.
6) Menugasi peserta didik mengajar temannya.
c. Face to face promotive interaction (interaksi promotif)
Ciri-ciri interaksi promotif adalah :
1) Saling membantu secara efektif dan efisien.
2) Saling memberi informasi dan sarana yang diperlukan.
3) Memproses informasi bersama secara lebih efektif dan efisien.
4) Saling mengingatkan.
5) Saling membantu dalam merumuskan dan mengembangkan
argumentasi serta meningkatkan kemampuan wawasan terhadap
masalah yang dihadapi.
6) Saling percaya.
d. Interpersonal skill (komuniksi antaranggota).
Untuk mengoordinasi kegiatan peserta didik dalam pencapaian tujuan
peserta didik harus:
1) Saling mengenal dan mempercayai.
2) Mampu berkomunikasi secara akurat dan tidak ambisius.
3) Saling menerima dan saling mendukung.
4) Mampu menyelesaikan konflik secara konstruktif.
e. Group processing (pemrosesan kelompok).
Pemrosesan mengandung arti menilai. Melalui pemrosesan kelompok
dapat diidentifikasi dari urutan atau tahapan kegiatan kelompok dan
kegiatan dari anggota kelompok. Tujuan pemrosesan kelompok adalah
meningkatkan efektifitas anggota dalam memberikan kontribusi terhadap
kegiatan kolaboratif untuk mencapai tujuan kelompok.
2.1.5 Sintak Model Pembelajaran Kooperatif
Dalam bekerja dalam kelompok, pembagian kerja yang kurang adil tidak
perlu terjadi jika guru benar-benar menerapkan prosedur model
pembelajaran kooperatif. Guru biasanya hanya membagi peserta didik
dalam kelompok kemudian memberi tugas untuk menyelesaikan sesuatu
tanpa pedoman mengenai hal yang dikerjakan. Akhirnya, peserta didik
merasa diterlantarkan. Karena mereka belum berpengalaman, mereka
merasa bingung dan tidak tahu bagaimana harus bekerjasama mengerjakan
tugas tersebut. Hal tersebut berakibat kelas gaduh. Supaya hal ini tidak
terjadi maka guru wajib memahami sintak model pembelajaran kooperatif
pada tabel 2.1.
Tabel 2.1 Sintak Pembelajaran Kooperatif
Fase-Fase Perilaku Guru
Fase 1: Present goals and set
Menyampaikan tujuan dan
mempersiapkan peserta didik
Fase 2: Present information
Menyajikan informasi Mempresentasikan informasi kepada
peserta didik secara verbal Fase 3: Organize students into
learning teams
Mengorganisir peserta didik kedalam tim-tim belajar.
Memberikan penjelasan kepada
peserta didik tentang tata cara
pembentukantim belajar dan
membantu kelompok melakukan transisi yang efisien
Fase 4: Assist team work and study
Membantu kerja tim dan belajar
Membantu tim-tim belajar selama peserta didik mengerjakan tugas Fase 5: Test on the materials
Mengevaluasi Menguji pengetahuan peserta didik
mengenal berbagai materi
pembelajaran atau
kelompok-kelompok mempresentasikan
hasilnya. Fase 6: Provide recognition
Memberikan pengakuan atau
penghargaan.
Mempersiapkan cara untuk
mengakui usaha dan prestasi
individual maupun kelompok
Sumber: Suprijono, 2009:65
2.1.6 Kancing Gemerincing
Salah satu tipe model pembelajaran kooperatif adalah kancing
gemerincing. Tipe kancing gemerincing dikembangkan pertama kali oleh
Spencer Kagan (1992), Kagan mengemukakan kancing gemerincing dengan
istilah talking chips. Chips yang dimaksud oleh kagan dapat berupa benda
berwarna yang mempunyai ukuran kecil, misalnya kancing, biji kacang,
pensil, dan lain sebagainya. Chips dalam pembelajaran kooperatif teknik
kancing gemerincing digunakan untuk mendorong partisipasi yang sama
dalam kerja kelompok (Jacobs, dkk, 1997: 58). Di Indonesia talking chips
dikenal sebagai model pembelajaran kooperatif tipe kancing gemerincing
yang dikenalkan oleh Anita Lie.
Menurut Lie (2004:63) dalam kegiatan kancing gemerincing,
kontribusi mereka dan mendengarkan pandangan dan pemikiran anggota
yang lain. Keunggulan dari tipe ini adalah untuk mengatasi hambatan
pemerataan kesempatan yang sering mewarnai kerja kelompok. Dalam
banyak kelompok, sering ada anak yang terlalu dominan dan banyak bicara.
Sebaliknya, juga ada anak yang pasif dan pasrah saja pada rekannya yang
lebih dominan. Dalam situasi seperti ini pemerataan tanggungjawab dalam
kelompok bisa tidak tercapai karena anak yang pasif terlalu
menggantungkan diri pada rekannya yang dominan. Teknik ini memastikan
setiap siswa mendapatkan kesempatan untuk berperan serta.
Langkah-langkah penerapan tipe Kancing Gemerincing (Huda, 2011:141):
1) Guru menyiapkan satu kotak kecil yang berisi kancing-kancing (atau
benda-benda kecil lainnya)
2) Sebelum kelompok memulai tugasnya, masing-masing anggota dari
setiap kelompok mendapatkan dua atau tiga buah kancing (jumlah
kancing bergantung pada sukar tidaknya tugas yang diberikan).
3) Setiap kali anggota selesai berbicara atau mengeluarkan pendapat, dia
harus menyerahkan salah salah satu kancingnya dan meletakkannya di
tengah-tengah meja kelompok.
4) Jika kancing yang dimiliki salah seorang siswa habis, dia tidak boleh
berbicara lagi sampai semua rekannya menghabiskan kancingnya
masing-masing.
5) Jika semua kancing sudah habis, sedangkan tugas belum selesai,
kelompok boleh mengambil kesempakat untuk membagi-bagi kancing
lagi dan mengulangi prosedurnya kembali.
Ilustrasi model pembelajaran kooperatif tipe kancing gemerincing dapat
Sumber: Jacobs, dkk, 1997:58
Gambar 2.1
Ilustrasi model pembelajaran kooperatif tipe kancing gemerincing
2.1.7 Pendekatan Scientific
Pembelajaran dengan pendekatan scientific adalah proses pembelajaran
yang dirancang sedemikian rupa agar peserta didik secara aktif
mengkonstruksi konsep, hukum atau prinsip melalui tahapan-tahapan
mengamati, merumuskan masalah, merumuskan hipotesis, mengumpulkan
data dengan berbagai teknik, menganalisis data, menarik kesimpulan dan mengomunikasikan konsep, hukum atau prinsip yang “ditemukan” (Daryanto, 2014: 51) . Pendekatan scientific dimaksudkan untuk
memberikan pemahaman kepada peserta didik dalam mengenal, memahami
berbagai materi menggunakan pendekatan ilmiah, bahwa informasi bisa
berasal dari mana saja, kapan saja, tidak bergantung pada informasi searah
dari guru. Oleh karena itu kondisi pembelajaran yang diharapkan tercipta
diarahkan untuk mendorong peserta didik dalam mencari tahu dari berbagai
sumber melalui observasi, dan bukan hanya diberi tahu.
Pembelajaran dengan metode scientific memiliki karakteristik (Hosnan,
2014: 36):
2) Melibatkan keterampilan proses sains dalam mengkontruksi konsep,
hukum atau prinsip.
3) Melibatkan proses-proses kognitif yang potensial dalam merangsang
perkembangan intelek, khususnya keterampilan berfikir tingkat tinggi
siswa.
4) Dapat mengembangkan karakter siswa.
Sedangkan prinsip pendekatan scientific dalam kegiatan pembelajaran
(Sani dan Kurniasih, 2014: 34):
a. Pembelajaran berpusat pada siswa
b. Pembelajaran membentuk student self concept
c. pembelajaran terhindar dari verbalisme
d. pembelajaran memberikan kesempatan pada siswa untuk mengasimilasi
dan mengakomodasi konsep, hukum, dan prinsip.
e. Pembelajaran mendorong terjadinya peningkatan kemampuan berfikir
siswa.
f. Pembelajaran meningkatkan motivasi belajar siswa dan motivasi
mengajar guru
g. Memberikan kesempatan kepada siswa untuk melatih kemampuan dalam
mengkomunikasi
h. Adanya proses validasi terhadap konsep, hukum, dan prinsip yang
dikonstruksi siswa dalam struktur kognitif.
Langkah-langkah pendekatan ilmiah (scientific appoach) dalam proses
pembelajaran meliputi menggali informasi melalui pengamatan, bertanya,
percobaan, kemudian mengolah data atau informasi, menyajikan data atau
informasi dilanjutkan dengan menganalisis, menalar, kemudian
menyimpulkan, dan mencipta (Daryanto, 2014 : 59). Hal tersebut dapat
Sumber: Daryanto (2014:59)
Gambar 2.2 Langkah-langkah pendekatan scientific dalam proses
pembelajaran
Pendekatan Scientific dalam pembelajaran disajikan sebagai berikut:
a. Mengamati (Observing)
Metode mengamati mengutamakan kebermaknaan proses
pembelajaran. Metode ini memiliki keunggulan tertentu, seperti
menyajikan media objek secara nyata, peserta didik senang dan
tertantang, dan mudah pelaksanaannya.
Metode mengamati sangat bermanfaat bagi pemenuhan rasa ingin tahu
peserta didik, sehingga proses pembelajaran memiliki kebermaknaan
yang tinggi. Dengan metode observasi peserta didik menemukan fakta
bahwa ada hubungan antara obyek yang dianalisis dengan materi
pembelajaran yang digunakan oleh guru.
Kegiatan mengamati dalam pembelajaran sebagaimana
disampaikandalam Permendikbud Nomor 81a, hendaklah seorang guru
membuka luas dan bervariasi kesempatan peserta didik untuk melakukan
pengamatan melalui kegiatan melihat, menyimak, mendengar, dan
membaca. Guru memfasilitasi peserta didik untuk melakukan
pengamatan, melatih mereka untuk memperhatikan (melihat, membaca,
mendengar) hal yang penting dari suatu benda atau objek. Adapun
kompetensi yang diharapkan adalah melatih kesungguhan, ketelitian, dan
mencari informasi.
Observing (mengamati)
Questioning (menanya)
Associating (menalar)
Experimentil (mencoba)
b. Menanya (Questioning)
Dalam kegiatan mengamati, guru membuka kesempatan secara luas
kepada peserta didik untuk bertanya mengenahi apa yang sudah dilihat,
disimak, dibaca atau dilihat. Guru perlu membimbing peserta didik untuk
dapat mengajukan pertanyaan tentang hasil pengamatan objek yang
konkrit sampai kepada yang abstrak berkenaan dengan fakta, konsep,
prosedur, atau hal lain yang lebih abstrak. Dari situasi di latih
menggunakan pertanyaan dari guru, masih memerlukan bantuan guru
untuk mengajukan pertanyaan sampai ke tingkat di mana peserta didik
mampu mengajukan pertanyaan secara mandiri.
Kegiatan menanya dalam kegiatan pembelajaran sebagaimana
disampaikan dalam Permendikbud nomor 81a tahun 2013, adalah
mengajukan pertanyaan tentang informasi yang tidak dipahami dari apa
yang diamati atau pertanyaan untuk mendapatkan informasi tambahan
tentang apa yang diamati. Adapun kompetensi yang diharapkan dalam
kegiatan ini adalah mengembangkan kreativitas, rasa ingin tahu,
kemampuan merumuskan pertanyaan untuk membentuk pikiran kritis
yang perlu untuk hidup cerdas dan belajar sepanjang hayat.
c. Menalar (Associating)
Kegiatan menalar dalam kegiatan pembelajaran sebagaimana
disampaikan dalam Permendikbud Nomor 81a tahun 2013, adalah
memproses informasi yang sudah dikumpulkan baik terbatas dari hasil
kegiatan mengumpulkan maupun hasil dari kegiatan mengamati dan
kegiatan mengumpulkan informasi. Kegiatan ini dilakukan untuk
menemukan keterkaitan satu informasi dengan informasi lainnya,
menemukan pola dari keterkaitan informasi tersebut. Adapun kompetensi
yang diharapkan adalah mengembangkan sikap jujur, teliti, disiplin, dll.
Aktivitas ini diistilahkan sebagain kegiatan menalar, yaitu proses berfikir
yang logis dan empiris yang dapat diobservasi untuk memperoleh
d. Mencoba (Experimental)
Untuk memperoleh hasil belajar yang nyata, peserta didik harus
mencoba atau melakukan percobaan, terutama untuk materi atau
substansi yang sesuai. Pada mata pelajaran IPA, misalnya peserta didik
harus memahami konsep-konsep IPA dan kaitannya dengan kehidupan
sehari-hari. Peserta didik harus memiliki keterampilan proses untuk
menggembangkan pengetahuan tentang alam sekitar, serta mampu
menggunakan metode ilmiah dan bersikap ilmiah untuk memecahkan
masalah-masalah yang dihadapi sehari-hari.
e. Menarik Kesimpulan
Kegiatan menyimpulkan dalam pembelajaran dengan pendekatan
scientific merupakan kelanjutan dari kegiatan mengolah data. Setelah
menemukan keterkaitan antara informasi dan menemukan berbagai pola
dari keterkaitan tersebut, selanjutnya secara bersama-sama dalam satu
kesatuan kelompok atau secara individual membuat kesimpulan.
f. Mengkomunikasikan
Pada pendekatan scientific guru diharapkan memberi kesempatan
kepada peserta didik untuk mengkomunikasikan apa yang telah mereka
pelajari. Kegiatan ini dilakukan melalui menulis atau menceritakan apa
yang ditemukan dalam kegiatan mencari informasi, mengasosiasikan dan
menemukan pola.
2.1.8 Model Pembelajaran Kancing Gemerincing dan Model Pendekatan
Scientific
Dalam pendekatan scientific diharapkan siswa dapat aktif dalam
mengikuti proses pembelajaran dikelas. Salah satu model pembelajaran
yang membuat siswa aktif dikelas adalah model pembelajaran kooperatif.
Pembelajaran kooperatif mempunyai beberapa tipe, salah satunya adalah
tipe kancing gemerincing. Berdasarkan hal tersebut tampak bahwa
pembelajaran scientific dan model pembelajaran kooperatif tipe kancing
pembelajaran. Selain itu, hubungan antara pembelajaran kooperatif tipe
kancing gemerincing dan pendekatan scientific juga dapat dilihat pada
langkah-langkah pembelajaran kooperatif tipe kancing gemerincing dan
pendekatan scientific yang sudah dipaparkan dalam bab sebelumnya.
Langkah-langkah tersebut dapat digabungkan dalam satu pembelajaran,
sehingga dapat menjadikan pembelajaran yang menarik dan membuat siswa
aktif. Dalam penelitian ini langkah-langkah pembelajaran menggunakan
model pembelajaran kooperatif, dan pada tahap siswa berdiskusi digunakan
teknik kancing gemerincing. pendekatan scientific digunakan pada proses
pembelajaran. Dalam penelitian ini pembelajaran kooperatif digunakan
dengan pendekatan scientific, karena model pembelajaran kooperatif tipe
kancing gemerincing di gunakan untuk membantu serta melengkapi
kekurangan pada pendekatan scientific, khususnya pada tahap pendekatan
scientific yang ke- 5 yaitu membentuk jejaring. Karena pada tahap tersebut
setiap siswa belum diberi kesempatan secara merata dalam
mengkomunikasikan apa yang dipelajari, sehingga dilengkapi dengan
kancing gemerincing.
2.2 KAJIAN HASIL-HASIL YANG RELEVAN
Penelitian yang relevan yang berkaitan dengan pembelajaran kooperatif
tipekancing gemerincing adalah :
a. Riski Astuti (2012), dalam penelitian yang berjudul “Upaya
Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Dengan Menggunakan Teknik
Kancing Gemerincing Pada Mata Pelajaran Sains di Kelas 5 SD Negeri 020270 Binjai Timur Tahun Ajaran 2011/2012”, dapat disimpulkan bahwa dari pemberian tindakan dengan pembelajaran menggunakam
teknik kancing gemerincing dapat meningkatkan hasil belajar siswa.
Terbukti pada tes awal, dari 18 orang siswa ditemukan 6 orang siswa
yang tuntas (33,30%) dan 12 orang siswa yang tidak tuntas (66,70%),
setelah dilakukan siklus I nilai rata-rata siswa meningkat dimana dari 18
siswa yang tidak tuntas (38,95%), selanjutnya pada siklus II meningkat
dari 18 siswa ditemukan 15 siswa tuntas (83,25%) dan 3 orang tidak
tuntas (16,75%).
b. Amora, dkk (2013). Dalam penelitian yang berjudul “Peningkatan
Partisipasi dan Hasil Belajar IPA dengan Model Pembelajaran Kooperatif
Tipe Kancing Gemerincing Pada Siswa Kelas V SDN 11 Enam Lingkung Padang Pariaman”, disimpulkan bahwa penggunaan tipe kancing Gemerincing dalam Pembelajaran IPA dapat meningkatkan partisipasi
siswa dalam pembelajaran dari 37,50% pada siklus I menjadi 62,49% dan
pada siklus II meningkatkan 24,99% dari siklus I. Serta meningkatkan
hasil belajar siswa yaitu terlihat dari rata-rata nilai siswa dari 37,03%,
pada siklus I meningkat menjadi 78,57% dan pada siklus II mengalami
peningkatan 41,54%.
c. Saputra, dkk (2014), dalam penelitiannya yang berjudul “Implementasi
Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Kancing Gemerincing untuk
Meningkatkan Aktivitas dan Hasil Belajar IPA Siswa Kelas IV SDN 1 Duda Utara” disimpulkan bahwa implementasi model pembelajaran kooperatif tipe kancing gemerincing dapat meningkatkan aktivitas dan
hasil belajar IPA pada siswa kelas IV SD Negeri 1 Duda Utara
Kecamatan Selat Kabupaten Karangasem tahun 2013/2014.
d. Fatoni (2002), dalam penelitiannya yang berjudul “Penerapan Model
Pembelajaran Kooperatif Tipe Kancing Gemerincing untuk
Meningkatkan Kemampuan menulis Dalam Melengkapi Cerita Rumpang
di Kelas IV SD Negeri 3 Mulur Kecamatan Bendosari Kabupaten Sukoharjo”, disimpulkan bahwa pembelajaran meningkatkan kemampuan menulis dalam melengkapi cerita rumpang menggunakan
model kooperatif tipe kancing gemerincing terbukti mengalami
peningkatan. Hal ini terbukti pada tes awal sebelum diberikan perlakuan
rata-rata skor sebesar 64,2. Pada peningkatan siklus I rata-rata skor
sebasar 73,5 dan tindakan pada siklus II rata-rata skor 78,3. Dengan
rumpang menggunakan model kooperatif tipe kancing gemerincing
meningkat dari tes awal ke siklus I sebesar 1, 45 %, dari siklus I kesiklus
II sebesar 1,63 %.
e. Mila Kartika Sari (2010), dalam penelitiannya yang berjudul “Penerapan
Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Kancing Gemerincing untuk
Meningkatkan Kemampuan Menulis Puisi”, disimpulkan bahwa hasil
penelitian yang telah dilakukan melalui penerapan model pembelajaran
kooperatif tipe kancing gemerincing mampu meningkatkan kemampuan
menulis puisi pada siswa kelas V SD Negeri Kepuh 2 Kecamatan Nguter
Kabupaten Sukoharjo tahun pelajaran 2009/2010, rata-rata hasil belajar
siswa mengalami kenaikan dari pratindakan sampai siklus III. Dari
pratindakan mengalami kenaikan sebesar 30% dari semula 49,3 menjadi
62,16 pada siklus I, dan kenaikan sebesar 50% dari semula 62,16 pada
siklus I menjadi 72,46 pada siklus II dan kenaikan sebesar 90% dari
semula 72,46 pada siklus II menjadi 80,62 pada siklus III.
2.3 KERANGKA BERFIKIR
Berdasarkan beberapa teori mengenahi pembelajaran yang dapat
meningkatkan hasil belajar siswa melalui penggunaan model pembelajaran
kooperatif tipe kancing gemerincing dengan pendekatan scientific, maka
terdapat suatu gagasan atau pendapat dari penulis. Gagasan tersebut apabila
Gambar 2.3 Kerangka Berfikir
2.4 HIPOTESIS PENELITIAN
Berdasarkan kajian teori-teori yang telah dipaparkan, maka dapat diambil
suatu hipotesis bahwa melalui penggunaan model pembelajaran kooperatif
tipe kancing gemerincing dengan pendekatan scientific dapat meningkatkan
hasil belajar mata pelajaran IPA pada siswa kelas V semester II SD Negeri
Rejosari 1 tahun ajaran 2014/2015.
Siklus II
Hasil belajar siswa semakin meningkat
Diduga melalui penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe kancing gemerincing dengan pendekatan scientific dapat meningkatkan hasil belajar IPA pada siswa kelas V semester II SD Negeri Rejosari 1 tahun ajaran 2014/2015.
KONDISI
AWAL
Guru: