• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mengelola Keuangan Rumah Tangga Yang Isl

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Mengelola Keuangan Rumah Tangga Yang Isl"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

Mengelola Keuangan Rumah Tangga Yang Islami

Nov 15, 2013 Artikel, Motivasi Diri 0

Oleh: Prof Muhammad (Ketua Sekolah Tinggi Ekonomi Islam (STEI) Yogyakarta)

Harta dalam Islam merupakan amanah dan hak milik seseorang.

Kewenangan untuk menggunakannya terkait erat dengan adanya kemampuan

(kompetensi) dan kepantasan (integritas) dalam mengelola aset atau dalam istilah prinsip kehati-hatian perbankan (prudential principle).

Prinsip Islam mengajarkan bahwa “Sebaik-baik harta yang shalih (baik)

adalah dikelola oleh orang yang berkepribadian shalih (amanah dan

profesional).”

Hak bekerja dalam arti kebebasan berusaha,

berdagang, memproduksi barang maupun jasa untuk mencari rezki Allah

secara halal merupakan hak setiap manusia tanpa diskriminasi antara laki

dan perempuan. Bila kita tahu bahwa kaum wanita diberikan oleh Allah

hak milik dan kebebasan untuk memiliki, maka sudah semestinya mereka

juga memiliki hak untuk berusaha dan mencari rezki.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memuji seseorang yang mengkonsumsi hasil usahanya

sendiri dengan sabdanya: “Tidaklah

seseorang mengkonsumsi makanan lebih baik dari mengkonsumsi makanan yang diperoleh dari hasil kerja sendiri, sebab nabi Allah, Daud, memakan makanan dari hasil kerjanya.” (HR. Bukhari). “Semoga Allah

merahmati seseorang yang mencari penghasilan secara baik, membelanjakan harta secara hemat dan menyisihkan tabungan sebagai persediaan di saat kekurangan dan kebutuhannya.” (HR. Muttafaq ‘Alaih).

Hal ini

menunjukkan bahwa Islam menghendaki setiap muslim untuk dapat mengelola

usaha dan berusaha secara baik, mengelola dan memenej harta secara

ekonomis, efisien dan proporsional serta memiliki semangat dan kebiasaan

menabung untuk masa depan dan persediaan kebutuhan mendatang. Prinsip

ini sebenarnya menjadi dasar ibadah kepada Allah agar dapat diterima

(mabrur) karena saran, niat dan caranya baik. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa

sallam bersabda:“Sesungguhnya Allah itu baik dan hanya menerima yang baik-baik saja.” (HR. Muslim).

Kesadaran

akuntabilitas (ma’uliyah) dalam bidang keuangan itu yang mencakup aspek

manajemen pendapatan dan pengeluaran timbul karena keyakinan adanya

(2)

“Kedua telapak kaki seorang hamba tidak akan beranjak dari tempat

kebangkitannya di hari kiamat sebelum ia ditanya tentang empat hal, di

antaranya tentang hartanya; dari mana dia memperoleh dan bagaimana ia

membelanjakan.” (HR. Tirmidzi). NAFKAH DALAM KELARGA

Secara

prinsip, fitrah kewajiban memberikan nafkah merupakan tanggung jawab

suami sehingga wajib bekerja dengan baik melalui usaha yang halal dan

wanita sebagai kaum istri bertanggung jawab mengelola dan merawat aset

keluarga. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: “Kaum

laki-laki itu adalah pengayom bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebahagian dari harta mereka…” (QS. An-Nisa:34). Dengan demikian, posisi

kepala rumah tangga bagi suami paralel dengan konsekuensi memberi nafkah

dan komitmen perawatan keluarganya secara lazim. Oleh karena itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamsecara proporsional telah mendudukkan posisi masing-masing bagi suami istri dalam

sabdanya: “Setiap

kalian adalah pengayom dan setiap pengayom akan dimintai

pertanggungjawaban atas apa yang harus diayominya. Suami adalah pengayom bagi keluarganya dan bertanggung jawab atas anggota keluarga yang

diayominya. Istri adalah pengayom bagi rumah tangga rumah suaminya dan akan dimintai pertanggungjawaban atas aset rumah tangga yang

diayominya…” (HR. Bukhari) Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahkan putrinya, Fatimah dengan Ali radhiyallahu ‘anhuma beliau berwasiat kepada menantunya: “Engkau

berkewajiban bekerja dan berusaha sedangkan ia berkewajiban mengurus (memenej) rumah tangga.” (HR. Muttafaq ‘Alaih)

Jadi,

sharing suami-istri dalam aspek keuangan keluarga adalah dalam bentuk

tanggung jawab suami untuk mencari nafkah halal dan tanggung jawab istri

untuk mengurus, mengelola, merawat dan memenej keuangan rumah tangga.

Meskipun demikian, bukan berarti suami tidak boleh memberikan bantuan

dalam pengelolaan aset dan keuangan rumah tangganya bila istri kurang

mampu atau memerlukan bantuan. Dan juga sebaliknya tidak ada larangan

Syariah bagi istri untuk membantu suami terlebih ketika kurang mampu

dalam memenuhi kebutuhan keluarga dengan cara yang halal dan baik serta

tidak membahayakan keharmonisan dan kebahagiaan rumah tangga selama

suami mengizinkan, bahkan hal itu akan bernilai kebajikan bagi sang

(3)

keluarga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. sebagai bentuk ukhuwah dan tolong menolong dalam

kebajikan. (QS.Al-Maidah:2)

Prinsip

keadilan Islam menjamin bagi kaum wanita hak untuk mencari karunia

Allah (rezki) sesuai kodrat tabiatnya dan ketentuan syariat dengan niat

mencukupi diri dan keluarga untuk beribadah kepada Allah secara khusyu’.

Meskipun demikian, istri harus memiliki keyakinan bahwa tugas utama

dalam keluarganya adalah mengatur urusan rumah tangga dan mengelola

keuangan keluarga bukan mencari nafkah. Para Ahli tafsir (Mufassirin) menyimpulkan dari surat An-Nisa: 32 : “bagi para lelaki ada bahagian

dari apa yang mereka usahakan dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan…”, prinsip dasar hak dan kebebasan

wanita untuk berusaha mencari rezki. Sejarah Islam di masa Nabi telah

membuktikan adanya sosial kaum wanita dalam peperangan, praktek

pengobatan dan pengurusan logistik. Di samping itu mereka juga terlibat

dalam aktivitas perniagaan dan membantu suami dalam pertanian. MANAJEMEN KEUANGAN KELUARGA

Manajemen

keuangan keluarga islami harus dilandasi prinsip keyakinan bahwa

penentu dan pemberi rezki adalah Allah dengan usaha yang diniati untuk

memenuhi kebutuhan keluarga agar dapat beribadah dengan khusyu’ sehingga

memiliki komitmen dan prioritas penghasilan halal yang membawa berkah

dan menghindari penghasilan haram yang membawa petaka. Rasulullah

bersabda: “Barang siapa berusaha dari yang haram kemudian menyedekahkannya, maka ia tidak mempunyai pahala dan dosa tetap di atasnya.”

Dalam riwayat lain disebutkan: “Demi

Allah yang jiwaku ada di tangan-Nya, tidaklah seorang hamba memperoleh penghasilan dari yang haram kemudian membelanjakannya itu akan mendapat berkah. Jika ia bersedekah, maka sedekahnya tidak akan diterima.

Tidaklah ia menyisihkan dari penghasilan haramnya itu kecuali akan

menjadi bekal baginya di neraka. Sesungguhnya Allah tidak akan menghapus kejelekan dengan kejelekan, tetapi menghapus kejelekan itu dengan

kebaikan sebab kejelekan tak dapat dihapus dengan kejelekan pula.” (HR. Ahmad) Dan sabdanya: “Daging yang tumbuh dari harta haram tidak akan bertambah kecuali neraka lebih pantas baginya.” (HR. Tirmidzi).

Seorang

wanita shalihah akan selalu memberi saran kepada suaminya ketika hendak

mencari rezki, “Takutlah kamu dari usaha yang haram sebab kami masih

mampu bersabar di atas kelaparan, tetapi tidak mampu bersabar di atas

api neraka.” Demikian pula sebaliknya suami akan berwasiat kepada

(4)

dikaruniakan-Nya, agar dibelanjakan secara benar tanpa boros, kikir maupun haram. Firman Allah yang memuji hamba-Nya yang baik: “..Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.” (QS. Al-Furqan:67)

Dalam mencari pendapatan, Islam tidak memperkenankan seseorang untuk ngoyo

dalam pengertian berusaha di luar kemampuannya dan terlalu terobsesi

sehingga mengorbankan atau menelantarkan hak-hak yang lain baik kepada

Allah, diri maupun keluarga seperti pendidikan dan perhatian kepada anak dan keluarga. Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya bagi dirimu, keluargamu dan tubuhmu ada hak atasmu yang harus engkau

penuhi, maka berikanlah masing-masing pemilik hak itu haknya.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Allah

telah menegaskan bahwa bekerja itu hendaknya sesuai dengan batas-batas

kemampuan manusia.(QS.Al-Baqarah:286). Namun bila kebutuhan sangat

banyak atau pasak lebih besar daripada tiang maka dibutuhkan kerjasama

yang baik dan saling membantu antara suami istri dalam memperbesar

pendapatan keluarga dan melakukan efisiensi dan penghematan sehingga

tiang penyangga lebih besar dari pada pasak. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Janganlah

kamu bebani mereka dengan apa-apa yang mereka tidak sanggup memikulnya. Dan apabila kamu harus membebani mereka di luar kemampuan, maka

bantulah mereka.” (HR. Ibnu Majah).

Dalam manajemen keuangan

keluarga juga tidak dapat dilepaskan dari optimalisasi potensi keluarga

termasuk anak-anak untuk menghasilkan rezki Allah. Islam senantiasa

memperhatikan masalah pertumbuhan anak dengan anjuran agar anak-anak

dilatih mandiri dan berpenghasilan sejak usia remaja di samping berhemat

agar pertumbuhan ekonomi keluarga muslim dapat berjalan lancar yang

merupakan makna realisasi keberkahan secara kuantitas maka Islam

melarang orang tua untuk memanjakan anak-anak sehingga tumbuh menjadi

benalu, tidak mandiri dan bergantung kepada orang lain. Firman Allah

Swt. di awal (QS. An-Nisa [4]:6) mengisyaratkan bahwa kita wajib

mendidik dan membiasakan anak-anak untuk cakap mengurus, mengelola dan

mengembangkan harta, sehingga mereka dapat hidup mandiri yang nantinya

akan menjadi kepala rumah tangga bagi laki-laki dan pengurus keuangan

keluarga bagi perempuan, di samping anak terlatih untuk bekerja,

meringankan beban dan membantu orang tua.

(5)

Pengeluaran

atau pembelanjaan adalah mengelola harta yang halal untuk mendapatkan

manfaat material ataupun spiritual sehingga membantu para anggota

keluarga dalam memenuhi kebutuhannya. Dalam hal ini terdapat beberapa

jenis pembelanjaan yang bermanfaat bagi generasi yang akan datang, dan

pembelanjaan dengan jalan baik (amal shaleh) untuk mendapatkan pahala di

akhirat, seperti zakat dan sedekah.

Syariat Islam mengajarkan beberapa aturan yang mengatur pembelanjaan keluarga muslim, di antaranya

secara garis besar adalah:

1. Komitmen pembelanjaan dan pemenuhan kebutuhan dana adalah kewajiban suami

Suami

bertanggung jawab mencari nafkah untuk istri dan anak-anaknya sesuai

dengan kebutuhan dan batas-batas kemampuannya. Allah berfirman: “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekadar) apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.” (QS. At-Thalaq [65]:7)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “barang siapa yang menafkahkan hartanya untuk istri, anak dan penghuni rumah tangganya, maka ia telah bersedekah.”

(HR. Thabrani). Hadits ini mengisyaratkan bahwa pemenuhan kebutuhan

dana atau pembelanjaan untuk anggota keluarga itu akan berubah dari

bentuk pengeluaran yang bersifat material (nafkah) menjadi pengeluaran

yang bersifat spiritual ibadah (infaq) yang membawa pahala dari Allah.

Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam Haji Wada’: “Ayomilah kaum wanita (para istri) karena Allah, sebab mereka adalah mitra

penolong bagimu. Kamu telah memperistri mereka dengan amanah Allah dan kemaluan mereka menjadi halal bagimu dengan kalimat Allah. Kamu berhak melarang mereka untuk membiarkan orang yang engkau benci memasuki kediamanmu. Mereka berhak atasmu untuk dipenuhi kebutuhan nafkah dan pakaian secara lazim.”

Menjawab pertanyaan seorang sahabat tentang kewajiban suami terhadap istrinya,

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Dia

memberinya makan ketika dia makan dan memberinya pakaian ketika ia berpakaian, serta janganlah dia meninggalkannya kecuali sekadar pisah ranjang dalam rumah. Ia tidak boleh memukul wajahnya dan

menjelek-jelekkannya.” Hindun binti Utbah, istri Abu Sufyan pernah mendatangi

(6)

pelit, “ia

tidak pernah memberiku dan anak-anakku nafkah secara cukup. Oleh karena itu aku pernah mencuri harta miliknya tanpa sepengetahuannya.” Lalu rasul

bersabda: “Ambillah dari hartanya dengan ma’ruf (baik-baik) sebatas apa yang dapat

mencukupimu dan anakmu.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Seorang sahabat bercerita kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa dia mempunyai uang satu dinar. Rasulullah bersabda: “Bersedekahlah

dengannya untuk dirimu, kemudian sahabat itu bertanya, ‘bagaimana jika aku mempunyai sesuatu yang lain?’ rasul menjawab, ‘bersedekahlah dengannya untuk istrimu.’ Kemudian ia bertanya lagi, ‘dan bagaimana jika aku mempunyai sesuatu yang lain?’ Rasul menjawab, ‘bersedekahlah dengannya untuk pelayanmu.” (HR. Muttafaq ‘Alaih).

2. Kewajiban menafkahi orang tua yang membutuhkan

Di

antara kewajiban anak adalah memberi nafkah kepada orang tuanya yang

sudah lanjut usia (jompo) sebagai salah satu bentuk berbuat baik kepada

orang tua, seperti diisyaratkan Al-Qur’an: “Tuhanmu telah

memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu

berbuat pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya.” (QS. Al-Isra:23). Rasul bersabda: “Kedua orang tua itu boleh makan dari harta anaknya secara ma’ruf (baik) dan

anak tidak boleh memakan harta kedua orang tuanya tanpa seizin mereka.” (HR. Dailami)

Menurut

Ibnu Taimiyah, seorang anak yang kaya wajib menafkahi bapak, ibu dan

saudara-saudaranya yang masih kecil. Jika anak itu tidak melaksanakan

kewajibannya, berarti ia durhaka terhadap orang tuanya dan berarti telah

memutuskan hubungan kekerabatan. Selain itu, suami dan istri harus

percaya bahwa memberi nafkah kepada kedua orang tua adalah suatu

kewajiban seperti halnya membayar utang kedua orang tua yang bersifat

mengikat dan bukan sekadar sukarela. Hal itu tidak sama dengan

memberikan sedekah kepada kerabat yang membutuhkan yang sifatnya

kebajikan.

3. Istri Boleh Membantu Keuangan Suami

Jika

seorang suami tidak mampu mencukupi kebutuhan rumah tangganya karena

fakir, istri boleh membantu suaminya dengan cara bekerja atau berdagang.

Hal itu merupakan salah satu bentuk ta’awun ‘ala birri wat taqwa

(saling tolong menolong dalam kebaikan dan ketakwaan) yang dianjurkan

(7)

suaminya yang fakir atau memberi pinjaman kepada suami apabila suami

tidak termasuk fakir yang berhak menerima zakat.

4. Istri Bertanggung Jawab Mengatur Keuangan Rumah Tangga

Telah

dijelaskan bahwa suami wajib berusaha dan bekerja dari harta yang halal

dan istri bertanggung jawab mengatur belanja dan konsumsi keluarga

dalam koridor mewujudkan lima tujuan syariat Islam, yaitu dalam rangka

memelihara agama, akal, kehormatan, jiwa dan harta. Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa

sallam: “Istri adalah pengayom bagi rumah tangga suaminya dan akan dimintai

pertanggungjawaban atas aset rumah tangga yang diayominya…” (HR. Bukhari). “Bila seorang istri menyedekahkan makanan rumah tanpa efek yang merusak

kebutuhan keluarga, maka dia mendapat pahala dari amalnya. Demikian pula suami mendapatkan pahala dari hasil usahanya, demikian pula pelayan

mendapatkan bagian pahala tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun.” (HR. Tahbrani).

5. Istri berkewajiban untuk hemat dan ekonomis.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidak akan jatuh miskin orang yang berhemat”. (HR. Ahmad). Selain itu ia harus realistis menerima apa yang dimilikinya (qana’ah). Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sungguh beruntung orang yang masuk Islam, diberi rezki cukup dan menerima apa yang Allah berikan kepadanya.” (HR. Muttafaq ‘Alaih).

6. Seimbang Antara Pendapatan dan Pengeluaran yang Bermanfaat

Istri

tidak boleh membebani suami dengan beban kebutuhan dana di luar

kemampuannya. Ia harus dapat mengatur pengeluaran rumah tangganya

seefisien mungkin menurut skala prioritas sesuai dengan penghasilan dan

pendapatan suami, tidak boros dan konsumtif. (QS. Al-Baqarah:236, 286)

Abu bakar pernah berkata: “Aku membenci penghuni rumah tangga yang membelanjakan atau menghabiskan bekal untuk beberapa hari dalam satu hari saja.”

Islam

menganjurkan umatnya untuk bekerja dan berusaha dengan baik . Islam

juga menganjurkan agar hasil usahanya dikeluarkan untuk tujuan yang baik

dan bermanfaat. Keluarga muslim dalam mengelola pembelanjaan, harus

berprinsip pada pola konsumsi islami yaitu berorientasi kepada kebutuhan

(need) di samping manfaat (utility) sehingga hanya

akan belanja apa yang dibutuhkan dan hanya akan membutuhkan apa yang

bermanfaat. (QS. Al-Baqarah:172, Al-Maidah:4, Al-A’raf:32). Dalam

berumah tangga, suami-istri hendaknya memiliki konsep bahwa pembelanjaan

hartanya akan berpahala jika dilakukan untuk hal-hal yang baik dan

(8)

kamu menafkahkan suatu nafkah dengan ikhlas karena Allah kecuali kamu mendapat pahala darinya.” (Muttafaq ‘Alaih).

7. Skala Prioritas Pengeluaran (Perlu/Needs Vs Ingin/Wants)

Islam

mengajarkan agar pengeluaran rumah tangga muslim lebih mengutamakan

pembelian kebutuhan-kebutuhan pokok sehingga sesuai dengan tujuan

syariat. Ada tiga jenis kebutuhan rumah tangga, yaitu:

a. Kebutuhan primer,

yaitu nafkah-nafkah pokok bagi manusia yang diperkirakan dapat

mewujudkan lima tujuan syariat (memelihara jiwa, akal, agama, keturunan

dan kehormatan). Kebutuhan ini meliputi kebutuhan akan makan, minum,

tempat tinggal, kesehatan, rasa aman, pengetahuan dan pernikahan. b. Kebutuhan sekunder,

yaitu kebutuhan untuk memudahkan hidup agar jauh dari kesulitan.

Kebutuhan ini tidak perlu dipenuhi sebelum kebutuhan primer terpenuhi.

Kebutuhan ini pun masih berhubungan dengan lima tujuan syariat. c. kebutuhan pelengkap.

Yaitu kebutuhan yang dapat menambah kebaikan dan kesejahteraan dalam

kehidupan manusia. Pemenuhan kebutuhan ini bergantung pada kebutuhan

primer dan sekunder dan semuanya berkaitan dengan tujuan syariat.

Prioritas

konsumsi dan pembelanjaan ini juga terkait dengan prioritas hak-hak

yaitu hak terhadap diri (keluarga), Allah (agama), orang lain. Orang

lain juga diukur menurut kedekatan nasab dan rahim, yang paling utama

adalah orang tua kemudian saudara. (QS.Al-Anfal:75) Aplikasi

aturan-aturan di atas menuntut peran ibu rumah tangga untuk

memperhitungkan pengeluaran rumah tangga secara bulanan berdasarkan tiga

kebutuhan di atas, dengan tetap menyesuaikannya dengan pendapatan,

sehingga rumah tangga muslim terhindar dari masalah-masalah perekonomian

yang ditimbulkan atau sikap boros untuk hal yang bukan primer.

Islam

(9)

Selain itu, bergaya hidup mewah merupakan salah satu sifat orang-orang yang kufur terhadap nikmat Allah. Firman-Nya: “Pemuka-pemuka

yang kafr di antara kaumnya dan yang mendustakan akan menemui hari akhirat (kelak) dan yang telah Kami mewahkan mereka dalam kehidupan di dunia…” (QS. Al-Mu’minun:33). Nabi juga sangat membenci gaya hidup mewah: “Makan, minum dan berpakaianlah sesukamu, sebab yang membuat kamu berbuat

kesalahan itu dua perkara: bergaya hidup mewah dan berprasangka buruk.” (HR. Ibnu Umar

dan Ibnu Abbas).

8. Bersikap Pertengahan dalam Pembelanjaan

Islam

mengajarkan sikap pertengahan dalam segala hal termasuk dalam manajemen

pembelanjaan, yaitu tidak berlebihan dan tidak pula kikir atau terlalu

ketat. Sikap berlebihan adalah sikap hidup yang dapat merusak jiwa,

harta dan masyarakat, sementara kikir adalah sikap hidup yang dapat

menimbun, memonopoli dan menganggurkan harta. Kedua pola ekstrim dalam konsumsi itu memiliki mendekati sifat mubadzir. Firman Allah: “Dan

orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.” (QS. Al-Furqon :67) “Dan

janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya karena itu kamu menjadi tercela dan

menyesal.” (QS. Al-Isra:29) “dan janganlah kamu

menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Rabbnya.” (QS. Al-Isra’: 26-27)

Sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Allah

akan memberikan rahmat kepada seseorang yang berusaha dari yang baik, membelanjakan dengan pertengahan dan dapat menyisihkan kelebihan untuk

menjaga pada hari ia miskin dan membutuhkannya.” (HR. Ahmad). “Tidak akan miskin orang yang bersikap pertengahan dalam pengeluaran.” (HR. Ahmad).

Jika

pembelanjaan kita telah sesuai dengan aturan-aturan Islam, Allah akan

memajukan usaha kita serta melipatgandakan pahala dan berkah-Nya. Bahkan

Allah akan memberikan kelebihan hasil usaha agar kita dapat menyimpan

dan menabungnya untuk menjaga datangnya hal-hal yang tidak terduga atau

Referensi

Dokumen terkait

Untuk semua pihak yang telah membantu penulis baik dari segi moril maupun materil dalam penyusunan skripsi ini, penulis mengucapkan banyak terima kasih, mohon maaf jika saya

Dengan melihat hasil penanaman lapangan anakan ramin hasil stek pucuk pada umur tanam 2 tahun di areal DRT ini, dimana persentase hidup mencapai 97,5% dan riap tinggi dan

Kunjungan ANC men- jadi salah satu faktor risiko yang mening- katkan kejadian perdarahan pasca persalin- an karena apabila ibu melakukan pelayanan ANC secara teratur

Sebagai bagian dari anak bangsa, Lembaga kajian Pelopor Maritim (PORMAR) Indonesia, adalah sebuah lembaga kajian di bidang maritim yang beranggotakan para pakar, praktisi,

Saat ini kerap terjadi pelanggaran privasi di media sosial berbasis ojek online, timbulnya pelanggaran privasi pada ojek online ini karena aplikasi

PABRIK PROPYLENE GLYCOL DARI PROPYLENE OXIDE DENGAN PROSES HIDRASI.. PRA

Dengan berjalannya program Revolusi Hijau di daerah pedesaan, menyebabkan perubahan lapisan masyarakat Jawa yang semakin jelas. Perubahan ini menyebabkan perubahan

maksud untuk memahami makna yang terkandng dalam ajaran tersebut. b) Metode komparatif, yaitu ajaran ajaran islam itu dikomparasikan dengan fakta-fakta yang terjadi dan