• Tidak ada hasil yang ditemukan

View of AK BALANCED SCORECARD: PENDEKATAN ALTERNATIF UNTUK PENGUKURAN KINERJA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "View of AK BALANCED SCORECARD: PENDEKATAN ALTERNATIF UNTUK PENGUKURAN KINERJA"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

Balanced Scorecard . . . 21

BALANCED SCORECARD

: PENDEKATAN

ALTERNATIF UNTUK PENGUKURAN KINERJ A

Huriyah

Akuntansi, Politeknik Pratama Mulia, Surakarta 57149 Surakarta

ABSTRACT

Business organizations today demanding more effective performance measurement system that not only enhance their performance levels but give them competitive advantage. Traditionally, performance measurement systems have had financial bias, and they have ignored the key issues of linking operational performance to strategic objectives and communicating these objectives and performance results to all levels of organizations. Kaplan and Norton (1992) developed a new approach to performance measurement: the Balance Scorecard. The Balance Scorecard approach is hot. Gartner Group Predicted that at least 40% of Fortune 1.000 companies will using the Balance Scorecard by the end of this years (Frigo and Krumwiede, 2000). The Balance Scorecard is a new tool that complements traditional measures of business unit performance, and a performance measurement system driven by strategy and includes performance measurement in the following areas: financial, customer, internal business process, and learning and growth. This paper has two objectives. First, presented the benefits of Balanced Scorecard, and second identified the difficulties that which occur on implementation of the concept of Balanced Scorecard.

(2)

Balanced Scorecard . . . 22 Pendahuluan

Perkembangan teknologi

yang semakin pesat,

mengakibatkan iklim persaingan bisnis semakin ketat. Sehingga mendorong kebutuhan akan informasi menjadi suatu hal yang penting. Dengan adanya pergeseran tingkat persaingan bisnis dari industrial competition ke information competition, maka hal itu juga mengubah alat ukur yang dipakai perusahaan untuk mengukur mengukur kinerjanya.

Pengukuran kinerja merupakan salah satu factor yang amat penting bagi perusahaan. Pengukuran tersebut dapat digunakan untuk menilai keberhasilan perusahaan dan digunakan sebagai dasar untuk menyusun system imbalan dalam perusahaan (Secakusuma, 1997). Selain itu aspek penting pengukuran kinerja perusahaan adalah bahwa pengukuran kinerja perusahaan digunakan oleh pihak manajemen sebagai dasar untuk melakukan pengambilan keputusan dan mengevaluasi kinerja manajemen serta unit-unit yang terkait di lingkungan organisasi perusahaan (Ciptani, 2000).

Pengukuran kinerja sebagai salah satu bidang manajemen, dewasa ini mengalami kondisi yang sama. Peter Drucker seorang pakar manajemen terkenal, berpendapat bahwa pengukuran kinerja merupakan bidang terlemah dalam manajemen (Indriantoro, 2000). Pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam pengukuran kinerja dipandang sudah usang, keusangan ini dikarenakan pengukuran kinerja secara tradisional hanya menitikberatkan pada ukuran-ukuran keuangan yang

menghambat kemampuan

perusahaan menciptakan nilai ekonomik dimasa datang.

(3)

Balanced Scorecard . . . 23 antara ukuran kinerja dengan

strategi perusahaan, dan (d) karyawan tidak mengerti alat

ukur yang digunakan

(Indriantoro, 2000).

Fokus pengukuran kinerja yang berlebihan terhadap aspek financial tanpa didukung dengan ukuran-ukuran lainnya dapat membuat perusahaan berinvestasi lebih banyak pada asset fisik dibandingkan pada asset intelektual. Ukuran financial hanya menyajikan sebagian dan bukan keseluruhan gambaran kinerja perusahaan. Kekurangan yang dimiliki oleh ukuran kinerja financial makin lama makin dirasakan makin besar. Perkembangan pasar yang mulai bergesr dari seller’s market ke

buyer’s market, membuat kekurangan tersebut semakin menekan (Indriantoro, 2000).

Untuk memperbaiki kekurangan tersebut, maka Kaplan dan Norton (1992) mengembangkan teknik dan metode pengukuran yang sifatnya non financial. Dimana metode pengukuran ini dapat

mengukur keberasilan

perusahaan dalam

menerjemahkan tujuan dan strateginya sehingga perusahaan dapat bertahan dalam jangka

panjang. Pengukuran ini dikenal dengan Balance Scorecard. Konsep Balance Scorecard

menekankan bahwa pengukuran financial dan non finansial harus menjadi bagian dari system informasi bagi pekerja di semua lini (Kaplan, 1996). Melalui

Balanced Scorecard

memungkinkan; (a) para manajer perusahaan mengukur bagaiman unit bisnis mereka melakukan penciptaan nilai saat ini dengan mempertimbangkan kepentingan-kepentingan masa yang akan datang, (b) manajer mengukur apa yang telah mereka

investasikan dalam

pengembangan sumber daya manusia, system dan prosedur iuntuk perbaikan kinerja di masa yang akan depan, (c) para manajer menilai apa yang telah mereka bina dalam intangible assets seperti goodwill, loyalitas pelanggan dan merek (Mirza, 1997).

(4)

Balanced Scorecard . . . 24 membantu banyak manajemen

puncak menentukan tujuan dan strategi perusahaan dan menerjemahkannya secara konkret ke dalam suatu set cara pengukuran. Apa yang telah membuatnya begitu sukses adalah bahwa BSC mampu menerjemahkan strategi ke dalam sebuah proses yang bukan hanya menjadi milik manajemen puncak, namun juga setiap individu pada setiap level di dalam perusahaan. Setiap pegawai bukan hanya “apa” yang harus dilakukannya, namun juga “mengapa” dia melakukan itu. Namun yang lebih penting lagi adalah bahwa BSC tidak melulu memandang strategi dalam kaitan aspek finansial semata, namun juga aspek tiga “tambahan” lain yaitu: 1) hubungan dengan pelanggan, 2) proses internal, serta 3) pembelajaran dan pertumbuhan.

Konsep Balanced Scorecard

Konsep Balance

Scorecard dikembangkan oleh Robert S Kaplan dan David P Norton pada tahun 1992. Kaplan dan Norton mengatakan kepada para eksekutif senior: “What you measure is what you get“. Secara singkat ungkapan tersebut ingin

mengatakan bahwa sistem pengukuran kinerja betul-betul akan mempengaruhi kinerja dan perilaku individu-individu di dalam perusahaan. Masalahnya, perspektif apa saja yang perlu diperhatikan dalam pengukuran kinerja? Ketika awal era industrialisasi, secara tradisional orang merasa cukup dengan ukuran-ukuran akuntansi keuangan seperti return on investment (ROI) atau earnings per share (EPS). Namun pengukuran perspektif keuangan saja ternyata tidak memuaskan. Orang juga mulai memerlukan informasi yang berkaitan dengan kinerja operasional. Bahkan ada sebagian orang yang mengatakan “Lupakan saja pengukuran perspektif keuangan. Fokuskan upaya pada perbaikan operasional seperti siklus waktu dan tingkat kerusakan produk. Pada akhirnya ini akan berdampak juga pada perspektif finansial.”

(5)

Balanced Scorecard . . . 25 temperatur mesin, putaran mesin,

dan sebagainya. Inilah yang kemudian melatarbelakangi Kaplan dan Norton merumuskan konsep pengukuran kinerja yang dinamakan The Balanced Scorecard (BSC). Keseimbangan

(balanced) di sini menunjuk pada adanya kesetimbangan pada perspektif-perspektif yang akan diukur, yaitu antara perspektif keuangan dan perspektif nonkeuangan sebagai berikut:

1. Perspektif pelanggan (Customer Perspective), yaitu untuk menjawab pertanyaan bagaimana customer memandang perusahaan.

2. Perspektif internal (Internal Business Process

Perspective), untuk

menjawab pertanyaan pada bidang apa perusahaan memiliki keahlian.

3. Perspektif inovasi dan pembelajaran (Learning and Growth Perspective),

untuk menjawab

pertanyaan apakah perusahaan mampu berkelanjutan dan menciptakan value. 4. Perspektif keuangan

(Financial Perspective),

untuk menjawab

pertanyaan bagaimana perusahaan memandang pemegang saham.

Kaplan dan Norton

menggambarkan keseimbangan hubungan-hubungan perspektif pengukuran-pengukuran tersebut sebagai berikut:

(6)

Balanced Scorecard . . . 26 yang terukur. Tanpa manajemen

yang berbasis pada indikator yang terukur dan objektif, sebuah gerak organisasi bisnis bisa terpeleset menjadi sejenis paguyuban yang tak produktif.

Pengertian balanced scorecard

sendiri jika diterjemahkan bisa bermakna sebagai rapot kinerja yang seimbang (balanced). Kenapa disebut seimbang karena pendekatan ini hendak mengukur kinerja organisasi secara komprehensif melalui empat dimensi utama, yakni : dimensi keuangan, pelanggan, proses bisnis internal dan dimensi learning & growth.

Dimensi keuangan merupakan hasil akhir yang ingin digapai oleh sebuah organisasi bisnis. Sebab tanpa menghasilkan profit yang sustainable dan cash flow

yang sehat, sebuah perusahaan mungkin akan lebih layak disebut sebagai paguyuban sosial. Dalam dimensi ini, beberapa indikator kinerja (atau lazim disebut sebagai key performance indicators atau KPI) yang kerap digunakan sebagai acuan antara lain adalah : tingkat profitabilitas perusahaan, jumlah penjualan dalam setahun (sales revenue), tingkat efisiensi biaya operasi

(operation cost dibanding sales), ataupun juga sejumlah indikator keuangan seperti ROI (return on investment), ROA (return on asset) ataupun EVA (economic value added).

Dimensi selanjutnya adalah dimensi pelanggan yang notabene merupakan tonggak penting untuk mencapai kejayaan dalam aspek keuangan. Sebab tanpa pelanggan, sebuah organisasi bisnis tak lagi punya alasan untuk meneruskan nafasnya. Demikianlah untuk menggapai kesuksesan, perusahaan juga mesti memetakan sejumlah ukuran keberhasilan dalam dimensi pelanggan. Sejumlah key performance indicator (KPI) yang lazim digunakan dalam dimensi pelanggan ini antara lain adalah : tingkat kepuasan pelanggan (customer satisfaction index), brand image index, brand loyalty index, persentase market share, ataupun market penetration level.

(7)

Balanced Scorecard . . . 27 proses bisnis internal apa yang

harus terus menerus

disempurnakan? Beberapa elemen kunci dalam proses bisnis internal yang layak dikendalikan dengan optimal mencakup segenap mata rantai (supply chain) proses produksi/operasi, manajemen mutu, dan juga proses inovasi. Beberapa contoh KPI yang lazim digunakan dalam dimensi ini antara lain adalah : persentase produk yang cacat

(defect rate), tingkat kecepatan dalam proses produksi, jumlah inovasi proses dan produk yang dikembangkan dalam setahun, jumlah produk/jasa yang di-delivery dengan tepat waktu, ataupun jumlah pelanggaran SOP

(standard operating procedures).

Dimensi yang terakhir adalah dimensi learning and growth.

Dimensi ini sejatinya hendak berfokus pada pengembangan kapabilitas SDM , potensi kepemimpinan dan kekuatan kultur organisasi untuk terus dimekarkan ke titik yang optimal. Dengan kata lain, dimensi ini hendak meletakkan sebuah pondasi yang kokoh nan tegar agar sebuah organisasi bisnis terus bisa mengibarkan keunggulannya. Contoh KPI (key performance indicators) yang

lazim digunakan untuk mengukur kinerja pada dimensi ini antara lain adalah : tingkat kepuasan karyawan (employee satisfaction index), level kompetensi rata-rata karyawan, indeks kultur organisasi (organizational culture index), ataupun jumlah jam pelatihan dan pengembangan per karyawan.

Demikianlah empat dimensi utama yang mesti dikelola dan diukur kinerjanya secara konstan dari waktu ke waktu. Pada dasarnya keempat dimensi diatas bersifat sinergis dan saling behubungan erat secara hirarkis. Sebuah organisasi bisnis hampir tidak mungkin mencapai keunggulan finansial tanpa ditopang oleh barisan pelanggan yang puas dan loyal. Dan barisan pelanggan yang loyal ini tak akan pernah terus tumbuh jika sebuah organisasi tidak memiliki proses bisnis yang ekselen nan inovatif. Dan pada akhirnya, proses kerja yang ekselen ini hanya akan mungkin menjelma menjadi kenyataan jika organisasi tersebut ditopang oleh barisan

SDM yang unggul,

(8)

Balanced Scorecard . . . 28 Pengelolaan kinerja organisasi

bisnis secara optimal dengan

demikian mesti

mempertimbangkan keempat dimensi diatas secara intregratif. Serangkaian key performance indicators (beserta target angka) untuk tiap dimensi diatas mesti diidentifikasi dan kemudian dimonitor pencapaiannya secara

periodik (misal setiap sebulan sekali dalam sesi monthly performance review meeting). Melalui proses pengelolaan kinerja yang komprehensif pada empat dimensi inilah, sebuah organisasi bisnis mestinya bisa

terus tumbuh dan mekar menuju ranah kejayaan.

Selanjutnya Kaplan dan Norton memberikan contoh tujuan-tujuan dan pengukuran kinerjanya untuk keempat perspektif tersebut pada sebuah perusahaan manufaktur sebagai berikut:

(9)

Balanced Scorecard . . . 29 pelanggan. Namun dengan BSC, tujuan dan pengukurannya dibuat dengan lebih rinci dengan

memperhitungkan ekspekstasi pelanggan terkait dengan waktu, kualitas, kinerja produk, dan biaya. Demikian pula dengan proses internal, secara rinci memusatkan pada kompetensi inti, proses, keputusan, serta tindakan-tindakan yang berpengaruh pada kepuasan pelanggan. Sedangkan inovasi dan pembelajaran menunjukkan keberhasilan masa depan. Perspektif ini mengukur perbaikan terus-menerus terhadap produk dan proses yang sedang berjalan yang memunculkan produk-produk baru serta meningkatkan kemampuan perusahaan.

Dengan kombinasi berbagai perspektif tersebut, menjadikan pengukuran kinerja bukan lagi semata domain dari direktur keuangan atau controller, namun juga orang-orang di lini bisnis yang mengetahui secara persis operasional yang berlangsung dalam perusahaan. Juga, pengukuran bukan lagi bersifat satu arah dan bertujuan sebagai pengendalian, namun bersifat multi arah dimana setiap bagian dan individu dalam perusahaan mengetahui visi perusahaan dan

tujuan pada setiap level serta menetapkan sistem yang membantunya mengukur kinerja yang harus dilakukan dalam mencapai visi dan tujuan tersebut. Inilah mengapa BSC menjadi sistem pengukuran yang mendorong kinerja.

Keunggulan Penerapan Konsep Balance Scorecard

BSC memiliki focus yang sama dengan praktik manajemen tradisiomal yang sama-sama berorientasi pada customer dan efisiensi atas proses produksi, tetapi yang membuat konsep BSC itu berbeda dan lebih unggul daripada praktek manajemen tradiosional adalah:

1. BSC merupakan suatu turunan dari strategi dan misi perusahaan secara top-down. Sebaliknya, ukuran kebanyakan perusahaan adalah secara bottom-up: yaitu diperoleh dari aktivitas di bawah datau bersifat ad-hoc, sehingga seringkali tidak relevan dengan

strategi secara

(10)

Balanced Scorecard . . . 30 2. BSC bersifat memandang

ke depan (forward looking). Hal tersebut memperhitungkan

keberhasilan bukan hanya saat ini namun juga bagaimana perkiraannya di masa depan. Ini

berbeda dengan

pengukuran kinerja keuangan tradisional yang hanya menunjukkan kinerja periode yang telah lewat.

3. BSC mengintegrasikan pengukuran internal dan eksternal. BSC tidak hanya mengukur net operating income, misalnya (eksternal) namun juga mengukur mengenai produk baru (internal). Ini membantu para manajer melihat di mana mereka telah melakukan trade-off di antara aspek pengukuran kinerja di masa lalu, dan

membantu mereka

memastikan bahwa keberhasilan masa mendatang untuk satu aspek bukan dengan merugikan aspek lainnya.

4. BSC membantu

perusahaan lebih fokus karena membuat para manajer mencapai

kesepakatan hanya pada aspek pengukuran yang benar-benar kritikal terhadap strategi perusahaan.

5. BSC memberikan

pengukuran yang lebih komprehensif dan

seimbang dengan

memasukkan perspektif non keuangan, yang selama ini tidak diperhitungkan dalam pengukuran kinerja tradisional. Padahal sesungguhnya justru ketiga perspektif itulah yang menghasilkan apa yang diukur dalam perspektif keuangan. 6. BSC memiliki perspektif

yang koheren, dimana perspektif pembelajaran dan pertumbuhan akan mempengaruhi proses internal yang akan memperbaiki nilai kepada pelanggan dan pada akhirnya memperbaiki pula nilai pemegang saham.

(11)

Balanced Scorecard . . . 31 Manfaat Penerapan Konsep

Balance Scorecard

Di Amerika sendiri BSC telah diadopsi oleh banyak perusahaan diantaranya adalah:

Advanted Micro Device dan Soetjipto (1997). Hasil survey yang dilakukan oleh Gartner Group (Frigo dan Krumwiede, 2000), sekurang-kurangnya 40% dari 1.000 perusahaan versi majalah Fortune yang menggunakan Balance Scorecard

pada akhir tahun ini.

Banyak perusahaan yang mengimplementasikan konsep

Balance Scorecard dengan tujuan untuk memperbaiki kinerjanya dan berhasil dalam penerapannta merasakan keuntungan atau manfaat yang diterimanya. Adapun manfaat tersebut adalah sebagai berikut : (1) dengan balanced scorecard , eksekutif perusahaan dapat mengukur bagaimana unit-unit dalam perusahaannya dapat menciptakan nilai bagi customer sekarang dan yang akan datang , bagaimana mereka harus membangun dan meningkatkan

sekarang dan yang akan datang, bagaimana mereka harus membangun dan meningkatkan kapabilitas internal dan investasi pada manusia, system dan prosedur penting untuk memperbaiki kinerja yang akan datang, (2) Balance Scorecard

memiliki kemampuan untuk mendapatkan aktivitas kreasi terhadap nilai kritikal yang dilakukan dengan skill, dan dapat memotivasi seluruh anggota perusahaan, (3). Balance Scorecard dapat memungfkinkan pengukuran keuangan dan non keuangan untuk menjadi bagian dari siatem informasi bagi karyawan pada setiap jenjang organisasi. Karyawan dapat

memahami konsekuensi

keuangan dari kepiutusan dan tindakan yang mereka lakukan dan eksekutif senior dapat memahami drivers yang mensukseskan keuangan jangka panjang, (4) Balance Scorecard

(12)

Balanced Scorecard . . . 32 antara tujuan jangka pendek dan

jangka panjang, (b) antara pengukuran-pengukuran

eksternal untuk shareholder dan

customer dan pengukuran-pengukuran internal dari proses kritikal, inovasi dan proses pertumbuhan dan pembelajaran, (c) antara hasil yang diinginkan dan drivers kinerja dari hasil-hasil tersebut, dan (d) antara pengukuran-pengukuran yang objektif dan poengukuran-pengukuran yang lebih subjektif. Kesulitan Penerapan Balance Scorecard

Walaupun terdapat keunggulan dan manfaat yang besar dari pengimplemintasian konsep

Balance Scorecard, namun dalam pelaksanaanya banyak pula terjadi kesulitan dan timbulnya permasalahan-permaslahan. Diantara permasalahan tersebut adalah: Bagaimana mendesain sebuah

Balance Scorecard. Desain

scorecard yang baik pada dasarnya adalah desain yang mencerminkan tujuan stratejik organiusasi. Dalam prakteknya, masih banyak perusahaan yang tidak dapat merumuskan starteginya dan memiliki startegi yang tidak jelas sama sekali. Sehingga hal ini dapat

menyulitkan desain scorecard

yang sesuai dengan tujuan stratejik perusahaan yang ingin dicapai.

Banyaknya alat ukur yang diperlukan. Yang menjadi permasalahan disini adalah bagaimana alat ukur-alat ukur yang ada bisa mencakup keseluruhan strategi perusahaan terutama dapat mengukur dimensi yang terpenting dari sebuah strategi. Disamping itu alat ukur tersebut juga harus dapat menjangkau perspektif peningkatan kinerja secara luas dengan pengukuran minimal. Apakah Scorecard cukup layak untuk dijadikan penilai kinerja. Menurut Sarah Marvinack (Marvinack, 1999) layak atau tidaknya scorecard yang dibentuk oleh perusahaan akan tergantung pada nilai dan orientasi strategi perusahaan yang bersangkutan. Perlunya Scorecard dikaitkan dengan gainsharing secara induvidu. Banyak perusahaan yang menghubungkan antara kinerja dalam Balance Scorecard

dengan pembagian keuntungan

(gainsharing) secara individual. Tetapi yang harus diperhatikan adalah bahwa dasar pembagaian keuntungan (gainsharing)

(13)

Balanced Scorecard . . . 33 dukungan inovasi atau perubahan

kultur yang diberikan oleh induvidu kepada peningkatan kinerja perusahaan.

Apakah scorecard yang ada dapat menggantikan keseluruhan system manajemen lama. Dalam praktek, sangat sulit mengganti system manajemen yang lama dengan system manajemen yang baru (Balance Scorecard), tetapi perusahaan diharapakan dapat melakukannya apabila dirasa system manajemen yang lama sudah tidak bisa mendukung tujuan organisasi selama ini.

Kesulitan-kesulitan (permasalahan) lain yang dapat membatasi kegunaan dalam penerapan konsep Balance Scorecard apabila terjadi hal-hal berikut ini:

1. Kurang (tidak) adanya

korelasi antara

pengukuran non financial dan hasil

2. Fikasi (cenderung berfokus) pada hasil-hasil financial

3. Tidak adanya mekanisme untuk perbaikan

4. Pengukuran-pengukuran tidak updated

5. Pengukuran overload (yang berlebihan)

6. Kesulitan dalam mengadakan trade-off Salah satu kunci keberhasilan

Balance Scorecard menurut O’Reilly (Mattson, 1999) adalah adanya dukungan penuh dari seluruh lapisan manajemen yang ada dalam organisasi. Balance Scorecard tidak hanya berfungsi sebagai laporan saja tetapi lebih dari itu, Balance Scorecard

haruslah merupakan refleksi dari sebuah strategi perusahaan serta visi dari organisasi.

Mattson (1999) dalam Ciptani (2000), menyatakan ada 4 langkah utama yang harus ditempuh oleh perusahaan jika akan menerapkan konsep

Balance Scorecard, yaitu:

1. Memperoleh kesepakan dan komitmen bersama antara pihak manajemen puncak perusahaan

2. Mendesain sebuah model (Kerangka) Balance Scorecard yang memungkinkan

(14)

Balanced Scorecard . . . 34 3. Mengembangkan suatu

program pendekatan yang paling tpat digunakan oleh perusahaan sehingga 4. Balance Scorecard

menjadi bagian dari kultur organisasi yang bersangkutan, karena

scorecard yang dikembangkan dapat dijadikan salah satu pengendali jika teerjadi perubahan kultur dalam perusahaan.

5. Aspek penggunaan teknologi. Penggunaan software computer dalam menentukan elemen-elemen scorecard dan mengotomatisasi data kedalam scorecard sangat diperlukan, sehingga dat-data scorecard yang berwujud angka-angka tersebut akan dapat direview dari periode ke periode secara terus menerus.

Simpulan

Kaplan dan Norton pada tahun 1992 mengembangkan teknik dan metode pengukuran yang sifatnya non financial. Dimana metode pengkuran ini dapat mengukur keberhasilan

perusahaan dalam

menterjemahkan tujuan dan strateginya sehingga perusahaan

dapat bertahan dalam jangka panjang. Pengukuran ini dikenal dengan Balance Scorecard

menekankan bahwa pengukuran financial dan non financial harus menjadi bagian dari system informasi bagi pekerja disemua lini (Kaplan, 1996). Balance Scorecard memperkenalkan suatu system pengukuran kinerja perusahaan yang digolongkan dalam 4 perspektif, yaitu: (a) fiansial, (b) customer, (c) internal business process, dan (d) learning and growth (Ciptani, 2000).

Balance Scorecard terdiri dari dua kata: (1) kartu scor (scorecard), dan (2) berimbang

(balanced). Kartu scor adalah kartu yang digunakan untuk mencatat skor hasil kinreja seseorang, dan untuk merencanakan yang hendak diwujudkan seseorang di masa depan. Kata berimbang

dimaksudkan untuk

(15)

Balanced Scorecard . . . 35 Keunggulan yang utama

dari Balance Scorecard adalah

membantu memfokuskan

perhatian setiap orang pada masa datang. Dengan adanya keunggulan yang dimiliki

Balance Scorecard tersebut mendorong semakin banyaknya perusahaan yang ingin mengimplementasikan konsep

Balance Scorecard.

Daftara Pustaka

Ciptani, M.K. 2000. Balanced Scorecard Sebagai Pengukuran Kinerja Masa Depan: Suatu Pengantar. Jurnal akuntansi dan keunagan (Vol 2/1): 21-35 Corrigan, J. 1995. The Balance Scorecard: The New Approach to Performance Measurement. Australian Accountant (August): 47-48

Frigo, M.L., and Krumwiede, K.R. 2000. The Balance Scorecard: Winning Performance Measurement System. Strategic Finance

(January): 50-54

Huseini, Martani. 1997. Balance Scorecard: Penyeimbang Pengukuran Kinerja Organisasi.. Usahawan (Juni, 6/XXVI): 19-20 Indiantoro, N. 2000. Balance Scorecard: Sistem Pengukuran Kinerja yang Memacu Prestasi. Lokakarya STIE Perbanas Jakarta

Kaplan, R.S. 1993. Implementing The Balanced Scorecard at FMC Corporation Harvard Business Review (September – October): 143 – 146

Kaplan, R.S, and Norton, D.P. 1996. The Balance Scorecard: Translating Strategy into Action. Edisi Satu. Boston, United States of America: Harvard Business Schol Press

Mirza, T. 1997. Balance Scorecard. Usahawan (Juni, 6/XXVI): 14 – 18

Soetjipto, B.W. 1997. Mengukur Kinerja Bisnis dengan Balanced Scorecard. Usahawan (Juni, 6/XXVI): 21 -25

Towle, G. 2000. The Balanced Scorecard: Not Just Another Fad. Executive Journal

(16)

Referensi

Dokumen terkait

2 Wakil Dekan I SALINAN TERKENDALI 02 3 Wakil Dekan II SALINAN TERKENDALI 03 4 Manajer Akademik SALINAN TERKENDALI 04 5 Manajer Riset dan Pengabdian Masyarakat

Yang cukup khas dari masyarakat Mandar di kabupaten Polewali Mandar adalah beragamnya ritual-ritual adat yang juga menawarkan kehangatan sekaligus kemegahan sebuah

a) Untuk Fr = 1, aliran adalah kritis. Pada aliran ini tidak terben- tuk loncatan. b) Untuk Fr = l sampai dengan 1,7 terjadi ombak pada permu- kaan air, dan loncatan yang

Hasil pengukuran kadar total polifenol terlarut dengan standar i menunjukan bahwa kadar total polifenol terlarut paling tinggi terdapat pada kulit buah (6,954 mg/g berat

Mozart, yaitu meneliti tentang teknik bowing dan fingering yang terdapat pada karya tersebut. Teknik

Dulurku ra eneng sing melu blas ra eneng, kabeh ketinggalan, trus aku ngerti nek sing ninggal dulurku iki, aku wes neng kene ngguwang layang, dulure ninggal iki,iki,iki,iki…

Pasal 52 ayat (1) UUJN menyatakan bahwa notaris tidak diperkenankan membuat akta untuk diri sendiri, istri/suami, atau orang yang mempunyai hubungan keluarga baik karena

Berdasarkan uraian yang dijelaskan, maka dilakukan pemodelan produksi padi di Jawa Timur untuk mengetahui faktor yang berpengaruh secara signifikan di setiap kabupaten/kota