• Tidak ada hasil yang ditemukan

TEORI TEORI ANALISIS SASTRA LISAN MADZAB

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "TEORI TEORI ANALISIS SASTRA LISAN MADZAB"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

56

TEORI-TEORI ANALISIS SASTRA LISAN:

MADZAB FINLANDIA DAN TEORI PARRY-LORD

1

Oleh Dr. Yoseph Yapi Taum, M.Hum

Fakultas Sastra

Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta

1. Pengantar

Minat dan perhatian berbagai kalangan dalam berbagai disiplin ilmu untuk

meneliti sastra rakyat berkembang sesuai dengan perkembangan ilmu-ilmu humaniora

seperti ilmu sejarah dan ilmu sastra. Seperti dikatakan Teeuw, sebuah teks merupakan

mozaik kutipan-kutipan dari pusat kebudayaan. Hanya pembaca yang dapat menciptakan

mozaik atau jalinan teks tersebut. Dari luas bacaannya, dia menciptakan keseluruhan

makna yang tentu saja hanya berlaku baginya; karena setiap pembaca memiliki medan

bacanya sendiri, dan medan ini tidak ada batasnya (Teeuw, 1990: 220).2

Pada awal perkembangannya, studi sastra lisan sangat berorientasi

historis-komparatif, yang terutama tampak dalam kajian Madzab Finlandia. Studi sastra lisan

kemudian bergeser dari orientasi historis-komparatif ke orientasi strukturalis (Vladimir

Propp) dan orientasi puitika (Parry dan Lord). Oleh karena kajian-kajian tersebut

memiliki sifat dan ciri kesastraan, dalam bab ini akan diulas pendekatan-pendekatan

tersebut, disertai dengan tinjauan mengenai kekuatan dan kelemahan serta kemungkinan

penerapannya dalam kajian sastra lisan di Indonesia. Pendekatan-pendekatan ini tentu

saja dapat dimanfaatkan oleh berbagai disiplin ilmu, termasuk kajian ilmu sastra, untuk

kepentingan kajiannya.

1 Tulisan ini merupakan Bab Iv dalam buku Studi Sastra Lisan: Sejarah, Teori, Metode dan

Pendekatan, Disertai dengan Contoh Penerapannya. (Penerbit Lamalera: Yogyakarta, 2011: 55-86).

2 Kutipan selengkapnya, ‘A text is a tissue of quotations drawn from innumerable centres of culture’

(3)

57

2. Madzab Finlandia: Historis Komparatif

2.1 Latar Belakang

Madzab Finlandia adalah sebuah aliran kajian sastra lisan yang berkembang di

Finlandia dan berpusat di ibu kota negaranya, Helsinki. Aliran ini mengembangkan

metode dan teori historis-komparatif yang bersifat sistematik. Perlu diketahui bahwa pada

awal abad ke-19, minat utama ilmu pengetahuan lebih terarah pada penciptaan, asal-usul

cerita rakyat, sesuai dengan pendekatan sejarah yang umum berlaku dalam ilmu sastra.

Sastra rakyat di Eropa Barat dibandingkan dengan sastra rakyat di bagian dunia lain

seperti Eropa Selatan dan Eropa Timur. Studi bandingan mereka bertujuan untuk a)

memperlihatkan hubungan antara berbagai sampel sastra rakyat; b) mengungkapkan pola

penyebaran atau migrasi sastra rakyat itu; c) melacak dan menjelaskan tempat asal sebuah

cerita rakyat; dan d) sedapat mungkin mengetahui bentuk asli sebuah cerita rakyat yang

telah mengalami berbagai transformasi.

Krohn dan Aarne adalah pelopor studi historis-komparatif itu. Mereka memulai

kajiannya dengan melakukan studi terhadap epos nasional Finlandia yang berjudul

Kalevala, yang sesungguhnya merupakan ciptaan abad ke-19 berdasarkan berbagai

macam cerita epos rakyat klasik. Mereka mengupayakan dilakukannya sebuah usaha

raksasa untuk mengumpulkan, mengklasifikasikan, dan membandingkan cerita rakyat

selengkap mungkin dan seluas mungkin, bahkan mereka memiliki cita-cita untuk

menjangkau cerita rakyat di seluruh dunia (Teeuw, 1984: 288-229).

2.2 Cara Kerja Penelitian

Bagaimana cara kerja Madzab Finlandia ini? Puluhan ribu cerita rakyat dari

seluruh dunia dikumpulkan, diklasifikasikan dan disusun sedemikian rupa sehingga

perbandingan dan penelusuran sejarah setiap cerita rakyat dimungkinkan. Untuk

penggolongan cerita rakyat, madzab ini menggunakan dua kriteria dasar yaitu type dan

motif. Type berarti cerita tersebut digolongkan berdasarkan tipe atau jenisnya.

Berdasarkan tipe-tipenya, Aarne-Thompson membuat sistem klasifikasi dongeng yang

menggolongkannya ke dalam tujuh jenis sebagai berikut.

(4)

58

1) Animal Tales (dongeng binatang), meliputi: binatang buas (serigala yang pintar dan

binatang buas lainnya), binatang buas dan binatang peliharaan, binatang buas dan

manusia, binatang peliharaan, dan bintang dan objek-objek lainnya. Legenda

terjadinya Gunung Kelud di Kediri termasuk animal tales karena melibatkan sosok

manusia berkepala kerbau bernama Lembu Sura.

2) Tales of Magic (dongeng tentang hal-hal magis), meliputi: tantangan supranatural,

istri atau suami atau kerabat supranatural, tugas-tugas supranatural, penolong

supranatural, barang-barang magis, kekuatan atau pengetahuan supranatural, dan

dongeng-dongeng lainnya tentang supranatural. Legenda terjadinya Gunung Kelud di

Kediri dan Legenda Candi Loro Jongrang di Yogyakarta termasuk pula jenis tales of

magic karena berkaitan dengan kekuatan-kekuatan supra natural yang dimiliki tokoh

Lembu Sura (Gunung Kelud) dan Bandung Bondowoso (Candi Loro Jongrang).

3) Religious Tales (dongeng keagamaan), meliputi: imbalan hadiah atau hukuman dewa,

kebenaran yang terwujud, surge, hantu, dan dongeng-dongeng keagamaan lainnya.

4) Realistic Tales atau Novelle (dongeng realistik), meliputi: seorang pemuda biasa

menikahi putri raja, seorang wanita biasa menikah dengan sang pangeran, bukti

kesetiaan dan kemurnian, istri yang keras kepala belajar menjadi setia, prinsip-prinsip

hidup yang baik, tindakan dan kata-kata yang cerdas, dongeng tentang nasib,

perampok dan pembunuh, dan dongeng-dongeng realistic lainnya.

5) Tales of the Stupid Orgre/Giant/Devil (dongeng tentang raksasa atau hantu yang

Bodoh), meliputi: kontrak kerja, hubungan antara manusia dan raksasa, persaingan

antara manusia dan raksasa, manusia membunuh atau melukai raksasa, raksasa

ditakut-takuti oleh manuasia, manusia menaklukkan raksasa, jiwa diselamatkan dari

gangguan setan.

6) Anecdotes and Jokes (anekdot dan lelucon)3 meliputi: cerita-cerita tentang si pandir,

cerita tentang pasangan yang sudah menikah (istri yang bodoh dan suaminya, suami

yang bodoh dan istrinya, dan pasangan yang bodoh), cerita tentang seorang wanita

3 Istilah anekdot dan joke kadang-kadang disamakan begitu saja. Anekdot adalah kisah fiktif lucu

(5)

59

(mencari istri, lelucon tentang seorang nyonya tua), cerita tentang seorang laki-laki

(pria yang cerdas, keberuntungan, lelaki bodoh), lelucon tentang tokoh-tokoh agama

(tokoh agama ditipu, tokoh agama dan perihal seks), lelucon tentang kelompok

masyarakat lain.

7) Formula Tales (dongeng yang memiliki formula),4 meliputi: dongeng-dongeng

kumulatif (yang didasarkan pada jumlah, objek, binatang, atau nama; yang selalu

dikaitkan dengan kematian; makan, atau kejadian-kejadian lainnya), dongeng tentang

jebakan, dan dongeng-dongeng formula lainnya.

Motif didefinisikan sebagai anasir terkecil dalam sebuah cerita yang mempunyai

daya tahan dalam tradisi. Berdasarkan kriteria tersebut, mereka menyusun index atau

katalogus tipe-tipe dan motif-motif yang dapat diterapkan secara universal pada

cerita-cerita rakyat. Secara lebih lengkap, yang dimaksudkan dengan “motif” adalah unsur

-unsur suatu cerita (narra tives elements). Motif teks suatu cerita rakyat adalah unsur dari

cerita tersebut yang menonjol dan tidak biasa sifatnya (Danandjaja, 1984: 53).

Ada berbagai motif yang dapat ditemukan dalam berbagai cerita rakyat. Beberapa

motif yang biasa dijumpai dalam cerita-cerita rakyat adalah sebagai berikut.

1) Motif berupa benda, misalnya: tongkat wasiat, sapu ajaib, lampu ajaib, bunga mawar,

tanah liat, benda-benda angkasa. Cerita asal-usul manusia, misalnya, terdapat

berbagai motif. Ada yang mengatakan manusia dibuat dari tanah liat, manusia berasal

dari telur burung garuda, manusia berasal dari sejenis pohon tertentu, dll. Hal ini akan

berkaitan dengan keyakinan religious ataupun fauna dan flora totem.

2) Motif berupa hewan yang luar biasa, misalnya kuda yang bisa terbang, buaya

siluman, singa berkepala manusia, raksasa, hewan yang bisa berbicara, burung

phoenix, ular naga, ayam jantan. Dalam dongeng Ande Ande Lumut, dikisahkan

tentang seekor kepiting raksasa bernama Yuyu Kangkang dan seekor burung bangau

raksasa yang bisa berbicara.

3) Motif yang berupa suatu konsep, misalnya larangan atau tabu. Misalnya konsep yang

menjelaskan mengapa wanita hamil tak boleh makan pisang kembar. Mengapa

setelah sunat tradisional (sifon) seorang lelaki harus melalui hubungan seks. Mengapa

4 Yang dimaksud dengan dongeng-dongeng formula adalah dongeng yang terikat pada rumusan

(6)

60

wong sukerto atau orang yang dianggap sial harus diruwat atau harus menjalankan

ritual. Mengapa seorang anak gadis tidak boleh makan di ambang pintu. Mengapa

perlu dilakukan ritual bersih desa. Mengapa pohon-pohon tertentu di hutan tidak

boleh ditebang atau diambil kayunya. Mengapa perlu dilakukan ritual sedekah laut

oleh masyarakat nelayan. Motif yang berupa konsep-konsep larangan ataupun anjuran

seperti ini banyak dijumpai dalam cerita-cerita rakyat di Indonesia. Motif tentang

larangan menghina ibu kandung, misalnya, dapat dijumpai dalam Legenda Malin

Kundang (Minangkabau) dan Legenda Batu Menangis (Kalimantan Barat). Jika

dikaji secara lebih mendalam, akan dijumpai berbagai kearifan lokal

kelompok-kelompok etnis melalui motif ini. Misalnya mengapa manusia perlu menjaga

kelestarian hutan, flora dan fauna, mengapa manusia perlu hidup dalam

keseimbangan kosmos.

4) Motif berupa suatu perbuatan (ujian ketangkasan, minum alkohol, bertemu di gunung,

turun dari gunung, menyamar sebagai fakir miskin, menghambakan diri, melakukan

tindakan laku tapa, moksa, melewati alam gaib, bertarung dengan raksasa, dll).

Dalam dongeng Ande Ande Lumut 5dari Kediri, Jawa Timur, misalnya, terdapat motif

perbuatan ini, yakni menyamar (Pangeran Asmara Bangun menyamar sebagai Ande

Ande Lumut dan Dewi Sekar Taji sebagai Kleting Kuning), menghambakan diri

(Dewi Sekar Taji menjadi pembantu Nyai Intan). Dongeng Jaka Budug dan Putri

Kemuning dari daerah Ngawi, Jawa Timur, bermotifkan sayembara uji ketangkasan

mendapatkan daun sirna ganda. Jaka Budug (budug artinya kudis) berhasil

mendapatkan daun sirna ganda setelah membunuh ular naga yang menjaga daun

tersebut. Jaka Budug pun menikah dengan putri raja Prabu Aryo Seto bernama Putri

Kemuning.

5) Motif tentang penipuan terhadap suatu tokoh (raksasa, hewan). Di Indonesia banyak

dijumpai motif hewan-hewan yang luar biasa, seperti cerita tentang kancil, raksasa

5 Dongeng Ande Ande Lumut termasuk salah satu jenis cerita Panji. Cerita Panji adalah cerita

(7)

61

yang bisa menelan manusia yang mudah ditipu, dll. Legenda Gunung Kelud dan

Legenda Candi Loro Jongrang memiliki motif penipuan. Dalam Legenda Gunung

Kelud, Lembu Sura yang telah berhasil memenangkan sayembara merentang busur

sakti Kyai Garudayeksa dan mengangkat gong Kyai Sekardelima, ditipu oleh sang

putri Dyah Ayu Pusparani dengan menyuruhnya menggali sumur di puncak gunung

Kelud. Ketika galian sumur itu hampir mendapatkan air, Sang Putri dan Prabu

Brawijaya menyuruh orang untuk menutup sumur itu dengan tanah dan batu-batuan

yang besar. Dalam legenda Candi Roro Jongrang, Bandung Bondowoso yang hampir

sukses mendirikan seribu candi dan dua buah sumur dalam waktu semalam, sengaja

digagalkan oleh Roro Jongrang. Merasa telah dibohongi oleh Roro Jongrang,

Bandung Bondowoso pun mengutuk Roro Jongrang menjadi salah satu candi.

6) Motif yang menggambarkan tipe orang tertentu, misalnya yang sangat pandai seperti

Abu Nawas, tokoh yang selalu seperti si Pandir, dan si Kabayan, tokoh yang sangat

bijaksana, tokoh pemberani, tokoh pelaut ulung.

Dalam kajian Madzab Finlandia, jika ditemukan dua motif yang sama pada dua

kelompok etnis yang berbeda, maka mereka mengajukan dua pandangan teoretis yang

berbeda.

1) Teori Monogenesis, yakni: teori yang mengatakan bahwa motif tertentu pasti berasal

dari satu daerah. Baru kemudian terjadi proses penyebaran atau difusi (diffusion).

Penganut dan pelopor teori ini antara lain: Jacob dan Wilhelm Grimmm, teori

mitologi matahari Max Muller, dan teori Indianist Theodore Benfey.

2) Teori Poligenesis, yakni: teori yang berpandangan bahwa motif-motif tersebut

merupakan penemuan-penemuan tersendiri yang tidak ada kaitannya (independent

invention) atau sejajar (parallel invention). Penganut teori ini antara lain ‘teori survival’ dari anggota English Antropologist, antropolog Ingris yang mendasarkan

teorinya pada teori evolusi kebudayaan (berdasarkan pandangan Charles Darwin).

Menurut mereka, kebudayaan, seperti halnya tanaman dan hewan, berkembang

menurut tingkatan-tingkatan, yakni dari tingkat rendah (primitif, savage) sampai ke

tingkat tinggi (modern, canggih). Bandingkan pula teori poligenesis ini dengan

(8)

62

Dengan metode perbandingan yang cukup sulit dan memakan waktu yang lama,

Stith Thompson (1885-1976)6 berhasil menyusun sebuah buku yang memuat berbagai

motif dan index cerita-cerita rakyat di seluruh dunia dalam sebuah buku berjudul

Motif-Index of Folk Literature: A Classification of Narrative Elements in Folktales, Ballads,

Myths, Fables, Mediaeval Romances, Exampla, Fabliaux, Jest-Books, and Local Legends

(1966) yang terdiri dari enam jilid. Dalam buku itu dapat diketahui apakah cerita rakyat

yang kita pelajari itu unik atau hanya merupakan salah satu versi atau varian dari cerita

rakyat yang ada di dunia. Buku itu memuat katalogus tipe-tipe dan motif-motif yang

dapat diterapkan secara universal pada cerita rakyat. Berdasarkan penggolongan ini

sejarah hidup (life history) sebuah cerita rakyat kemudian ditelusuri oleh peneliti dengan

membandingkan sebanyak mungkin varian-varian cerita yang tipe dan motifnya sama.

Mazhab Finlandia yang berpusat di Helsinki ini kemudian dikenal sebagai pusat

organisasi peneliti dari seluruh dunia yang disebut Historico-Geographico School.

Prinsip pendekatan dan hasilnya yang terpenting dituangkan dalam buku Thompson

(1977) berjudul The Folktale.

2.3 Analisis Historis-Komparatif Kisah Wato Wele – Lia Nurat7

Berikut ini dikemukakan sebuah contoh sebagai ilustrasi analisis

historis-komparatif dengan Kisah Wato Wele – Lia Nurat, sebuah mitos genealogis masyarakat

Baipito yang tinggal di seputar Gunung Ile Mandiri.

Pada mulanya Ema Wato Sem Bapa Madu Ma yang tinggal di Sina Jawa menyuruh orangtuanya yakni burung garuda untuk terbang menuju ke puncak gunung Ile Mandiri. Di puncak gunung itu, sang garuda meletakkan telurnya. Dari sebutir telur itu, lahirlah dua orang anak kembar, yang kemudian dinamakan Wato Wele (seorang wanita) dan Lia Nurat (seorang laki-laki).

6 Stith Thompson adalah seorang pakar folklore Amerika yang memiliki perhatian khusus pada

balada dan dongeng tradisional. Karya yang dipandang memiliki reputasi internasional adalah enam jilid buku Motif-Index of Folk-Literature (1932–37). Dia mengajar di Universitas Indiana, Bloomington (Lihat

Wikipedia “Stith Thompson” diunduh tanggal 17 Januari 2010).

7 Kisah Wato Wele Lia Nurat ini diambil dari hasil penelitian Taum (1995) yang dilakukan di

(9)

63

Wato Wele dan Lia Nurat dipelihara dan dibesarkan oleh hantu gunung hingga menjadi dewasa. Lia Nurat mengantar adiknya Wato Wele untuk menempati bagian selatan Ile Mandiri sedangkan Lia Nurat sendiri menempati bagian utaranya.

Pada suatu malam, Lia Nurat membuat api unggun di puncak Ile Mandiri. Cahaya api itu sampai ke perkampungan Paji. Sinar api itu menimpa seorang gadis Paji bernama Hadung Boleng Teniban Duli.

Suku Suban Lewa Hama, saudara Hadung Boleng itu disuruh pergi ke puncak Ile Mandiri mencari asal api unggun itu. Di sana dia bertemu dengan Lia Nurat. Lia Nurat berjanji akan turun ke perkampungan Paji.

Lia Nurat pun turunlah ke perkampungan Paji dan menikah dengan Hadung Boleng. Dari pernikahan itu, lahirlah tujuh orang anak yang kelak menurunkan suku-suku Ile Jadi di Baipito. Mereka hidup berkecukupan.

Kemakmuran mereka diketahui oleh orang-orang suku Soge (Maumere). Raja suku Soge pun mengantarkan anaknya yang bernama Uto Watak untuk diperistri Lia Nurat. Hadung Boleng tidak senang dengan kehadiran Uto Watak. Dia pun mengusir Uto Watak. Raja Suku Soge sangat marah. Mereka datang menyerbu dan membunuh Lia Nurat.

Setelah Lia Nurat meninggal, kehidupan Hadung Boleng dan ketujuh anaknya sangat menderita. Suatu ketika Hadung Boleng bermimpi melihat pusat gunung. Dengan mimpi itu, kehidupan mereka kembali menjadi makmur.

Terjadi perang di Adonara. Kelima putra Lia Nurat ikut berperang membela adik perempuan mereka. Dalam perang tersebut, putra sulung Lia Nurat, yakni Blawa Burak Sina Puri tewas terbunuh. Keempat putra Lia Nurat yang masih hidup kembali ke Ile Mandiri dan membagi tanah warisan di antara mereka.

Menghadapi cerita mitologis semacam ini, pendekatan penelitian

historis-komparatif pertama-tama akan melakukan klasifikasi berdasarkan type dan motif.

Berdasarkan klasifikasi tersebut, kajian selanjutnya akan difokuskan pada perbandingan

dengan teks-teks lainnya untuk meneliti asal-usul dan pola persebarannya.

Berdasarkan tipe-nya, Cerita Wato Wele – Lia Nurat dapat digolongkan ke dalam

Tales of Magic (dongeng tentang hal-hal magis). Kedua tokoh kembar ini adalah tokoh

mitologis, tokoh yang tidak dilahirkan dari rahim seorang wanita biasa, melainkan dari

sebutir telur burung garuda. Unsur-unsur supranatural lainnya dari kedua tokoh ini adalah

orang yang mengasuh dan membesarkan mereka bukanlah manusia biasa melainkan

‘hantu gunung’. Kedua tokoh mitologis (mythical figure) ini pun dikenal sebagai manusia pertama yang menurunkan suku-suku asli yang disebut Suku Baipito di seputar gunung

Ile Mandiri.

Klasifikasi dan kajian berdasarkan motif cerita terhadap cerita Wato Wele-Lia

(10)

64

1) Motif hewan yang luar biasa. Dalam cerita ini, tokoh Wato Wele dan Lia Nurat

diceritakan berasal dari sebutir telur burung garuda. Hal ini menunjukkan

asal-usul kedua tokoh ini yang sangat mistis. Kadar mitologis kedua tokoh ini

diperkuat dengan cerita bahwa nenek-moyang mereka sesungguhnya berasal dari

sebuah negeri yang sangat jauh (Sina Jawa adalah ungkapan khas masyarakat

Lamaholot Flores Timur untuk menyebutkan sebuah tempat yang sangat jauh,

yang tidak bisa diidentifikasi). Nenek moyang mereka adalah Ema Wato Sem

Bapa Madu Ma, yaitu nama ritual untuk menyebutkan tokoh Sem. Sem adalah

putra sulung Nabi Nuh yang dipercaya menurunkan semua penduduk Sina Jawa.

Perhatikan bahwa kisah ini telah mengalami interteks dengan Kitab Suci

Perjanjian Lama (Kej. 6: 9-22). Dikisahkan bahwa Nabi Nuh memiliki tiga orang

anak, yaitu Sem, Ham, dan Yafet, dan bahwa ketiga anak ini berpencar ke semua

bangsa di muka bumi ini.

2) Motif berupa konsep-konsep aturan adat-istiadat daerah. Pertama, konsep tentang

kepatutan adat penikahan. Dalam cerita Wato Wele – Lia Nurat, dikisahkan

bahwa Lia Nurat memiliki dua orang istri, Hadung Boleng Teniban Duli dan Uto

Watak Teluma Bura. Pernikahan dengan Hadung Boleng Teniban Duli adalah

pernikahan yang ideal, di mana pihak laki-laki mendatangi rumah pihak wanita.

Dikisahkan bahwa Lia Nurat turun dari gunung mendatangi perkampungan Paji

dan menikahi Hadung Boleng. Pernikahan dengan Uto Watak Teluma Bura

adalah pernikahan yang tidak layak, dan dengan demikian membawa mala petaka

bagi keluarga Lia Nurat. Diceritakan bahwa Uto Watak Teluma Bura diantar ke

puncak gunung, ke rumah Li Nurat. Masyarakat Flores Timur sangat menghargai

pihak perempuan, dan tidak pernah menganggap perempuan sebagai bahan

persembahan kepada pihak laki-laki.

Kajian historis-komparatif selanjutnya akan membandingkan kesamaan tipe dan

motif tersebut dengan tipe dan motif dari daerah yang lainnya untuk mengungkap

wilayah persebaran dan asal-usul cerita tersebut.

Motif “burung garuda” adalah sebuah motif yang sangat penting dalam banyak

peradaban di dunia ini. Garuda dipandang sebagai “king of the birds” yang bertugas

(11)

65

di langit dan menatap tajam tanpa berkedip (Chavalier, 1982: 233-328). Motif “burung

garuda” dapat ditemui di zaman para kaisar di Kerajaan Romawi Kuno, Napoleon Bonaparte, Amerika Utara, padang Siberia, Jepang, Cina, dan Afrika. Garuda adalah

simbol primitif dan kolektif untuk ‘bapak’ atau segala gambaran tentang bapak. Dalam

mitologi Artik (Kutub Utara), Asia Utara, dan Indian Amerika, garuda adalah simbol

matahari. Dalam Kitab Veda, manifestasi dualisme Langit dan Bumi digambarkan

dengan oposisi garuda dan ular atau pertarungan malaikat melawan setan. Pertanyaan

‘bermula dari manakah motif garuda itu’ akan sangat sulit dijelaskan.

Motif konsep tentang adat-istiadat amat menarik untuk ditelusuri dan dipetakan

wilayah persebarannya namun sukar menentukan asal usul konsep tersebut.

2.4 Keunggulan dan Kelemahan

Berbagai pakar dunia mengakui bahwa metode penelitian mazhab Finlandia

menghasilkan banyak sekali studi yang menarik dan memperkaya pengetahuan kita

mengenai cerita rakyat di seluruh dunia. Klasifikasi Aarne dan index Thomson sampai

sekarang masih tetap memiliki nilai yang penting untuk penelitian cerita rakyat.

Akan tetapi metode mereka memiliki kelemahan dan banyak mendapat kritikan

(Teeuw, 1984: 290). Keberatan utama terhadap metode historis-geografis ini adalah

tidak mudah melakukan klasifikasi terhadap berbagai cerita rakyat berdasarkan tipe dan

motif. Kekacauan klasifikasi pasti akan mudah dialami oleh para peneliti yang mencoba

menggolong-golongkan sebuah cerita rakyat ke dalam tipe dan motif tertentu. Selain itu,

kesimpulan tentang tua mudanya dan asli tidaknya varian tertentu sebuah cerita rakyat

pun sangat sukar dibuktikan. Penggolongan itu seringkali bersifat subjektif, tidak

konsisten, dan sebuah cerita rakyat dipecah-pecah ke dalam sejumlah motif, yang kaitan

satu sama lainnya tidak jelas lagi. Dalam contoh Kisah Wato Wele-Lia Nurat di atas,

tampak bahwa sebuah motif dapat saja memiliki wilayah persebaran yang sangat luas,

yang berakibat pada sulitnya memberikan sebuah penafsiran tunggal tentang asal-usul

dan penyebarannya. Dengan demikian jelaslah bahwa mazhab ini tidak melihat sastra

rakyat sebagai karya sastra karena sastra rakyat itu dipecah-pecah dalam motif-motif

(12)

66

Sekalipun banyak ditemui kendala dalam menggunakan klasifikasi Aarne dan

index Thomson, buku-buku mereka masih tetap mempunyai nilai sebagai acuan yang

berharga dalam melakukan studi sastra rakyat. Klasifikasi semacam itu perlu diperluas

jangkuannya agar dapat mencakup pula kajian mengenai makna dan fungsinya di dalam

kelompok masyarakat pendukungnya.

3. Teori Parry - Lord: Penciptaan Sastra Lisan

3.1 Latar Belakang

Masalah penciptaan sastra lisan menjadi bidang perhatian utama dua ahli

bahasa Yunani, yakni Milman Parry (1902-1935) dan asistennya Albert B. Lord

(1912-1991). Teori yang mereka temukan kemudian dikenal sebagai teori Parry-Lord.

Kedua peneliti ini memberikan sumbangan berharga bagi penelitian sastra lisan dari

segi metode penelitian dan konsep teori umum.

Minat terhadap aspek penciptaan sastra lisan ini diilhami oleh ilmu sastra klasik

Barat, khususnya penciptaan puisi Odysee dan Ilias karya Homeros, seorang penyair

Yunani Kuno. Sudah cukup lama Homerus sebagai penyair dipermasalahkan dalam ilmu

sastra klasik Barat. Di satu pihak Homerus dikagumi sebagai seorang penyair klasik

‘primitif’ dalam arti positif, karena dalam karyanya diungkapkan hakikat emosi

manusiawi, tanpa dicampuri berbagai konvensi yang muluk-muluk tetapi yang

kehilangan keaslian dan dirusakkan oleh kebudayaan (Teeuw, 1984: 295). Akan tetapi,

sangat ironis bahwa justru di zaman klasik, abad ke-18, Homerus mulai dipisahkan dari

tradisi pengarang klasik yang agung. Alasannya Homerus adalah seorang buta huruf,

seorang urakan, gaya bahasanya dan gambarannya tentang dewa-dewa dan manusia

bersifat kerakyatan dan kasar.

Cara penciptaan puisi Homerus juga mulai dipermasalahkan. Pada akhir abad

ke-19 ada dua anggapan yang saling bertentangan. Satu aliran beranggapan bahwa pada

awalnya karya Homerus terdiri atas nyanyian-nyanyian tersendiri, yang kemudian oleh

tradisi dipadukan menjadi dua epos yang terkenal, Odysee dan Ilias. Dengan demikian,

Homerus hanyalah seorang ‘Rhapsodis’ atau penyambung cerita. Aliran lain menganggap

puisi Homerus sangat halus dan berjalinan erat sehingga epos tersebut pasti diciptakan

(13)

67

Segera setelah selesai pendidikannya dalam bidang Klasik pada Universitas

California, Berkeley, Milman Parry mulai bergelut dengan apa yang saat itu disebut

sebagai ‘Pertanyaan Homerus” (Homeric Question), yang biasanya dirumuskan dalam dua pertanyaan, (1) Siapakah Homerus itu? Dan (2) apa sajakah puisi-puisi Homerus itu?

Pertanyaan Homerus ini sudah pernah dijawab oleh para pakar sebelumnya, seperti

Marcel Jousse, Matija Murko, dan Arnold van Gennep. Sumbangan Parry adalah

mempertanyakan kembali asumsi-asumsi dasar yang mempengaruhi penelitian, sebuah

penataan ulang yang memiliki konsekuensi yang besar pada berbagai disiplin lainnya. 8

3.2 Teori dan Metode Parry - Lord

Milman Parry adalah lulusan Universitas California di Berkley dan Universitas

Sorbone di Paris. Di Sorbone, dia dibimbing seorang linguist Antoine Meillet, yang

membimbingnya ke arah pemahaman yang mendalam mengenai “formula”. Menurut

Parry, formula adalah “sekelompok kata yang secara teratur digunakan dengan kondisi metris yang sama untuk mengekspresikan sebuah gagasan yang esensial.”

Parry adalah orang pertama yang mencoba membuktikan bahwa karya Homerus

merupakan karya utuh dan sempurna. Bahwa Homerus memang memanfaatkan dan

menggali kekayaan tradisi lisan pada zamannya, tetapi berdasarkan konvensi tradisi lisan

itu dia menciptakan karya sastranya sebagai suatu keseluruhan.

Milman Parry tidak puas dengan hipotesisnya itu karena dibangun berdasarkan

bahan-bahan yang berasal dari tiga ribu tahun yang lalu. Maka bersama dengan muridnya

Albert B. Lord, dia melakukan penelitian lapangan di Yugoslavia untuk membuktikan

sendiri proses penciptaan epos rakyat itu. Yugoslavia dipilih karena di sana masih cukup

banyak penyanyi epos rakyat. Di sana mereka meneliti puluhan contoh epos rakyat

seperti yang dinyanyikan oleh tukang cerita (dalam bahasa Yugoslavia, Guslar).

Dari berbagai epos itu, mereka meneliti a) teknik penciptaan epos rakyat, dan b)

cara tradisi ini diturunkan dari guru ke muridnya. Mereka juga meneliti c) resepsi karya

sastra itu oleh masyarakat, yaitu audience yang menghadiri performance. Hasil penelitian

8Lihat Wikipedia (2010), “Oral Tradition” . Diunduh dari www.wikipedia.com tanggal 2 Januari

(14)

68

mereka, sesudah Parry meninggal, diterbitkan Lord dalam buku berjudul The Singer of

Tales (1960) yang kini menjadi sebuah buku klasik ilmu sastra (Teeuw, 1984: 297).

Menurut teori Parry-Lord, proses penciptaan sastra lisan dapat dicermati dari

cara mereka memanfaatkan persediaan formula yang siap pakai sesuai dengan konvensi

sastra yang berlaku. Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Yugoslavia, Parry &

Lord membuktikan bahwa struktur sastra lisan selalu berubah-ubah, lincah dan hidup

karena selalu diciptakan dan dihayati kembali sesuai dengan daya cipta pembawa

maupun penikmatnya (Teeuw, 1988b: 299).

Jika diringkas, teori Parry – Lord tentang penciptaan sastra lisan itu mencakup

aspek-aspek: formula dan ungkapan formulaik, tema-tema atau kelompok gagasan, dan

teori penciptaan atau pewarisan. Hal-hal itu akan dibahas di bawah ini.

3.2.1 Formula dan Ungkapan Formulaik

Ide baru yang dilontarkan Parry adalah, bahwa modal utama penciptaan karya

Homeros adalah dengan memanfaatkan persediaan formula dan ungkapan formulaik yang

sangat menonjol. Formula adalah kelompok kata yang secara teratur dimanfaatkan dalam

kondisi matra yang sama untuk mengungkapkan satu ide pokok. Sedangkan ungkapan

formulaik adalah larik atau separuh larik yang disusun berdasarkan formula (Lord, 1976:

47, Abdullah, 1991: 523). Baik formula maupun ungkapan formulaik merupakan

unsur-unsur yang siap pakai (stock-in-trade), dalam arti setiap kali tukang cerita bertutur,

unsur-unsur tersebut pasti dipergunakan. Unsur-unsur itu biasanya dihafal sehingga

wacana kebudayaan lisan sangat tergantung pada penggunaan ungkapan-ungkapan yang

cukup baku dalam bentuk bergaya (fixed utterance in stylised form), misalnya dalam

peribahasa-peribahasa dan kata-kata adat lainnya.

Formula dan ungkapan formulaik dalam penuturan sastra lisan bahkan tidak

hanya berfungsi sebagai wadah ‘menceritakan’ atau menjelaskan pokok isi suatu cerita tetapi merupakan pokok itu sendiri (Sweeney, 1987: 96-97). Dalam penyusunan cerita,

orientasi lisan terutama tampak pada perangkaian potongan-potongan formula menjadi

akumulasi formula. Dengan demikian, cerita lebih menyerupai proses perakitan formula

(15)

69

Sebagai ilustrasi, dalam epos Homeros terdapat sangat banyak epitet (epitheton),

yang dimanfaatkan langsung dalam posisi matra tertentu. Penggunaan epitheton yang

begitu banyak tentu bukanlah suatu kebetulan. Epitheton adalah kata sifat atau klausa

yang berfungsi sebagai kata sifat yang memerikan ciri khas seseorang atau sesuatu benda,

keadaan dan lain-lain. Perhatikan tabel di bawah ini.

Tabel 2: Epitheton

Selain terwujud dalam epitheton, formula dan ungkapan formulaik sebagai

orientasi lisan terlihat dalam struktur formal puisi dan struktur sintaksis puisi. Dalam

struktur formal puisi, jumlah kata dalam larik dan bait, sistem pembaitan, dan gaya

bahasa kiasan seperti: metafora dan perumpamaan, metonomia dan sinekdoke, ironi dan

sinisme seringkali dipergunakan secara berulang-ulang. Dalam struktur sintaksis,

pola-pola lisan terlihat dalam penggunaan sarana retorika seperti: paralelisme, pleonasme dan

tautologi, repetisi dan enumerasi (lihat studi yang dilakukan Abdullah, 1991: 522-558;

dan Taum, 1994: 218-262).

3.2.2Tema atau Kelompok Gagasan

Dalam studi Parry dan Lord, terungkap bahwa sistem formula tidak hanya

terdapat dalam tataran struktur formal dan struktur sintaksis melainkan juga dalam tataran

struktur semantik. Dalam kajian naratif, mereka menemukan bahwa ternyata ada

kelompok-kelompok gagasan yang secara teratur digunakan dalam penceritaan puisi

tradisional yang bergaya formulaik. Lord menyebut kelompok-kelompok ide itu sebagai

tema-tema atau ‘themes’ (Lord, 1981: 68).

Menurut Lord, dari pengalaman para penyair lisan ataupun pengalaman kita

(16)

70

sama menyampaikan puisi yang sama pada beberapa kesempatan berbeda, tidak ada

alasan untuk mengatakan bahwa sebuah tema dapat diekspresikan hanya dalam sebuah

rangkaian kata-kata. Sebaliknya tema –sekalipun bersifat verbal—dirumuskan dalam

kelompok-kelompok gagasan. Jadi di samping formula dan ungkapan formulaik, seorang

penyair juga memiliki adegan siap pakai yang disebut tema. Dalam studi Abdullah (1991:

559-564; Taum, 1994: 263-301) disebutkan berbagai adegan dan deskripsi bagian-bagian

cerita yang ‘siap pakai’ yang tersedia dalam konvensi sesuai dengan horizon harapan

penikmat. Pemakaian gaya bercerita semacam itu dalam rangka pembacaan menampilkan

pula berbagai tataran semantik.

Dalam jagat sastra lisan, Lord (1981: 70) menyebutkan bahwa ada sejumlah ide

atau kelompok-kelompok ide yang secara teratur digunakan dalam penceritaan,

khususnya dalam cerita-cerita bergaya formulaik. Kelompok-kelompok ide itu oleh

Lord disebut sebagai "themes." Istilah 'tema-tema' yang oleh Lord diartikan sebagai

kelompok-kelompok ide siap pakai, barangkali dapat disejajarkan dengan pandangan

Sweeney (1980: 33) tentang 'komposisi skematis' sebagai sebuah cara membangun

komposisi cerita berdasarkan suatu kerangka jalan cerita yang dihafal (tema-tema yang

juga siap dipakai oleh tukang cerita). Kesimpulan ini ditarik berdasarkan penelitian

lapangannya. Menurut dia, pengalaman para penyair lisan ataupun pendengar menyimak

sebuah cerita yang sama dari beberapa penyair menunjukkan bahwa tema-tema tertentu

seringkali muncul dalam cerita tersebut. Demikian pula jika kita mendengarkan sebuah

kisah yang sama dari penyair yang sama dalam kesempatan-kesempatan berbeda,

tema-tema itu sering kali dimunculkan kembali.

Berdasarkan kenyataan itu, Lord mengungkapkan bahwa tidak ada alasan bagi

kita untuk menyatakan bahwa sebuah cerita hanya memiliki satu tema saja. Dengan

kata lain, tema sebuah cerita tidak dapat diekspresikan hanya dalam sebuah rangkaian

kata-kata saja. Sebaliknya tema harus diungkapkan dalam kelompok-kelompok gagasan

berdasarkan perbandingan terhadap variasi-variasi teks. Tema-tema itu dapat berupa

adegan-adegan siap pakai ataupun deskripsi bagian-bagian cerita yang tersedia dalam

konvensi dan sesuai dengan horizon harapan penikmatnya.

Untuk mengungkapkan tema-tema yang terdapat dalam sebuah karya sastra

(17)

71

ataupun beberapa cerita yang berbeda untuk menunjukkan manakah 'adegan-adegan siap

pakai' ataupun 'deskripsi bagian-bagian cerita yang disiapkan dalam konvensi'. Dalam

penelitian sastra lisan, selain formula dan ungkapan-ungkapan formulaik yang

dianalisis dalam struktur formal teks, perlu dicermati pula berbagai adegan siap pakai

dan deskripsi bagian-bagian cerita yang disiapkan dalam konvensi kebudayaan

masyarakat pendukung sastra lisan tersebut.

Telah ditunjukkan di atas bahwa dalam sastra lisan, formula, ungkapan-ungkapan

formulaik, ataupun kelompok-kelompok ide dan deskripsi bagian-bagian cerita dalam

alur mengacu kepada berbagai realitas. Formula-formula itu sering kali diulang-ulang

dalam sebuah korpus kebudayaan. Formula-formula itu dapat ditemukan dalam berbagai

genre cerita dalam berbagai kebudayaan. Apakah artinya ini? Jika kita menerima

pandangan bahwa fungsi sastra lisan dalam masyarakat tradisional lebih kuat

tekanannya pada unsur 'utile' (berguna), dapat dikatakan bahwa formula-formula itu

hanyalah sarana atau instrumen untuk menyampaikan sistem nilai atau unsur-unsur

didaktik sesuai dengan pandangan dunia konvensional. Dengan demikian, sesungguhnya

formula-formula itu merupakan simplifikasi gagasan-gagasan yang kompleks, yang

dalam arti tertentu bersifat simbolik.

Dalam berbagai kebudayaan di dunia, misalnya, mudah ditemukan tema atau

motif ’kompleks Oedipus.' Istilah 'kompleks Oedipus' terutama diperkenalkan oleh

tokoh psikoanalisis Sigmund Freud untuk menyebut cinta seksual anak kepada

orangtuanya yang berbeda jenis kelaminnya (misalnya anak perempuan kepada ayahnya,

atau anak laki-laki kepada ibunya). Rasa cinta ini seringkali ditekan ke alam bawah sadar

karena dianggap sebagai 'dosa'. Menurut ahli-ahli psikologi, kecemburuan anak kepada

orang tua lawan jenisnya itu seringkali muncul dalam berbagai cerita rakyat. Anak

laki-laki membunuh ayahnya dan mengawini ibunya sendiri secara mengherankan dapat

ditemukan. Di Indonesia motif Oedipus dapat dijumpai dalam berbagai cerita. Menurut

Rusyana (1993), motif semacam itu antara lain dijumpai dalam (1) cerita Sangkuriang di

Sunda, (2) cerita terjadinya orang Kalang di Pekalongan, (3) cerita Watu Gunung dan

Dewi Sinto dalam Babad Tanah Jawa, (4) cerita Gunung Darapung masyarakat

Bone, (5) cerita Kebo Mundar dari masyarakat Bali, (6) cerita Gua Batu Sepong dalam

(18)

72

pula kita sebutkan legenda Pangeran Samudra yang mengawini ibunya di Gunung

Kemukus, Sragen, Jawa Tengah.

Bertahannya tema-tema semacam itu menarik untuk ditelusuri makna dan

terutama fungsi cerita itu bagi masyarakat pendukungnya. Ada sebagian ahli (terutama

para ahli psikoanalisis) yang menganggap bahwa kisah-kisah itu menunjukkan alam

bawah sadar manusia yang dapat diterima kebenarannya sesuai dengan ungkapan

bahasanya, apa adanya. Kisah Oedipus, misalnya, menunjukkan bahwa dalam diri

setiap manusia terdapat cinta seksual kepada orang tuanya yang berlainan jenis

kelaminnya. Oedipus membunuh ayahnya dan mengawini ibunya sendiri secara tegas

menunjukkan pergolakan bawah sadar manusia itu. Dengan demikian, cerita itu diterima

sebagai sebuah 'kebenaran ilmiah'. Sebagian ahli lainnya seperti Whellwright (1965) dan

Malinovsky (lihat Cairns, 1944) menganggap bahwa penafsiran terhadap tema-tema

semacam itu perlu dikaitkan dengan data-data historis suatu masyarakat karena

cerita-cerita rakyat seringkali memiliki makna diaphoris dengan tradisi suku-suku tertentu.

Dengan lain perkataan, motif-motif yang sama dapat saja memiliki makna berbeda sesuai

dengan pengalaman sejarah masing-masing kebudayaan.

Levi-Strauss (1958) mengungkapkan perspektif yang berbeda tentang fungsi

formula-formula tersebut, terutama dalam masyarakat primitif. Menurut dia, cerita-cerita

rakyat (khususnya mitologi-mitologinya) merupakan alat logika yang digunakan untuk

memecahkan kontradiksi-kontradiksi yang berkaitan dengan masalah-masalah mendasar

(situasi batas manusia) yang dialami dalam kehidupannya. Cerita-cerita itu menawarkan

suatu model pemahaman yang sedapat mungkin masuk akal terhadap hal-hal yang secara

sepintas tampak kontradiktif. Cerita Oedipus, menurut Levi-Strauss, merupakan jawaban

manusia terhadap pertanyaan mendasar 'Bagaimana mungkin manusia (one) dapat

dilahirkan dari pria dan wanita (two)? Mengapa kita tidak diturunkan dari seorang

pencipta saja?"

Bagi para peneliti sastra lisan, berbagai metode dan teknik-teknik penelitian

yang dikenal dalam ilmu sastra dan ilmu kritik teks dapat dijadikan pedoman untuk

(19)

73

tataran makna (significance).9 Dengan demikian, pendekatan sastra dapat leluasa

menafsirkan tema-tema itu tanpa terikat pada satu makna tunggal.

3.2.3 Prosedur Pewarisan

Teknik-teknik penciptaan dan cara tradisi itu diturunkan penyair lisan (di

Yugoslavia penyair lisan disebut Guslar) kepada para murid-murid/pengikutnya menarik

perhatian kedua peneliti ini. Menurut Parry-Lord, cerita-cerita tidak dihafalkan

turun-temurun. Sebaliknya setiap kali cerita itu dibawakan, teksnya diciptakan kembali secara

spontan dan disesuaikan dengan minat pendengar, keadaan pembawaannya, dan waktu

yang disediakan. Hal yang tetap pada cerita-cerita lisan bukan alur cerita melainkan

kelompok-kelompok ide yang disediakan oleh konvensi. Dengan bantuan formula dan

ungkapan-ungkapan formulaik yang baku, kelompok-kelompok ide itu dirakit menjadi

sebuah bentuk yang utuh.

Prosedur pewarisan teknik bercerita dari seorang penyair Yugoslavia (guslar)

kepada muridnya dilaksanakan melalui semacam sistem pendidikan 'formal' (lihat

Abdullah, 1991: 68). Pelajaran pertama bagi calon guslar adalah mendengarkan gurunya

menyanyikan satu bagian cerita, yang disusul atau diulangi oleh muridnya. Masa

berguru ini mencapai waktu rata-rata tiga tahun lamanya, yakni sampai calon mampu

menyanyikan sebuah cerita secara utuh. Sebagai pelajaran terakhir, si calon menemani

gurunya mengadakan pertunjukkan. Dalam setiap kesempatan ini ia diberi waktu oleh

gurunya melanjutkan cerita selama beberapa menit ketika gurunya beristirahat. Prosedur

ini mirip dengan proses pewarisan sastra lisan Minangkabau (tukang sijobang) (Philips,

1981) dan penyair lisan Aceh (Abdullah, 1991). Kemiripan ini dapat dipahami karena

penceritaan dilakukan sebagai semacam kegiatan profesional.

9 Dalam studi sastra, arti (mea ning) dan makna (significance). Karya sastra merupakan dialektik

(20)

74

3.3 Contoh Penerapan teori Parry-Lord: Koda Knalan di Flores Timur

Sebagaimana disebutkan di atas, teori Parry Lord pernah diterapkan oleh Imran T.

Abdullah dan Yoseph Yapi Taum (lihat studi yang dilakukan Abdullah, 1991: 522-558;

dan Taum, 1994: 218-262). Berikut ini dikemukakan beberapa pokok gagasan dari studi

yang dilakukan Taum sebagai ilustrasi penerapan teori Parry-Lord. Studi Taum (1994)

berjudul Tradisi dan Transformasi Cerita ’Wato Wele-Lia Nurat’ dalam Sastra lisan

Flores Timur melibatkan 8 teks puisi lisan masyarakat lamaholot di Kabupaten Flores

Timur yang disebut koda klaken atau koda knalan. 10

Koda klaken memiliki struktur formal (berupa jumlah kata dalam larik, pasangan

kata, dan kombinasi pasangan kata) dan sitem pembaitan (yang memiliki pola konstruksi

bait yang teratur) yang diikuti secara ketat dan konsisten. Keindahan bahasa puisi koda

klaken dalam menuturkan cerita ’Wato Wele – Lia Nurat’ yang relatif cukup panjang

menimbulkan pertanyaan tentang proses penciptaan dan pewarisannya. Teori Parry-Lord

dapat dipergunakan untuk menjelaskan ’rahasia’ tersebut.

3.3.1 Formula dan Ungkapan Formulaik

Dalam menuturkan cerita mitologis Wato Wele-Lia Nurat, bahasa-bahasa kiasan

11 dan sarana-sarana retorika sering kali dipergunakan oleh si penutur.

Dalam penuturan cerita Wato Wele – Lia Nurat, ditemukan gaya bahasa metafora,

personifikasi, dan perumpamaan, meskipun digunakan secara terbatas. Gaya bahasa

metafora atau gaya bahasa perbandingan implisit terlihat dalam kutipan berikut ini.

(1)

kaum laki-laki) artinya bahasa yang digunakan kaum laki-laki dalam membicarakan masalah-masalah adat dan ritual formal. Klaken (bahasa Lamaholot, artinya laki-laki) artinya bahasa khusus tersebut merupakan bahasa kaum laki-laki. Koda knalan atau koda klaken adalah sebuah istilah yang digunakan untuk menyebut puisi lisan khas Lamaholot, yang memiliki ciri utama pasangan diadik.

11 Gaya bahasa kiasan adalah penggunaan bahasa yang dibentuk berdasarkan perbandingan atau

(21)

75

(3) Deket ape ptala tapo//

Hemo ape belia hire

Menyalakan api bintang pagi//

Membuat api bintang timur

Untuk menggambarkan betapa jauhnya kampung Sina Jawa, kutipan (1) menjelaskan

bahwa tempat itu tidak dapat dicapai oleh ’ujung jeruk//pucuk mangga”. Dalam kutipan

(2), metafora ”kilat menyambar//gempa mengguncang” dimanfaatkan untuk melukiskan

hasil panen yang melimpah. Metafora ”api bintang pagi//api bintang timur”

menggambarkan api ghaib (ape be-open) yaitu api yang dibuat oleh Lia Nurat.

Gaya bahasa perbandingan eksplisit terlihat dalam dua kutipan berikut ini.

(4)

(yakni gaya bahasa personifikasi) tampak pada kutipan-kutipan berikut.

(6)

Gaya bahasa yang lebih banyak dijumpai adalah metonimia dan sinekdokhe.

Metonimia adalah suatu gaya bahasa yang mempergunakan sebuah kata untuk

menyatakan sesuatu hal yang lain karena mempunyai pertalian yang sangat dekat.

Sinekdoke adalah semacam gaya bahasa figuratif yang mempergunakan sebagian dari

sesuatu hal untuk menyatakan keseluruhan atau mempergunakan keseluruhan untuk

menyatakan sebagian (Keraf, 1985: 142).

Metonimia yang dominan dalam penuturan Wato Wele – Lia Nurat adalah akibat

digantikan isi dengan wadah (relasi logik). Beberapa contoh dikemukakan di bawah ini.

(22)

76

Sepuluh dan lima dalam kutipan (8) ingin menggambarkan bahwa perkampungan Paji

dan Beda sudah banyak (tidak hanya 10 dan 5 kampung). Dalam kutipan (9), ’gunung’

dan ’bukit’ adalah metonimia yang digunakan untuk menggantikan tokoh Lia Nurat, yang

dalam pemahaman masyarakat setempat memang identik dengan Gunung Ile Mandiri.

Gaya bahasa Sinekdoke terlihat dalam kutipan berikut ini. Kutipan (10)

menggambarkan bahwa Lia Nurat lebih unggul dibandingkan dengan orang-orang Paji,

bukan hanya dalam bidang hasil bumi. Dalam kutipan (11), ’telinga’ menggambarkan

istri Lia Nurat. Tentu saja bukan hanya ’telinga’ yang dibayar lunas melainkan juga

keseluruhan badan dan jiwa istrinya.

(10)

(11)

Ehin uro Paji//

Wain epa Beda

Tilun elu sope ana//

Nuti wihun sope ana

Hasilnya melebih Paji//

Tuaiannya melampaui Beda

Telinganya terbayarkan anaknya terlunaskan//

Belis diberikan mas kawin dibayarkan.

Kesemua gaya bahasa tersebut merupakan ungkapan-ungkapan formulaik yang

sudah disiapkan oleh tradisi, dan yang dapat dipergunakan oleh siapapun dalam

menuturkan berbagai kisah dan peristiwa.

3.3.2 Tema-tema atau Kelompok Gagasan

Tema-tema atau kelompok-kelompok gagasan di dalam cerita Wato Wele-Lia

Nurat, khususnya dalam versi X (teks A, B, dan H), terdiri dari delapan kelompok tema

sebagai berikut.

(1) Cerita tentang sebuah lokasi yang sangat jauh, yang dinamakan Sina Jawa, yang

merupakan asal-usul tokoh Wato Wele dan Lia Nurat.

(2) Deskripsi tentang burung garuda, telur burung garuda, dan kelahiran manusia dari

telur burung garuda itu.

(3) Cerita tentang perjalanan mencari tempat untuk menetap dan identifikasi lokasi,

kebun, nuba nara, dan kampung yang dibangun.

(4) Adegan Lia Nurat menyalakan api di puncak gunung Ile Mandiri merupakan

(23)

77

sangat terang, mencapai kampung Paji dan menarik perhatian bakal istrinya yang

bernama Hadung Boleng Teniban Duli.

(5) Adanya bagian cerita yang mendeskripsikan secara rinci mengenai anak-anak Lia

nurat dan Hadung Boleng. Deskripsi ini merupakan sebuah konvensi penceritaan

yang sangat penting, karena berkaitan dengan legitimasi pemilikan tanah.

(6) Adegan pertengkaran kedua istri Lia Nurat, Hadung Boleng Teniban Duli dan Uto

Watak Teluma Burak, yang berakhir dengan kematian Lia Nurat sebagai akibat

pembalasan dendam dari keluarga Uto Watak Teluma Burak.

(7) Adegan peperangan di Adonara antara putra-putra Lia Nurat melawan suku Paji,

yang berakhir dengan kematian putra sulung Lia Nurat bernama Blawa Burak

Sina Puri.

(8) Adegan penutup cerita berupa pembagian tanah antara anak-anak laki-laki Lia

Nurat, yang sampai sekarang ditempati oleh keturunannya masing-masing di

wilayah Baipito.

Kedelapan tema tersebut merupakan adegan-adegan siap pakai yang telah

disiapkan oleh konvensi, yang dapat dimanfaatkan oleh berbagai tukang cerita setiap kali

mereka ingin menuturkan kisah Wato Wele-Lia Nurat.

3.3.3 Prosedur Pewarisan

Di daerah-daerah lain, mungkin saja penuturan sastra lisan tidak dilakukan

sebagai sebuah kegiatan profesi, dalam arti si penutur sastra lisan mengikuti proses

pendidikan tertentu. Masyarakat Flores Timur, misalnya, mengenal tradisi puisi lisan

(yang disebut koda knalan atau koda klaken) dengan sistem dan kaidah-kaidah poetika

yang diikuti secara ketat dan teratur, akan tetapi proses menjadi seorang pembawa puisi

lisan yang mahir tidak melalui pola yang demikian (Taum, 1995: 46-51). Kemampuan

dan kemahiran menggunakan bahasa sastra 'koda knalan' umumnya dipercaya sebagai

suatu rahmat atau karunia ('kurnia') Tuhan. Dalam istilah mereka, kemampuan itu

diakibatkan "mnuno buno" (mnuno = bintang; buno = jatuh, menukik), yaitu

orang-orang tertentu yang 'kejatuhan bintang'. Ada keyakinan bahwa selalu ada salah seorang-orang

anak dari keluarga tua adat yang muncul dengan kemampuan bersastra. Di wilayah

(24)

78

seseorang bercerita, dia didatangi dan didampingi oleh Manuk Sili Gokok yaitu seekor

burung garuda yang memberinya kemampuan bersastra itu.

Berbagai gaya retorika dalam komposisi sastra lisan menunjukkan ciri-ciri

formulaik, baik dalam tataran struktur formalnya maupun dalam tataran semantisnya.

Ciri-ciri formulaik itu dapat dipahami dalam konteks fungsi sastra lisan sebagai sarana

bagi penyimpanan, penyampaian dan pewarisan berbagai norma, konvensi, dan sistem

nilai dalam lingkup suatu kebudayaan tertentu. Variasi-variasi teks dapat dikaji dalam

hubungannya dengan aspek tanggapan (resepsi) penutur cerita terhadap norma-norma

konvensional tersebut, entah norma-norma kesusastraan maupun norma-norma sosial

kemasyarakatan. Menurut paham resepsi sastra, pergeseran unsur-unsur teks berkaitan

erat dengan horison harapan penutur terhadap sistem konvensi tersebut. Perlu dipahami

bahwa perubahan-perubahan kemasyarakatan mengakibatkan munculnya variasi-variasi

suatu teks tertentu.

Penciptaan sastra lisan pada umumnya dipermudah berkat adanya formula,

ungkapan-ungkapan formulaik, dan tema-tema siap pakai. Pencipta sastra lisan bertugas

merakit formula-formula tersebut ke dalam sebuah cerita yang utuh. Dengan demikian,

sastra lisan tampak sebagai akumulasi formula-formula. Meskipun demikian, struktur

sastra lisan sesungguhnya tidak beku karena setiap kali diceritakan, teks itu diciptakan

secara baru dan spontan sesuai dengan situasi pendengar, waktu yang tersedia, maupun

keadaan si penggubah sendiri.

Dalam kebudayaan-kebudayaan tertentu, seorang sastrawan (penyair lisan atau

tukang cerita) adalah seorang profesional yang mencapai status tersebut melalui sistem

pendidikan tertentu yang diikuti dengan teratur. Dalam kebudayaan yang lain, seorang

sastrawan lisan tidak mengikuti sistem pendidikan tertentu. Jika dilacak lebih jauh

mengenai sumber-sumber cerita, dapat dijumpai berbagai aspek intertekstualitas dalam

sebuah teks. Kajian terhadap hal ini dapat menjelaskan migrasi dan difusi sebuah bentuk

kebudayaan.

Jika dipandang bahwa dalam sastra lisan terdapat kesatuan formal dan semantik,

maka kaidah-kaidah formal yang diuraian di atas dapat menjadi salah satu petunjuk untuk

menemukan arti dan makna teksnya. Lord (1981: 68) mengungkapkan bahwa formula

(25)

79

ungkapan Lord sendiri, "The tale's the thing"; cerita atau kisah itulah pokoknya.

3.4 Kekuatan dan Kelemahan

Studi Parry dan Lord menjawab misteri penciptaan Homerus yang buta huruf

dapat menciptakan puisi Odysee dan Ilias yang sangat terkenal itu. Parry adalah orang

pertama yang membuktikan bahwa karya Homerus merupakan karya utuh dan sempurna.

Bahwa Homerus memang memanfaatkan dan menggali kekayaan tradisi lisan pada

zamannya, tetapi berdasarkan konvensi tradisi lisan itu dia menciptakan karya sastranya

sebagai suatu keseluruhan. Pandangan ini memberikan wawasan baru dalam teori

ekspresivisme, khususnya menyangkut proses penciptaan, pewarisan, dan pembentukan

atau komposisi sebuah cerita. Pada tataran sintaksis terdapat formula dan ungkapan

formulaik yang sudah disediakan oleh tradisi bahasa dan yang siap digunakan oleh

tukang cerita dalam merangkaikan kalimat di dalam penceritaan. Pada tataran wacana,

tradisi juga sudah menyiapkan tema atau kelompok gagasan yang merupakan

adegan-adegan siap pakai yang merupakan kekayaan tradisi lisan setempat, yang siap

dimanfaatkan oleh tukang cerita. Teori penciptaan Lord ini kiranya berlaku pula pada

penceritaan kisah-kisah yang panjang seperti dalam cerita wayang ataupun kisah-kisah

perjalanan Panji. Seorang tukang cerita (dalang) tentu memiliki formula dan

ungkapan-ungkapan formulaik serta adegan-adegan siap pakai yang dapat dimanfaatkannya setiap

kali melakukan pementasan. Kepandaian seorang tukang cerita dapat dipandang sebagai

sebuah ketrampilan yang dapat dipelajari siapapun yang berminat menjadi tukangcerita.

Teori penciptaan Parry dan Lord kiranya tidak dapat begitu saja diterapkan dalam

proses penciptaan prosa maupun puisi-puisi lisan yang relatif pendek. Dalam berbagai

kebudayaan tradisional di Indonesia, kadang-kadang muncul fenomena bahwa proses

pewarisan kemampuan bercerita dari seorang tukang cerita ke tukang cerita lainnya

melibatkan hal-hal yang bersifat magis, seperti bertapa, pemberian kembang dan mahar

tertentu, upacara ritual, doa dan slametan. Hal ini tidak disinggung sama sekali dalam

teori Milman-Parry.12

12 Dalam pengamatan saya, belum pernah ada peneliti yang secara khusus menganalisis proses

(26)

80

Sekalipun demikian, pernyataan Parry dan Lord bahwa keahlian seorang tukang

cerita selalu tidak terlepas dari ketrampilannya merangkai kalimat dan adegan-adegan

siap pakai merupakan sebuah kenyataan artistik yang sulit dibantahkan. Tanpa

kemampuan tersebut, sukar diharapkan adanya tukang cerita yang mampu membawakan

berbagai cerita rakyat yang sudah dikenal masyarakat secara memuaskan.

4. Rangkuman

Teori-teori analisis sastra lisan sesungguhnya sudah lebih dahulu berkembang

dalam disiplin ilmu-ilmu lain, seperti antropologi, psikologi, filsafat, dan sosiologi.

Sekalipun masih boleh terbilang baru, pendekatan sastra terhadap studi sastra lisan sudah

mulai menyebar dan memasuki arus utama ilmu sastra. Dengan pendekatan ilmu sastra,

gejala sastra lisan dapat didekati dan dipahami sebagai sebuah komunikasi tekstual yang

melibatkan pencipta, pendengar, teks itu sendiri, dan aspek-aspek sosial kemasyarakatan

yang terkandung dalam teks tersebut.

Secara khusus pendekatan dalam rangka ilmu sastra dirintis jalannya oleh

pendekatan Madzab Finlandia yang terutama menyoroti tipe dan motif yang terkandung

dalam berbagai cerita rakyat di dunia. Studi sastra lisan Madzab ini sangat berorientasi

historis-komparatif, sesuai dengan semangat keilmuan pada zamannya. Pergesaran

kemudian terjadi dengan munculnya pandangan Milman Parry dan Albert B. Lord yang

memperkenalkan model analisis sastra lisan dengan memperhatikan aspek-aspek formula,

ungkapan formulaik, dan tema-tema siap pakai yang merupakan konvensi penciptaan

sastra lisan. Dalam hal ini, orientasi penelitian ekspresionis mulai dikembangkan oleh

penelitian Parry-Lord.

4.5 Pertanyaan Pendalaman

1. Jelaskan karakteristik studi sastra lisan yang dilakukan oleh Madzab Finlandia,

beserta kritik terhadap kekuatan dan kelemahan cara kerja madzab ini.

2. Kumpulkan sejumlah minimal 6 buah cerita lisan dari daerah Anda, kemudian

lakukan klasifikasi dan kajian terhadap motif cerita tersebut dengan menggunakan

(27)

81

3. Lakukan observasi, inventarisasi, dan kajian terhadap sastra rakyat yang terdapat

di wilayah tempat tinggal Anda. Himpunlah semua cerita prosa dari setiap tukang

cerita yang ada di desa tersebut. Rekam cerita tersebut dalam bahasa daerah,

kemudian berikan terjemahan dan catatan terhadap cerita-cerita tersebut.

Selanjutnya, klasifikasikan cerita-cerita rakyat tersebut berdasarkan type dan

motif, seperti dikemukakan oleh Madzab Finlandia.

4. Terangkan karakteristik studi sastra lisan yang dilakukan oleh Parry-Lord, beserta

kritik terhadap kekuatan dan kelemahan cara kerja madzab ini.

5. Melalui observasi dan wawancara-mendalam terhadap sebuah teks sastra lisan,

analisislah proses penciptaannya dengan menggunakan pendekatan Parry-Lord.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Imran T. 1991. Hikayat Meukuta Alam: Suntingan Teks dan Terjemahan Beserta Telaah Struktur dan Resepsi. Jakarta: PT Intermasa.

Ahimsa-Putra, Heddy Shri. 2006. Strukturalisme Levi-Strauss: Mitos dan Karya Sastra.Yogyakarta: Kepel Press.

____________________, 2010. “Strukturalisme Levi-Strauss di Indonesia 2009”.

http://kunci.or.id/public-culture-series/strukturalisme-levi-strauss-di-indonesia-2009-oleh-heddy-shri-ahimsa-putra/. Diunduh tanggal 16 Maret 2010.

Baroroh-Baried, Siti, Siti Chamamah Soeratno, Sawoe, Sulastin-Sutrisno, Moh. Syakir. 1985. Pengantar Teori Filologi. Jakarta: Depdikbud.

Bascom, William. 1984. "The Forms of Folklore: Prose Narratives" dalam Allan

Dundes (ed.) Sacred Narrative: Readings in the Theory of Myth. California: University of California Press.

Bertens, K., 1985. Filsafat Barat Abad XX Jilid II Perancis. Jakarta: Gramedia.

(28)

82

Braginsky, V. Y., 1975. Some Remarks on the Structure of the 'Sya'ir Perahu' By Hamzah Fansuri dalam KITLV, 131.

Carvalho-Neto, Paulo de. 1985. Concept of Folklore (Terjemahan Jacques M.P. Wilson). Coral Gables, Florida: University of Miami Press.

Chase, Richard. 1969. "Notes on the Study of Myth" dalam John B. Vickery Myth and Literature. Lincoln: University of Nebraska Press.

Chavalier, Jean and Alain Gheerbrant, 1982. The Penguin Dictionary of Symbols.

London: Penguin Books Ltd.

Culler, Jonathan. 1977. The Pursuit of Signs: Semiotics, Literature, Deconstruction. London: Routledge & Kegan Paul.

____________. 1981. Structuralist Poetics: Structuralism, Linguistics and the Study of Literature. London: Routledge & Kegan Paul.

Damono, Sapardi Djoko. 1977. Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Depdikbud.

Danandjaya, James. 1991. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lain-lain. Jakarta: Grafiti Press.

Depdikbud,1996. 20 Tahun Pembangunan Pendidikan dan Kebudayaan di Timor Timur. Dili: Kanwil Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Timor Timur.

Dhavamony, Mariasusai, 1997. Fenomenologi Agama. Diterjemahkan oleh Kelompok Studi Driyarkara. Yogyakarta: Kanisius.

Djamaris, Edward, et.al., 1993. Nilai Budaya Dalam Beberapa Karya Sastra Nusantara: Sastra Daerah Sumatera. Jakarta : Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Depdikbud.

Djawanai, Stephanus A. 1980. A Study of the Ngadha Text Tradition: A Linguistic

Investigation of the Collective Mind of the Ngadha People on the Island of Flores, Indonesia. Ann Arbor: The University of Michigan (Disertasi).

Dundes, Alan. 1980. Interpretating Folklore. Bloomington & London: Indiana University Press.

--- 1984. Sacred Narrative: Reading in the Theory of Myth. Berkeley-Los Angeles-London: University of California Press.

(29)

83

Frenz, Horst. 1990. “Seni Terjemahan” dalam Newton P. Stallhecht dan Horst Frenz (Eds). Sastera Perbandingan: Kaedah dan Perspektif. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

Foulcher, Keith. 1991. P ujangga Baru: Kesusastraan dan Nasionalisme di Indonesia 1933 1942. Jakarta: Girimukti Pasaka.

Fox, James J. 1986. Bahasa, Sastra dan Sejarah: Kumpulan Karangan Mengenai Masyarakat Pulau Roti. Jakarta: P. T. Djambatan.

Gaster, Theodor H. 1984. "Myth and Story" dalam Sacred Narrative: Readings in the Theory of Myth. (Alan Dundes, ed.) California: University of California Press.

Guillen, Claudio. 1971. Literature as System: Essa ys toward Theory of Literary History. Princeton University Press.

Hartoko, Dick dan B. Rahmanto. 1984. Pemandu di Dunia Sastra. Yogyakarta: Kanisius.

Heryanto, Ariel. 1988. “Masihkah Politik Jadi Panglima? Politik Kesusastraan Indonesia Mutakhir” dalam Prisma, nomor 8 Tahun XVII – 1988.

____________. 1989. “Berjangkitnya Bahasa-Bangsa di Indonesia” dalam Prisma,

nomor 1 Tahun XVIII – 1989.

Hicks, David, 1985. Roh Orang Tetum di Timor Timur. Penerjemah Tim PSH. Jakarta: Penerbit Sinar Harapan.

Hutomo, Suripan Sadi. 1991. Mutiara Yang Terlupakan: Pengantar Studi Sastra Lisan. Surabaya: HISKI Jawa Timur.

________________. 1993. “Yang Tak Abadi adalah Yang Abadi: Transformasi Cerita

Sarahwulan” Makalah Seminar Tradisi Lisan Nusantara. Jakarta: FSUI.

____________. 1999. “Filologi Lisan dalam Kaitan Pembentukan Wacana Kebudayaan”

Makalah Seminar Keberagaman Budaya dalam Tradisi Lisan. Jakarta: ATL.

Jauss, Hans Robert. 1982. Toward an Aesthetic of Reception. Translated from Germany by Timothy Bahti. Minneapolis: University of Minnesota Press.

Geertz, Clifford, 1996. Kebudayaan dan Agama. Yogyakarta: Kanisius.

Hartoko, Dick dan B. Rahmanto, 1986. Pemandu di Dunia Sastra. Yogyakarta: Kanisius.

(30)

84

Kadarisman, 2010. “Puitika Linguistik Pasca-Jacobson: Tantangan Menjaring Makna

Simbolik”. Makalah. Tanpa tahun.

Kartodirdjo, Sartono. 1992. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Jakarta: Gramedia.

Keraf, Gorys. 1985. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia.

Kleden, Ignas. 1987. “Kebudayaan Pop: Kritik dan Pengakuan” dalam Prisma Nomor 5 Tahun XVI – 1987.

Kridalaksana, Harimurti. 1993. Kamus Linguistik (Edisi Ketiga). Jakarta: Gramedia.

Kuntara Wiryamartana, I. 1991. Arjunawiwaha: Transformasi Teks Jawa Kuno Lewat Tanggapan dan Penciptaan di Lingkungan Sastra Jawa. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.

Lefevere, Andre. 1977. Literary Knowledge: A Polemical and Programmatic Essay on Its Nature, Growth, Relevance, and Transmission. Aseen/Amsterdam: Van Gorcum.

Levi-Strauss, Claude. 1958. "The Structural Study of Myth" dalam Thomas A. Sebeok (ed.) Myth: A Symposium. Bloomington: Indiana University Press.

Lord, Albert B. 1976. The Singer of Tales. Harvard University Press.

Luxemburg, Jan van, dkk., 1992. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta: Gramedia.

Mangunwijaya, Y. B., 1986. “Sastra dan Bentuk Hidup” dalam Basis, No. XXXVIII. Yogyakarta: Andi Offset.

Meij, Dick, van der dan Yvonne van Genugten. 1993. “Penelitian Awal Mengenai Sastra Lisan Nusantara: Gambaran Sementara” Makalah Seminar Tradisi Lisan

Nusantara. Jakarta: Fakultas Sastra UI dan Yayasan Lontar.

Merriam-Webster Online Dictionary. 2010. Merriam-Webster Online. Diunduh 25 April 2010 dari <http://www.merriam-webster.com/dictionary/rhetorics>

Mukarovsky, Jan. 1978. Structure, Sign, and Function. Diterjemahkan oleh John Burbank & Peter Steiner. New Haven: Yale University Press.

(31)

85

Noerhadi, Toety Herati, 1986. “Kata Pengantar” buku Metodologi Ilmu Pengetahuan

karya A. B. Shah. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Parera, ADM, 1994. Sejarah Pemerintahan Raja-raja Timor. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Phillips, Nigel. 1981. Si Jobang: Sung Narratives Poetry of West Sumatra. Cambridge: Cambridgre University Press.

Propp, Vladimir. 1975. Morphology of the Folktale. Austin, London: University of Texas Press.

Pudentia, MPSS. 2002. “Dinamika Tradisi Lisan Nusantara” Makalah Seminar Nasional Dinamika Budaya Lokal dalam Wacana Global Dies Natalis Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta 5 Maret 2002.

Reynolds L.D. and N.G. Wilson. 1975. Scribes and Scholars: A Guide to the

Transmission of Greek and Latin Literature. London: Oxford University Press.

Riffaterre, Michael, 1984. Semiotics of Poetry. Bloomington: Indiana University Press.

Robson, Stuart. 1988. Principles of Indonesian Philology. Leiden: Foris Publication.

Rosidi, Ajib. 1995. Sastra dan Budaya Kedaerahan dalam Keindonesiaan. Jakarta: Pustaka Jaya.

Rutherford, Danilyn dan Sam Kapissa. 1996. “Barang Rampasan dari ‘Sup Amber’: Wor Biak sebagai Alat Transformasi” dalam Warta ATL Edisi II/Maret/1996.

Rusyana, Yus. 1993. "Cerita Sangkuriang: Daya Kembara Cerita Lama Lintas Media, Genre, dan Bahasa dari Zaman ke Zaman" Makalah Seminar Tradisi Lisan Nusantara. Jakarta: FSUI.

Sebeok, Thomas A. 1968. Style in Language, 2nd Paperback Printing (First Ed. 1960). Cambridge, Massachusets: The M.I.T Press.

Selden, Raman, 1993. Panduan Pembaca Teori Sa stra Masa Kini. Diterjemahkan oleh Dr. Rachmat Djoko Pradopo. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Semi, Atar, 1989. Kritik Sastra. Bandung: Angkasa.

Spradley, James P. 1997. Metode Etnografi. Diterjemahkan dari buku The Ethnographic Interview oleh Misbah Zulfa Elizabeth. Yogyakarta: Tiara Wacana.

(32)

86

Indonesia.

Sudardi, Bani. 2001. “Muatan Tradisi Lisan dalam Kurikulum di Perguruan Tinggi” Makalah Semiloka Tradisi Lisan: Pembuka Wawasan Pluralitas. Bogor: Asosiasi Tradisi Lisan.

Sukada, Made, 1993. P embinaan Kritik Sastra Indonesia: Masalah Sistematika Analisis Struktur Fiksi. Bandung: Angkasa.

Sulastin-Sutrisno. 1981. Relevansi Studi Filologi: Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Ilmu Filologi pada Fakultas Sastra dan Kebudayaan UGM. Yogyakarta: FS-UGM.

Sutrisno, F.X. Mudji., 1993. Estetika: Filsafat Keindahan. Yogyakarta: Kanisius.

Suwondo, Tirto. 2003. Studi Sastra Beberapa Alternatif. Yogyakarta: Hanindita.

Suryadi. 1993. “Ilmu Sastra Lisan di Indonesia: Persoalan Konsep dan Objek Penelitian” Makalah Seminar Tradisi Lisan Nusantara. Jakarta: Fakultas Sastra UI dan Yayasan Lontar.

Sweeney, Amin. 1987. A Full Hearing: Orality and Literacy in the Malay World. Berkeley, Los Angeles, London: University of California Press.

Taufik Abdullah. 1985. Ilmu Sejarah dan Historiografi. Jakarta: Gramedia.

Taum, Yoseph Yapi. 1994. "Tradisi dan Transformasi Cerita 'Wato Wele-Lia Nurat' dalam Cerita Rakyat Flores Timur". Tesis Program Pascasarjana UGM. Yogyakarta: Fakultas Pascasarjana UGM.

_________________. 1997. Kisah Wato Wele-Lia Nurat Dalam Tradisi Puisi Lisan Flores Timur. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan Yayasan Asosiasi Tradisi Lisan (ISBN Nomor : 979 - 461 – 256 - 1) .

________________. 1997. Pengantar Teori Sastra: Ekspresivisme, Strukturalisme, Pascastrukturalisme, Sosiologi, Resepsi. Ende: Nusa Indah.

_________________. 1999. “Sastra dan Bahasa Ritual Masyarakat Flores Timur” dalam Kaswanti Purwo dan B. Rahmanto (Ed). Memahami Sastra Lisan. Jakarta:

Teeuw, A. 1978. Sastra Baru Indonesia I. Ende: Nusa Indah.

________. 1983. Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta: Gramedia.

_________. "Indonesia Antara Kelisanan dan Keberaksaraan" (dua karangan) dalam

Gambar

Tabel 2: Epitheton

Referensi

Dokumen terkait

Cerita rakyat Aek Sipaulak Hosa merupakan salah satu bentuk cerita yang dimiliki masyarakat Batak Toba, tepatnya yang berada di Desa Silalahi, Kecamatan Silahisabungan,

Ada banyak cara untuk mengenalkan dan mengajarkan nilai-nilai melalui cerita rakyat. Salah satunya adalah bagaimana mencelupkan siswa dalam cerita-cerita tradisional sehingga

Pola kekerabatan kesembilan cerita pesugihan Jawa dikelompokkan berdasarkan kesamaan motif, yang telah diperikan menjadi enam macam (Danandjaya, 1984; Taum, 2011: 88—90),

Dalam cerpen Cinta Laki-Laki Biasa karya Asma Nadia, konflik yang paling menonjol ialah tokoh utama yaitu Nania dan Rafli adanya perbedaan kelas sosial di dalam cerita

(3) Penggolongan analisis tema terhadap cerita rakyat I Ceker Cipak yang dibagi menjadi tiga motif yaitu I Ceker Cipak sebagai motif pelaku, keberhasilan I Ceker Cipak untuk

berkaitan dengan Cerita Panji yang digunakan dalam pertunjukan Wayang Topeng Malang merupakan Cerita Panji yang berasal dari sastra lisan yang hidup di masyarakat. Berbeda

Pada masa kolonial, sosok perempuan menjadi objek dalam motif batik bercerita yang diadopsi dari Cerita Rakyat Eropa, seperti cerita The Red Riding Hood, Snow White dan berbagai cerita

Sedangkan pengertian dongeng menurut James Danandjaja, dongeng adalah termasuk cerita rakyat lisan yang tidak dianggap benar-benar terjadi oleh empunya cerita.. Dongeng juga tidak