• Tidak ada hasil yang ditemukan

Estetika Sastra Sastrawan dan Negara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Estetika Sastra Sastrawan dan Negara"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

ESTETIKA SASTRA:

Keindahan Menyelinap, Merayap, lalu Mengendap

Judul Buku : ESTETIKA: Sastra, Sastrawan, dan Negara

Penulis : Puji Santosa dan Suroso

Penerbit : Pararaton Publishing, Yogyakarta

Tahun : 2010

Ukuran : 16 x 24 Cm Tebal : xi + 310 halaman

(2)

dan berdinas di militer bertahun-tahun dengan disiplin yang ketat sebagai anggota Angkatan Udara Republik Indonesia hingga pensiun (1976). Namun, Dodong tetap pada pendiriannya, memilih, mencintai, dan menghargai karya sastra sebagai upaya penyaluran aspirasi estetisnya. Dengan bekal disiplin ilmu seperti itu seharusnya Dodong menjadi seorang pengacara yang gigih membela hak-hak kebenaran anggota militer ketika berada di muka sidang pengadilan. Semangat hidup dan perjuangan Dodong Djiwapradja justru disalurkan melalui karya sastra. Menulis sajak ketika masih berusia muda, yaitu sewaktu duduk di sekolah lanjutan atas. Melalui sajak-sajaknya itu Dodong berusaha mengekspresikan rasa kecintaannya kepada tanah air, nusa, bangsa, masyarakat, rakyat, dan juga negara Republik Indonesia. Meskipun Dodong pernah berkali-kali melawat ke luar negeri, tidak satu pun sajaknya yang menggambarkan keagungan negara lain. Semua sajaknya berbicara tentang Indonesia dari berbagai sudut pandang.

Dalam salah satu sajaknya, “Mengaji” (1997), Dodong menyatakan bahwa “keindahan, kata orang, menyelinap/ merayap/ lalu mengendap”. Ini berarti bahwa keindahan yang tersembul dalam sajak-sajak yang ditulisnya bersifat prismatis atau tersembunyi (menyelinap), bergerak dinamis sesuai dengan irama zaman (merayap), dan dapat dipahami dari berbagai sudut pandang dan kurun waktu kapan pun (mengendap). Semakin lama dibaca, dipahami, dan diapresiasi, sajak-sajak Dodong Djiawapraja itu semakin mengendap nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Lebih jauh dalam sajak “Mengaji” tersebut Dodong mengatakan: “Bukankah tiap baris puisi/ kalau terlalu jelas mengerti/ rasanya basi, kurang patri?” Hal itu disebabkan oleh sumber inspirasi yang diperolehnya bukan didapat secara sembarangan, melainkan bersumber dari hati nurani yang terdalam dan semurni-murninya, kastalia.

(3)

yang pertama pada akhir tahun, datanglah ilham untuk menuliskan “Sajak Akhir Tahun”.

Suatu ketika, menghadapi bulan Ramadhan atau menjelang Lebaran, biasanya orang pada berkunjung atau berziarah ke makam para leluhurnya yang telah mendahului meninggal dunia. Pada saat seperti itu dapat juga terjadi datangnya bisikan sukma untuk menuliskan sajak, maka jadilah sajak “Di Makam Ayah”. Sewaktu sedang khusuk memanjatkan doa arwah di depan nisan orang tuanya, Dodong pun sadar akan datangnya kematian yang sewaktu-waktu dapat terjadi. Padahal, bekal untuk berangkat ke dunia akhirat yang sewaktu-waktu memenuhi panggilan Tuhan itu belum atau tidak mempunyainya. Oleh karena itu, senyampang masih muda, masih diberi kekuatan dan kesehatan, maka perlu bekal mengaji terlebih dahulu. Kemudian, dalam keadaan seperti itulah lahir sajaknya “Mengaji”.

Mengaji itu ternyata tidak mudah. Apalagi bahasa dan ejaan yang terdapat dalam kitab suci itu bukan bahasa ibunya, maksudnya bukan bahasa Jawa atau bahasa Sunda yang telah dikuasai secara intuitif, melainkan bahasa Arab. Di sini diperlukan belajar agar dapat menguasai materi pelajarannya. Pada awalnya memang sulit untuk dapat mengikuti pengajian itu. Namun, lama-kelamaan setelah dipelajari, ditekuni, dan diikuti dengan cermat, benar, sabar, serta dengan dorongan semangat untuk maju, maka dirinya dapat mengaji secara mudah dan benar. Sebab mengaji itu penting dan utama untuk bekal menghadap Tuhan di akhirat. Justru dari pengalaman mengaji itu kemudian Dodong Djiwapradja menemukan konsepnya tentang keindahan yang menyelinap, merayap, dan lalu mengendap.

(4)

menjadi dosen estetika di Fakultas Sastra Universitas Indonesia.

Keindahan seperti itu dalam sebuah puisi sering disebut sebagai karya seni yang bersifat prismatis atau tidak transparan. Biasanya sebuah puisi yang bersifat prismatis mengandung banyak kiasan atau metafora, perlambang, mitos, dan makna-makna yang tersembunyi sehingga sukar dipahami. Ciri-ciri puisi prismatis adalah: (1) banyak menggunakan majas, kias, atau bahasa figuratif, (2) makna sajak membias ke mana-mana seperti prisma atau memiliki makna ganda, (3) kadang isi sajak hanya didasarkan pada imajinasi penyairnya, dan bukan atas dasar pengalaman faktual, (4) sajak digunakan penyair sebagai media berpikir kreatif karena tampil dengan citraan intelektual, (5) isi sajak mengandung cita-cita dan harapan karena merupakan percikan permenungan dalam usaha mencari makna dan tujuan hidup, dan (6) tidak mengandung prasangka pada orang lain atau golongan.

Beberapa sajak Dodong Djiwapradja memiliki ciri-ciri seperti yang terungkap di atas. Agar lebih jelasnya coba perhatikan sajak “Kastalia” berikut.

(5)

datanglah pendeta

Kehidupan ialah tanah liat

yang oleh tangan-tangan sakti ditenung

jadi patung

1960

(Djiwapradja, 1997:50)

Judul sajak itu sendiri telah menimbulkan berbagai asosiasi atau penafsiran. Makna kata kastalia itu tidak hanya satu makna atau monosemantis, karena kata kastalia bukan asli bahasa Indonesia yang dengan mudah dapat dibuka di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Setelah ditelusuri melalui berbagai ensiklopedia, ternyata kata kastalia itu berasal dari bahasa Yunani Kuno atau juga dari bahasa Ibrani. Ada pula yang menyatakan berasal dari bahasa Spanyol atau Postugis, berasal dari kata casta atau castal. Dalam masyarakat pemakai bahasa aslinya itu kata kastalia sangat diagungkan, dianggap sakral, dan penuh tuah, sehingga kastalia digunakan sebagai lambang atau metafora tempat tertinggi dalam arti tersuci bagi Dewa Apollo atau pertemuan Nabi Musa dengan Tuhan ketika menerima “Sepuluh Perintah Tuhan” di puncak Tursina, Sinai.

Kata kasta itu sebenarnya bukan berasal dari bahasa Sansekerta atau India Kuno, melainkan berasal dari bahasa Portugis: Acasta@ yang artinya >ras, keturunan, atau jenis kelamin=. Atau dapat juga judul Kastalia itu mengingatkan kita pada kata kastal, yang artinya >pohon kayu yang tumbuh di gurun atau di tanah yang kering= (KBBI, 2008:631). Dan yang terakhir, judul Kastalia itu mendekati kata kastanyet, yang artinya.=alat musik yang terdiri atas sepasang kepingan gading atau kayu keras yang cekung dan direntet-rentetkan oleh ibu jari untuk mengiringi irama tari-tarian Spanyol=.

(6)

suci Dewa Apollo dalam Mitologi Yunani.

Dalam ensikopedia di atas dijelaskan lebih lanjut berhubungan dengan sejarah Kitab Perjanjian Lama. Kata castalia itu dipahami sebagai tempat suci pertemuan antara Nabi Musa dengan Tuhan di puncak Gunung Tursina, Sinai. Makna kastalia yang semula berasal dari bahasa Yunani Kuno itu akhirnya banyak digunakan oleh penyair di Barat menjadi sumber inspirasi penciptaan puisi-puisi yang ditulisnya. Mereka beranggapan bahwa puisi-puisi yang terlahir dari penciptaannya bersumber dari yang maha suci guna memberi pencerahan kepada pembaca. Seperti Dewa Apollo memberi pencerahan kepada rakyatnya di Yunani atau Nabi Musa setelah turun dari puncak Tursina menerima ASepuluh Perintah Tuhan@, yang ditulis dalam dua lempengan batu, berguna sebagai upaya pencerahan umatnya, terutama kaum Yahudi atau bani Israel ketika itu. Boleh juga penyair Dodong Djiwapradja memadankan sajak-sajak yang ditulis dalam buku kumpulan sajaknya itu sebagai katarsis, penyucian diri yang membawa pembaharuan rohani atau jiwa dan pelepasan dari ketegangan (KBBI, 2008:635) bagi pembaca sajaknya.

Bagaimanakah cara menyucikan atau membersihkan diri dari debu-debu atau atom-atom yang melekap pada tubuh manusia? Penyair memberikan alternatif jawaban itu pada bait keempat. Pada bait keempat inilah jawaban cara menyucikan dri dari debu-debu yang melekat pada diri manusia. APenyair/ nabi/ wali/ adalah zat,/ meleleh di atas aspal/ hitam kumal.@ Pengorbanan yang tulus dilakukan oleh para penyair, nabi, dan wali itulah yang harus diteladan, ditiru, dicontoh oleh manusia untuk menyucikan dirinya. Caranya tiada lain hanyalah meneladan pengorbanan mereka yang tulus ikhlas hanya demi kesejahteraan hidup semua umat.

(7)

jenjang usia. Setiap pose yang terpampang dalam album pribadi itu berlatar belakang suasana zaman yang berbeda-beda. Namun, hal itu tetap yang tampak dikenali dan diakrabi di situ hanya diri penyair pribadi, si Dodong Djiwapradja, bukan orang lain, yang mengekspresikan keindahan penuh makna dan pesona.

DAFTAR PUSTAKA

Djiwapradja, Dodong. 1997. Kastalia. Jakarta: Pustaka Jaya.

Santosa, Puji. 2002.a AUlasan Puisi Dodong Djiwaprdaja: Penciptaan Kedua adalah Puisi@ dalam Kakilangit Nomor 71/ November 2002. Halaman 8B10.

--- 2002.b. AProses Kreatif Dodong Djiwapradja: Keindahan, Menyelinap, Merayap, Lalu Mengendap@ dalam Kakilangit Nomor 71/ November 2002. Halaman 11B13.

--- 2002c. ARiwayat Hidup Penyair Dodong Djiwaprdaja (1928C): Perwira Hukum Militer yang Mencintai Sastra@ dalam Kakilangit Nomor 71/ November 2002. Halaman 14B15.

Santosa, Puji dan Suroso. 2009. Estetika: Sastra, Sastrawan, dan Negara. Yogyakarta: Pararaton.

Referensi

Dokumen terkait

Interpretasi tentang nilai estetika terhadap puisi ”Buat Yang Namanya Manusia” menurut Ratna adalah tentang amanat atau pesan yang disampaikan penyair yaitu pentingnya

Dari basil yang didapat, diharapkan agar pihak sekolah khususnya para guru dapat menciptakan suasana yang dinamis dengan menerapkan metode yang bersifat interaktif

Keaslian penelitian ini adalah penggunaan teori dekonstruksi yang menghasilkan beberapa hal yang bersifat eksplisit, tersembunyi atau laten, tetapi secara riil

Kelas S1 (Sangat Sesuai): Lahan tidak mempunyai faktor pembatas yang berarti atau nyata terhadap penggunaan secara berkelanjutan, atau faktor.. pembatas bersifat minor dan tidak

(Negara adalah suatu masyarakat yang diintegrasikan karena memiliki wewenang yang bersifat memaksa dan yang secara sah lebih agung daripada individu atau kelompok yang merupakan

Agar lebih jelasnya keindahan atau nilai estetik yang disifati bundo kanduang yang mencerminkan adat dan agama secara turun temurun sekaligus konsep dalam pandangan hidup

Nilai Islam dapat diartikan pula sebagai sesuatu yang berguna dan bersifat menyempurnakan kehidupan manusia sesuai dengan hakekatnya, tentunya yang berasal dari

Karena pada dasarnya kurikulum bersifat dinamis dan perlu dikembangkan atau diadaptasi sesuai konteks dan karakterristik serta kebutuhan peserta didik untuk membangun kompetensi yang