Pendahuluan
Chan (2010) menemukan 75% siswa berbakat dikategorikan sebagai perfeksionis. Perfeksionisme memiliki dua dampak bagi perkembangan siswa berbakat yaitu positif dan negatif. Sebagai dampak positif, Wang, Chu-Chun, dan Rice (2011) mengatakan perfeksionisme yang disertai dengan mastery learning goal dapat meningkatkan self-efficacy
akademik pada siswa SMP dan SMA. Di sisi lain, dampak negatif dari perfeksionisme adalah munculnya sikap prokastinasi (Rice, 2012), tidak mau mencoba (Randles et al, 2010), atau ketakutan akan kegagalan yang pada akhirnya membuat siswa berbakat ini tidak berhasil menunjukkan potensi secara aktual. Dampak ekstrim dari perfeksionisme siswa berbakat dapat menjadi siswa yang underachiever atau bahkan putus sekolah (Davis, Rimm & Siegle, 2011). Perlu dikritisi lebih lanjut mengenai perfeksionisme untuk melihat perannya dalam keberbakatan.
Definisi dan Sejarah Perfeksionisme
Perfeksionisme didefinisikan sebagai kombinasi dari cara berpikir dan tingkah laku yang berkaitan dengan penetapan standar nilai yang berlebihan atau harapan yang berlebihan terhadap keberhasilan performa yang dihasilkan oleh seseorang (Davis, Rimm, & Siegle, 2011; Miller, Lambert & Speirs Neumeister, 2012). Pada Gambar 1. tahun 1960an studi mengenai perfeksionisme lebih difokuskan pada sesuatu yang negatif atau bahkan dipandang dalam perspektif patologis. Kemunculan perfeksionisme berakar dari pengamatan klinis dan studi yang berkaitan dengan psychologycal disorder seperti anxiety dan depresi (Wang & Chun-Cu,2012; Lozano, Valor-Segura, & Lozano, 2014; Eum & Rice, 2011). Lebih spesifik, perfeksionisme dikaitkan dengan upaya mencapai standar dan tujuan yang tidak realistik yang pada akhirnya bisa berdampak desktruktif pada diri (Chan, 2010) serta munculnya obsesif-kompulsif (Ye, Rice & Storch, 2008).
Selama beberapa tahun, perfeksionisme dalam perspektif negatif tidak mendapatkan pembantahan apapun. Beberapa penelitian kontemporer kemudian muncul dan mengatakan bahwa perfeksionisme dapat juga dipandang dalam perspekstif positif. Pemikiran positif perfeksionisme dimulai pada tahun 1978 yang disampaikan oleh Hamachek (Hanchon, 2010) bahwa perfeksionisme terbagi menjadi normal dan neurotik. Pendapat Hamachek mengenai normal perfeksionisme adalah perjuangan mengerjakan suatu tugas yang sulit dengan sempurna dan ketika berhasil memunculkan rasa puas pada pencapaian dirinya (Hanchon, 2010). Lebih jauh, normal perfeksionisme akan mampu beradaptasi pada situasi kegagalan karena normal perfeksionisme bukan patologi melainkan keinginan atau hasrat sebagai bentuk dari pencapaian dan aktualisasi diri (Parker, 2000). Sementara neurotik perfeksionisme sama seperti normal perfeksionisme sebagai bentuk perjuangan untuk mengerjakan suatu tugas dengan sempurna, namun tidak mendatangkan rasa puas, karena neurotik perfeksionisme selalu merasa tidak cukup baik (Hanchon, 2010). Neurotik perfeksionisme tidak memberi kesempatan pada individu untuk merasa puas dengan dirinya (Parker, 2000).
Lebih jauh, pemikiran neurotik perfeksionisme dari Hamacheck didasari oleh pemikiran dari Horney pada tahun 1950 yang percaya bahwa rasa cemas (anxiety) akan menghasilkan
self-image yang ideal. Proses pembentukan self-image ideal mengarah pada terbentuknya kecenderungan untuk perfeksionisme yang disebutnya dengan “search for glory” (Parker, 2000). Kecenderungan ini merupakan reaksi neurotik dari ketidakmampuan untuk menerima ketidaksempurnaan dari actual self. Sementara pemikiran normal perfeksionisme dari Hamachek didasari oleh pemikiran dari Adler pada tahun 1951 yang menyatakan bahwa keinginan akan sesuatu yang tanpanya hidup menjadi tidak terbayangkan. Adler menekankan bahwa upaya untuk sempurna menjadi sehat ketika ditujukan untuk memaksimalkan potensi diri dan melibatkan kepedulian terhadap lingkungannya. Perfeksionisme menjadi tidak sehat ketika melibatkan keinginan untuk mendominasi orang lain (Parker, 2000; Portešová & Urbánek, 2013).
Konstruk perfeksionisme sering disamakan dengan striving for excellence, Greenspon (2000) menjelaskan terdapat pembatasan antara kedua konstruk. Perfeksionisme didefinisikan sebagai upaya untuk mencapai kesempurnaan yang diikuti dengan standar dan harapan yang berlebihan. Sementara striving for excellence lebih merupakan usaha untuk mencapai kesempurnaan, yang merupakan bagian dari perfeksionisme. Greenspon (2000) juga menjelaskan konstruk healthy perfeksionisme yang dijelaskan oleh Hamacheck dan pengikutnya sebenarnya merupakan konstruk conscientiousness. Meskipun Greespon berpendapat demikian, jika dilihat dari makna conscientiousness adalah sifat hati-hati, keteraturan, terorganisir yang justru merupakan salah satu dimensi dari healthy perfectionism
(Parker, 2000).
Gambar 2. Konstruk-konstruk dalam Perfeksionisme
Pada perkembangannya lebih banyak yang memandang perfeksionisme sebagai multidimensional dengan bentuk konstruknya masing-masing seperti tampak pada Gambar 2. Konstruk perfeksionisme yang pertama adalah positif dan negatif perfeksionisme (Chan, 2007). Positif perfeksionisme menjelaskan tentang upaya menuju kesempurnaan yang realistis dari siswa, sementara negatif perfeksionisme merupakan keyakinan yang rigid akan kesempurnaan yang diikuti dengan upaya untuk menghindari kesalahan (Chan, 2007). Alat ukur yang dikembangkan untuk positif dan negatif perfeksionisme adalah Positive and Negative Perfectionism Scale (PNPS) yang dikembangkan oleh Jackson pada tahun 1970 (Chan, 2007).
Konstruk yang kedua pada gambar 2 dijelaskan dalam Chan (2010) dengan berdasarkan pada pandangan Hamachek bahwa perfeksionisme merupakan multidimensional yang terbagi dalam normal dan neurotik. Dalam penelitian Chan (2010), normal diistilahkan dengan
healthy perfeksionisme dan neurotik sebagai unhealthy perfeksionisme, serta terdapat pula
non-perfectionism. Fletcher, Shim, dan Wang (2012) dalam penelitiannya juga menggunakan pembagian perfeksionisme dalam healthy perfeksionisme, unhealthy perfeksionisme dan
nonperfectionist. Frost pada tahun 1990 mengembangkan alat ukurnya Frost Multidimensional Perfectionisim Scale (FMPS) untuk mengukur healthy perfectionism, unhealthy perfectionism dan nonperfectionist (Fletcher, Shim, & Wang, 2012).
Stoeber, Haskew, dan Scott (2014), konstruk multidimensional perfeksionisme ketiga mengacu pada disposisi kepribadian Hewitt dan Flett pada tahun 1991. Perfeksionisme dipandang memiliki aspek personal dan sosial yang kemudian diturunkan pada dimensi self-oriented perfectionism (SOP) and socially prescribed perfectionism (SPP). Self-oriented perfectionism merupakan motivasi internal yang memunculkan belief untuk usaha yang keras menuju kesempurnaan dan menjadi sempurna adalah penting. Sementara socially prescribed perfectionism adalah motivasi eksternal yang memunculkan keyakinan (belief) bahwa usaha keras menuju kesempurnaan dan menjadi sempurna adalah penting untuk orang lain. Verner-Filion dan Gaudreau (2010) menjelaskan lebih lanjut mengenai model perfeksionisme Hewitt dan Flett’s, socially prescribed perfectionism memiliki hubungan dengan beberapa indikator distress emosional seperti depresi dan berkurangnya kepuasan hidup. Penelitian oleh Flett dan Hewitt (Verner-Filion & Gaudreau, 2010) menemukan socially prescribed perfectionism
berhubungan negatif dengan indikator subjektif dan objektif dari achievement dalam tidak hanya pada bidang akademik, namun juga untuk mencapai tujuan pribadi (Verner-Filion & Gaudreau 2010). Sementara self-oriented perfectionism dalam berbagai literatur diindikasikan memfasilitasi munculnya pencapaian yang optimal dan juga mendukung
psychological adjustment (Verner-Filion & Gaudreau 2010). Alat ukur yang dikembangkan
Multidimentional Perfectionism Scale (MPS) atau HMPS agar dapat dibedakan dengan FMPS (Verner-Filion & Gaudreau 2010).
mencapai standar yang ditetapkan sendiri. Profil perfeksionis adaptif secara konsisten menunjukkan hasil yang menguntungkan termasuk dalamnya psychological adjustment yang lebih sehat (Parker, 1997) dan meningkatkan self-confidence pada aspek akademik (Hanchon, 2010). Profil perfeksionis maladaptif umumnya memunculkan hasil yang kurang baik, termasuk dalamnya mood disturbance, kecemasan, (Hanchon, 2010). Ketiga kluster ini merupakan pengembangan perfeksionisme dengan pemikiran multidimensional yang mengarah pada positif atau fungsi adaptasi dari sifat perfeksionisme.
Perkembangan konstruk perfeksionisme pada dasarnya dapat dirangkum sebagai berikut. Perfeksionisme merupakan multidimensional yang dapat dilihat dari aspek intrapersonal dan aspek interpersonal. Berdasarkan pendekatan intrapersonal perfeksionisme membagi tipe perfeksionis dalam adaptive/ healthy/ positive perfectionists, maladaptive/ unhealthy/ negative perfectionists, dan nonperfectionists. Dimensi dalam perfeksionisme intrapersonal terdiri atas parental expectation dan critism, standard, concern over mistake, doubt about action, dan organization. Seseorang dikategorikan sebagai maladaptive/ unhealthy/ negative perfectionists ketika seluruh dimensi dominan dalam diri seseorang, sementara dikatakan sebagai nonperfectionists ketika semua dimensi rendah dalam diri seseorang. Dikatakan sebagai adaptive/ healthy/ positive oerfectionists ketika memiliki standard dan organization
yang tinggi dengan parental expectation dan critism, concern over mistake, dan doubt about action yang rendah. (Chan, 2007; Chan, 2010; Hanchon, 2010; Wang et al, 2011; Rice et al, 2012).
Faktor-faktor yang mempengaruhi Perfectionism
Perfeksionisme merupakan cara pikir dan tingkah laku yang dipengaruhi oleh aspek intrapersonal, interpersonal dan situasi. Dari aspek intrapersonal, kepribadian yang dimiliki oleh individu menjadi penentu tipe perfeksionis yang akan muncul. Sementara dari aspek interpersonal terdapat orangtua yang memiliki pengaruh paling besar dan terdapat pula pengaruh dari guru dan teman sebaya. Aspek situasi dalam hal ini merupakan hal yang terjadi dalam kaitan pembelajaran, yaitu tantangan yang diterima seseorang pada masa awal sekolahnya dan keberhasilan dini pada siswa.
1. Aspek Intrapersonal
Neurotik merupakan aspek interpersonal yang paling mempengaruhi munculnya perfeksionisme negatif (Smith, Saklofske, & Nordstokke, 2013). Lebih lanjut Smith et al (2013) meneliti mengenai kaitan perfeksionisme dengan kecerdasan emosional, ditemukan bahwa seseorang yang neurotik dengan kecerdasan emosional yang rendah akan lebih rentan akan perfeksionisme negatif. Ye, et al (2008) menjelaskan kaitan antara perfeksionisme dan
Obsessive Compulsive Disorder (OCD), ditemukan bahwa OCD memiliki hubungan dengan
sensitivitas terhadap melakukan kesalahan. Kemudian sensitivitas ini membuat seseorang melakukan pengaturan terhadap tugas dan benda-benda disekitarnya secara berlebihan. Perilaku sensitif terhadap kesalahan dan pengaturan yang kemudian dapat mempengaruhi sifat perfeksionisme seseorang. Terdapat juga penelitian lainnya yang mengaitkan perfeksionisme dengan Big Five Personality (Ulu & Tezer, 2010).
Goal orientation diduga menjadi faktor yang mempengaruhi terbentuknya perfeksionisme dari aspek intrapersonal. Chan (2009) menjelaskan dalam penelitiannya bahwa learning
2. Aspek Interpersonal
Miller, Lambert, dan Speirs Neumeister (2012) menjelaskan perfeksionis merupakan hasil dari interaksi orangtua dan anak, oleh karenanya cukup banyak penelitian yang mencoba menjelaskan mengenai gaya pengasuhan orangtua sebagai faktor interpersonal yang mempengaruhi perfeksionis. Miller et al (2012) menemukan bahwa gaya pengasuhan
authoritharian memiliki pengaruh positif pada socially prescribed perfectionism anak. Penelitian menjelaskan bahwa tuntutan yang tinggi disertai dengan responsivitas orangtua yang rendah terhadap anak dapat menyebabkan anak menjadi tidak pernah merasa puas dengan hasil karyanya. Anak merasa tidak pernah cukup baik untuk mendapatkan respon yang diharapkannya muncul dari orangtuanya (Speirs Neumeister, 2004).
Hasil yang serupa juga muncul dari penelitian Fletcher et al (2012) mengenai pengaruh
psychologically controlling dari orangtua terhadap perfeksionisme. Pada penelitian ini yang dimaksud dengan kontrol secara psikologis adalah pemunculan rasa bersalah, penghilangan kasih sayang (love withdrawal) dan penegakan otoritas. Hasil menunjukkan sikap orangtua yang terlalu mengontrol anaknya secara psikologis dengan cara yang diuraikan di atas menyebabkan anak memiliki sensivitas yang tinggi terhadap kesalahan dan keraguan untuk melakukan suatu tindakan yang merupakan prediktor dari pembentukan negatif perfeksionisme. Sebaliknya ditemukan bahwa kontrol orangtua secara psikologis tidak memiliki pengaruh pada prediktor pembentuk positif perfeksionisme yaitu sikap terorganisir dan penetapan standar yang realistis.
Faktor interpersonal lainnya yang dapat mempengaruhi perfeksionisme adalah pihak-pihak lain di sekitar anak yaitu guru, teman, teman sebaya dan budaya. Perera dan Chang (2014) dalam penelitianya menemukan bahwa guru dan teman juga memiliki pengaruh pada terbentuknya tipe perfeksionis socially prescribed perfectionism (SPP) selain dari orangtua. Penelitian ini membandingkan antara dua etnik yaitu Asia Amerika dan Eropa Amerika, ditemukan bahwa setiap etnik memiliki sumber interpersonalnya masing-masing. Selain itu besar pengaruh sumber interpersonal pun berbeda besarannya tergantung pada etniknya. Pada Asia Amerika sumber dari teman lebih berpengaruh dibandingkan guru, sementara pada Eropa Amerika sumber guru lebih berpengaruh dari teman.
3. Aspek Situasi
penentu utama pembentukan perfeksionisme, namun ditemukan pula aspek situasi lainnya yang mempengaruhi. Pengalaman siswa yang selalu berhasil sejak awal pendidikan dan mendapatkan pujian yang ambigu akan mengidentifikasikan dirinya dengan keberhasilan, sehingga muncul sifat perfeksionis. Demikian pula dengan kurangnya tantangan, siswa tanpa berusaha akan berhasil. Akibatnya pada saat terdapat tantangan mereka menjadi tidak yakin akan kemampuan mereka untuk menyelesaikan tantangan. Sementara mereka memiliki predikat kesempurnaan yang perlu dipertahankan, sehingga dapat muncul sifat perfeksionis yang negatif.
Kesimpulan
Dalam penelitian mengenai perfeksionisme, masih terdapat penjelasan yang kurang terkait dengan aspek interpersonal selain orangtua dan aspek situasi sebagai faktor yang mempengaruhi perfeksionisme. Faktor intrapersonal seringkali menjadi fokus dari penelitian mengingat perfeksionisme merupakan sifat (trait). Pada faktor interpersonal, orangtua sebagai sumber utama penyebab perfeksionisme cukup banyak dibahas (Speirs Neumeister K. L., 2004; Speirs Neumeister, Williams, & Cross, 2009; Fletcher, Shim, & Wang, 2012; Miller, Lambert, & Speirs Neumeister, 2012; Perera & Chang, 2014). Sementara faktor interpersonal lainnya seperti peranan guru dan teman sebaya masih terbatas diteliti (Perera & Chang, 2014). Demikian juga faktor situasi yang terjadi di sekolah, masih kurang jelas dinamika yang terjadi apakah akan memperkuat positif perfeksionisme atau memperkuat negatif perfeksionisme yang dimiliki siswa (Speirs Neumeister, Williams, & Cross, 2009).
Daftar Pustaka
Chan, D. C. (2009). Perfectionism and Goal Orientations among chinese gifted students in Hong Kong. Roeper Review 31 (9) , 9-17.
Chan, D. W. (2010). Healthy and Unhealthy Perfectionists among Academically Gifted Chinese Students in Hong Kong: Do Different Classification Schemes Make a Diiference? Roeper Review 32, 88-97.
Davis, G. A., Rimm, S. B., & Siegle, D. (2011). Education of the gifted and talented sixth ed.
New Jersey: Pearson.
Eum, K., & Rice, K. G. (2011). Test anxiety, perfectionism, goal orientation, and academic performance. Anxiety, Stress, & Coping 24 (2) , 167-178.
Fletcher, K. L., Shim, S. S., & Wang, C. (2012). Perfectionistic concerns mediate the relationship between psychologically controlling parenting and achievement goal orientations. Personality and Individual Differences 52 , 876-881.
Greenspon, T. S. (2000). 'Healthy perfectionism' is an oxymoron! Reflections on the
psychology of perfectionism and the sociology of science. Journal of Secondary Gifted Education 4.
Hanchon, T. A. (2010). The relations between perfectionism and achievement goals.
Personality and Individual Differences 49 , 885-890.
Lozano, L. M., Valor-Segura, I., & Lozano, L. (2014). Could a perfectionism context produce unhappy children? Personality and Individual Differences 80 , 12–17.
Miller, A. L., Lambert, A. D., & Speirs Neumeister, K. L. (2012). Parenting Style, Perfectionism, and Creativity in High Ability and High Achieving Young Adults.
Journal for the Education of the Gifted 35 (4) . , 344-365.
Mofield, E. L., & Chakraborti-Ghosh, S. (2010). Addressing Multidimensional Perfectionism in Gifted Adolescents With Affective Curriculum. Journal for the Education of the Gifted 33 (4) , 479–513.
Parker, W. D. (1997). An Empirical Typology of Perfectionism in Academically Talented Children. American Educational Research Journal 34 (3) , 545-562.
Parker, W. D. (2000). Healthy perfectionism in the gifted. Journal of Secondary Gifted Education 11 (4) .
Perera, M. J., & Chang, E. C. (2014). Ethnic variations between Asian and European Americans in interpersonal sources of Socially Prescribed Perfectionism: It's not just about parent! . Asian American Journal of Psychology . Advance online publication. http://dx.doi.org/10.1037/a0036175
Randles, D., Flett, G. L., Nash, K. A., McGregor, I. D., & Hewitt, P. L. (2010). Dimensions of perfectionism, behavioral inhibition, and rumination. Personality and Individual
Differences 49 , 83–87.
Rice, K. G., Fu, C.-C., & Wang, K. T. (2012). Perfectionism in gifted student: Moderating effects of goal orientation and contingen self-worth. School Psychology Quarterly 27 (2) , 96-108.
Rice, K. G., Richardson, C. M., & Clark, D. (2012). Perfectionism, Procrastination, and Psychological Distress. Journal of Counseling Psychology 59 (2), 288–302.
Smith, M. M., Saklofske, D. H., & Nordstokke, D. W. (2013). The link between neuroticism and perfectionistic concerns:The mediating effect of trait emotional intelligence.
Personality and Individual Differences 61-62 , 97–100.
Speirs Neumeister, K. L. (2004). Factors Influencing the Development of Perfectionism in Gifted College Students. Gifted Child Quarterly 48 (4) , 259-274.
Speirs Neumeister, K. L., Williams, K. K., & Cross, T. L. (2009). Gifted High-School Students’ Perspectives on the Development of Perfectionism. Roeper Review 31 , 198– 206.
Stoeber, J., Haskew, A. E., & Scott, C. (2014). Perfectionism and exam performance: The mediating effect of task-approach goals. Personality and Individual Difference 74 , 171-176.
Ulu, I. P., & Tezer, E. (2010). Adaptive and Maladaptive Perfectionism, Adult Attachment, and Big Five Personality Traits. The Journal of Psychology 144 (4) , 327–340.
Verner-Filion, J., & Gaudreau, P. (2010). From perfectiosionism to academic adjustment: The mediating role of achievement goals. Personality and Individual Differences 49 , 181-186.
Wang, K. T., Chu-Chun, F., & Rice, K. G. (2011). Perfectionism in gifted students:
moderating effects of goal orientation and contingent self-worth. School Psychology Quarterly 27, 96-108.
Ye, H. J., Rice, K. G., & Storch, E. A. (2008). Perfectionism and Peer Relations Among Children with Obsessive-compulsive Disorder. Child Psychiatry Human Development