• Tidak ada hasil yang ditemukan

Krisis versus Kemajuan dalam Hubungan In

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Krisis versus Kemajuan dalam Hubungan In"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

DRAFT

Jangan dikutip tanpa ijin penulis

Krisis versus Kemajuan dalam Hubungan Internasional

1

Muhadi Sugiono

Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada Email: msugiono@ugm.ac.id

‚... eine Disziplin, die sich mit ihren eigenen Grundlagen und Definitionen zufriedengibt, wahrscheinlich eine tote Disziplin ist. Grundsatzdebatten und Debatten über Grundsätzliches sind Zeichen für Gesundheit, nicht für Krankheit’

(Galtung, 1971, 101).

Studi Hubungan Internasional2 memasuki abad ke-21 ditandai dengan meningkatnya fragmentasi teoritis. Berbagai buku teks Hubungan Internasional saat ini secara jelas merefleksikan fragmentasi ini. Buku-buku tersebut tidak lagi hanya membahas realisme, liberalisme dan marxisme sebagai tiga perspektif yang bertentangan dalam menjelaskan ataupun memahami hubungan internasional, tetapi juga perspektif-perspektif yang tidak termasuk dalam arus besar tersebut dalam studi Hubungan Internasional, seperti postmodernisme, teori kritis, masyarakat internasional, feminisme dan konstruktivisme (lihat Burchill, et.al, 1996; Jackson and Sorensen 1999; Nossal 1998; Baylis and Smith 1997; Brown 1997).

Terdapat dua pandangan yang berbeda dalam memberi makna terhadap kecederungan meningkatnya fragmentasi teoritis dalam Hubungan Internasional. Mereka yang pesimis, melihat fragmentasi sebagai refleksi krisis dalam disiplin Hubungan Internasional, sementara mereka yang optimis melihat fragmentasi tersebut lebih menggambarkan kemajuan dalam dalam Hubungan Internasional.

Paper ini mencoba mengkaji kedua respon terhadap kecenderungan fragmentasi dalam Hubungan Internasional sebagai sebuah disiplin akademis dan berargumen bahwa sekalipun fragmentasi menggambarkan perkembangan yang positif dalam disiplin tersebut, terdapat dua kecenderungan yang membatasi optimisme terhadap peningkatan fragmentasi dalam Hubungan Internasional: parokhialisme dan tetap dominannya ’ekslusi’ dalam Hubungan Internasional.

Krisis dalam Hubungan Internasional?

Sebagai sebuah disiplin, Hubungan Internasional dianggap memiliki ’hubungan simbiosis’ dengan ’dunia nyata’ (Amstrong, 2003: 358). Dalam pandangan ini,

1

Makalah disampaikan dalam Lokakarya Nasional Pengajar Hubungan Internasional di Indonesia dengan tema “Quo Vadis Disiplin Hubungan Internasional di Indonesia: Tantangan dan Peluang”, diselenggarakan oleh Jurusan Hubungan Internasional, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, 11 Desember 2007

2

(2)

Hubungan Internasional lahir dari kebutuhan-kebutuhan untuk menjelaskan atau memahami realitas hubungan internasional. Oleh karenanya, parameter untuk menilai kemajuan Hubungan Internasional sebagai sebuah disiplin harus dilakukan dengan melihat relevansi disiplin tersebut dalam dunia nyata.

Berkembangnya Hubungan Internasional sebagai sebuah disiplin akademis di Inggris yang ditandai dengan pembentukan jabatan profesor Hubungan Internasional di Aberystwyth University di Wales pada tahun 1919 dimaknai sebagai respon dunia akademik terhadap kebutuhan untuk mengkaji masalah-masalah yang berkaitan dengan perang dan perdamaian. Juga, pesatnya perkembangan Hubungan

Internasional di Amerika sejak tahun 1945 seringali dikaitkan dengan konteks riil hubungan internasional saat itu, yakni meningkatnya kekuatan AS serta munculnya ancaman Uni Soviet dan negara-negara komunis.

Pemahaman mengenai ’hubungan simbiosis’ antara Hubungan Internasional dengan hubungan internasional ini sebenarnya dapat dilacak lebih jauh lagi, misalnya sejak Thucydides, yang dianggap sebagai pemikir realis yang pertama, mengembangkan pemikiran realisnya. Pemikiran realis Thucydides berkembang tidak di ruang hampa, melainkan dari pengamatannya terhadap Perang Peloponnesia yang tengah

berlangsung. Berkembangnya pemikiran-pemikiran mengenai hukum inernasional pada abad ke-16 dan 17 di Eropa juga tidak bisa dilepaskan dari konteks riil saat itu. Pemikiran-pemikiran yang dikembangkan oleh Gentili, Grotius, de Vattel, Victoria maupun Soarez jelas merupakan produk dari upaya-upaya mereka untuk menanggapi berkembangnya tatanan pasca abad pertengahan serta menguatnya ekspansi Eropa ke daerah-daerah jajahan.

Asumsi mengenai hubungan simbiosis antara Hubungan Internasional dengan dunia nyata ini bukan hanya bertahan tetapi juga tetap mendominasi studi Hubungan

Internasional hingga tahun 1970an. Berbagai perkembangan teoritis yang berlangsung sejak berkembangnya Hubungan Internasional sebagai sebuah disiplin, sekalipun seringkali diberi label ’new thinking,’ sebenarnya tidak pernah beranjak dari asumsi hubungan simbiosis ini. Munculnya pemikiran-pemikiran mengenai interdependensi dan transnasionalisme dalam Hubungan Internasional pada tahun 1970an yang dimotori Robert Keohane dan Joseph Nye (1977) serta Susan Strange (-), misalnya, adalah contoh konkrit kuatnya asumsi hubungan simbiosis Hubungan Internasional dengan hubungan internasional. Sekalipun tidak dapat dipungkiri bahwa kedua kerangka konseptual ini telah memberikan kontribusi yang sangat substansial bagi Hubungan Internasional – terutama bagi munculnya sub disiplin Ekonomi Politik Internasional, interdependensi dan transnasionalisme masih dilihat mencerminkan keterkaitan antara dunia akademis dan dunia nyata. Karya-karya Keohane dan Nye maupun Strange dianggap menggambarkan respons akademis (teorisasi) terhadap fenomena menguatnya peran aktor selain negara dan semakin pentingnya isyu-isyu non-politik dalam hubungan internasional. Dengan kata lain, pemikiran-pemikiran interdependensi dan transnasionalisme berkembang paralel dengan perkembangan riil hubungan internasional.

Dengan asumsi adanya hubungan simbiosis dunia akademik dan dunia nyata ini, berkembangnya perspektif-perspektif teoritis yang berkarakter reflektif yang muncul dalam pemikiran-pemikiran postmodern, teori kritis maupun konstruktivis tidak dilihat sebagai kecenderungan yang positif bagi studi Hubungan Internasional.

(3)

tersebut dianggap telah memisahkan hubungan harmonis antara teori dan paktek dan, oleh karenanya, menghilangkan relevansi Hubungan Internasional bagi dunia nyata.. Menu teoritis yang semakin banyak dan bervariasi ini dianggap tidak memiliki basis empiris dalam dunia nyata dan hanya merupakan produk dari wacana atau fantasi intelekual semata. Bahkan, lebih parah lagi, teori-teori kontemorer tersebut juga dipandang sebagai produk dari upaya-upaya untuk mengakomodasi agenda,

kepentingan dan kekecewaan-kekecewaan kelompok-kelompok sosial tertentu seperti, misalnya, feminis atau environmentalis. Konsekuensinya, sementara para ilmuwannya terjebak dalam lingkaran ’esoterik perdebatan akademik,’ Hubungan Internasional sebagai disiplin kehilangan relevansinya karena teori-teori yang berkembang di

dalamnya tidak bisa lagi dijangkau oleh bagi para pembuat kebijakan (Newsom, 1996: 121, 138).

Pesimisme terhadap perkembangan studi Hubungan Internasional yang bersumber pada asumsi hubungan simbiosis antara Hubungan Internasional dan hubungan internasional sebenarnya sangat tidak beralasan. Asumsi ini jelas mengabaikan keberadaan dinamika internal di dalam Hubungan Internasional sendiri sebagai sumber penting bagi perkembangan disiplin ini. Karya seminal Kenneth Waltz,

Theory of International Politics (1979), misalnya, jelas bukan merupakan produk teorisasi fenomena hubungan internasional, melainkan produk dari upaya akademis untuk memperbaiki teori yang telah ada, yakni realisme. Dan, Kenneth Waltz dengan karya seminalnya tersebut bukanlah merupakan kasus unik yang menggambarkan bahwa dinamika internal memainkan peran penting dalam perkembangan studi Hubungan Internasional. Brian C. Schmidt dalam karyanya The Political Discourse of Anarchy (1998), misalnya secara jelas beargumen bahwa perubahan-perubahan konsep kunci dalam studi Hubungan Internasional seperti negara, kedaulatan, kekuasaan dan anarkhi tidak mungkin dijelaskan dengan merujuk pada faktor-faktor kontekstual (1998: 38). Dengan melihat perkembangan disiplin Hubungan Internasional di Amerika, Schmidt berusaha menunjukkan bahwa pandangan yang menekankan pengaruh eksternal terhadap evolusi disiplin Hubungan Internasional telah

menghasilkan distorsi sejarah disiplin tersebut. Padahal, menurut Schmidt, sejarah Hubungan Internasional di Amerika pada dasarnya adalah produk dari wacana internal. Oleh karenanya, Schmidt memberi label karyanya tersebut lebih

sebagai ’sejarah mengenai upaya-upaya disiplin akademis Hubungan Internasional untuk menghasilkan pengetahuan yang otoritatif mengenai masalah-masalah politik inernasional’ dan bukan sebagai ’sejarah politik internasional’ (1998: 12).

Fragmentasi sebagai refleksi kemajuan dalam Hubungan Internasional?

(4)

teori mengenai ’good life,’ Hubungan Internasional hanya melahirkan ’theory of survival’ yang pada esensinya tidak lebih dari sekedar ’recurrence and repetition’ (Wight, 1995: 25, 32). Dengan kata , Hubungan Internasional tidak menawarkan hal-hal yang baru dan sangat statis.

Dibandingkan dengan kondisinya pada saat Wight memberikan kuliah umumnya, Hubungan Internasional saat ini jelas telah jauh berbeda. Wight tentu akan mengkaji ulang pandangannya mengenai Hubungan Internasional sebagai sebuah disiplin yang statis dan terbelakang seandainya dia berkesempatan untuk mengalami proliferasi perspektif teoritis dalam Hubungan Internasional saat ini. Kontestasi perspektif teoritis ini telah memperkaya Hubungan Internasional. Hubungan Internasional bukan lagi merupakan disiplin yang hanya ditandai dengan ’recurrence and repetition.’ Hubungan Internasional tidak lagi hanya terbatas pada teorisasi tentang ’state survival.’ Sebaliknya, Hubungan Internasional saat ini sangat kaya akan konsep-konsep yang sesuai untuk bagi teorisasi politik global sebagai dampak positif dari keterbukaannya terhadap perkembangan yang terjadi dalam bidang-bidang lain seperti teori politik dan sosial. Dengan kata lain, fragmentasi dan diversifikasi teoritis memungkinkan Hubungan Internasional mengatasi kemandegan dan kekakuan konseptual dalam memahami dan menjelaskan hubungan internasional (Burchill, et.al., 1993: 7-8). Pada saat yang sama, bagi para teoritisi yang tidak termasuk dalam arus utama, fragmentasi dan diversifikasi teoritis mencerminkan akhir dari konservatisme dalam Hubungan Internasional. Fragmentasi dan diversifikasi mengambarkan semakin pluralisnya Hubungan Internasional dan semakin terbukanya ‘thinking space’ bagi perspektif-perspektif yang selama ini termarginalisir (George). Dalam dua artian ini, tidak ada alasan untuk tidak menafsirkan perkembangan Hubungan Internasional saat ini sebagai sebuah kemajuan dan melihatnya dengan cara yang optimistis.

Tetapi, optimisme terhadap perkembangan Hubungan Internasional saat ini bukannya tanpa kualifikasi. Setidaknya, ada beberapa hal yang memaksa kita untuk membatasi optimisme ini. Pertama, fragmenasi dan diversifikasi teoritis dalam Hubungan Internasional berlangsung bukannya tanpa dampak kerugian. Holsti, misalnya, melihat keberhasilan Hubungan Internasional mengatasi kemandegan dan kekakuan konseptual harus dibayar dengan hilangnya paradigma yang otoritatif dalam memahami dan menjelaskan hubungan internasional (Holsti, 1985: 1-7). Mereka yang mengandalkan Hubungan Internasional untuk membantu memahami dan menjelaskan berbagai realitas hubungan internasional harus dihadapkan pada realitas adanya belantara pilihan paradigma yang membingungkan. Kedua, keterbukaan Hubungan Internasional terhadap berbagai perspektif teoritis yang bertentangan cenderung menghasilkan parokhialisme (Boyer, 2003; Biersteker, 1998). Tidak ada upaya riil yang memadai untuk melakukan dialog diantara perspektif-perspektif yang berbeda, apalagi mengeksplorasi kemungkinan munculnya sintesis perspektif. Ketiga, Hubungan Internasional ternyata masih sangat atau bahkan semakin tergantung secara intelektual pada perkembangan Hubungan Internasional Amerika. Pernyataan Stanley Hoffman (1977) tiga puluh tahun yang lalu bahwa Hubungan Internasional adalah ’an American Social Science’ masih berlaku sampai saat ini.3 Sekalipun menggambarkan

3

(5)

fragmentasi dan diversifikasi teoritis, berbagai perspektif teoritis ini ternyata berasal dari akar intelektual yang sama yakni Amerika.4

Hubungan Internasional di Indonesia: Postscript

Bagi ilmuwan Hubungan Inernasional di Indonesia, fragmentasi dan diversifikasi perpektif teoritis dalam Hubungan Internasional kontemporer cenderung ditanggapi secara positif. Setidaknya, karena teori-teori di luar arus utama seperti yang

ditampilkan oleh teori-teori postpositivis lebih akomodatif terhadap kepentingan masyarakat yang termarginalisir, termasuk dalam kategori ini adlah dunia ketiga. Oleh karenanya, tidak mengherankan jika para ilmuwan Hubungan Internasional, termasuk mahasiswa, di Indonesia berusaha mengakomodasi perkembangan kontemporer Hubungan Internasional ini seperti tercermin misalnya dalam pengajaran dan riset yang mereka lakukan.

Hanya saja, posisi dan kontribusi studi Hubungan Internasional Indonesia dalam perkembangan disiplin Hubungan Internasional sejauh ini tidak lebih daripada

sekedar konsumen loyal. Konsumerisme teoritis ini terlihat dengan jelas misalnya dari antusiasme ilmuwan-ilmuwan muda Hubungan Internasional Indonesia terhadap berbagai teori-teori postpositivis.5 Pembahasan terhadap teori-teori ini serta analisis yang didasarkan pada perspektif teoritis ini banyak ditemukan di berbagai jurnal ilmiah, skripsi mahasiswa hingga tulisan-tulisan populer di media massa. 6

Kecenderungan ini sebenarnya menggambarkan fenomena yang dialami oleh ilmuwan Hubungan Internasional di dunia ketiga pada umumnya dan nampaknya tidak akan berubah, setidaknya tidak dalam waku dekat. Ada dua alasan untuk pesimisme ini: eksternal dan internal. Yang pertama mengacu pada perkembangan Hubungan Internasional sebagai sebuah disiplin secara umum. Yang kedua mengacu pada dinamika, jika ada, internal Hubungan Internasional di Indonesia.

Sejauh Hubungan Internasional berkembang dalam alurnya seperti saat ini, yakni sebagai Ilmu Sosial Amerika, sulit membayangkan kontribusi Hubungan Internasional di luar Amerika, sekalipun komunitas ilmuwan kritis di Amerika cenderung

4

Kuatnya ketergantungan Hubungan Internasional pada pemikiran Hubungan Internasional Amerika ini muncul dalam dua bentuk yang berbeda. Pertama, klaim semakin terbukanya ruang berfikir dan emansipasi intelektual dalam Hubungan Internasional pada dasarnya bersumber pada teori kritis yang dikembangkan di Amerika. Jim George, salah satu figur terkemuka yang memaknai masuknya teori-teori non positivis ke dalam Hubungan Internasional sebagai pembukaan ruang berfikir, misalnya, secara jelas mendasarkan pemikiran kritisnya dari tradisi pemikiran di Amerika (Lihat

George, 1992). Kedua, Hubungan Internasional hanya sedikit, jika ada, menaruh perhatian kepada pemikiran Hubungan Internasional di luar Amerika. Dalam artian ini, jelas sangat ironis misalnya ketika Lapid dan Kratochwil (1997) menekankan kembali perhatian Hubungan Internasional terhadap budaya dan identitas tanpa menghiraukan kaya-karya ilmuwan besar di luar Amerika yang memiliki perhatian yang sama seperti Martin Wight (1966) ataupun Ali Mazrui (1975).

5

Pengamatan dan pengalaman personal menunjukkan bahwa mahasiswa mulai menunjukkan ketertarikannya terhadap analisa yang lebih kritis terhadap fenomena hubungan internasional kontemporer. Yang paling jelas adalah dalam kaitannya dengan isyu-isyu globalisasi dan terorisme dan perang melawan terorisme).

6

(6)

menunjukkan sikap toleran, pluralis, simpati dan keberpihakkan mereka terhadap pemikiran-pemikiran yang berasal dari luar Amerika. Banyak praktik-praktik

pendisiplinan akademis yang secara riil menghambat partisipasi ilmuwan Hubungan Internasional dunia ketiga untuk berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan akademis di negara-negara maju, terutama Amerika (Tickner, 2003: 297-301). Bahkan faktor-faktor non akademis juga memberi kontribusi besar dalam menghalangi peran ilmuwan Hubungan Internasional dunia ketiga untuk berperan dalam perkembangan disiplin Hubungan Internasional (Thomas and Wilkin, 2004).

Di Indonesia, Hubungan Internasional hampir tidak pernah menjadi fokus utama dalam kegiatan akademik para ilmuwan Hubungan Internasional. Sebagian besar ilmuwan Hubungan Internasional hanya menjadi ’ilmuwan’ Hubungan Internasional di depan kelas. Dalam kegiatan akademik yang lebih luas, seperti riset, konferensi, seminar maupun publikasi, mereka lebih merupakan ’ilmuwan’ untuk berbagai bidang keilmuan yang lain seperti misalnya kebijakan publik, proses politik, politik

komparatif, studi kawasan atau studi konflik. Porsi Hubungan Internasional, jika ada, sangat minim. Kurangnya fokus dan perhatian ilmuwan Hubungan Internasional menjadikan komunitas ilmuwan Hubungan Internasional tidak pernah berkembang di Indonesia. Konferensi ataupun pertemuan ilmiah yang membahas hubungan

internasional secara spesifik hampir tidak pernah berlangsung.

Berangkat dari kondisi yang sangat memprihatinkan ini, nampaknya merupakan sebuah utopia untuk menggagas peran Hubungan Internasional di Indonesia bagi perkembangan disiplin ini secara keseluruhan. Tetapi, mengembangkan Hubungan Internasional di Indonesia jelas bukannya tidak memiliki makna. Upaya-upaya kecil yang tengah dibangun seperti lokakarya ini merupakan langkah awal untuk mengubah kondisi pesimistis di atas, setidaknya dalam jangka panjang.

Referensi

Amstrong, David (2003) A Turbulent World: An Uncertain IR. Journal of International Relations and

Development 6/4, 358-371

Baylis, John and Steve Smith (1997). The Globalization of World Politics. Oxford: Oxford University Press.

Biersteker, Thomas J. (1998) Eroding Boundaries, Contested Terrain.

Boyer, Mark (2003) Old Whine in New Bottle?. Journal of International and Development 6:390-398.

Brown, Chris (1997) Understanding International Relations. London: Macmillan.

Burchill, Scott, Richard Devetak, Andrew Linklater, Matthew Paterson, Christian Reus-Smit and Jacqui True (1993) Theories of International Relations. New York: Palgrave.

Friedrichs, Jörg (2004) European Approaches to International Relations Theory: A House with Many

Mansions. New York: Routledge.

Galtung, Johan (1971) Gewalt, Frieden und Friedensforschung. Dalam Dieter Senghaas, Hrsg,

Kritische Friedensforschung, Frankfurt am Main: Shurkamp Verlag.

George, Jim (1992) Some Thoughts on the ‘Givenness of Everyday Life’ in Australian International Relations: Theory and Practice’, Australian Journal of Political Science 27/1:31–54.

Hoffman, Stanley (1977) An American Social Science: International Relations. Daedalus, 106: 41-60.

Holsti, K. J. (1985) The Dividing Discipline. Boston: Allen & Unwin.

(7)

Keohane, Robert and Joseph Nye (1977) Power and Interdendence: Wold Politics in Transition. 2nd ed. 1989. Boston: Little, Brown and Co.

Lapid, Yoseph and Friedrich. Kratochwil, eds. (1997) The Return of Culture and Identity in IR Theory. Boulder, CO: Lynne Rienner.

Mazrui, Ali (1975) Eclecticism as an Ideological Alternative: An African Perspective. Alternatives 1/4: 465–86.

Newsom, David D. (1996) The Public Dimension of Foreign Policy. Bloomington: Indiana University Press.

Nossal, K.R. (1998) The Patterns of World Politics. Scarborough, Ontario: Prentice Hall.

Schmidt, Brian C. (1998) The Political Discourse of Anarchy: A Disciplinary History of International

Relations. Albany, NY: State University of New York Press.

Smith, Steve (2000) The Discipline of International Relations: Still an American Social Science?

British Journal of Politics and International Relations, 2/3: 374-402.

Thomas, Caroline and Peter Wilkin (2004) Still Waiting after all these Years: ‘The Third World’ on the Periphery of International Relations British Journal of Politics and International Relations, 6:

241–258

Tickner, Arlene (2003) Seeing IR Differently: Notes from the Third World. Millennium: Journal of

International Studies. 32/2: 295-324

Wæver, Ole (1998) The Sociology of a not so International Discipline: American and European Developments in International Relations. International Organization, 52: 687-727.

Waltz, Kenneth N. (1979) Theory of International Politics. Reading, MA: Addison-Wesley.

Wight, Martin (1966) Western Values in International Relations. Dalam H. Butterfield and M. Wight, eds. Diplomatic Investigations. London: George Allen and Unwin.

Wight, Martin (1995) Why is There No International Theory?. Dalam James Der Derian, ed.

Referensi

Dokumen terkait

Alhamdulillah, atas izin dan pertolongan-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi berjudul “Implementasi Pembiasaan Kegiatan TPQ (Taman Pendidikan Al-Qur‟an)

Ada beberapa kelemahan tafsir pada masa klasik, antara lain: (1) belum mencakup keseluruhan penafsiran ayat Al Qur’an, sehinga masih banyak ayat-ayat Al Qur’an yang

1. Mengenal secara cermat lingkungan, fisik, administratif, akademik dan lingkungan sosial sekolah dasar. Memberikan pengetahuan dalam merencanakan , melaksanakan

Berdasarkan hasil penelitian mengenai hubungan Tingkat Stres dengan Dismenore pada Remaja Putri Kelas X dan XI di SMA Kristen Kanaan Banjarmasin, dapat disimpulkan ada hubungan

10 Refleksi pembelajaran merupakan kegiatan yang dilakukan oleh mahasiswa praktikan dan guru pamong atau guru kelas setelah selesai melakukan suatu pembelajaran

individual sampai kepada pembelahan seldan pembentukan organ.Salah satu masalah penting dengan hormon ini adalah, keberadaannya biasanya dalam jumlah yang sangat kecil dan sangat

Golden Mississipi ingin menamakan produknya Puritas, tetapi dengan saran Eulindra Lim nama produk Air Minum Dalam Kemasan yang di produksi menjadi AQUA, nama tersebut di pilih

Hasil penelitian menunjukkan lamanya proses persalinan pada tingkat kecemasan responden yang ringan 2,44 kali lebih banyak di bandingkan responden yang tidak mengalami kecemasan