• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemberdayaan Sumber Daya Maritim Melalui (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Pemberdayaan Sumber Daya Maritim Melalui (1)"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

Pemberdayaan Sumber Daya Maritim Melalui Pembangunan

Wisata Kapal Pesiar: Isu Kontemporer dan Strategi Penerapan di

Indonesia

Karya tulis ini menyajikan isu-isu kontemporer mengenai wisata kapal pesiar dalam rangka mengidentifkasi strategi-strategi yang relevan diterapkan di Indonesia sebagai salah satu upaya pemberdayaan sumber daya maritim melalui pariwisata. Berdasarkan kajian literatur, diidentifikasi kebutuhan akan intensitas pembangunan hub port dan integrasi antara usaha-usaha pariwisata dan logistik (cruise chain), serta diversifikasi produk melalui pengembangan kapal pesiar bertema. Kajian literatur juga mengidentifikasi peluang pembiayaan dan manajemen melalui konsesi dengan perusahaan kapal pesiar. Adapun perhatian terhadap kelestarian lingkungan, ekonomi, dan sosial diterapkan melalui strategi-strategi responsible cruise tourism sehingga pembangunan wisata kapal pesiar tetap menjaga ketersediaan sumber daya dan kesejahteraan bagi generasi yang akan datang

1.1 Pendahuluan

Orams (1999) menekankan daya tarik wisata kemaritiman (selanjutnya disebut wisata bahari) mengungguli aktivitas wisata alam lainnya seperti wisata pegunungan, terutama dalam aspek intensitas dan variasi kegiatan karena aktivitasnya mencakup seluruh kegiatan wisata (leisure) yang dilakukan di dalam, di atas, dan di bawah laut. Termasuk dalam katergori tersebut adalah: (1) activity-based yang pelaksanaannya bergantung kepada kondisi perairan tertentu, contohnya surfing, windsurfing, memancing, scuba diving, water-skiing, dan berlayar; (2) nature-based yang bergantung kepada kualitas ekosistem laut, sebagai contoh penangkaran penyu dan penyewaan kapal dengan glass-bottom; (3) social and cultural meliputi seluruh aktivitas leisure di pinggir pantai termasuk sun bathing dan sightseeing; dan (4)

(2)

Mempertimbangkan multi-varian aktivitas yang berpotensi menimbulkan kompleksitas pembahasan, karya tulis ini memilih salah satu jenis aktivitas wisata bahari dengan kategori high-potential dan high-impact yang linear dengan kebijakan prioritas pengembangan pariwisata Indonesia terkini yaitu wisata kapal pesiar.

Meskipun memiliki segmen pasar yang relatif kecil, wisata kapal pesiar (cruise tourism) merupakan jenis aktivitas wisata bahari dengan pertumbuhan tercepat di dunia (Klein, 2011; Rodrigue & Notteboom, 2012), terutama dipicu oleh diversifikasi jenis-jenis kapal pesiar baru dengan kapasitas lebih besar (Oasis of the Sea dari Royal Caribbean Cruise Lines mampu menampung hingga 6000 penumpang dan 2000 awak kapal, Lihat Gambar 1) tetapi dilengkapi dengan fasilitas layaknya resort atau theme park (Nedelcu et al, 2015, Weaver, 2011).

Gambar 1: Oasis of the Sea beserta desain interiornya

Fenomena berkembangnya wisata kapal pesiar sejalan dengan tema yang diangkat pada Simposium PPI Asia-Oseania 2016, karena upaya pengembangannya di Indonesia akan memperkuat pemberdayaan sumber daya maritim sekaligus memberikan tantangan bagi seluruh stakeholder terkait untuk menjaga keberlangsungan ekonomi, sosial budaya, dan terutama lingkungan bahari dan pesisir.

1.2 Latar Belakang

(3)

Penjelasan agenda prioritas “Nawa Cita” ke-6 yang berbunyi “Kami akan meningkatan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional” tersebut diatas menekankan prioritas kerja jajaran kabinet Jokowi-Jusuf Kalla sepanjang 2014-2019 dalam upaya menggali dan mengembangkan potensi bahari Indonesia, salah satunya dalam bidang pariwisata. Tidak berlebihan bila pariwisata dinilai mampu menjadi katalisator pertumbuhan ekonomi nasional, menengok keberhasilan sektor pariwisata di negara-negara Asia Pasifik untuk memberikan total kontribusi sebesar US$ 504.2 miliar terhadap Gross Domestic Product, pertumbungan investasi sebesar US$71.1 miliar, terciptanya 15,8 juta lapangan kerja bidang pariwisata pada tahun 2014 (WTTC, 2014), serta menjadi kawasan regional dengan pertumbuhan pariwisata international terbesar hingga 6% mengungguli Afrika dan Eropa (UNWTO, 2014). Di sisi lain, industri kapal pesiar mencatatkan jumlah penumpang terbanyak sebanyak 20 juta wisatawan pada tahun 2012 dan diperkirakan akan terus tumbuh di tahun-tahun selanjutnya. Di Amerika Serikat saja, industri kapal pesiar menghasilkan pendapatan ekonomi tidak kurang dari US$ 42 miliar termasuk 356.000 jenis pekerjaan yang terkait (CLIA, 2013 dikutip oleh Wang et al, 2014). Di Eropa, industri ini menciptakan 330.000 lapangan pekerjaan atau peningkatan sebesar 75% dalam kurun waktu lima tahun (Wang et al, 2014).

Meskipun data mengenai dampak wisata kapal pesiar di Indonesia masih sangat terbatas, secara umum Indonesia mencatat 9,44 juta kunjungan pada tahun 2014 atau mengalami peningkatan sebesar 7,19% dari tahun sebelumnya (BPS, 2014). Angka tersebut berarti tambahan devisa negara sebesar US$ 10,69 miliar atau setara Rp 136 triliun (Kemenpar, 2015), dengan US$ 3,5 miliar diantaranya (35%) berasal dari pengeluaran wisatawan mancanegara di bidang wisata bahari (Yahya, 2015).

(4)

mengantisipasi kebutuhan pasar domestik yang saat ini harus terlebih dahulu menuju Singapura sebagai hub port untuk berwisata di kapal pesiar (PELNI, 2015; Jurnalmaritim, 2015). Fenomena-fenomena diatas terutama geliat pengembangan, dukungan kebijakan pemerintah, upaya menjawab ketertinggalan Indonesia dalam mengemas wisata kapal pesiar, serta masih terbatasnya kajian akademis mengenai wisata kapal pesiar di Indonesia, merupakan hal-hal yang melatarbelakangi penulisan karya tulis ilmiah mengenai wisata kapal pesiar ini.

1.3 Tujuan

Penulisan karya tulis ini ditujukan untuk mengidentifikasi isu-isu kontemporer dalam pengembangan wisata kapal pesiar sehingga diperoleh strategi-strategi yang sesuai dikembangkan di Indonesia dengan mempertimbangkan kondisi geografis hingga kelembagaan. Topik yang dijabarkan tersebut dipilih untuk memberikan tinjauan komprehensif mengenai upaya pemberdayaan sumber daya maritim Indonesia melalui pembangunan wisata kapal pesiar berkualitas internasional. Substansi karya tulis sejalan dan diharapkan mampu memperkaya substansi Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Wisata Bahari dari Kementerian Pariwisata yang mentargetkan 800 kunjungan kapal pesiar pada tahun 2019 dari 460 kunjungan pada tahun 2015 (Yahya, 2015). Secara akademis, karya tulis ini diharapkan menjadi salah satu referensi bagi akademisi maupun praktisi bidang pariwisata mengingat terbatasnya kajian mengenai wisata kapal pesiardi Indonesia.

2. Studi Literatur

2.1 Perkembangan terkini cruise tourism internasional

(5)

skateboard, lapangan ice skating, panjat tebing, bungee-trampolines, dapur untuk demonstrasi memasak, hingga villa dengan beragam tipe kamar dan kolam renang pribadi dan jacuzzi (Rodrigue & Notteboom, 2013; Nedelcu et al, 2015).

Industri kapal pesiar sangat bergantung kepada cruise chain yaitu integrasi antar simpul-simpul usaha pariwisata maupun logistik yang terkait dalam perjalanan kapal pesiar. Sebagai contoh: sinkronisasi waktu keberangkatan dan kedatangan pesawat terbang di airport lokal dengan jadwal perjalanan kapal pesiar untuk mempermudah mobilisasi wisatawan kembali ke negara asal, ketersediaan moda transportasi lain seperti bis untuk mengakomodir pergerakan wisatawan dan awak kapal selama berada di darat, hingga layanan kargo/logistik seperti pengangkutan dan penyimpanan bagasi wisatawan, pengisian bahan bakar, ataupun pengolahan sampah (Pallis et al, 2014). Bagi perusahaan kapal pesiar, diversifikasi jadwal perjalanan yang ditawarkan berarti peluang mendapatkan konsumen baru, tetapi berimplikasi terhadap kebutuhan akan penambahan port of call atau pelabuhan yang berfungsi sebagai tempat sandar agar wisatawan dapat turun dari kapal dan berwisata di darat. Di lain pihak, destinasi-destinasi yang memiliki port of call (atau dalam tahap rencana pembangunan port of call) harus mengintegrasi aktivitas kapal pesiar dalam grand design pembangunan pariwisata mereka, termasuk upaya menarik minat kapal pesiar untuk berlabuh, bentuk kooperasi dengan perusahaan kapal pesiar, serta rencana investasi dan

financing mengingat kebutuhan high quality infrastructure yang tidak sedikit untuk mengakomodir kapal pesiar berkapasitas besar.

Dalam tulisannya, Nedelcu et al (2015) mendeskripsikan beberapa tipe produk kapal pesiar terkini. Satu diataranya beroperasi di lepas pantai Amerika Utara selama 12 hari dengan 7 hari di lautan Kanada hingga Alaska, serta 5 hari tour di darat. Di setiap

port of call, wisatawan memilih paket wisata dari tour operator saat berada di dalam kapal atau setiba di darat untuk mengunjungi destinasi wisata unggulan seperti glasier,

(6)

kapal berukuran kecil yang digunakan untuk kepentingan petualangan (adventure cruising), seperti paddle wheelers yang didorong menggunakan tenaga uap untuk menjelajahi sungai, kapal ferry, hingga icebreakers yang juga digunakan untuk membersihkan hamparan es di jalur kapal-kapal pengangkut persediaan barang menuju Antartika.

Selain dikembangkan dalam segi ukuran/kapasitas, interior kapal pesiar juga didesain berdasarkan tema-tema tertentu. Sebagai contoh: Pride of America yang dioperasikan oleh Norwegian Cruise Line dikemas dalam tema United States of America. Atrium utama terinspirasi dari desain Gedung Putih (the White House), restoran dan bar merefleksikan lokasi kenamaan di Amerika seperti kebun anggur California, skyline di New York City, Thomas Jefferson Estate di Virginia, serta pantai Waikiki di Hawaii (Cruz, 2006 dikutip oleh Weaver, 2011). Sedangkan Disney Dream yang dioperasikan oleh Disney Cruise Line banyak mengadopsi koleksi karakter animasi dari film dan acara televise yang diproduksi oleh Disney (King, 2010).

2.2 Konsesi sebagai strategi pengembangan port kapal pesiar

Konsesi pelabuhan merupakan struktur kerjasama antara badan pemilik pelabuhan, dapat berupa lembaga/badan pemerintah yang secara legal memiliki dan mempunyai kewenangan mengelola pelabuhan, dengan operator pengelola pelabuhan (yaitu perusahaan kapal pesiar atau joint operation dengan perusahaan di bidang kepelabuhanan) yang diberikan otoritas oleh badan pemilik pelabuhan untuk secara sah mengelola area pelabuhan dengan membayar biaya konsesi yang disepakati (Wang et al, 2014). Detail pengelolaan termasuk manajemen terminal, peningkatan kapasitas pelabuhan, pemasaran, sistem keamanan, perawatan, hingga akuisisi lahan kepada pihak swasta dikarekan beberapa alasan seperti fiscal, finansial, efisiensi atau manajemen resiko. Beberapa contoh konsesi pelabuhan yang berlangsung di berbagai negara dirangkum dalam tabel 1.

Tabel 1: contoh konsesi pelabuhan di berbagai negara

Port Operator

pengelola pelabuhan

Lama

konsesi Berlakusejak

Galveston Port Authority,

Amerika Serikat Royal Caribbean International, CarnivalCruise Lines (keduanya perusahaan kapal pesiar)

(7)

Barcelona, Spanyol Carnival (perusahaan kapal pesiar) 25 tahun 2007 Kusadasi, Turkey Partnership antara RCLL (perusahaan

kapal kargo) (27.5%) dan Global Ports Holding (perusahaan operator terminal kapal pesiar) (72.5%)

30 tahun 2003

Lisbon, Portugal Partnership antara RCLL (perusahaan kapal kargo) dan Global Ports Holding (perusahaan operator terminal kapal pesiar)

35 tahun 2014

Marseille, Prancis Marseille Provence Cruise Terminal (perusahaan yang dimiliki oleh tiga perusahaan kapal pesiar: Costa Conciere – 40%, MSC – 40%, dan Louise Cruises – 20%)

25 tahun 2009

Bar, Montenegro Global Ports Holding (perusahaan

operator terminal kapal pesiar) 30 tahun 2013

Penelitian yang dilakukan oleh MedCruise (2013) sebagaimana dikutip oleh Wang et al (2014) terhadap 66 cruise ports di kawasan Mediterania menunjukkan korelasi positif antara peningkatan persentase keberangkatan kapal pesiar hingga 197% dengan jumlah port yang dikelola oleh perusahaan pengelola pelabuhan. Lebih lanjut, pemberian insentif oleh badan pemilik pelabuhan kepada operator merupakan salah satu strategi untuk menjamin konsesi berlangsung dalam jangka waktu panjang, tetapi juga mengurangi halangan perusahaan baru untuk berinvestasi, serta memberikan dorongan kepada operator untuk memaksimalkan penggunaan dan produktivitas lahan di pelabuhan (Notteboom, 2006; Wang et al, 2014). Beberapa contoh insentif yang lazim diberikan adalah pembangunan infrastruktur dasar dan pembenahan terminal (termasuk baggage screening, lokasi embarkasi, koridor keberangkatan, gudang, pengurusan bea cukai dan imigrasi) tarif penumpang yang rendah, minimum pendapatan dari biaya singgah penumpang yang rendah, penghapusan biaya sewa gudang, opsi perpanjangan kontrak, hingga bagi hasil keuntungan biaya sandar kapal pesiar. Tabel 2 menunjukkan komparasi pemberian insentif oleh badan pemilik pelabuhan Port of Galveston di Amerika Serikat kepada dua perusahaan kapal pesiar: Carnival Cruise Line dan Royal Caribbean International

Tabel 2: contoh pemberian insentif kepada perusahaan kapal pesiar

Perusahaan kapal

pesiar Insentif Target

Carnival Cruise Line

Opsi perpanjangan kontrak hingga 2

tahun Minimum pendapatan dari tariff sandarpenumpang sebesar USD 575,000 Penumpang kapal pesiar hanya

dikenakan tariff sandar sebesar USD

(8)

Royal Caribbean

sebesar USD 17 pada tahun pertama Target penumpang hingga 47,000

2.3 Responsible cruise tourism: membangun wisata kapal pesiar yang berkelanjutan

Klein (2011) menyebutkan sejumlah area dan permasalahan yang harus mendapat perhatian dalam menciptakan iklim responsible cruise tourism sebagai upaya menjamin berkembangnya wisata kapal pesiar yang berkelanjutan yaitu: (a) minimalisir dampak negatif terhadap lingkungan, (b) pendapatan ekonomi yang terdistribusi secara merata kepada seluruh stakeholder, (c) minimalisir dampak negatif terhadap kondisi sosial-budaya.

a. Minimalisir dampak negatif terhadap lingkungan

Kapal pesiar menghasilkan tidak kurang dari 90 galon greywater (air limbah kamar mandi, mesin cuci, dan sampah dapur) per orang setiap harinya (Klein, 2011). Meskipun instalasi teknologi pengolah air limbah seperti advanced wastewater treatment systems (AWTS) terus ditingkatkan, pada tahun 2009 sebanyak 60% dari total kapal pesiar yang melintasi kawasan Alaska terbukti melakukan pelanggaran terhadap Alaska Water Quality Standards (Klein, 2011) yaitu berupa pembuangan ammonia, copper, chlorine, dan zat kimia lainnya dalam jumlah yang berlebihan. Emisi udara dan nitrogen yang dihasilkan oleh kapal juga terbukti menjadi salah satu sumber polusi udara termasuk kabut asap, demikian pula limbah padat semisal plastic, kertas, kayu, kardus, sisa makanan, kaleng dan gelas sebagai hasil konsumsi wisatawan kapal pesiar. Copeland (2008) mencatat lebih dari 8 ton limbah padat dihasilkan oleh kapal pesiar berukuran sedang setiap minggunya

b. Pendapatan ekonomi yang terdistribusi secara merata

(9)

mengungkapkan tersingkirnya usaha lokal akibat diberikannya konsesi pelabuan kepada perusahaan kapal pesiar yang bekerjasama dengan gerai-gerai dengan

brand produk internasional. Di sisi lain, sebanyak 50% (kasus lainnya menyatakan 80%-90%) dari harga paket wisata di destinasi darat yang ditawarkan oleh tour operator lokal harus dikembalikan ke manajemen kapal pesiar, artinya pengusaha lokal dipaksa memberikan pelayanan seharga $25 untuk memenuhi ekspektasi akan produk seharga $50 yang berujung pada ketidakpuasan konsumen terhadap pengusaha lokal (CMC, 2007; Klein, 2011). Walaupun mendatangkan wisatawan dalam jumlah yang banyak, studi mengungkapkan rendahnya pengeluaran wisatawan kapal pesiar saat berada di darat dan hanya terpusat kepada beberapa pelaku usaha (Klein, 2011).

c. Minimalisir dampak negatif terhadap kondisi sosial-budaya

Ribuan penumpang kapal pesiar yang datang berbarengan dalam satu waktu kunjungan, intensitas beroperasinya helicopter untuk membawa wisatawan kapal pesiar menuju glesier ataupun bisingnya terompet yang dibunyikan pada tengah malam untuk menandakan waktu keberangkatan kapal, merupakan masalah-masalah yang harus dihadapi masyarakat lokal akibat berkembangnya port kapal pesiar. Dalam jangka waktu lama, fenomena tersebut mengakibatkan “polusi sosial” berupa ketidaknyamanan dan berkurangnya kualitas hidup karena daya dukung port tidak lagi mampu menampung akumulasi aktivitas kapal pesiar (Klein, 2008). Lebih jauh, tingkat interaksi wisatawan kapal pesiar dengan budaya lokal, serta penghargaan terhadap norma yang berlaku ditengah masyarakat juga dipertanyakan. Tidak jarang karena terbatasnya waktu kunjungan, wisatawan kapal pesiar mengunjungi destinasi yang dianggap sakral pada waktu yang tidak diperbolehkan (Klein, 2011).

3. Pembahasan

3.1 Pembangunan hub port, cruise chain dan diversifikasi produk

(10)

pesiar di kawasan Amerika Selatan dan Asia baik sebagai konsumen maupun penempatan lokasi beroperasinya perusahaan (Pallis et al, 2014). Meskipun demikian, diferensiasi produk untuk segmen pasar yang tepat menjadi sangat krusial mengingat ketatnya persaingan dengan negara-negara di Asia yang telah memiliki hub port

dalam lingkup regional, seperti Hong Kong, Tiongkok, Malaysia dan Singapura. Dengan menjadi hub port, sebuah terminal/pelabuhan akan menjadi homeport atau basis operasi perusahaan kapal pesiar sehingga befungsi sebagai titik awal dan titik akhir pelayaran, demikian pula jadwal keberangkatan dan kedatangan kapal pesiar yang stabil, serta jumlah pengunjung yang konstan dapat lebih diharapkan. Hal tersebut seperti terjadi di Miami yang menjadi homeport bagi 30 kapal pesiar dan 13

brand kapal pesiar yang berbeda (Hsu, 2015).

Sebagaimana diwartakan John (2015), hingga saat ini pelabuhan kapal pesiar paling representatif di Indonesia, Benoa – Bali, masih berfungsi sebatas port of call untuk 60 rute kapal pesiar pada tahun 2015 yang datang dari hub port di Australia atau Dubai. Dengan luas laut yang dimiliki Indonesia, tidak berlebihan jika seharusnya Indonesia memiliki lebih dari 1 hub port untuk berperan sebagai terminal yang menyokong rute-rute pelayaran kapal pesiar ke seluruh pelosok Indonesia.

(11)

kepada Tiongkok yang membangun Shanghai dan 15 hub port lainnya di seluruh penjuru negeri (Hsu, 2015), peningkatan kuantitas dan kualitas hub port harus menjadi prioritas karena memiliki konsekuensi peremajaan/pengembangan port of call, infrastruktur dasar dan pelabuhan udara internasional yang terkoneksi dalam paket perjalanan kapal pesiar.

Membangun cruise chain dalam industri kapal pesiar Indonesia merupakan tantangan yang tidak mudah. Hal tersebut karena kewenangan penyediaan logistik yang melekat di institusi yang berbeda. Mengikuti contoh ilustrasi pada paragraf sebelumnya, pemberhentian di call of port di Bali – NTB – NTT akan membutuhkan:

 Ketersediaan rute pesawat yang terhubung dengan waktu keberangkatan di Bali dan kedatangan wisatawan di Larantuka merupakan wewenang maskapai penerbangan lokal dan internasional maupun Dirjen Perhubungan Udara -Kementerian Perhubungan

 Aspek logistik kepelabuhanan termasuk pengangkutan barang wisatawan membutuhkan ijin dari penyelenggara pelabuhan dibawah pengawasan Dirjen Perhubungan Laut - Kementerian Perhubungan.

 Ketersediaan listrik yang memadai di pelabuhan merupakan kewenangan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN), sementara bahan bakar merupakan wewenang PT Pertamina, dan air bersih menjadi tanggung jawab Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM)

 Ketersediaan bis dan pemandu wisata yang berkualitas dilakukan oleh tour operator dengan bantuan relawan (volunteer) yang diawasi oleh Dinas/Kementerian Pariwisata

 Penyediaan bahan makanan berkualitas kapal pesiar yang higienis termasuk yang disajikan oleh restoran/cafe menjadi wewenang Dinas/Kementerian Kesehatan  Penataan destinasi wisata di masing-masing port of call dibawah tanggung jawab

Dinas/Kementerian Pariwisata, demikian pula

Untuk mengatur hal-hal diatas, dibutuhkan surat keputusan, sistem, atau badan yang mempunyai kekuatan untuk mewajibkan pihak-pihak terkait agar melaksanakan tugas sesuai fungsi masing-masing dengan tujuan terselenggaranya kepuasan berwisata

(quality tourism experiences).

(12)

overload” (Eisen, 2007), “the Holistic Holiday at Sea” yang menawarkan sesi-sesi memasak vegan dan macrobiotic hingga pijat shiatsu dan pencegahan penyakit jantung (Young, 2007), “Mind, Body and Spirit” menawarkan instruktur yoga, tai chi dan pilates professional selama perjalanan (Young, 2007), “Glen Miller Orchestra” menawarkan konser harian, bincang dan sesi penandatangan memorabilia oleh artis yang tampil, kuliah singkat mengenai musik, hingga pemutaran film documenter dari band-band legendaris (Kerr, 2009), “Baseball Greats” mengundang mantan atlet baseball internasional untuk berbincang langsung dengan penumpang termasuk terlibat dalam klinik/pelatihan baseball.

Namun demikian, paket perjalanan kapal pesiar bertema di Indonesia dapat pula difokuskan kepada pengkajian kekayaan alam, sejarah, adat, dan budaya tanah air. Sebagai ilustrasi, interior kapal dapat didesain untuk menggambarkan kekayaan kuliner dari seluruh penjuru tanah air, disertai cooking class bersama selebriti, hingga workshop mengenai rempah-rempah dan sejarah jalur sutera. Kapal pesiar juga dapat mengundang ahli/praktisi bidang geologi, ornithology (studi sains tentang burung), hingga biologi laut sebelum dilanjutkan dengan eksplorasi lapangan menuju destinasi yang kaya akan fenomena vulkanologi, biota laut, serta lokasi bird watching. Untuk kebutuhan tersebut, penggunaan adventure cruises berukuran kecil dengan

daya-Gambar 2: National Geographic Orion yang sudah beroperasi di perairan Indonesia

(13)

dilengkapi sonar, radar, dek pemecah es, glass-bottom untuk memudahkan observasi dari dalam kapal, tanpa meninggalkan kemewahan fasilitas kapal pesiar (expeditions.com, 2015)

3.2 Konsesi tidak sebatas bantuan finansial

Pelaksanaan konsesi pelabuhan bukan hal asing dalam tata pengelolaan pelabuhan di Indonesia. Pada bulan November 2015, Kementerian Perhubungan menandatangani penjanjian konsesi pengusahaan pelabuhan dengan PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) I, II, III, dan IV selaku operator pelabuhan, sehingga mereka mengembalikan hak regulator kepada pemerintah, serta memperoleh kewenangan penuh melaksanakan usaha jasa kepelabuhanan (Amin, 2015). Meskipun demikian, dalam pengembangan wisata kapal pesiar, keterbatasan sumber daya finansial masih menjadi penghambat utama mengingat kebutuhan infrastruktur yang tidak sedikit.

Memperhatikan tren dan studi mengenai konsesi dengan perusahaan kapal pesiar pada bab sebelumnya, kerjasama tersebut sangat mungkin dilakukan dalam mendukung percepatan pengembangan di Indonesia dalam skema build, operate, transfer (BOT) yang sering digunakan dalam manajemen port kapal pesiar, yaitu perusahaan kapal pesiar membangun, memperbaiki fasilitas di port, serta menanggung kebutuhan biaya untuk kemudian diberikan wewenang mengoperasian serta mendapatkan keuntungan dan menanggung segala resiko dari hal tersebut. Setelah jangka waktu konsesi selesai, bangunan dan kewenangan pengelolaan diserahkan kembali kepada pemerintah (Notteboom, 2006). Selain menghindari resiko kerugian akibat investasi pemerintah tanpa diimbangi intensitas kedatangan kapal pesiar seperti terjadi di Campbel River, British Columbia (Scarfe, 2005 dikutip oleh Cheong, 2013), pengembangan berdasarkan desain perusahaan kapal pesiar (e.g: Royal Caribbean) juga mempermudah penyesuaian bentuk fasilitas port terhadap spesifikasi khusus yang hanya dimiliki oleh kapal pesiar milik Royal Caribbean. Dalam pelaksanaan konsesi, pemerintah juga dapat bernegosiasi agar perusahaan melakukan“upgrading” kawasan

(14)

pemberian insentif kepada perusahaan kapal pesiar berupa tarif sandar penumpang yang rendah, pemerintah dapat bernegosiasi untuk memperoleh wewenang pengelolaan unit-unit usaha seperti hotel, butik, bar/restoran di kawasan waterfront

sebagai sumber pendapatan daerah.

3.3 Strategi-strategi populer yang menjadi tanggung jawab bersama

Isu-isu yang dibahas dalam merealisasikan responsible cruise tourism harus menjadi perhatian dan komitmen seluruh stakeholder yang terlibat dalam proses pembangunan maupun mereka yang berpotensi terkena dampak pembangunan tersebut. Aksi, strategi, dan best practice melawan dampak negatif telah diaplikasikan di berbagai negara dan destinasi untuk menjamin ketersediaan sumber daya bagi generasi yang akan datang. Dalam upaya pengembangan kapal pesiar di Indonesia, beberapa kebijakan yang dapat diterapkan antara lain:

a. Pelestarian lingkungan

 Kapal pesiar yang beroperasi di Indonesia harus mempunyai teknologi pemurnian greywater dan limbah cair sebelum dibuang di laut lepas, misalnya menggunakan Advanced Wastewater Purification System yang diberlakukan di Amerika Serikat (Hansen, 2010 dikutip oleh Klein, 2011).

 Sebagian dari biaya sandar penumpang dialokasikan untuk membiayai

onboard observer atau ocean ranger yaitu petugas yang beroperasi di dalam kapal pesiar untuk mensupervisi proses pemurnian.

 Penyusunan jadwal perjalanan (itinerary) yang efisien, sehingga menghemat penggunaan bahan bakar.

 Pelaksaaan cold ironing di pelabuhan, yaitu memberikan suntikan energi

listrik dari pelabuhan ketika mesin utama dan pendukung kapal pesiar dimatikan selama bersandar.

 Larangan membuang limbah padat di laut, serta mewajibkan setiap port

memiliki mekanisme pengelolaan limbah untuk limbah yang diturunkan dari kapal pesiar.

b. Distribusi pendapatan ekonomi

(15)

 Perpanjangan masa sandar di tiap port of call menjadi lebih dari 8 jam,

memungkinkan pengunjung untuk bereksplorasi ke destinasi yang tidak terletak dalam jangkauan 15-30 menit berjalan kaki, termasuk mencicipi kuliner lokal.

c. Pelestarian kondisi sosial-budaya

 Pemberian pemahaman dasar kepada seluruh masyarakat sekitar port

mengenai industri kapal pesiar termasuk masalah popular yang ditimbulkan oleh kapal pesiar. Dihadiri oleh pemerintah serta perwakilan kapal pesiar, forum ini dapat menghasilkan local concerns untuk diperhatikan bersama (Geldorf, 2013).

Itinerary yang disusun merupakan hasil konsultasi dengan komunitas lokal,

sehingga menghindari terjadinya kemacetan, overcrowding, hingga kunjungan ke destinasi pada waktu yang tidak dianjurkan.

4. Penutup

Di Indonesia, kapal pesiar belum dikembangkan sebagai salah satu atraksi wisata unggulan yang menarik bagi wisatawan mancanegara maupun domestik. Meskipun perlahan mulai menggeliat, diperlukan strategi yang relevan dengan trend dan isu kontemporer sehingga pengembangannya di Indonesia benar-benar sesuai dengan ekspektasi konsumen, serta memberdayakan sumber daya maritim untuk menciptakan destinasi kapal wisata berdaya saing internasional yang memberikan kesejahteraan bagi banyak pihak. Salah satu isu terpenting adalah upaya seluruh stakeholder untuk memperbanyak port hub sebagai tempat “menginap” kapal, titik awal dan akhir rute perjalanan kapal pesiar, serta tempat penumpang berganti (naik dan turun). Keterkaitan antara usaha pariwisata dan logistik dalam membentuk cruise chain

adalah tantangan selanjutnya, diperlukan peraturan/sistem/badan yang mampu mengintegrasikan unsur pemerintah maupun non-pemerintah dalam rangka menciptakan kepuasan berwisata konsumen. Memperhatikan kondisi oseanografis Indonesia yang tidak jarang membutuhkan perjalanan dengan medan yang sulit untuk mencapai lokasi yang kaya akan biota laut, fenomena vulkanologi, dan potensi lainnnya, maka penggunaan kapal pesiar berukuran kecil dilengkapi fitur-fitur

(16)

demikian pula kapal pesiar bertema lainnya yang menggali potensi budaya dan alam Indonesia.

Keterbatasan sumber daya finansial serta kemampuan pengelolaan pelabuhan kapal pesiar dapat disiasati melalui konsensi dengan perusahaan kapal pesiar, melalui sistem build-operate-transfer (BOT). Meskipun demikian, stakeholder kapal pesiar Indonesia harus mempertimbangkan asas-asas responsible cruise tourism sehingga meskipun dikembangkan secara intensif, kelestarian laut tetap terjaga, demikian halnya kualitas hidup dan interaksi sosial masyarakat sekitar pelabuhan dengan rutinitas pelabuhan kapal pesiar yang sangat kompleks. Diatas itu semua, responsible cruise tourism

diterapkan untuk menjamin distribusi pendapatan yang merata kepada seluruh stakeholder yang terlibat dalam pengembangan wisata kapal pesiar.

Referensi

1. Amin, I. (2015). Pemerintah akan kenakan tarif konsesi pelabuhan PELINDO. Diakses dari http://ekbis.sindonews.com/read/1060200/34/pemerintah-akan-kenakan-tarif-konsesi-pelabuhan-pelindo-1447079336 pada 1 Desember 2015

(17)

united approach to cruise tourism, CBC Barbados. Diakses dari http://www.cbc.bb/content/view/13018/45/ pada tanggal 1 Desember 2015

3. Cheong, C. (2013). Cruise ship tourim. Impacts and trends: A literature review. Dalam Avrami, E. (Ed). Harboring tourism: cruise ships in historic port communities. (pp 8-36). Charleston: South Carolina.

4. Coastal systems international. (2015). Current trends & considerations in cruise

destination development. Diakses dari

http://www.coastalsystemsint.com/pdf/Media/Perspective_v6.pdf pada 1 Desember 2015

5. Copeland, C. (2008). Cruise ship pollution: background, laws and regulatios, and key issues Diakses dari file:///Users/arya/Downloads/cruise%20ship%20pollution %20background%20laws%20and%20regulations%20and%20key%20issues.pdf pada tanggal 1 Desember 2015

6. Eisen, D. (2007, November 12). Common interest cruising. Travel Agent, 331(8), 58–60.

7. Geldorf, J (2013). Implementing cruise tourism policies that work for local communities. Dalam Avrami, E. (Ed). Harboring tourism: cruise ships in historic port communities. (pp 8-36). Charleston: South Carolina.

8. Hsu, C. (2015). Competitive landscape of Asian cruise ports. Diakses dari http://scholarworks.umass.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1122&context=ttra pada tanggal 10 Desember 2015

9. John, N. (2015). Bali to become a hub port for cruise ships. Diakses dari http://www.aseancruising.com/bali-become-hub-port-cruise-ships/

10. Kementerian Pariwisata (Kemenpar). (2015). Pariwisata kini jadi andalan pendulang devisa negara. Diakses dari http://www.kemenpar.go.id/asp/detil.asp? c=16&id=2959 pada tanggal 1 Desember 2015

11. Kerr, J. (2009). Theme voyages. Cruise Travel,30 (5), 32.

12. King, D. (2010). Disney designers thinking big for newbuild Dream's features. (Disney Cruise Line's Disney Dream). Travel Weekly,69 (14), 8.

13. Klein, R.A. (2011). Responsible cruise tourism: Issues of cruise tourism and sustainability. Journal of Hospitality and Tourism Management,18, 107.

(18)

15. Luna Kelser, J. (2013). Policies for maximizing positive impacts for cruise tourism: A destination perspective. Dalam Avrami, E. (Ed). Harboring tourism: cruise ships in historic port communities. (pp 8-36). Charleston: South Carolina.

16. Nedelcu, A., Popescu, G., & Cioaca, A. (2015). Current diversity of cruise tourism. Journal of Tourism Challenges and Trends,8 (1), 27.

17. Orams, M. (1999). Marine tourism : Development, impacts and management. New York: Routledge.

18. National geographic orion. (2015). Diakses dari

http://www.expeditions.com/why-us/our-fleet/orion/

19. Notteboom, T. (2006). Concession agreements as port governance tools.

Research in Transportation Economics,17, 437-455.

20. Pallis, A., Rodrigue, J. P., & Notteboom. T. (2014). Cruises and cruise ports: structures and strategies. Research in Transportation Business & Management, 13, 1-5.

21. Pelayaran Nasional Indonesia (PELNI). (2015). PELNI siapkan hotel terapung ke Raja Ampat & Wakatobi. Diakses dari https://www.pelni.co.id/news/show/3331 pada tanggal 1 Desember 2015

22. Rodrigue, Jean-Paul, & Notteboom, T. (2012). The geography of cruises: Itineraries, not destinations. Applied Geography,38, 31-42.

23. Smith, V. (2006). Adventure cruising: an ethnography of small ship travel. In Dowling, R. K. Cruise ship tourism (pp 240-258). Oxfordshire, United Kingdom: CABI

24. Wang, G., Pallis, A., & Notteboom. T. (2014). Incentives in cruise terminal concession contracts. Research in Transportation Business & Management, 13,

36-42.

25. Weaver, A. (2011). The fragmentation of markets, neo-tribes, nostalgia, and the culture of celebrity: The rise of themed cruises. Journal of Hospitality and Tourism Management,18, 54.

26. World Travel & Tourism Council (WTTC). (2014). Travel & tourism economic impact 2014. Diakses dari http://www.wttc.org/-/media/files/reports/economic %20impact%20research/regional%20reports/world2014.pdf pada tanggal 1 Desember 2015

27. World Tourism Organization (UNWTO). (2014). UNWTO Tourism highlights

2014 edition. Diakses dari

(19)

28. Yahya, A. (2015). Kebijakan pembangunan wisata bahari. Presentasi disampaikan pada rapat internal Kementerian Pariwisata

Gambar

Gambar 1: Oasis of the Sea beserta desain interiornya
Tabel 1: contoh konsesi pelabuhan di berbagai negara
Tabel 2: contoh pemberian insentif kepada perusahaan kapal pesiar
Gambar 2: National Geographic Orion yang sudah beroperasi di perairan Indonesia

Referensi

Dokumen terkait

pascapanen terutama antraknosa. Kerusakan pascapanen tersebut dapat menurunkan kualitas mangga. Pemanfaatan khamir antagonis sebagai agens hayati merupakan alternatif

Berdasarkan standar ini, transaksi antara entitas sepengendali yang dilakukan dalam rangka reorganisasi entitas-entitas yang berada dalam suatu kelompok usaha

Untuk dapat mengkategorikan mutilasi sebagai tindak pidana haruslah memenuhi beberapa persyaratan, yaitu tindakan yang dilakukan tersebut merupakan tindakan yang

Sistem baru tersebut adalah semua pihak yang turut serta dalam meeting dengan klien baik dari pihak operasional maupun pihak marketing sama-sama membuat notulen pribadi,

Hal ini karena ditinjau dari pelanggan yang tidak perlu bingung dan jauh-jauh apabila ingin berbelanja K-Pop merchandise, terlebih lagi target pasar kami adalah remaja hingga

Beberapa faktor yang berhubungan dengan kecemasan ibu hamil pertama (primigravida) antara lain : a. Faktor internal, yaitu 1) Umur. Batasan yang relatif paling

Both JSU and JTat recombinant proteins appeared to be expressed properly using pGEX system which resulted in ± 60kDa protein for JSU (Figure 1) and ± 36.7kDa protein for JTat

kemasan OPP20/VMCPP25, dapat diketahui bahwa metode yang mendekati kondisi aktual umur simpan wafer stick dengan kadar air awal 2,04% dan kadar air kritis 3,63% pada suhu 28 °C dan