• Tidak ada hasil yang ditemukan

Cholelithiasis pada Anjing Maltese di An

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Cholelithiasis pada Anjing Maltese di An"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

1

Cholelithiasis pada Anjing Maltese di Animal Clinic Jakarta Periode Oktober – Desember 2016

M. Rifa’is*, Dian Vidiastuti, Ahmad Fauzi

Pendidikan Profesi Dokter Hewan, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Brawijaya, Malang vet.fais@gmail.com

ABSTRAK

Cholelithiasis atau penyakit batu empedu adalah suatu kondisi ditemukannya batu atau endapan di dalam kantung empedu atau di dalam saluran empedu, atau pada keduanya. Sebagian besar batu empedu, terutama batu kolesterol terbentuk di dalam kantung empedu. Tugas akhir ini bertujuan untuk mengetahui tahapan diagnosa, diagnosa banding, terapi, dan pencegahan

cholelithiasis pada anjing. Pada kasus ini, seekor anjing Maltese betina berumur 1,5 tahun dibawa ke Animal Clinic Jakarta. Hasil pemeriksaan fisik menunjukkan bahwa anjing tersebut mengalami muntah beberapa kali, membran mukosa mulut dan mukosa mata tampak pucat, tapi nafsu makan masih bagus, feses dan urin juga masih normal, suhu tubuh 38,8 °C, kondisi umum aktif, palpasi daerah abdomen dan trakea tidak terasa sakit, limfoglandula normal, auskultasi pada jantung dan paru-paru normal. Hasil pemeriksaan darah lengkap menunjukkan peningkatan kadar neutrofil, MCH dan MCHC. Hasil pemeriksaan kimia darah menunjukkan peningkatan kadar AST, ALT, ALP, GGT, bilirubin total, kolesterol dan trigliserida. Hasil pemeriksaan USG menunjukkan adanya massa hyperechoic dan acousticshadowing pada kantung empedu. Sehingga diagnosa penyakit dari kasus ini adalah cholelithiasis, dengan diagnosa banding yaitu cholestasis, cholangiohepatitis, cholecystitis, hepatitis dan mucocele gall bladder. Terapi yang diberikan pada kasus ini antara lain ondansetron, ampicillin, ursodeoxycholic acid, s-adenoxylmethionine, betaine, arginine, ornithine,

citrulline, sorbitol, metacresol, dan infus yang mengandung Na, K, Cl, Ca, dan asetat. Pencegahan pada kasus ini meliputi pemberian pakan diet hepatik, sanitasi kandang, pembatasan aktivitas anjing ke area luar rumah, dan pemeriksaan rutin ke dokter hewan.

Kata kunci : anjing Maltese, cholelithiasis, kantung empedu

PENDAHULUAN

Sistem hepatobiliar merupakan suatu sistem organ yang terdiri dari dua organ utama yaitu hepar dan kantung empedu. Hepar merupakan organ terbesar kedua di dalam tubuh dan memiliki fungsi biokimia esensial. Organ hepar dan kantung empedu berperan penting dalam proses pencernaan makanan, metabolisme nutrisi, detoksikasi, dan sintesis substansi penting bagi tubuh. Menurut Silva et al. (2010), kelainan pada organ hepar dan kantung empedu cukup sering ditemukan pada anjing. Kelainan-kelainan tersebut dapat disebabkan oleh faktor eksternal maupun internal. Salah satu kelainan yang sering muncul adalah

cholelithiasis.

Cholelithiasis atau batu empedu adalah suatu kondisi ditemukannya endapan atau

(2)

2 sampai cairan empedu ini dilepaskan ke dalam usus. Kebanyakan batu atau endapan pada duktus koledukus berasal dari batu kantung empedu, tetapi ada juga yang terbentuk primer di dalam saluran empedu (Aguirre et al., 2007). Menurut Walach (2007), akibat yang ditimbulkan apabila terdapat batu pada kantung empedu yaitu perubahan warna kekuningan pada membran mukosa dan jaringan lain dari tubuh (ikterus), warna pucat atau keabu-abuan pada feses karena kurangnya pigmen empedu dan terjadi penyumbatan ekstra hepatik atau saluran empedu yang akan menyebabkan gangguan pencernaan lemak karena kurangnya aliran empedu.

Seiring dengan kemajuan teknologi, metode dalam mendiagnosa kelainan pada organ hepar dan kantung empedu menjadi lebih canggih, sehingga pelaksanaan diagnosa menjadi lebih mudah dan akurat. Salah satu teknik diagnosa yang sering digunakan untuk mendeteksi kelainan pada organ hepar dan kantung empedu adalah ultrasonografi. Namun juga ada beberapa teknik diagnosa lain seperti pada pemeriksaan darah dan kimia darah yang fungsinya juga mendukung terhadap keberhasilan diagnosa kasus penyakit pada sistem hepatobiliar seperti salah satunya adalah penyakit cholelithiasis

(Gaschen, 2009).

Signalemen

Nama pasien : Arlene Jenis : Anjing Ras : Maltese Warna : Putih Umur : 1,5 tahun Jenis kelamin : Betina

Anamnesa dan temuan klinis

Anjing pasien dibawa ke Animal Clinic Jakarta pada tanggal 15 Oktober 2016 dengan keluhan muntah beberapa kali kemarin malam, membran mukosa mulut dan mukosa mata tampak pucat, tapi nafsu makan masih bagus, feses dan urin juga normal. Anjing pasien memiliki berat badan 3 kg, suhu 38,8 °C, kondisi umum aktif, palpasi daerah abdomen dan trakea tidak terasa sakit, limfoglandula normal, auskultasi jantung dan paru-paru normal. Frekuensi napas 30x/menit,

Pulsus 120x/menit dan CRT > 2 detik serta pada elastisitas kulit mengalami penurunan.

Pemeriksaan penunjang

Berdasarkan hasil anamnesa dan pemeriksaan fisik di atas, maka pemeriksaan penunjang yang dilakukan untuk mengetahui diagnosa dari kasus ini antara lain; uji darah lengkap atau CBC (Complete Blood Count), uji kimia darah, dan ultrasonografi (USG).

Hasil pemeriksaan CBC menunjukkan peningkatan jumlah neutrofil dari kisaran normal 3,0-12,0 per 103/µl menjadi 12,58 per 103/µl. Selain itu juga terjadi peningkatan MCH (mean corpuscular hemoglobin) dari kisaran normal 19,5-24,5 Pg menjadi 24,6 Pg dan peningkatan MCHC (mean corpuscular hemoglobin concentration) dari kisaran normal 31-34 g/dl menjadi 35 g/dl.

Hasil pemeriksaan kimia darah menunjukkan terjadinya peningkatan kadar AST (Aspartate transaminase) dari kisaran normal 8,9-48,5 IU/L menjadi 101,8 IU/L, peningkatan kadar ALT (Alanin transaminase) dari kisaran normal 8,2-57,3 IU/L menjadi 311,99 IU/L, peningkatan kadar ALP (Alkaline phospatase) dari kisaran normal 10,6-100,7 IU/L menjadi 302,4 IU/L, peningkatan kadar bilirubin total dari kisaran normal 0,0-0,6 mg/dl menjadi 3,17 mg/dl dan peningkatan kadar GGT (Gamma glutamyl transferase) dari kisaran normal 1-7 IU/L menjadi 100,51 IU/L secara signifikan. Selain itu juga terjadi peningkatan kadar total protein dari kisaran normal 5,7-7,7 g/dl menjadi 10,36 g/dl. Peningkatan kadar kolesterol dari kisaran normal 110-266 mg/dl menjadi 321 mg/dl dan peningkatan kadar trigliserida dari kisaran normal 20-112 mg/dl menjadi 191 mg/dl.

Gambar 1. Hasil USG Hepatobiliar (Dokumentasi pribadi, 2016).

(3)

3 Diagnosa

Berdasarkan hasil anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang sudah dilakukan, maka diagnosa penyakit pada anjing pasien ini mengarah pada penyakit cholelithiasis.

Diagnosa banding

Diagnosa banding pada kasus

cholelithiasis antara lain hepatitis, cholestasis,

cholangohepatitis, cholecystitis dan mucocele gall bladder.

Prognosa

Prognosa dari penyakit cholelithiasis

pada anjing pasien yang diperiksa adalah dubius-fausta, hal ini didukung dari manajemen perawatan dan pengobatan yang dilakukan secara rutin pada pasien.

Terapi

Terapi yang diberikan pada anjing pasien dalam kasus cholelithiasis antara lain ondansetron, ampicillin, ornipural®, urdafalk®, novifit s® dan infus asering®.

Pencegahan

Pencegahan pada kasus cholelithiasis

meliputi pemberian pakan diet hepatik, sanitasi kandang untuk mencegah infeksi sekunder, pembatasan aktivitas anjing ke area luar rumah, dan pemeriksaan rutin ke dokter hewan.

PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil anamnesa dan temuan klinis pada anjing pasien menunjukkan gejala berupa muntah beberapa kali, membran mukosa mulut dan mukosa mata tampak pucat, tapi nafsu makan masih bagus, feses dan urin juga masih normal serta kondisi umum juga bagus. Menurut Widodo dkk. (2011), muntah adalah ejeksi atau ekspulsi retrograde atau membalik secara aktif seluruh isi lambung atau usus halus yang bersifat padat maupun yang cair melewati esofagus keluar dari mulut. Sebab kuatnya kontraksi abdominal akan mengakibatkan isi usus halus turut diejeksikan. Muntah dapat disebabkan oleh adanya refleks atau terjadi karena pusat muntah (medulla oblongata) terangsang. Pada kasus ini, muntah tersebut terjadi akibat

refleks terhadap adanya gangguan metabolisme pada sistem hepatobiliar seperti salah satunya cholelithiasis yang dapat berdampak pada sistem gastrointestinal. Muntah tersebut diakibatkan oleh ketidakseimbangan organ pencernaan dalam mendapatkan suplai cairan empedu karena adanya endapan atau batu yang membentuk sumbatan pada kantung atau saluran empedu yang menuju duodenum, sehingga pH duodenum akan menjadi lebih asam. Akibat ketidakseimbangan pH tersebut akan memicu respon dari reseptor mual dan muntah yang terdapat pada organ tersebut.

Cairan empedu juga mengandung enzim lipase yang berfungsi dalam membantu proses pemecahan lemak makanan menjadi kolesterol yang kemudian diekskresikan melalui feses. Terjadinya ketidakseimbangan pH dalam saluran gastrointestinal tersebut akan menyebabkan refleks pada saluran gastrointestinal sehingga terjadi muntah. Pemeriksaan fisik pada anjing pasien menunjukkan bahwa CRT > 2 detik, turgor kulit kurang elastis (> 2 detik), membran mukosa mulut dan mukosa mata tampak pucat. Capillary refill time (CRT) adalah pemeriksaan untuk monitoring adanya dehidrasi. Pengeluaran cairan yang terjadi dalam waktu yang lama maka pada muaranya akan dijumpai perubahan-perubahan pada daerah tersebut. Apabila CRT > 2 detik maka hal ini dapat mengindikasikan terjadinya dehidrasi pada pasien. Turgor kulit atau elastisitas kulit dipengaruhi oleh kandungan air di dalam kulit. Turgor kulit dapat berkurang apabila hewan mengalami kehilangan banyak cairan sangat cepat, misalnya pada kondisi muntah beberapa kali yang dialami oleh anjing pasien. Lalu pada pemeriksaan membran mukosa mulut dan mukosa mata yang tampak pucat mengindikasikan bahwa hewan mengalami dehidrasi (Widodo dkk, 2011).

(4)

4 normal 3,0-12,0 per 103/µl menjadi 12,58 per 103/µl. Peningkatan jumlah neutrofil dapat mengindikasikan adanya infeksi bakteri dalam saluran empedu atau kantung empedu atau keduanya yang dapat memegang peranan sebagian kecil pada pembentukan endapan empedu dengan cara meningkatkan deskuamasi selular dan pembentukan mukus. Mukus tersebut akan meningkatkan viskositas dan unsur selular sebagai pusat presipitasi yang pada akhirnya membentuk endapan. Pembentukan endapan yang terjadi secara terus-menerus dapat menggumpal dan menjadi batu. Adanya infeksi bakteri, fragmen parasit, epitel sel yang lepas atau partikel debris yang lain juga dapat menjadi benih pengkristalan (Walach, 2007).

Data pemeriksaan darah lengkap juga menunjukkan peningkatan MCH dari kisaran normal 19,5-24,5 Pg menjadi 24,6 Pg. Peningkatan mean corpuscular hemoglobin

(MCH) menandakan jumlah rata-rata hemoglobin dalam eritrosit semakin besar. Sedangkan peningkatan mean corpuscular

hemoglobin concentration (MCHC) dari

kisaran normal 31-34 g/dl menjadi 35 g/dl menandakan kondisi dimana hemoglobin abnormal terkonsentrasi di dalam eritrosit. Penyebab tingginya jumlah dan konsentrasi dari hemoglobin salah satunya adalah adanya gangguan pada hepar, karena metabolisme hemoglobin juga terjadi di dalam hepar (Winkel et al., 1999).

Berdasarkan data hasil pemeriksaan kimia darah anjing pasien menunjukkan terjadinya peningkatan kadar AST (Aspartate transaminase) dari kisaran normal 8,9-48,5 IU/L menjadi 101,8 IU/L, peningkatan kadar ALT (Alanin transaminase) dari kisaran normal 8,2-57,3 IU/L menjadi 311,99 IU/L, peningkatan kadar ALP (Alkaline phospatase) dari kisaran normal 10,6-100,7 IU/L menjadi 302,4 IU/L, peningkatan kadar bilirubin total dari kisaran normal 0,0-0,6 mg/dl menjadi 3,17 mg/dl dan peningkatan kadar GGT (Gamma glutamyl transferase) dari kisaran normal 1-7 IU/L menjadi 100,51 IU/L secara signifikan. Peningkatan rasio serum AST dan ALT dapat mengindikasikan pertanda serius gejala gangguan pada sistem hepatoselular. Pada kerusakan hepar akut, jumlah AST dan ALT meningkat dalam darah. Pengukuran

kadar AST dan ALT biasanya untuk mendiagnosa adanya penyakit hepatoselular. Enzim AST merupakan enzim yang dijumpai pada hepar, jantung, otot rangka, dan ginjal. AST dapat digunakan sebagai parameter untuk memeriksa keabnormalan fungsi hepar akan tetapi tidak spesifik, karena enzim ini juga diproduksi oleh organ lain selain hepar (Willard, 2012). Sedangkan terjadinya peningkatan ALP dan GGT terjadi apabila ada hambatan pada saluran cairan empedu. Pengukuran kadar ALP digunakan untuk mendiagnosa cholestasis dan infiltrasi hepatik. Menurut Tilley and Smith (1997), enzim ALP merupakan enzim yang banyak ditemukan di hepar dan tulang, serta sedikit diproduksi oleh sel-sel pada saluran pencernaan, plasenta, dan ginjal.

Peningkatan ALP dapat terjadi bila cairan empedu dihambat akibat adanya inflamasi atau sumbatan seperti batu empedu. Data pemeriksaan kimia darah juga menunjukkan peningkatan GGT yang juga dapat mengindikasikan adanya penyakit hepar dan saluran empedu. Kebanyakan penyakit hepatoseluar dan hepatobiliar meningkatkan kadar GGT dalam serum. Kadar GGT dalam serum akan meningkat lebih awal dan tetap akan meningkat selama kerusakan sel tetap berlangsung. Enzim GGT sebagian besar dihasilkan di hepar dan saluran empedu. Oleh karena itu peningkatan kadar enzim hepar seperti ALT, AST, ALP dan GGT dapat mengindikasikan terjadinya suatu kelainan pada bagian hepar, kantung empedu, atau saluran empedu (Bush, 2001).

(5)

5 Data selanjutnya juga menunjukkan terjadinya peningkatan kadar total protein dari kisaran normal 5,7-7,7 g/dl menjadi 10,36 g/dl. Protein-protein dalam tubuh kebanyakan disintesis di dalam hepar. Total protein terdiri atas albumin dan globulin. Hasil pemeriksaan albumin pada pasien adalah normal. Sehingga peningkatan total protein disebabkan oleh peningkatan kadar globulin. Terjadinya peningkatan total protein globulin dapat disebabkan oleh adanya infeksi atau inflamasi kronis. Data selanjutnya juga menunjukkan terjadinya peningkatan kadar kolesterol dari kisaran normal 110-266 mg/dl menjadi 321 mg/dl dan peningkatan kadar trigliserida dari kisaran normal 20-112 mg/dl menjadi 191 mg/dl. Peningkatan kolesterol dan trigliserida dalam darah mengindikasikan terjadinya hiperlipidemia. Hal ini dapat disebabkan oleh adanya gangguan pada sistem hepatobiliar dalam membantu organ pencernaan untuk mencerna makanan terutama lipid karena cairan empedu sebagian juga mengandung enzim lipase yang berfungsi dalam metabolisme lipid. Menurut Nelson et al.

(1998), tingginya kadar kolesterol dapat terjadi pada kasus intrahepatik cholestasis

atau adanya sumbatan pada kantung empedu yang disebabkan oleh terganggunya ekskresi kolesterol bebas yang menuju kantung empedu yang kemudian mengalir kembali di dalam darah. Sumbatan tersebut dapat berupa endapan atau batu di dalam saluran atau kantung empedu. Pembentukan batu pada kasus cholelithiasis dimulai hanya bila terdapat suatu nidus atau inti pengendapan yang berasal dari kolesterol atau bilirubin. Pada tingkat supersaturasi kolesterol, kristal kolesterol keluar dari aliran membentuk suatu nidus dan membentuk suatu pengendapan.

Berdasarkan hasil pemeriksaan ultrasonografi (USG) pada duktus koledukus (Gambar 1.A) menunjukkan adanya massa berwarna putih (hyperechoic) pada saluran tersebut, hal ini menggambarkan adanya massa padat atau endapan pada duktus koledukus. Secara normal saluran atau duktus koledukus berwarna hitam atau anechoic

karena berisi cairan. Lalu pada hasil pemeriksaan USG hepatobiliar (Gambar 1.B) menunjukkan echogenesitas yang tidak homogen pada bagian hepar. Hal ini

mengindikasikan adanya kerusakan pada jaringan hepar. Pada kantung empedu juga menunjukkan adanya massa berwarna putih (hyperechoic) dan adanya acoustic shadowing

pada organ tersebut, hal ini menggambarkan adanya massa padat berupa endapan atau batu pada kantung empedu.

Nyland et al. (2002) menyatakan bahwa penyakit cholelithiasis ditandai dengan penumpukan massa yang mengeras hingga membentuk kalkuli atau batu di dalam kantung empedu. Batu empedu dapat dengan mudah terdeteksi menggunakan ultrasonografi. Pada sonogram akan terlihat suatu struktur hyperechoic dan di bagian posterior akan terbentuk acoustic shadowing. Namun pada kalkuli yang berada di dalam buluh atau saluran empedu sulit terdeteksi karena ukurannya yang kecil dan adanya gangguan dari gas yang berada di usus.

Berdasarkan hasil anamnesa, temuan klinis dan pemeriksaan penunjang yang sudah dilakukan, maka diagnosa dari kasus ini adalah cholelithiasis. Cholelithiasis atau batu empedu adalah penyakit yang ditandai dengan adanya endapan atau batu yang dapat ditemukan di dalam kantung empedu atau di dalam saluran empedu, atau pada keduanya. Endapan atau batu empedu merupakan gabungan beberapa unsur dari cairan empedu yang mengendap dan membentuk suatu material mirip batu di dalam kantung empedu atau saluran empedu atau keduanya. Cairan empedu sebagian terdiri dari air, garam empedu, bilirubin, kolesterol dan fosfolipid. Menurut Sherlock and Dooley (2002), pembentukan batu empedu berasal dari kelarutan kolesterol dalam kantung empedu. Supersaturasi empedu dengan kolesterol terjadi bila perbandingan garam empedu dan fosfolipid dengan kolesterol lebih rendah. Secara normal kolesterol tidak larut dalam media yang mengandung air. Empedu dipertahankan dalam bentuk cair oleh pembentukan koloid yang mempunyai inti sentral kolesterol, dikelilingi oleh mantel hidrofilik dari garam empedu dan lesitin. Jadi sekresi atau kadar kolesterol yang berlebihan merupakan keadaan yang litogenik. Pembentukan batu pada kasus cholelithiasis

(6)

6 Pada tingkat supersaturasi kolesterol, kristal kolesterol keluar dari aliran membentuk suatu nidus dan membentuk suatu pengendapan. Adanya infeksi bakteri, fragmen parasit, epitel sel yang lepas atau partikel debris yang lain juga dapat menjadi benih pengkristalan (Walach, 2007).

Diagnosa banding dari cholelithiasis

yaitu cholestasis, cholangiohepatitis, cholecystitis, hepatitis dan mucocele gall bladder. Secara fisik penyakit-penyakit ini sulit dibedakan dengan cholelithiasis karena memiliki gejala klinis yang hampir sama yaitu

jaundice. Cholelithiasis merupakan suatu kondisi adanya batu empedu yang ditemukan di dalam kantung empedu atau saluran empedu. Namun untuk membedakan antara

cholelithiasis dan cholangiohepatitis dapat dilihat dari hasil pemeriksaan USG. Pada kasus cholelithiasis, ditemukan adanya batu empedu yang terlihat hyperechoic dengan adanya acoustic shadowing, sedangkan pada

cholangiohepatitis tidak ditemukan batu. Pada kasus mucocele gall bladder akan ditemukan massa hypoechoic pada pemeriksaan USG.

Cholecystitis merupakan suatu kondisi

peradangan pada kantung empedu yang ditandai dengan adanya penebalan pada dinding kantung empedu saat dilakukan USG. Hepatitis merupakan suatu kondisi peradangan pada hepar yang terlihat dengan tepi hepar tumpul. Hal tersebut sama dengan kasus cholangiohepatitis, namun pada

cholangiohepatitis yang mengalami

peradangan yaitu hepar dan kantung empedu. Sedangkan cholestasis merupakan adanya sumbatan pada saluran empedu dimana hambatan tersebut tidak dapat diketahui penyebabnya secara pasti (Sherlock and Dooley, 2002).

Prognosa dari penyakit pada kasus ini adalah dubius-fausta. Hal tersebut dapat dilihat dari kondisi dan aktifitas pasien saat rawat jalan yang cenderung menunjukkan perbaikan atau recovery yang bagus setelah dilakukan terapi. Hal tersebut dibuktikan dengan berkurangnya gejala klinis dan nilai parameter uji pada hepar sudah tidak terlalu tinggi dan berangsur-angsur mengalami penurunan dibandingkan dengan hasil pemeriksaan sebelum diterapi, meskipun terdapat beberapa parameter masih di atas

normal. Monitoring terhadap kondisi pasien saat rawat jalan setiap harinya juga sudah semakin bagus serta pemberian terapi sudah mampu mengatasi gejala yang ditimbulkan pada kasus cholelithiasis. Namun untuk menyatakan bahwa hewan mengalami kesembuhan atau tidak, hal tersebut tidak dapat dipastikan karena sejumlah pemeriksaan penunjang terutama pemeriksaan USG tidak dilakukan setelah anjing pasien diterapi.

Terapi yang diberikan melalui pengobatan secara rutin yaitu ondansetron, ampicillin, ornipural®, urdafalk®, novifit s® dan infus asering®. Ondansetron adalah obat yang digunakan untuk mencegah serta mengobati mual dan muntah. Mual dan muntah disebabkan oleh senyawa alami tubuh yang bernama serotonin. Seretonin akan bereaksi terhadap reseptor 5HT3 yang berada

di usus halus dan otak, dan menyebabkan mual. Ondansetron akan menghambat serotonin bereaksi pada reseptor 5HT3

sehingga mencegah terjadinya mual dan muntah. Dosis ondansetron yaitu 0,1-0,2 mg/kg BB diberikan dua kali sehari. Ondansetron efektif bila diberikan secara oral atau intravena dan mempunyai bioavaibility

sekitar 60% dengan konsentrasi terapi dalam darah muncul tiga puluh sampai enam puluh menit setelah pemakaian. Metabolismenya di dalam hepar secara hidroksilasi dan konjugasi dengan glukoronida atau sulfat dan dieliminasi dengan cepat dari dalam tubuh (Rubin, 2007).

Pemberian ampicillin 20 mg/kg berfungsi untuk mengatasi adanya infeksi bakteri yang sedang berlangsung. Ampicillin adalah antibiotik golongan beta laktam berspektrum luas. Ampicillin adalah

bakteriocidal yang bekerja dengan cara menghambat secara irreversible aktivitas enzim transpeptidase yang dibutuhkan untuk sintesis dinding sel bakteri (Plumb, 2008).

Hepatoprotektif yang diberikan pada anjing pasien yaitu ornipural®, nofivit s®, dan urdafalk®. Ornipural mengandung betaine,

(7)

7 Nofivit s® mengandung s-adenoxylmethionine

yang merupakan agen hepatoprotektif dan juga mengandung antioksidan yang berguna untuk menjaga kesehatan hepar. Senyawa

s-adenoxylmethionine akan meningkatkan

konsentrasi glutathione sulfat, dan cysteine

yang merupakan produk esensial untuk detoksifikasi pada hepar serta memperbaiki aliran duktus biliaris pada anjing pasien. Obat ini dapat diberikan secara peroral dengan dosis 1 tablet (100 mg) per ekor. Suplemen lain yang juga diberikan yaitu urdafalk® yang mengandung senyawa ursodeoxycholic acid, berguna untuk meningkatkan sekresi empedu, terapi gangguan hepar, cholestasis, dan

cholelithiasis. Obat ini diberikan secara peroral dengan dosis yang diberikan pada anjing yaitu 10-15 mg/kg BB. Menurut Papich (2010), asam ursodeoxycholic akan membantu meregulasi kolesterol dengan memecah misel yang mengandung kolesterol. Asam ursodeoxycholic juga dapat mereduksi tingkat enzim hepar yang tinggi dengan cara memfasilitasi aliran empedu melalui hepar dan melindungi sel-sel hepar. Mekanisme utama obat ini terkonsentrasi di empedu dan menurunkan kolesterol bilier dengan cara menekan sintesis hepar dan sekresi kolesterol serta dengan menghambat penyerapannya di usus halus. Penurunan saturasi kolesterol memungkinkan pelarutan kolesterol secara bertahap dari batu-batu empedu, sehingga pada akhirnya akan terjadi pemecahan partikel dari batu-batu tersebut.

Terapi cairan atau infus juga diberikan pada kasus cholelithiasis pada anjing pasien, terutama untuk mengatasi dehidrasi akibat muntah. Infus yang diberikan berupa asering® 150 ml sesuai dengan berat badan anjing. Pemberian asering berguna untuk mengganti cairan tubuh yang hilang akibat dehidrasi (shock hipovolemik dan asidosis). Asering mengandung ion Na, K, Cl, Ca dan asetat. Kandungan asetat dalam cairan infus ini sangat baik untuk meningkatkan fungsi hepar atau baik digunakan pada pasien yang mengalami gangguan hepatobiliar. Infus yang mengandung asetat baik diberikan pada penderita gangguan hepar karena metabolisme asetat terjadi di otot sehingga tidak membebani kerja hepar. Sedangkan natrium merupakan kation utama dari plasma

darah dan menentukan tekanan osmotik. Klorida merupakan anion utama di plasma darah. Kalium merupakan kation terpenting di intraseluler dan berfungsi untuk konduksi saraf dan otot. Elektrolit-elektrolit ini dibutuhkan untuk menggantikan kehilangan cairan pada saat dehidrasi. Intinya adalah pemberian larutan ini bertujuan menjaga agar volume cairan tubuh tetap relatif konstan dan komposisi elektrolit di dalamnya tetap stabil (Graber, 2003).

Pencegahan yang dapat dilakukan pada kasus cholelithiasis meliputi pemberian pakan

diet hepatik, sanitasi kandang untuk mencegah infeksi sekunder yang berasal dari lingkungan, pembatasan aktivitas anjing ke area luar rumah, dan pemeriksaan rutin ke dokter hewan. Diet hepatik merupakan jenis pakan anjing yang mengandung l-carnitine

untuk membantu meningkatkan kerja hepar, membantu menjaga metabolisme lemak yang normal di dalam hepar, memberikan nutrisi akibat adanya gangguan pada jaringan hepar, serta meningkatkan sistem imun. Menurut Silva et al. (2010), l-carnitine berfungsi dalam membantu membawa asam lemak pada hepar ke dalam mitokondria dalam sel hepatosit sehingga asam lemak tersebut dapat dikonversi menjadi energi. Selain itu kandungan di dalam pakan ini adalah protein berdaya cerna tinggi (isolat protein kedelai) dapat ditoleransi dengan lebih baik pada anjing yang mengalami masalah hepatic disorders. Kadar Cu yang rendah di dalam pakan ini dengan peningkatan kadar Zinc akan meminimalkan penumpukan Cu di dalam sel-sel hati dan lesio intraselular yang diakibatkan oleh cholestasis. Kompleks antioksidan yang sinergis dapat memperlambat kerusakan sel-sel hati. Energi tinggi dari lemak mencegah katabolisme protein berlebih yang dapat mengurangi resiko onset atau perkembangan hepatic disorders.

PENUTUP Kesimpulan

Berdasarkan uraian di atas, kesimpulan yang dapat diambil dari tugas akhir ini yaitu sebagai berikut:

(8)

8 meliputi signalement, anamnesa, pemeriksaan fisik, pemeriksaan hematologi, kimia darah, dan USG. Diagnosa banding pada kasus ini antara lain adalah cholestasis, cholangiohepatitis,

cholecystitis, hepatitis dan mucocele gall bladder.

2. Terapi cholelithiasis pada anjing pasien di Animal Clinic Jakarta antara lain ondansetron, ampicillin, ursodeoxycholic acid, s-adenoxylmethionine, betaine,

arginine, ornithine, citrulline, sorbitol, metacresol, dan infus yang mengandung Na, K, Cl, Ca, dan asetat.

3. Pencegahan cholelithiasis pada anjing pasien di Animal Clinic Jakarta meliputi pemberian pakan diet hepatik, sanitasi kandang, pembatasan aktivitas anjing ke area luar rumah, dan pemeriksaan rutin ke dokter hewan.

Saran

Seharusnya pemeriksaan penunjang perlu tetap dilakukan sampai semua parameter yang diperiksa kembali normal terutama pemeriksaan USG hepatobiliar sebagai gold standart diagnosa dari kasus ini.

DAFTAR PUSTAKA

Aguirre, A.L., S.A. Center, J.F. Randolph, A.E. Yeager, A.M. Keegan, H.J. Harvey, and H.N. Erb. 2007. Gallbladder Disease in Shetland Sheepdogs: 38 cases

(1995-2005). J. Am. Vet. Med. Assoc.

231(1):79-88.

Bush, B.M. 2001. Interpretation of Laboatory for Small Animal Clinicians. Blackwell Scientific Publication.

Gaschen, L. 2009. Update on Hepatobiliary Imaging. Vet. Clin. North Am. Small Anim. Pract. 39(3):439-467.

Graber, M.A. 2003. Terapi Cairan, Elektrolit, dan Metabolik. Edisi 2. Jakarta: Farmedia.

Nelson, R.W., G.C. Couto, S.E. Bunch, M.R. Lappin, G.F. Grauer, S.M. Taylor, E.C. Hawkins, W.A. Ware, C.A. Johnson, and M.D. Willard. 1998. Small Animal Internal Medicine 2nd. Mosby. pp: 490-524.

Nyland, T.G., J.S. Matoon, E.J. Herrgesell, and E.R. Wisner. 2002. Liver and Spleen. Di dalam: Nyland TG dan Matoon JS (editor): Small Animal Diagnostic Ultrasound, 2nd Ed. Philadelphia: W.B. Saunders. Hal 30-48.

Papich, M G. 2010. Saunders Handbook of Veterinary Drugs 3rd ed. Small and Large Animal. Elseveier Saunders.

Plumb, D.C. 2008. Veterinary Drug Handbook 6th Edition. South State Avenue: Blackwell Publishing.

Sherlock, S and J. Dooley. 2002. Disease of the Liver and Biliary System 7th. Oxford: Blackwell Science Ltd. pp: 10-45.

Silva, S., C.A. Wyse, M.R. Goodfellow, P.S. Yam, T. Preston, K. Papasouliotis, and E.J. Hall. 2010. Assessment of Liver Function in Dogs Using the

13c-galactose Breath Test. Vet. J.

185(2):152-156.

Tilley, L.W and F.W.K. Smith. 1997. The 5 Minute Veterinary Consult : Canine and Feline. William and Wilkins.

Walach, J. 2007. Interpretation of Diagnostic Test 8th. Philadelpia: Lippincott William and Wiskins. pp: 47-220.

Widodo, S., D. Sajuthi, C. Choliq, A. Wijaya, R. Wulansari, dan A. Lelana. 2011.

Diagnostik Klinik Hewan Kecil. Edisi 1. IPB Press. Bogor.

Willard, M.D. and S. Tvedten. 2012. Small Animal Clinical Diagnosis by Laboratory Methods 5th Ed. USA. Elsevier Saunders. Winkel, P., K. Ramsoe, J. Lyngbye, and M.

Tygstrup. 1999. Diagnostic Value of

Routine Liver Test. J. Clinichal

Gambar

Gambar 1.  Hasil USG Hepatobiliar   (Dokumentasi pribadi, 2016).

Referensi

Dokumen terkait

Analgetik opioid digunakan untuk pasien dengan nyeri berat seperti batu saluran kemih, batu empedu atau patah tulang manakala analgetik non-opioid digunakan untuk

Keadaan ini ditandai dengan adanya penyakit paru kronik atau Chronic Lung Disease (CLD) berupa perawatan ulang di RS karena penyakit saluran pernapasan (penyakit

Batu Saluran Kemih adalah gangguan pada saluran kemih karena terbentuknya batu di dalam saluran kemih baik saluran kemih atas (ginjal dan ureter) atau saluran

Batu Saluran Kemih (BSK) atau dikenal dengan istilah urolithiasis adalah gangguan pada saluran kemih karena terbentuknya batu di dalam saluran kemih baik saluran kemih atas

karakteristik warna batu pada saluran empedu ( CBD ) ditemukan bahwa warna batu kuning coklat merupakan yang terbesar yaitu sebanyak 6.

Kolesistitis Akut adalah peradangan dari dinding kandung empedu, biasanya merupakan akibat dari adanya batu empedu di dalam duktus sistikus, yang secara tiba-tiba menyebabkan

Kolangitis akut adalah infeksi bakterial yang akut dari saluran empedu yang tersumbat baik secara parsial atau total; sumbatan dapat disebabkan oleh penyebab dari dalam

Hasil pengamatan histopatologi glomerulus ditemukan edema, yang ditandai dengan adanya endapan protein di mesangium hingga ke ruang Bowman, sedangkan pada tubulus berupa