• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP HUKUM DAN PELAKSANAAN LAFAZ CERAI DI LUAR MAHKAMAH SYARI’AH : STUDI KASUS DI SIBU SARAWAK MALAYSIA.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP HUKUM DAN PELAKSANAAN LAFAZ CERAI DI LUAR MAHKAMAH SYARI’AH : STUDI KASUS DI SIBU SARAWAK MALAYSIA."

Copied!
76
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)
(4)
(5)

ABSTRAK

Skripsi ini merupakan hasil penelitian yang berjudul ‚Tinjauan Hukum

Islam Terhadap Hukum Dan Pelaksanaan Lafaz Cerai Di Luar Mahkamah

Syari’ah: (Studi Kasus di Sibu Sarawak Malaysia)‛. Penelitian ini bertujuan untuk menjawab permasalahan yang dirumuskan yaitu: Bagaimana hukum dan pelaksanaan lafaz cerai di luar mahkamah menurut Ordinan 43 Keluarga Islam Negeri Sarawak Tahun 2001?. Seterusnya bagaimana tinjauan yuridis terhadap kasus lafaz cerai Mazwandy Yahya terhadap isterinya yang dilafazkan di luar mahkamah?.

Penelitian ini merupakan penelitian pustaka (Library Research). Data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif, yaitu menggambarkan ketentuan-ketentuan serta hukum dan pelaksanaan lafaz cerai di luar mahkamah menurut Undang-Undang Mahkamah Syariah Sarawak, Malaysia, dengan pola pikir induktif. Selain metode deskriptif, penulis juga mengunakan metode wawancara, adalah suatu bentuk komunikasi, yakni dengan cara bertanya kepada subjek atau informan untuk mendapatkan informasi yang diinginkan.

Dalam penelitian ini diperoleh hasil bahwa perceraian di luar pengadilan tidak dibolehkan oleh Ordinan 43 Keluarga Islam Negeri Sarawak Tahun 2001, Jika didapati melakukan lafaz cerai di luar mahkamah dengan sengaja dan terbukti barsalah makah pihak mahkamah mempunyai wewenang untuk menggenakan sanksi kepada pihak terbabit.

(6)

ix

DAFTAR ISI

Halaman

SAMPUL DALAM ... i

PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN... iv

ABSTRAK ... v

MOTTO ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TRANSLITERASI ... xi

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi dan Batasan Masalah ... 6

C. Rumusan Masalah ... 7

D. Kajian Pustaka ... 7

E. Tujuan Penelitian ... 9

F. Kegunaan Hasil Penelitian ... 10

G. Definisi Operasional ... 11

H. Metode Penelitian ... 12

I. Sistematika Pembahasan ... 15

BAB II : Tinjauan Umum Tentang Talaq ... 17

A. Pengertian Talaq dan Dasar Hukum Talaq ... 17

1. Pengertian Talaq ... 17

2. Dasar Hukum Talaq ... 20

B. Syarat dan Rukun Talaq ... 23

C. Macam-Macam Talaq ... 24

(7)

BAB III : Perceraian Di Luar Mahkamah Menurut Ordinan 43 Keluarga Islam Tahun 2001, Negeri Sarawak: (Studi Kasus di Sibu Sarawak

Malaysia)

35

A. Ordinan 43 Keluarga Islam Tahun 2001 ... 35

1. Latar Belakang Ordinan 43 Keluarga Islam Negeri Sarawak Tahun 2001 ... 35

2. Landasan dan Dasar Hukum Ordinan 43 Keluarga Islam Negeri Sarawak Tahun 2001 ... 40

3. Sumber Rujukan Ordinan 43 Keluarga Islam Negeri Sarawak Tahun 2001 ... 44

B. Hukum Dan Pelaksanaan Menurut Undang-Undang Syariah……… 45

1. Prosedur Lafaz Cerai di Luar Mahkamah ... 45

2. Proses Lafaz Cerai di Luar Mahkamah... 46

3. Tindakan Susulan Selepas Berlaku Perceraian... 51

C. Studi Kasus Lafaz Cerai di Luar Mahkamah ... 51

BAB IV : ANALISA LAFAZ CERAI DI LUAR MAHKAMAH MENURUT TEORI TALAQ DALAM FIQH MUNAKAHAT ... 54

A. Perspektif Fiqh ... 54

B. Status Hukum ... 60

C. Analisa Penulis... 63

BAB V : PENUTUP ... 65

A. Kesimpulan ... 65

B. Saran ... 66

(8)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkawinan adalah suatu akad yang menghalalkan pergaulan antara seorang laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim serta menimbulkan hak dan kewajiban antara keduanya.1

Perkawinan merupakan ibadah sunnah yang sangat penting dalam kehidupan manusia karena dengan melakukan pernikahan yang sah, hubungan laki-laki dan perempuan menjadi terhomat, sesuai dengan kedudukan manusia sebagai makhluk yang mulia dimuka bumi ini. Sementara nikah dari segi istilah

syara’ ialah suatu akad yang memboleh kan pasangan suami isteri mengambil

kesenangan diantara satu sama lain berdasarkan cara-cara yang dibenarkan

syara’.2

Dalam Al-Qur’an perkawinan disebutkan antara lain dalamsurat An-Nisa’

ayat 1 yang berbunyi:

ٓي

ا يأ

ساَل

ْا قَت

م َب

ي َل

م ق خ

ِم

ۡفَ

ّ

ٖ

ةدح

ٖ

ق خ

ۡ م

ا

ۡ

ا ج

َّب

ۡ م

ا

اج

ٖ

ا

يثك

ٖ

ا

ٓاّ

ء

ٖ

ۚ

ْا قَت

هَل

ي َل

ٓاّت

لء

هب

ۦ

ۡل

ۡ أ

ۚ اح

َ إ

هَل

اك

ۡي ع

ۡم

بيق

ٖ

ا

٢

Artinya: ‚Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah

1 Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, 5.

(9)

menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya

Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu‛.3

Pernikahan harus didasari dengan cinta, kasih sayang dan saling menghargai serta menghormati. Hal ini dilakukan agar bahtera rumah tangga dapat terpelihara dengan baik sehingga bisa abadi dan dapat mewujudkan pernikahan yakni menjadi keluarga yang nyaman, damai, tenteram dan sejahtera. Namun begitu, seandainya rumah tangga yang dibina dan ikatan perkawinan yang dijalankan sudah tidak ada persefahaman lagi dan rumah tangga bahagia yang diharapkan sudah berubah, mereka bisa memutuskan ikatan perkawinan dengan cara yang

dibenarkan oleh syara’.4

Perceraian merupakan salah satu untuk mengakhiri sebuah pernikahan. Walaupun pada dasarnya pernikahan memiliki tujuan yang bersifat selama-lamanya, tetapi adakalanya disebabkan oleh keadaan yang mengakibatkan pernikahan tidak dapat dipertahankan lagi sehingga harus diputuskan di tengah jalan atau terpaksa diputus melalui perceraian.

Pengertian Perceraian menurut bahsa Indonesia berarti ‚pisah‛ dari kata

3 Departemen Agama Republik Indonesia, al-Qur’an dan Terjemahannya, 114.

(10)

3

dasar ‚cerai‛ yang memiliki arti pisah, kemudian mendapat awalan ‚per‛ dan akhiran‛an‛, yang berfungsi sebagai pembentuk kata benda abstrak, sehingga

menjadi ‚Perceraian‛, yang berarti proses putusnya hubungan suami istri5.

Sedangkan menurut bahasa, at-t}ala@q (Perceraian) berasal dari kata at-it}la@q yang berarti melepaskan atau meninggalkan.6

Perceraian dalam istilah fiqh disebut talak. Talak menurut arti umum ialah segala macam bentuk perceraian baik dijatuhkan oleh suami, yang ditetapkan oleh hakim, maupun perceraian jatuh dengan sendirinya atau perceraian karena meninggal saalah seorang dari suami atau isteri.7 Sedangkan menurut KHI pasal 117 perceraian adalah ikrar suami di hadapan sidang pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan.8

Perceraian ini terdapat pelbagai prosedur yang telah ditetapkan oleh Jabatan Kehakiman Syariah Sarawak, Malaysia. Salah satu daripada jenis perceraian adalah perceraian di luar mahkamah. Perceraian ini bermaksud perbuatan menceraikan isteri tanpa ijin mahkamah. Perceraian seperti ini sering berlaku disebabkan kejahilan dan kebanyakan tidak mengetahui akibat serta kesan terhadap undang-undang.

5 Anton.A.Moeliono, et.al, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1996, 163. 6 Slamet Abidin, Fiqih Munakahat II, Bandung: Pustaka Setia, 1999, 9.

7 Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, (Yogyakarta: Liberty, 2007), 103.

(11)

Perceraian di luar mahkamah bisa berlaku dalam perbagai keadaan sama ada secara sori@h ( jelas ) atau kina@yah (sindiran ). Al-Jazairi berpendapat bahwa hanya kedua-dua lafaz ini saja bisa menjatuhkan talak.9

Oleh karena itu, talak tidak akan terjadi melalui perbuatan dan tindakan suami seperti menghantar isteri pulang ke rumah orang tuanya walaupun mempnyai niat. Selain daripada bentuk perceraian memalaui lafaz atau perkataan ini, terdapat juga kasus yang menglibatkan perceraian melalui tulisan.

Fuqaha’ terutama dari ke empat mazhab dalam perkara ini mempunyai pelbagai pandangan kedudukan talak melalui tulisan. Al- Syafi’yah dan al- Malikiyyah berpendapat talak melalui tulisan walaupun dalam bentuk soreh ( jelas ) tidak bisa menjatuhkan talak dan tidak bisa mendatangkan kesan kecuali disertai dengan niat.

Banyak faktor yang bisa menyebabkan terjadinya perceraian dalam sebuah perkawinan. Antaranya adalah ke tidak sefahaman dan kurangnya sifat tolak ansur antara suami isteri. Perceraian bisa berlaku disebabkan oleh pasangan masing-masing tidak bisa memuaskan tuntutan seksual. Selain itu, faktor ekonomi dan jurang pendapatan bisa menjadi punca perceraian, dan paling utama jika suami tidak bertanggungjawab dan kekerasan dalam rumah tangga atau isteri

9

(12)

al-5

selingkuh dan lain-lain lagi10

Perceraian merupakan sesuatu yang diperbolehkan tetapi agama islam memandang bahwa perceraian adalah sesuatu yang bertentangan dengan asas-asas Hukum Islam. Sebagaimana hadist Rasulullah SAW:

.

11

Artinya: Dari Ibnu Umar Radliyahllaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: Perbuatan halal yang paling dibenci Allah

ialah cerai.‛ Ibnu Majah.12

Namun perceraian hendaklah mengikuti prosedur yang telah ditetapkan, jika pasangan yang ingin melakukan perceraian tanpa ijin dari mahkamah, maka mahkamah akan mengambil tindakan yang sewajarnya. Di Sarawak ada kasus yang tidak sesuai dengan prosedur yang ditetapkan yaitu di karena suami melafazkan talak di luar mahkamah.

Manakala menurut Ordinan 43 Keluarga Islam Negeri Sarawak tahun 2001. Perceraian hendaklah berlaku dalam mahkamah dan dengan ijin mahkamah

10 Salleh Ismail, Pembubaran Perkahwinan Mengikut Fiqh dan Undang-Undang keluarga Islam (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, Cetakan Pertama 2003), 7.

11 Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah dalam Mausu’ ah Al Hadist Kitabu Sittah, (Riyadh: Darus Salam, 2008), 2597.

(13)

berdasarkan kepada Seksyen 45 Ordinan Keluarga Islam, 2001. Sekiranya berlaku lafaz cerai di luar mahkamah ianya merupakan satu kesalahan Seksyen 128, Ordinan Undang-undang Keluarga Islam, 2001.13

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, penulis tertarik untuk mengkaji serta meneliti masalah yang berjudul ‚Tinjauan Hukum Islam Terhadap Hukum dan Pelaksanaan Lafaz Cerai di Luar Mahkamah Syari’ah: (Studi Kasus di Sibu Sarawak Malaysia)‛.

B. Identifikasi Dan Batasan Masalah

Dari uraian yang ada pada latar belakang masalah tersebut di atas, maka dapat digambarkan masalah yang mungkin timbul yaitu:

1. Tentang Ordinan 43 Keluarga Islam Negeri Sarawak 2001.

2. Pengenalan tentang Mahkamah Syari’ah Sarawak.

3. Hukum dan pelaksanaan lafaz cerai di luar mahkamah menurut Ordinan 43 Keluarga Islam Negeri Sarawak 2001.

4. Kasus lafaz cerai Mazwandy Yahya terhadap istrinya di luar mahkamah.

Dari indentifikasi masalah tersebut di atas, maka permasalahan yang akan dibahas, penulis membatasi sebagai berikut:

(14)

7

1. Hukum dan pelaksanaan lafaz cerai di luar mahkamah menurut Ordinan 43 Undang-Undang Keluarga Islam, 2011 Sarawak, Malaysia.

2. Kasus lafaz cerai Mazwandy Yahya terhadap isterinya yang dilafazkan di luar mahkamah.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah dalam skripsi ini adalah:

1. Bagaimana hukum dan pelaksanaan lafaz cerai di luar mahkamah menurut Ordinan Undang-Undang Keluarga Islam, 2001 Sarawak, Malaysia?

2. Bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap kasus lafaz cerai Mazwandy Yahya terhadap isterinya yang dilafazkan di luar mahkamah?

D. Kajian Pustaka

Penelitian ini pada dasarnya adalah untuk menegaskan bahwa kajian penelitian ini bukan merupakan pengulangan atau duplikasi dari kajian/penelitian sebelumnya. Pembahasan yang mengenai, ‚Tinjauan Hukum Islam Terhadap Hukum dan Pelaksanaan Lafaz Cerai di Luar Mahkamah

(15)

Adapun penelitian yang sedikit berhubungan dalam karya tulis ini adalah:

1. Skripsi yang ditulis Siti Aminah yang berjudul ‚Talak di Luar Sidang dan

Hubungannya dengan UU No. 1 Tahun 1974 serta Proses Penyelesaian

Perceraian di Pengadilan Jepara‛ . Skripsi ini menjelaskan bahwa talak diluar sidang yang diajukan perkaranya dapat diterima dan diproses tetapi jika tidak diajukan maka Pengadilan menolak talak tersebut.

2. Skripsi yang ditulis Virginia Runny Al Zaiban yang berjudul ‚Analisis

Yuridis di Luar Pengadilan di Desa Sera Tengah Kecamatan Bluto

(16)

9

Tata cara Perceraian14.

Sedangkan skripsi ini berjudul ‚Tinjauan Hukum Islam Terhadap Hukum dan Pelaksanaan Lafaz Cerai di Luar Mahkamah Syari’ah: (Studi

Kasus di Sibu Sarawak Malaysia)‛, berbeda dengan skripsi diatas. Penulis memfokuskan penelitian pada hukum dan pelaksanaan Ordinan 43 Keluarga Islam Negeri Sarawak tahun 2001.

E. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian perlu untuk mengetahui satu persatu dari rumusan masalah di atas antaranya sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui hukum dan pelaksanaan lafaz cerai di luar mahkamah menurut Ordinan Undang-Undang Keluarga Islam, 2001 Sarawak, Malaysia.

2.Untuk mengetahui kasus lafaz cerai Marwandy Yahya terhadap isterinya yang dilafazkan di luar mahkamah.

14

Virginia Runny Al Zaiban yang berjudul Analisis Yuridis di Luar Pengadilan di Desa Sera Tengah Kecamatan Bluto Kabupaten Sumendep, Skripsi pada Jurusan Ahwal al-Syakhsiyah Fakutas Syari’ah

(17)

F. Kegunaan Hasil Penelitian

Dari hasil penelitian ini diharapkan memiliki nilai kegunaan sebagai berikut:

1. Aspek Teoritis:

Untuk memperkayakan khazanah ilmu pengetahuan dalam bidang Ahwal Al-Syakhsiyah, terutama dalam bidang yang berkaitan, selain sebagai kontribusi bagi pengembangan ilmu pengetahuan bagi mahasiswa dan terhadap para praktisi hukum yang ingin menambah wacana secara teori terhadap pembentukan dan penerapan hukum oleh kedua negara yang menganut hukum yang berbeda.

2. Aspek Praktis:

(18)

11

G. Definisi Operasional

Untuk menghindari adanya kekeliruan dan kesalahan dalam memahami judul skripsi ini, perlunya ada pembatasan pengertian serta penjelasan terhadap judul ‚Tinjauan Hukum Islam Terhadap Hukum dan Pelaksanaan Lafaz Cerai di

Luar Mahkamah Syari’ah: (Studi Kasus di Sibu Sarawak Malaysia)‛, sebagai berikut:

Lafaz cerai di

luar mahkamah : Tindakan suami menceraikan isteri di luar pengadilan agama yang tidak mengikut prosedur dan ijin dari pengadilan agama.

Undang-Undang Syariah

(19)

bergabung dalam Malaysia pada tanggal 20 juli 1963. Setiap negara bahagian dalam Malaysia memiliki undang-undang yang berbeda antara satu sama lain, khususnya dalam urusan keagamaan.

Jadi yang dimaksudkan dengan ‚Tinjauan Hukum Islam Terhadap Hukum dan Pelaksanaan Lafaz Cerai di Luar Mahkamah Syari’ah: (Studi Kasus di Sibu

Sarawak Malaysia)‛, adalah menganalisa tentang hukum dan pelaksanaan lafaz cerai di luar pengadilan menurut menurut Undang-Undang Syariah Sarawak, Malaysia.

H. Metode Penelitian

(20)

13

1. Data yang dikumpulkan

Data tentang hukum dan pelaksanaan lafaz cerai di luar mahkamah menurut Ordinan 43 Undang-Undang Keluarga Islam, 2001 Sarawak, Malaysia. Dalam penelitian ini, kasus yang diteliti adalah lafaz cerai di luar mahamah, Mazwandy Yahya terhadap istrinya.

2. Sumber data

Untuk mendapatkan data-data tersebut di atas ada dua sumber data yaitu sumber primer dan sumber sekunder:

a. Primer:

1) Pihak yang terlibat yaitu Mazwandy Yahya dan istrinya.

2) Ordinan 43 Undang-Undang Keluarga Islam Negeri Sarawak Tahun 2001.

b. Sekunder:

Data sekunder, yaitu data yang mencakup dokumen-dokumen resmi buku-buku yang masih berhubungan dengan judul di atas, jurnal dan sejenisnya.

1) Jabatan Percetakan Negara Kuching, Sarawak, Ordinan Undang-Undang Keluarga Islam Sarawak Tahun 2001.

(21)

Syari’ah Tahun 1991.

3) Jabatan Percetakan Nasional Kuching, Sarawak, Ordinan Mahkamah

Syari’ah Sarawak Tahun 1991.

4) Nora Abdul Hak, Role Of Conciliatory Committee and Hakam: Practice and Provisions of The Islamic Family Law in Malaysia.

5) Ahmad Ibrahim & Ahilemah Joned, Sistem Undang-Undang di Malaysia.

6) Ahmad Ibrahim, Undang-Undang Keluarga Islam Malaysia.

3. Teknik pengumpulan data

Dalam penelitian ini, pengumpulan data menggunakan dua metode yaitu:

a. Wawancara adalah suatu bentuk komunikasi, yakni dengan cara bertanya kepada subjek atau informan untuk mendapatkan informasi yang diinginkan guna mencapai tujuannya dan memperoleh data yang akan dijadikan sebagai bahan laporan penelitiannya. Wawancara dalam hal ini dilakukan terhadap Mazwandy Yahya yang melafazkan cerai terhadap istrinya di luar mahkamah.

(22)

15

luar Mahkamah Syari’ah serta menelaah secara teliti data yang berkaitan dengan masalah yang dibahas.

4. Teknik analisis data

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

Deskriptif, yaitu menggambarkan ketentuan-ketentuan serta hukum dan pelaksanaan lafaz cerai di luar mahkamah menurut Undang-Undang Mahkamah Syariah Sarawak, Malaysia, dengan pola pikir induktif.

I. Sistematika Pembahasan

Dalam setiap pembahasan sesuatu masalah, sistematika pembahasan merupaka sesuatu aspek yang sangat penting, karena sistematika pembahasan ini dimaksud untuk mempermudahkan bagi pembaca dalam mengetahui alur pembahasan yang terkandung di dalam skripsi. Untuk memberikan jaminan bahwa pembahasan yang termuat dalam penulisan ini benar-benar mengarah kepada tercapainya tujuan yang ada maka penulis membuat sistematika sebagai berikut:

(23)

sistematika pembahasan.

Bab II Pembahasan mengenai tinjauan umum tentang talaq, meliputi: Pengertian Talak, Dasar Hukum Talak, Syarat dan Rukun Talak, Macam-Macam Talak, Hukum Menjatuhkan Talak.

Bab III Pembahasan mengenain Ordinan 43 Undang-Undang Keluarga Islam Negeri Sarawak Tahun 2001, mengenai lafaz cerai di luar mahkamah. Serta kasus Mazwandy Yahya malafazkan cerai terhadap istrinya di luar mahkamah.

Bab IV Analisis lafaz cerai di luar mahkamah menurut teori talaq dalam fikih munakahat.

Bab V Adalah penutup yang memuatkan kesimpulan, saran dan lampiran.

(24)

17 BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG TALAQ

A.Pengertian Dan Dasar Hukum Talaq 1. Pengertian

Menurut bahasa, talak berasal dari kata لاسرإا : قاطاا yang bermaksud melepaskan, meninggalkan atau melepaskan ikatan perkawinan.1 Dalam kitab kifayatul akhyar disebutkan bahwa talak menurut bahasa adalah melepaskan ikatan.2

Menurut istilah, seperti yang dituliskan al-Jaziri, talak adalah melepaskan ikatan (ديقلا لح) atau bisa juga disebutkan pelepasan ikatan dengan menggunakan kata-kata yang telah ditentukan.3 Sayyid Sabiq mendefinikan talak dengan upaya untuk melepaskan ikatan perkawinan dan selanjutnya mengakhiri hubungan perkawinan itu sendiri.4

Di dalam kitab kifa@yatul akhya@r menjelaskan talak sebagai sebuah nama untuk melepaskan ikatan perkawinan dan talak adalah lafadz jahiliyyah yang setelah islam datang menetapkan lafadz itu sebagai kata untuk

1 Wahbah Zuhaili, Fiqh dan Perundangan Islam, Terjemahan Ahmad Syeid Husain, Dewan Bahasa dan Pustaka, Jilid VII (Selangor, 2001), 579.

2 Taqituddin, Kifayatul Akhyar, Juz II (Bandung: Al- Haromain Jaya, 2005), 84.

3 Abdurrahman Al-Jaziri, Kitab Al-Fiqh ‘Ala@ Madha@hib Al-Arba’ah, Juz IV (Kairo: Dar Fikr,t.t), 278.

(25)

ijma’ ahli agama dan ahli sunnah. 5

Dari defini di atas, bahwa talak adalah pemutusan tali perkawinan dan talak merupakan suatu yang disyariatkan.6 Dan jelaslah bahwa talak merupakan sebuah institusi yang digunakan untuk melepaskan sebuah ikatan perkawinan, dengan demikian ikatan perkawinan sebenarnya dapat putus dan tata caranya telah di atur baik dalam fikih maupun di dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI).7

Pada dasarnya, kehidupan rumah tangga harus didasari oleh mawaddah, rahmah dan cinta kasih, yaitu bahwa suami isteri harus memerankan peran masing-masing, yang satu dengan yang lainnya saling melengkapi. Di samping itu harus juga diwujudkan keseragaman. Keeratan . kelembutan dan saling pengertian satu dengan yang lain sehingga rumah tangga menjadi hal yang sangat menyenangkan, penuh kebahagiaan, kenikmatan dan melahirkan generasi yang baik yang merasakan kebahagian yang dirasakan oleh orang tua mereka.8

Jika mata air cinta dan kasih sayang sudah kering dan tidak lagi memancarkan airnya, sehingga hati salah satu pihak atau keduanya (suami isteri) sudah tidak lagi merasakan cinta kasih, lalu kedua-duanya sudah tidak

5 Taqiyuddin, Kifa@yatul Akhya@r, 84.

6 Syeikh Hassan Ayyub, Fikih Keluarga, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2006), 207.

7 Amiur Nuruddin, dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam Di Indonesia , (Jakarta: Kencana 2004) 207.

(26)

19

saling mempedulikan satu dengan lainnya serta sudah tidak menjalankan tugas dan kewajibannya masing-masing, sehingga yang tinggal hanya pertengkaran dan tipu daya. Kemudian keduanya berusaha memperbaiki, namun tidak berhasil, begitu juga keluarganya yang telah berusaha melakukan perbaikan, namun tidak kunjung berhasil pula, maka pada saat itu, talak adalah kata yang paling tepat seakan-akan ia merupakan setrika yang di dalamnya terdapat obat penyembuh, namun ia merupakan obat yang paling akhir diminun.9

Sebagaimana yang disebut dalam pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinaan dijelaskan bahwa tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yanag bahagia, kekal berdaassarkan Ketuhanan Yang Maha Esa atau dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) disebutkan dengan mitsaqan ghalizha (ikatan yang kuat), namun dalam realitanya seringkali perkawinan disebut kandas di tengah jalan yang mengakibatkan putusnya perkawinan baik karena kematian, perceraian ataupun karena putusnya berdasarkan syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang.10

Kompilasi Hukum Islam (KHI) menjelaskan yang dimaksud dengan

talak adalah: ‚Ikrar suami di hadapan sidang pengadilan agama yang menjadi

salah satu sebab putusnya perkawinan dengan cara sebagaimana dimaksud

dalam pasal 129, 130, dan 131.‛11

9 Ibid, Fikih Keluarga, 205.

10 Martiman Prodjohamidjodjo, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta: Indonesia Legal Center Publishing, 2002), 41.

(27)

Setiap produk hukum pastilah selalu didasarkan dengan hukum yang mempertimbangkan akan kedudukan produk hukum tersebut, tidak terkecuali dengan adanya talak. Berikut yang menjadi landasan hukum terhadap eksistensi talak dalam rumah tangga.

a) Dalil al-Qur’an

i. Firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah 229 :

ّۡح ب ي ّۡت ۡ أ ف ۡع ب اّۡم ف اتَ م ق َّل

أ ۡم ل ي ال

َ ه ۡيتاء ٓاَ م ْا خۡأت

ۡيش

ع ا ج ا ف هَل دح ا يقي اَلأ ۡم ۡفخ ۡ ف هَل دح ا يقي اَلأ ٓافا ي أ ٓاَلإ اً

ۡ د ۡف ا يف ا ۡي

َدع ي م ۚاه د ۡعت ا ف هَل دح ۡ ت ۦهب

َّل مه ٓلْ أف هَل دح

٤

Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma´ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang zalim‛.(Q.S. Al-Baqarah: 229).12

ii. Firman Allah SWT dalam surat al-Thalaq:1-2

َل ْا قَت ةَدعۡل ْا صۡحأ َ تَدعل َ ه قِّف ءٓاِّل م ۡقَط ا إ ي َل ا يأٓي

م َ ه ج ۡ ت ال ۡم َب ه

ش فب يتۡأي أ ٓاَلإ ۡج ۡ ي ال َ ت يب

ِي م

ۚ฀

دح ۡ ت

ۡدقف هَل دح َدع ي م ۚهَل

ۡمأ ل دۡعب دۡ ي هَل َ عل ي ۡدت ال ۚ هّۡف م ظ

ا

٢

(28)

21

ف ۡع ب َ ه ق اف ۡ أ ف ۡع ب َ ه ّۡمأف َ جأ ۡغ ب ا ف

ۡدع ۡي ْا د ۡشأ

ِم

ۡم

قَي م ۚ خٓأۡل ۡ يۡل هَل ب مۡ ي اك م ۦهب ظع ي ۡم ل ۚهَل ةد َشل ْا يقأ

هَل عۡ ي هَل

ۡ م

ا

Artinya: ‚Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah dan barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru 2 Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah. Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat. Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar‛.(Q.S. Al-Thalaq: 1-2).13

b) Hadits Nabi SAW

ع ْبا ع

-ا ْع هَل-ا يض

هتأ ْما قَط هَأ

ضئاح يه

هَلا س دْ ع يف

ْ م : اقف ? ل ْ ع م س هي ع ها ص هَلا س ع أّف م س هي ع ها ص

يْل َمث , ا ْعجا يْف

ءاش ْ إ , دْعب ّْمأ ءاش ْ إ َمث , ّْت َمث , ضي ت َمث , ّْت َح ا ْ ّْ

ءاِّلا ا ل قَّت ْ أ هَلا مأ ي َلا ةَدعْلا ْ ف , َّ ي ْ أ دْعب قَط

هْي ع قفَم

Artinya: ‚Dari Ibnu Umar r. a. Bahwasannya dia menceraikan isterinya yang dalam keadaan haid pada masa Rasulullah saw. Maka Umar bin Khatab bertanya kepada Rasulullah tentang hal tersebut, Rasulullah menjawab: Perintahkan anakmu itu supaya rujuk (kembali) kepada isterinya itu, kemudian hendaklah ia teruskan pernikahan tersebut sehingga ia suci dari haid, lalu haid kembaki dan kemudian suci dari haid yang kedua. Maka, jika berkehendak, ia boleh meneruskan sebagaimana yang telah

(29)

mencampurinya. Demikianlah iddah diperintahkan Allah saat wanita

itu diceraikan‛ (HR. Muttafaqun ‘Alaih).14

Para ulama sepakat membolehkan talak. Bisa saja sebuah rumah tangga mengalami keretakan hubungan yang mengakibatkan rumitnya keadaan sehingga pernikahan mereka berada dalam keadaan kritis, terancam perpecahan, serta pertengkaran yang tidak membawa keuntungan sama sekali. Dan pada saat itu, dituntut adanya jalan untuk menghindari dan menghilangkan berbagai hal negatif tersebut dengan cara talak.15

c) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Talak (perceraian) disebutkan dalam Undang-Undang No.1 Tahun

1974 tentang Perkawinan pada pasal 38 yang berbunyi: ‚Perkawinan dapat putus karena: a. Kematian, b. Perceraian, dan c. Keputusan Pengadilan.‛

Dalam pasal 39 yang berbunyi: ‚(1) Perceraian hanya dapat dilakukan di

depan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. (2) Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri. (3) Tata cara perceraian di depan

Sidang Pengadilan diatur dalam Peraturan Perundangan tersendiri.‛

d) Kompilasi Hukum Islam (KHI)

14 Ahmad Mudjab Mahalli dan Ahmad Rodli Hasbullah, Hadits-Hadits Muttafa’q alaih Bahagian Munakahat dan Mu’amalat, (Jakarta: Kencana, 2004), 62.

(30)

23

Tidak hanya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, tetapi dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pun menjelaskan perceraian. Di antaranya pada pasal 113 yang menyebutkan: ‚Perkawinan dapat putus karena: (a) kematian, (b) perceraian, dan (c) atas putusan Pengadilan.‛ Dan pasal 114 menyebutkan: ‚Putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian.‛

B. Syarat dan Rukun Talak 1. Syarat Talak

a) Ikatan Suami Isteri

Syarat jatuhnya talak adalah terjadinya ikatan suami isteri, jika tidak terjadi ikatan suami isteri maka tidak sah talaknya.16 Yang tidak menyebabkan terjatuhnya talak ada empat: anak kecil, orang gila, orang yang tidur, dan orang mabuk.17

b) Baligh

Seseorang yang menjatuhkan talak harus mumayyiz, amak kecil tidak dapat menjatuhkan talak. Baligh merupakan istilah dalam hukum Islam yang menunjukan seseorang telah mencapai

kedewasaan. ‚Baligh‛ diambil dari kata Arab yang secara bahasa

memiliki arti ‚sampai‛, maksudnya ‚telah sampai usia seseorang

pada tahap kedewasaan‛.

16 Taqiyyudin, Kifa@yatul Akhya@r, 102

(31)

Yang dimaksudkan dengan berakal sehat adalah seorang suami yang menjatuhkan talak kepada isterinya dalam keadaan sehat. Oleh karena itu, orang gila tidak sah talaknya, baik kegilaannya terus menerus atau hanya sewaktu-waktu yang diakibatkan oleh penyakit.

Bukan hanya gila bisa disebut sebagai alasan yang tidak dapat mensahkan talak, tetapi tidur pun masuk kategori yang tidak bisa mensahkan talak.

2. Rukun Talak

Pada dasarnya rukun talak terbagi kepada tiga, yaitu:

a. Suami, selain suaminya isteri yang ditalak tidak dapat mentalak. b. Isteri, yaitu orang yang berada di bawah perlindungan suami dan ia

adalah objek yang akan mendapatkan talak.

c. Sighat, yaitu lafaz yang menunjukkan adanya talak, baik itu diucapkan secara terang-terangan maupun dilakukan melalui sindiran dengan syarat harus disertai adanya niat.18

C. Macam-Macam Talak

Talak terbagi kepada beberapa macam. Bila talak itu mutlak oleh kehendak suami maka terbagi 2 (dua) macam, yaitu talak raj’i dan talak

ba’in. Bila talak itu datang dari kehendak seorang isteri disebut khuluk.19

18 Syeikh Kamil Muhammad Uwaidah, Fiqh Wanita, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1996)<, 437.

(32)

25

Mengenai talak yang dijatuhkan oleh suami terhadap keadaan isteri ada 2 (dua) macam pula, yaitu talak sunni dan talak bid’i,20 begitupun dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) disebutkan pula bahwa talak selain dari yang

dua macam (talak raj’i dan talak ba’in) adalah talak sunni dan talak bid’i, yang terdapat dari pasal 118 sampai dengan pasal 122 KHI.

1. Talak Raj’i

Pasal 118 dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) menyebutkan

bahwa: ‚Talak raj’i adalah talak kesatu atau kedua dalam talak ini suami

berhak rujuk selama isteri dalam masa iddah.‛

As-Siba’i mengatakan bahwa talak raj’i adalah talak yang untuk

kembalinya mantan isteri kepada mantan suaminya tidak memerlukan pembaharuan akad nikah, tidak memerlukan mahar, serta tidak memerlukan persaksian.

Setelah terjadinya talak raj’i maka isteri wajib beriddah, hanya bila

kemudian mantan suami hendak kembli kepada mantan isterinya sebelum berakhirnya masa iddah, maka hal itu dapat dilakukan dengan menyatakan rujuk, tetapi jika dalam masa iddah tersebut mantan suami tidak menyatakan rujuk terhadap mantan isterinya, maka dengan berakhirnya masa iddah tersebut kedudukan talak menjadi talak ba’in, kemudian jika sesudah berakhirnya masa iddah itu suami ingin kembali kepada manta isterinya maka wajib dilakukan dengan akad baru dan dengan mahar pula.21

20 Taqiyyudin, kifa@>yatul akhya@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@>@r, h. 87.

(33)

berdasarkan firman Allah SWT, dalam surat al-Baqarah ayat 229 yang berbunyi:

ف اتَ م ق َّل

ّۡح ب ي ّۡت ۡ أ ف ۡع ب اّۡم

َ ه ۡيتاء ٓاَ م ْا خۡأت أ ۡم ل ي ال

ۡيش

ع ا ج ا ف هَل دح ا يقي اَلأ ۡم ۡفخ ۡ ف هَل دح ا يقي اَلأ ٓافا ي أ ٓاَلإ اً

يف ا ۡي

ۡ د ۡف ا

َّل مه ٓلْ أف هَل دح َدع ي م ۚاه د ۡعت ا ف هَل دح ۡ ت ۦهب

٤

Artinya: ‚Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma´ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang zalim‛ (QS. Al-Baqarah 299).22

2. Talak Ba’in

Talak ba’in adalah talak yang tidak memberi hak merujuk bagi mantan suami terhadap mantan isterinya. Untuk mengembalikan mantan isteri ke dalam ikatan perkawinan dengan mantan suami harus melalui akad nikah baru, lengkap dengan rukun dan syarat-syaratnya.23

Talak ba’in terdapat 2 (dua) macam, yaitu:

a) Talak Ba’in Shughra

22 Departeman Agama Republik Indonesia, al-Qur’an dan Terjemahannya, 36.

(34)

27

Talak ba’in shughra adalah talak ba’in yang menghilangkan pemilikan mantan suami terhadap isteri tetapi tidak menghilangkan kehalalan mantan suami untuk kawin kembali dengan mantan isteri, baik dalam iddahnya maupun sesudah berakhinya masa iddah.

Pasal 119 Kompilasi Hukum Islam (KHI) menyebutkan:

(1) Talak ba’in shughra adalah talak yang tidak boleh dirujuk tetapi boleh akad nikah baru dengan bekas suaminya meskipun dalam iddah.

(2) Talak ba’in shughra sebagaimana tersebut pada Ayat (1) adalah: a. talak yang terjadi qabla al-dukhul;

b. talak dengan tebusan atau khuluk;

c talak yang dijatuhkan oleh Pengadilan Agama.

b) Talak Ba’in Kubra

Talak ba’in kubra adalah talak yang menghilangkan pemilikan mantan suami terhadap mantan isterinya serta menghilangkan kehalalan mantan suami untuk berkawin kembali dengan mantan isterinya. Kecuali setelah mantan isteri itu kawin dengan laki-laki lain, telah berkumpul dengan suami keduanya itu serta telah bercerai secara wajar dan telah selesai menjalankan masa iddahnya. Talak ba’in kubra terjadi pada talak yang ketiga. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surah al-Baqarah ayat 230 yang menyebutkan:

ۡي ع ا ج ا ف ا قَط ف ۡيغ اًجۡ ت َح دۡعب م هل ت ا ف ا قَط ف

ٓاعجا ي أ ٓا

ۡ قل ا ِي ي هَل دح ۡ ت هَل دح ا يقي أ ٓاَظ إ

(35)

perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui‛ (QS Al-Baqarah 230).24

Pasal 120 Kompilasi Hukum Islam (KHI) juga menyebutkan dan memberikan definisi talak ba’in kubra, ‚Talak ba’in kubra adalah talak yang terjadi untuk yang ketiga kalinya. Talak jenis ini tidak dapat dirujuk dan tidak dapat dinikahkan kembali, kecuali apabila pernikahan itu dilakukan setelah bekas isteri menikah dengan orang lain dan kemudian terjadi perceraian ba’da ad-dukhul dan habis masa iddahnya‛

c) Talak Sunni

Talak sunni adalah talak yang diperbolehkan untuk dijatuhkan kepada isteri, yaitu talak dijatuhkan kepada isteri yang dalam keadaan suci serta tidak dicampuri.25 Begitupun Kompilasi Hukum Islam (KHI) menyebutkan pengertian talak sunni yang terdapat dalam pasal 121 yang berbunyi: ‚Talak sunni adalah talak yang dibolehkan yaitu talak yang dijatuhkan terhadap isteri yang sedang suci dan tidak dicampuri dalam waktu suci tersebut.

24 Departeman Agama Republik Indonesia, al-Qur’an dan Terjemahannya, 36.

(36)

29

d) Talak Bid’i

Talak bid’i adalah larangan menjatuhkan talak kepada isteri yang dalam keadaan haid atau suci tetapi setelah digauli dan nifas.26 Bila diperinci, terdiri dari beberapa macam.27

1. Apabila seorang suami menceraikan isterinya ketika sedang dalam keadaan haid atau nifas.

2. Jika seorang suami menceraikan isterinya ketika dalam keadaan suci, namun ia telah menyetubuhinya pada masa suci tersebut.

3. Seorang suami menjatuhkan talak tiga terhadap isterinya dengan satu kalimat atau tiga kalimat dalam satu waktu.

Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pula mendefinisikan talak

bid’i sebagaiman yang tercantum pada pasal 122: ‚Talak bid’i adalah talak yang dilarang, yaitu talak yang dijatuhkan pada waktu isteri dalam keadaan haid, atau isteri dalam keadaan suci tetapi sudah dicampuri pada waktu suci

tersebut.‛

e) Khuluk

Talak yang terjadi akibat khuluk, yaitu suatu ikatan perkawinan yang putus karena pihak isteri telah memberikan hartanya untuk membebaskan dirinya dari ikatan perkawinan. Selain itu, khuluk adalah perceraian yang terjadi atas permintaan isteri dengan memberikan tebusan atau uang ‘iwad kepada dan atas persetujuan suaminya. Oleh karena itu,

26 Ibid, 88.

(37)

dan tidak dapat dirujuk. Hal ini berdasarkan pasal 161 KHI yang berbunyi:

‚Perceraian dengan jalan khuluk mengurangi jumlah talak dan tidak dapat

dirujuk.‛28

Kompilasi Hukum Islam (KHI) menerangkan pula mengenai khuluk

pada pasal 124 yang berbunyi: ‚Khuluk harus berdasarkan atas alasan

perceraian sesuai ketentuan Pasal 116.‛ Dan pasal 116 berbunyi: ‚Perceraian

dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan: (a) salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan; (b) salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah karena hal lain di luar kemampuannya; (c) salah satu pihak mendapatkan hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman lebih berat setelah perkawinan berlangsung; (d) salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain; (e) salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan tidak dapat melakukan kewajibannya sebagai suami atau isteri; (f) antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga; (g) suami melanggar taklik talak; (h) peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan

dalam rumah tangga.‛

(38)

31

D. Hukum Menjatuhkan Talak

Ditilik dari kemaslahatan dan kemudharatannya, maka hukum talak ada 5 (lima).29 Yaitu:

1. Wajib

Apabila terjadi perselisihan antara suami isteri, lalu tidak ada jalan yang dapat ditempuh kecuali dengan mendatangkan dua hakim yang mengurus perkara keduanya. Jika kedua hakim tersebut memandang bahwa perceraian lebih baik bagi mereka, maka saat itulah talak menjadi wajib. Jadi, jika sebuah rumah tangga tidak dapat mendatangkan apa-apa selain keburukan, perselisihan, pertengkaran dan bahkan menjerumuskan keduanya dalam kemaksiatan, maka pada saat itu talak adalah wajib baginya.30

2. Makruh

Talak menjadi makruh jika talak yang dilakukan tanpa adanya tuntutan dan kebutuhan. Sebagaimana ulama ada yang mengatakan mengenai talak yang makruh ini terdapat dua pendapat;31

Pertama, bahwa talak tersebut haram dilakukan, karena dapat menimbulkan mudharat bagi dirinya juga bagi isterinya, serta tidak mendatangkan manfaat apapun. Talak ini haram sama seperti tindakan merusak atau menghamburkan harta kekayaan tanpa guna.

29 Syeikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga, 211.

30 Ibid, 211.

(39)

Talak itu dibenci karena dilakukan tanpa adanya tuntutan dan sebab yang membolehkan. Dan karena talak semacam itu dapat membatalkan pernikahan yang menghasilkan kebaikan yang memang disunnahkan, sehingga talak itu menjadi makruh.32

3. Mubah

Talak hukumnya mubah (diperbolehkan) ketika ada keperluan untuk itu yakni karena jeleknya perilaku isteri, buruknya sikap isteri terhadap suami, suami menderita karena tingkah laku isteri, suami tidak mencapai tujuan dari perkawinan dari isteri.33

4. Sunnah

Hukum sunnah yaitu talak yang dilakukan pada saat isteri mengabaikan hak-hak Allah Ta’ala yang telah diwajibkan kepadanya, misalnya shalat, puasa dan kewajiban lainnya, sedangkan suami juga sudah tidak sanggup lagi memaksanya. Atau isterinya sudah tidak lagi menjaga kehormatan dan kesucian dirinya. Hal ini mungkin saja terjadi, karena memang wanita itu mempunyai kekurangan dalam hal agama, sehingga mungkin saja ia berbuat selingkuh dan melahirkan anak hasil dari perselingkuhan dengan laki-laki lain. Dalam kondisi seperti itu dibolehkan bagi suaminya untuk mempersempit ruang dan geraknya.34 Sebagaiman yang

32Ibid, 209.

33 Zakiah Darajat, Ilmu Fiqih II, (Yogyajarta, Verisi Yogya Grafika, 1995), 191.

(40)

33

difirmankan Allah SWT dalam al-Qur’an, surat An-Nisa’ ayat 19 yang

berbunyi‛

ۡ ك ءٓاِّل ْا ث ت أ ۡم ل ي ال ْا ماء ي َل ا يأٓي

ٓام ضۡع ب ْا هۡ ل َ ه ضۡعت ال ا

ش فب يتۡأي أ ٓاَلإ َ ه ۡيتاء

ِي م

ۚ฀

ك ف ۚف ۡع ۡل ب َ ه شاع

أ ٓ ّعف َ ه ۡه

ۡيش ْا ه ۡ ت

ۡيخ هيف هَل عۡ ي ا

يثك ا

ا

٢٤

Artinya: ‚Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.‛ (Q.S. An-Nisa’: 19).35

5. Haram (Mahzhur)

Mahzhur yaitu talak yang dilakukan ketika isteri sedang haid. Para ulama di Mesir telah sepakat untuk mengharamkannya. Talak ini disebut juga dengan talak bid’ah. Disebut bid’ah karena suami yang menceraikan itu menyalahi sunnah Rasulullah dan mengabaikan perintah Allah SWT. dan Rasul-Nya.36 Sebagaimana Allah telah berfirman dalam al-Qur’an, surat At-Thalaq ayat 1 yang berbunyi:

َل ْا قَت ةَدعۡل ْا صۡحأ َ تَدعل َ ه قِّف ءٓاِّل م ۡقَط ا إ ي َل ا يأٓي

م َ ه ج ۡ ت ال ۡم َب ه

ش فب يتۡأي أ ٓاَلإ ۡج ۡ ي ال َ ت يب

ِي م

ۚ฀

دح ۡ ت

ۡدقف هَل دح َدع ي م ۚهَل

ۡمأ ل دۡعب دۡ ي هَل َ عل ي ۡدت ال ۚ هّۡف م ظ

ا

٢

35 Departeman Agama Republik Indonesia, al-Qur’an dan Terjemahannya, 80

(41)

kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah dan barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru.‛ (Q.S. At-Thalaq: 1).37

(42)

BAB III

PERCERAIAN DI LUAR MAHKAMAH MENURUT ORDINAN 43 KELUARGA ISLAM NEGERI SARAWAK TAHUN 2001: (Studi Kasus di

Sibu Sarawak Malaysia)

A. Ordinan 43 Keluarga Islam Negeri Sarawak Tahun 2001

1. Latar Belakang Ordinan 43 Keluarga Islam Negeri Sarawak Tahun 2001 Sebelum kemerdekaan negeri bagian Sarawak, memang sudah dibentuk institusi peradilan yang dinamakan sebagai Mahkamah Melayu Sarawak yang mengurus semua perkara yang berkaitan dengan kekeluargaan Islam berdasarkan Undang-Undang Mahkamah Melayu Sarawak tahun 1915 diubah kembali pada tahun 1956 karena dinilai mengandung beberapa kelemahan. Akhirnya pada tahun 1978, Mahkamah Syariah telah didirikan di bawah Undang-Undang Majlis Islam Sarawak.1 Pada tanggal 1 Maret 1985, Mahkamah Syariah telah mempunyai sistem Undang-Undangnya tersendiri yang disebut sebagai Undang-Undang Mahkamah Syariah Order 1985.

Di dalam meningkatkan peran dan kualitas pelayanan publik, pemerintah telah bersetuju untuk menyusun semula organisasi dan fungsi Mahkamah Syariah dengan membentuk tiga peringkat Mahkamah yaitu Mahkamah Rendah Syariah, Mahkamah Tinggi Syariah dan Mahkamah rayuan Syariah. Untuk mewujudkan pelayanan hukum yang mandiri dan merdeka, akhirnya Mahkamah Syariah telah dipisahkan daripada Majlis Islam

1 Wakil Pegawai Pendaftar Mahkamah Tinggi Syari’ah Sarawak, ‚Perundangan Islam di

(43)

pemerintah sendiri. Pada tahun 1991, kerajaan negeri Sarawak melalui pembahasan undang-undang di Dewan Undangan Negeri (DUN) atau dikenal di Indonesia sebagai Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah meluluskan enam rancangan undang-undang pada tanggal 1 September 1992 menjadi Ordinan. Hasil daripada pembahasan tersebut, maka terbentuklah beberapa Ordinan dengan resminya. Ordinan-Ordinan tersebut adalah:

a. Ordinan Mahkamah Syariah, 1991

b. Ordinan Kanun Acara Jenayah Syariah, 1991 c. Ordinan Acara Mal Syariah, 1991

d. Ordinan Kesalahan Jenayah Syariah, 1991 e. Ordinan Undang-Undang Keluarga Islam, 1991 f. Ordinan Keterangan Syariah, 19912

Selain itu, Kaedah-Kaedah Pengacara Syara’e tahun 1992 juga telah

diwujudkan untuk memberi garis panduan kepada pengacara dalam mengendalikan perkara Dewan Undangan Negeri (DUN) pada tanggal 6 November 2001, telah merevisi keseluruhan Ordinan tahun 1991 di atas. Ordinan hasil revisi tersebut secara resminya diberlakukan pada 1 Desember 2004 yang memuatkan:

a. Ordinan Mahkamah Syariah, 2001

b. Ordinan Undang-Undang Keluarga Islam, 2001 c. Ordinan Tatacara Mal Syariah, 2001

(44)

37

d. Ordinan Tatacara Jenayah Syariah, 2001 e. Ordinan Kesalahan Jenayah Syariah, 2001 f. Ordinan Keterangan Syariah, 2001

Secara umum, undang-undang yang dipakai oleh Negeri-negeri di Malaysia dapat dibagi menjadi dua kategori: pertama, menganut akta Undang-Undang Keluarga Islam (untuk wilayah-wilayah persekutuan) 1984 (akta 303). Negeri-negeri yang menganut akta ini antar lain: Negeri Selangor, Negeri Sembilan, Pulau Pinang, Pahang, Perlis, Terengganu, Sarawak dan Sabah. Kendati demikian, masih juga terdapat sedikit perbedaan dan persamaan dengan akta Undang-Undang Keluarga Islam Wilayah Persekutuan 1984. Perbedaan tersebut terletak dari segi susunan seksyen, bentuk perubahan dan hukum. Negeri-negeri yang menganut akta tersebut antara lain: Kelantan, Johor, Melaka dan Kedah.3 Kedua, Ordinan 43 Undang-Undang Keluarga Islam Negeri Sarawak Tahun 2001 menganut Akta Undang-Undang Keluarga Islam (Wilayah-wilayah Persekutuan) 1984 (Akta 303).4

Di Malaysia, undang-undang tertulis disebut dengan ‚Akta Parlemen‛

(suatu undang-undang yang diterapkan di seluruh negeri bagian yang ada di Malaysia) yang disahkan oleh Parlemen dan ‚Enakmen Negeri Bagian (suatu

undang-undang yang hanya diterapkan di negeri bagian tersebut) yang disahkan oleh Dewan Undangan Negeri bagian, kecuali Sabah dan Sarawak.

3 Abdul Munir Yaakob, Undang-undang Keluarga Islam dan Wanita di Negara-negara Asean, (Kuala Lumpur: Yayasan Islam Terengganu, 2001), 23-24.

(45)

Pengertian ini melibatkan semua undang-undang yang telah disahkan oleh badan-badan perundangan sebelum merdeka (di Malaysia Barat) dan sebelum Hari Malaysia (di Malaysia Timur) yang dikenali dalam buku-buku Statut sebagai Ordinance atau Enacment. Semua undang-undang tersebut di atas disebut dengan Statut.5

Mengenai undang-undang negeri bagian, perlembagaan (Undang-undang Dasar) menyatakan bahwa:

Jika mana-mana undang-undang Negeri Bagian adalah berlawanan dengan sesuatu undang-undang Persekutuan, maka Undang-undang Persekutuan itu hendaklah dipakai dan undang-undang Negeri Bagian itu hendaklah terbatal, setakat mana Ian berlawanan dengan Undang-undang Persekutuan itu.6

Sebelum Negeri Bagian Sarawak dijajah oleh penjajah dan menghirup udara kemerdekaan, negeri ini mempunyai undang-undang sendiri seperti yang berlaku sampai saat ini. Pada saat Negeri Bagian Sarawak masih berada dalam jajahan Kesultanan Brunei, ketika itu agama Islam telah berkembang dengan pesatnya di seluruh Negara Brunei, termasuk Negeri Bagian Sarawak yang dipimpin oleh Sultan Brunei yang pertama yang memeluk agama Islam yaitu Sultan Muhammad pada tahun 1478, sehingga rakyat pun banyak yang mengikuti rajanya memeluk agama Islam.

Untuk mengurus dan mengendalikan negara, Sultan Brunei melantik Pangeran Mahkota sebagai Gubernur (Governor) atau wakil Sultan di setiap

5 Hasyim Yeop A. Sani, Bagaimana Undang-undang Kita diperbuat?, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1990), 10.

(46)

39

tanah jajahannya, khususnya untuk menjalankan roda pemerintahan Negeri bagian Sarawak yang berpusat di Kuching. Dalam bidang perundangan, Negeri Bagian Sarawak telah mempunyai undang-undang sendiri, yaitu Undang-Undang adat Sarawak. Dan undang-undang ini telah mendapatkan persetujuan atau izin dari Sultan Brunei ketika itu. Dengan adanya perpindahan agama (dari Hindu ke Islam), maka undang-undang pun akhirnya mengalami perubahan, yaitu dari bercorak Hindu menjadi Undang-Undang yang bercirikan Islam, yang diberi nama Undang-Undang Adat Sarawak.

Pada awal mulanya, Undang-Undang Adat ini telah dianut. Akan tetapi karena orang-orang Melayu menganut agama Islam, maka Undang-Undang Adat pun akhirnya ditambah dan diubah untuk disesuaikan dengan unsur-unsur agama Islam.7

Adapun penyebab atau latar belakang adanya Undang-Undang adat Melayu Sarawak karena keperluan masyarakat Islam di Sarawak pada zaman dahulu yang mengalami perubahan zaman dan juga sosial budaya yang berlaku di sekitarnya. Dengan adanya undang-undang ini, masalah-masalah yang awal mulanya cukup banyak menjadi berkurang. Semua itu tertanggulangi dengan adanya undang-undang yang baru ini. Undang-Undang Adat Melayu Sarawak pun dijadikan sebagai pedoman, bimbingan serta acuan untuk memberikan hukuman yang setimpal kepada siapa pun yang berbuat salah.8

7

Hasyim Yeop A. Sani, Bagaimana Undang-undang Kita diperbuat?, 11.

8

(47)

di sekitar Negeri Bagian Sarawak menyebabkan Undang-Undang Adat Melayu Sarawak diadakan, di samping karena kompleksnya permasalahan umat Islam pada waktu itu. Undang-Undang Adat Melayu Sarawak hanya diberlakukan untuk penduduk Islam di Negeri Bagian Sarawak saja. Namun setelah terjadi perubahan zaman, timbulnya berbagai permasalahan, dari zaman sebelum kemerdekaan hingga mencapai kemerdekaan seperti sekarang ini, Negeri Bagian Sarawak pun akhirnya merumuskan Ordinan Undang-Undang, yaitu sebagai pelengkap undang-undang terdahulu.

Namun undang-undang yang telah diberlakukan terdahulu telah diganti perlaksanaannya dengan Undang-Undang Adat Melayu Sarawak, Undang-Undang Mahkamah Melayu Sarawak, dan Undang-Undang Mahkamah Syariah tahun 1985. Di antara penyebab undang-undang tersebut diganti hingga sekarang karena dirasa kurang melengkapi dan memiliki berbagai kelemahan, serta dirasa tidak sesuai lagi dengan tuntutan zaman untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Islam pada tahun 90-an.

(48)

41

2. Landasan dan Dasar Hukum Ordinan 43 Keluarga Islam Negeri Sarawak Tahun 2001

Landasan dalam artian sebagai dasar hukum keberadaan Ordinan 43 Keluarga Islam Negeri Sarawak adalah Ordinan Majlis Agama yang telah didirikan pada tahun 1977. Ordinan Majlis Agama tersebut dasar hukumnya adalah ‚Undang-undang Mahkamah Syariah Order Tahun 1985 yang menggantikan Undang-undang Mahkamah Melayu Sarawak yang telah dimansuhkan pelaksanaannya.9

Ordinan Majlis Islam ini adalah merupakan penyesuaian kepada undang-undang dari hal pentadbiran hal-ehwal Islam yang ada di Semenanjung Malaysia.10 Ordinan ini dikuatkuasakan bagi mendirikan sebuah badan atau lembaga yang sepenuhnya oleh Kerajaan Negara Bagian Sarawak bertanggungjawab dari hal pengelolaan masalah Islam yang ada dan

hanya diberi nama ‚Majlis Islam Sarawak‛. Dan pada tahun 1978, di bawah

undang-undang Majlis Islam Sarawak, didirikan Mahkamah Syari’ah dengan

pemerintahan di bawah Majlis Islam Sarawak. Pada ketika itu, Mahkamah

Syari’ah telah diperkenalkan sebagai tempat untuk mengadili dan orang yang

bertugas untuk mengadili disebut Kadi (Mahkamah Kadi) dan Mahkamah Kadi Besar (Mahkamah Kadi Besar).

Undang-undang Mahkamah Melayu Sarawak (untuk orang Islam) terus digunapakai dari tahun 1915 sehinggalah pada tahun 1985 dengan

9 Hamid Jusoh, Kedudukan Undang-undang Islam dalam Perlembagaan Malaysia, (Selangor: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1992), 15.

(49)

Mahkamah Melayu Sarawak pada tahun 195611, yang mana terdapat beberapa kelemahan di dalam undang-undang tersebut. Dan juga setelah Negeri Bagian Sarawak telah mendapatkan kemerdekaan, demi menurut kesesuaian dengan adat dan hukum Islam yang telah berlaku di kalangan penduduk muslim secara khususnya.

Undang-undang ini mengandungi enam puluh enam seksyen, dan undang-undang ini ialah satu-satunya undang-undang Melayu yang masih terpakai sehingga tahun 198512, sebelum keenam-enam Ordinan undang-undang dikuatkuasakan. Berdasarkan penelitian, undang-undang-undang-undang ini mengandungi lebih banyak peruntukan undang-undang adat. Sebagian besar daripada peruntukan tersebut di dalam bentuk undang-undang keluarga berkenaan dengan kasus-kasus pertunangan, perkawinan, perceraian dan perwarisan.13

Terdapat beberapa perubahan dalam undang-undang terdahulu, sesuai dengan adat dan masyarakat di sekitarnya. Ketika ini, Undang-undang

Mahkamah Syari’ah Order Tahun 1985 masih dibukukan dalam satu buku

saja dan belum keadaan terpisah.

Pada 17 Agustus 1990, Mahkamah Syari’ah Sarawak telah dipisahkan pentadbirannya dari Majlis Islam Sarawak dan Jabatan Agama Islam

11 Ibid.

12 Undang-undang tersebut telah dipindah pada tahun 1985 dan dikenali sebagai Undang-undang

Mahkamah Syari’ah Sarawak Order 1985 dan berkuatkuasa pada 1 Maret 1985.

(50)

43

Sarawak, dengan penubuhan sebuah jabatan baru sebagaimana jabatan-jabatan Kerajaan Sarawak yang lain, yang diberi nama Jabatan Kehakiman

Syari’ah Sarawak (JKSS) pada 2 Oktober 1990, bagi mengatur perjalanan dan

sistem Mahkamah Syari’ah di seluruh Negeri Bagian Sarawak.

Lanjutan dari itu, yaitu setelah Dewan Undangan Negeri Bagian Sarawak melalui dan Perundangan Negeri Bagian Sarawak telah menggubal Undang-undang yang berkaitan dengan ajaran Islam terutama tentang hal Keluarga Islam. Dan pada 14 Mei 1991, Dewan Undangan Negeri Bagian Sarawak telah meluluskan enam rang undang-undang yaitu:

1. Ordinan Mahkamah Syari’ah,

2. Ordinan Undang-undang keluarga Islam, 3. Ordinan Kesalahan Jenayah Syari’ah,

4. Ordinan Acara Mal,

5. Ordinan Kanun Acara Syari’ah dan

6. Ordinan Keterangan Syari’ah.

(51)

dengan Ordinan Undang-undang yang ada sekarang. Keenam Ordinan undang-undang tersebut berkuatkuasa mulai tanggal 1 September 1992 sebelum direvisi keseluruhannya oleh Dewan Undangan Negeri Sarawak (DUN) pada tanggal 6 November 2001.

3. Sumber Rujukan Ordinan 43 Keluarga Islam Negeri Sarawak Tahun 2001 Perlembagaan Persekutuan menetapkan bahwa Agama Islam ialah agama bagi Persekutuan, tetapi agama-agama lain boleh diamalkan dengan aman dan damai di mana-mana bagian Persekutuan.14 Sejalan dengan ajaran agama Islam sebagai agama resmi bagi Persekutuan, maka Perlembagaan Persekutuan telah menetapkan setiap Negeri Bagian untuk menyusun Undang-undang Islam yang digolongkan sebagai Undang-undang diri (personal law), yang akhirnya membawa kepada penubuhan Mahkamah

Syari’ah di setiap Negara Bagian, yang berfungsi untuk mendengar, mengadili dan memutuskan bagi orang-orang Islam yang melakukan berbagai kesalahan yang ditetapkan oleh Enakmen (Undang-undang) dan Ordinan Negeri Bagian sehingga nampak adanya keadilan.

Secara lebih jelas, hukum Perundangan Islam (Ordinan dan Enakmen) bagi seluruh negeri di Malaysia adalah bersumber dari Kitab Suci Al-Qur’an,

interpretasi atas perbuatan Nabi Muhammad, hukum yang disepakati ahli

(52)

45

hukum pada masa kuno, penjelasan ataupun pernyataan dari para cendiakawan kuno dan moden, dan adat. Dalam konteks Malaysia yang memiliki keragaman ras, hukum Islam hanya berlaku pada kaum muslim sebagai hukum perseorangan, seperti pernikahan, perceraian, perwalian, dan warisan.

B. Hukum Dan Pelaksanaan Menurut Undang-Undang Mahkamah Syari’ah

Perceraian hendaklah berlaku dalam Mahkamah dan dengan izin Mahkamah berdasarkan kepada Ordinan 43 Keluarga Islam Negeri Sarawak, Tahun 2001. Sekiranya berlaku lafaz cerai di luar Mahkamah ianya merupakan satu kesalahan Seksyen 128, Ordinan Undang-Undang Keluarga Islam, 2001.

Seksyen 128. Perceraian di luar Mahkamah dan tanpa izin Mahkamah. Seseorang lelaki menceraikan isterinya dengan melafazkan talaq dalam apa-apa bentuk di luar Mahkamah dan tanpa kebenaran Mahkamah adalah melakukan suatu kesalahan dan hendaklah dihukum sanksi tidak melebihi satu ribu ringgit atau penjara tidak melebihi enam bulan atau kedua-duanya sanksi dan penjara itu.15

1. Prosedur Lafaz Perceraian di Luar Mahkamah

Setiap pemohonan kasus hendaklah diserahkan sendiri oleh pemohon atau wakilnya kepada Ketua Pendaftar atau Penolong Pendaftar

15

(53)

salinan.

b. Pendaftaran kasus permohonan hendaklah disertakan. 1) Notis permohonan.

2) Afidavit.

3) Eksibit-eksibit (jika berkaitan, contohnya salinan sijil nikah, sijil lahir dan lain).

4) Fi secukupnya.

5) Membuat perintah meluluskan perceraian dengan talak. 6) Merekodkan perceraian.

7) Menghantar salinan rekod itu kepada Pendaftar yang berkenaan dan kepada Ketua Pendaftar bagi pendaftaran.16

2. Proses Lafaz Cerai Luar Mahkamah

Proses pengesahan lafaz cerai di mahkamah bukanlah merupakan urusan yang susah. Namun perlu diketahui bahwa setiap kasus atau pelaksanaan di Mahkamah hendaklah mengikut beberapa prosedur yang telah ditetapkan. Dalam kasus ini, suami atau isteri hendaklah menfailkan saman berserta penyataan tuntutan kepada Mahkamah terlebih dahulu. Bentuk saman dan penyataan tuntutan ini bolehlah didapati di Mahkamah atau mana-mana kantor avokat.

(54)

47

Bentuk saman selalunya tidak menjadi masalah karena pihak Mahkamah menyediakan kepada pihak-pihak yang mendaftar kasus di Mahkamah. Tetapi dokumen yang perlu disediakan sendiri oleh pihak-pihak yang mendaftar kasus di Mahkamah adalah penyata tuntutan yang dibuat melalui Peguam Syarie, Terdapat beberapa maklumat yang perlu dinyatakan di dalam penyataan tuntutan, yaitu:17

a. Nama dan maklumat Plaintif (isteri atau suami) b. Nama dan Defenden (suami atau isteri).

c. Maklumat latar belakang perkawinan dan disertakan juga maklumat keluarga.

d. Maklumat kehidupan perkawinan secara ringkas.

e. Maklumat lafaz cerai yang telah di buat di luar mahkamah. Maklumat ini hendaklah dinyatakan dengan jelas dan nyata. Suami hendaklah menyatakan perkataan lafaz itu dengan betul, sepertimana yang telah berlaku dan seperti dilafazkan di hadapan isteri. Begitu juga masa dan tempat lafaz perceraian serta bilangan lafaz hendaklah sama seperti yang telah dilafazkan tanpa sebarang penipuan. Sebarang kesilapan keterangan yang diberikan oleh pihak plaintif atau defenden,maklumat berkemungkinan keputusan yang diputuskan oleh Hakim akan salah dan salah boleh memudaratkan pihak Plaintif dan Defenden.

Setelah saman dan penyataan telah difailkan kepada Mahkamah, satu tanggal dalam 21 hari akan ditetapkan untuk sebutan kasus. Tanggal

17

(55)

atau isteri). Setelah saman berjaya diserahkan kepada Defendan dan Defendan juga menghadirkan diri pada tanggal sebutan tersebut. Hakim semasa di dalam dewan Mahkamah perlu menyiasat dengan mengajukan beberapa soalan Defendan seperti berikut:

1) Adakah kamu telah menerima ssaman dan penyataan tuntutan yang difailkan oleh Plaintif?

2) Adakah kamu telah membaca dan memahaminya? 3) Adakah kamu mengakui segala penyataan tersebut? 4) Di mana tempat berkawin?

5) Pernah bercerai atai tidak sebekum ini? 6) Berapa orang anak hasil dari perkawinan ini? 7) Masih tinggal bersama atau tidak lagi?

8) Jika sudah tinggal berasingan, sejak bila dan tanggalnya?

Sekiranya Defendan mengakui penyataan tersebut Hakim akan mencatat keterangan dari pihak Plaintif dan Defendan. Jika Plaintif (suami atau isteri) mengaku dengan lafaz Defendan (suami atau isteri) tersebut maka Hakim akan menentukan sama ada lafaz tersebut dalam bentuk soreh atau kinayah. Sekiranya soreh Hakim akan memutuskan berdasarkan

pengakuan suami. Tetapi sekiranya lafaz kinayah, sebagai contoh ‚pergi kau

(56)

49

suami tersebut. Jika suami memang berniat untuk menceraikan isterinya, maka jatuh talak ke atas isterinya.18

Namun kasus lafaz cerai ini akan berpanjangan jika Defendan tidak hadir atau sekiranya Defendan tidak bersetuju dengan keterangan Plaintif. Sekiranya hal seperti ini berlaku, pihak Defendan hendaklah membawa beberapa orang saksi. Pihak saksi hendaklah terdiri daripadad dua orang laki-laki dan satu orang laki-laki-laki-laki dan dua orang perempuan.

Hakim akan menyiasat latar belakang saksi tersebut dengan beberapa soalan seperti:19

1) Nama saksi?

2) Nombor kartu tanda penduduk saksi? 3) Apakah hubungan saksi dengan Defendan?

4) Adakah saksi mendengar daripada orang lain atau melalui diri sendiri?

5) Bagaimanakah hubungan saksi dengan Defendan, baik atau sebaliknya?

Bagi pihak Plaintif pula, jika gagal membawa saksi untuk menyokong keterangan beliau. Sekiranya berlaku keadaan seperti ini, Plaintif akan meminta Defendan untuk bersumpah nafi berdasarkan hadits Rasulullah SAW yang bermaksud:

‚Keterangan kepada orang yang mendakwa dan bersumpah kepada

orang yang ingkar‛.

18Ordinan 43 Keluarga Islam Negeri Sarawak Tahun 2001, Bab. 43.

(57)

kesan-kesan kepada sumpah tersebut, kesan-kesan daripada sumpah tersebut ialah jika ada daripada keterangan Plaintif yang ditolak, Defendan tidak sanggup bersumpah. Sekiranya Plaintif sanggup berumpah setelah diterangkan dan dinyatakan semua kesan-kesan sumpah tersebut, maka lafaz cerai yang dijatuhkan keatas isteri disabitkan oleh pihak Mahkamah.

Setelah selesai semua sebutan dan perbincangan antara Hakim, Plaintif, Defendan dan saksi, Hakim akan memutuskan dengan mengeluarkan perintah kepada pihak Plaintif dan Defendan.

Keputusan dan perintah Mahkamah, sebagai contoh seperti berikut: Setelah mendengar keterangan Plaintif dan Defendan saya berpuas hati terhadapnya dan berpendapat tidak ada halangan untuk saya memutuskan seperti berikut:20

1. Saya sabitkan lafaz talak satu tarikh 1/1/2012 hari sabtu 11 malam bertempat di tempat kediaman di Jalan Ceng yang

berbunyi ‚aku ceraikan kau‛ sebagai lafaz talaq yang sah yang

memenuhi kehendak Hukum Syarak. Maka dengan itu saya jatuhkan talaq satu, kali pertama ke atas Mina bin Ali pada 1/1/2012, mengikut Seksyen 55, Ordinan Undang-Undang Keluarga Islam, 2011 yang dibaca bersama Seksyen 138 (2) Ordinan yang sama.

(58)

51

2. Saya perintahkan perceraian di antara Plaintif dan Defendan dilapor dan didaftarkan di Jabatan Agama Islam Sarawak, sijil perkawinan hendaklah diserahkan kepada pihak yang sama.

3. Tindakan Susulan Selepas Berlaku Perceraian

Perceraian yang dilakukan di luar Mahkamah dan tanpa izin Mahkamah yang dilakukan oleh pasangan yang ingin melakukan perceraian akan menyebabkan pihak-pihak tersebut melakukan kesalahan karena melafazkan talak bukan di dalam Mahkamah. Setiap pasangan yang berkemungkinan melakukan perceraian perlu melafazkan talaq di hadapan Hakim dan Mahkamah mengikut prosedu-prosedur yang telah ditetapkan.

Justeru dengan itu, pihak suami yang melafazkan talaq di luar Mahkamah adalah bersalah karena menceraikan isterinya di luar Mahkamah. Pihak Pendakwa daripada Bahagian Pendakwaan Jabatan Agama Islam Sarawak. Suami tersebut akan didakwa di bawa Seksyen 128, Ordinan Undang-Undang Keluarga Islam, 2001. Jika sabit kesalahan, dapat dibuktikan dan disemak segala latar belakang dan keterangan orang yang didakwa, dan wujud kesalahan yang dilakukan. Pihak suami boleh dihukum sanksi tidak ,elebihi RM 1000.00 atau penjara tidak melebihi enam bulan atau kedua-duanya sekali megikut budibicara pihak Mahkamah Syari’ah.21

C. Studi Kasus Lafaz Cerai di Luar Mahkamah

Referensi

Dokumen terkait

bahwa mahasiswa sangat respon dengan LKS yang dikembangkan, dimana mahasiswa menilai bahwa LKS dapat membantu mereka dalam belajar dengan pendekatan problem based

Berdasarkan pendekatan masalah di atas, maka masalah yang dapat diidentifikasikan adalah sebagai berikut: (1) Seberapa besar kecernaan bahan kering, bahan organik dan protein

secara langsung terhadap pertumbuhan aset dan secara tidak langsung melalui kesempatan inves- tasi. Pada sebelum krisis baik pengaruh langsung maupun tidak langsung terbukti,

Dari pengamatan penulis di lapangan juga didapat bahwa Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja pemerintah dalam penanggulangan bencana pada Badan Penanggulangan Bencana

Dengan Nilai koefisien determinasi R = 50,13% menunjukkan bahwa kontribusi Kepuasan Kerja Terhadap Turnover Intention Pengemudi Blue Bird pada PT Blue Bird Pool Ciputat

DGDODKSHQ\DNLWJLQMDONURQLNVWDGLXPOLPD 'L 3URYLQVL .DOLPDQWDQ %DUDW NDVXV GLDEHWHV PHOLWXV PHQHPSDWL XUXWDQ NHGXD SHQHPXDQ NDVXV VHWHODK KLSHUWHQVL VHEDJDL SHQ\DNLW WLGDN

“Dia telah menjadikan di bumi ini sebagai sumber daya alam yang sangat memadai untuk segala keperluan manusia, agar manusia mau bersyukur kepada Allah, tetapi sangat sedikit

Penelitian ini menggunakan metode survey dan purposive sampling (pemilihan lokasi berdasarkan tempat pertanaman padi dilingkungan pemukiman dan pinggiran hutan yang