DUKUNGAN KELUARGA, MASYARAKAT DAN
PEMERINTAH TERHADAP GERAKAN STOP
PEMASUNGAN
Penyandang Disabilitas Mental (PDM) khususnya mereka yang mengalami pemasungan sebenarnya masih dapat direhabilitasi atau dipulihkan. Pulih dalam pengertian mandiri, menerima identitas diri, mampu mengontrol diri, rendah potensi relapse dan lebih berbahagia (Yildiz, 2015). Untuk meningkatkan dan mengembalikan pemulihan PDM diperlukan sikap dan dukungan keluarga. Dukungan keluarga yang diberikan pada PDM
berupa dukungan emosional,
dukungan informasional, dukungan
instrumental dan dukungan
penghargaan (Friedman, 1998). Selain itu dukungan masyarakat dan
pemerintah juga ikut membantu pemulihan PDM agar tidak dipasung, atau mengalami pemasungan lagi. Dinosetro (2008), menyatakan bahwa keluarga memiliki fungsi strategis
dalam menurunkan angka
kekambuhan, meningkatkan
kemandirian dan taraf hidupnya serta pasien dapat beradaptasi kembali pada masyarakat dan kehidupan sosialnya. Family caregivers adalah sumber yang sangat potensial untuk menunjang pemulihan PDM (Jenkins, dkk, 2006)
Sementara itu wujud dukungan masyarakat menurut Mental Health First Aid Action Plan dapat berupa : (1) Pendekatan, deteksi, dan membantu pada krisis apapun; (2) Mendengarkan tanpa menghakimi; (3) Memberikan dukungan dan informasi yang tepat; (4) Mendorong penderita untuk mendapatkan bantuan profesional yang sesuai ; (5) Mendorong dengan dukungan lainnya.
Dukungan pemerintah sangat penting dalam kesehatan mental, sekurang kurangnya dalam tiga bidang: (1) memberikan prioritas yang tinggi
dalam penggunaan anggaran
berkaitan dangan kesehatan mental, (2)monitoring dan evaluasi mengenai program-program kesehatan mental yang ada, (3) mendorong dan memberikan dukungan sepenuhnya mengenai penelitian, pendidikan dan pelatihan dalam bidang kesehatan mental (allied mental health) (Patricia A Newton, 1982). Selain itu
pemerintah harus melakukan
kampanye masiv untuk mengedukasi masyarakat mengenai penyakit
P
OLICY
B
RIEF
Peneliti: H
usmiati
,M
ulia
A
stuti,
S
ugiyanto
, I
rmayani
, H
abibullah,
N
unung.
Konsultan:
Dr
.
Hervita Diatri
,
SP. KJ(K)
Penderita Skizofrenia di
Indonesia 249,9 juta jiwa dan
37 juta jiwa (14,8%)
mengalami pemasungan
Korban pemasungan terbanyak pada
kisaran usia 19-55 tahun dan paling
banyak dengan cara dirantai
Keluarga, masyarakat dan
pemerintah adalah
Sumber
yang sangat potensial untuk
menunjang pemulihan
mental, diagnosis, rawatan dan pencegahan.
Merespons fenomena pemasungan di masyarakat, Menteri Sosial pada Rapat Koordinasi Nasional Januari 2016 memutuskan mencanangkan Gerakan Stop Pemasungan (GSP) 2017 yang kemudian direvisi kembali menjadi GSP 2019. Kementerian Sosial bekerjasama dengan beberapa
Kementerian/Lembaga melakukan
Gerakan Stop Pemasungan, yang merupakan salah satu pelaksanaan Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2015 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Azazi Manusia dan Instruksi Presiden Nomor 10 Tahun 2015 tentang Hak Asasi Manusia 2015. Gerakan Stop Pemasungan sebagai sebuah upaya dalam merespons tingginya angka pemasungan bagi penyandang disabilitas mental.
Salah satu langkah strategis yang diambil pemerintah yaitu dengan menandatangani nota kesepahaman (MOU) pada Januari 2017 antara lima kementerian dan lembaga yang terdiri dari Kementerian Sosial, Kementerian Kesehatan, Kementerian Dalam Negeri, Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS). MoU berisi tentang pencegahan dan penanganan pemasungan bagi penyandang disabilitas mental/orang dengan gangguan jiwa.
Kajian ini bertujuan untuk memperoleh data dan menganalisis bagaimana dukungan keluarga, masyarakat dan pemerintah yang diterima oleh PDM dan keluarganya.
Penelitian dilakukan di tiga propinsi yaitu Sumatera Barat, Kalimantan Selatan dan Nusa Tenggara Barat dengan jumlah sampel sebanyak 32 kepala keluarga yang mempunyai anggota keluarga PDM dengan riwayat pemasungan, unsur masyarakat (lurah, RT, RW/kepala lingkungan, tokoh masyarakat, tokoh agama, kader, TKSK, pendamping paca, pekerja sosial) serta unsur pemerintah (Dinsos, Dinkes, Dukcapil, Kepolisian dan BPJS). Penentuan sampel menggunakan teknik purposive sampling. Lokasi penelitian ditentukan dipilih berdasarkan:
1. Data kasus PDM pasung yang cukup tinggi, baik PDM yang sudah lepas pasung maupun masih dipasung.
2. Mewakili tiga wilayah: barat (Propinsi Sumatera Barat), tengah (Kalimantan Selatan), timur (Nusa Tenggara Barat). 3. Mewakili wilayah perdesaan dan
perkotaan.
HASIL PENELITIAN
PDM yang masih dipasung banyak ditemukan wilayah perdesaan seperti halnya dilokasi peneltian di Kabupaten Limapuluh Kota (Sumbar) dan Kabupaten Tapin (Kalsel). Sedangkan wilayah perkotaan di kota
DUKUNGAN KELUARGA
Grafik 1. Dukungan keluarga PDM Secara Umum
Emosional Instrumental Informasional Penghargaan Total
2.68
2.19 2.19 2.27 2.34
Sumber: Hasil Penelitian, 2017 1. Indeks dukungan keluarga pada
PDM yang dipasung di semua jenis dukungan termasuk kategori
rendah (grafik 2) dan selalu lebih
rendah dibandingkan dengan dukungan rata-rata pada PDM secara umum (grafik 1).
2. Indeks dukungan keluarga pada PDM yang tidak dipasung
dikategorikan sedang pada
dukungan instrumental,
informasional dan penghargaan; kategori tinggi pada dukungan emosional (grafik 2)
3. Indeks dukungan keluarga pada PDM yang tidak dipasung di semua jenis dukungan selalu lebih tinggi
(grafik 2) dibandingkan dengan dukungan rata-rata pada PDM secara umum (grafik 1).
4.
5.
Emosional Instrumental Informasional Penghargaan Total
1.73 1.73
1.40 1.59 1.62 3.00
2.34 2.45 2.50 2.58
Pasung Tidak Pasung
Grafik 2
. Dukungan Keluarga PDM Pasung dan Lepas Pasung
6.
7.11. 12. 13. 14. 15. 16. 17.
18. Sumber: Hasil Penelitian, 2017
19. Dukungan Masyarakat
20. Dari hasil penelitian dilapangan ditemukan
bahwa dukungan
masyarakat dipengaruhi tingkat pengetahuan dan
pemahaman tentang
orang dengan gangguan jiwa. Sebagian besar
masyarakat masih
menyetujui adanya
pemasungan dengan
alasan untuk keamanan PDM, keluarga, maupun orang lain. Rendahnya dukungan masyarakat ini
disebabkan karena
mereka belum
memahami cara
pendekatan, pencegahan
dan penanganan
terhadap orang dengan gangguan jiwa
21. 22. 23. 24.
25. 26.
27. Dukungan Pemerintah
28.
29. Matriks Per-area: Sumatera / Kalimantan / Nusa Tenggara
30.
31. B
32.
33.
34. Sektor 35. Keseha
tan
36. 37. Sekt
or 38. Sosia
l
39.
40. Sekt
41.
42. K
43.
44. B
45.
46. R
47.
48. Belum semua provinsi menindak lanjuti MoU GSP. Hanya propinsi NTB memiliki Pergub no. 22 /2013 ttg penanggulangan pasung di propinsi NTB. Untuk tingkat kabupaten baru kabupaten lima puluh kota dalam proses penyusunan Perbup. Sektor kesehatan dan sosial yang mengetahui adanya MoU GSP.
49.
50.
A 51. APBD 52. APBN(dikel ola oleh propi nsi) dan APBD (dikel
53.
B 54.Belu 55.B
56.
”….. support obat hanya salah satu point darir puskesmas…dikasih obat sele-sai tapi tanpa support sosial keliatan tidak manusiawi….harus keduanya ..obat dan support sosial (dari keluarga …diterima apa gak, masy juga menerima atau tidak …belum lagi kasih kerjaan). ODGJ yang punya riwayat penyakit gak mau diterima karena stigma masyarakat..kalo gak diterima ..mereka diku-cilkan. walau dikasih obat …akan kembali kambuh…harus ada perhatian dari keluarga dan masyarakat”.
ola kabu pate n/kot a) utk paca secar a umu m sehin gga angg aran yg terse dia sang at mini m
57.
K 58.59. Kerjasama baru terlaksana di sektor kesehatan dan sektor sosial
60.
61. A
- Penyediaan obat2an di puskesmas, namun belum semua obat yg dibutuhkan tersedia - Melatih petugas
puskesmas untuk penanganan PDM pasung.
- Membentuk kelompok di puskesmas untuk memberikan penyuluhan pada masyarakat 62.
- Pengurusan BPJS, KK/NIK dan rujukan ke RSJ - Pendataan
bekerjasama dengan Dinkes dan RSJ. - Pendampingan
63.
64. B
65.
Mel 66.
67. B
68.
69. S
- Dokter ahli kejiwaan masih kurang
- Petugas puskesmas khusus masalah kejiwaan belum ada
- Pekerja sosial khusus PDM belum ada - Pendamping
khusus PDM belum ada
70. K
71. Belu
72. B
73.
74.
In 75. RSJ, puskes mas
76. PSBL dan LKS
77.
T 78.Tida 79.T
81.
82. Si
83.
84. Berdas arkan lapora n masyar akat, kunjun gan ke puskes mas, dan RSJ serta penjan gkauan .
85.
86. Data diper oleh dari TKSK, RSJ dan Dink es serta penja ngka uan. 87.
88.
89. T
90.
91. Tida
92.
93. T
94.
Kesimpulan
a. Dukungan keluarga PDM pasung rata-rata masih rendah tetapi secara umum sudah dalam kategori sedang.
b. Dukungan keluarga merupakan faktor penting untuk mencegah pemasungan maupun pemasungan kembali
c. Masyarakat masih belum
sepenuhnya memahami tentang PDM dalam upaya penanganan dan pencegahannya. Sehingga belum dapat mendukung Gerakan Stop Pemasungan. Sebagian besar
provinsi belum memiliki regulasi atau kebijakan terkait GSP
d. Belum didukung oleh SDM yang memadai. Masing-masing provinsi memiliki karakteristik SDM yang beraneka ragam dengan jumlah yang dirasakan belum memadai. Karakteristik SDMtentu saja akan berdampak pada peran yang harus dilakukan.
e. Peran 5 lembaga masih minimal, masih terpusat di sektor sosial dan kesehatan
f. Belum adanya regulasi atau
kebijakan yang mantap
mengakibatkan program
pencegahan dan penanggulangan pasung belum memiliki alokasi anggaran.
g. Fasilitas layanan yang tersedia terfokus di puskesmas, RSU, RSJ untuk sektor kesehatan dan panti
sosial atau layanan yang bersifat institusi untuk sektor sosial tidak proporsional dengan jumlah PDM yang ada. Selain itu sarana dan prasarana terkait aktivitas layanan
di komunitas (berbasis
masyarakat) belum banyak teridentifikasi.
h.
i.
j.
Rekomendasi
l.
m.
n.
Untuk melaksanakan
roadmap
diatas perlu dukungan dari :
1. Keluarga
Pengembangan pengetahuan dan kapasitas keluarga dalam merawat dan mengasuh PDM - Edukasi tentang orang
dengan gangguan jiwa - Edukasi tentang cara
merawat, mengasuh dan mengakses layanan untuk PDM
- Dilaksanakan oleh Dinas
Kesehatan bekerjasama
dengan Dinas Sosial dan instansi lainnya seperti BPJS, Dinas Dukcapil, Kepolisian, Dinas Pendidikan, dll.
o.
2. Masyarakat
Sosialisasi dan advokasi pada masyarakat tentang PDM, upaya
pencegahan dan
penanganannya. (Dinas Sosial, Dinas Kesehatan)
Membentuk Kelompok swabantu (Self help group), dimana tiap anggota kelompok saling berbagi masalah atau issue tertentu dengan tujuan untuk
mengembangkan empati
diantara anggota dan
membantu keluarga mengatasi
permasalahannya yang
diselesaikan bersama dalam kelompok (Dinas Sosial)
Membentuk UILS plus (Unit Informasi Layanan Sosial Plus) yaitu pengembangan UILS yang dilengkapi dengan shelter workshop/bengkel kerja/instalasi produksi. Sehingga PDM diarahkan menjadi tenaga kerja yang siap berproduksi. (Dinas Sosial bekerjasama dengan Dinas Kesehatan, Dinas Ketenagakerjaan)
Peningkatan kapasitas pekerja sosial, TKSK dan pendamping PDM (Pusdiklat dan Balai Besar Pendidikan dan Kesejahteraan Sosial Kementerian Sosial)
Pemerintah propinsi dan
Kabupaten/Kota perlu
menindaklanjuti MoU GSP melalui pengembangan dan sinkronisasi kebijakan dan implementasinya di daerah. p.
3. Pemerintah
q. Dilaksanakan oleh Kementerian Sosial, Kementerian Kesehatan, Kementerian Dalam Negeri, Kepolisian, BPJS (Lima KL yang Menandatangani MoU), ditambah KL lain yang terkait.
2017
a. penandatanganan M oU
b. sosialisasi
c. pertem uan kerjasam a d. penyusunan
pedoman dan arah tujuan kerjasam a e. pengembangan sistem data dan inform asi
2018
a. ToT untuk key worker? B. Pelatihan untuk petugas lapangan
C. Pengembangan kapasitas untuk keluarga dan caregiver
D. Pengembangan kapasitas untuk pem im pin
E. Sistem pelatihan dengan pengawasan berjenjang. F. M elaksanakan sistem pelaporan kasus
G. M enyediakan layanan kesehatan m ental (sektor sosial dan kesehatan)
2019
Memberikan prioritas yang tinggi dalam penggunaan anggaran berkaitan dengan GSP Melakukan monitoring dan
evaluasi terhadap program-program terkait GSP
Mendorong dan memberikan dukungan sepenuhnya terhadap penelitian, pendidikan dan pelatihan terkait dengan PDM. Melakukan kampanye masiv
untuk mengedukasi masyarakat mengenai PDM
r. s.
t.
u. Daftar Pustaka v.
y. Barrowclough,C., Tarrier,N. (1990). Sosial functioning in skizophrenia. Sosial psychiatry and psychiatry epidemiology, 25,130-131.
z.
aa. BPS (2015). Kabupaten Tapin Dalam Angka
bb.
cc. Diono, A. (2014). Program Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas dan Pergeseran
Paradigma Penanganan Jakarta: Kementerian Kesehatan ii.
jj. Dinosetro (2008). Hubungan antara peran keluarga dan tingkat kemandirian kehidupan sosial bermasyarakat pada klien skizofrenia post perawatan dirumah sakit jiwa Menur.
http://dinosetro.multiply.com/gu estbook?&=&page-=3. Diunduh tanggal 19 April 2017.
kk. ll.
mm. Friedman, M.M. (1998). Family nursing.(4th Ed.). Stamford,
nn.
oo. Friedman. (1998). Keperawatan Keluarga Teori dan Praktek. Edisi 3. Jakarta : EDC
pp.
qq. Hawari, Dadang. (2007). Pendekatan holistic pada gangguan jiwa skizofrenia. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. rr.
ss. Human Rights Watch. 2016. Hidup di Neraka: Kekerasan Terhadap Penyandang
tt. Disabilitas Psikososial di Indonesia. Diakses melalui
http://www.hrw.org, pada
tanggal 29 April 2016. uu.
vv. Husmiati, Masalah Psikososial Keluarga Dan Peranan
Psikoedukasi Dalam Peningkatan Kualitas Hidup Bekas Pesakit Mental. Prosiding seminar internasional SPK-III UPPKS –FPP UMS 2016. Kota Kinabalu, 26-27 Mei 2016
ww.
xx. Ikhsan (2014). Asuhan
keperawatan dalam masalah psikososial pasung pada pasien
gangguan jiwa.
http://ikhsanbeck.blogspot.co.id. Diakses tanggal 13-03-2017. yy.
is needed’, International Journal of Mental Health Systems, 3, 1, p. 14, MEDLINE with Full Text, EBSCO host, viewed 11 September 2014.
ccc.
ddd. Kementerian Kesehatan RI (2010). Profil Kesehatan Indonesia 2009. Pusat Data dan
Surveilan Epidemiologi
Kementerian Kesehatan. eee.
fff. Kementerian Kesehatan RI
(2016). Pedoman
Penanggulangan Pemasungan Pada Orang Dengan Gangguan Charitable Trusts and the John D. and Catherine T. MacArthur Foundation, June 2015.
iii.
jjj. Minas, H dan Diatri,H. (2008). Pasung: Physical restraint and confinement of the mentally ill in the community. International Journal of Mental Health System 2008, 2: 8
kkk.
lll. Nurdiana, Syafwani,
Umbransyah (2007). Peran serta keluarga terhadap tingkat kekambuhan klien skizofrenia.
Jurnal ilmiah
kesehatankeperawatan, vol 3. N0.1.
mmm.
nnn. Oono IP, Honey EJ, McConachie H (2013). Parent-mediated early intervention for young children with autism spectrum disorders. Cochrane Database of
System-atic Reviews.4:CD009774.
doi:10.1002/14651858.CD00977 4.pub2.
ooo.
ppp. Orford. (1992). Community Psychology. Journal of
Community and Applied Social Psychology. Volume 10, Issue 1. January/February. Pages 82–83. qqq.
rrr. Patricia. Newton (1982). The Role Of Federal Government In Mental Health. Journal Of The National Medical Association, Vo. 74. No. 1.
vvv. Setiadi. (2008). Keperawatan Keluarga. Jakarta : EGC
www.
xxx. Sri I dan Raflizar. (2015). Faktor yang Paling Dominan terhadap Pemasungan Orang dengan Gangguan Jiwa di Indonesia. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan – Vol. 18 No. 1 Januari 2015: 11–17
yyy.
zzz. Taylor,S.E. (1995). Health
psychology 3rd edition.
Singapre: Mc Graw Hill. aaaa.
bbbb. Undang-Undang nomor 8 tahun 2016 tentang penyandang disabilitas
cccc.
dddd. Undang-Undang nomor 18 tahun 2014 tentang kesehatan jiwa eeee.
ffff. Undang-undang nomor 11 tahun 2009 tentang kesejahteraan sosial
gggg.
hhhh. Yildiz, Mustafa. (2015). Recovery as process in severe
mental illness. Arch
Neuropsychiatri. Vol 52. iiii.
kkkk. llll. mmmm. nnnn. oooo. pppp. qqqq. rrrr. ssss. tttt. uuuu. vvvv. wwww. xxxx. yyyy. zzzz. aaaaa. bbbbb. ccccc. ddddd. eeeee. fffff. ggggg. hhhhh. iiiii. jjjjj. kkkkk. lllll.
mmmmm. nnnnn. ooooo. ppppp. qqqqq. rrrrr.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial Badan Pendidikan, Penelitian dan Penyuluhan Sosial Kementerian Sosial Republik Indonesia.