• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keefektivan Tiga Teknik Pengendalian Tikus Sawah (Rattus argentiventer Rob & Kloss) di Desa Murante, Kecamatan Suli, Kabupaten Luwu.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Keefektivan Tiga Teknik Pengendalian Tikus Sawah (Rattus argentiventer Rob & Kloss) di Desa Murante, Kecamatan Suli, Kabupaten Luwu."

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

Keefektivan Tiga Teknik Pengendalian Tikus Sawah (Rattus argentiventer Rob & Kloss) di Desa Murante, Kecamatan Suli, Kabupaten Luwu.

Eka Sudartik

Universitas Cokroaminoto Palopo ABSTRAK

Tikus sawah (Rattus argentiventer Rob & Kloss) merupakan organisme Penganggu Utama Tanaman (OPT) padi di Indonesia. Tikus sawah dapat menyerang padi pada setiap stadia tanaman padi, mulai dari stadia persemaian sampai panen. Berdasarkan permasalahan tersebut maka dilakukan suatu percobaan tentang keefektifan tiga teknik pengendalian tikus sawah (R.Argentiventer) di Kabupaten Luwu. Tujuan dari percobaan ini untuk mengetahui salah satu teknik pengendalian tikus yang efektif dalam menekan populasi tikus dan intensitas serangannya pada pertanaman padi. Adapun kegunaan sebagai bahan informasi pada petani dalam rangka mengendalikan tikus pada tanaman padi. Percobaan ini dilaksanakan di Desa Murante, Kecamatan Suli, Kabupaten Luwu, Sulawesi-Selatan, mulai Maret sampai Juli 2011. Percobaan ini menggunakan metode pengendalian tikus dengan empat perlakuan dan tiga ulangan, rancangan perlakuannya yaitu P1: kontrol, P2: Trap Barrier Sistem ( TBS ), P3: Perangkap Bubu Liniear (SPBL), dan P4: pengemposan asap belerang pada lubang aktif di lahan sawah. Masing- masing perlakuan menggunakan hamparan padi seluas 100 ha jarak antara perlakuan satu dengan yang lain adalah 1,5 km dan jarak antara ulangan 50 m. Pengamatan di lakukan mulai 14 hari setelah tanam sampai panen dengan parameter pengamatannya adalah 1) Populasi tikus terperangkap pada perlakuan Sistem Perangkap Bubu Linear (SPBL) dan perlakuan Trap Barrier sistem (TBS), serta 2) Populasi tikus mati karena pengemposan yang diamati setiap minggu. Pengamatan intensitas serangan tikus dilakukan dengan berjalan dari sudut petakan sawah ke sudut yang lain, kemudian setiap sepuluh langkah diamati rumpun yang terserang. Jumlah tikus yang terperangkap pada perlakuan Trap Barrier Sistem (TBS) lebih banyak dari jumlah tikus yang terperangkap pada perlakuan Pengemposan, Sistem Perangkap Bubu Linear (SPBL) yaitu berkisar 413 ekor. sehingga ini memperlihatkan bahwa pemanfaatan Trap Barrier Sistem (TBS) lebih efektif dibandingkan dengan ke tiga perlakuan lainnya. Intensitas rata–rata serangan tikus terendah terdapat pada perlakuan Trap Barrier Sistem (TBS) yaitu 0.94%. Sedangkan rata-rata intensitas serangan tikus tertinggi yaitu pada lahan Kontrol yaitu sebesar 30%. Rata-rata hasil produksi tertinggi terdapat pada perlakuan Trap Barrier Sistem (TBS) yaitu 6.76 ton/ha dan produksi terendah pada perlakuan Kontrol yaitu sebesar 2.96 ton/ha.

(2)

ABSTRAK

Rice field rat (Rattus argentiventer Rob & Kloss) is one of the major rice pests in Indonesia. The rat can cause economic damages to rice in all of its growth stages, from seddling to harvest. The main objective of this study was to determine the effectiveness of three control methods to suppress the rat population. The study was conducted in Desa Murante, Kecamatan Suli, Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan, from March to July 2011. The experiment consisted of three rat methods : Trap Barrier System (TBS) (P2), Liniear Bubu Trap (SPBL) (P3), fumigation of sulfuric fume in active rat holes (P4), and untreated control, Each treatment was applied in an area of about 100 ha and distance between treatment site was about 1.5 km and there was 50 m space between replications. Observations were begun 14 days after treatment application to determine : 1) the number of rats trapped in TBS, SPBL, and the number of dead rats due to fumigation :and 2) rat damage to crops by walking from one corner to another corner of the field and every ten steps the number of damaged hills were counted . The number of rats trapped in PBL (413 rats) was higher than in SPBL and of those killed in fumigation. The intensity of crop damaged by rat was lower in SPBL (0.94%)compared to the orther treatments. The highest damage was found in control (30%). The highest yield was obtained from TBS treatment (6.76 ton/ha) and the lowest was in control (2.97 ton/ha).

Key words: Traps, Luwu, Rattus argentiventer

PENDAHULUAN Latar Belakang

Tikus sawah (Rattus

argentiventer Rob & kloss) sampai

saat ini merupakan organisme

Penganggu Utama Tanaman (OPT) padi di Indonesia. Serangan tikus dapat di jumpai pada pertanaman padi daerah dataran tinggi, dataran rendah dan daerah pasang surut. Kerusakan yang di akibatkan tikus

tidak hanya di jumpai pada

pertanaman padi di sawah tetapi juga termasuk di dalam penyimpanan (Anonim, 2011).

Tikus sawah dapat

menyerang padi setiap stadia

tanaman padi, mulai dari stadia persemaian sampai panen dan tingkat kerusakan tanaman padi yang di

akibatkannya bervariasi, pada setiap stadia tanaman tergantung dari tinggi rendahnya populasi tikus yang ada dan juga oleh nilai kandungan nutrisi

dari masing – masing stadia

tanaman, karena tikus mempunyai kemampuan untuk memilih makanan yang paling disukai ( Anonim, 2011 ).

Tingkat kerusakan tanaman padi yang disebabkan tikus tidak terjadi secara tiba-tiba, kecuali kalau terjadi tingkat populasi yang tinggi, sehingga keadaan tersebut dapat

memungkinkan berlangsungnya

migrasi tikus secara besar besaran ke tempat yang lain.

Tindakan pengendalian tikus yang umumnya dilakukan petani di Kabupaten Luwu seperti penggunaan

(3)

rodentisida dan pengendalian dengan menggunakan musuh alami, tetapi cara itu hasilnya tidak efektif.

Berdasarkan data dari

Instalasi Pengamatan Peramalan &

Pengendalian Organisme

pengganggu tanaman (IP3 OPT Luwu), data luas serangan tikus tanaman padi musim tanam tahun 2010 di Kabupaten Luwu, di

laporkan mencapai 6.192 ha

terserang hama tikus, 200 ha di antaranya tanaman padi mengalami puso, dari luas pertanaman padi sekitar 20.000 ha terdapat kisaran intensitas serangan 15 – 20%. Tingkat kehilangan hasil yang di derita oleh petani mencapai Rp. 13, 545 milyar atau setara 5.418 ton gabah. (Anonim 2010).

Tindakan pengendalian tikus

yang pernah dilakukan dalam

hubungan itu telah dilaksanakan

percobaan dan pengembangan trap

barrier system (TBS) atau sistem

rintangan perangkap (SRP) di

berbagai kabupaten di Sulawesi Selatan (Tandiabang et al., 1995; Singleton et al., 1999; Baco dan Tandiabang, 2003; Manwan et al., 2005; Mansyur, Annie dan Agus, 2003). Metode pengendalian lain

yang dilakukan yaitu dengan

menggunakan pengemposan ( Tiran ) yang dilakukan petani di Kabupaten Luwu telah dilakukan. Selain metode tersebut Pengendalian Tikus Sawah dengan Sistem Perangkap Bubu Linear (SPBL) dan Jala pada 3 Zona Habitat Tikus di Pinrang, Sulawesi Selatan ( Muslimin, 2010).

Dari semua informasi ketiga

pengendalian tersebut semuanya

terbilang efektif, berdasarkan

permasalahan tersebut maka perlu dilakukan suatu percobaan untuk

mengetahui yang mana lebih efektif dari ketiga teknik pengendalian tikus sawah di Kabupaten Luwu.

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu

Percobaan ini dilaksanakan di Desa Murante, Kecamatan Suli, Kabupaten Luwu, Sulawesi-Selatan mulai Maret sampai Juni 2011.

Metode Pelaksanaan

Percobaan ini menggunakan metode pengendalian tikus dengan Trap Barier System ( TBS ), Perangkap Bubu Liniear (SPBL), dan pengemposan asap belerang pada lubang aktif di lahan sawah.

Masing- masing perlakuan

menggunakan hamparan padi seluas 100 ha, jarak antara perlakuan satu dengan yang lain adalah 1.5 km, jarak antara ulangan 50 m sehingga

luas lahan keseluruhan yang

digunakan untuk percobaan adalah seluas 300 ha, perlakuan yang dicobakan sebagai berikut :

P1 = Kontrol

P2 = Trap Barrier System (TBS) P3 = Sistem Perangkab Bubu Linear ( SPBL )

P4 = Pengemposan asap belerang.

Percobaan ini terdiri dari 4 perlakuan dan 3 ulangan sehingga terdapat 12 unit satuan percobaan. Rancangan yang digunakan pada percobaan ini adalah rancangan acak kelompok ( RAK) dan dilanjutkan dengan uji BNT.

TBS dibuat dengan

(4)

60 cm, kemudian di tempatkan di tepi petakan sawah yang telah di

tanami padi varietas Ciherang

sebagai tanaman perangkap. Varietas itu di tanam 2 minggu lebih awal sebelum tanaman di sekelilingnya ditanam. Di sisi bagian luar pagar plastik dibuatkan parit sedalam 0,25 m. Bagian bawah pagar di genangi air, sehingga tikus tidak dapat melubangi plastik atau menggali lubang di bawah perangkap. Setiap sisi TBS di pasang 2 perangkap bubu. ( Agus, 2010 ). (Lampiran gambar 1).

Sistem Perangkap Bubu

Liniear (SPBL) merupakan sistem bentangan pagar plastik sepanjang 100 m, dilengkapi bubu perangkap. Bubu perangkap yang berukuran (25 × 25 × 60) cm, yang terbuat dari ram kawat, bubu perangkap dipasang pada setiap sisi di dalam pagar plastik dengan lubang menghadap keluar.

Pada pertanaman, bubu

perangkap dipasang secara berselang seling sehingga mampu menangkap

tikus dua arah. SPBL dapat

menangkap tikus migran dari sekitar persawahan, SPBL dibuat dengan menggunakan pagar plastik setinggi 50 cm yang di tegakkan dengan ajir bambu pada setiap jarak 1 m.

Di sisi (bagian) luar pagar plastik di buatkan parit sedalam 0,25 m. Bagian bawah pagar di genangi air, sehingga tikus tidak dapat melubangi plastik atau menggali lubang di bawah perangkap.

Pemasangan perangkap bubu

dilakukan dengan jarak 20 m sehingga setiap perlakuan SPBL terdapat 10 bubu perangkap. ( Lampiran, gambar 3).

Pengemposan asap belerang dilaksanakan dengan cara mencari lubang aktif di pematang dan saluran irigasi sekitar pertanaman

tempat petak perlakuan.

Pengemposan yang digunakan adalah Tiran 58 PS. Proses pengemposan dilakukan dengan membakar sumbu

Tiran, setelah terbakar Tiran

kemudian di masukkan ke dalam lubang tikus kemudian lubang tikus di tutup dengan tanah, agar asap belerang tidak keluar sehingga tikus yang ada di dalamnya akan susah bernafas dan 5 menit kemudian akan mati. Setelah itu lubang tikus di gali untuk menghitung tikus yang mati di dalam lubang. (Anonim, 2010 ). ( Lampiran gambar 9).

Parameter Pengamatan

Pengamatan di lakukan mulai

14 HST (Hari Setelah Tanam)

sampai panen dengan parameter pengamtannya adalah 1) Populasi tikus terperangkap pada perlakuan Sistem Perangkap Bubu Linear (SPBL) diamati setiap hari, 2) Populasi tikus yang terperangkap pada perlakuan Trap Barrier sistem (TBS), 3) Populasi tikus mati karena pengemposan yang diamati setiap

minggu. Pengamatan intensitas

serangan tikus dilakukan dengan berjalan dari sudut petakan sawah ke sudut yang lain, kemudian setiap sepuluh langkah diamati rumpun yang terserang.

Penentuan intensitas serangan

tikus dapat dihitung dengan rumus kerusakan mutlak (Ati Wasiati, 2008).

a

I =



x 100 %

(5)

Keterangan :

I = Intensitas serangan (%) a = Banyaknya batang / anakan yang rusak mutlak

b = Banyaknya batang / anakan yang tidak rusak mutlak (sehat).

• Pengubinan Produksi di

lakukan dengan cara

mengambil sampel ubinan di petak pengamatan dengan ukuran 2.5 x 2.5 m.

HASIL DAN PEMBAHASAN Jumlah Tikus yang Terperangkap Pada Tiap perlakuan

Hasil pengamatan rata-rata persentase populasi tikus sawah dari umur 14 sampai 91 hst dapat dilihat pada Tabel 1 dan analisis sidik ragamnya dapat dilihat pada (Tabel

Lampiran 13-27).

Tabel 1. Rata-rata Populasi Tikus yang Terperangkap Pada Tanaman Padi Pada setiap perlakuan dari umur tanaman 14 sampai 91 hari HST, setelah di transformasi ke √ (x + 1).

Keterangan : X : Data Sebelum Transformasi Y : Data Setelah Transformasi Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda

nyata pada Taraf Uji BNT (0,05

Gambar 1 Rata-rata Fluktuasi Populasi Tikus yang Terperangkap Pada Tanaman Padi Pada setiap perlakuan dari umur tanaman 14 sampai 91 hari HST Tabel 1 terlihat bahwa

rata-rata jumlah populasi tikus yang terperangkap pada Trap Barrier

Sistem (TBS) umur 21 hst mencapai 14 ekor. Pada perlakuan Trap Barier

Sistem (TBS) populasi tikus

Perlakuan Hari Setelah Tanam (HST) Total

14 21 28 35 42 49 56 63 70 77 84 91 TBS X 11.67 14.00 11.67 4.67 2.00 1.00 1.67 18.67 23.33 27.33 13.67 8.33 138,06 Y 3.55c 3.87c 3.50 c 2.37 c 1.72ª 1.38ª 1.58ª 4.41 c 4.92c 5.32 c 3.80 c 3.02c SPBL X 4.33 7.67 5.67 2.33 1.00 0.67 0.33 5.33 7.67 11.00 4.33 3.00 53,33 Y 2.29b 2.94b 2.57 b 1.82 b 1.33ª 1.24ª 1.14ª 2.51 b 2.92b 3.44b 2.29b 1.99 b Pengemposan X 1.00 2.33 1.50 0.00 7.00 5.00 14.33 19.67 26.33 27.00 11.00 18.33 133,49 Y 1.33 a 1.73a 1.33 a 1.00ª 2.80 b 2.39 b 3.89 b 4.55 c 5.21 c 5.29c 3.45 c 4.38d NP BNT 0,05 0.70 0.85 0.72 0.30 0.81 0.72 0.84 0.65 0.81 0.80 0.61 0.61 0,00 5,00 10,00 15,00 20,00 25,00 30,00 14 21 28 35 42 49 56 63 70 77 84 91 Po p u la si ( Eko r)

Pengamatan (Hari Setelah Tanam)

Kontrol TBS SPBL

(6)

menurun hingga umur 56 hst yaitu hanya 1.67 ekor. Tingginya rata-rata populasi tikus yang terperangkap pada perlakuan Trap Barrier Sistem (TBS) yaitu pada umur 21 hst hal ini disebabkan karena pada perlakuan Trap Barier Sistem telah dilakukan

penanaman lebih awal sebagai

tanaman perangkap, selain itu pada umur 21 hst tanaman perangkap mulai berbentuk malai sehingga

menarik perhatian tikus untuk

memakannya. Tikus yang masuk ke dalam perangkap itu akan masuk melalui lubang bubu yang terpasang sehingga tikus terperangkap, dengan demikian maka tanaman yang berada disekitarnya atau tanaman yang ditanam lebih lambat akan bebas dari serangan tikus atau paling tidak populasi hama tikus akan menjadi berkurang.

Rata-rata populasi tikus yang

terperangkap mengalami

peningkatan pada umur 63 hst dan mencapai puncaknya pada umur 77

hst pada semua perlakuan.

Terjadinya peningktan rata-rata

populasi tikus yang terperangkap

pada umur tanaman tersebut

disebabkan karena tanaman padi telah memasuki stadia generatif. Puncak kehamilan tikus sawah selalu bersamaan dengan stadia bunting tanaman padi. Pada daerah yang pola tanam padinya sepanjang tahun

maka, puncak reproduksi tikus

terjadi 2 kali dalam setahun. Dengan demikan apabila waktu tanam padi dilakukan secara serentak untuk wilayah yang luas maka puncak reproduksi tikus hanya terjadi 1 kali dalam setahun. Pada daerah yang

wilayah pola tanamnya tidak

serentak pola reproduksi tikus juga tidak teratur atau dengan kata lain

tikus sawah akan berkembangbiak sepanjang tahun, apabila didukung dengan habitat iklim mikro yang sesuai.

Rata-rata populasi tikus yang terperangkap tertinggi pada umur 77 hst adalah 27.33 ekor pada perlakuan

Trap Barier Sistem (TBS)

Pengemposan (27 ekor) dan Sistem Perangkap Bubu linear (11 ekor),

tingginya populasi tikus yang

terperangkap pada umur tanaman 77 hst adalah akibat adanya migrasi tikus yang mencari makanan secara berkelompok maupun individu. Hal ini sesuai dengan (Annie dan Sama,

1998), bahwa tikus dapat melakukan migrasi atau berpindah ke tempat lain yang mempunyai persediaan makanan dalam jumlah yang cukup baik secara sendiri-sendiri maupun secara berkelompok, kalau daerah

yang ditempatinya sudah tidak

tersedia makanan. Tikus dapat menjelajah pada jarak tempuh 30-200 m, tetapi pada waktu persediaan makanan berkurang atau terjadi bencana, tikus dapat melakukan migrasi atau berpindah ke tempat lain pada jarak 700 meter bahkan dapat mencapai 1-2 km.

Pada Gambar 1 terlihat rata-rata populasi tertinggi tikus kedua yaitu pada Perlakuan pengemposan adalah 27 ekor. Menurut Priyambodo 1995, bahwa puncak produksi tikus selalu bersamaan dengan stadia

bunting tanaman padi. Tikus

mempunyai potensi untuk

berkembangbiak cepat sehingga

populasi akan meningkat dengan cepat dalam waktu singkat. Karena faktor di antaranya, masa buntingnya singkat yaitu 23 hari, induk betina mampu kawin dalam waktu 48 jam

(7)

menyusui dan hamil dalam waktu yang bersamaan, sehingga dalam 1 sarang tikus , seekor induk betina sering ditemukan bersamaan dengan 2-3 generasi anak-anaknya . Selain itu faktor lain yang menyebabkan

tingginya populasi tikus pada

pengemposan disebabkan karena

pola tanam yang tidak serentak dan pada areal pengamatan sebagian besar ukuran pematang sawahnya berukuran lebar yaitu berkisar 70 cm, sehingga memudahkan tikus untuk membuat lubang dan bersarang didalamnya.

Tikus sawah biasanya

membuat lubang pada pematang sawah yang berukuran lebar yang

berdekatan dengan saluran irigasi. Pada periode tidak tersedia makanan atau banjir, lubangnya ditinggalkan dan apabila tersedia lagi makanan,

lubang akan kembali terisi.

Pengendalian tikus dengan

Pengemposan merupakan sistem

pengendalian hama yang berada didalam sarang (Lubang pematang sawah) dengan cara memasukkan Pengemposan kedalam lubang aktif tikus. (Agus, 2010).

Rata-rata populasi tikus

terperangkap tertinggi pada

perlakuan Trap Barrier Sistem adalah 27.33 ekor dan tertinggi kedua pada perlakuan Pengemposan adalah 27 ekor.

Intensitas Serangan Tikus

Hasil pengamatan rata-rata persentase intensitas serangan tikus dari umur 14 sampai 91 hst dapat dilihat pada Tabel 2 dan analisis sidik ragamnya dapat dilihat pada (Tabel Lampiran 1-12).

Keterangan : X : Data Sebelum Transformasi Y : Data Setelah Transformasi Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda

nyata pada Taraf Uji BNT (0,05) .

Perlakuan Hari Setelah Tanam (HST) Total

14 21 28 35 42 49 56 63 70 77 84 91 TBS X 0.27 0.94 0.51 0.50 0.46 0.82 0.48 0.16 0.64 0.99 0.33 0.17 6,27 Y 6.41c 7.80d 6.88c 6.96c 6.78c 7.73b 6.81b 6.15c 7.27c 8.03b 6.59b 6.17 b SPBL X 6.78 12.00 6.07 6.62 8.60 7.13 3.76 4.25 5.94 9.84 2.22 1.00 74,21 Y 16.05 b 21.12 b 15.37 b 15.62 b 17.92 b 16.35a 12.54 b 13.21 b 15.21 b 18.51 a 9.55b 8.00 b Pengemposa n X 6.60 6.57 4.14 3.55 3.16 3.81 2.57 4.31 5.43 2.28 1.97 1.00 45,39 Y 15.92 b 15.89 c 14.40 b 12.23 b 11.66 b 12.50a b 10.71 b 13.27 b 14.47 b 10.41 b 9.74b 8.08 b NP BNT 0,05 4.84 4.41 1.82 4.99 6.34 4.84 3.95 6.2 5.10 7.79 2.98 2.48

(8)

Gambar 2 Rata-rata Persentase (%) Intensitas Serangan Tikus terhadap Tanaman Padi pada setiap perlakuan dari umur tanaman 14 sampai 91 hari HST

Tabel 2 Menunjukkan bahwa rata-rata intensitas serangan tikus pada semua pengamatan berkisar antara 0.27% - 12%. Rata-rata intensitas tertinggi pada perlakuan SPBL (System Perangkap Bubu Linear) yaitu sebesar 12% menyusul perlakuan Pengemposan yaitu 6.60% dan intensitas serangan terendah terjadi pada perlakuan Trap Barrier Sistem yaitu 0.27%. Terjadinya tingkat serangan yang tertinggi pada perlakuan SPBL (Sistem Perangkap Bubu Linear) Hal ini disebabkan oleh adanya populasi tikus pada sekitar pertanaman yang berasal dari

perkampungan dan lebih dulu

merusak sebelum terperangkap.

(Karim, 2003) mengemukakan

bahwa sistem perangkap Bubu

Linear (SPBL) digunakan untuk

menangkap tikus migran yang

berasal dari sekitar sawah bera, perkampungan atau saluran irigasi.

Selain itu fungsi dari Sistem

Perangkap Bubu Linear (SPBL)

yaitu merupakan sistem

pengendalian tikus yang hanya

mampu menangkap tikus migran dari dua arah, sehingga tikus yang berasal dari arah lain masih bisa merusak pertanaman.

Pada Gambar 2 menunjukkan bahwa intensitas serangan tikus mulai tampak pada umur tanaman 14 hst . rata-rata intensitas serangan tikus tertinggi terlihat pada kontrol dengan intensitas serangan sebesar 2.04% - 29.14 %. Intensitas serangan

tertinggi kedua terlihat pada

perlakuan Sistem Perangkap Bubu Linear (SPBL) yaitu 12% dan

Pengemposan sebesar 6.60%

sedangkan pada perlakuan TBS

intensitas serangannya berkisar

0.27%. Intensitas serangan tertinggi terlihat pada Kontrol yaitu mulai terjadi pada umur 14 hst dan terus mengalami peningkatan sampai umur tanaman mencapai 35 hst dengan intensitas serangan sebesar 29.14%, hal ini disebabkan karena tidak

adanya penghalang fisik untuk

mengendalikan hama tikus.

Intensitas serangan tikus

mulai mengalami peningkatan pada

0,00 5,00 10,00 15,00 20,00 25,00 30,00 35,00 14 21 28 35 42 49 56 63 70 77 84 91 In ten si ta s S er an ga n ( %)

Pengamatan (Hari Setelah Tanam)

Kontrol TBS SPBL

(9)

umur tanaman 21 hst. Pada perlakuan Sistem Perangkap Bubu Linear (SPBL) terlihat intensitas serangan tikus berkisar antara 1 % - 12%. Hal ini disebabkan oleh adanya

populasi tikus pada sekitar

pertanaman yang berasal dari

perkampungan dan lebih dulu

merusak sebelum terperangkap.

(Karim, 2003) mengemukakan

bahwa sistem perangkap Bubu

Linear (SPBL) digunakan untuk

menangkap tikus migran yang

berasal dari sekitar sawah bera, perkampungan atau saluran irigasi.

Pada umur tanaman 35 - 42

hst, pada perlakuan Sistem

Perangkap Bubu Linear (SPBL) rata-rata intensitas serangan tikus pada tanaman padi kembali mengalami peningkatan hal ini disebabkan karena fungsi dari Sistem Perangkap

Bubu Linear (SPBL) yaitu

merupakan sistem pengendalian tikus yang hanya mampu menangkap tikus migran dari dua arah, sehingga tikus yang berasal dari arah lain masih bisa merusak pertanaman. Intensitas serangan tikus pada umur tanaman padi 43 hst mengalami penurunan sampai pada umur 56 hst , hal ini

disebabkan populasi tikus

terperangkap mengalami penurunan. Selain itu diduga tikus sedang

bunting dan sebahagian besar

beristirahat sambil memelihara

anaknya di dalam sarang. (Anonim, 2010).

Intensitas serangan tikus mulai mengalami peningkatan pada umur 57 - 77 hst pada perlakuan Sistem perangkap Bubu Linear (SPBL) dan pengemposan, hal ini disebabkan karena padi mulai memasuki fase

generatif yang merupakan fase

tersedianya banyak makanan.

Hasil Produksi Berat Gabah Kering Panen Tanaman Padi (ton/ha).

Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji BNT (0,05). (NP BNT 0.48).

Rata-rata produksi berat

gabah kering panen dari masing-masing perlakuan dapat dilihat pada Tabel 3 terlihat bahwa produksi tertinggi pada perlakuan Trap Barier Sistem (TBS) yaitu 6.76 ton/ha dan

yang terendah pada Kontrol yaitu 2.96/ha. ( Tabel lampiran 27a ).

2,96 6,76 4,69 5,46 0,00 1,00 2,00 3,00 4,00 5,00 6,00 7,00 8,00 Kontrol TBS SPBL PENGEMPOSAN R ata -r ata Pr o d u ksi (To n /H a) Perlakuan a c b d

(10)

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

Dari ketiga jenis

pengendalian yang dilakukan maka

dapat disimpulkan bahwa

pengendalian dengan Trap Barrier Sistem (TBS) merupakan teknik pengendalian yang paling efektif

dibanding dengan teknik

pengendalian Sistem Perangkap

Bubu Linear (SPBL) dan teknik pengendalian Pengemposan.

Intensitas serangan tikus

terendah terdapat pada perlakuan Trap Barier Sistem yaitu (0,94%), menyusul perlakuan Pengemposan (6.60%) dan Sistem Perangkap Bubu Linear (12%).

Produksi tertinggi terdapat pada perlakuan Trap Barrier Sistem

(TBS) 6.76 ton/ha, menyusul

perlakuan Pengemposan yaitu 5.46

ton/ha dan perlakuan Sistem

Perangkap Bubu Linear (SPBL) yaitu 4.69 ton/ha, dan produksi terendah terdapat pada perlakuan Kontrol.

Saran

Perlu adanya penelitian lanjutan tentang efisiensi biaya sarana dari ketiga perlakuan Trap Barier System, Sistem perangkap

bubu linear dan pengemposan.

Disarankan untuk penerapan di

lapangan ( petani ) dalam

pengendalian tikus tanaman padi dapat menggunakan Trap Barier system dan dipadukan dengan teknik pengendalian yang lain.

Daftar Pustaka

Anonim, 1989. Petunjuk

Pengendalian Tikus.

Direktorat Jenderal

Tanaman Pangan dan

Hortikultura . Direktorat

Bina Perlindungan

Tanaman. Jakarta.

______, 1994. Pengenalan dan

Pengendalian OPT Padi.

Direktorat Jenderal

Tanaman Pangan. Proyek

dan Hortikultura. Bina

Perlindungan Tanaman

Pangan. Jakarta.

______, 2010. Data Luas Serangan Hama Tikus MT. 2010 Tanaman Padi. Instalasi Pengamatan Peramalan &

Pengendalian Organisme

pengganggu tanaman.

Kabupaten Luwu.

______, 1983. Field Problems of Tropical Rice. International Rice Research Institute. Los

Banos Philipine. 172pp. ______, 2011. Identifikasi Tikus Sawah. http://www.TikusSawah -Indonesia.com/tikus/indekx tikusinfo.htm. Online 20 Maret 2011.

______, 2011. Tikus Sawah ( Rattus

argentiventer Rob &

Kloss). http://www.

Pomoeda_pemoedie.

Blogspot.com. Online 20 Maret 2011.

Ati wasiati, 2008. Pedoman

(11)

Perlindungan Tanaman

Pangan. Direktorat

perlindungan tanaman

pangan . Jakarta.

A.P. Saranga, N. Agus. 2003.

Pemanfaatan Sistem

Rintangan Perangkap (Trap

Barrier System) untuk

Pengendalian Tikus Sawah (Rattus argentiventer Rob & Kloss). Jurusan Hama dan

Penyakit Tumbuhan

Universitas Hasanuddin. 26 hal.

Baco, D. and J. Tandiabang. 2003a.

Implementation of Rat

Control by Farmer in

Pinrang, South Sulawesi.

Paper presented at the 2nd International Conference on

Rodent Biology and

Management, 10–14

February 2003 at Discovery Center, CSIRO Canberra. Baco, D., M. Assaad, M. Rasak,

Arafah, N. Djafar, G. Aidar dan Warda. 2003b. Dampak Pengkajian dan Penerapan

Teknologi Pengendalian

Tikus di Sulawesi Selatan. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan. Makassar.

Gallagher, K. 1998. Pengendalian Hama Terpadu untuk Padi: Suatu Pendekatan Ekologi.

Program Nasional

Pengendalian Hama Terpadu. Jakarta.

Hafidzi, M.N and M. Na’im. 2003. The Use of the Barn Owl (Tito alba) to Suppress Rat

Damage in Rice Field in Malaysia. In G.R. Singleton, L.A. Hinds, C.J. Krebs and D.M. Spratt (eds). Rat, Mice and People: Rodent Biology and Management. ACIAR Monograph No. 96:274–276. Harsiwi T., J. Priyono, O Murakami.

1989. Tikus. Makalah pada Lokakarya Tingkat Nasional Pengamatan dan Peramalan

Organisme Pengganggu

Tanaman Juli–September

1989. Direktorat

Perlindungan Tanaman

Pangan. 75 hal.

Kalshoven, L.G.E. 1981. The Pests

of Crops in Indonesia

(revised and translated by V.D. Laan). PT Ichthiar Baru - Groven Hage. 702pp.

Mansyur, 2009. Pemanfaatan

Perangkap Tikus TBS ( Trap Barier

System ) untuk Mengendalikan

Tikus Sawah. Universitas

Hasanuddin. Makassar.

Manwan, I., 2005. Penelitian dan

Pengembangan Sistem

Inovasi Teknologi. Badan Tanaman Pangan Sulawesi Selatan, Pemerintah Provinsi

Sulawesi Selatan; Badan

Litbang Departemen

Pertanian, Universitas

Hasanuddin. hal 139–145.

Mangundihardjo, S. and F.X.

Wagiman .2003. Commercial Use of Rats of Born Owls in

Rat Management. In G.R.

Singleton, L.A. Hinds, C.J. Krebs and D.M. Spratt (eds). Rat, Mice and People: Rodent Biology and Management.

(12)

ACIAR Monograph No.96:304–305.

Muslimin, 2010. Pengendalian Tikus

Sawah (Rattus

argentiventer) dengan

Sistem Perangkap Bubu Linear (SPBL) dan Jala pada 3 Zona Habitat

Tikus di Pinrang,

Sulawesi Selatan.

Universitas Hasanuddin

Makassar.

Priyambodo, S., 1995. Pengendalian

Hama Tikus Terpadu.

Penebar Swadaya. Bogor. Hal 5-28.

Rochman dan Sukarna. D, 1991. Pengendalian Hama Tikus.

Padi Buku 3. Badan

Penelitian dan pengembangan Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor.

Rismunandar. 1981. Hama Tanaman Pangan dan Pembasmiannya. Sinar Baru. Bandung. hal 25–38.

Rochman, 1986. Biologi dan Ekologi Tikus. Khususnya Tanaman

Pangan di Indonesia.

Disampaikan pada Seminar

Penggunaan Klerat RMB

dalam Pengendalian Tikus.

Himpunan Perlindungan

Tumbuhah Indonesia,

Bekerja Sama dengan PT ICI Pestisida Indonesia. Tanggal 27 Maret di Jakarta. Hal. 11 – 28.

Sudarmaji, Rahmini, N.A. Herawati dan A.W. Anggara (2007).

Perubahan Musiman

Kerapatan Populasi Tikus Sawah di Ekosistem Sawah Irigasi. Balai Penelitian

Tanaman Padi.

http://www.puslittan.bogor.ne t. Online 10 Maret 2011.

Sudarmaji. 1995. Penelitian

Pengendalian Tikus dengan

Sistem Pagar Perangkap.

Laporan Hasil Penelitian

Kerja Sama ARMP. Balai Penelitian Tanaman Padi, Sukamandi. 26 hlm.

Sanchez, F. F. dan Beniqno, E. A., 1981. Trends in Rodent Pest

Management. Paper

Presented During The

Symposium on Pest Ecology

and Pest Management

Biotrop in Bogor. Indonesia December ( 3 – 4 ). Pp 5. Saranga, A.S., S.L. Saranga dan S.

Sama. 1998. Pengendalian Tikus pada Tanaman Padi Melalui Gerakan Pemasangan Sejuta Bambu. Makalah pada

Seminar Penelitian

Pendukung PHT, Cipanas. 13 hal.

Sipayung, A. 1992. Prospek dan

Efektivitas Pengendalian

Hayati Tikus. Pros. Seminar Pengendalian Hama Tikus Terpadu. Bogor. h:57–65.

Wolff, J.O. 2003.

Density-dependence and

Socioecology of space use in rodents. In G.R. Singleton, L.A. Hinds, C.J. Krebs and D.M. Spratt (eds). Rat, Mice and People: Rodent Biology

(13)

and Management. ACIAR Monograph No. 96:124–130. .

Gambar

Tabel 1.     Rata-rata  Populasi Tikus yang Terperangkap Pada Tanaman Padi Pada  setiap perlakuan dari umur tanaman 14 sampai 91 hari HST, setelah di  transformasi ke √ (x + 1)
Gambar  2  Rata-rata  Persentase  (%)  Intensitas  Serangan  Tikus  terhadap  Tanaman  Padi  pada  setiap  perlakuan  dari  umur  tanaman  14  sampai  91  hari  HST

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini dapat disimpulkan bahwa fitur-fitur yang independen dapat dibuktikan dalam algoritma klasifikasi menjadi lebih efektif [5] Naïve Bayes tan & Kumar, 2006 merupakan salah

Ips, XI Ipa, Ips, dan XII Ipa, Ips karena seluruh siswa siswi MA Hasyim Asy‟ari menerima pelajaran Aswaja. Wawasan yang dimaksud adalah Pengetahuan siswa-siswi di

1 I Ketut Garwa, SSn.,MSn Perbaikan Proses Produksi Dan Fumigasi Dalam Meningkatkan Kualitas Ekspor Gamelan Bali Ke luar Negeri Seni Karawitan FSP STRATEGIS NAS.

Untuk memulai monitoring, user bisa memilih button “Start”, jika ingin menghentikan user bisa memilih button “Stop”, button “Grafik” untuk menampilkan data secara grafik

Penulisan ilmiah ini bertujuan untuk menyajikan konversi bilangan bulat dan operasi arithmatika pada representasi bilangan bulat dengan sistem bilangan yang berbeda beda

Program – program pembangunan sektor kelautan dan perikanan yang telah dilaksanakan sepanjang tahun 2014 belum sepenuhnya mampu mengurangi. permasalahan tahun 2013

Seperti yang kita ketahui bahwa bahasa Pascal merupakan bahasa pemrograman yang fleksibel, dalam arti dapat digunakan pada banyak bidang sehingga kita bisa mengambil manfaat

Dengan mempertimbangkan berbagai keberhasilan dalam pelaksanaan pembangunan di tahun-tahun sebelumnya, maka peranan tahunan Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air Kabupaten