• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH PEMBERIAN SUPLEMEN VITAMIN B12 TERHADAP SERUM VITAMIN B12 DAN HEMOGLOBIN ANAK PRASEKOLAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGARUH PEMBERIAN SUPLEMEN VITAMIN B12 TERHADAP SERUM VITAMIN B12 DAN HEMOGLOBIN ANAK PRASEKOLAH"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

H

HHAAASSSIIILLLPPPEEENNNEEELLLIIITTTIIIAAANNN

PENGARUH PEMBERIAN SUPLEMEN VITAMIN B12

TERHADAP SERUM VITAMIN B12 DAN HEMOGLOBIN

ANAK PRASEKOLAH

Zulhaida Lubis1, Hardinsyah2, Hidayat Syarief3, Fasli Jalal4, dan Muhilal5 1Program Doktor PS GMK SPS IPB

2Dept. Gizi Masyarakat FEMA IPB

3Dept. Gizi Masyarakat FEMA IPB

4Dirjen Peningkatan Mutu Pendidik dan dan Tenaga Kependidikan Depdiknas dan Fak.

Kedokteran Univ. Andalas Padang 5Fak. Kedokteran UNPAD Bandung

ABSTRACT

This research aimed to analyze prevalence of vitamin B12 deficiency and anemia, and effects of vitamin B12 suplement on vitamin B12 serum and hemoglobin of preschool children. A randomized controlled trial of 32 preschool children (4-6 year) for 6 months was appliad. Subjects divided in to 2 groups, treatment group

(received 10 μg vitamin B12 syrup daily) and control group (placebo).

Consentration of vitamin B12 serum and hemoglobin of children was measured before and after their intervention. The results of research indicate that prevalence of vitamin B12 deficiency and anemia among preschool children was 24,1% and 41.4% respectively. After getting vitamin B12 suplement, vitamin B12 deficiency of treatment group decreased from 26.7% to 0.0%, while in the control group increase from 21.4% to 28.6%. Vitamin B12 suplement influenced vitamin B12 serum level significantly ( p < 0.05). Vitamin B12 serum increase at the treatment

group148.4 ±110.9 pg/ml and only 3.7 ± 12.8 pg/ml at control group. Hemoglobin

concentration was influenced vitamin B12 suplement especially to anemia preschool children.

Keywords: Vitamin B12, Suplement, Hemoglobin, Preschool children PENDAHULUAN

Usia prasekolah adalah bagian dari periode usia dini yang mengalami proses pertumbuhan dan perkembangan pesat dalam siklus kehidupan dan turut menentukan kualitas manusia. Separuh perkembangan kognitif berlangsung dalam kurun waktu antara konsepsi sampai usia 4 tahun, dan 30% berlangsung pada usia 4-8 tahun. Sehingga pada periode ini anak sangat memerlukan gizi yang memadai agar kapasitas otak yang terbentuk dapat maksimum (Gutama 2004).

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan dan perkembangan anak erat kaitannya dengan kekurangan gizimikro.

Defisiensi vitamin B12 berhubungan dengan pertumbuhan dan perkembangan anak melalui perannya sebagai kofaktor dalam beberapa reaksi enzim. Salah satu peran vitamin B12 adalah dalam sintesis hemoglobin dan sel-sel darah merah melalui metabolisme lemak, protein dan asam folat (Wardlaw et al 1992; Brody 1999). Peran vitamin B12 dalam perkembangan anak termasuk perkembangan kognitif diduga melalui fungsinya sebagai kofaktor dalam sistem syaraf pusat (Bryan 2002; Black 2003). Selain itu juga kemungkinan erat kaitannya dengan fungsi vitamin B12 dalam metabolisme asam lemak esensial untuk pemeliharaan myelin. Defisiensi vitamin B12 dalam waktu lama dapat menyebabkan

(2)

kerusakan sistem syaraf yang tidak dapat diperbaiki dan akhirnya dapat menyebabkan kematian sel-sel syaraf. Beberapa penelitian menunjukkan prevalensi defisiensi vitamin B12 cukup tinggi pada anak-anak. Penelitian di Kenya menunjukkan bahwa 80,7% anak sekolah mengalami defisiensi vitamin B12 tingktat berat dan sedang (Siekmann et al. 2003), dan di Guatemala 33% anak usia 5-12 tahun juga mmengalami defisiensi vitamin B12 (Roger 2003).

Vitamin B12 hanya ditemukan dalam pangan hewani seperti daging, susu, dan telur, sehingga diperkirakan anak yang jarang makan makanan tersebut akan mengalami defisiensi vitamin B12. Sumber pangan hewani umumnya relatif lebih mahal dibandingkan dengan pangan nabati, sehingga diperkirakan konsumsi pangan hewani rendah pada keluarga ekonomi rendah. Menurut Hardinsyah (2001), sebagian anak di Indonesia masih mempunyai masalah ketidakcukupan zat gizi mikro, terutama karena kekurangan pangan hewani. Berdasarkan hasil Survei Demografi dan Kesehatan di Indonesia (SDKI 1997) hanya setengah dari jumlah anak yang memperoleh pangan hewani, bahkan semakin bertambah umur anak semakin sedikit persentase yang memperoleh pangan hewani. Hal ini menunjukkan bahwa anak-anak sejak usia dini sudah mempunyai resiko kekurangan gizi mikro, yang akan berpengaruh pada pertumbuhan dan perkembangan anak.

Sampai saat ini penelitian tentang keterkaitan antara beberapa zat gizi mikro dengan pertumbuhan dan perkembangan anak sudah mulai banyak dilakukan, seperti zat besi, iodium dan zink, dan beberapa vitamin. Namun penelitian yang berkaitan dengan defisiensi vitamin B12 dan konsekuensi fungsionalnya masih sangat terbatas. Oleh karena itu diperlukan kajian-kajian lebih mendalam dan ’clinical trial’ terkait defisiensi vitamin B12. Berdasarkan hal tersebut penelitian ini dirancang dengan tujuan 1) Menganalisis prevalensi defisiensi vitamin B12 dan anemia pada anak prasekolah, 2) Menganalisis pengaruh pemberian suplemen vitamin B12 terhadap serum vitamin B12 pada anak prasekolah, dan. 3) Menganalisis pengaruh pemberian suplemen vitamin B12 terhadap kadar hemoglobin pada anak prasekolah.

METODE

Disain, Contoh, dan Waktu

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan disain “Randomize

Control Trial” (RCT). Intervensi diberikan

kepada anak prasekolah (4-6 tahun) di Taman Kanak-kanak Az-Zahra Kecamatan Darmaga Bogor. Contoh dibagi menjadi 2 kelompok yaitu kelompok pelakuan (diberi sirup vitamin B12), dan kelompok kontrol (diberi plasebo).

Formula sirup vitamin B12 dan plasebo diracik peneliti bersama pembimbing dengan pertimbangan faktor kecukupan dan bioavailabilitas vitamin B12, dibuat dan dikemas atas bantuan PT. Kalbe Farma. Dosis vitamin B12 diberikan sebesar 10 μg/hari dalam 2.5 ml sirup. Pemberian sirup dilakukan setiap hari, 5 hari di sekolah (Senin sampai Jumat) oleh peneliti dan 2 hari di rumah (Sabtu dan Minggu) dititipkan peneliti pada ibu selama 6 bulan.

Ukuran contoh ditentukan dengan rumus n = {(zα+zβ)2(σ12+σ22)}/(d)2.

Berdasarkan hasil penelitian anak sekolah di Kenya (Siekmann et al. 2003), perubahan plasma Vitamin B12 sebesar 89 ± 104 pg/ml pada kelompok intervensi dan -18 ± 88 pg/ml pada kelompok kontrol, dengan taraf nyata (α) = 0,05 dan kekuatan uji (1-β) = 80%, sehingga diperoleh contoh sebanyak 13 orang per kelompok. Dengan memperkirakan contoh drop out sekitar 20% maka jumlah contoh ditambah menjadi 16 orang per kelompok.

Penelitian dilakukan selama 12 bulan mulai bulan Juli 2006 sampai bulan Juni 2007, mulai dari pengurusan ijin penelitian, pembuatan sirup, ethical clearance, dan eksperimental berupa pemberian sirup vitamin B12 selama 6 bulan (24 minggu). Jenis dan Cara Pengumpulan Data

Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi data primer dan sekunder. Data sekunder diperlukan dalam tahapan penentuan contoh, yang meliputi data Taman Kanak-kanak dengan kondisi sosial ekonomi orang tua menengah ke bawah dan jumlah anak di TK agar dapat memenuhi jumlah contoh yang diperlukan.

Data primer terdiri dari data sosial ekonomi keluarga (pendapatan, pendidikan, pekerjaan, dan pengeluaran pangan), kebiasaan

(3)

makan, konsumsi gizi, status gizi, penyakit infeksi, kadar serum vitamin B12 dan kadar Hb (hemoglobin). Data sosial ekonomi diperoleh dengan wawancara langsung dengan orang tua menggunakan kuesioner. Kebiasaan makan anak meliputi jenis dan perkiraan jumlah pangan yang dikonsumsi diperoleh dengan metode food frequency questionnaire, serta konsumsi gizi diperoleh dengan metode recall 24 jam. Status gizi ditentukan dengan indeks BB/U, TB/U dan BB/TB. Berat badan diukur dengan timbangan injak dengan ketelitian 0,1 kg. Tinggi badan diukur dengan mikrotois dengan ketelitian 0,1 cm. Penyakit infeksi ditentukan berdasarkan hasil pemeriksaan fisik oleh dokter.

Serum vitamin B12 ditentukan dengan metode AxSYM (Abbott Laboratories 2005), dilakukan sebelum dan sesudah intervensi. Demikian juga untuk kadar hemoglobin darah diukur sebelum dan sesudah intervensi dengan metode ‘cyanmethemoglobyn’.

Pengolahan dan Analisis Data

Status vitamin B12 ditentukan berdasarkan kadar serum vitamin B12, defisiensi bila serum vitamin B12 < 300 pg/ml, dan normal bila serum vitamin B12 ≥ 300 pg/ml (Herbert 1996; Sauberlich 1999; Siekmann 2003). Berdasarkan kadar Hb ditentukan anemia bila kadar Hb < 11 g/dl dan normal bila kadar Hb ≥ 11 g/dl.

Uji beda (t test) digunakan untuk membandingkan karakteristik contoh dan faktor-faktor yang diduga berpengaruh terhadap serum vitamin B12 dan hemoglobin pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol. Untuk mengetahui dampak pemberian suplemen vitamin B12 terhadap kadar vitamin B12 dan kadar Hb anak dilakukan analisis regresi linier.

HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Contoh

Selama 6 bulan pemberian intervensi terdapat 3 orang drop out (1 orang kelompok perlakuan dan 2 orang kelompok kontrol, sehingga yang dapat dianalisis 15 contoh perlakuan dan 14 contoh kontrol. Rata-rata jumlah anggota keluarga 4, rata-rata umur anak 61 bulan (5 tahun), dan merupakan anak ke-2. Umur ayah rata-rata 37 tahun dan umur ibu 31 tahun. Tingkat pendidikan

orangtua rata-rata SLTP atau lama sekolah 10,9 tahun untuk ayah dan 9,9 tahun untuk ibu. Pendapatan perkapita per bulan rata-rata Rp 227.500,0 ± 95.908,4 digunakan untuk pengeluaran pangan 66,76% dan untuk pengeluaran nonpangan 33.24%. Pekerjaan ayah sebagian besar karyawan swasta dan dagang (55.2%), sedangka ibu sebagian besar tidak bekerja (79.3%). Keadaan kesehatan contoh umumnya baik, hanya ada sebagian yang batuk, pilek dan dermatitis. Hasil uji beda terhadap karakteristik contoh menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol (p >0.05).

Konsumsi Pangan dan Status Gizi

Konsumsi pangan anak relatif sama antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol baik pada awal maupun akhir intervensi. Awal intervensi konsumsi pangan hewani 48.2 ± 22.5 g/hr pada kelompok perlakuan dan 47.7 ± 22.9 g/hr pada kelompok kontrol. Akhir intervensi terdapat sedikit peningkatan menjadi 50.8 ± 21.1 g/hr dan 49.2 ± 23.3 g/hr masing-masing kelompok perlakuan dan kontrol. Telur merupakan penyumbang terbesar untuk pangan hewani sementara daging sapi dan ikan sangat kecil. Hal ini berkaitan dengan harga telur yang relatif murah dibandingkan daging sapi, ayam dan ikan.

Konsumsi energi lebih tinggi pada kelompok perlakuan dan terjadi sedikit kenaikan konsumsi pada kedua kelompok di akhir intervensi. Konsumsi energi kedua kelompok pada awal dan akhir intervensi menunjukkan perbedaan yang signifikan, namun hasil uji beda terhadap selisih konsumsi energi tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan (p>0.05). Sedangkan konsumsi protein, vitamin A, vitamin B12, vitamin C, kalsium, phospor, dan besi hampir sama pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol, dan hasil uji beda menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p > 0.05). Rata-rata kecukupan gizi masih rendah yaitu sekitar 60 persen untuk energi, protein dan besi. Demikian juga kecukupan vitamin C dan kalsium masih kurang dari 50 persen. Hal ini sesuai dengan kebiasaan makan anak yang porsinya sedikit dan kurang bervariasi.

(4)

Tabel 1. Rata-rata konsumsi dan kecukupan gizi

Zat gizi Perlakuan (n=15) Kontrol (n=14) Total (n=29) Sig. Awal Energi (kkal) 1005.3±150.6 (64.8±9.7) 852.4±175.1 (54.9±11.3) 931.5±177.8 (60.1±11.5) 0.021a Protein (gram) 24.5±6.3 (62.9±16.2) 21.9±8.0 (56.0±20.5) 23.2±7.2 (59.6±18.4) 0.334 Vitamin A (RE) 227.7±166.2 (50.6±36.9) 181.6±167.3 (40.4±37. 2) 205.5±165.4 (45.7±36.8) 0.458 Vitamin B12 0.89±0.38 (73.8±31.8) 0.78 ± 0.31 (64.9±26.2) 0.83±0.35 (69.5±29.1) 0.727 Vitamin C (mg) 5.7±6.0 (12.5±13.4) 12.6±15.8 (28.1±35.0) 9.0±12.1 (20.1±26.9) 0.346 Kalsium (mg) 161.1±117.0 (32.2±23.4) 147.1±131.6 (29.4±26.3) 154.3±122.2 (30.9±24.4) 0.743 Phospor (mg 331.5±166.9 (82.9±42.2) 313.5±200.3 (78.4±50.1) 322.8±181.6 (80.7±45.4) 0.793 Besi (mg) 6.4±3.0 (71.1±33.0) (60.3±41.7) 5.4±3.8 (65.9±37.2) 5.9±3.4 0.163 Akhir Energi (kkal) 1084.1±170.5 (69.9±10.9) 965.1±134.7 (62.3±8. 7) 1026.7±163.1 (66.2±10.5) 0.025a Protein (gram) 28.7±5.9 (73.5±15.1) 25.4±7.1 (65.2±18.2) 27.1±6.6 (69.5±16.9) 0.182 Vitamin A (RE) 228.9±157.6 (50.9±35.0) 190.5±157.9 (42.3±35.1) 210.3±156.1 (46.7±34.7) 0.600 Vitamin B12 0.94±0.3 (78.6±29.4) (68.2±27.8) 0.82±0.3 (73.6±28.6) 0.88±0.3 0.715 Vitamin C (mg) 10.3±6.1 (22.9±13.5) (36.0±27.5) 16.2±12.4 (29.3±22.1) 13.2±9.9 0.211 Kalsium (mg) 180.1±133.4 (36.0±26.7) 156.0±126.4 (31.2±25.3) 168.5±128.3 (33.7±25.7) 0.711 Phospor (mg) 336.8±160.8 (84.2±40.2) 303.0±161.1 (75.8±40.3) 320.5±159.0 (80.1±39.7) 0.727 Besi (mg) 6.8±2.7 (78.5±28.6) (58.7±26.7) 5.3±2.4 (68.9±29.0) 6.1±2.6 0.061 a = berbeda nyata (p< 0.05)

Tabel 2. Sebaran contoh berdasarkan status gizi

Perlakuan Kontrol Total Status Gizi n % n % n % Awal Kurus 5 33.3 4 28.6 9 31.0 BB/U Normal 10 66.7 10 71.4 20 69.0 Pendek 8 53.3 6 42.9 14 48.3 TB/U Normal 7 46.7 8 57.1 15 51.7 Kecil 0 0.0 0 0.0 0 0.0 BB/TB Normal 15 100.0 14 100.0 29 100.0 Akhir Kurus 5 33.3 5 35.7 10 34.5 BB/U Normal 10 67.7 9 64.3 19 65.5 Pendek 8 53.3 6 42.9 14 48.3 TB/U Normal 7 46.7 8 57.1 15 51.7 Kecil 0 0.0 0 0.0 0 0.0 BB/TB Normal 15 100.0 14 100.0 29 100.0

Ket: Kurus, pendek, kecil (z-skor < -2) Normal (-2 ≤ z-skor ≤ 2)

(5)

Hasil penilaian status gizi pada awal intervensi berdasarkan Z-skor BB/U menunjukkan bahwa anak yang tergolong kurus 33.3% pada kelompok perlakuan dan 28.6% pada kelompok kontrol. Angka ini berada diatas rata-rata nasional prevalensi gizi kurang pada balita yaitu 27.3% (Untoro, R. 2004). Berdasarkan TB/U anak yang tergolong pendek 53.3% pada kelompok perlakuan dan 42.9% pada kelompok kontrol. Angka pada kelompok perlakuan sedikit diatas rata-rata nasional yaitu 49.3% pada balita dan 36.1% pada anak baru masuk sekolah (Depkes RI 2003). Sedangkan untuk indeks BB/TB semua anak tergolong normal pada dua kelompok. Pada akhir intervensi tidak terdapat perbaikan status gizi pada kedua kelompok, bahkan pada kelompok kontrol terjadi peningkatan persentase anak kurus menjadi 35.7%. Walaupun kecukupan gizi khususnya energi dan protein meningkat pada kedua kelompok namun belum dapat memperbaiki status gizi anak. Hal ini karena kecukupan energi dan protein di awal intervensi cukup rendah yaitu sekitar 60 persen sementara peningkatannya hanya sedikit yaitu sekitar 5% dan 7% masing-masing untuk energi dan protein. Hasil uji beda z-skor untuk BB/U, TB/U dan BB/TB menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol baik awal maupun akhir intervensi (p> 0.05).

Pengaruh Suplemen Vitamin B12 terhadap Kadar Vitamin B12

Rata-rata kadar serum vitamin B12 kelompok perlakuan meningkat 148.4±110.9 pg/ml, sedangkan pada kelompok kontrol hanya meningkat sedikit (3.7±12.8 pg/ml). Pada akhir intervensi hasil uji beda menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan kadar vitamin B12 antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol. Perbedaan tersebut lebih diperjelas dengan hasil uji beda terhadap selisih kadar serum vitamin B12 yang juga menunjukkan perbedaan yang signifikan (p<0.05) (Tabel 3).

Kenaikan kadar serum vitamin B12 juga diikuti perbaikan status vitamin B12. Awal penelitian terdapat 26.7% contoh pada kelompok perlakuan mengalami defisiensi vitamin B12 dan 21.4% pada kelompok kontrol. Setelah pemberian suplemen vitamin B12 selama 6 bulan, prevalensi defisiensi vitamin B12 pada kelompok perlakuan turun menjadi 0.0%, sedangkan pada kelompok kontrol terjadi sedikit peningkatan menjadi 28.6% (Tabel 4). Penurunan prevalensi defisiensi vitamin B12 juga terjadi pada penelitian Siekman (2003) di Kenya, dengan pemberian makanan tambahan pada anak sekolah berupa daging 60-85 g/hr selama satu tahun ajaran dapat menurunkan prevalensi defisiensi vitamin B12 sekitar 16 persen (80,7% menjadi 64,1%). Demikian juga dengan pemberian susu 200-250 ml/hr dapat menurunkan prevalensi defisiensi vitamin B12 sekitar 26 persen (71,6% menjadi 45.1%).

Tabel 3. Rata-rata kadar serum vitamin B12

Kadar serum vit B12 (pg/ml) Waktu

pengukuran Perlakuan (n:15) Kontrol (n:14) Total (n:29)

Sig.

Awal 337.9±62.8 350.4±83.2 343.9±72.3 0.965

Akhir 486.3±131.8 354.1±82.3 422.5±127.9 0.009a

Selisih 148.4±110.9 3.7±12.8 78.6±107.9 0.000a

a = berbeda nyata (p < 0.05)

Tabel 4. Sebaran contoh berdasarkan status vitamin B12

Perlakuan Kontrol Total StatusVitamin B12 n % n % n % Defisiensi (B12 < 300 pg/ml) 4 26.7 3 21.4 7 24.1 Awal Normal (B12 ≥ 300 pg/ml) 11 73.3 11 78.6 22 75.9 Defisiensi (B12 < 300 pg/ml) 0 0.0 4 28.6 4 13.8 Akhir Normal (B12 ≥ 300 pg/ml) 15 100.0 10 71.4 27 86.2

(6)

Tabel 5. Hasil uji regresi terhadap kadar vitamin B12

Variabel B t Sig.

Konstanta 354.143 11.961 0.000

Suplemen vit. B12 (0=kontrol; 1=perlakuan) 132.170 3.211 0.003a

a = berbeda nyata (p < 0.05)

Tabel 6. Sebaran contoh berdasarkan status anemia

Perlakuan Kontrol Total StatusAnemia n % n % n % Anemia (Hb < 11.0 g/dl) 7 46.7 5 35.7 12 41.4 Awal Normal (Hb ≥ 11.0 g/dl) 8 53.3 9 64.3 17 58.6 Anemia (Hb < 11.0 g/dl) 3 20.0 3 21.4 6 20.7 Akhir Normal (Hb ≥ 11.0 g/dl) 12 80.0 11 78.6 23 79.3

Tabel 7. Rata-rata kadar Hb pada awal dan akhir penelitian Kadar Hb (g/dl) Waktu

pengukuran Perlakuan (n=15) Kontrol (n=14) Total (n=29)

Sig.

Awal 11.2±1.8 11.9±1.3 11.6±1.6 0.285

Akhir 12.2±1.1 11.8±1.0 12.0±1.1 0.197

Selisih 1.0±1.3 -0.2±1.2 0.4±1.3 0.100

Tabel 8. Rata-rata kadar Hb pada contoh yang anemia Kadar Hb (g/dl) Waktu

pengukuran Perlakuan (n=7) Kontrol (n=5) Total (n=12)

Sig.

Awal 9.6±1.1 10.5±0.3 9.9±0.9 0.042a

Akhir 11.6±1.3 11.0±0.7 11.3±1.1 0.413

Selisih 2.0±1.2 0.5±0.7 0.4±1.3 0.028a

a = berbeda nyata (p < 0.05)

Hasil uji regresi menunjukkan bahwa pemberian suplemen vitamin B12 berpengaruh nyata terhadap kadar serum vitamin B12 (p < 0.05). Hal ini menunjukkan kenaikan kadar vitaminB12 pada kelompok perlakuan disebabkan suplemen vitamin B12 yang diberikan selama 6 bulan (Tabel 5). Hasil ini sesuai dengan penelitian Siekman (2003) di Kenya yang menemukan bahwa intervensi vitamin B12 pada anak sekolah melalui pemberian makanan tambahan berupa daging dan susu selama 1 tahun dapat meningkatkan kadar plasma vitamin B12 sebesar 64 ± 89 pg/ml pada kelompok yang diberi daging dan 89 ± 96 pg/ml pada kelompok yang diberi susu. Selanjutnya hasil penelitian tersebut membuktikan bahwa peningkatan kadar vitamin B12 pada kedua kelompok perlakuan (daging dan susu) berbeda nyata dengan kelompok kontrol.

Pengaruh Suplemen Vitamin B12 terhadap Hemoglobin

Awal penelitian terdapat 41.4% contoh menderita anemia, 46.7% kelompok

perlakuan dan 35.7% kelompok kontrol. Angka ini hampir sama dengan prevalensi anemia pada balita menurut Depkes (2005) yaitu 47.0%. Setelah intervensi, angka anemia menurun pada kelompok perlakuan menjadi 20.0% sedangkan pada kelompok kontrol juga terjadi penurunan menjadi 21.4% (Tabel 6). Hal ini menunjukkan penurunan prevalensi anemia setelah mendapat suplemen vitamin B12 lebih besar pada kelompok perlakuan (sekitar 27 persen) sementara pada kelompok kontrol hanya separuhnya.

Rata-rata kadar Hb pada kelompok perlakuan dan kontrol baik awal maupun akhir intervensi berada pada keadaan normal. Terjadi peningkatan kadar Hb sebesar 1.0±1.3 g/dl pada kelompok perlakuan, sedangkan pada kelompok kontrol menurun sebesar -0.2±1.2g/dl (Tabel 7). Namun demikian hasil uji beda menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada kedua kelompok (p>0.05).

Demikian juga hasil uji regresi terhadap kadar Hb menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh yang signifikan pemberian

(7)

suplemen vitamin B12 terhadap kadar Hb (p > 0.05). Hasil yang sama diperoleh Siekman (2003) pada penelitian anak sekolah di Kenya, yang menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan peningkatan kadar hemoglobin antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol dengan intervensi pangan hewani berupa daging dan susu selama satu tahun. Hal ini dapat dijelaskan bahwa vitamin B12 yang berperan sebagai kofaktor dalam pembentukan energi dari protein dan lemak melalui pembentukan sucsinyl-CoA yang dibutuhkan dalam sintesis hemoglobin (Gibson 2005; Herbert 1996). Kecukupan protein dalam penelitian ini hanya sekitar 60% dari kecukupan yang dianjurkan sehingga kemungkinan terjadi gangguan pembentukan sucsinyl-CoA yang sekaligus juga mengganggu sintesis hemoglobin. Selain itu vitamin B12 juga berperan dalam metabolisme asam folat yang merupakan komponen penting dalam pembentukan hemoglobin disamping zat besi. Dengan demikian keterkaitan antara vitamin B12 dengan hemoglobin juga tergantung pada keberadaan zat-zat gizi lain seperti asam folat, besi dan protein (Wardlaw et al. 1992; Brody 1999).

Namun bila dilakukan uji beda pada anak yang menderita anemia saja, ternyata terdapat perbedaan kadar Hb yang signifikan antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol setelah diberi suplemen vitamin B12 (p< 0.05). Dengan demikian dapat dijelaskan bahwa kadar hemoglobin lebih menunjukkan respon yang positif terhadap pemberian suplemen vitamin B12 bila anak menderita anemia (Tabel 8). Hasil ini sekaligus menunjukkan bahwa vitamin B12 berperan dalam pembentukan hemoglobin dengan asumsi keberadaan zat-zat gizi lain pembentuk hemoglobin sama pada kedua kelompok. Sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 1 bahwa asupan zat-zat gizi seperti protein dan besi tidak berbeda nyata antara kelompok perlakuan dan kontrol baik di awal maupun akhir intervensi, sehingga pemberian vitamin B12 pada kelompok perlakuan mampu meningkatkan kadar Hb lebih besar dibandingkan pada kelompok kontrol.

SIMPULAN DAN SARAN

1. Sebesar 24.1% contoh mengalami defisiensi vitamin B12, dan 41.4% menderita anemia.

2. Pemberian suplemen vitamin B12 berpengaruh nyata terhadap kadar serum vitamin B12 (p < 0.05). Pemberian suplemen vitamin B12 selama 6 bulan mampu meningkatkan kadar vitamin B12 sebesar 148.4 ± 110.9 pg/ml, sedangkan kelompok kontrol peningkatannya sangat kecil (3.1 ± 12.8 pg/ml).

3. Khusus pada anak yang menderita anemia, setelah diberi suplemen vitamin B12 terdapat perbedaan kadar Hb yang signifikan antara kelompok yang diberi suplemen dan kelompok kontrol (p<0.05).

Mengingat suplementasi vitamin B12 mampu meningkatkan kadar serum vitamin B12 dan dapat meningkatkan kadar Hb terutama pada anak yang anemia, sudah saatnya pembuat kebijakan mempertimbangkan vitamin B12 disamping zat gizi mikro lainnya dalam program penanggulangan kekurangan gizi mikro khususnya pada anak prasekolah.

DAFTAR PUSTAKA

Abbott Laboratories, Diagnostics division. 2005. Abbott Axsym System. Abbott Laboratories, USA.

Aicardi J. 1992. Diseases of the Nervous System in Childhood. Clinics in Developmental Medicine No. 115/118. Allen, Rosado, Casterkline, Martinez,

Munoz, and Black. 2000. Vitamin B12 deficiency and malabsorbtion are highly prevalent in rural Mexican communities. Am. J Clin Nutr 62:1013-1019. 2000.

Berk, L.E. 1989. Child Development. Allyn and Bacon. Boston, London, Sydney, Toronto.

Black, 2003. Micronutrient Deficiencies and Cognitive Functioning. J.Nutr. 133: 3927S-3931S. 2003.

Brody, 1999. Nutritional Biochemistry. Academic Press. San Diego, San Fransisco, New York, Boston, London, Sydney, Tokyo.

Bryan, Calvares, and Hughes. 2002. Short-Term Folate, Vitamin B-12 or Vitamin B-6 Suplementation Slightly Affects Memory Performance But Not Mood in Women of Various Ages. J.Nutr. 132:1346-1356.

(8)

Carmel. 2004. Cobalamin (Vitamin B12) in Modern Nutrition in Health and Disease. Tenth edition. Lippicott William and Wilkins. Baltimore. CDC, Neurologic Impairment in Children

Associated With Maternal Dietary Deficiency of Cobalamin – Georgia 2001. Center for disease Control and Prevention. MMWR 52 (4):61-64. 2003.

Depkes RI. 2003. Gizi Dalam Angka. Departemen Kesehatan RI. Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat. Direktorat Gizi Masyarakat. Jakarta. Depkes RI. 2005. Gizi Dalam Angka.

Departemen Kesehatan RI. Jakarta Dhopeshwarkar, 1983. Nutrition and Brain

Development. Plenum Press. New York.

Durand C, Mary S, Brazo P and Dollfus S. 2003. Psychiatric manifestations of vitamin B12 deficiency: a case report. Encephale. Nov-Des:29(6):560-5. FAO/WHO, 2001. Human Vitamin and

Mineral Requirements. Food and Agriculture Organization of United Nation and World Health Organization.

Gibson. 1990. Principle of Nutritional Assessment. Oxford University Press. New York.

Gibson. 2005. Principles of Nutritional Assessment. Oxford University Press. New York.

Gutama. 2004. Aspek Gizi dan Stimulasi Pendidikan Anak Dini Usia. dalam Prosiding Inovasi Pangan dan Gizi untuk Optimalisasi Tumbuh Kembang Anak. Jakarta

Hardinsyah. 2001. Complementary Feeding and Caring Practices. Proceeding from the National Seminar and Workshop “Optimizing Early Child Nutrition”. September 26-27 2001. Jakarta.

Healton. 1991. Neurologic aspect of cobalamin deficiency. Medicine, Baltimore. Juli; 70(4):229-245.

Herbert. 1996. Present Knowledge in Nutrition (ed. Ziegler EG. Filer L.). ILSI press. Washington DC.

Jalal. 2003. Pendidikan Input Tumbuh Kembang Anak. Pikiran rakyat 9 september 2003

Lewerin, Matousek, Steen, Johansson, Steen and Nilson-Ehle. 2005. Significant correlation of plasma homocysteineand serum methylmalonic acid with movement and cognitive performance in elderly subjects but no improvement from short-term vitamin therapy: a placebo-controlled randomized study. A.J.Clin.Nutr. vol 81, No.5:1155-1162. LIPI. 2004. Widya Karya Nasional Pangan

dan Gizi (WNPG): Angka Kecukupan Vitamin Larut Air. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta.

Louwman, Dusseldorp, Vijver, Thomas, Scheede, Ueland, Refsum and Staveren. 2000. Signs of impaired cognitive function in adolecent with marginal cobalamin status. A.J.Clin.Nurt. Vol. 72 No.3:762-769.

Lucas. 1993. Perkembangan Anak Usia sekolah. PT Rajawali. Jakarta

Morgan, King RA, Weisz JR, Schopler J. 1986. Introduction to Psychology. Seven Edition. Ew York: McGraw-Hill International Editions.

Olivares, Ramona, Jesus, Maria and Antonio. Vitamin B12 and Folic Acid. In Chidren with Intestinal Parasitic Infection. J of the Am College of Nut, 21:109-113. 2002.

Pollit. 1990. Malnutrition and Infection in the classroom. UNESCO. Paris

Robert C. and David L Brown. 2003. Vitamin B12 Deficiency. Am Fam Physician:67: 979-986, 993-994. American Academy of Family Physicians.

Rogers, Erick, Joshua, Ralph, Jenifer and Lindsay. 2003. High Prevalence of Cobalamin Deficiency in Guatemalan Schoolchildren: Associations with Low Plasma Holotranscobalamin II and Elevated Serum Methylmalonic Acid and Plasma Homocysteine Concentrations. Am J Clin. Nutr.: 77,2.2 433-440, 2003,

Sauberlich.1999, Assessment of Nutritional status. Second edition. CRC Press. Boca Raton, London, New York, Washington DC.

Savage. 1995. Neurological complications of acquired cobalamin deficiency: clinical aspects.

(9)

Seifort, KL. And Hoffnung RJ. 1997. Child and Adolescent Development. Houghton Zifflin Company. New York.

Siekmann,. J. Lindsay H., Nimrod O. B, Montague W., Suzanne P. M and Charlotte G. N. 2003. Kenyan School Children Have Multple Micronutrient Deficiencies, But Increased Plasma Vitamin B12 Is The Only Detectable Micronutrient response to Meat or Milk Suplementation. J. Nutr. 133:3972s-3980s. November 2003.

Syarief. 1997. Membangun Sumberdaya Manusia Berkualitas: suatu Telaah Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga. Orasi Ilmiah pada pengukuhan Guru Besar Ilmu Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian Instutut Pertanian Bogor. Bogor.

Untoro, R. 2004. Kebijakan dan Program Gizi Aak di Indonesia Saat ini dan Mendatang. dalam Prosiding Inovasi Pangan dan Gizi untuk Optimalisasi Tumbuh Kembang Anak. Jakarta Wardlaw, Paul and Marcia. 1992.

Contemporary Nutrition. Issues and Insights. Mosby Year Book. St Louis, Baltimor, Chicago, London, Philadelphia, Sydney, Toronto.

Gambar

Tabel 1. Rata-rata konsumsi dan kecukupan gizi
Tabel 3. Rata-rata kadar serum vitamin B12
Tabel 5.  Hasil uji regresi terhadap kadar vitamin B12

Referensi

Dokumen terkait

Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Muarareja merupakan satu-satunya TPA bagi warga Kota Tegal yang terletak diantara area tambak yang masih potensial. TPA ini masih menerapkan sistem

Upaya kelembagaan tersebut menjadi sangat penting, terutama dalam rangka mengakselerasi modal sosial bagi kebutuhan pembangunan ekonomi pertanian yang berdaya saing, lebih

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis respon akut dari konsumsi kopi Arabika Gayo terhadap tekanan darah pada wanita sehat yang bukan peminum kopi karena

rata bulanan salinitas perairan untuk ikan tongkol juga optimum bulan Juli, Agustus, September untuk gill net dan long line sepanjang tahun kecuali bulan Januari merupakan

Useimmat vastaajat olivat samaa mieltä siitä, että myös Kainuun tulisi tehdä osansa ilmastovastuullisuuden ja kestävän kehityksen edistämiseksi.. Vastaajat eivät ajatelleet,

TENTANG : DOSEN PENGASUH PRAKTIKUM SEMESTER GANJIL 2017/2018 FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS

Mengingat upaya peningkatan kesehatan reproduksi dilaksanakan melalui pendekatan siklus hidup, dimana kebutuhan akan pelayanan kesehatan untuk setiap tahapan individu

dijual.Debitur menjual kepada pihak ketiga benda jaminan atau melakukan fidusia ulang terhadap benda yang sudah dijaminkan tersebut.(b) Waktu penyelesaian yang lama, ekonomi