• Tidak ada hasil yang ditemukan

Trauma Leher

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Trauma Leher"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

Bedah Buku

Subbagian Laring Faring

Trauma Tembus Leher

Michael G. Stewart

Presentan : dr. Histawara Subroto, dr. Adrian Erindra,

dr. Irwandanon

Hari/Tanggal : Selasa, 22 Juli 2014

Waktu : 08.30 WIB

Tempat : Ruang Konferensi Poliklinik THT-KL

Universitas Andalas /RSUP Dr.M.Djamil,

Padang

Pembimbing : dr. Novialdi, Sp.THT-KL (K)

dr. Fachzi Fitri, Sp.THT-KL, MARS

dr. Ade Asyari, Sp. THT-KL

BAGIAN ILMU KESEHATAN THT-KL

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS

RSUP. DR. M. DJAMIL PADANG

(2)

Trauma Tembus Leher

Michael G. Stewar

Trauma Tembus Leher

Pada anatomi leher, trauma tembus memerlukan penilaian hati-hati,baik dari jalur misil dan tempat masuk misil peluru. Leher dapat dibagi menjadi dua segitiga menggunakan patokan otot sternokleidomastoid (Gambar 72.7). Segitiga anterior berisi sebagian besar struktur anatomi utama leher: laring, trakea, faring, kerongkongan dan struktur pembuluh darah utama. Struktur utama dari segitiga posterior adalah otot, saraf aksesorius dan tulang belakang. Otot platisma terletak pada bagian dalam kulit leher pada segitiga anterior. Luka yang menembus platisma memiliki potensi cedera serius; luka yang tidak menembus platisma adalah superfisial dan tidak memerlukan evaluasi lebih lanjut.

Leher dibagi menjadi tiga zona entri (Gambar 72.8). Zona I terdiri dari leher bagian bawah dari batas inferior kartilago krikoid. Zona II leher dengan batas antara sudut mandibula dan inferior kartilago krikoid, dan Zona III leher dengan batas sudut mandibula sampai ke dasar tengkorak. Zona II adalah zona terbesar dan lokasi yang paling sering trauma tembus leher (12,13). McConnell dan Trunkey menjelaskan bahwa struktur yang paling sering terluka di leher yaitu laring dan trakea (dianggap sebagai kelompok: 10% dari pasien) dan faring serta esofagus (dianggap sebagai kelompok: 10% pasien). Struktur vaskular yang paling sering cedera adalah vena jugularis internal (9%), arteri karotis internal dan carotis utama (7%), arteri subklavia (2%) dan arteri karotis eksternal (2%). Cedera arteri vertebralis hanya 1%.

Keseluruhan angka kematian untuk trauma tembus leher pada sebagian besar pusat kesehatan adalah 3%-6% (12). Penyebab utama kematian pasien dengan trauma leher adalah perdarahan dari cedera vaskular. Penyebab lainnya adalah cedera tulang belakang, iskemia otak, obstruksi jalan napas, emboli udara dan emboli paru. Kebanyakan laporan kasus setidaknya ada beberapa kematian pada trauma esofagus, yang biasanya bermanifestasi sebagai sepsis.

(3)

Figure 72.7 Anatomic triangles of the neck: the neck is divided into anterior and posterior triangles by the sternocleidomastoid muscle.

Figure 72.8 Horizontal entry zones of the neck for penetrating injuries to the neck. (Modified from Jurkovich GJ. In: Moore EE, ed. The neck. Toronto: Becker, 1990:126, with permission.)

(4)

Pemeriksaan klinis yang cermat dapat memprediksi secara akurat mengenai derajat cedera yang dialami. Tanda dan gejala cedera leher yang signifikan tercantum dalam Tabel 72,2. Pasien dengan syok, perdarahan yang tidak terkendali atau adanya defisit neurologis harus dilakukan eksplorasi leher secara langsung (Tabel 72,3). Dokter bedah harus siap untuk mengontrol dan memperbaiki luka pada arteri karotis atau vena jugularis. Pasien yang secara klinis stabil tetapi memiliki tanda atau gejala adanya cedera leher harus segera dilakukan evaluasi dan segera dilakukan perbaikan pada struktur luka. Manajemen pasien trauma leher dengan gejala asimtomatik masih kontroversial, namun. Secara tradisional, semua pasien dengan luka tembus leher yang menembus platisma apakah asimptomatik atau tidak memerlukan eksplorasi leher. Alasannya, bahwa sensitivitas eksplorasi leher tinggi dan morbiditas dari operasi itu sendiri rendah, sedangkan morbiditas terhadap cedera leher cukup tinggi. Saat eksplorasi leher dilakukan, tingkat eksplorasi dengan hasil negatif sekitar 30%-50%. Teknologi saat ini telah maju, dimana ahli bedah trauma mulai menggunakan angiogram sebagai alat diagnostik pada cedera leher. Oleh karena berkembangnya teknik radiologi intervensi, beberapa luka vaskular dapat dilakukan pengobatan endovascular secara definitif oleh ahli radiologi intervensi. Selain itu, adanya bukti yang mengarahkan pemeriksaan dengan observasi dan pemeriksaan serial mungkin sama efektifnya dengan eksplorasi pada pasien (14,15); masalah ini akan dibahas lebih lanjut nanti. Sebuah protokol untuk trauma tembus leher digambarkan pada Gambar 72,9 .

TABLE 72.2 DIAGNOSIS PENETRATING NECK TRAUMA

Diagnosis Signs and Symptoms Tests

Vascular injury Shock Hematoma Hemorrhage Pulse deficit Neurologic deficit Bruit or thrill in neck

Angiogram Neck exploration

Laryngotracheal injury Subcutaneous emphysema Airway obstruction Sucking wound Hemoptysis Stridor Hoarseness or dysphonia Laryngotracheoscopy Neck exploration CT scan

Pharynx/esofagus injury Subcutaneous emphysema Hematemesis Dysphagia or odynophagia Contrast esophagogram Esophagoscopy Neck exploration CT, computed tomography

(5)

TABLE 72.3 EMERGENCIES PENETRATING FACE AND NECK INJURIES Diagnosis Emergency Vascular injury Neurologic deterioration Airway compression Hemorrhage

Larynx or tracheal injury Pneumomediastinum Pneumothorax

Airway obstruction

Seperti pada luka tembus wajah, informasi mengenai mekanisme cedera sangat penting bagi dokter dalam hal penatalaksanaan lebih lanjut. Meskipun kedalaman penetrasi luka tusuk mungkin sulit untuk dinilai, luka tusuk cenderung melukai hanya jaringan langsung yang ditembusnya. Luka tembak juga dapat menyebabkan kehilangan jaringan yang signifikan serta kerusakan struktur yang berdekatan akibat adanya kavitas dan energi tinggi dari proyektil.

Trauma Zona I

Luka tembus pada Zona I leher berpotensi mematikan karena potensi cedera pada pembuluh darah besar leher dan mediastinum, esofagus serviks dan toraks. Sebagian besar sentral pengobatan trauma menganjurkan pemeriksaan angiografi arkus aorta dan pembuluh darah besar, bersamaan dengan evaluasi esofagus walaupun pasien tidak menunjukkan gejala, karena hingga sepertiga pasien dengan trauma Zona I secara klinis tidak menunjukkan gejala. Evaluasi esofagus dianjurkan karena adanya potensi tidak terlihatnya cedera esofagus pada Zona I dimana berbeda dari cedera Zona II. Cedera esofagus atau faring di Zona II biasanya akan menimbulkan tanda-tanda atau gejala-gejala (seperti emfisema subkutan) dalam beberapa jam dan morbiditas serta mortalitas secara keseluruhan tidak akan terpengaruh. Tidak terlihatnya cedera esophageal di Zona I, secara klinis tidak muncul hingga timbul mediastinitis dan sepsis.

Figure 72.9 Algorithm for the initial management of patients with penetrating injuries to the neck. (Modified from Mansour MA, Moore EE, Moore FA, et al. Validating the selective management of penetrating neck wounds. Am J Surg 1991;162:517-521, with permission.)

(6)

Tes diagnostik yang ideal untuk esofagus dan faring berbeda, termasuk endoskopi, esofagram kostras menggunakan barium, gastrografin atau CT scan. Jika esofagram kontras digunakan, harus diketahui tentang kontras yang digunakan. Pada kontras barium lebih tebal, dan jika ada cedera, barium lebih menunjukkan adanya cedera. Namun, jika terjadi kebocoran barium ke dalam jaringan leher, risiko terjadinya infeksi. Gastrografin (meglumine diatrizoate) adalah bahan kontras tipis dan kurang menimbulkan infeksi jika terjadi kebocoran, tapi banyak yang menjelaskan itu bahwa kontras tersebut kurang mengidentifikasi adanya cedera yang kecil sehingga kadang tidak terdeteksi.

Penelitian mengenai sensitivitas dan spesifisitas tes radiologis untuk mendeteksi faring atau cedera esofagus menunjukkan hasil yang tidak konsisten. Namun, sensitivitas dan spesifisitas dilaporkan hingga 90%-100% (16). Demikian pula dengan penggunaan esofagoskopi fleksibel atau kaku yang memiliki spesifisitas dan sensitivitas yang tinggi. Telah dilaporkan ada beberapa kasus cedera tembus, setidaknya satu tes diagnostik esofagoskopi kaku atau fleksibel atau penggunaan barium swallow dapat menunjukkan adanya cedera (16). Oleh karena itu kombinasi dari tes tersebut tidak boleh melewatkan adanya cedera esofagus.

Pilihan lain untuk evaluasi adalah penggunaan CT scan (17,18). CT scan sangat membantu dalam menentukan jalur proyektil (dengan menggunakan saluran gelembung udara, jaringan yang rusak, atau adanya partikel proyektil) yang dapat membantu untuk mengambil keputusan mengenai evaluasi dan perawatan selanjutnya. Bahkan, dalam sebuah penelitian, tambahan pencitraan radiologis dan operasi dihindari pada beberapa pasien (18). Akhirnya, pemeriksaan leher x-ray lateral dapat menunjukkan adanya udara retropharyngeal pada cedera faring.

Trauma Zona II

Seperti yang telah dibahas sebelumnya, pasien dengan luka tembus Zona II yang simtomatik harus menjalani eksplorasi leher. Pasien tanpa gejala dengan luka tembus Zona II dapat diobati dengan eksplorasi, evaluasi langsung dan pemeriksaan secara serial. Sebelumnya pada penelitian prospektif menunjukkan bahwa observasi terhadap gejala cedera Zona II merupakan protokol yang efektif. Sebagai bagian dari protokol itu, dilakukan evaluasi tambahan, seperti angiografi atau endoskopi fleksibel, tapi eksplorasi bedah tidak lagi wajib dilakukan. Jika pada pasien terdapat perburukan, seperti adanya emfisema subkutan, maka langsung dilakukan eksplorasi bedah. Penelitian menunjukkan, bahwa pasien pada sebuah kelompok yang dilakukan observasi hasilnya sangat baik, dengan tidak ada luka yang terlewati, morbiditas, mortalitas dan rata-rata lama rawatan pendek dibandingkan pasien yang menjalani eksplorasi.

Penelitian prospektif dilakukan pada 120 pasien dengan luka tembus Zona II (19). Semua pasien tidak stabil dilakukan eksplorasi leher langsung. Pasien lainnya (baik simtomatik atau tidak) menjalani penilaian klinis, arteriografi, laryngotrakeoskopi, esophagoskopi fleksibel dan barium swallow, kemudian semua pasien dilakukan eksplorasi leher. Penulis mengevaluasi sensitivitas protokol tes diagnostik ini. Penulis melaporkan pada 5 pasien memiliki enam luka yang terlewati dengan menggunakan evaluasi diagnostik dan mereka menyimpulkan bahwa penilaian klinis secara menyeluruh tidak dapat juga mendeteksi cedera pada struktur vital dan direkomendasikan untuk dilakukan eksplorasi leher wajib bagi semua cedera Zona II.

(7)

Namun, penelitian mencatat bahwa ada beberapa cedera yang terlewati (2 trauma vena jugularis interna, 2 luka arteri karotid eksternal) mungkin secara klinis tidak signifikan dan yang lainnya (2 cedera esofagus) akan terdeteksi dalam beberapa jam dengan menggunakan pemeriksaan serial. Oleh karena itu, banyak ahli bedah trauma menggunakan data ini untuk mendukung adanya evaluasi dengan pemeriksaan serial untuk pasien-pasien yang asimtomatik dengan trauma leher zona II, yang merupakan kesimpulan yang berlawanan dari peneliti lain. Data serial ini juga memungkinkan perhitungan nilai prediktif positif dan negatif dari tes diagnostik yang digunakan. Eksplorasi leher merupakan standar emas untuk mengidentifikasi adanya cedera, penilaian klinis saja memiliki nilai prediktif positif (PPV) hanya 47 % dan nilai prediktif negatif (NPV) dari 86%. Esofagoskopi fleksibel memiliki PPV 88% dan NPV 94%; barium swallow memiliki nilai yang sama dengan PPV 83% dan NPV 95%. Pada penelitian lain, pemeriksaan fisik dengan menggunakan kriteria yang ditetapkan untuk pemeriksaan positif terbukti memiliki sensitivitas yang tinggi (93%) dan NPV (97%) bila digunakan untuk menilai cedera vaskular (20). Kesimpulannya, pasien tanpa gejala dengan luka tembus Zona II dapat diobati dengan baik dengan eksplorasi leher, evaluasi dan pemeriksaan serial. Namun, protokol pengobatan menggunakan observasi dengan pemeriksaan serial membutuhkan tenaga dokter yang memadai serta fasilitas 24 jam untuk kegawat daruratan dan operasi setiap saat dibutuhkan. Eksplorasi leher dini dengan cepat untuk eksplorasi dengan hasil negatif merupakan metode yang efisien untuk luka tembus Zona II, mungkin lebih hemat biaya daripada menggunakan beberapa pemeriksaan dan observasi.

Trauma Zona III

Trauma tembus Zona III berpotensi menimbulkan cedera pada pembuluh darah besar dan saraf kranial pada dasar tengkorak. Beberapa pasien dengan cedera arteri mungkin dengan asimtomatik dan tindakan bedah dalam mengontrol perdarahan di lokasi ini cukup sulit. Selain itu, beberapa cedera vaskular mungkin tidak dapat diatasi dengan pengobatan definitif oleh seorang ahli radiologi intervensi. Oleh karena itu, cedera dapat diobati seperti penggunaan angiogram diagnostik. Meskipun cedera arteri vertebral relatif jarang, maka digunakan angiografi pada empat pembuluh darah secara serial. Oleh karena itu, manfaat dari penggunaan rutin angiografi pada empat pembuluh darah tidak jelas. Namun, jika jalur peluru dekat dengan kolumna vertebralis maka arteri vertebralis harus dicitrakan.

Manajemen Cedera Spesifik

Trauma Vaskular

Seperti disebutkan sebelumnya, pembuluh darah sering terkena pada trauma tembus leher. Perbaikan arteri yang disertai defisit neurologis fokal atau keadaan koma masih kontroversial, tetapi ahli bedah vaskular cenderung melakukan revaskularisasi dalam kasus-kasus cedera vaskular traumatis (13). Dalam kondisi apapun, tindakan dari seorang ahli bedah vaskular berpengalaman sangat membantu dalam kasus ini

Trauma Laringotrakeal

Manajemen luka tembus laring telah dijelaskan baik oleh Schaefer et al.(21) dan dijelaskan secara rinci dalam bab lain dalam buku ini. Jika tiroid atau tulang rawan krikoid telah rusak, dianjurkan untuk dilakukan reduksi terbuka dengan fiksasi internal. Jika tulang rawan mengalami kalsifikasi, dapat digunakan plate tulang ukuran -1.0 atau 1.3-mm dan sekrup; jika

(8)

tulang rawan tidak sepenuhnya mengalami kalsifikasi, dapat digunakan kawat dan bolster seperti yang dijelaskan oleh Austin et al.(22). Jika mukosa endolaringeal sudah rusak, maka dilakukan trakeostomi dengan tirotomi midline dan perbaikan cedera mukosa dengan benang kecil yang diserap. Stent Endolaringeal jarang digunakan pada trauma tembus karena kerangka struktural laring biasanya utuh (tidak seperti pada trauma tumpul), meskipun stent dapat digunakan jika komisura anterior terkena. Cedera trakea diperbaiki dengan trakeotomi atau penutupan luka secara langsung. Luka tusukan biasanya dapat ditutup pada dua lapisan: lapisan dalam dijahit dengan benang yang diserap dengan menggabungkan mukosa (dengan simpul di luar lumen) dan lapisan luar dijahit permanen untuk melindungi cincin tulang rawan ke cincin tulang rawan di lapisan submukosa. Biasanya pasien diintubasi selama 2-3 hari, kemudian diekstubasi dalam keadaan terkontrol. Luka tembak trakea dapat menyebabkan kehilangan jaringan, yang dapat mengganggu penutupan primer akibat regangan minimal pada garis jahitan, dimana itu merupakan komponen untuk menilai keberhasilan perbaikan trakea. Setelah tepi luka dibersihkan, teknik selanjutnya yaitu release trakea superior atau inferior dilakukan untuk mencapai regangan penutupan.

Trauma Faring dan Esofagus

Trauma faring dan esofagus sering terlewatkan sehingga menjadi sumber morbiditas dan mortalitas pada trauma tembus leher. Semua pasien dengan tanda-tanda atau gejala dari trauma faring atau esofagus (misalnya, emfisema subkutan, hematemesis, hipopharingeal hematoma) secara klinis harus dilakukan eksplorasi leher. Esofagoskopi intraoperatif dapat membantu dalam mengidentifikasi lokasi penetrasi faring atau esofagus, terutama pada luka tusuk. Selain itu, identiifkasi dengan larutan saline, metilen biru, atau udara ke faring dan esofagus dapat membantu mengetahui lokasi luka. Namun, hingga 50% pasien dengan trauma faring dan esofagus muncul tanpa gejala klinis. Pada pasien yang asimtomatik, jika dicurigai adanya luka lintasan peluru, kombinasi tindakan esofagoskopi dan esofagografi kontras merupakan pemeriksaan yang paling sensitif dalam mendeteksi adanya luka. Luka esofagus harus segera ditutup secara langsung; jika tidak , kebocoran air liur adalah penyebab morbiditas dan mortalitas. Bahkan, pada banyak penelitian menyebutkan bahwa keterlambatan dalam eksplorasi dan perbaikan melewati 24 jam setelah trauma dikaitkan dengan hasil yang buruk. Dalam literatur sebelumnya, esofagus servikal dan hipofaring telah dikelompokkan menjadi satu dan dianggap sebagai satu unit. Namun, ada bukti bahwa trauma hipopharingeal tidak selalu memerlukan penutupan langsung;(23) ini sama halnya dengan cedera orofaring. Luka tembus hipofaring pada superior kartilago aritenoid ditatalaksana agak berbeda dari luka hipopharingeal bagian inferior aritenoid (23). Penutupan primer tidak selalu diperlukan dalam luka tembus hipofaring superior; pasien dapat diobati dengan antibiotik parenteral dan tanpa asupan oral selama 5-7 hari. Luka hipofaring pada inferior kartilago aritenoid (misalnya, di bagian bebas dari hipofaring dimana air liur dan sekresi cenderung tergenang) harus ditangani dengan eksplorasi dan penutupan primer menggunakan jahitan diserap dengan drainase pada ruang leher. Pasien harus dijaga nil per os (NPO) sampai terjadi penyembuhan yang biasanya 5-7 hari. Luka pada esofagus servikal harus diperlakukan sama dengan pada hipofaring inferior, dengan penutupan lansung dan drainase. Drainase eksternal dan prosedur bypass (misalnya, pharingostomi servikal) harus dihindari, meskipun dengan luka yang berat dan adanya jaringan yang hilang).

(9)

Komplikasi

Komplikasi luka tembus leher tercantum dalam Tabel 72.1. Kebanyakan komplikasi yang terjadi berkaitan secara langsung dengan cedera itu sendiri, namun ada juga yang berpotensi dicegah. Luka-luka yang berpotensi dapat dicegah (seperti abses leher, fistula pharingokutan, dll) biasanya karena terjadi karena luka terlewatkan atau diagnosa yang terlambat, sehingga cara terbaik untuk menghindari komplikasi ini adalah dengan pemeriksaan yang teliti dalam evaluasi awal dan follow-up setelah pengobatan. Meskipun kurang dari 50 tahun yang lalu, mortalitas trauma tembus leher tetap 3%-6 %

Highlight

- Pasien dengan trauma tembus wajah dan leher harus menjalani evaluasi yang sistematis dengan menggunakan Advanced Trauma Life Support (ATLS) dengan protokol (ABCDE). Mempertahankan jalan nafas adalah prioritas pertama, terutama pada luka tembak di zona mandibula dan midface

- Klasifikasi luka tembus leher menjadi Zona I, II dan III membantu dalam penatalaksanaan langsung trauma. Luka tembus platisma dapat merusak struktur leher. Sebagian besar struktur vital leher berada di leher anterior.

- Perdarahan, hematoma luas, shock dan adanya defisit neurologis menunjukkan adanya cedera vaskular.

- Emfisema subkutan, dyspnea, obstruksi jalan napas, suara serak, stridor menunjukkan adanya cedera laringotrakeal.

- Emfisema subkutan dan disfagia menunjukkan cedera pharingoesofageal, tetapi sampai 50% pasien tidak menunjukkan adanya tanda-tanda klinis trauma.

- Pasien dengan gejala cedera struktur leher harus menjalani eksplorasi leher, kecuali pasien stabil Zona I dan III; angiography praoperasi dan evaluasi esofagus dapat membantu mengarahkan pendekatan bedah yang akan dilakukan dan dapat mengidentifikasi adanya lesi vaskular yang tidak dapat diatasi dengan intervensi radiologi oleh ahli radiologi.

Referensi

1. Bartlett CS, Helfet DL, Hausman MR, et al. Ballistics and gunshot wounds: effects on musculoskeletal tissues. J Am Acad Orthop Surg 2000;8:21-36.

2. Swan KG, Swan RC. Principles of ballistics applicable to the treatment of gunshot wounds. Surg Clin North Am 1991;71: 221-239.

3. Fackler ML. Civilian gunshot wounds and ballistics: dispelling the myths. Emerg Med Clin North Am 1998;16:17-28.

4. Davidson JSD, Birdsell DC. Cervical spine injury in patients with facial skeletal trauma. J Trauma 1989;29:1276-1278.

5. Gant TD, Epstein LI. Low-velocity gunshot wounds to the maxillofacial complex. J Trauma 1979;19:674-677.

(10)

6. Gussack GS, Jurkovich GJ. Penetrating facial trauma: a management plan. South Med J 1988;81:297-302.

7. Dolin J, Scalea T, Mannor L, et al. The management of gunshot wounds to the face. J Trauma 1992;33:508-515.

8. Cole RD, Browne JD, Phipps CD. Gunshot wounds to the mandible and midface: evaluation, treatment and avoidance of complications. Otolaryngol Head Neck Surg 1994;111:739-745. 9. Chen AY, Stewart MG, Raup G. Penetrating injuries of the face. Otolaryngol Head Neck Surg 1996;115:464-470.

10. Sherman RT, Parrish RA. Management of shotgun injuries: a review of 152 cases. J Trauma 1963;3:76-86.

11. Coker NJ. Management of traumatic injuries to the facial nerve. Otolaryngol Clin North Am 1991;24:215-227. (72classic article)

12. McConnell DB, Trunkey DD. Management of penetrating trauma to the neck. Adv Surg 1994;27:99-119. (72classic article)

13. Thompson BC, Porter JM, Fernandex LG. Penetrating neck trauma: an overview of management. J Otol Maxillofac Surg 2002; 60:918-923.

14. Mansour MA, Moore EE, Moore FA, et al. Validating the selective management of penetrating neck wounds. Am J Surg 1991;162: 517-521.

15. Golueke PJ, Goldstein AS, Sclafani SJA, et al. Routine versus selective exploration of penetrating neck injuries: a randomized prospective study. J Trauma 1984;24:1010-1014.

16. Weigelt JA, Thal ER, Snyder WH, et al. Diagnosis of penetrating cervical esophageal injuries. Am J Surg 1987;154:619-622.

17. Vassiliu P, Baker J, Henderson S, et al. Aerodigestive injuries of the neck. Am Surg 2001;67:75-79.

18. Gracias VH, Reilly PM, Philpott J, et al. Computed tomography in the evaluation of penetrating neck trauma. Arch Surg 2001;136: 1231-1235.

19. Meyer JP, Barett JA, Schuler JJ, et al. Mandatory vs. selective exploration for penetrating neck trauma: a prospective assessment. Arch Surg 1987;122:592-597.

20. Azuaje RE, Jacobson LE, Glover J, et al. Reliability of physical examination as a predictor of vascular injury after penetrating neck trauma. Am Surg 2003;69:804-807.

21. Schaefer SD. The acute management of external laryngeal trauma. A 27-year experience. Arch Otolaryngol Head Neck Surg 1992;118: 598-604. (72classic article)

22. Austin JR, Stanley RB, Cooper DS. Stable internal fixation of fractures of the partially mineralized thyroid cartilage. Ann Otol Rhinol Laryngol 1992;101:76-80.

23. Fetterman BL, Shindo ML, Stanley RB, et al. Management of traumatic hypopharyngeal injuries. Laryngoscope 1995;105:8-13.

Gambar

Figure 72.7 Anatomic triangles of the neck: the neck is divided into anterior and posterior  triangles by the sternocleidomastoid muscle
TABLE 72.2 DIAGNOSIS PENETRATING NECK TRAUMA
Figure  72.9  Algorithm  for  the  initial  management  of  patients  with  penetrating  injuries  to  the  neck

Referensi

Dokumen terkait

Di tengah-tengah rumah baluk ada dapur yang biasa di gunakan oleh Suku Dayak Bidayuh untuk memasak, di sebelah kanan ada 4 buah Aguakng (bahasa Dayak Bidayuh)

Database juga dapat diartikan sebagai suatu susunan/kumpulan data operasional lengkap dari suatu organisasi/perusahaan yang diorganisir/dikelola dan disimpan secara

Langkah pertama yang dilakukan adalah mengalami atau melakukan. Rancangan yang dilakukan dalam perberdayaan ini pada langkah pertama adalah mengalami atau

Kelemahan teori ini yaitu hasil analisis sangat tergantung pada tingkat kesejahteraan individu mana yang dipilih dan tingkat kesejahteraan mana yang mula- mula dipilih;

Beban pemeliharaan dan perbaikan dibebankan pada laporan laba rugi konsolidasian pada saat terjadinya; pengeluaran yang memperpanjang masa manfaat atau memberi manfaat ekonomis di

2.1 probe sampel masuk contoh uji dari alat pengambilan contoh uji 2.2 roadside daerah/lokasi jalan yang akan dipantau 2.3 stasiun road side hotspot stasiun yang berlokasi di

1. Latar Belakang Rencana Induk Pengembangan Pariwisata daerah adalah panduan dalam pengembangan objek wisata daerah yang memuat Materi Pokok Ketentuan Program

Pengolahan tailing pasir zirkon diawali dengan roasting atau fusion menggunakan natrium hidroksida kemudian di- leaching menggunakan asam klorida atau asam nitrat,