• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. tahu persis kapan kelahirannya, karena dulu manusia selalu menandai hari-hari

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. tahu persis kapan kelahirannya, karena dulu manusia selalu menandai hari-hari"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Inyiak1 Rosminar sudah berusia lebih dari seratus tahun. Memang dia tidak tahu persis kapan kelahirannya, karena dulu manusia selalu menandai hari-hari penting dengan kejadian-kejadian alam bukan dengan simbol berupa tanggal angka tahun seperti sekarang. Tapi tidak akan kurang dari seratus tahun, begitu aku-nya ketika peneliti menanyakan usia beliau. Bagi Inyiak Rosminar, Nagari Garabak Data tetap lah Nagari Garabak Data yang dia kenal sewaktu dia masih muda, atau ketika dia masih berlari di usia kanak-kanaknya. Tidak ada perubahan berarti, apalagi bagi dia yang belum pernah sekalipun melihat daerah selain Nagari Garabak Data.

Di usia senja-nya, Inyiak Rosminar harus hidup sebatang kara. Anak lelakinya baru saja meninggal karena sakit TBC. Memang itu bukan anak satu-satu nya, tapi anak-anak nya yang lain sudah pergi meninggalkannya lebih dahulu karena penyakit-penyakit menaun. Sedangkan, suaminya sudah lebih lama lagi meninggal, ketika masa PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia) dahulu. Suaminya adalah seorang pejuang PRRI yang di tembak mati oleh tentara republik tak jauh dari Garabak Data. Di Puncak Palangki, disitu suaminya mati tertembak.

      

1

 Merupakan panggilan di Sumatera Barat untuk nenek atau nenek buyut atau seseorang yang dianggap seusia dengan itu 

(2)

“Apo yang kalian cari ka Garabak buruak ko apolai lah jauah-jauah sikola dari Jawa? Pertanyaan Inyiak Rosminar saat peneliti dijamu minum kopi di malam pertama di rumah beliau. “Wak kamari dek ado tugas dari kampus nyiak. Tapi ba a dek inyiak kecek an nagari ko buruak? Sarancak iko nagari”. “Ba a lo dak ka buruak dek ang doh. Mode apo dari zaman katumba mode itu juo baru sampai kini. Kok di danga nagari urang alah ba jalan rancak, alah ba listrik, kok iduik urang alah sanang, tapi nan kami disiko caliak lah, jan ka iduik sanang, jalan sajo indak ado, bansaik malaraik.. “Ba a dek sampai bantuak itu nyiak?”. Ntah lah, kok kato urang mah dek hutan linduang2.

Petikan bagian penting percakapan dengan Inyiak Rosminar itu menyiratkan dan menyarikan bahwa penguasaan dan pengelolaan hutan yang dikuasai oleh negara dalam bentuk hutan lindung memgakibatkan kemiskinan dari masyarakat yang berada di dalam atau di sekitar kawasan hutan itu. Tujuan dari negara melakukan perlindungan terhadap hutan tentu merupakan suatu langkah yang bagus dalam upaya untuk memproteksi kawasan hutan dari tangan-tangan jahil yang tidak bertanggung jawab. Tetapi pemerintah sering lalai untuk menyadari bahwa hutan yang ditetapkan menjadi kawasan hutan lindung itu merupakan tempat aktivitas ekonomi masyarakat. Apalagi di Sumatera Barat, kebanyakan kawasan yang ditetapkan menjadi hutan lindung merupakan tanah ulayat masyarakat, termasuk di Nagari Garabak Data. Bagi Nagari Garabak Data, yang

      

2

 Terjemahan :“Saya kesini ada tugas dari kampus nek. Tapi kenapa nagari ini nenek katakan jelek? Bagi saya nagari ini sangatlah indah”. “Kenapa tidak. Nagari ini dari zaman dulu tetap seperti ini saja. Tapi lihat lah nagari orang. Jalan mereka sudah bagus, sudah ada listrik, hidup mereka sudah banyak yang senang (sejahtera). Tapi kami disini lihatlah kondisinya, jangankan hidup senang (sejahtera), jalan kesini saja tidak ada (tidak layak), miskin melarat. “Kenapa seperti itu nek?”. Entahlah, kalau kata orang gara-gara hutan lindung 

(3)

merupakan bagian dari sistem adat Minangkabau, tanah ulayat bukan saja berfungsi sebagai penunjang ekonomi mereka, tetapi memiliki fungsi yang lebih luas yaitu sebagai supremasi adat mereka.

Penguasaan beserta pengelolaan oleh negara baik secara langsung maupun tidak, telah menyebabkan kemiskinan terhadap masyarakat serta mencerabut masyarakat dari sistem adatnya, dan tentu saja berdampak terhadap kehidupan sosial yang ada di tengah masyarakat. Sehingga penelitian ini bertujuan untuk membahas tentang bentuk pengelolaan hutan dan dampaknya terhadap kemiskinan masyarakat, yang dilakukan di Nagari Garabak Data dan Nagari Bukik Kanduang.

Permasalahan yang terjadi di Nagari Garabak Data ini merupakan salah satu kasus dari yang menunjukkan adanya kesalahan di dalam penguasaan dan pengelolaan yang dilakukan oleh negara. Permasalahan ini menjadi penting karena tingginya jumlah masyarakat miskin yang berada di sekitar hutan negara, dimana 50-60 juta orang Indonesia (sekitar seperempat jumlah penduduk) hidup di banyak pedesaan yang berada di dalam “kawasan hutan” negara (World Agro Forestry, 2007). Padahal hutan memiliki sumberdaya ekonomi yang potensial untuk dimanfaatkan oleh masyarakat di sekitarnya (Oksa dan Ranniko, 1988; Grainger, 1995; Bahugana, 2000; American Economic Association, 2001; Pisalu dan Backlund, 2009).

Menjadi suatu kecurigaan bahwa, miskinnya masyarakat yang berada di dalam kawasan hutan ataupun disekitarnya lebih diakibatkan karena penguasaan serta pengelolaan yang dilakukan oleh negara (Peluso, 2006; Sunderlin et.al,

(4)

2007; Maryudi 2011). Sebab, Menghilangkan aspek ekonomi hutan demi melindungi fungsi lingkungan dari hutan seperti yang terjadi di Nagari Garabak Data, tentu bukan suatu hal yang adil karena kenyataannya seringkali bukan masyarakat yang berada disekitar hutan lah yang melakukan kegiatan deforestasi secara massif, tetapi lebih kepada keterlibatan oknum-oknum tertentu dengan mengkapitalisasi fungsi ekonomi dari hutan (Peluso, 2006; Dietz, 1998, Green,et.al 2007; McCarthy, 2002; Jepson, et.al 2001; Koyuncu dan Yilmaz, 2009; Resosudarmo dan Subiman, 2006).

Pemerintah pada tahun 1999 mengeluarkan kerangka kerja penyusunan tata hutan yang mengacu pada Undang-undang No 41 tahun 1999 tentang kehutanan, menggantikan undang sebelumnya tentang kehutanan yaitu Undang-undang No. 5 Tahun 1967. Proses tata hutan sendiri diatur pada pasal 22 UU 41 tahun 1999 dan kemudian diperkuat dengan dikeluarkannya PP No. 6 tahun 2007 pasal 12, sehingga kawasan hutan kemudian dibagi menjadi Kawasan Hutan Konservasi, Kawasan Hutan Lindung, dan Kawasan Hutan Produksi.

Sumatera Barat –provinsi dari penelitian ini dilakukan– tidak terbebas dari peraturan pengelolaan hutan tersebut. Luas daerah Sumatera Barat yang sekitar 4.229.730 Ha (Dishut Prov. Sumbar 2013) kemudian berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 422/Kpts-II/1999 tanggal 15 Juni 1999 seluas ± 2.600.286 Ha ditetapkan menjadi kawasan Hutan Negara dengan luas ± 2.600.286 Ha. Jumlah luasan kawasan hutan negara itu kemudian direvisi kembali lewat SK Menhut No. 141/Menhut-II/2012 tanggal 15 Maret 2012 tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan Provinsi Sumatera Barat, sehingga luasan kawasan

(5)

hutan negara di Sumatera Barat berkurang sedikit menjadi sekitar 2.346.041 Ha (Lihat Tabel 1.1). Luasan kawasan hutan tersebut meliputi 56, 34% dari keseluruhan luas daerah Sumatera Barat. Kawasan hutan itu terdiri dari:

Tabel 1.1 Kawasan Hutan Negara di Sumatera Barat

Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No. 141/Menhut-II/2012

Fungsi Kawasan Luas (Ha) Persen Luas

Kawasan Hutan Konservasi (HK)

809.295 Ha 34,50

Kawasan Hutan Lindung (HL) 792.114 Ha 33,76 Kawasan Hutan Produksi

- Hutan Produksi Terbatas (HPT)

- Hutan Produksi Tetap - Hutan Produksi yang Dapat

Dikkonversi (HPK) 233.157 Ha 360.382 Ha 188.257 Ha 9,94 15,36 8,04 Luas Keseluruhan 2.346.041 Ha 100

Sumber: Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera barat, 2013

Luas hutan lindung di Sumatera barat yang seluas 792.114 Ha tersebut, 114.061 Ha berada di Kabupaten Solok atau 14,40% dari keseluruhan jumlah hutan lindung di Sumatera Barat dan merupakan Kabupaten dengan area hutan lindung yang terluas (Dishut Provinsi Sumbar 2013). Alasan itulah yang membuat peneliti mengambil lokus penelitian di Kabupaten Solok. Dengan alasan lain bahwa, meskipun kawasan hutan meliputi hampir 70% luas wilayah Kabupaten Solok, sektor kehutanan tidak banyak menghasilkan produk, karena sebagian besar kawasan adalah hutan lindung dan hutan konservasi yaitu 38,88%.(KPHL Kab. Solok, 2013). Penduduk yang berada di kawasan hutan lindung yang berjumlah sekitar 63.511 Kepala Keluarga (KK) atau 222.289 orang

(6)

atau 62% dari keseluruhan jumlah penduduk Kabupaten Solok yang berjumlah 358.383 orang (KPHL Solok, 2014).

Data KPHL Kabupaten Solok tahun 2013 menunjukkan ada 30 Nagari3 yang bersinggungan langsung dengan hutan lindung dan 3 nagari yang bahkan berada di kawasan hutan lindung. Berarti sekitar 45% dari keseluruhan 74 jumlah nagari yang ada di Kabupaten Solok. Keadaan tersebut bisa dilihat bahwa “desa mengepung hutan” (Ardana, 2000). Ini mengindikasi dua hal, yaitu begitu dekatnya hubungan antara hutan dengan penduduk dan yang kedua menandakan tingginya ketergantungan masyarakat, terutama penduduk miskin di pedesaan terhadap hutan (Bowler et.al 2012; Tiwary, 2005; Dhakal, et.al 2007; Maryudi, 2011). Walaupun keberadaan hutan konservasi dan hutan lindung sangat penting bagi keberlanjutan lingkungan hidup, tetapi mengorbankan masyarakat yang berada di sekitar hutan tentu juga bukan hal yang adil (Bray et.al 2003; Timsina, 2003; Tomsons, 1999).

Data KPHL (Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung) Solok tersebut membagi Nagari di Kabupaten Solok dalam tiga wilayah, yaitu yang di kategorikan nagari yang berada di dalam kawasan, yaitu apabila diatas 60% wilayah nagarinya tersebut berupa kawasan hutan lindung. kemudian negari yang dikategorikan berada disekitar kawasan yaitu nagari yang daerahnya berada kurang dari 60% - 20% berbentuk kawasan hutan lindung, sedangkan yang terakhir yaitu nagari yang berada diluar kawasan. artinya nagari yang wilayahnya kurang dari 20% yang

      

3

 Bentuk unit pemerintahan terkecil di Sumatera Barat, di dasarkan kepada bentuk pemerintahan terkecil di hukum adat Minangkabau. Tetapi nagari bukan saja wujud dari bagian entitas politik, tetapi juga sosia, ekonomi dan budaya masyarakat Minangkabau. 

(7)

masuk kedalam hutan lindung. Pembagian daerah tersebut dapat dilihat pada tabel 1.2 di bawah ini:

Tabel 1.2 Nagari Berdasarkan Status Kawasan dan Data Kemiskinan Penduduk No Status Kawasan Nagari Jumlah Nagari Berdasarkan Kawasan

Status Nagari Jumlah

Penduduk Miskin Jumlah Penduduk Persentase ST T M SM 1. Dalam Kawasan 3 3 0 0 0 2459 10626 23,11 2. Disekitar Kawasan 30 6 5 15 4 12523 161580 7,75 3. Diluar Kawasan 41 7 3 20 11 11330 185542 6,11

Ket: ST = Sangat Tertinggal T = Tertinggal

M = Maju

SM = Sangat Maju

Sumber: Bappeda Kab. Solok 2011 dan KPHL Solok 2013

Meskipun di dalam pembagian yang dilakukan oleh KPHL Solok tersebut terdapat daerah yang berada di luar kawasan hutan lindung, bukan berarti hutan tidak ada di nagari yang berada di luar kawasan tersebut, karena di Minangkabau tidak ada nagari yang tidak memiliki hutan. Seperti yang dijelaskan oleh Angku Datuak Siri, Ketua LKAAM (Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau) Kabupaten Solok, sebagai berikut:

“Di Minang ini, nagari bukan saja merupakan suatu bentuk pemerintahan yang berfungsi sebagai pengatur kehidupan masyarakat dalam bidang politik tetapi nagari juga berfungsi sebagai tempat kedaulatan ekonomi, budaya, sosial masyarakat dan hutan bagi nagari merupakan salah satu bentuk kedaulatan ekonomi suatu nagari, dan suatu nagari tidak akan pernah menjadi sebuah nagari jika mereka tidak memiliki hutan. Lihat saja, mana ada nagari yang tidak ada rimbo4-nya. Karena hutan di Minangkabau bukan saja berarti hutan yang lebat tetapi juga hutan yang ditumbuhi kayu-kayu yang berjenis tanaman tua, seperti durian, jengkol, karet”. (Wawancara tanggal 7 April, 2015)

      

4

 Sebutan untuk hutan dalam bahasa Minangkabau. Pemaknaan Hutan dalam bahasa Indonesia sedikit berbeda dengan pemaknaan rimbo oleh masyarakat Minangkabau.  

(8)

Hutan dalam terminologi KPHL Solok tesebut adalah hutan yang dikuasai negara dalam bentuk hutan konservasi, hutan lindung ataupun hutan produksi. Sedangkan di nagari yang tidak termasuk ke dalam kawasan hutan negara maupun nagari yang berada dikawasan hutan lindung yang hutannya dijadikan hutan negara, hutan itu berbentuk tanah ulayat yang dikuasai secara bersama-sama oleh masyarakat dan kebanyakan sudah ditanami dengan tanaman keras atau tanaman tua. Pengertian hutan oleh Angku Datuak tadi bersesuaian dengan pengertian hutan yang dikeluarkan oleh FAO (Food and Agriculture Organization), yaitu;

“Lahan yang luasnya lebih dari 0,5 hektar dengan pepohonan yang tingginya lebih dari 5 meter dan tutupan tajuk lebih dari 10 persen, atau pohon dapat mencapai ambang batas ini di lapangan. Tidak termasuk lahan yang sebagian besar digunakan untuk pertanian5 atau permukiman”. (FAO Forest Terms and Definitions 2010)

Setelah melakukan analisis dokumen, baik itu yang berasal dari BPS Kabupaten Solok, KPHL (Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung), dan Dinas Kehutanan, serta konsultasi yang peneliti lakukan, diantaranya dengan pihak KPHL Solok, Dinas Kabupaten Solok, Bappeda Kabupaten Solok karena keterbatasan daya peneliti untuk melakukan penelitian di seluruh nagari yang berada di kawasan hutan lindung KPHL Solok, maka untuk melihat dampak pengelolaan dan penguasaan peneliti mengambil nagari yang berada di dalam kawasan yaitu Nagari Garabak Data, sebagai Nagari yang mengalami kemiskinan akibat penguasaan hutan oleh negara – dalam hal ini berbentuk hutan lindung dan sebagai perbandingan .peneliti mengambil Nagari Bukik Kanduang sebagai kasus dari pengelolaan dan penguasaan hutan oleh masyarakat.

      

5

 Di Sumatera Barat hutan memang tidak dugunakan untuk pertanian, tetapi dalam bentuk yang hampir mirip dengan agroforestry, yang memadukan antara tanaman pertanian dengan hutan, yang disebut dengan parak, pembahasan lebih lanjut tentang ini lihat di bab IV,V  

(9)

Pemilihan Nagari Bukik Kanduang yang meskipun statusnya tidak berada di dalam kawasan hutan negara tetapi tingkat ketergantungan masyarakat nagari tersebut sangat tinggi terhadap hutan. Pengelolaan hutan di Nagari Bukik Kanduang yang berupa tanah ulayat sangat berbeda dengan pengelolaan hutan di Nagari Garabak Data yang berupa hutan negara ditambah dengan karakteristik daerah yang sebagian besar berbentuk hutan dan sama-sama termasuk nagari yang sangat tertinggal (Bappeda Kabupaten Solok 2014) menjadikan kedua nagari ini menarik untuk diteliti dan dibandingkan. Tingkat ketergantungan masyarakat Nagari Bukik Kanduang terhadap hutan dapat dilihat dari Tabel 1.3 dibawah ini:

Tabel 1.3. Persentase Luas Lahan Menurut Jenis Penggunaannya

No Jenis Penggunaan Luas (Ha) Persentase (%)

(1) (2) (3)

1 Lahan Sawah 150,08 5,36

2 Bangunan & Halaman Sekitarnya

22,96 0,82

3 Tegal / Kebun 74,76 2,67

4 Ladang / Huma 58,8 2,10

5 Pengembalaan / Padang Rumput 21 0,75

6 Sementara Tidak Diusahakan 660,52 23,59

7 Ditanami pohon / Hutan Rakyat 1335,32 47,69

8 Hutan Negara 248,36 8,87

9 Perkebunan 125,44 4,48

10 Lahan Kering Lainnya 99,12 3,54

11 Rawa-rawa - -

12 Tebat / Kolam / Empang 3,92 0,14

Jumlah 2800 100

Sumber: Dinas Pertanian, Peternakan dan Perikanan kabupaten Solok (2014) Perbedaan model pengelolaan dan juga penguasaan terhadap hutan – seperti yang sudah disinggung sebelumnya –membuat terjadinya perbedaan jumlah kemiskinan terhadap masyarakatnya. Jika pada Tabel 1.2 terlihat perbedaan mencolok antara jumlah masyarakat miskin di nagari yang berada di dalam

(10)

kawasan hutan negara dengan yang berada di luar kawasan, maka pada Tabel 1.4 menunjukkan bahwa angka kemiskinan antara Nagari Garabak Data dengan Nagari Bukik Kanduang menjadi representasi dari keadaan itu. Di Nagari Garabak Data jumlah penduduk miskinnya mencapai 26,79% hampir 9 kali lipat dari jumlah penduduk miskin di Nagari Bukik Kanduang yang jumlah penduduk miskinnya hanya 3,53%, padahal kedua nagari hampir mempunyai jumlah penduduk yang sama. Tabel 1.4 di bawah ini memperlihatkan hal tersebut:

(11)

Tabel 1.4 Status Kemiskinan Per-Nagari Menurut Kawasan Hutan Lindung

No Nama Nagari Status kawasan

Hutan Lindung

Kategori Nagari Jmh Masy. Miskin Jumlah Penduduk Persentase

1. Nagari Garabak Data Dalam Kawasan Sangat Tertinggal 528 1971 26,79

2. Nagari Sungai Abu Dalam Kawasan Sangat Tertinggal 672 2907 23,12

3. Nagari Sariak Alahan Tigo Dalam Kawasan Sangat Tertinggal 1259 5748 21,90

4. Nagari Tanjung Nan Ampek Di sekitar kawasan Sangat Maju 702 8856 7,93

5. Nagari Batung Barus Di sekitar kawasan Sangat Maju 518 6108 8,48

6. Nagari Tarung Tarung Di sekitar kawasan Sangat Tertinggal 123 2457 5,01

7. Nagari Aie Dingin Di sekitar kawasan Maju 830 9499 8,74

8. Nagari Koto Anau Di sekitar kawasan Maju 479 8832 5,42

9. Nagari Surian Di sekitar kawasan Maju 1120 15660 7,15

10. Nagari Sirukam Di sekitar kawasan Tertinggal 386 5639 6,85

11. Nagari Kampung Dalam Di sekitar kawasan Maju 764 11660 6,55

12. Nagari Sungai Jernih Di sekitar kawasan Maju 176 1588 11,08

13. Nagari Air Batumbuk Di sekitar kawasan Maju 329 2826 11,64

14. Nagari Jawi-jawi Guguak Di sekitar kawasan Maju 246 2716 9,06

15. Nagari Talang Babungo Di sekitar kawasan Maju 575 7342 7,83

16. Nagari Gaung Di sekitar kawasan Maju 136 1615 8,42

17. Nagari Alahan Panjang Di sekitar kawasan Sangat Maju 880 14770 5,96

18. Nagari Salimpat Di sekitar kawasan Maju 500 6082 8,22

19. Nagari Batu Bajanjang LJ Di sekitar kawasan Maju 354 2852 12,41

20. Nagari Salayo Tanang Di sekitar kawasan Sangat Maju 345 3984 8,66

21. Nagari Lolo Di sekitar kawasan Maju 467 6190 7,54

22. Nagari Aie Luo Di sekitar kawasan Sangat Tertinggal 85 1122 7,56

23. Nagari Supayang Di sekitar kawasan Tertinggal 140 2168 6,46

24. Nagari Pianggu Di sekitar kawasan Maju 198 2880 6,86

25. Nagari Sungai Jambur Di sekitar kawasan Tertinggal 72 1171 6,14

26. Nagari Siaro-aro Di sekitar kawasan Sangat Tertinggal 10 317 3,16

27. Nagari Sungai Durian Di sekitar kawasan Tertinggal 48 603 7,96

28. Nagari Rangkiang Luluih Di sekitar kawasan Sangat Tertinggal 262 1904 13,76

(12)

Lanjutan Tabel 1.4

No Nama Nagari Status kawasan

Hutan Lindung

Kategori Nagari Jmh Masy. Miskin Jumlah Penduduk Persentase

30. Nagari Batubajanjang Di sekitar kawasan Tertinggal 583 4023 14,49

31. Nagari Saok Lawek Di sekitar kawasan Maju 328 5219 6,29

32. Nagari Simanau Di sekitar kawasan Sangat Tertinggal 153 1063 14,39

33. Nagari Sei. Nanam Di sekitar kawasan Maju 1384 20959 6,60

34. Nagari Guguak Sarai Di luar kawasan Maju 101 1787 5,65

35. Nagari Batu Banyak Di luar kawasan Maju 225 2098 10,72

36. Nagari Limau Lunggo Di luar kawasan Maju 297 2779 10,71

37. Nagari Koto Laweh Di luar kawasan Maju 448 5125 8,74

38. Nagari Cupak Di luar kawasan Sangat Maju 862 14292 6,03

39. Nagari Talang Di luar kawasan Sangat Maju 594 8041 7,39

40. Nagari Paninggahan Di luar kawasan Sangat Maju 621 11760 5,28

41. Nagari Koto Gaek Guguak Di luar kawasan Sangat Maju 182 2072 8,79

42. Nagari Koto gadang Guguk Di luar kawasan Sangat Maju 402 5116 7,86

43. Nagari Muaro Paneh Di luar kawasan Sangat Maju 697 11045 6,31

44. Nagari Kinari Di luar kawasan Maju 403 4286 9,40

45. Nagari Parambahan Di luar kawasan Maju 84 1544 5,44

46. Nagari Dilam Di luar kawasan Maju 352 3426 10,27

47. Nagari Bukik Tandang Di luar kawasan Maju 56 1664 3,41

48. Nagari Indudua Di luar kawasan Sangat Tertinggal 39 656 5,95

49. Nagari Bukit Bais Di luar kawasan Sangat Tertinggal 44 650 6,77

50. Nagari Koto Laweh Di luar kawasan Sangat Tertinggal 55 353 15,58

51. Nagari Panyakalan Di luar kawasan Maju 169 4573 3,70

52. Nagari Tanjuang Bingkuang Di luar kawasan Maju 255 3393 7,52

53. Nagari Gantuang Ciri Di luar kawasan Maju 343 4688 7,32

54. Nagari Koto Hilalang Di luar kawasan Maju 304 2854 10,64

55. Nagari Selayo Di luar kawasan Sangat Maju 467 13806 3,38

56. Nagari Koto Baru Di luar kawasan Sangat Maju 613 19929 3,08

57. Nagari Katialo Di luar kawasan Sangat Tertinggal 89 723 12,31

58. Nagari Tanjuang Baliak Di luar kawasan Maju 271 2844 9,53

(13)

Lanjutan Tabel 1.4

No Nama Nagari Status kawasan

Hutan Lindung

Kategori Nagari Jmh Masy. Miskin Jumlah Penduduk Persentase

60. Nagari Labuah Panjang Di luar kawasan Sangat Tertinggal 65 936 6,94

61. Nagari Sulik Aia Di luar kawasan Sangat Maju 483 9909 4,87

62. Nagari Pasilihan Di luar kawasan Sangat Tertinggal 39 572 6,82

63. Nagari Bukik Kanduang Di luar kawasan Sangat Tertinggal 69 1952 3,53

64. Nagari Kuncia Di luar kawasan Tertinggal 84 720 11,67

65. Nagari Siberambang Di luar kawasan Tertinggal 270 2636 10,24

66. Nagari Kacang Di luar kawasan Maju 224 3376 6,64

67. Nagari Tikalak Di luar kawasan Maju 123 1698 7,24

68. Nagari Singkarak Di luar kawasan Sangat Maju 94 4381 2,15

69. Nagari Sumani Di luar kawasan Sangat Maju 241 5974 4,03

70. Nagari Saniang Baka Di luar kawasan Maju 279 6029 4,63

71. Nagari Koto Sani Di luar kawasan Tertinggal 501 7483 6,70

72. Nagari Tanjuang Alai Di luar kawasan Maju 194 2003 9,69

73. Nagari Aripan Di luar kawasan Maju 141 3975 3,55

74. Nagari Muaro Pingai Di luar kawasan Maju 212 2226 9,52

(14)

Data dari Tabel 1.4 juga memperlihatkan bahwa, angka kemiskinan relatif di nagari-nagari yang berada di dalam kawasan hutan negara jauh lebih tinggi. Padahal, Hutan dan kehutanan memainkan peranan penting dalam upaya pengentasan kemiskinan dengan menaikkan pendapatan, meningkatkan keamanan pangan, mengurangi kerentanan, dan memperbaiki kelestarian sumberdaya alam. Kesemuanya ini memberikan kontribusi terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat (Warner, 2000).

Kemiskinan yang lebih tinggi di kawasan hutan negara menjelaskan bahwa penguasaan negara terhadap hutan meningkatkan kemiskinan masyarakat. Hal ini diakibatkan oleh tidak diakuinya kepemilikan masyarakat terhadap hutan karena hak penguasaan hutan berada di tangan negara (Bolaane, 2004; Hitchcock & Biesele, 2004; Magole & Magole, 2007 dan 2009, Maryudi, 2011) Disisi lain, pemerintah tidak mendistribusikan akses ke sumber daya penting lainnya sebagai mata pencaharian bagi masyarakat setempat (Peters, 1994).

Pengelolaan hutan oleh negara tersebut mengakibatkan kemiskinan dan pengangguran dari masyarakat di sekitar hutan yang diakibatkan oleh ekslusivitas sosial-ekonomi oleh negara dalam bentuk penguasaan terhadap kawasan hutan (Bolaane, 2004; Hitchcock & Biesele, 2004; Magole, 2007) dan pembatasan pada apa yang dapat mereka olah dari hutan (Magole, 2009). Meskipun juga tidak bisa mengabaikan fakta bahwa kemiskinan merupakan salah satu faktor penting dari kerusakan lingkungan. Tetapi itu seperti jika kita melihat “pembangunan industri yang meningkatkan kesejahteraan, tetapi pada saat yang sama biasanya memiliki dampak negatif terhadap lingkungan” (Murota dan Glazyrina, 2010).

(15)

Miskinnya masyarakat di kawasan hutan menjadi salah satu isu yang semakin menjadi kajian oleh kalangan akademisi maupun kalangan yang peduli terhadap kemiskinan. Mereka – masyarakat di kawasan hutan –cenderung menjadi terpinggirkan akibat penguasaan hutan oleh negara dengan berbagai alasan (Platteau 1992; Metcalfe 1998; Adams 2003; Cousins 2005). Padahal, Masyarakat secara terbiasa hidup dan membangun equilibirium dengan hutan sekitarnya dengan mengambil apa yang menjadi kebutuhannya. Meskipun begitu, tidak ada niatan mereka untuk melakukan kapitalisasi keuntungan dari hutan alam yang menyokong kehidupan mereka (Saefullah, 2010) dan di dalam pengelolaannya masyarakat memiliki kearifan lokalnya sendiri (Hidayat, 2011).

Secara umum kebanyakan akademisi menganggap bahwa fenomena kemiskinan masyarakat di kawasan hutan negara adalah masalah yang berdimensi tunggal. Padahal, kemiskinan di kawasan hutan merupakan suatu masalah yang sangat kompleks atau multi-dimensional yang terkait erat dengan berbagai macam faktor seperti; pengelolaan hutan yang tidak melibatkan masyarakat sekitar hutan (Peluso, 20056; Li, 2002), proses marjinalisasi di daerah pedalaman (Tsing, 1993), kesenjangan sosial dalam pembangunan pedesaan (Husken, 1998) dan akibat terjadinya proses ekslusivitas sosial di tengah masyarakat yang terjadi akibat undang-undang kehutanan dan kebijakan pemerintah di sektor kehutanan (Kartodihardjo, 2006). Peneliti berasumsi bahwa hal-hal tersebut sebagai dimensi-dimensi yang menyebabkan kemiskinan di sekitar hutan.

Pengelolaan hutan oleh masyarakat menjadi jalan keluar dari permasalahan kehutanan yang dikuasai dan dikelola oleh negara, karena dapat mensejahterakan

(16)

masyarakat, mengurangi deforestasi serta memelihara keanekaragaman hayati (Bowler, et. Al, 2012). Oleh sebab itu, pengelolaan hutan oleh masyarakat memenuhi persyaratan sebagai pendekatan yang layak didalam mengelola hutan karena bermanfaat dalam melakukan perlindungan kepada hutan selain juga bermanfaat di dalam pengembangan masyarakat (Charnley dan Poe, 2007). Community forestry merupakan istilah yang digunakan sebagai bentuk inisiatif pengelolaan hutan berbasis masyarakat yang terkait dengan lahan hutan privat (Best dan Wayburn 2001), hutan yang dimiliki sebagai milik umum (Bray et al. 2005), dan hutan di lahan masyarakat adat (LTC / IES 1995). Meskipun pengelolaan berbasis masyarakat tidak menjamin hasil konservasi (Menzies 2007), namun ada bukti yang mendukung hipotesis bahwa kontrol lokal lebih besar atas pengelolaan hutan akan menghasilkan kehutanan lebih berkelanjutan secara ekologis (Charnley dan Poe, 2007).

Tindakan kolektif di dalam pengelolaan hutan berbbasis masyarakat menjadi lebih relevan dan bermanfaat karena di dalam pengelolaannya menggunakan pengelolaan yang berdasarkan lokalitas (Jayal, 2001). Pentingnya eksistensi dari kearifan lokal atau lokalitas masyarakat di dalam penggunaan sumberdaya alam dalam pengelolaan hutan karena secara signifikan keberadaan lokalitas memupuk rasa kepemilikan, menghormati batas-batas lahan, dan menyediakan dasar untuk aturan penggunaan, panduan dan mekanisme penegakan aturan yang membantu melestarikan sumberdaya alam (Katz, 2000). Tetapi dengan dikuasainya hutan oleh negara maka lokalitas yang ada di tengah masyarakat menjadi tercerabut karena hilangnya akses masyarakat terhadap hutan. Lain halnya dengan hutan

(17)

yang dikuasai dan dikelola oleh masyarakat, dengan teraksesnya hutan maka lokalitas masyarakat menjadi eksis. Oleh Karena itu di dalam penelitian ini, peneliti akan berkonsentrasi kepada model pengelolaan hutan di Nagari Garabak data dan juga di Nagari Bukik Kanduang dan melihat dampak dari model pengelolaan hutan tersebut terhadap kemiskinan masyarakat.

1.2 RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang diatas, maka peneliti mengasumsikan bahwa kebijakan pengelolaan hutan oleh negara dengan cara melakukan penguasaan terhadap sumberdaya hutan justru bertolak belakang dengan apa yang diinginkan dan diharapkan oleh pemerintah, yaitu menjaga kelestarian hutan sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat khususnya masyarakat yang berada didalam dan disekitar hutan negara.

Penelitian yang dilakukan oleh Dove (1985), Pelzer (1985) dan beberapa peneliti lainnya menyatakan bahwa pada era 1970-an masyarakat disekitar hutan tidak-lah miskin dan mereka hidup terintegrasi dengan ekosistem hutan. Tetapi yang terjadi sekarang adalah meningkatnya kemiskinan masyarakat disekitar hutan, terutama sekali adalah masyarakat yang berada disekitar hutan negara.

Oleh sebab itu, peneliti memiliki dua pertanyaan utama dalam penelitian ini, yaitu;

1. Bagaimana bentuk pengelolaan hutan di Nagari Garabak Data dan Nagari Bukik Kanduang?

(18)

2. Bagaimana dampak pengelolaan hutan terhadap kemiskinan di Nagari Garabak Data dan Nagari Bukik Kanduang?

1.3 TUJUAN PENELITIAN

Tujuan dari penelitian ini adalah;

1. Mengindentifikasi dan mengkaji hal – hal yang berkaitan dengan penguasaan dan pengelolaan hutan di Nagari Garabak Data dan membandingkan dengan penguasaan dan pengelolaan hutan oleh masyarakat di Nagari Bukik Kanduang.

2. Melihat dampak pengelolaan hutan terhadap kemiskinan di Nagari Garabak Data dan Nagari Bukik Kanduang.

1.4 MANFAAT PENELITIAN

Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:

1. Agar akedemisi dan pengembil keputusan mampu mengidentifikasi penyebab kemiskinan masyarakat disekitar hutan negara yang diakibatkan oleh penguasaan dan pengelolaan hutan oleh negara negara serta melihat pengelolaan yang dilakukan oleh masyarakat sebagai suatu solusi elternatif dala permasalahan kehutanan yang ada saat ini.

2. Terciptanya pengelolaan hutan yang lebih baik dengan memperhatikan peranan masyarakat lokal yang kehidupannya bergantung kepada hutan khusunya di kawasan hutan lindung Kabupaten Solok.

(19)

1.5 KEASLIAN PENELITIAN

Kajian tentang pengelolaan hutan dan kemiskinan masyarakat yang berada di sekitarnya masih sedikit yang melakukannya. Beberapa penelitian terdahulu yang substansi hasilnya sedikit banyak relevan dengan kajian ini antara lain penelitian Peluso (1992), Angelsen dan Kaimowitz (2001), Ellen (2002), dan Chomitz (2007).

Peluso (2006) di dalam penelitiannya menggunakan pendekatan ekologi politik, dimana kajian menitikberatkan pada perubahan lingkungan, skema pembangunan yang berpusat pada negara, dan tendensi perlawanan masyarakat petani di sekitar hutan. Dengan pendekatan ini, negara dapat dilihat sebagai kekuatan pengendali wilayah-wilayah perkebunan dan hutan, sementara resistensi dipandang muncul dikalangan petani lokal akibat sangat kerasnya kehidupan ekonomi dan budaya yang mereka jalani dalam situasi yang berdekatan dengan perkebunnan yang dikelola dan dikendalikan oleh negara. Dalam konteks ini, masyarakat petani lokal sekitar hutan cenderung akan mengalami kesulitan memperoleh penghidupan (livelihood) karena lahan-lahan amat luas yang dikuasai oleh negara mempersempit atau bahkan cenderung meniadakan ruang gerak sosial, ekonomi, dan politik masyarakat petani lokal. Sedangkan, Angelson dan Kaimowitz (2001) lebih menekankan pada kajian ekonomi dan sedikit pada kajian sosial dengan metode penelitian survey. Fokus utama kajian ini adalah pada pengaruh kegiatan pertanian terhadap deforestasi. Hasil kajian menemukan bahwa input teknologi sangat mempengaruhi tingkat deforestasi sebuah negara.

(20)

Ellen (2002) dalam penelitiannya menerapkan metode penelitian deskriptif dengan pendekatan antropologi. Fokusnya adalah pada pengaruh perusahaan dalam pemanfaatan hutan terhadap deforestasi dan kerusakan lingkungan. Hasil kajian ini menunjukkan bahwa dampak kebijakan pemerintah pusat yang memberikan izin eksploitasi hutan pada perusahaan swasta menyebabkan deforestasi dan sumber penghidupan masyarakat lokal dari hutan yang ada menjadi hilang. Dan Chomitz (2007) dalam studinya menggunakan pendekatan ekonomi dengan metode penelitian survey. Fokus penelitian ini pada dilema tarik-menarik antara pengentasan kemiskinan dan perlindungan lingkungan. Hasilnya menawarkan suatu kerangka sistematis untuk mengintegrasikan manajemen hutan dengan pembangunan masyarakat desa dalan suatu cara yang saling mendukung satu sama lain.

Sedangkan penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti Indonesia sendiri tentang studi kehutanan dan kemiskinan masyarakat juga sudah banyak, diantaranya yaitu; Winarwan (2012), Irza (2009), Mardiono (1996), Hasan (2014), Wibowo (2013). Tetapi kebanyakan hanya menyoroti kaitan antara kebijakan pengelolaan Sumber daya Hutan oleh negara dengan kemiskinan serta aspek-aspek yang ditimbulkannya. Seperti Winarwan (2012) mengatakan bahwa dalam pengelolaan hutan oleh negara terdapat favoritisme pemerintah terhadap pengusaha HPH degan pemberian izin penebangan hutan, sehingga proses tersebut berdampak kepada perusakan hutan dalam skala massif, dan terdapat diskriminasi/marginalisasi terhadap masyarakat setempat dan penelitian yang dilakukannya lebih berfokus kepada perlawanan sosial yang dilakukan oleh

(21)

masyarakat setempat daripada kemiskinan masyarakat itu sendiri. penelitian yang dilakukan oleh Winarman tersebut hampir mirip dengan penelitian yang dilakukan oleh Wibowo (2013) yang melihat bahwa Kebijakan pengelolaan sumber daya hutan berbasis negara kurang memihak kepentingan petani hutan sehingga menimbulkan perlawanancdari para petani. Sedangkan Irza (2009) dan Mardiono (1996) lebih melihat kepada eksekusi dari kebijakan pengelolaan hutan. Dan Hasan (2014) lebih fokus kepada dinamika sosial masyarakat akibat kebijakan hutan rakyat.

Dari penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa beberapa penelitian tersebut mempunyai persamaan maupun perbedaan dengan kajian ini. walaupun obyek utama penelitian sama yaitu masyarakat dan hutan, tetapi fokus kajian, metedologi dan lokasi penelitiannya berbeda. Kesamaannya terletak pada tiga hal, yaitu: 1) pembicaraan tentang hutan dan masyarakat; 2) analis ketergantungan masyarakat miskin pada sumberdaya hutan; 3) kebijkaan pengelolaan sumber daya hutan. Sementara itu, perbedaannya terletak pada lima hal, yaitu: 1) perspektif dalam melihat kemiskinan masyarakat; 2) Fokus kajian pada bentuk dalam pengelolaan hutan oleh masyarakat; 3) Melihat dampak penguasaan negara atas hutan terhadap masyarakat, 4) melihat bentuk pelibatan masyarakat di dalam pengelolaan kawasan hutan lindung, dan 5) lokasi penelitian ini adalah di Nagari Garabak Data dan Nagari Bukik Kanduang.

Pada intinya, kajian-kajian terdahulu sifatnya hanya berkaitan saja dengan kajian ini, tapi tidak ada satupun yang mengupas secara tuntas hubungan antara penguasaan negara atas hutan dengan alasan untuk penyelamatan hutan dengan

(22)

kemiskinan masyarakat yang ada di kawasan hutan yang ditetapkan sebagai hutan lindung. Selain itu, kemiskinan masyarakat disekitar hutan dikonsepkan secara sederhana sebagai pemicu praktek penebangan liar dan deforestasi.

Didalam praktik, yang terjadi adalah penguasaan negara terhadap hutan dalam kaitan untuk melindungi sumberdaya alam hutan menyebabkan terjadinya kemiskinan masyarakat secara massif yang berada disekitar atau didalam hutan negara. Padahal, penguasaan negara dengan mengorbankan masyarakat sekitar hutan akan lebih mengancam kelestarian hutan dan merugikan masyarakat sendiri dari perspektif pelanggaran hukum. Oleh karena itu, peneliti dalam hal ini berusaha membahas bentuk pengelolaan hutan serta dampak dari pengelolaan hutan terhadap kemiskinan masyarakat di Nagari Garabak Data dan Nagari Bukik Kanduanag. Jadi dapat ditegaskan bahwa kajian dengan fokus dan lokus tersebut belum pernah dilakukan oleh orang lain, dan penelitian ini berbeda dengan penelitian yang pernah dilaksanakan sebelumnya.

1.6 Sistematika Penulisan

Tesis ini disajikan dalam tujuh bab. Bab I Pendahuluan, yang memuat dan menguraikan mengenai latar belakang dilakukannya penelitian dan rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, penelitian-penelitian terdahulu yang bersinggungan dengan penelitian ini dan sistematika penulisan. Bab II Kajian Teori. Bab III terdiri dari Definisi Operasional, berisikan tentang uraian mengenai landasan teoritis, serta defenisi operasional di dalam melakukan penelitian ini. selanjutnya Metode Penelitian, yang berisi jenis penelitian, lokasi

(23)

penelitian, sumber data, metode pengumpulan data, validasi data dan teknik analisis data. Bab IV Pengelolaan Hutan di Nagari Garabak Data dan Kemiskinan Masyarakat. Berisikan pembahasan mengenai pengelolaan hutan yang terjadi di Nagari Garabak Data dan dampanya terhadao kemiskinan. Bab V Pengelolaan Hutan di Nagari Bukik Kanduang dan Kemiskinan Masyarakat. berisikan pembahasan terhadap pengelolaan hutan oleh masyarakat di Nagari Bukik Kanduang dan dampaknya terhadap kemiskinan masyarakat. Selain itu juga berisi tentang perbandingan pengelolaan antara Nagari Garabak Data dan Nagari Bukik Kanduang serta perbandingan dampak pengelolaan hutan terhadap kemiskinan di nagari Garabak Data dan Nagari Bukik Kanduang. Bab VI Refleksi Teori, yang bertujuan untuk menguji fakta empiris temuan lapangan dengan teori. Bab VII Kesimpulan dan Saran, memuat kesimpulan hasl penelitian dari pembahasan yang telah dilakukan dan saran-saran yang bisa memberikan perspektif baru di dalam pengelolaan hutan di masa yang akan datang.

Gambar

Tabel 1.1 Kawasan Hutan Negara di Sumatera Barat
Tabel 1.2 Nagari Berdasarkan Status Kawasan dan Data Kemiskinan Penduduk
Tabel 1.3. Persentase Luas Lahan Menurut Jenis Penggunaannya
Tabel 1.4 Status Kemiskinan Per-Nagari Menurut Kawasan Hutan Lindung

Referensi

Dokumen terkait

Pedoman Teknis ini dimaksudkan untuk memberikan acuan dan panduan bagi petugas Dinas lingkup Pertanian baik Provinsi, Kabupaten/ kota maupun petugas lapangan dalam

1) Setiap anggota mempunyai kedudukan yang sama, satu orang anggota satu suara. 2) Anggota berhak mengajukan usul yang harus diperhatikan oleh pengurus. 3) Pengurus dan

Berdasarkan hasil uji post hoc tukeydengan nilai subset for alpha= 0.05 yang dilakukan dari jumlah tukak lambung pada hari ke-3 menunjukkan bahwa belum ada sediaan TEDA

Materi yang akan disampaikan pada siswa harus sesuai dengan kurikulum yang digunakan. Mahasiswa harus menguasai materi dan menggunakan berbagai macam bahan ajar, selain

Laila, U., 2008, Pengaruh Plasticizer dan Suhu Pengeringan Terhadap Sifat Mekanik Edible Film dari Kitosan, Skripsi, Jurusan Teknik Kimia, Fakultas

Item pertanyaan yang juga memperoleh skor tinggi terdapat pada item nomor 10 yaitu soal yang ada pada LKS menantang saya untuk berpikir kritis Hal ini sejalan dengan

Proses merger, akuisisi atau konsolidasi erat kaitannya dengan monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, karena merger yang merupakan penggabungan dua perusahaan menjadi

Penggunaan teknik sosiodrama melalui layanan bimbingan kelompok untuk mengurangi prasangka sosial terhadap teman - teman disekolah digunakan karena masalah yang