• Tidak ada hasil yang ditemukan

JKGT VOL.2, NOMOR 1, JULY (2020) (Penelitian) Distribusi Gingivitis Pada Pasien Skizofrenia (Kajian pada RSJD Dr. Amino Gondohusodo Semarang)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "JKGT VOL.2, NOMOR 1, JULY (2020) (Penelitian) Distribusi Gingivitis Pada Pasien Skizofrenia (Kajian pada RSJD Dr. Amino Gondohusodo Semarang)"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

JKGT VOL.2, NO MOR 1, JULY (2020) 31-36

(Penelitian)

Distribusi Gingivitis Pada Pasien Skizofrenia

(Kajian pada RSJD Dr. Amino Gondohusodo Semarang)

1Mikael Surya Editha,2Lies Zubardiah

1Mahasiswa, Fakultas Kedokteran Gigi Univeristas Trisakti, Jakarta, Indonesia 2

Bagian Periodonsia, Fakultas Kedokteran Gigi Univeristas Trisakti, Jakarta, Indonesia Email: lieszmbakri@gmail.com

ABSTRACT

Background: Periodontal disease is a form of inflammation in the periodontal tissue commonly caused by bacteria. Periodontal disease consists of gingivitis and periodontitis. The clinical signs appears in gingivitis only occurs in the gingiva. The prevalence of periodontal disease in Indonesia in 2018 reached a number of 37,057%. Gingivitis can be occur to psychiatric disosder patient such as schizophrenia. Schizophrenia is a psychiatric disorder experienced by someone depicting the discordance or disharmony in the process of thinking, feeling, and doing. Normal individuals can easily learn the proper way to brush the teeth in order to wipe the plaque effectively. While, the brushing teeth education for schizophrenic patients is much harder to be accepted correctly. Objective: To identify the frequency distribution of gingivitis lesions in schizophrenic patients at the Regional Psychiatric Hospital Semarang. Method: The descriptive observational research was conducted by looking at the secondary data which was a medical record of schizophrenic patients experiencing dental treatment in the dental polyclinics during 2015-2019. Results: The undergoing dental treatment of schizophrenic patients were as many as 100 medical records. Gingivitis in schizophrenic patients are found 41% in most people ranged from 26 to 35 years old and 36 to 45 years old (63.42%). Based on gender, there are more men suffering from gingivitis lesions than women. Conclusion: A study shows that schizophrenia patients suffering gingivitis comes in a relatively high of number (41%).

Keywords: gingivitis, schizophrenia.

PENDAHULUAN

Gingivitis adalah peradangan yang terjadi pada gingiva dan merupakan bagian dari penyakit periodontal. Gingivitis yang tidak dirawat dapat berlanjut ke jaringan periodontal yang lebih dalam menjadi periodontitis.1 Secara epidemologis gingivitis menduduki peringkat penyakit tertinggi di bidang kedokteraan gigi dan diderita oleh hampir seluruh masyarakat di dunia. Menurut Riskesdas RI 2018, prevalensi penyakit periodontal di Indonesia mencapai 37,58%.2 Keparahan yang diderita tiap individu sangat bervariasi dimulai dari gingivitis yang bersifat lokal hingga periodontitis destruktif yang parah, dan dapat mengakibatkan gigi goyang hingga tanggal.3

Gingivitis terjadi akibat akumulasi plak yang berkaitan dengan kebersihan mulut. Plak membutuhkan tindakan pembuangan dengan alat mekanis seperti sikat gigi dan alat pembersih interdental.4 Penduduk Indonesia yang melakukan peenyikatan gigi secara adekuat masih sedikit jumlahnya. Dari data Riskesdas menunjukkan hanya 2,8% masyarakat di Indonesia menyikat gigi sesuai dengan anjuran. Hal ini dipengaruhi oleh jenis kelamin, status ekonomi, dan lingkungan.2

World Health Organization (WHO) mendefinisikan sehat sebagai suatu keadaan sempurna baik secara fisik, mental, ataupun sosial, bukan hanya terbebas dari suatu penyakit atau kelemahan.5 Kesehatan rongga mulut

mencerminkan kesehatan tubuh secara keseluruhan dan dapat dilihat dari kondisi gigi dan jaringan periodontal.6 Indikator untuk mengukur kesehatan

periodontal pada umumnya adalah usia, kebiasaan merokok, dan metode penyikatan gigi.3 Pada individu normal teknik menyikat gigi dapat dipelajari dengan mudah sehingga dapat membuang plak secara efektif. Pada pasien gangguan kejiwaan sangat sulit menerima edukasi tentang cara membersihkan gigi secara baik dan benar, sehingga menyebabkan kebersihan mulut mereka terabaikan. Hal ini disebabkan karena orang dengan gangguan jiwa mempunyai masalah dalam hal berkomunikasi, belajar, dan bersosialisasi.7

Gangguan jiwa adalah suatu kondisi perubahan pada fungsi jiwa yang menyebabkan gangguan pada fungsi jiwa, sehingga menimbulkan masalah atau hambatan individu dalam melaksanakan peran sosial.8 Prevalensi gangguan jiwa berat di Indonesia terdapat sebesar 7 per mil dan banyak ditemukan pada daerah pedesaan.2 Skizofrenia adalah salah satu gangguan jiwa berat yang menimbulkan beban bagi pemerintah, masyarakat serta keluarga, oleh karena produktivitas pasien juga dapat menurun dan akhirnya menjadi beban biaya yang besar bagi keluarga pasien. Skizofrenia memiliki ciri-ciri seperti halusinasi, ilusi, dan waham.9 Individu yang mengalami gangguan jiwa hingga saat ini banyak

(2)

yang mengalami pemasungan oleh keluarga mereka, karena akses pelayanan kesehatan jiwa masih kurang memadai. Kementrian Kesehatan juga sudah melakukan upaya dengan cara membebaskan pasungan pada pasien gangguan jiwa karena pemasungan dianggap tidak sesuai dengan hak asasi manusia.10

Gangguan kejiwaan mempunyai kemungkinan dapat menimbulkan masalah yang berkaitan dengan perawatan gigi. Pasien kurang adekuat dalam menjalankan kegiatan sehari-harinya sebagaimana orang normal pada umumnya, termasuk dalam hal menyikat gigi.7 Penggunaan obat atipikal atau antipsikotik generasi ke-2 (APG-II) seperti clozapine baru-baru ini telah digunakan di Amerika Serikat untuk perawatan dalam menangani resistent-schizoprenia. Pada suatu studi klinis, pasien yang menggunakan obat clozapine

memiliki jumlah kunjungan ke rumah sakit lebih rendah, dan penurunan jumlah kunjungan rawat jalan yang tidak direncanakan.11

Gingivitis ditandai dengan berbagai perubahan yang terjadi pada gingiva, seperti warna kemerahan, pembengkakan, dan perdarahan dalam berbagai tingkatan. Ada hubungan yang sangat kuat antara akumulasi plak pada gingiva dengan terjadinya gingivitis.12 Patofisiologi gingivitis disebabkan oleh produk-produk bakteri yang menghasilkan toksin, enzim, dan produk-produk lain yang menginvasi jaringan gingiva melalui epitel sulkus gingiva.1 Penyebab penyakit

periodontal umumnya adalah faktor lokal yang berasal dari dalam mulut. Etiologi utama penyakit periodontal adalah plak yang sebagian besar terdiri atas mikroorganisme yang berakumulasi pada gigi dan gingiva.4 Faktor yang memudahkan akumulasi plak meliputi kalkulus, impaksi makanan, kebersihan mulut yang buruk, kebiasaan merokok, faktor iatrogenik dan penggunaan alat ortodontik. Faktor fungsional seperti kebiasaan parafungsi, maloklusi, dan trauma oklusi merupakan suatu reaksi akibat tekanan oklusi, yang menyebabkan kerusakan attachment apparatus.13,14

Faktor etiologi sistemik merupakan kondisi kesehatan tubuh secara sistemik yang dapat mempengaruhi atau memperberat penyakit periodontal yang disebabkan oleh faktor lokal. Penyakit dan kondisi sistemik dapat mempengaruhi jaringan periodontal dengan manifestasi berbeda-beda sesuai dengan penyakit spesifik dan respon individu. Faktor sistemik secara umum bukan penyebab langsung inflamasi gingiva. Faktor ini lebih banyak berperan dalam melemahkan ketahanan jaringan periodontal, sehingga jaringan periodontal lebih rentan terhadap efek faktor lokal. Faktor sistemik yang berhubungan dengan penyakit periodontal meliputi faktor homonal, malnutrisi, obat-obatan, psikologik, serta penyakit dan gangguan pada darah.13,14

Faktor psikologik khususnya stres memiliki hubungan dengan faktor risiko penyakit periodontal. Pada umumnya setiap manusia pernah mengalami stres psikologik akibat kelelahan, dan kecemasan, baik satu kali ataupun beberapa kali. Kondisi psikologik dapat berdampak pada jaringan periodontal karena mengubah metabolisme jaringan dan menurunkan daya tahan tubuh terhadap iritasi lokal. Hal ini berhubungan dengan peningkatan hormon kortisol dari korteks adrenal karena stimulasi peningkatan hormon adrenokortikotropik pada kelenjar hipofisis. Peningkatan kortisol secara langsung menekan sistem imun yaitu penekanan aktivitas neutrofil pada IgG dan sekresi IgA pada saliva. Semua respon imun ini sangat penting untuk respon imunoinflamasi terhadap pantogen periodontal.16,17 Necrotizing ulcerative gingivitis

(NUG) sering dihubungkan dengan stres. Kondisi ini disebut juga “trench mouth”. Ditemukan peningkatan kerusakan perlekatan periodontal pada pekerja yang sibuk dan mengalami stress.3,13,14 Gingivitis terbagi dalam 4 tingkatan yaitu

initial lesion, early lesion, established lesion, dan

advanced lesion. Tahap initial lesion merupakan respon dari leukosit dan sel endotel terhadap biofilm bakteri. Gambaran klinis tidak ditemukan pada tahap ini dan hanya terlihat secara mikroskopik. Produk metabolisme bakteri menstimulir sel epitel junctional untuk mengeluarkan sitokin dan merangsang neutron berubah menjadi neutropeptida. Hal ini menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah sehingga terjadi peningkatan neutrofil, makrofag, limfosit, sel mast, dan sel plasma pada jaringan ikat. Pada tahap early lesion ditemukan sedikit leukosit pada sulkus dan jaringan ikat gingiva. Temuan klinis pada tahap early lesion adalah terlihat tanda-tanda inflamasi pada gingiva seperti perdarahan, dan kedalaman sulkus menjadi sedikit lebih dalam. Early lesion terjadi 7 hari setelah

initial lesion ditemukan.14,15

Established lesion menunjukkan kondisi klinis pada gingivitis kronis. Sel plasma ditemukan pada pasien usia lebih tua, sedangkan pada usia lebih muda ditemukan sel limfosit T, makrofag, sel plasma, sel T. Limfosit B lebih dominan, serta ditemukan IgG1 dan IgG3 yang merupakan subkelas limfosit B. Sirkulasi darah terganggu dan terjadi kerusakan kolagen disertai peningkatan produksi kolagen oleh fibroblas. Secara klinis tahap ini menunjukkan kondisi gingivitis tingkat sedang hingga gingivitis berat. Perubahan akibat inflamasi dapat bersifat reversibel apabila dilakukan pengontrolan plak. Advanced lesion merupakan tahap akhir dari transisi gingivitis menjadi periodontitis. Secara klinis dan histologis terjadi kehilangan perekatan yang bersifat ireversibeldan kerusakan tulang.14,15

Gambaran klinis gingivitis dapat dilihat dari perubahan gingiva meliputi warna, konsistensi,

(3)

tekstur permukaan, bentuk, ukuran, serta perdarahan saat probing.16 Warna gingiva dapat

berubah menjadi merah terang ataupun merah kebiruan, konsistensi dapat berubah menjadi lunak (udematus) ataupun keras (fibrosis). Permukaan gingiva licin, ukuran gingiva bertambah karena merembesnya cairan dan sel-sel eksudat ke dalam jaringan ikat, ada perdarahan dengan atau tanpa probing, serta halitosis.1,17 (Gambar 1)

Gambar 1.Tanda-tanda gingivitis, gingiva kemerahan, stipling hilang, kontur marginal membulat, puncak papil interdental tumpul.14

Skizofrenia

Gangguan jiwa adalah suatu perubahan fungsi jiwa yang menyebabkan adanya gangguan pada fungsi jiwa, yang menimbulkan penderitaan ataupun hambatan pada individu untuk melakukan peran sosial.8 Konsep gangguan jiwa menurut Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ-III) di Indonesia, adalah suatu konsep secara klinis pada pola perilaku atau psikologis yang signifikan dan terjadi pada individu yang memiliki hubungan dengan distres seperti gejala nyeri atau sakit. Disabilitas, disamping distres juga berdampak pada pelemahan satu fungsi atau lebih seperti disfungsi perilaku, psikologik, dan biologik. Hal ini mempunyai hubungan erat pada peningkatan resiko kematian, rasa sakit, dan yang terpenting hilangnya rasa kebebasan.9

Skizofrenia merupakan salah satu gangguan jiwa yang paling sering terdapat di dunia. Hampir sekitar 1% penduduk di dunia mengalami skizofrenia.18 Di Indonesia dari data yang ditemukan terdapat 7 per mil pasien skizofrenia.2 Sebelum ditemukan istilah skizofrenia, Kraepelin (1856-1926), seorang ahli kedokteraan jiwa di Jerman menggunakan istilah demensia prekox. Menurut Kraepelin, pada penyakit ini terjadi kemunduran intelegensi sebelum waktunya, karena itu dinamakan: demensia (kemunduran inteligensi)

prekox (muda, sebelum waktunya). Istilah skizofrenia (Schizophrenia) dikemukakan oleh Eugene Bleudler (1857-1938) pada tahun 1911. Skizofrenia diambil dari kata schizos, yang berarti terpecah-belah atau bercabang dan phren yang berarti jiwa. Jadi skizofrenia adalah jiwa yang yang terpecah-belah, adanya keretakan atau disharmoni antara proses berpikir, perasaan, dan perbuatan.18

Gejala-gejala positif skizofrenia ditandai dengan gangguan pemikiran, isi pikiran, presepsi, emosi, dan gangguan perilaku. Gejala-gejala negatif skizofrenia meliputi sikap apatis, penarikan diri dari pergaulan, penurunan kinerja, dan respon emosional yang tidak wajar.9 Pasien skizofrenia

secara umum memiliki gangguan pada proses berpikir, serta memiliki suatu pemikiran yang tidak dapat dimengerti oleh orang lain dan terkesan tidak logis. Gangguan isi pikiran terbagi menjadi 2 yaitu waham dan tilikan. Waham adalah suatu kepercayaan palsu yang menetap dan tidak sesuai fakta, kepercayaan ini mungkin dapat bersifat aneh ataupun tidak masuk akal. Pasien tetap mempertahankan kepercayaan tersebut walaupun ada bukti yang jelas untuk menyangkal kepercayaan pasien. Tilikan adalah suatu keadaan pasien yang tidak menyadari penyakitnya serta kebutuhan terhadap pengobatan, walaupun gangguan pada dirinya dapat disadari oleh orang lain.19

Halusinasi dan ilusi merupakan suatu gangguan presepsi yang sering ditemukan pada skizofrenia, dan halusinasi pada skizofrenia timbul tanpa penurunan kesadaran. Halusinasi pendengaran (auditorik atau akustik) sering ditemukan pada pasien skizofrenia, berupa bentuk suara manusia, suara barang-barang ataupun siulan berasal dari luar kepala dan terasa nyata menurut pasien. Ilusi adalah misinterpretasi panca indera pada objek.18,19 Pasien skizofrenia mempunyai

berbagai macam emosi dan dapat berubah dari satu emosi ke emosi lainnya dengan rentang waktu yang singkat, seperti contoh setelah membunuh anaknya, pasien menangis berhari-hari, tetapi mulutnya tertawa.18 Berbagai perilaku aneh atau tak sesuai sering ditemukan pada pasien skizofrenia seperti gerakan tubuh aneh, wajah menyeringai, agresif, dan sangat ketolol-tololan.19

Gejala klinis skizofrenia dalam pengalaman praktek terbagi dalam 5 tipe yaitu skizofrenia tipe hebefrenik, tipe katatonik, tipe paranoid, tipe residual, dan skizofrenia tipe tak tergolongkan. Pasien skizofrenia tipe hebefrenik sering disebut tipe disorganisasi atau kacau balau, diperlukan waktu 2 hingga 3 bulan untuk meyakinkan diagnosis. Tipe hebefrenik mempunyai beberapa gejala seperti gangguan emosi, melakukan gerakan-gerakan aneh, tertawa sendiri, menyendiri, dan berbuat jahil. Skizofrenia tipe katatonik merupakan gangguan pada aktivitas motorik. Pasien paling sedikit mempunyai 1 dari beberapa gejala katatonia seperti stupor katatonik, negativisme, rigiditas, pustor katatonik, dan kegembiraan katatonik.9

Stupor katatonik atau mutisme adalah kondisi pasien yang tidak bergerak, tidak berbicara, dan tidak merespons, meskipun pasien dalam kondisi sadar. Negativisme adalah kondisi pasien yang tampak jelas melakukan perlawanan

(4)

terhadap perintah atau upaya yang diberikan. Rigiditas adalah kondisi pasien secara fisik sangat kaku atau rigid, sebagai upaya untuk melawan pergerakan tubuhnya. Kegembiraan atau gaduh-gelisah katatonik adalah kondisi hiperaktivitas motorik, tetapi tidak disertai rangsangan dari luar. Pasien terus berbicara ataupun menggerakkan tubuhnya, tidak dapat tidur, serta tidak dapat makan dan minum. Pada kondisi ini dapat menyebabkan kematian pasien yang disebabkan oleh kelelahan.9,18

Tipe paranoid adalah tipe yang paling stabil dan sering ditemukan. Pasien sering mengalami paranoid, pasien dapat atau tidak dapat, bertindak sesuai dengan wahamnya, tidak koperatif, serta bersifat agresif, marah, ataupun ketakutan. Waham dan halusinasi lebih dominan, namun respon emosional dan pembicaraan hampir tidak berpengaruh. Contoh gejala paranoid adalah waham, yaitu seperti merasa dikejar, dikendalikan, dan dipengaruhi; serta halusinasi akustik seperti ancaman, merasa diperintah, dan penghinaan.19 Skizofrenia tipe residual merupakan sisa-sisa gejala skizofrenia yang sudah mengalami penyembuhan, tetapi masih memperlihatkan gejala negatif seperti penarikan diri secara sosial, penurunan aktivitas, pasif, tidak ada inisiatif, menghindari kontak mata, serta buruk dalam perawatan diri, dan fungsi sosial.18 Skizofrenia tipe yang tidak tergolongkan adalah pasien yang terlihat memenuhi kriteria diagnostik skizofrenia seperti waham, halusinasi, dan gejala psikosis aktif, namun tidak memenuhi kriteria diagnosis skizofrenia tipe paranoid, hebefrenik, katatonik, ataupun residual.9

Pasien skizofrenia merupakan kelompok dengan faktor risiko tinggi terutama yang memiliki kebiasaan merokok dan minum alkohol lebih banyak dibanding orang normal lainnya. Hal ini merupakan faktor etiologi modifying penyakit periodontal.20 Pemakaian obat-obatan pada pasien skizofrenia, terutama antipsikotik generasi pertama seperti chlopromazin dan piperazin memiliki efek samping dry mouth, menyebabkan hilangnya fungsi saliva sebagai lubrikan, buffer, pembersih, dan proteksi terhadap infeksi. Kekurangan saliva tidak hanya meningkatkan resiko karies saja, tetapi juga meningkatkan terjadinya gingivitis, periodontitis, stomatitis, dan candidiasis.21

Obat antipsikotik dapat memberikan efek samping berupa tremor. Tremor dapat mengganggu aktivitas motorik sehari-hari, seperti kegiatan menyikat gigi sehingga menyebabkan kesehatan mulut menjadi buruk.22 Pasien gangguan kejiwaan

cenderung menghindari pemeriksaan rutin ke dokter gigi dan mengabaikankebersihan mulutnya. Pasien sering dijumpai tidak koperatif dan menghindari pemeriksaan gigi karena takut pada perawatan gigi.23

Perawatan Gingivitis pada Skizofrenia

Pasien skizofrenia harus ditangani secara empatik seperti pasien normal lainnya. Komunikasi dan hubungan baik harus dibangun antara dokter gigi dengan pasien untuk menghindari rasa ketidaknyamanan pasien. Program edukasi kesehatan mulut di dalam institusi dapat dilakukan seperti mengajarkan teknik menyikat gigi dan penggunaan obat kumur tanpa alkohol dalam keseharian pasien disertai koordinasi dengan perawat-perawat pasien. Teknik menyikat gigi yang disarankan adalah metode vibratori yaitu teknik Bass, dan teknik Stillman. Tindakan seperti root planing dan bedah flap bukan merupakan kontraindikasi, serta dapat dilakukan sebagai tindakan pencegahan pada pasien dengan kondisi stabil dan dalam proses pengobatan.13,14,22,24

BAHAN DAN CARA PENELITIAN

Penelitian ini digolongkan dalam observasional deskriptif, dengan rancangan potong lintang, dengan populasi RM pasien skizofrenia yang dirawat di Poliklinik Gigi RSJD Dr. Amino Gondohutomo Semarang. Penelitian ini sudah mendapat izin dari Badan Komisi Etik Penelitian Program Studi SKG FKG Usakti dan surat ijin dari direktur RSJD Dr. Amino G, Semarang. Rekam medik dipilih berdasarkan adanya diagnosis gingivitis pada RM. Pengambilan sampel secara

purposive random sampling sesuai dengan kriteria inklusi. Rekam medik dipilih dalam rentang waktu 5 tahun, terhitung dari 1 Januari 2015 hingga 31 Desember 2019. Rekam medik memuat data pasien skizofrenia yang mengalami gingivitis. Kriteria ekslusi adalah pasien skizofenia yang tidak melakukan pemeriksaan gigi dan mulut.

Gingivitis ditentukan secara klinis bila pada gingiva terdapat perubahan warna, perubahan ukuran, perubahan bentuk, perubahan konsistensi, perubahan tekstur permukaan, dan BOP (Bleeding on probing), serta tercantum di dalam RM. Dari RM dicatat juga data pasien, seperti nama, usia, jenis kelamin, dan diagnosis.

Gambar 2.Gingivitis pada pasien skizofrenia, tampak gingiva gigi anterior bawah hiperemia, membengkak, dan udematus. (Dokumentasi pribadi, 2020)

HASIL PENELITIAN

Dari RM pasien skizoprenia diperoleh 100 sampel yang menerima pemeriksaan gigi dari tahun 2015 hingga 2019 yang terbagi atas 68 laki-laki dan 32 perempuan. Jumlah pasien skizofrenia

(5)

dengan diagnosis gingivitis ditemukan sebanyak 41 pasien.

Tabel 1. Jumlah sampel yang diperoleh tahun 2015 sd 2019

Tahun Jumlah Sampel Persentase

(%) 2015 16 16 2016 33 33 2017 13 13 2018 15 15 2019 23 23 Total 100 100

Pasien skizofrenia yang menjalani perawatan gigi dan mulut dari tahun 2015 hingga 2019 ditemukan sebanyak 100 RM. Jumlah sampel gingivitis terbanyak adalah pasien yang datang pada tahun 2016 sebanyak 33 RM (33%), sedangkan paling sedikit adalah pada tahun 2017yaitu 13 RM (13%).

Tabel 2. Jumlah gingivitis berdasarkan jenis kelamin. Jenis Kelamin Gingivits Persentase

(%)

Laki-laki 25 60,97

Perempuan 16 39,02

Total 41 100

Jumlah gingivitis berdasarkan jenis kelamin menunjukan laki-laki dengan jumlah 25 orang (60,97%) lebih banyak dari pada perempuan dengan jumlah 16 orang (39,02%).

Tabel 3. Jumlah gingivitis berdasarkan usia. Kelompok Usia (tahun) J u m l a h P a s i e n #Gingivi tis #Gingiviti s #Gingivi tis (%) #Gingivit is (%) 17-25 2 8 4,88 13,56 26-35 13 18 31,71 30,51 36-45 13 15 31,71 25,42 46-55 5 10 12,19 16,95 56-65 6 7 14,63 11,86 >65 2 1 4,88 1,69 Total 41 59 100 100

Jumlah gingivitis berdasarkan usia, menunjukkan hasil paling banyak terdapat pada usia dewasa awal (26-35 tahun) dan dewasa akhir (36-45 tahun) dengan jumlah 26 orang (63,42%). Data gingivitis paling sedikit ditemukan pada usia remaja akhir (17-25) dan lansia (65 tahun ke atas) dengan jumlah 4 orang (9,76%).

PEMBAHASAN

Data diambil dari 100 rekam medik yang terdiri atas 68 laki-laki dan 32 perempuan. Hasil

menunjukkan gingivitis paling banyak ditemukan pada tahun 2016 sebesar 33 (33%). Hal ini karena pada tahun 2016 lebih banyak permintaan pasien skizofrenia yang memeriksakan gigi dibandingkan tahun-tahun lainya di Poliklinik Gigi RSJD. Jumlah gingivitis berdasarkan jenis kelamin lebih banyak ditemukan pada laki-laki dari pada perempuan. Gingivitis pada laki-laki sebanyak 25 orang (60,97%), sedangkan wanita 16 orang (39,02%). Menurut temuan klinis dari studi terdahulu, ditemukan hubungan antara jenis kelamin (laki-laki) dengan akumulasi plak. Hal ini karena kurangnya kesadaran dan perilaku laki-laki dalam memperhatikan kebersihan mulutnya. Laki-laki juga kemungkinan besar lebih malas untuk mengunjungi dokter gigi dibandingkan dengan perempuan.25

Jumlah pasien skizofrenia ditemukan lebih banyak pada laki-laki dibandingkan perempuan. Hal ini juga disebabkan pasien skizofrenia yang datang untuk berobat di RSJD lebih banyak laki-laki dari pada perempuan. Dari hasil penelitian ditemukan bahwa golongan usia dewasa muda (26-35 tahun) dan dewasa tua (36-45 tahun) memiliki data gingivitis lebih tinggi dibandingkan usia lainnya yaitu sebanyak 26 pasien. Usia dianggap memiliki pengaruh terhadap penyakit periodontal, hal ini berkaitan dengan kemungkinan adanya penyakit sistemik yang dapat memperparah penyakit. Dalam penelitian ini gingivitis menurun sesuai bertambahnya usia.26

Dari catatan literatur mengenai hubungan usia dan gingivitis didapat temuan yang tidak konsisten seperti halnya di Amerika Serikat dan negara-negara di Amerika Latin. Dari penelitian yang terdahulu di Hongaria, rata-rata perdarahan gingiva pada orang dewasa tua terdapat sedikit peningkatan dibandingkan pada orang dewasa muda. Berdasarkan skor perdarahan, tidak terdapat perbedaan berkaitan dengan usia. Hal ini memperkuat anggapan bahwa penyakit periodontal lebih disebabkan oleh faktor oral hygiene yang buruk, disertai adanya faktor etiologi predisposisi lain seperti gigi berjejal.26

Penelitian sebelumnya yang telah dilakukan oleh Sriyono (cit. Rahayu dkk.) menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara perilaku terhadap pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut dengan gingivitis pada usia 46 tahun ke atas. Perilaku sehat merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kesehatan seseorang. Seseorang yang berperilaku sehat ataupun tidak sehat, dapat dipengaruhi oleh berbagai hal. Hal ini meliputi pengetahuan yang diperoleh dari orang lain yang menjadi panutan, sumber daya (fasilitas, uang, waktu, tenaga, jarak ke fasilitas kesehatan), dan kebudayaan.27

Obat-obatan antipsikotik pada umumnya memiliki potensi yang menyebabkan efek samping seperti sedasi, gangguan otonomik, dan sistem

(6)

metabolik.28 Clozapine merupakan salah satu obat antipsikotik generasi kedua yang dapat menyebabkan agranulositosis dan leukopenia. Hal ini tidak diketahui secara pasti, tetapi ada hipotesis yang menyatakan bahwa agranulositosis yang dipicu clozapine adalah akibat bioaktivasi oleh enzim P450 dan enzim peroksidase yang membentuk ion nitrenium pada leukosit. Ion nitrenium mempercepat siklus hidup sel leukosit dan metabolit reaktif dari clozapine yang tidak stabil menghasilkan stres oksidatif pada neutrofil sehingga mempercepat siklus kematian sel.29 Efek samping pemakaian obat pada masing-masing individu berbeda-beda, hal ini dapat dipengaruhi oleh perbedaan tubuh individu dalam mentolerir efek samping obat. Semakin banyak kombinasi obat yang digunakan, semakin besar pula kemungkinan terjadinya efek samping.30

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pasien skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Daerah Dr. Amino Gondohutomo Semarang menderita gingivitis dalam jumlah yang cukup tinggi yaitu sebanyak 41 pasien (41%). Penyuluhan mengenai pentingnya kesehatan gigi dan cara pemeliharaan kesehatan gigi dibutuhkan untuk pasien skizofrenia.

DAFTAR PUSTAKA

1. Trenggono BS, Astoeti TE, Poedjiastoeti W, et al. Standar pelayanan medis. I. Jakarta: RSGM FKG USAKTI; 2012. 220 p.

2. Riskesdas K 2018. Hasil utama riset kesehatan dasar (Riskesdas). J Phys A Math Theor [Internet]. 2018;44(8):1–200. Available from: http://arxiv.org/abs/1011.1669%0Ahttp://dx.doi.org/10.10 88/1751-8113/44/8/085201%0Ahttp://stacks.iop.org/1751-8121/44/i=8/a=085201?key=crossref.abc74c979a75846b3 de48a5587bf708f

3. Mustaqimah DN. Peran stres terhadap kesehatan jaringan periodonsium. Juwono L, editor. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteraan EGC; 2010. p.9,

4. Diah D, Widorini T, Nugraheni NE. Perbedaan angka kejadian gingivitis antara usia pra-pubertas dan pubertas di Kota Malang. E-Prodenta J Dent. 2019;02(01):108–115. 5. Wardhani. Pelayanan kesehatan mental dalam hubungan

dengan disabilitas dan gaya hidup masyarakat indonesia. Puslitbanghum dan Manaj.Kes Kemenkes RI. 2016;19:99– 107.

6. Iain L, Brian L, Dyke V, Thomas E, Mark P, Maria L, et al. Periodontal health and gingival diseases and conditions on an intact and a reduced periodontium. J Periodontol. 2019; 874-884.

7. Ratulangi MHR, Wowor VNS, Mintjelungan CN. Status gingiva siswa tunagrahita di sekolah luar biasa Santa Anna Tomohon. Jurnal e-GiGi(eG). 2016;4:202–203.

8. Lubis N, Krisnani H, Fediyansyah M. Pemahaman masyarakat mengenai gangguan jiwa dan keterbelakangan mental. Share Soc Work J. 2018;4(2).

9. Maslin R. Buku saku diagnosis gangguan jiwa. 2nd ed. Jakarta: Bag. Ilmu Kedokt. Jiwa FK-Unika Atmajaya; 2013. p. 2,7, 17.

10. Riskesdas 2013 [Internet]. Balitbangkes depkes RI. 2013.

Available from:

http://www.academia.edu/download/36235491/Laporan_ri skesdas_2010.pdf

11. Friedlander AH, RPL. Oral health care of the patient with

schizophrenia. Balkan of J Dent Medicine 2012;11(5):179–83.

12. Ayu C, Gunawan P, Wicaksono DA. Gambaran status gingiva pada anak usia sekolah dasar di SD GMIM Tonsea 13. Pawlak EA, Hoag PM. Essentials of periodontics. 2nd ed.

Mosby. 1980. p.18-23.

14. Newman, Michael. Takei, Henry. Klokkevold, Perry. Carranza F, eds. Carranza’s Clinical Periodontology ed 12.pdf. Missouri. Elseiver . 2015. p. 9, 20-23,47, 225–30. 15. Cekici, A, Kantarci, A, Hasturk, H & Van Dyke TE.

Inflammatory and immune pathways in the pathogenesis of periodontal disease. 2014;64(12):57–80.

16. Joseph P, Panagiota, Fiorellini, Stathopoulou G. Clinical features of gingivitis. In mrzezo in Periodontics; 2015. Available from: https://pocketdentistry.com/15-clinical-features-of-gingivitis/#s0080

17. Zubardiah L. Jaringan periodonsium anatomis, klinis & histologis. Universitas Trisakti; 2014. 1, 6 p.

18. Maramis WF. AAM. Ilmu kedokteran jiwa. 2nd ed. Surabaya: Airlangga Univercity Press; 2009. p.2. 19. Elvira SD, Hadisukanto G, editors. Buku ajar psikiatri.

Badan Penerbit FKUI; 2010. p.170 .

20. Ramadhani ZF, Putri DKT, Cholil. Prevalensi penyakit periodontal pada perokok di lingkungan Batalyon Infanteri 621/ Manuntung Barabai Hulu Sungai Tengah. Dentino J Kedokt gigi. 2014;II(2):197–200.

21. Seeman MV. Antipsychotics and physical attractiveness. 2011; Okt.5(3):142-146.

22. Swati G, Pratibha PKRG. Necessity of oral health intervention in schizophrenic patients – a review. Nepal J Epidemiol. 2016;6(4):605–12.

23. Đorđević V, Dejanović SĐ, Janković L, Todorović L. Schizophrenia and oral health - review of the literature. Balk J Dent Med. 2016;20(1):15–21.

24. Reddy S. Essential of Clinical Periodontology and Periodontics. 3rd ed. New Delhi: Jaypee Brother Medical Publisher; 2011. 9 p.

25. Idrees MM, Azzeghaiby SN, Hammad MM, Kujan OB. Prevalence and severity of plaque-induced gingivitis in a saudi adult population. Saudi Med J. 2014;35(11):1373–7. 26. Haas AN, Prado R, Rios FS, Costa RDSA, Angst PDM, Moura MDS, et al. Occurrence and predictors of gingivitis and supragingival calculus in a population of brazilian adults. Braz Oral Res. 2019;33:e036.

27. Rahayu C, Widiati S, Widyanti N. Hubungan antara pengetahuan, sikap, dan perilaku terhadap pemeliharaan kebersihan gigi dan mulut dengan status kesehatan periodontal pra lansia di posbindu kecamatan indihiang kota tasikmalaya. Maj Kedokt Gigi Indones. 2014;21(1):27.

28. Yulianty MD, Cahaya N, Srikartika VM. Studi Penggunaan antipsikotik dan efek samping pada pasien skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Sambang Lihum Kalimantan Selatan. J Sains Farm Klin. 2017;3(2):153. 29. Ojong M, Allen SN. Management and prevention of

agranulocytosis in patients receiving clozapine. Ment Heal Clin. 2013;3:139–43.

30. Anggraini H. 2019. Pengetahuan dasar gangguan jiwa. Hasil wawancara pribadi: 23 Agustus 2019, RSJD Dr. Amino Gondohutomo Semarang.

Gambar

Gambar 1. Tanda-tanda gingivitis, gingiva kemerahan, stipling  hilang, kontur marginal membulat, puncak papil interdental  tumpul
Gambar  2.  Gingivitis  pada  pasien  skizofrenia,  tampak  gingiva  gigi  anterior  bawah  hiperemia,  membengkak,  dan  udematus
Tabel 3. Jumlah gingivitis berdasarkan usia.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil :penelitian dari 63 responden didapatkan analisa data dengan menggunakan uji mann-whitney dengan nilai signifikan <0,05 menunjukan bahwa terdapat hubungan yang

Kriteria diagnosis skizofrenia menurut PPDGJ-III atau ICD 10,Persyaratan normal untuk diagnosis skizofrenia adalah : dari gejala-gejala dibawah ini harus ada paling sedikit

Pengertian perilaku kekerasan sebagai perilaku yang membahayakan diri orang lain dan lingkungannya, respon perawat saat berhadapan dengan pasien perilaku kekerasan dan

Penelitian ini menunjukkan bahwa dukungan keluarga sangat penting dan utama dalam proses kesembuhan pasien gangguan jiwa, keluarga harus memiliki pengetahuan yang