• Tidak ada hasil yang ditemukan

C. PERENCANAAN SKENARIO OLEH KELOMPOK ANAK DAN KAUM MUDA DALAM KERANGKA HUKUM HAK ASASI MANUSIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "C. PERENCANAAN SKENARIO OLEH KELOMPOK ANAK DAN KAUM MUDA DALAM KERANGKA HUKUM HAK ASASI MANUSIA"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

C. PERENCANAAN SKENARIO OLEH KELOMPOK ANAK DAN KAUM MUDA DALAM KERANGKA HUKUM HAK ASASI MANUSIA

KHA merupakan instrumen pertama yang mengikat secara hukum untuk mengenali spektrum penuh hak sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya

yang secara spesifik mengatur anak sebagai subyek hak (rights holders).

Artinya, KHA menjadi kerangka normatif bagi masyarakat dan negara untuk memberikan perlindungan kepada anak, di sisi lain anak dapat mengajukan tuntutan secara moral dan hukum kepada para penanggung jawab dalam memberikan perlindungan kepada mereka. Hak anak atas partisipasi merupakan bagian integral dari HAM itu sendiri, sama halnya dengan jaminan atas HAM yang lain, termasuk hak atas kehidupan, perlindungan, dan perkembangan. Hak atas partisipasi dapat diterapkan

dalam semua konteks, termasuk situasi konflik bersenjata. Untuk itu,

kelompok anak dan kaum muda harus diberikan akses dan ruang untuk mengekspresikan dirinya serta diberikan akses atas informasi agar mereka berpartisipasi dalam setiap pengambilan keputusan yang berdampak pada kehidupan mereka.

Nancy Kanyago, et.al, dari The African Child Policy Forum (2007:15)

menyatakan bahwa partisipasi menjadi salah satu dari 3 (tiga) klasifikasi

keseluruhan umum dari hak yang terkandung dalam KHA. Artinya partisipasi anak menjadi spirit dan prasyarat yang harus ada agar hak-hak lain yang dijamin dalam KHA dapat dinikmati oleh anak-anak. Adapun

3 (tiga) klasifikasi umum KHA, yaitu:

1. Penyediaan (provision), anak-anak memiliki hak untuk disediakan

layanan sosial dan layanan lainnya, meliputi perawatan kesehatan dan pendidikan, jaminan keamanan sosial dan standar hidup yang layak;

2. Perlindungan (protection), anak memiliki hak untuk dilindungi dari

semua bentuk kekerasan, meliputi penyalahgunaan, kelalaian, semua bentuk eksploitasi seksual komersial dan eksploitasi seksual lainnya, penyiksaan, dan penahanan sewenang-wenang;

3. Partisipasi (participation), anak memiliki hak untuk didengar

pendapatnya terhadap semua masalah yang berdampak pada kehidupan mereka dan berpartisipasi dalam pembuatan kebijakan yang mempengaruhi kehidupan mereka dan masyarakat secara keseluruhan.

(2)

Ketiga spirit dan prasyarat dasar KHA tersebut harus menjadi kerangka dasar dalam upaya mewujudkan keadilan transisional dalam upaya menyelesaikan pelanggaran HAM di masa lalu dan membangun masyarakat yang damai dan demokratis di masa yang akan datang. Sementara itu, dalam KHA juga terdapat prinsip-prinsip umum yang harus menjadi pedoman dalam perancangan proses dan mekanisme keadilan transisional meliputi:

1. Hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan tumbuh kembang (Pasal 6)

2. Kepentingan terbaik bagi anak (Pasal 3); 3. Non-diskriminasi (Pasal 2); dan

4. Hak untuk mengekspresikan pandangan (Pasal 12).

Kemudian, ketentuan-ketentuan dalam KHA yang dapat dijadikan sandaran hukum proses dan mekanisme keadilan transisional, antara lain:

1. Mengambil langkah legislatif, administrasi, dan tindakan yang lain untuk memastikan realisasi hak anak (Pasal 4);

2. Mengambil langkah-langkah untuk memajukan pemulihan fisik,

psikologis, dan reintegrasi sosial (Pasal 39).

Dalam hal penanganan pasca konflik, pemberdayaan korban merupakan

prasyarat mendasar bagi setiap upaya pengambilan kebijakan rekonsiliasi. Oleh karena itu, melibatkan anak terlibat dalam proses keadilan transisional merupakan upaya untuk memberdayakan anak sebagai korban. Partisipasi anak dalam proses keadilan transisional harus menyesuaikan dengan usia dan tingkat kematangan anak sehingga kepentingan terbaik mereka dapat terjaga.

Untuk mengkaitkan keadilan transisional dengan partisipasi anak dan

kaum muda, dapat melihat pengalaman Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Sierra Leone. Berdasarkan pengalaman tersebut, Philip Cook & Cheryl

Heykoop (2010: 162) mencatat paling tidak terdapat 3 (tiga) kunci

keterlibatan anak dan kaum muda dalam proses tersebut, yaitu:

1. Memahami partisipasi anak dalam Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dapat meningkatkan kapasitas mereka sesuai dengan konteks budaya setempat;

2. Mengkonseptualisasikan hubungan antara perlindungan dan partisipasi anak;

(3)

3. Mempelajari partisipasi penuh anak-anak sebagai suatu daya dorong yang didasarkan pada legalitas dan reformasi kebijakan sosial serta penguatan bagi warga negara, khususnya terkait dengan mendorong pemulihan antargenerasi dan berlanjutnya

perdamaian pasca konflik.

Melihat pengalaman Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Sierra Leone, terlihat jelas urgensitas partisipasi anak dalam proses pencarian kebenaran

transisional pasca konflik dalam mewujudkan keadilan antargenerasi dan

keberlanjutan perdamaian. Skenario Masa Depan Aneuk dan Pemuda

Atjeh Tahun 2018 yang dihasilkan oleh kelompok anak dan kaum muda Aceh merupakan salah satu bentuk manifestasi partisipasi anak dan kaum muda di Aceh dalam masa transisi di Aceh.

Mengapa anak harus diberikan akses untuk berpartisipasi dalam proses transisi di Aceh? Mengacu pada pandangan Paul Stephenson, Steve

Gourley & Glenn Miles, (2004: 11) setidaknya terdapat 2 alasan yang

mendasar: pertama, di bawah hukum internasional anak memiliki

hak untuk dikonsultasi atas semua keputusan yang berdampak pada

kehidupan mereka. Kedua, anak-anak sebenarnya lebih mengetahui

kehidupannya sendiri, bukan orang lain. Sering kali orang dewasa merasa berhak membuat keputusan mengenai kehidupan anak-anak berdasarkan informasi yang hanya disediakan oleh orang dewasa. Padahal orang dewasa sudah tidak dapat berpikir, merasakan, dan melihat sebagai anak sehingga keputusan yang diambil jika tanpa mendengar anak-anak bisa jadi berdampak negatif ketimbang positif. Dengan demikian,

Skenario Masa Depan Aneuk dan Pemuda Atjeh Tahun 2018 yang

dihasilkan kelompok anak dan kaum muda merupakan implementasi hak anak untuk berpartisipasi dan menyuarakan aspirasi politiknya mengenai konstruksi masa depan Aceh yang mereka inginkan.

Hal ini dilandasi pemikiran bahwa setiap generasi berhak untuk mengkonstruksikan imajinasi dan pemikirannya mengenai wujud tatanan masa depan yang dikehendaki. Setiap generasi dipastikan memiliki sikap dan pemikiran baru yang niscaya berbeda dengan generasi terdahulu. Perbedaan pemikiran ini lahir karena konteks jaman yang berbeda. Oleh

karenanya setiap generasi berhak menolak setiap infiltrasi pemikiran,

apalagi bersifat indoktrininasi, yang dipaksakan oleh generasi terdahulu yang tidak sesuai dengan kehendaknya. Pada titik ini kelahiran generasi baru bukan hanya sekedar melanjutkan eksistensi kodrati generasi terdahulu, namun setiap kelahiran generasi baru dilekati hak untuk mengukuhkan kemandiriannya.

(4)

Partisipasi didefinisikan oleh Roger A Hart (1992: 5) sebagai suatu proses

pembagian keputusan yang mempengaruhi kehidupan seseorang dan kehidupan komunitas di mana individu tersebut menjalani kehidupannya. Sedangkan menurut Paul Stephenson, Steve Gourley & Glenn Miles (2004:

5) partisipasi anak didefinisikan sebagai upaya memberikan pengaruh

atas isu yang berdampak pada kehidupan anak-anak melalui konsultasi atau tindakan kemitraan dengan orang dewasa.

Kotak 13: Partisipasi Anak dalam KHA

• Anak yang tengah berkembang harus mendapatkan pengarahan dan bimbingan sesuai dengan perkembangan kemampuan anak (Pasal 5);

• Anak tidak dapat dipisahkan dari keluarganya tanpa mempertimbangkan pandangan anak (Pasal 9);

• Anak mempunyai hak untuk didengar pendapatnya (Pasal 12);

• Anak memiliki kebebasan berekspresi (Pasal 13);

• Anak memiliki kebebasan untuk berhati nurani, berpikir, dan berkeyakinan (Pasal 14);

• Anak memiliki kebebasan berkumpul (Pasal 15);

• Anak memiliki hak atas privasi (Pasal 16);

• Anak memiliki kebebasan atas informasi (Pasal 17);

• Anak memiliki hak atas pendidikan untuk memajukan penghormatan terhadap HAM dan demokrasi (Pasal 29).

Sumber: Gerison Lansdown, 2001

Pasal 12 KHA merupakan ketentuan inti yang mendasari anak untuk berpartisipasi. Pasal tersebut menyatakan:

”Negara harus menjamin bagi anak yang mampu membentuk pendapatnya sendiri, hak untuk mengutarakan pendapat dengan bebas dalam semua masalah yang mempengaruhi kehidupan anak, pendapat anak diberi bobot yang semestinya sesuai dengan umur dan kematangan si anak.”

Berdasarkan ketentuan di atas maka negara dibebani kewajiban memberikan kesempatan dan akses bagi anak untuk berpartisipasi.

Untuk itu, agara dapat menjamin pelaksanaan partisipasi anak harus

berlandaskan pada prinsip-prinsip sebagai berikut:

1. Setiap anak memiliki kemampuan untuk mengekspresikan pandangannya;

2. Hak untuk megekspresikan pandangannya secara bebas;

3. Hak untuk didengar terhadap setiap masalah yang berdampak pada kehidupannya;

(5)

4. Hak mendapatkan tanggapan serius terhadap apa yang diungkapkannya;

5. Penghargaan pandangan anak harus menyesuaikan dengan usia dan tingkat kematangan anak.

Pesan lain yang terbaca dari Pasal 12 adalah partisipasi anak merupakan

hak yang substantif (substantive right) karena anak dapat bertindak

sebagai aktor dalam kehidupannya serta berpartisipasi dalam mengambil keputusan terhadap hal-hal yang berdampak pada kehidupannya. Di sisi yang lain, pasal ini juga menegaskan hak partisipasi sebagai hak

prosedural (procedural right) karena anak dilekati hak untuk menolak

penyalahgunaan kekuasaan, pembiaran, dan mengupayakan pemajuan dan perlindungan hak-haknya (Gerison Lansdown, 2001: 2). Kemudian Roger A. Hart (1992: 6), menambahkan bahwa Pasal 12 harus disandingkan dengan Pasal 13 KHA karena untuk berpartisipasi anak-anak membutuhkan arus informasi sehingga mereka dapat memutuskan apa yang terbaik bagi kehidupannya. Pasal 13 KHA menyatakan bahwa:

”Anak memiliki hak atas kebebasan mengeluarkan pendapat, hak ini mencakup kebebasan mencari, menerima dan memberikan informasi dan semua macam pemikiran, tanpa memperhatikan perbatasan, baik secara lisan, dalam bentuk tertulis ataupun cetak, dalam bentuk seni, atau melalui media lain apa pun pilihan anak.”

Terkait dengan implementasi Pasal 12, Komite Hak Anak mengeluarkan

Komentar Umum No. 12 Tahun 2009 mengenai hak untuk didengar (right to be heard) menegaskan kembali pentingnya hak anak untuk berpartisipasi dalam rangka mengimplementasikan ketentuan Pasal 12 KHA. Dengan demikian, partisipasi anak menjadi permasalahan yang penting yang harus diperhatikan dalam setiap situasi apa pun, baik situasi

konflik, resolusi, maupun rekonstruksi pasca konflik.

Selanjutnya, Afua Twum-Danso (2003) mengungkapkan pendapatnya bahwa partisipasi anak bersifat positif apabila partisipasi membawa implikasi anak mendapatkan akses dalam proses pembuatan keputusan melalui aktivitas-aktivitas sebagai berikut:

1. Mencari informasi; 2. Membentuk pandangan; 3. Mengekspresikan ide;

4. Mengambil bagian dalam setiap proses dan aktivitas;

5. Menginformasikan dan melakukan konsultasi dalam pembuatan keputusan;

(6)

Untuk mendorong tumbuhnya partisipasi anak dibutuhkan prosedur-prosedur yang tepat dan fleksibel sehingga dapat mengakomodasi

semua kelompok anak-anak dengan berbagai kemampuan, kebutuhan dan kepentingan, dan situasi yang berbeda. Terdapat 4 prosedur yang menjadi prasyarat untuk memastikan bahwa anak-anak dapat menjadi peserta dalam berbagai situasi pengambilan keputusan (Marit Skivenes & Astrid Strandbu, 2006), meliputi:

1. Anak-anak harus memiliki kesempatan untuk membentuk pendapat

mereka ketika sebuah keputusan (kebijakan) ditetapkan. Untuk

dapat membentuk pendapatnya tersebut anak-anak membutuhkan informasi tentang keputusan yang sebelumnya dan menerima informasi yang memadai sesuai dengan usia mereka. Selain itu, mereka juga harus diberitahu tentang kemungkinan konsekuensi dari keputusan tersebut untuk diri mereka sendiri dan orang lain. Kemudian anak-anak juga membutuhkan kesempatan untuk

merefleksikan pikiran mereka, apa yang seharusnya, dan apa

yang mungkin akan dilakukan;

2. Anak-anak harus memiliki kesempatan mengekspresikan

pandangan mereka dalam proses pembuatan keputusan. Untuk mengidentifikasi pendapat anak-anak maka harus dikonsultasi dan

bagaimana seharusnya hasil konsultasi disajikan dalam diskusi yang sedang berlangsung. Anak-anak harus diberikan pilihan apakah akan berbicara untuk diri sendiri atau mewakilkan pada orang dewasa yang terpercaya berbicara atas nama mereka;

3. Argumen anak-anak harus dianggap serius dan harus disertakan

dalam keputusan tentang apa yang harus dilakukan. Setiap alasan untuk mengecualikan suatu kepentingan anak dan keinginan harus diterangkan dengan jelas. Penyertaan dalam pengambilan keputusan tidak berarti bahwa sudut pandang seseorang akan mendominasi, melainkan setiap pandangan anak-anak harus diberikan bobot yang sama dengan pandangan kelompok lain;

4. Anak-anak harus diberitahu setelah keputusan telah dibuat

tentang hasil yang telah dicapai dan apa hasilnya benar-benar berarti. Oleh karenanya harus ada kesempatan untuk mengajukan pertanyaan dan mengajukan banding atas keputusan yang telah diambil tersebut. Di samping itu penting untuk memiliki beberapa bentuk kontrol eksternal dari proses dan hasil keputusan sehingga dapat meminimalkan penyalahgunaan kekuasaan.

Dalam konteks ini, David Hodgson (Save The Children, tanpa tahun)

mengungkapkan terdapatnya suatu kondisi yang harus ada sebagai prasyarat untuk memberdayakan anak melalui partisipasi.

(7)

Kondisi ini berkontribusi terhadap terdapatnya kesempatan dan akses bagi anak-anak untuk mengekspresikan persepsinya. Kondisi yang dikemukan oleh David Hodgson tersebut adalah:

1. Terbukanya akses bagi anak-anak ke dalam proses pembuatan kebijakan;

2. Tersedianya akses bagi anak-anak untuk memperoleh informasi yang relevan;

3. Kebebasan anak-anak untuk menentukan pilihan;

4. Institusi yang mandiri (independent) dan terpercaya untuk

mendorong terepresentasikannya kepentingan dan kebutuhan anak;

5. Terakomodasi cara untuk mengajukan perbaikan.

Senada dengan pemikiran di atas, European Youth Centre Budapest

(tanpa tahun) mengacu pandangan UNICEF yang menetapkan prasyarat

yang harus dipenuhi oleh suatu Negara dalam memberikan akses dan ruang partisipasi bagi anak-anak. Prasyarat-prasyarat tersebut meliputi:

1. Anak-anak harus memahami suatu kebijakan, proses pembuatan kebijakan, dan bagaimana mereka terlibat dalam proses tersebut; 2. Relasi kuasa dan struktur pembuatan kebijakan harus transparan; 3. Anak-anak harus dilibatkan pada setiap tahap yang paling

memungkinkan dari setiap inisiatif pembentukan kebijakan;

4. Semua anak-anak harus diperlakukan dengan penghargaan yang setara tanpa memandang usia, kondisi, etnisitas, kemampuan, dan faktor lainnya;

5. Aturan-aturan dasar harus dibangun yang mendasari keterlibatan semua anak dalam proses pembuatan kebijakan;

6. Partisipasi bersifat kesukarelaan dan anak-anak harus diijinkan untuk meninggalkan setiap tahapan proses pembuatan kebijakan tersebut

7. Penghargaan terhadap pandangan dan pengalaman anak-anak yang berbeda melekat pada setiap anak.

Dalam perspektif HAM, terciptanya kondisi di atas menjadi kewajiban hukum negara karena negara pada prinsipnya dilekati kewajiban untuk menjamin penikmatan hak asasi anak sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 4 KHA. Pasal 4 KHA menyatakan bahwa:

Negara akan melakukan semua tindakan legislatif, administratif, dan tindakan lain yang tepat untuk pelaksanaan hak-hak yang diakui dalam Konvensi ini.

(8)

Hak partisipasi dalam konstruksi doktrin HAM masuk dalam kategori hak politik. Kategorisasi ini memiliki konsekuensi logis di satu sisi negara memiliki kewajiban untuk tidak melakukan intervensi terlalu jauh yang dapat mengakibatkan terhambatnya seseorang untuk menikmati hak berpartisipasi. Namun di sisi lain negara juga berkewajiban untuk membuka akses bagi setiap warga negara berpartispasi dalam pengambilan keputusan dan sekaligus menyediakan akses terhadap arus informasi seluas-luasnya.

Menurut Gerison Lansdown (2001:9-10) terdapat beberapa prinsip dasar untuk meningkatkan partisipasi yang demokratis bagi anak-anak, yakni:

1. Anak-anak harus memahami program atau prosesnya dan peran mereka di dalamnya;

2. Hubungan kekuasaan dan struktur pengambilan keputusan harus transparan;

3. Anak-anak harus terlibat dari tahap seawal mungkin untuk inisiatif apa pun;

4. Semua anak harus diperlakukan dengan rasa hormat yang sama tanpa memandang usia, situasi, etnisitas, kemampuan atau faktor lain;

5. Aturan dasar harus dibentuk dengan semua anak-anak sejak awal; 6. Partisipasi harus bersifat sukarela dan anak-anak harus diijinkan

untuk meninggalkan setiap tahapan tersebut;

7. Anak-anak berhak untuk dihormati pandangan dan pengalamannya. Oleh karena partisipasi dimaknai termasuk sebagai hak manusia yang paling mendasar maka setiap orang memiliki hak untuk menuntut negara

untuk melaksanakan kewajibannya (Joachim Theis , 2004: 3). Demikian

pula halnya dengan anak-anak karena mereka telah menjadi subyek hak dan dalam batas-batas tertentu telah menjadi subyek hukum internasional maka anak-anak juga dapat mengajukan tuntutan kepada negara untuk menjamin penikmatan hak tersebut. Hal ini penting menjadi perhatian negara karena akan memperkuat komitmen dan pemahaman bagi anak tentang demokrasi (Gerison Lansdown (2001:6). Bahkan apabila mengacu pada pandangan Roger A Hart (1992: 4) yang menyatakan bahwa negara yang demokratis dapat dilihat sejauh mana warganya terlibat, terutama di tingkat masyarakat. Dalam hal ini, Roger A. Hart menyatakan untuk mewujudkan demokrasi yang berkelanjutan maka harus ada kesempatan bagi anak-anak secara bertahap untuk berpartisipasi dalam proses dan mekanisme demokrasi.

(9)

Hak anak dan kaum muda untuk berpartisipasi pada dasarnya menyangkut hak individu sebagai warga negara untuk menyalurkan aspirasi politiknya

di wilayah (locus) publik. Oleh karenanya partisipasi anak yang telah

dijamin dalam KHA akan bersinggungan dengan instrumen Hukum HAM Internasional lainnya. Persinggungan antara KHA dengan instrumen HAM internasional lain yang menjadi hak partisipasi anak dapat dilihat pada tabel berikut.

INSTRUMEN HAM INTERNASIONAL

HAK YANG DIJAMIN DEKLARASI UNIVERSAL HAK-HAK ASASI MANUSIA KOVENAN HAK-HAK SIPIL DAN POLITIK KONVENSI PENGHAPUSAN SEGALA BENTUK DISKRIMINASI TERHADAP PEREMPUAN KONVENSI HAK ANAK Akses terhadap

informasi Pasal 19 Pasal 19 Pasal 7 Pasal 17 Berorganisasi Pasal 20 Pasal 21Pasal 22 Pasal 7Pasal 14 Pasal 15 Berpendapat Pasal 19 Pasal 19Pasal 20 Pasal 7 Pasal 12Pasal 13 Pasal 14

Berpartisipasi dalam urusan

pemerintahan Pasal 21 Pasal 25

Pasal 7 Pasal 8 Pasal 14 (dalam konteks Indonesia, anak yang telah berusia 17 tahun dapat berpartispasi dalam urusan pemerin-tahan)

Instrumen hukum HAM internasional tersebut menegaskan bahwa anak dan kaum muda sebagai bagian dari elemen masyarakat dan sebagai entitas manusia yang dilekati hak, semestinya juga mendapatkan akses dan kesempatan yang sama seperti warga masyarakat yang lain. Keterlibatan anak dalam proses serta mekanisme demokrasi mendapatkan

(10)

justifikasi karena mengabaikan dan meminggirkan anak-anak untuk

berpartisipasi sama halnya mendiskriminasikan anak-anak secara ganda (Gerison Lansdown (2001:7). Dengan demikian, membuka akses bagi anak-anak dan melibatkan partisipasi anak secara aktif dan berkelanjutan dalam pembahasan setiap permasalahan baik di dalam komunitas

maupun dalam institusi pemerintahan signifikan dilakukan dalam rangka

menyemai benih-benih kehidupan demokratis. Penyemaian benih-benih nilai-nilai demokrasi dapat dilakukan melalui partisipasi aktif anak-anak pada setiap dimensi dan ranah kehidupan bermasyarakat serta bernegara yang mempengaruhi kehidupan mereka.

Dalam kerangka keadilan transisional, rekonsiliasi masa lalu dan masa

kini mendasar dan penting dilakukan. Upaya mendialogkan kedua masa

tersebut berdasarkan perspektif kelompok anak dan kaum muda menjadi

penting dipertemukan sehingga kebutuhan mereka yang spesifik dapat

terakomodasi di dalam proses tersebut. Dialog kelompok anak dan kaum muda dalam upaya membayangkan serta mengkonstruksikan masa depan Aceh dapat dilakukan dengan menggunakan piranti perencanaan skenario. Perencanaan skenario dalam konteks Aceh dapat dipergunakan sebagai bagian integral untuk mengupayakan keadilan transisional dan

transformasi konflik.

Di samping itu, Skenario Masa Depan Aneuk dan Pemuda Atjeh Tahun

2018 merupakan suatu proses pemberdayaan anak agar mereka bisa: 1. Mengenali permasalahan kehidupannya;

2. Menyuarakan permasalahan dan harapannya; 3. Membangun dan mengelola organisasi; 4. Berpartisipasi dalam pembuatan keputusan.

Dengan demikian, Skenario Masa Depan Aneuk dan Pemuda Atjeh Tahun

2018 oleh kelompok anak dan kaum muda bertujuan untuk:

1. Memberikan kesempatan dan ruang kebebasan bagi anak-anak dan kaum muda untuk mengkonstruksikan masa depan Aceh pada 2018 berdasarkan imajinasi mereka;

2. Menempatkan anak-anak dan kaum muda dalam semesta

pewacanaan rekonsiliasi konflik, perwujudan keadilan transisi, dan

pembangunan masa depan Aceh;

3. Memberikan kesempatan dan ruang partisipasi bagi kelompok anak dan kaum muda untuk mengekspresikan kehendaknya dalam proyek membayangkan masa depan Aceh bersama-sama dengan kelompok masyarakat sipil lainnya.

Referensi

Dokumen terkait

Direktorat Pendidikan Tinggi Islam telah melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk persiapan pendidikan mereka di Indonesia, terutama di PTAIN.. Berkenaan dengan

Maka dengan adanya otonomi daerah tersebut pemerintah DPRD kabupaten Malang bertujuan untuk memajukan kesejahteraan masyarakat dengan membentuk perda tentang

Dari hasil penelitian ini didapatkan bahwa baik dari lag pertama sampai lag ketiga potensi zakat belum dapat menyelesaikan permasalahan kemiskinan yang ada di setiap provinsi

Maka dari itu, sangat diperlukan adanya peningkatan di bidang penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, dan pelayanan kemasyarakatan dalam rangka meningkatkan taraf

In vocational schools, teachers need the autonomy to respond to the dynamics of the classroom, to teach using various strategies during the process of students’ learning and

~ Jika anak ikut, lampirkan akte lahir ASLI + surat keterangan dari sekolah ** Surat ijin orang tua perlu jika anak pergi tidak dgn orang tuanya dan tanda. tangan orang tua di

Tujuan studi kasus ini adalah melaksanakan asuhan keperawatan pada klien pneumonia dengan masalah gangguan prtukaran gas?. Desain penelitian ini menggunakan

Aset dalam penyelesaian dinyatakan sebesar biaya perolehan dan disajikan sebagai bagian dari aset tetap. Akumulasi biaya perolehan akan dipindahkan ke akun aset tetap yang