1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
Tulisan ini bertujuan untuk menganalisis dinamika pembangunan di Desa Kuwil-Kawangkoan, Kecamatan Kalawat, Kabupaten Minahasa Utara terhadap Waruga yang merupakan warisan leluhur Minahasa dan sakral oleh masyarakat adat Minahasa. Dinamika tersebut menimbulkan resistensi atau perlawanan dari masyarakat adat, organisasi masyarakat (ormas) adat, tua-tua Minahasa dan orang-orang yang peduli dengan warisan budaya Minahasa. Kebijakan pembangunan yang seharusnya memberikan kesejahteraan bagi semua elemen masyarakat, tapi di sisi lain justru mengancam aspek budaya yang menjadi rujukan bagi masyarakat adat untuk mengembangkan dan mengekspresikan identitas mereka melalui ritual-ritual dengan menjadikan Waruga sebagai media penghormatan
kepada leluhur (dotu-dotu) dan Yang Maha Tinggi (Opo Empung). Pembangunan
tersebut mengakibatkan desakralisasi terhadap Waruga dalam budaya masyarakat Minahasa.
Terdapat beberapa penelitian terdahulu tentang Waruga sebagai budaya
Minahasa.1 Mangolo dalam penelitiannya menjelaskan bahwa Waruga merupakan
Cagar Budaya Minahasa yang perlu dilestarikan sebagai daya tarik wisata sehingga dapat tercipta strategi pengembangan dan program seperti pemberdayaan
1
Michael Mangolo, “Waruga Sebagai Daya Tarik Wisata di Desa Sawangan”, Jurnal Master Pariwisata (JUMPA) Vol. 4 No. 1 2017, Bali, Fakultas Pariwisata, Universitas Udayana, 120-135; Ronald Kolibu, “Ornamen Waruga Pada Rumah Minahasa Sebagai Pencitraan Budaya”,
Jurnal Pengkajian dan Penciptaan Seni Vol. 7 No. 2 2011, Surakarta, Sekolah Tinggi Seni Indonesia, 260-281; Jooke Pratasik, “Penggarapan Motif Waruga di Desa Sawangan sebagai Desain Seni Kerajinan Keramik Masyarakat di Desa Polutan”, Jurnal Ilmiah Bahasa dan Seni Vol 16. No 1 2018, Tondano, Universitas Negeri Manado, 1-7; Jerry Manus, “Makna Motif Ornamen Waruga di Minahasa”, Jurnal Pengkajian dan Penciptaan Seni Vol. 7 No. 3 2012, Surakarta, Sekolah Tinggi Seni Indonesia, 369-390.
2
masyarakat lokal, pengembangan sarana dan prasarana penunjang daya tarik wisata, peningkatan keamanan dan kenyamanan, pengembangan kelembagaan serta sumber daya manusia. Kolibu menjelaskan mengenai Waruga sebagai simbol falsafah dan pedoman hidup masyarakat Minahasa yang tergambar dalam ornamen dan motif-motifnya serta bagaimana pemanfaatan ornamen Waruga
diaplikasikan pada rumah Minahasa sebagai pembentukan citra budaya baru.2
Sama halnya dengan penelitian Pratasik yang menggali bentuk-bentuk motif Waruga yang dapat menjadi contoh atau model untuk desain karya seni kerajinan keramik sehingga meningkatkan kreativitas dalam pengembangan desain seni
kerajinan keramik dengan motif Waruga dari masyarakat.3 Berbeda dengan ketiga
peneliti sebelumnya, penelitian Manus menjelaskan estetika arkeologis dari ornamen Waruga merupakan perangkat simbol kepercayaan masyarakat leluhur Minahasa yang dimanifestasikan melalui motif-motif dan ornamen. Manus hanya
meneliti dan mengindentifikasi makna pada motif-motif Waruga.4 Para peneliti
terdahulu belum meneliti mengenai sakralitas Waruga. Karena itu, penelitian ini akan menggali lebih dalam mengenai sakralitas Waruga yang kemudian terjadi desakralisasi akibat dari dinamika pembangunan di Minahasa Utara sehingga memicu masyarakat Minahasa melakukan perlawanan (resistensi).
Waruga sangat melekat dalam diri masyarakat Minahasa karena merupakan penanda identitas dan ikatan solidaritas masyarakat. Waruga adalah artefak budaya berupa kubur batu berbentuk kubus dan beratap seperti rumah dengan hiasan motif-motif artistik yang tersebar di beberapa tempat di Sulawesi Utara. Kearifan lokal Waruga merupakan warisan tertua dan benda purbakala di dunia
2 Kolibu, “Ornamen Waruga Pada Rumah Minahasa..”, 260-281. 3 Pratasik, “Penggarapan Motif Waruga di Desa Sawangan..”, 1-7 4
3
yang diakui dan dilindungi oleh UNESCO.5 Dari hasil penelitian arkeologi,
Waruga dikenal sejak abad ke-4 SM hingga pada awal abad 20 M, penggunaan Waruga mulai ditinggalkan. Kini Waruga telah menjadi objek pariwisata dan
cagar alam budaya Minahasa.6 Secara etimologis, Waruga berasal dari bahasa
Tombulu, yakni dari suku kata wale dan morgha yang berarti “rumah dari badan
yang kering”. Adapun Waruga dari kata wale dan roha (wale: rumah; roha: roh)
yang artinya tempat bersemayam roh. Di dalam Waruga, jenazah didudukkan dengan tumit kaki menempel pada pantat dan kepala mencium lutut layaknya
posisi jongkok. Filosofinya adalah “sebagaimana manusia dilahirkan dengan
posisi jongkok, maka dengan posisi itulah saat manusia meninggal”. Dengan
kata lain, Waruga merupakan tempat penitipan jiwa para leluhur Minahasa (
dotu-dotu). Zaman dulu, ketika ada orang yang kemudian bisa memperlihatkan
kesungguhannya menjaga tanah tempat hidup bersama, maka dia akan sangat dihargai dan diberi penghormatan khusus. Kuburan Waruga dibuat dengan pahatan khusus yang mendeskripsikan mengenai peran semasa hidupnya di tengah
masyarakat.7
Masyarakat Minahasa mempercayai roh leluhur merupakan seorang yang sakti dan juga sebagai pahlawan, seperti pemimpin komunitas besar yang disebut
kepala Walak dan komunitas desa, Tona’as.8 Sekalipun para leluhur sudah mati,
5 Mangolo. “Waruga Sebagai Daya Tarik Wisata..”, 122 6
Santoso Soegondho, Akar Budaya Waruga di Tanah Minahasa, cet. ketiga – sebuah bunga rampai- Waruga: Peti Kubur Baru dari Tanah Minahasa Sulawesi Utara, (Manado: Balai Arkeologi Sulawesi Utara, 2016) 17
7 Marheini L. Mawuntu, “Redefinisi dan Rekonstruksi Tou: Kajian Sosial terhadap
Identitas Sosial Minahasa dalam Konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia”, (Disertasi, Salatiga: Fakultas Teologi Universitas Kristen Satya Wacana, 2017) 2
8 Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, cetakan ke-14, (Jakarta:
Djambatan, 1993) 159-160. Tona’as adalah manusia yang bertumbuh untuk menjadi bijak. Menurut Renwarin, Tona’as adalah seorang pemimpin, pendahulu, iman, seorang yang bekerja
4
mereka senantiasa menolong manusia, yang dianggap sebagai cucu mereka (puyun). Penghormatan merupakan wujud kepercayaan lokal Minahasa yang
disebut Malesung.9 Sistem kepercayaan Malesung mengenal adanya dewa atau
Yang Maha Tinggi (Opo Empung) serta leluhur-leluhur yang selalu dihadirkan
dalam ritus. Sampai saat ini ritual-ritual ini terus dilakukan untuk menunjukkan
bahwa hidup mereka tidak dapat dipisahkan dengan Yang Maha Tinggi (Opo
Empung) dan para leluhur (dotu-dotu). Karena itu, Waruga sebagai manifestasi dari penghormatan terhadap leluhur dan menjadi pintu masuk dalam melakukan ritual dan penghormatan.
Penelitian ini menggunakan pendekatan teori sakral oleh Emile Durkheim
yakni totem dan sudut pandang sakral dari sebuah situs (sacred site) oleh Lynn
Ross-Bryant, resistensi dari James Scott dan teori pembangunan oleh Peter L.
Berger. Teori Durkheim menjelaskan bahwa totem adalah simbol masyarakat itu
sendiri yang terkait kekuatan yang ada di baliknya. Totem bukan hanya sekedar
sebuah nama, tetapi juga merupakan tanda, lambang, identitas dan kohesi sosial.
Masyarakat sangat terikat dengan totem dan totem mempersatukan mereka.10
Totem dianggap sakral oleh suku yang memilikinya. Totem yang dimaksud yakni
binatang, tumbuhan, juga berbentuk objek atau benda tertentu.11 Totem bukan
hanya dianggap sebagai bagian “yang sakral”, akan tetapi juga perwujudan dan
contoh yang sempurna dari yang sakral.12 Definisi sakral adalah yang disisihkan,
baik. Bahasa Tombulu masa kini menggunakan istilah Tona’as bagi seorang yang unggul atau pemimpin. – lih.Paul Richard Renwarin, Matuari Wo Tona’as, (Jakarta: Cahaya Pineleng, 2007) 6
9 Soegondho, Akar Budaya Waruga, 3
10 Emile Durkheim, The Elementary Forms of The Religious Life, trj. Muzir R. Inyiak dan
Syukri. M, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2011) 172
11 Durkheim, The Elementary Forms of The Religious Life, 9
12 Kamiruddin, “Fungsi Sosiologis Agama: Studi Profan dan Sakral Menurut Emile
Durkheim”, Jurnal Toleransi: Media Ilmiah Komunikasi Umat Beragama Vol. 3 No. 2 2011, Riau, Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim, 166
5
yang diletakkan terpisah dari hal-hal Profan. Hal-hal yang sakral dianggap memiliki martabat dan kekuatan yang lebih superior ketimbang hal-hal yang
profan.13 Sakral juga selalu diartikan sebagai sesuatu yang tidak tersentuh dan
selalu dihormati.14 Sebaliknya, yang profan, dapat disentuh, digunakan atau
dikonsumsi sehari-hari.15
Para penganut kepercayaan totem, sebenarnya tidaklah memuja totem
tersebut, tapi menyembah satu kekuatan impersonal di baliknya.16 Pemahaman
yang sakral dilingkupi dengan seperangkat aturan bahwa tidak semua orang boleh
menyentuh totem. Bagi yang melanggar aturan tersebut berarti telah
menjerumuskan dirinya pada hal yang berbahaya bahkan diyakini langsung
mendatangkan kematian.17 Sikap masyarakat terhadap yang sakral terlihat ketika
masyarakat mengadakan ritual atau upacara. Ritus membentuk dan memperkuat kesadaran tentang keberadaan kekuatan suci, serta cara manusia mengatur dirinya
dengan hal-hal yang sakral.18 Ritual memisahkan yang sakral dan profan dan juga
menghalangi terjadinya percampuran dan kontak yang tak diizinkan. Larangan-larangan tersebut membuat masyarakat tidak akan keluar dari aturan yang
ditetapkan dalam ritual tersebut.19 Karena itu, dapat dipahami bahwa ritus ini
bertujuan agar masyarakat menjaga totemnya tetap sakral.
13 Durkheim, The Elementary Forms of The Religious Life, 67
14 Daniel L. Pals, Seven Theories of Religion, trj. Ridwan Muzir dan M. Syukri,
(Yogyakarta: IRCiSoD, 2018) 145
15 William Ramp, Durkheim dan Masa Sesudahnya: Agama, Kebudayaan dan Politik –
sebuah bunga rampai - Editor: Bryan S. Turner, Sosiologi Agama, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013) 93
16
Pals, Seven Theories of Religion, 150
17 Durkheim, The Elementary Forms of The Religious Life, 192
18 David I. Kertzer, Ritual, Politics, and Power, (United States of America: Vail-Ballou
Press, 1988) 9
19
6
Pendekatan teori Lynn Ross-Bryant juga melihat sudut pandang sakral dari sebuah situs. Ross-Bryant mengeksplorasikan bagaimana sebuah situs memiliki arti penting dalam masyarakat karena merupakan simbol dan identitas setiap
negara atau daerah.20 Melalui situs, masyarakat dapat melihat bagaimana sejarah
sampai daerah itu terbentuk dan bagaimana para pendahulu atau leluhur memperjuangkan tanah itu, sehingga masyarakat melihat sejatinya daerah
tersebut. Karena itu, situs menjadi situs suci atau sakral (sacred site) dan ruang
suci (sacred space) bagi masyarakat yang dapat mewujudkan cita-cita bersama
dalam kebudayaan.21 Terciptanya cita-cita akan membentuk respect bagi tanah
dan bangsa serta terdorong untuk menjadi warga negara yang baik. Tanah merupakan bagian yang terintegrasi dengan situs suci tersebut. Dalam
penelitiannya di Taman Nasional Amerika (National Park of America), tanah
memberikan konsep penemuan pulau „Amerika‟ dan „orang-orang Amerika‟. Ross-Bryant mengutip Myrta Jehlen yang menjelaskan bahwa tanah menunjukkan
keadaan bumi yang sesungguhnya (the real world).22 Bagi Ross-Bryant, taman
tersebut tidak boleh disentuh oleh pembangunan karena selain berdampak buruk bagi simbol dan identitas Amerika, pembangunan akan menghancurkan alam. Situs bukan hanya berkontribusi bagi kemajuan ekonomi dan pariwisata, tapi juga
menjadi simbol pemersatu (unifying symbol).23 Karena itu, Waruga merupakan
totem masyarakat Minahasa yang memiliki ikatan solidaritas sosial dan simbol
pemersatu (unifying symbol).
20
Lynn Ross-Bryant, “Sacred Sites: Nature and Nation In the U.S. National Parks”.
Religion and American Culture: A Journal of Interpretation, Vol. 15 No. 1 2005, Winter, 31-62.
21 Ross-Bryant, “Sacred Sites..”, 32 22 Ross-Bryant, “Sacred Sites..”, 35 23
7
Pendekatan teori resistensi atau perlawanan oleh James Scott. Resistensi dipahami sebagai sebuah respon terhadap suatu perubahan dan hasil kenyataan di mana individu atau kelompok menghadapi berbagai tekanan yang sangat membatasi ruang geraknya. Tujuan resistensi adalah memperkecil atau menolak
klaim-klaim yang diajukan kelas-kelas dominan.24 Resistensi oleh Scott
merupakan hasil analisa dari perilaku petani di sebuah pedesaan Malaysia dalam menghadapi dominasi para petani kaya dan elit yang berkuasa. Penyebab resistensi seperti penindasan, ancaman, tekanan, paksaan yang dilakukan oleh tuan tanah, pemerintah, pemilik modal atau pihak lain. Bagi Scott, resistensi dalam sosiologi adalah suatu perlawanan yang dilakukan secara terang-terangan (public transcript) dan diam-diam (hidden transcript) atas kebijakan maupun aktivitas yang dilakukan dalam suatu pihak masyarakat sebagai bentuk
perlawanan yang ditindas.25
Menurut Scott terdapat beberapa bentuk resistensi yaitu:
a) Resistensi tertutup (simbolis atau ideologis) yaitu gosip, fitnah,
penolakan terhadap kategori-kategori yang dipaksakan kepada masyarakat, serta penarikan kembali rasa hormat kepada pihak penguasa;
b) Resistensi semi-terbuka (protes sosial atau demonstrasi);
c) Resistensi terbuka, merupakan bentuk resistensi yang terorganisasi,
sistematis dan berprinsip. Manifestasi yang digunakan dalam
24 Lucky A. Attamimi, “Resistensi Warga Pinggir Rel Surabaya: Studi Deskriptif
Resistensi Tim Anti Penggusuran Masyarakat Pinggir Rel Surabaya terhadap Pembangunan Tol Tengah Kota Surabaya”, Universitas Airlangga, 2013., http://journal.unair.ac.id/download-fullpapers-kmnts07a321b90cfull.pdf., diakses tanggal 10 Mei 2019, pukul 11:06 WIB.
25 James Scott, Dominant and The Art of Resistance, (London: Yale University Press,
8
resistensi adalah cara-cara kekerasan (violent) seperti
pemberontakan.26
Pendekatan teori pembangunan oleh Peter L. Berger dalam bukunya The
Pyramids of Sacrifice, menjelaskan bahwa pembangunan dewasa ini ternyata menimbulkan persoalan antara pembuat kebijakan (pemerintah) dan juga
masyarakat lokal.27 Berger memandang ideologi pembangunan, baik itu kapitalis
maupun sosialis tidak serta merta membawa kesejahteraan (calculus of meanings),
melainkan penderitaan manusia (calculus of pains). Menurut Berger, apa yang
dicanangkan sebagai modernisasi, yang kemudian ditiru oleh kebanyakan Dunia Ketiga dengan bahasa “pembangunan”, tak jarang merupakan ideologi dan mitos
yang mengabaikan pertimbangan-pertimbangan manusiawi.28 Ideologi dan mitos
bagaikan „tukang ramal‟ yang menjanjikan masa depan cerah tapi dengan banyak
korban manusiawi.29 Sutopo dalam studinya mengenai pembangunan oleh Berger,
menjelaskan pembangunan memakai model masyarakat Barat sehingga semua yang bersifat tradisional harus dimoderenkan, pembangunan adalah modernisasi dan modernisasi adalah westernisasi, sektor-sektor modern haruslah diutamakan. Dengan kata lain, segala sesuatu yang tradisional dianggap sebagai penghambat
kemajuan pembangunan.30 Ketika Barat memiliki pandangan Kristen, maka yang
lainnya adalah kaum kafir, tidak beradab, dan juga istilah „terkebelakang‟. Akibat
26 James Scott, Perlawanan Kaum Tani, Edisi pertama, trj. Budi Kusworo, Hira Jhamtani,
Mochtar Pabotingi, dan Gunawan Wiradi, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1993) 54-55
27 Peter L. Berger, Piramida Kurban Manusia: Etika Politik dan Perubahan Sosial, trj. A.
Rohman Tolleng, (Jakarta: LP3ES, 1982) 8
28 Agus Purwadi, “Problem Nilai dan Moralitas dalam Modernisasi Pembangunan
Ekonomi”, Jurnal Bestari: Edisi Jurnal Ilmiah, Agustus-Desember 1996, Universitas Muhammadiyah Malang, 94
29
Berger, Piramida Kurban Manusia, xi (preface). Istilah „mitos‟ dipakai oleh Berger
dalam arti kritik ideologi ataupun dalam arti sehari-hari. Dalam antropologi kebudayaan, istilah tersebut mempunyai arti yang berbeda sekali dan jauh lebih positif.
30 Oki Rahadianto Sutopo, “Biaya-Biaya Manusia dalam Era Neoliberal,” Jurnal
9
yang paling buruk adalah proses “menyusutnya kebudayaan” (cultural loss)
sehingga semakin banyak orang kehilangan makna dan pegangan hidup.31 Tetapi
juga, proses pembangunan sering tidak melibatkan partisipasi masyarakat secara luas dalam pengambilan keputusan sehingga pembangunan tidak mudah diterima oleh seluruh masyarakat. Berger mengingatkan bahwa yang terpenting bukanlah model pembangunan yang paling tepat, melainkan bagaimana pembangunan dapat
menghilangkan penderitaan.32 Fakta membuktikan bahwa yang terjadi bukan
kemakmuran bagi semua orang melainkan bagi negara-negara maju, kemakmuran bagi segelintir orang yang mempunyai modal besar serta kemakmuran bagi
perusahaan-perusahaan.33
Eksistensi Waruga mengalami pasang surut karena proses pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah. Tindakan pemerintah ini menjelaskan bahwa Waruga hanya sebagai kuburan batu dan hanya menjadi situs pariwisata semata
yang tidak memiliki makna apapun. Terjadi pembangunan34 nasional yakni
pengerjaan mega proyek bendungan menjadi persoalan besar di tanah Minahasa. Pemerintah awalnya menawarkan solusi untuk memindahkan puluhan Waruga ke lokasi lain. Tetapi pemindahan yang dilakukan tidak etis dan merupakan bentuk penyelewengan karena menggunakan alat berat, yakni eskavator sehingga
31 Berger, Piramida Kurban Manusia, xvii (preface) 32 Sutopo, “Biaya-Biaya Manusia dalam Era Neoliberal,” 32 33
Sutopo, “Biaya-Biaya Manusia dalam Era Neoliberal,” 38
34 Pengerjaan proyek strategis nasional berdasarkan peraturan yang tercantum dalam
Perpres RI 3/2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional dan perubahannya, yaitu Perpres 56/2017, Peraturan Daerah (Perda) Pemerintah Kabupaten Minahasa Utara Nomor 01 Tahun 2013 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Minahasa Utara 2013-2033 yang pada bagian tentang sistem jaringan sumber daya air, menyebutkan pembangunan waduk multifungsi di Desa Kuwil-Kawangkoan. Rencana tersebut dipertegas pula dalam Perda 1/2014 tentang RT/RW Provinsi Sulawesi Utara tahun 2014-2034, yang juga menyebutkan rencana pembangunan bendungan di Desa Kuwil dan Sawangan – lih. Denni Pinontoan, “Waruga dan Pembangunan Sadar Budaya”, Center for Religious and Cross Cultural Studies Graduate School, Yogyakarta, Universitas Gadjah Mada, 2018., https://crcs.ugm.ac.id/perspective/13260/waruga-dan-pembangunan-yang-sadar-budaya.html diakses pada tanggal 21 November 2018, pukul 13:11 WIB.
10
menyebabkan Waruga hancur dan rusak serta benda-benda peninggalan dan tulang-tulang di dalamnya berserakan di tanah. Secara historis, Waruga juga menyatu dengan teritori karena terkait dengan para leluhur yang mencari hunian baru. Para leluhur membangun Waruga sekaligus memberi nama tempat itu, Wanua Ure Kina-angko’an dan Wanue Ure Pinandeian. Tanah menjadi bagian penting sehingga masyarakat melihat Waruga sebagai “Minahasa sejati”. Karena itu, Waruga bukan hanya sekedar situs biasa, tetapi merupakan situs sakral (sacred site).Kerusakan dan keterpisahan dengan tanahnya berarti menghilangkan kesakralan, sejarah, nilai-nilai kultural, memutuskan hubungan antargenerasi dengan para leluhur bahkan merusak Waruga sama saja merusak diri sendiri.
Melalui observasi yang dilakukan, masyarakat membela dan
mempertahankan Waruga melalui demonstrasi atau “aksi solidaritas” sebagai wujud resistensi terhadap pembangunan yang tidak sadar budaya. Selain melakukan demonstrasi, mereka juga melakukan mediasi dengan aparat dan pihak
yang berwenang, jalur propaganda melalui dunia virtual dengan #SaveWaruga
#SaveTanahAdat dari seluruh masyarakat adat se-nusantara, diskusi dan seminar,
perlawanan dalam bentuk mulut ke mulut, seni dan sastra, dan sebagainya.35
Masyarakat adat juga meyakini adanya perlawanan dari kondisi alam yakni terjadi badai dan hujan keras sehingga bagian tangan alat eskavator patah dan truk pekerja terperosok dan tujuh pekerja meninggal dunia akibat jatuh ke sungai, lalu diikuti longsor. Masyarakat sangat marah, kecewa dan sedih dengan tindakan dari
pemerintah. Seorang Tona’as menolak kalau pemerintah hanya memikirkan
Waruga sebagai tempat untuk destinasi wisata semata dan demi kepentingan
35 Hasil Wawancara dengan Freddy Wowor (Budayawan Minahasa), 03 Januari 2019,
11
ekonomi daerah.36 Studi yang dilakukan oleh para peneliti menunjukkan tujuan
pemerintah dengan adanya pembangunan waduk tersebut yakni menyerap tenaga kerja serta meningkatkan tingkat kesejahteraan masyarakat sehingga perputaran
ekonomi masyarakat dapat berjalan dengan baik.37 Masyarakat adat mengaku
tidak menolak pembangunan apalagi dengan alasan memberikan kesejahteraan dan untuk kepentingan masa depan bangsa, tetapi menolak pembangunan yang tidak sadar budaya karena membuat simbol identitas kultural masyarakat semakin punah.
Pemerintah seharusnya melihat keyakinan masyarakat adat Minahasa bahwa Waruga memiliki kesakralan, nilai-nilai kultural, sejarah dan mitos-mitos. Tindakan ini mengakibatkan desakralisasi terhadap Waruga itu sendiri. Bagi Durkheim, hal yang sakral sangat dihormati oleh masyarakat. Tindakan pemerintah merupakan bentuk ketidakhormatan pada Waruga yang dianggap sakral oleh masyarakat. Dampak dari desakralisasi yakni melepaskan pengaruh nilai-nilai religius dan pembebasan suatu benda dari tabu atau hal-hal yang bersifat magis. Masyarakat adat dianggap penyembah batu Waruga atau berhala (ba opo-opo). Peradaban modern dengan proses pembangunan bersifat top-down sehingga secara tidak sadar menjauhkan masyarakat Minahasa dari budaya dan tradisi nenek moyangnya. Berger dan Nuban Timo juga mengatakan bahwa dalam
pembangunan bergaya top-down itu ada penghakiman sehingga dicap kuno dan
tak bermartabat serta modernisasi dengan paham Barat karena pengaruh
36
Hasil Wawancara Via Telepon dengan Rinto Taroreh (Tona’as Minahasa), 24 April 2019, pukul 11:25 WIB.
37 Alpriandi, Lyndon Pangemanan dan Vicky Moniaga, “Dampak Pembangunan Waduk
Kuwil terhadap Sosial Ekonomi Masyarakat di sekitar Pembangunan Waduk Kuwil Desa Kawangkoan Kabupaten Minahasa Utara”, Jurnal AGRIRUD, Vol. 1 No. 1, April 2019, 20-30
12
Kekristenan.38 Dengan kata lain, pemerintah gagal mewujudkan keminahasaan.
Selain itu, terjadi transisi budaya yang berujung pada krisis identitas kultural orang Minahasa. Desakralisasi dan hancurnya Waruga merupakan hal yang sangat urgensi dan darurat budaya bagi masyarakat Minahasa. Karena itu, penelitian ini menjadi kebutuhan penting dan mendesak sehingga perlu untuk dikaji dengan
rumusan judul: “MENEGASKAN KESAKRALAN WARUGA: Resistensi
Masyarakat Minahasa terhadap Desakralisasi Situs Suci atas nama Pembangunan di Sulawesi Utara”.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, maka yang menjadi
masalah pokok dalam penelitian ini ialah: bagaimana resistensi masyarakat
Minahasa terhadap desakralisasi situs suci Waruga akibat dinamika pembangunan di Minahasa Utara, Sulawesi Utara?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah penelitian, maka tujuan dari penelitian ini ialah mendeskripsikan dan menganalisa resistensi masyarakat Minahasa terhadap desakralisasi situs suci Waruga akibat dinamika pembangunan di Minahasa Utara, Sulawesi Utara.
1.4 Manfaat Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan penelitian di atas, maka manfaat dari penelitian ini ialah:
38 Ebenhaizer I. Nuban Timo, Sidik Jari Allah Dalam Budaya: Upaya Menjajaki Makna
Allah Dalam Perangkat Budaya Suku-Suku di Nusa Tenggara Timur, (Maumere: Ledalero, 2018) 3; Berger, Piramida Kurban Manusia, 7
13
1) Secara teoritis, penelitian ini dapat memberikan kontribusi atau
sumbangan pemikiran kepada masyarakat Minahasa secara keseluruhan, komunitas adat atau lembaga-lembaga adat, jajaran pemerintah Sulawesi Utara. Selain berkontribusi, penelitian ini dapat menjadi kritikan bagi keberlangsungan pembangunan yang tidak sadar budaya;
2) Secara praktis, penelitian ini dapat memberikan pemahaman bagi
masyarakat Minahasa dan pemerintah tentang pentingnya sakralitas Waruga sebagai situs suci dan identitas kultural masyarakat Minahasa. 1.5 Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif-analitif dengan
menggunakan pendekatan kualitatif. Metode penelitian kualitatif adalah metode untuk mengeksplorasi dan memahami makna yang – oleh sejumlah individu atau
sekolompok orang berasal dari masalah sosial atau kemanusiaan.39 Peneliti
merupakan instrumen kunci.40 Metode penelitian kualitatif merupakan penelitian
yang pemecahan masalahnya dengan menggunakan data empiris dan merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis
atau lisan dari orang-orang yang diamatinya secara teliti.41 Dengan demikian,
metode ini mendeskripsikan dan menganalisis data dengan jelas berdasarkan temuan-temuan yang diperoleh dari para informan. Penelitian ini mengambil lokasi di Sulawesi Utara khususnya Desa Kuwil-Kawangkoan, Kecamatan Kalawat, Kabupaten Minahasa Utara. Alasannya: Pertama, lokasi tersebut merupakan tempat terjadinya dinamika pembangunan dan masyarakat Minahasa
39
John W. Creswell, Research Design: Pendekatan Metode Kualitatif, Kuantitatif, dan Metode Campuran, 4th Edition, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2018) 4
40 Juliansyah Noor, Metodologi Penelitian, (Jakarta: Kharisma Putra Utama, 2014) 34 41 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdarya,
14
melakukan resistensi atau perlawanan; (2) kawasan Waruga yang berada di daerah Minahasa yang lain telah menjadi kawasan milik pemerintah. Secara historis, Waruga terletak di pekarangan rumah atau di sekitar rumah penduduk, namun sekarang telah dipindahkan dan dikumpulkan pada satu tempat dengan memakai ritual adat seperti situs Waruga di Desa Sawangan, Kabupatan Minahasa Utara. Akan tetapi Waruga yang berada di Desa Kuwil-Kawangkoan ini adalah satu-satunya tanah adat yang kemudian dipindahkan karena mega proyek nasional pemerintah.
Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data yang akan digunakan, yakni pertama dengan menggunakan wawancara mendalam. Wawancara sangat membantu untuk mencari data sehingga memperoleh banyak informasi dari responden. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan haruslah pertanyaan yang bersifat terbuka dan tidak terstruktur yang dapat membuka pikiran informan untuk
memberikan pendapat.42 Peneliti melakukan face to face interview dan melalui
telepon.43 Para responden tersebut yakni Masyarakat adat Minahasa, Masyarakat
Lokal Desa Kuwil dan Desa Kawangkoan, Tona’as, Komunitas Adat dan
Lembaga Adat, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sulawesi Utara, jajaran Pemerintahan antara lain: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Minahasa Utara, Pimpinan Pemerintah Desa Kuwil dan Pemerintah Desa Kawangkoan, dan Balai Arkeologi Kota Manado. Kedua, studi dokumenter, yaitu dengan menggunakan foto-foto terkait apa yang diteliti. Secara khusus, studi dokumenter terkait dengan resistensi masyarakat Minahasa terhadap Waruga yang mengalami desakralisasi akibat dampak mega proyek nasional. Ketiga, penggalian
42 Husaini Usman dan Purnomo Setiady Akbar, Metodologi Penelitian Sosial, (Jakarta:
Bumi Aksara, 2008) 130
43
15
data yang diperoleh dari studi kepustakaan melalui berbagai macam buku,
literatur, jurnal penelitian, artikel online atau catatan yang terkait sehingga
membangun landasan teoritis untuk menganalisa hasil data lapangan.
Setelah melakukan penelitian, penulis akan menganalisis data yang diperoleh dari hasil wawancara dan catatan lapangan secara sistematis agar dipahami oleh para pembaca. Teknik analisa data membutuhkan pemikiran yang kritis, ketelitian dan juga berbagai pertanyaan analitis untuk menganalisis data dari hasil wawancara. Ada tiga komponen yang dapat digunakan untuk menganalisis data,
yaitu pertama, reduksi data. Reduksi data berarti menggolongkan, memilih hal-hal
yang penting terkait dengan fokus masalah yang diteliti, dan menyimpan data
yang tidak diperlukan (bank data) agar sewaktu-waktu dapat dipakai bagi
penelitian selanjutnya. Kedua, penyajian data. Setelah mereduksi data, data yang
diperoleh akan disajikan dalam bentuk uraian singkat, bagan dan hubungan antardata yang terkait. Penyajian tersebut memudahkan penulis dalam
menganalisis data. Ketiga, kesimpulan. Penarikan kesimpulan akan diperoleh dari
hasil analisis data dan menjadi komponen terakhir dari teknik analisis data serta
menjawab rumusan masalah yang telah dirumuskan sejak awal penelitian.44
1.6 Sistematika Penulisan
BAB 1 Dalam bab ini, penulis memaparkan pendahuluan yang
memberikan gambaran umum seluruh pembahasan
penulisan karya ilmiah yang meliputi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan.
44 Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, (Bandung: Alfabeta,
16
BAB 2 Pada bab ini akan membahas tentang teori yang digunakan,
yakni teori sakral oleh Emile Durkheim dan Lynn
Ross-Bryant, teori resistensi oleh James Scott, teori
pembangunan oleh Peter Berger serta kaitannya dengan Waruga dalam budaya Minahasa.
BAB 3 Pada bab ini akan membahas tentang hasil penelitian yang
meliputi sakralitas Waruga, alasan pemerintah melakukan pemindahan terhadap situs budaya Waruga, alasan masyarakat adat serta organisasi masyarakat Minahasa
melakukan perlawanan (resistensi) dan bagaimana
desakralisasi terhadap Waruga sebagai identitas kultural masyarakat Minahasa.
BAB 4 Bab ini akan berisi pembahasan analisa dengan teori-teori
tentang sakralitas Waruga, alasan pemerintah melakukan pemindahan terhadap Waruga, alasan masyarakat Minahasa
melakukan perlawanan (resistensi) dan bagaimana
desakralisasi terhadap Waruga sebagai identitas kultural masyarakat Minahasa.
BAB 5 Bab ini merupakan penutup yang berisi kesimpulan berupa
temuan-temuan yang diperoleh, saran-saran, dan kontribusi bagi penelitian mendatang.