• Tidak ada hasil yang ditemukan

eBook Industri Pangan Halal

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "eBook Industri Pangan Halal"

Copied!
155
0
0

Teks penuh

(1)

Industri Pangan Halal

Bayu Sagara

2013

(2)

Tell me what you eat

and I will tell you who you are…

(Anthelme Brillat-Savarin – 1826)

(3)

Pengantar

Bismillah wal-hamdulillah.

Buku ini jauh dari sempurna, kebenaran di buku ini adalah anugerah Allah swt sedangkan kesalahannya bersumber dari kelemahan penyusun semata. Jika akan mengutip, silakan merujuk pada daftar pustaka yang ada di setiap akhir bab.

Buku ini mencoba menggali kehalalan dalam kaitannya dengan industri pangan. Mengangkat sejumlah data dan forecasting tentang kapasitas ekonomi industri pangan halal dan hubungannya dengan demografi masyarakat muslim. Industri halal saat ini merupakan sebuah sektor industri baru yang sedang berkembang sehingga menjadi sebuah emerging global trend. Hal ini tentu menjadikan sebuah pergeseran dalam sistem produksi dimana kehalalan tidak bisa diabaikan karena menjadi sebuah standar mutu.

Prinsip halal dan haram serta bagaimana pandangan makanan dalam islam pun didedah sebagai kerangka dasar pemahaman. Tinjauan lebih lanjut adalah kehalalan sebagai sebuah sistem dimana dilakukan pendekatan Halal Control Point (HCP) yang diadopsi dari Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) yang sudah lebih awal digunakan dalam sistem keamanan pangan. Ada pun telaah lebih spesifik dan teknis tentang pangan halal diangkat pada masalah-masalah berikut :

 Produk daging dan isu pemingsanan hewan (stunning).

 Status alkohol dari produk alami dan penggunaan alkohol lainnya.

 Kehalalan produk bakery dari bahan hingga kuas dan pengemas yang digunakan.

 Kehalalan produk susu terkait bahan tambahan pada diversifikasi produk dan hasil sampingnya.

 Kehalalan pangan bioteknologi terkait modifikasi gen dan konsep istihala  Instrumentasi untuk uji kehalalan meliputi instrumen berbasis

fisiko-kimia, pendekatan analisa DNA, serta analisa untuk ayam bangkai. Semoga berguna, terimakasih.

(4)

DAFTAR ISI

1. PANGAN HALAL EMERGING GLOBAL TREND 2. KENAPA HALAL? KENAPA HARAM?

3. PRINSIP HALAL HARAM DAN MAKANAN DALAM PANDANGAN ISLAM

3.1. Prinsip Halal Haram

3.2. Makanan Dalam Pandangan Islam

4. HALAL ADALAH SEBUAH STANDAR MUTU 4.1 Hazard Analysis and Critical Control Point (HACCP) 4.2 Halal Control Point (HCP)

5. MENIKMATI DAGING HALAL 5.1 Penyembelihan

5.2 HCP Penanganan Daging 5.3 Soal Stunning

6. TENTANG ALKOHOL 6.1 Antara Khamr dan Alkohol 6.2 Pedoman Penggunaan Alkohol 7. PRODUK BAKERY

7.1 Titik Kritis Kehalalan Bakery dan Kue 7.2 Bahan Baku

7.3 Pelumasan Loyang dan Pengolesan Permukaan Roti 7.4 Pengemasan 8. PRODUK SUSU 8.1 Susu Cair 8.2 Susu Bubuk 8.3 Mentega 8.4 Es Krim 8.5 Keju 9. PANGAN BIOTEKNOLOGI 9.1 Pandangan Kehalalan

(5)

9.2 Modifikasi Gen dan Istihala 10. OTENTIFIKASI KEHALALAN

10. 1 Instrumen Fisiko Kimia 10.2 Pendekatan DNA 10. 3 Analisa Ayam Bangkai 11. EPILOG

(6)

1. PANGAN HALAL AN EMERGING GLOBAL TREND

Dari sudut pandang sejarah sains dan agama, kehalalan pangan sekarang ini merupakan suatu fenomena yang istimewa karena didalamnya ada kerjasama antara sains dan agama. Meskipun dalam tradisi sejarah keilmuan Islam tidak terjadi benturan sengit antara sains dan agama, namun secara umum sains dan agama merupakan dua hal yang seringkali berbenturan dalam sejarah manusia. Benturan yang bermula dari Copernicus yang menyatakan bumi manusia bukanlah pusat semesta, disusul Darwin dengan evolusinya yang menjadikan manusia tak lebih dari binatang tanpa keilahian, lanjut kemudian Freud dengan psikoanalisanya menjadikan manusia tak lagi mengusai jiwanya sendiri.

Pendekatan analisis bahan pangan baik secara bioteknologi, kimia atau pun secara manajemen operasi pada pangan halal saat ini menunjukkan bahwa sains tidak menyerang agama tapi „melayani‟ agama. Tak berlebihan rasanya jika kita menyitir Ken Wilber yang menyebut kerukunan antara sains dan agama sebagai The Mariage of Sense and Soul, yang diterjemahkan Jalaluddin Rakhmat sebagai perkawinan antara tubuh dan ruh. Kehalalan pangan adalah salah satu bagian dari perkawinan ini.

Perkawinan sains dan agama dalam hal kehalalan pangan ternyata „direstui‟ secara ekonomi. Pada tahun 2002 nilai bisnis pangan halal menurut Egan mencapai 150 milyar US$ (Riaz and Chaudry, 2004). Nilai ini mengalami peningkatan lebih dari empat kali lipat pada tahun 2010 dimana nilai bisnis dari

(7)

pangan halal mencapai 651 milyar US$ dan pada tahun 2011 diperkirakan mencapai 661 milyar US$ (World Halal forum, 2011).

World Halal Forum mengklaim bahwa bisnis halal dan keuangan islam merupakan dua bisnis yang bernilai triliunan dolar dengan pertumbuhan sekitar 15-20 % per tahun. World Halal forum pun menyatakan bahwa nilai bisnis halal secara total mencapai 2,3 triliun US$ pada tahun 2011. Nilai ini merupakan gabungan dari bisnis pangan halal, obat-obatan, kosmetik dan travel. Sedangkan menurut Shield (2009) nilai market pangan halal global akan mencapai 2.1 triliun US$ di tahun 2015 (Santoso, 2011). Melihat nilai market ini New Zealand Trade and Enterprise bahkan mengklasifikasikan bisnis halal sebagai emerging global

trend atau tren global baru dan merekomendasikan perusahaan perusahaan New

Zealand untuk tetep mantengin alias stay up to date pada tren ini. Tabel Nilai Market Bisnis Pangan Halal Global (milyar US$)

Wilayah 2009 2010 Global 634.5 651.5 1. Afrika 150.3 153.4 2. Asia 400.1 416.1 GCC* 43.8 44.7 Indonesia 77.6 78.5 China 20.8 21.2 India 23.6 24.0 Malaysia 8.2 8.4 3. Eropa 66.6 67.0 Prancis 17.4 17.6 Federasi Russian 21.7 21.9 Inggris 4.1 4.2

(8)

4. Australia 1.5 1.6

5. Amerika 16.1 16.2

Amerika Serikat 12.9 13.1

Kanada 1.8 1.9

*GCC : Gulf Cooperation Council, yang terdiri dari Saudi Arabia, Uni Emirat Arab, Bahrain, Kuwait, Oman dan Qatar

Sumber : World Halal Forum dalam Global Pathfinder Report Halal Food Trends, Agriculture and Agri-Food Canada (2011)

Bila kita bandingkan antara nilai market pangan halal dengan nilai market bisnis pangan global secara keseluruhan, nilai market industri pangan halal berada sekitar 15 % dari industri pangan total (perbandingan ini mengunakan nilai di tahun 2009). Alpen Capital melaporkan bahwa nilai market industri pangan global berada di angka 4,2 triliun US$ pada tahun 2009 dan diprediksi akan meningkat menjadi 5.3 triliun US$ pada akhir tahun 2014. Diprediksi juga oleh Alpen Capital bahwa tingkat pertumbuhan nilai market pangan global ada di angka 4,4 %. Dengan demikian terlihat bahwa meskipun pangan halal mempunyai nilai market di angka belasan dari total market namun dengan tingkat pertumbuhan yang bisa mencapai 15 - 20 % per tahun jelas menjadikannya layak disebut sebagai emerging global trend.

Nilai market diatas tentu tidak bisa dilepaskan dari faktor kependudukan atau demografi umat islam itu sendiri sebagai konsumen produk halal. Islam merupakan agama dengan jumlah pemeluk terbesar kedua dunia. Di tahun 2011 jumlah penduduk dunia mencapai 7 milyar dengan rata-rata 266 bayi lahir tiap menitnya (Population Reference Bureau, 2011). Populasi muslim berjumlah 1,97 milyar atau sekitar 28,73 % dari total penduduk dunia dan di tahun 2011 pemeluk

(9)

agama Islam mempunyai tingkat pertumbuhan sebesar 1,84 % per tahun (muslimpopulation.com, 2011).

Grafik Persentase Global Food Market Size dan Global Halal Food Market Size. Sumber : World Trade Organization dalam Global Pathfinder Report Halal Food Trends, Agriculture and Agri-Food Canada (2011)

Sebuah studi yang dilakukan Pew Researh Center (2011) memperkirakan bahwa rata-rata laju pertumbuhan populasi muslim akan menurun dari rata-rata 2,2 % di tahun 1990-2010 menjadi rata-rata sekitar 1,5 % di tahun 2020-2030. Namun dengan menggunakan angka 1.5 % sebagai rata-rata pertumbuhan populasi di tahun 2010-2030 populasi muslim akan meningkat dari 1,6 milyar menjadi 2,2 milyar orang atau naik sebesar 35 %. Dengan rata-rata laju pertumbuhan 1.5 % populasi muslim di tahun 2030 akan mencapai 26,4 % dari total penduduk dunia yang diperkirakan mencapai 8,3 milyar orang. Rata-rata laju pertumbuhan 1.5 % pun masih nilai yang tinggi karena dua kali rata-rata pertumbuhan populasi non-muslim yang diperkirakan hanya 0.7 % per tahun.

Informasi lain dari studi Pew Researh Center (2011) adalah Pakistan akan mengalahkan Indonesia dalam hal populasi muslim di tahun 2030. Diperkirakan populasi muslim Pakistan akan mencapai 256,11 juta orang sedangkan populasi

(10)

muslim Indonesia akan akan menempati posisi runner up dengan jumlah 238,83 juta orang. Selain itu, dari segi regional, Amerika akan menjadi wilayah dengan laju pertumbuhan populasi muslim tertinggi dibanding wilayah lainnya. Populasi muslim Amerika diperkirakan akan mencapai 6,2 juta orang di tahun 2030.

Grafik Rata-rata Pertumbuhan Populasi Muslim per Tahun secara Regional. Sumber : Pew Researh Center‟s Forum on Religion and Public Life.The Future of The

Global Muslim Population (2011).

Jumlah dan nilai pertumbuhan populasi secara regional menjadi penting bila kita akan menetapkan wilayah tujuan bagi eksport produk halal. Keuntungan melakukan ekspor ke wilayah dengan populasi muslim mayoritas adalah bahwa produk halal tersebut tidak hanya akan dikonsumsi secara massif oleh orang muslim tapi juga oleh orang non-muslim. Hal ini dapat kita temukan dengan mudah di Indonesia.

Maka dengan melihat perkembangan sains-teknologi, nilai market dan dukungan populasi pemeluk islam yang terus bertambah, rasanya kita tak perlu

(11)

lagi ragu bahwa industri pangan halal merupakan suatu industri yang promising atau menjanjikan. Apalagi bagi bangsa Indonesia yang saat ini masih jawara populasi muslim dunia. Sehingga yang akan kita lakukan selanjutnya disini adalah mengelaborasi lebih lanjut bagaimana industri pangan yang halal itu dilakukan?

Pustaka

Agriculture and Agri-Food Canada. 2011. Global Pathfinder Report Halal Food Trends. International Markets Bureau. Market Indicator Report 2011. Canada.

Alpen Capital. 2011. GCC Food Industry. Alpen Capital Banking Investment. Muslimpopulation.com. 2011. Islamic Population World Wide.

http://www.muslimpopulation.com/World/

New Zealand Trade and Enterprise. 2011. New Global Business Trend. Halal.

http://www.nzte.govt.nz/access-international-networks/Explore- opportunities-in-growth-industries/new-global-business-trends/Pages/Halal.aspx

Pew Research Center Forum On Religion & Public Life. 2011. The Future Global Muslim Population Projections for 2010-2030. Washington, D.C.

Population Reference Bureau, 2011. World Population Data Sheet. The World at 7 Billion. Washington DC. USA

Riaz, M.N and M.M Chaudry. 2004. Halal Food Production. CRC Press. New York.

Rakhmat, J. 2003. Psikologi Agama Sebuah Pengantar. Mizan. Bandung

Santoso, U. 2011. The Development of Halal Food in Indonesia. The 12th ASEAN Food Conference. Bangkok. Thailand

World Halal Forum. 2011. Towards a Halal Economy – The Power of Values in Global Market. POST-EVENT REPORT of The 6th World Halal Forum.

(12)

2. KENAPA HALAL? KENAPA HARAM?

Kenapa, eh kenapa minuman itu haram? Karena, eh karena merusakkan pikiran Kenapa, eh kenapa berzina juga haram? Karena, eh karena itu cara binatang

Kenapa semua yang asyik itu diharamkan? Kenapa semua yang enak-enak itu yang dilarang? Itulah perangkap syaitan

Umpannya ialah bermacam-macam kesenangan

Bila Anda adalah penggemar Bang Haji Rhoma Irama tentu sudah bernyanyi meski dalam hati ketika membaca lirik lagu di atas. Sungguh terlalu kalau nggak

ngaku. Sebagai apresiasi, di lirik lagu ini kita lihat bagaimana Bang Haji

memberikan jawaban atas pertanyaan „kenapa sesuatu itu haram?‟ dengan bungkus sebagai seniman dangdut. Apakah jawaban ini memuaskan atau tidak, tentu tiap orang punya penilaian yang berbeda.

Halal dengan mudah bisa kita artikan sebagai boleh sedangkan haram itu tidak-boleh. Dalam menjelaskan kenapa sesuatu itu halal atau haram, penulis berpendapat bahwa orang sering memberikan jawaban dengan dua pendekatan. Pendekatan yang pertama adalah pendekatan memakai otak dan yang kedua adalah pendekatan memakai hati. Penggunaan otak dan hati disini tidak

(13)

dimaksudkan untuk menilai mana yang lebih baik tapi hanya sebagai analogi dari sifat pendekatan tersebut. Pendekatan pertama bersifat rasional ilmiah dan yang kedua bersifat dogmatik syariah.

Pada pendekatan pertama, orang melakukan rasionalisasi terhadap larangan agama dengan menggunakan hasil penelitian sains yang menekankan efek kesehatan pada manusia. Kita ambil contoh babi. Kenapa babi haram? Ada banyak alasan ilmiah yang telah dikemukakan, diantaranya kita kutip di bawah ini.

Babi adalah inang dari cacing pita Taenia solium yang bisa menjangkiti manusia dan bahkan bisa sampai di otak. Seperti dilaporkan Lauren Cox (2008), seorang pasien di negeri Pakde Sam a.k.a Amerika yang bernama Rosemary Alvarez dari Phoenix melakukan operasi otak karena mengira dirinya terserang tumor. Tapi bukan tumor otak ditemukan melainkan cacing Taenia solium. Dari Al Sheha, diketahui bahwa kasus yang sama terjadi tahun 2001 pada Dawn Becerra dari Arizona. Kedua kasus tersebut terjadi karena mengonsumsi daging babi yang undercooked alias belum masak.

Secara inheren daging babi adalah daging dengan kandungan lemaknya yang paling tinggi dibanding sapi dan domba. Jika dibiarkan berada di udara terbuka maka daging yang pertama kali busuk adalah daging babi, diikuti daging domba dan yang terakhir adalah daging sapi. Dan jika daging-daging tersebut dimasak, maka yang paling lambat proses pemasakannya adalah daging babi. Kadar asam urat (uric acid) yang terdapat di daging babi sangat tinggi. Asam urat (C5H4N4O3) adalah salah satu komponen yang terbentuk saat tubuh memecah

(14)

nukleotida purin. Tingginya kadar asam urat di dalam darah (> 8 mg/dL) dapat menyebabkan penyakit “gout” atau “pirai” atau “peradangan sendi kronis”. Tingginya kadar asam urat di dalam daging babi dikarenakan tubuh babi memiliki mekanisme ekskresi atau pemecahan asam urat yang berbeda. Berbanding terbalik dengan mekanisme ekskresi atau pemecahan asam urat pada manusia. Pada babi, 98 % asam urat tertahan di tubuhnya, hanya 2 % saja yang disekresikan. Sedangkan pada manusia, 98 % dikeluarkan lewat urine, sisanya disimpan atau dipecah lewat sistem metabolisme tubuh (Kumari, 2009).

Selain Taenia solium, babi juga jadi tempat tinggal parasit lain. Parasit yang umumnya ada pada babi menurut Robert Corwin (1997) adalah Ascaris

suum, Strongyloides ransomi, Trichuris suis, Oesophagostomum dentatum, Metastrongylus spp, Stephanurus dentatus, Isospora suis, Cryptosporidium parvum, dan Eimeria spp. Sebagai contoh kita ambil Ascaris suum, cacing ini

dapat menular ke manusia dan mencapai hati, jantung bagian kanan, dan paru-paru lewat sistem limfatik atau peredaran darah (Soeharsono, 2002).

Penyakit lain dengan carrier babi yang bahkan secara mengejutkan jadi pandemi dunia adalah flu babi. Virus H1N1 yang bersemayam di tubuh celeng ini membuat dunia jadi teleng. Flu babi telah menewaskan lebih dari 18.400 orang. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia, hampir semua negara di dunia terkena dampak sejak ditemukan di Meksiko dan Amerika Serikat pada April 2009 (Republika, 2011).

Masih banyak fakta lain tentang babi yang tidak bisa kita urai disini dan sebaiknya kita segera berpindah ke pendekatan kedua. Pada pendekatan kedua,

(15)

dinyatakan bahwa kita tak perlu mempunyai alasan ilmiah untuk sesuatu yang dilarang oleh dalil agama. Aturan agama harus diterima sepenuhnya sebagai konsekuensi dari keimanan yang menuntut totalitas. Bagaimana pun alasan ilmiah itu ada, itu tidaklah penting dan tak perlu dicari, cukup dengan kami mendengar perintah agama dan kami taat. Semuanya hak preogratif Tuhan.

Alasan ini pun diperkuat dengan melihat kenyataan bahwa sains tidak bisa dijadikan sebagai acuan karena sifat sains yang progresif atau berkembang dari masa ke masa. Misalnya di abad 19 sains menganggap bahwa alam semesta itu statis, tapi di abad 21 setelah Edwin Hubble (1929) menemukan ujung spektrum bintang-bintang yang menjadi berwarna merah yang menandakan bintang-bintang tersebut menjauhi bumi, sains menyatakan bahwa alam semesta itu mengembang yang artinya bersifat dinamis (Harun Yahya, 2002). Kesimpulan yang diberikan sains merupakan open ended conclusion, kesimpulan yang terbuka, kesimpulan yang tidak mutlak, sehingga kesimpulan sains sekarang belum tentu valid untuk masa yang akan datang.

Kembali kita ambil contoh tentang haramnya babi, bila kita bertumpu pada alasan ilmiah bahwa daging babi mempunyai efek yang buruk pada kesehatan manusia, lantas bagaimana jika di masa yang akan datang–dengan rekayasa genetika misalnya–dihasilkan sub-spesies babi yang tahan terhadap berbagai jenis cacing, virus dan penyakit serta rendah asam urat? Apakah babi serta merta

update status menjadi halal? Saya kira tentu orang muslim sepakat tidak demikian

(16)

Selain alasan perkembangan sains, ada pula alasan paradoks sains. Sama seperti paradoks dalam hal teknologi yang menciptakan dan memakan dirinya, demikian pula dengan sains. Alasan kehalalan yang bersifat rasional ilmiah pun bisa dikalahkan oleh alasan ilmiah yang lain. Kita ambil contoh pernyataan berikut, jika babi haram karena bisa menjadi sarang virus flu babi lantas kenapa sapi yang bisa kena bakteri anthraks tidak diharamkan Al Quran? Kenapa ayam yang juga bisa terserang flu burung tidak diharamkan islam?

Dengan alasan sifat sains yang berkembang dan paradoks, alasan ilmiah kehilangan kekuatannya. Di titik ini alasan keharaman satu-satunya adalah karena itu adalah perintah agama yang diterima dan dilaksanakan karena dasar keimanan.

So nothing left to say, it‟s a Divine order, titik.

Tentang kedua pendekatan ini, sesungguhnya akan bijak bila kita tidak meletakkan keduanya pada kutub yang berlawanan. Kedua pendekatan ini sesungguhnya saling mendukung karena diambil dari keimanan dan sumber hukum yang sama yaitu islam itu sendiri. Pada tataran keimanan memang dalil agama akan berada diatas dalil sains tapi bagaimanapun temporal dan paradoksnya dalil sains tetap bisa mendukung dalil agama karena islam adalah agama yang menuntut umatnya untuk berfikir rasional dan mengambil hikmah dari suatu perintah.

Dengan menyatukan bilah pemikiran ini, maka sebenarnya kita akan kembali pada paradigma Einsteinian yang menyatakan bahwa sains dan agama adalah dua hal yang saling membutuhkan. Inilah kutipan terkenal dari Albert Einstein yang disampaikan pada tahun 1941, science without religion is lame,

(17)

religion without science is blind. Sains tanpa agama akan lumpuh, agama tanpa

sains akan buta.

Mempertanyakan kehalalan sama juga dengan mempertanyakan kenapa shalat itu lima waktu bukan enam atau empat. Sebuah pertanyaan yang memang sepantasnya hanya dijawab dengan iman dan sebagai tambahan dalam menjawab kehalalan kita memiliki bukti-bukti ilmiah sebagai hikmah atau pelajaran yang rasional, sehingga kita bisa menjawab dengan format “Ini adalah semata-mata perintah agama dan hikmah rasional ilmiahnya adalah sebagai berikut...”

Sebagai penutup bab ini, ada ilustrasi menarik yang dikutip M. Quraish Sihab (2003), dari Imam Al Ghazali tentang „illat (sebab atau hikmah) dari larangan Illahi menyangkut halal atau haram serta bahwa kita boleh saja bertanya atau mencari jawaban tentang mengapa Allah swt mengharamkan makanan tertentu tetapi amat bijaksana jika jawaban yang ditemukan itu–walaupun sangat memuaskan–tidak dijadikan sebagai satu-satunya jawaban. Ilustrasi tersebut adalah sebagai berikut.

Seorang ayah memiliki anak yang tinggal bersama di satu rumah. Sebelum kematian menjemputnya, sang ayah mewasiatkan kepada anaknya, “Jika engkau ingin memugar rumah ini silakan, tetapi tumbuhan yang terdapat di serambi rumah jangan ditebang.” Beberapa tahun kemudian sang ayah meninggal dan sang anak pun memperoleh rejeki yang memadai. Rumah dipugarnya dan ketika sampai di tumbuhan terlarang, ia berpikir “Apakah gerangan sebab ayah melarang menebangnya?”. Pikiran sang anak kemudian sampai kepada kesimpulan bahwa aroma pohon itu harum. Di sisi lain, ia mengetahui bahwa telah ditemukan

(18)

tumbuhan lain yang memiliki aroma lebih harum. Maka ia pun memutuskan untuk menebang tumbuhan itu dan menggantinya dengan tumbuhan yang lebih sedap. Tetapi apa yang terjadi? Tidak lama kemudian muncul seekor ular, yang hampir saja menerkamnya, dan ketika itu ia sadar bahwa rupanya aroma tumbuhan yang ditebangnya merupakan penangkal kehadiran ular. Ia hanya mengetahui sebagian

„illat larangan ayahnya, bukan semuanya, bahkan bukan yang terpenting darinya.

Pustaka

Al Sheha, A. The Key to Happiness. Translated from Arabic Text Miftahus Sa‟adah by Abdurahman Murad.

Corwin, R. 1997. Pig Parasite Diagnosis. Swine Health and Production. Volume 5, Number 2 Maret- April 1997.

Cox, L. 2008. It‟s not A Tumor, It‟s A Brain Worm. ABC News Medical Health Unit. November, 24, 2008

Kumari, 2009. Waspada Flu Babi. Ayyana. Yogyakarta.

Republika, 2011. Januari 2011, Flu Babi di Cina Renggut 21 Nyawa. Republika edisi 4 Februari 2011.

Sihab, M.Q. 2003. Wawasan Al Quran. Mizan. Bandung.

Soeharsono. 2002. Zoonosis Penyakit Menular dari Hewan ke Manusia. Kanisius. Yogyakarta.

(19)

3. PRINSIP HALAL HARAM DAN MAKANAN DALAM PANDANGAN ISLAM

Bagaimana hukumnya makan jengkol dalam islam?

Bila Anda sudah tahu jawabannya abaikan saja pertanyaan ini. Untuk Anda yang belum tahu dan doyan jengkol, saya beritahu, islam mengkategorikan makan jengkol sebagai perbuatan makruh. Apa itu makruh? Bagaimana islam membuat kategori seperti itu?

Islam bukan agama yang melulu mengurus teologi dan ritual, tapi islam punya syariat yang mengatur kehidupan sehari-hari umatnya sehingga islam disebut way of life. Secara literal atau bahasa, syariat berarti jalan raya atau arah. Sumber paling utama syariat dan metodologi hukum Islam adalah kitab suci Al Quran. Terdapat sekitar 350 ayat hukum dalam Al Quran yang dalam hukum barat biasa disebut juris corpus. Jumlah ayat ini hanya sebagian kecil dari jumlah keseluruhan ayat Al Quran, tetapi ayat ini sangat esensial sebagai dasar hukum islam (Nasr, 2003).

Sunnah merupakan sumber syariat Islam setelah Al Quran. Kata sunnah berarti „metode, contoh atau jalan (A. W. Hamid, 2001). Menurut Ahmad Sarwat, sunnah berfungsi merinci garis besar Al Quran, menjelaskan yang musykil, membatasi yang mutlak, dan memberikan penjelasan hukum. Menurut ulama hadits sunnah adalah, “Apa-apa yang datang dari Nabi saw. berupa perkataan, perbuatan, persetujuan, sifat-sifat beliau baik sifat jasmani ataupun sifat akhlak.” Sumber hukum lainnya adalah ijma‟ (kesepakatan ulama), qiyas (analogi) dan

(20)

sumber-sumber tabaiyah atau sumber-sumber yang diturunkan dari pemahaman Al Quran dan sunnah.

Dalam islam ada lima kategori perbuatan dan nilai yaitu wajib (fardh), dianjurkan (mandub), dilarang (haram), tidak disenangi (makruh), dan dibolehkan (mubah atau halal). Dalam kategori wajib ada kewajiban yang disandang individu („aini) dan ada yang disandang masyarakat (kafa‟i). Perbuatan yang termasuk dalam kategori dianjurkan (mandub) adalah hal-hal yang tidak dituntut tetapi akan menyenangkan Tuhan dan mendapatkan ganjaran. Kategori dilarang (haram) termasuk segala perbuatan yang apabila dilakukan akan dikenakan hukuman dan apabila ditinggalkan akan diberi pahala. Perbuatan yang tidak disenangi (makruh) adalah perbuatan yang apabila tidak dilakukan akan lebih baik daripada melakukannya. Orang yang melakukan perbuatan makruh tidak diberikan sanksi oleh hukum, tetapi yang menghindarinya mendapat pahala. Perbuatan yang dibolehkan (mubah atau halal) menyangkut setiap perbuatan seseorang yang diperbolehkan memilih untuk melakukan atau tidak melakukannya (Nasr, 2003). 3.1. Prinsip Halal Haram

Mengenai prinsip-prinsip Islam tentang halal dan haram berikut adalah rangkuman dari 11 prinsip halal haram yang diuraikan oleh Dr. Yusuf Qardhawi (2005).

1. Pada Dasarnya Segala sesuatu Hukumnya Mubah

Prinsip pertama yang ditetapkan Islam: pada asalnya segala sesuatu yang diciptakan Allah itu halal. Tidak ada yang haram kecuali jika ada nash (dalil) yang shahih (tidak cacat periwayatannya) dan sharih (jelas maknanya) dari pemilik

(21)

syariat (Allah swt) yang mengharamkannya. Jika tidak ada nash shahih atau tidak ada nash sharih yang menunjuk keharamannya, maka sesuatu itu dikembalikan kepada hukum asalnya: halal.

Hal ini didasarkan pada ayat Al Quran berikut:

“Dialah yang telah menciptakan untuk kalian segala sesuatu di bumi.” Al

Baqarah (2):9

“(Allah) telah menundukkan untuk kalian apa-apa yang ada di langit dan di bumi, (sebagai rahmat) dari-Nya.” Al Jatsiyah :13

“tidakkah kalian melihat bahwa Allah telah menundukkan untuk kalian apa-apa yang di langit dan di bumi dan menyempurnakan untuk kalian nikmat-Nya, lahir maupun batin.” Luqman : 20

Dari sinilah maka wilayah keharaman dalam syariat Islam sesungguhnya sangatlah sempit. Sebaliknya, wilayah kehalalan terbentang sangatlah luas. Itu karena, nash–baik yang shahih maupun sharih–yang datang dengan pengharaman sedikit sekali jumlahnya. Selain itu, sesuatu yang tidak ada nash yang mengharamkan atau menghalalkannya, ia kembali kepada hukum asalnya, yaitu boleh. Ia berada di wilayah kemaafan Tuhan.

Tentang hal ini sebuah hadits (perkataan Nabi saw) yang diriwayatkan oleh Hakim dan dishahihkan oleh Bazzar menyebutkan:

“Apa yang Allah halalkan dalam kitab-Nya, ia halal, dan apa yang Allah haramkan, ia haram. Sedangkan hal-hal yang didiamkan-Nya, ia dimaafkan. Terimalah pemaafan dari Allah, karena Allah sesungguhnya tidak lupa terhadap

(22)

sesuatu pun. (Rasulallah saw. membaca sebuah ayat Al Quran) ‟Tidaklah

Tuhanmu lupa akan sesuatu‟ (Maryam : 64).”

Hadits lain diriwayatkan oleh Tirmidzi dan Ibnu Majah menyebutkan dari Salman Al Farisi bahwa Rasulallah saw. ditanya tentang minyak samin, keju dan jubah dari kulit binatang, lalu beliau menjawab:

“Yang halal adalah segala sesuatu yang Allah halalkan dalam kitab-Nya, dan yang haram adalah segala sesuatu yang Allah haramkan dalam kitab-Nya. Sedangkan apa yang didiamkan-Nya maka ia termasuk yang dimaafkan kepada kalian.”

2. Penghalalan dan Pengharaman Hanyalah Wewenang Allah

Islam membatasi kewenangan dalam pengharaman dan penghalalan. Maka dicabutlah kekuasaan itu dari tangan makhluk, bagaimanapun martabatnya dalam agama ataupun kedudukannya dalam masyarakat manusia. Lalu dijadikanlah ia sebagai hak wewenang Allah semata. Hal ini merujuk ayat Al Quran:

“Katakanlah, „Apa pandangan kalian tentang rejeki yang Allah turunkan kepada kalian kemudian kalian jadikan sebagian darinya haram dan halal?‟ katakan, „Apakah Allah telah memberi ijin kepada kalian ataukah kalian membuat kedustaan atas nama Allah.” Yunus :59

“Dan Dia benar-benar telah menguraikan kepada kalian apa yang diharamkan kepada kalian.” Al An‟am :119

3. Mengharamkan yang Halal dan Menghalalkan yang Haram adalah termasuk Kemusyrikan

(23)

Islam mengecam keras mereka yang mengharamkan yang halal karena perilaku itu mengandung makna kekerasan terhadap manusia dan tanpa alasan yang benar mempersempit sesuatu yang telah dilapangkan oleh Allah swt. Rasullah saw memproklamirkan risalah atau agamanya dan bersabda:

“Aku diutus dengan hanifiyatus samhah (kemurnian dan toleransi)” Hadits riwayat Ahmad.

Allah swt. berfirman dalam Al Quran surat Al A‟raf:

“Katakanlah, „Siapa yang mengharamkan perhiasan Allah yang dikeluarkan untuk hamb-hambaNya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezeki yang baik-baik?‟ katakanlah „Sesungguhnya Tuhan-ku hanya mengharamkan perbuatan-perbuatan keji, baik yang tampak ataupun tersembunyi, perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, dan mengharamkan jika kalian menyekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujah untuk itu, dan (mengharamkan) mengada-ada terhadp Allah apa yang kalian tidak ketahui.” Al A‟raf : 32-33

4. Sesuatu Diharamkan karena Buruk dan Berbahaya

Dalam islam pengharaman terhadap sesuatu itu terjadi karena adanya keburukan dan kemadaratan. Karena itu, sesuatu yang madaratnya mutlak adalah haram dan yang manfaatnya mutlak adalah halal, yang madaratnya lebih besar adalah haram, yang manfaatnya lebih besar adalah halal. Telah menjadi aksioma bahwa jika ditanyakan tentang sesuatu yang halal dalam islam pasti karena ia baik. Yaitu sesuatu yang dianggap baik oleh jiwa yang sehat dan dinilai baik pula

(24)

oleh umumnya manusia. Sebuah penilaian yang tidak subjektif dan tumbuh dari pengaruh adat kebiasaan. Allah swt berfirman:

“Mereka bertanya tentang apa yang dihalalkan bagi mereka. Katakanlah, dihalalkan bagi kalian yang baik-baik.” Al Maidah : 4

5. Dalam Sesuatu yang Halal Ada Hal yang Menjadikan Kita Tak Memerlukan Lagi yang Haram

Di antara kebaikan islam dan kemudahan yang dibawanya adalah bahwa tiada sesuatu yang diharamkan kecuali bahwa ia diganti dengan sesuatu yang lebih baik darinya, sebagai alternatif yang menjadikan kita tak perlu lagi kepada yang haram itu. Misalnya islam mengharamkan minuman keras dan menggantikannya dengan minuman lain yang bermanfaat bagi jasmani dan rohani. Firman Allah swt dalam Al Quran:

“Allah hendak menerangkan (hukum syariat-Nya) kepadamu, dan menunjukimu kepada jalan-jalan orang sebelum kamu (para nabi dan shalihin) dan (hendak) menerima tobatmu. Dan Allah Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana. Dan Allah hendak menerima tobatmu, sedang orang-orang yang mengikuti hawa nafsunya bermaksud supaya kamu berpaling sejauh-jauhnya (dari kebenaran). Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah.” An Nisa : 26-28

6. Sesuatu yang Mengantarkan kepada yang Haram adalah Haram

Di antara prinsip yang telah ditetapkan islam adalah bahwa jika ia mengharamkan sesuatu maka ia mengharamkan pula berbagai sarana yang

(25)

mengantarkan kepadanya dan menutup rapat berbagai pintu yang menuju ke arahnya. Misalnya dalam hal khamr (minuman/zat yang memabukkan) Rasulallah saw melaknat peminum, pembuat dan pembawanya, juga yang dibawakan dan yang memakan hasil penjualannya.

7. Menyiasati yang Haram adalah Haram Hukumnya

Sebagaimana islam mengharamkan berbagai cara dan sarana lahir yang mengantarkan pada yang haram, islam juga mengharamkan tipu muslihat dengan berbagai cara yang samar dan cara yang licik. Disebutkan oleh Imam Ibnu Qayyim bahwa ada hadits Rasulallah saw. yang diriwayatkan oleh Abu Abdilah bin Battah yang berbunyi:

“Janganlah kalian melakukan dosa sebagaimana yanga dilakukan orang-orang yahudi dan jangan menghalalkan hal-hal yang diharamkan Allah dengan muslihat dan alasan yang sepele.”

8. Niat Baik Tidak Menghalalkan yang Haram

Islam menghargai motivasi bersih, maksud baik, dan niat yang tulus suci dlam peraturan-peraturan syariat dan semua arahan-arahannya. Rasulallah saw sendiri bersabda dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari:

“Sesungguhnya amal perbuatan itu (tergantung) pada niatnya dan sesungguhnya setiap orang mendapatkan apa yang diniatkannya.”

Adapun masalah haram tetap dinilai haram, betapapun baik dan mulianya niat dan tujuan itu. Bagaimanapun baiknya rencana, selama dia itu tidak dibenarkan oleh Islam, maka selamanya yang haram itu tidak boleh dipakai alat

(26)

untuk mencapai tujuan yang terpuji. Sebab Islam selamanya menginginkan tujuan yang suci dan caranya pun harus suci juga. Syariat Islam tidak membenarkan prinsip apa yang disebut al-ghayah tubarrirul wasilah (untuk mencapai tujuan, cara apapun dibenarkan), atau suatu prinsip yang mengatakan: al-wushulu ilal haq bil khaudhi fil katsiri minal bathil (untuk dapat memperoleh sesuatu yang baik, boleh dilakukan dengan bergelimang dalam kebatilan). Bahkan yang ada adalah sebaliknya, setiap tujuan baik, harus dicapai dengan cara yang baik pula. Demikian seperti apa yang diajarkan kepada kita oleh Rasulullah s.a.w., sebagaimana disabdakan:

"Sesungguhnya Allah itu baik, Ia tidak mau menerima kecuali yang baik pula. Allah pun memerintah kepada orang mu'min seperti halnya perintah kepada para Rasul."

Dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Ibnu Huzaimah, Ibnu Hibban dan Hakim dari Abu Hurairah ra, Rasulallah saw bersabda:

“Barangsiapa mengumpulkan harta dari (harta) yang haram kemudian menyedekahkannya, ia tidak mendapatkan pahala sedekah tersebut, dan dialah yang menanggung dosanya.”

9. Hindari yang Syubhat Supaya Tidak Terjerumus pada yang Haram

Ada wilayah di antara yang jelas-jelas halal dan jelas-jelas haram, yaitu wilayah syubhat. Bagi sebagian orang, beberapa masalah halal dan haram tidak begitu jelas. Hal itu mungkin karena ketidakjelasan dalil-dali baginya, karena kebimbngannya dalam menerapkan nash dalam realita atau karena hal itu sendiri memang masih membingungkannya. Islam menekankan sikap wara‟, yakni bahwa

(27)

seorang muslim hendaknya menghindar dari hal-hal tidak jelas atau syhubhat sebagai usaha preventif supaya tidak terjerumus kepada hal yang haram. Diriwayatkan oleh Turmudzi bahwa Rasulallah saw bersabda:

“Yang halal itu jelas, yang haram jelas. Dan diantara keduanya adalah masalah-masalah syubhat, kebanyakan orang tidak mengenalinya; termasuk halalkah ia atau haram? Karena itu barangsiapa meninggalkannya berarti ia telah membersihkan agama dan kehormatannya, ia selamat. Dan barangsiapa terjerumus pada sesuatu diantaranya, berarti hampir terjerumus ke dalam yang haram. Sebagaimana jika orang menggembala ternaknya di sekitar hima (tempat khusus milik raja tempat menggembala ternaknya dan tidak boleh dimasuki ternak orang lain), maka ia hampir-hampir memasukinya. Ketahuilah bahwa sesungguhnya setiap raja memilki hima, ketahuilah bahwa hima Allah adalah larangan-laranganNya.”

10. Yang Haram adalah Haram untuk Semua

Haram dalam islam bersifat universal. Tak ada sesuatu pun yang haram bagi orang berkulit hitam tapi boleh untuk orang berkulit putih. Tidak ada sesuatu pembolehan, pemudahan, atau dispensasi untuk suatu kalangan atau kelompok manusia tertentu, sehingga bebas melakukan apa saja yang diinginkannya hanya karena mereka itu bangsawan, pendeta, raja, atau berdarah biru. Hal ini tercermin dari hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari bahwa Rasulallah Muhammad saw bersabda:

“Demi Allah, sekiranya Fatimah putri Muhammad mencuri, niscaya aku sendiri yang akan memotong tangannya.”

(28)

11. Situasi Darurat Membuat yang Haram Menjadi Boleh

Islam mempersempit wilayah haram, setelah itu bersikap keras dalam masalah haram dengan menutup pintu yang mengantarkan kepadanya, baik terang-terangan atau pun tersembunyi. Meskipun demikian, islam tidak melalaikan kebutuhan-kebutuhan hidup dan kelemahan manusia. Karena itu islam menghormati keadaan darurat yang tak bisa ditoleransi, mengakui kelemahan manusiawi dan–dalam kondisi darurat–islam membolehkan seorang muslim menikmati berbagai larangan demi menghilangkan kondisi darurat itu, dan memelihara dirinya dari kebinasaan. Karena itulah, setelah menyebut makanan-makanan larangan berupa bangkai, darah dan daging babi, Allah swt berfirman:

“Maka barangsiapa terpaksa, dengan tidak sengaja mencarinya dan melampaui batas, tidak ada dosa atasnya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha penyayang.” Al Baqarah : 173

Ayat tersebut memberi syarat kepada orang yang terpaksa dengan “tidak sengaja mencari dan tidak pula melampaui batas” ini ditafsirkan dengan tidak sengaja menikmati dan tidak melampaui batas kekenyangan. Dengan diperbolehkannya yang haram oleh islam dalam kondisi darurat itu tidak lain demi beradaptasi dengan jiwa islam secara umum dan secara global, yakni jiwa kemudahan dan keinganan yang membebaskan umat ini dari berbagai belenggu dan beban. Allah swt berfirman dalam Al Quran:

“Allah menghendaki kemudahan bagi kalian dan tidak menghendaki kesulitan.”

Al Baqarah : 185

(29)

Sola dosis facit venenum ini adalah ungkapan latin dari Paracelcus ahli

toksikologi Swiss abad 15, yang jika ditranslasikan ke bahasa David Beckham menjadi the dose makes the poison. Ungkapan ini dipahami dari Paracelcus bahwa segala sesuatu adalah racun dan tidak ada yang tanpa racun hanya dosis yang membuat sesuatu menjadi bukan racun (Staal et al., 2008). Sederhananya dosis segala sesuatu itu harus sepadan proporsinya dan tidak berlebihan. Hal ini sejalan dengan pandangan Al Quran surat Al A‟raf ayat 31 dan Al Maidah ayat 87 yang menuntun umatnya untuk tidak berlebihan atau melampaui batas termasuk dalam mengonsumsi makanan meskipun makanan itu adalah makanan halal.

M. Quraish Sihab (2003) menyatakan bahwa makanan atau tha‟am dalam bahasa Al Quran adalah segala sesuatu yang dimakan atau dicicipi. Karena itu „minuman‟ pun termasuk dalam pengertian tha‟am. Al Quran surat Al Baqarah ayat 249 menggunakan kata syariba (minum) dan yath‟am (makan) untuk objek berkaitan dengan air minum. Menarik untuk disimak bahwa bahasa Al Quran menggunakan kata „akala‟ dalam berbagai bentuk untuk menunjuk pada aktivitas „makan‟. Tetapi kata tersebut tidak digunakannya semata-mata dalam arti „memasukkan sesuatu ke tenggorokan‟ tetapi ia berarti juga segala aktivitas dan usaha. Perhatikan misalnya pada surat Al Nisa ayat 4.

“Dan serahkanlah mas kawin kepada wanita-wanita (yang kamu kawini), sebagai pemberian dengan penuh ketulusan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepadamu sebagian dari mas kawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambil/gunakanlah) pemberian itu, (sebagai makananan) yang sedap lagi baik akibatnya.” Al Nisa : 4

(30)

Diketahui oleh semua pihak bahwa mas kawin tidak harus bahkan tidak lazim berupa makanan, namun demikian ayat ini menggunakan kata „makan‟ untuk penggunaan mas kawin tersebut. Selanjutnya firman Allah dalam surat Al An‟am ayat 121.

“Dan janganlah makan yang tidak disebut nama Allah atasnya (ketika menyembelihnya).” Al An‟am : 121

Penggalan ayat ini dipahami oleh Syaikh Abdul Halim Mahmud–mantan pemimpin tertinggi Al Azhar–sebagai larangan untuk melakukan aktivitas apa pun yang tidak disertai nama Allah. Ini disebabkan karena kata „makan‟ di sini dipahami dalam arti luas yakni „segala bentuk aktivitas‟. Penggunaan kata tersebut untuk arti aktivitas seakan-akan menyatakan bahwa aktivitas membutuhkan kalori, dan kalori diperoleh dari makanan.

Menurut Afzalur Rahman (2007), Al Quran meminta manusia agar memerhatikan dengan cermat keadaan dirinya dan mendorongnya mempelajari keadaan tubuh, jiwa, dan hubungan diantara keduanya. Setiap orang dianjurkan memakan makan makanan yang bersih dan suci serta tidak tergiur kepada barang yang tidak bersih, buruk dan berbahaya. Al Quran menyatakan dalam surat Al Baqarah ayat 168.

“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik (thayyib) dari apa yang

terdapat di bumi dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan, karena sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagimu.” Al Baqarah : 168

M. Quraish Sihab (2003) menguraikan bahwa kata thayyib dari segi bahasa berarti lezat, baik, sehat, menentramkan, dan paling utama. Pakar-pakar

(31)

tafsir ketika menjelaskan kata ini dalam konteks perintah makan menyatakan bahwa ia berarti makanan yang tidak kotor dari segi zatnya atau rusak (kadaluarsa), atau dicampuri benda najis. Ada juga yang mengartikannya sebagai makanan yang mengundang selera bagi yang memakannya dan tidak membahayakan fisik dan akalnya. Kita dapat bahwa kata thayyib dalam makanan adalah makanan yang sehat (memiliki gizi yang cukup dan seimbang), proporsional (sesuai dengan kebutuhan pemakan, tidak berlebih dan tidak kurang), dan aman (efeknya baik dan tidak menimbulkan penyakit).

Ada pun ayat ayat Al Quran yang menerangkan halal haramnya makanan yang dikonsumsi manusia adalah sebagai berikut:

“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagi kalian bangkai, darah, daging babi dan binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barang siapa dalam keadaan terpaksa, sedangkan ia tidak berkehendak dan tidak melampaui batas, maka tidaklah berdosa. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Pengasih”. Al Baqarah : 173

“Katakanlah, saya tidak mendapat pada apa yang diwahyukan kepadaku sesuatu

yang diharamkan bagi yang memakannya, kecuali bangkai, darah yang tercurah, daging babi karena ia kotor atau binatang yang disembelih dengan atas nama selain Allah. Barangsiapa dalam keadaan terpaksa sedangkan ia tidak menginginkannya dan tidak melampaui batas, maka tidaklah berdosa. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Pengasih”. Al-Anam : 145

“Diharamkan bagi kalian bangkai, darah, daging babi, hewan yang disembelih

(32)

ditanduk, dan yang diterkam binatang buas kecuali yang kalian sempat menyembelihnya. Dan diharamkan pula bagi kalian binatang yang disembelih di sisi berhala”. Al-Maidah : 3

“Wahai orang-orang yang beriman sesungguhnya meminum khamr,

berjudi, berkorban untuk berhala, mengundi nasib dengan panah adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syetan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kalian mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syetan itu hendak menimbulkan permusuhan dan perbencian di antara kalian lantaran meminum khamr dan berjudi dan menghalangi kalian dari mengingat Allah dan shalat, maka apakah kalian berhenti dari mengerjakan pekerjaan itu.” Al-Maidah :

90-91

“Dihalalkan untuk kalian binatang buruan laut dan makanannya”. Al-Maidah : 96

Berikut adalah rincian lebih lanjut tentang jenis-jenis makanan yang diharamkan dalam agama islam dari As Sidawi dan Fatwa (2008).

1. Bangkai

Bangkai adalah hewan yang mati bukan karena disembelih atau diburu. Hukumnya jelas haram dan bahaya yang ditimbulkannya bagi agama dan badan manusia sangat nyata, sebab pada bangkai terdapat darah yang mengendap sehingga sangat berbahaya bagi kesehatan. Bangkai dibagi menjadi 4 jenis yaitu:

a. Al-Munkhaniqoh yaitu hewan yang mati karena tercekik baik secara sengaja atau tidak.

(33)

b. Al-Mauqudhah yaitu hewan yang mati karena dipukul dengan alat/benda keras hingga mati olehnya atau disetrum dengan alat listrik.

c. Al-Mutaraddiyah yaitu hewan yang mati karena jatuh dari tempat tinggi atau jatuh ke dalam sumur sehingga mati.

d. An-Nathihah yaitu hewan yang mati karena ditanduk oleh hewan lainnya.

Sekalipun bangkai haram hukumnya tetapi ada yang dikecualikan yaitu bangkai ikan dan belalang berdasarkan hadits: “Dari Ibnu Umar berkata: ” Dihalalkan untuk dua bangkai dan dua darah. Adapun dua bangkai yaitu ikan dan belalang, sedang dua darah yaitu hati dan limpa.” Rasululah juga pernah ditanya tentang air laut, maka beliau bersabda: “Laut itu suci airnya dan halal bangkainya.”

2. Darah

Darah yang mengalir adalah haram sebagaimana dijelaskan dalam Al Quran surat Al-An‟Am ayat 145. Sekalipun darah adalah haram, tetapi ada pengecualian yaitu hati dan limpa berdasarkan hadits Ibnu Umar. Demikian pula sisa-sisa darah yang menempel pada daging atau leher setelah disembelih. Semuanya itu hukumnya halal.

3. Daging Babi

Babi baik peliharaan maupun liar, jantan maupun betina, dan mencakup seluruh anggota tubuh babi sekalipun minyaknya.

(34)

Setiap hewan yang disembelih dengan selain nama Allah hukumnya haram, karena Allah mewajibkan agar setiap makhluk-Nya disembelih dengan nama-Nya yang mulia. Oleh karenanya, apabila seorang tidak mengindahkan hal itu bahkan menyebut nama selain Allah baik patung, berhala dan lain sebagainya , maka hukum sembelihan tersebut adalah haram dengan kesepakatan ulama.

5. Hewan yang Diterkam Binatang Buas

Daging hewan yang diterkam oleh harimau, serigala atau anjing lalu dimakan sebagian oleh binatang buas tersebut kemudian mati, maka hukumnya adalah haram sekalipun darahnya mengalir dan bagian lehernya yang kena. Semua itu hukumnya haram dengan kesepakatan ulama. Adapun hewan yang diterkam binatang buas apabila dijumpai masih hidup (bernyawa) seperti kalau tangan dan kakinya masih bergerak atau masih bernafas kemudian disembelih secara syar‟i, maka hewan tersebut adalah halal karena telah disembelih secara halal.

6. Binatang Buas Bertaring

Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan Muslim, “Dari Abu Hurairah dari Nabi saw bersabda: “Setiap binatang buas yang bertaring adalah haram dimakan” Hadits ini secara jelas menunjukkan haramnya memakan binatang buas yang bertaring bukan hanya makruh saja. Pendapat yang menyatakan makruh saja adalah pendapat yang salah.

7. Burung yang Berkuku Tajam

Hal ini didasarkan hadits riwayat Muslim, dari Ibnu Abbas berkata: “Rasulullah melarang dari setiap hewan buas yang bertaring dan berkuku tajam”.

(35)

Imam Al-Baghawi berkata dalam Syarh Sunnah “Demikian juga setiap burung yang berkuku tajam seperti burung garuda, elang dan sejenisnya”. Imam Nawawi berkata dalam Syarh Shahih Muslim “Dalam hadits ini terdapat dalil bagi madzab Syafi‟i, Abu Hanifah, Ahmad, Daud dan mayoritas ulama tentang haramnya memakan binatang buas yang bertaring dan burung yang berkuku tajam.”

8. Khimar Ahliyyah (Keledai Jinak)

Hal ini berdasarkan hadits riwayat Bukhori dan Muslim, dari Jabir berkata: “Rasulullah melarang pada perang khaibar dari (makan) daging khimar dan memperbolehkan daging kuda”. Adapaun keledai liar, maka hukumnya halal dengan kesepakatan ulama.

9. Al-Jallalah

Al-Jalalah adalah setiap hewan baik hewan berkaki empat maupun berkaki dua-yang makanan pokoknya adalah kotoran-kotoran seperti kotoran manuasia/hewan dan sejenisnya. Sebab diharamkannya jalalah adalah perubahan bau dan rasa daging dan susunya. Apabila pengaruh kotoran pada daging hewan yang membuat keharamannya itu hilang, maka tidak lagi haram hukumnya, bahkan hukumnya halal secara yakin dan tidak ada batas waktu tertentu.

10. Hewan yang Diperintahkan Agama Supaya Dibunuh

Hal berdasarkan hadits, “Dari Aisyah berkata: Rasulullah bersabda: Lima hewan fasik yang hendaknya dibunuh, baik di tanah halal maupun haram yaitu ular, tikus, anjing hitam” Kemudian dari hadits, “Dari Ummu Syarik berkata bahwa Nabi memerintahkan supaya membunuh tokek/cecak”

(36)

11. Hewan yang Dilarang Untuk Dibunuh

Hal ini didasarkan pada hadits, dari Ibnu Abbas berkata: “Rasulullah melarang membunuh 4 hewan : semut, tawon, burung hud-hud dan burung surad. ” Imam Syafi‟i dan para sahabatnya mengatakan: “Setiap hewan yang dilarang dibunuh berarti tidak boleh dimakan, karena seandainya boleh dimakan, tentu tidak akan dilarang membunuhnya.” Haramnya hewan-hewan di atas merupakan pendapat mayoritas ahli ilmu sekalipun ada perselisihan di dalamnya kecuali semut, nampaknya disepakati keharamannya.

12. Binatang yang Hidup di Dua Alam

Sejauh ini belum ada dalil dari Al Qur‟an dan hadits yang shahih yang menjelaskan tentang haramnya hewan yang hidup di dua alam (laut dan darat). Dengan demikian binatang yang hidup di dua alam dasar hukumnya adalah halal kecuali ada dalil yang mengharamkannya. Berikut contoh beberapa dalil hewan hidup di dua alam.

 Kepiting hukumnya halal sebagaimana pendapat Atha‟ dan Imam Ahmad.  Kura-kura dan penyu juga halal sebagaimana madzab Abu Hurairah,

Thawus, Muhammad bin Ali, Atha‟, Hasan Al-Bashri dan fuqaha‟ Madinah.

 Anjing laut – juga halal sebagaimana pendapat imam Malik, Syafe‟i, Laits, Syai‟bi dan Al-Auza‟i.

 Katak/Kodok – hukumnya haram secara mutlak menurut pendapat yang rajih (yang kuat) karena termasuk hewan yang dilarang dibunuh.

(37)

Pustaka

As Sidawi, A.U.Y dan A.A.S Fatwa. 2008. Indahnya Fiqih Praktis Makanan. Pustaka Al Furqon. Gresik.

halalguide.info. 2009. Mengenal Makanan Haram.

http://www.halalguide.info/2009/03/27/mengenal-makanan-haram/ Hamid, A.H. 2001. Islam Cara Hidup Alamiah. Lazuardi. Yogyakarta. Nasr, S.H. 2003. The Heart of Islam. Mizan. Bandung.

Qardhawi, Y. 2005. Halal Haram dalam Islam. Era Intermedia. Solo.

Rahman, A. 2007. Ensiklopediana Ilmu dalam Al Quran. Mizania. Bandung. Sarwat, A. Fiqih dan Syariah. DU Center. Jakarta.

Sihab, M.Q. 2003. Wawasan Al Quran. Mizan. Bandung.

Staal, F. J. T., K. Pike-Overzet, Y .Y .Ng, dan J J M Van Dongen. (2008). Sola Dosis Facit Venenum. Leukemia in Gene Therapy Trials: A Question of Vectors, Inserts and Dosage? Leukemia official Journal of the Leukemia Society of America. Leukemia Research Fund U.K. Volume: 22, Issue: 10, Pages: 1849-1852

(38)

4. HALAL ADALAH SEBUAH STANDAR MUTU

Sifat haram dalam islam itu ada dua yaitu haram li-dzatih dan haram ghairih/‟aridhi (Sholihin, 2010). Makanan yang haram lidzatih (haram intrinsik) adalah kondisi makanan haram karena memang makanan itu haram dari segi zatnya berdasarkan ajaran islam contohnya seperti babi dan khamr. Haram ghairih (haram ekstrinsik) adalah yang haram karena adanya faktor eksternal yang membuat makanan itu menjadi haram. Untuk yang haramnya intrinsik maka tak perlu diperdebatkan lagi, tapi untuk menjaga agar tidak terjadi haram yang ekstrinsik kita memerlukan perangkat tersendiri. Perangkat tersebut adalah manajemen operasi halal. Tujuan utama dari proses manajemen operasi pada kehalalan sebuah produk pangan adalah untuk menjamin kehalalan produk tersebut dari tingkat produksi sampai ke tingkat konsumsi, dari kebun sampai ke lambung, from farm to fork.

Dari segi definisi, manajemen operasi adalah kajian pengambilan keputusan dari suatu fungsi operasi (Nasution, 2006). Dengan demikian, secara tematik, manajemen operasi halal merupakan kajian keputusan bagaimana suatu fungsi operasi dari produk pangan itu halal sesuai kaidah syariah islam. Hasil dari kajian keputusan ini adalah keberadaan suatu sistem, standar atau aturan main bagi para pelaku dan pemangku kepentingan industri pangan yang meliputi seluruh fungsi operasinya.

Negara-negara berpenduduk muslim telah lama mengembangkan manajemen operasi untuk kahalalan pangan ini. Sebagai negara yang berambisi

(39)

menjadi pusat kehalalan global, Malaysia telah mengembangkan standar untuk produksi pangan yang diberi nama MS1500:2009. Standard ini merupakan pengembangan dari MS1500:2004 yang didasarkan pada MS1500:2000 yang dibuat oleh Malaysian Institute of Industrial Research and Standard (Daud et al., 2011). Adapun perangkat manajemen halal yang di kembangkan di Indonesia disebut sebagai Sistem Jaminan Halal yang core product-nya adalah sertifikasi dan labeliasasi halal oleh LP POM MUI, Departemen Kesehatan dan Departemen Agama.

Menurut Apriyantono et al. (2003), pengembangan sistem jaminan halal didasarkan pada konsep total quality management yang terdiri dari empat unsur utama yaitu, komitmen, kebutuhan konsumen, peningkatan tanpa penambahan biaya, dan menghasilkan barang setiap waktu tanpa rework, tanpa reject dan tanpa

inspection. Penerapan sistem jaminan halal dapat dirumuskan untuk menghasilkan

suatu sistem yang ideal, yaitu zero limit, zero defect dan zero risk (three zero

concept). Pada three zero concept material haram tidak boleh ada pada level

apapun (zero limit), tidak memproduksi produk haram (zero defect), dan tidak ada risiko merugikan yang diambil bila mengimplementasikan sistem ini (zero risk). Total quality management didefinisikan sebagai sistem dimana setiap orang di dalam setiap posisi dalam organisasi harus mempraktekkan dan berpartisipasi dalam manajemen halal dan aktifitas peningkatan produktivitas.

Adanya manajemen operasi halal ini dengan sendirinya mengubah sifat mutu konvensional produk pangan yang tadinya hanya didasarkan pada aspek material semata seperti aspek kimia, fisik, mikrobiologi, dan organoleptik-sensoris. Kehalalan menuntut produk pangan untuk mempunyai mutu

(40)

transendental atau aspek spiritual. Baadilla (1996) menyatakan bahwa sesuai dengan tuntutan konsumen produk pangan harus memenuhi persyaratan mutu yang meliputi beberapa aspek yaitu aspek keamanan, aspek citarasa, aspek nutrisi, aspek estetika dan bisnis, serta aspek halal.

4.1 Hazard Analysis and Critical Control Point (HACCP)

Dalam hal jaminan mutu industri pangan biasanya mengacu pada standar international yaitu ISO 9000 sedangkan untuk keamanan pangan (food safety) adalah ISO 22000. Sebelum adanya ISO 22000, menurut Alli (2004), ISO 9000 bisa disinergikan dengan Analisis Bahaya dan Pengendalian Titik Kritis atau Hazard Analysis and Critical Control Point (HACCP). Dalam perkembangan selanjutnya HACCP diadopsi langsung oleh ISO 22000. Dari sudut sejarah HCCP adalah konsep yang dikembangkan tahun 1960 oleh The Pillsbury Company bersama dengan NASA dan Laboratorium Militer Amerika. Hal ini didasarkan pada konsep engeenering Failure, Mode, Effect and Analysis (FMEA) yang kemudian diterapkan pada tataran mikrobiologi (Mortimore and Wallace, 2001).

Codex Alimentarius Commission menjabarkan sistem Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) sebagai suatu sistem yang memiliki landasan ilmiah dan yang secara sistematis mengidentifikasi potensi-potensi bahaya tertentu serta cara-cara pengendaliannya untuk menjamin keamanan pangan. Tujuan dasar sistem HACCP adalah untuk menunjukkan letak potensi bahaya yang berasal dari makanan yang berhubungan dengan jenis bahan pangan yang diolah oleh perusahaan pengolah makanan dengan tujuan untuk melindungi kesehatan konsumen dan ditujukan untuk pencegahan, penghilangan atau

(41)

pengurangan potensi bahaya keamanan pangan hingga ke tingkat yang dapat diterima (European Committee for Standardisation, 2004).

Berdasarkan Codex Alimentarius Commission and FAO-WHO Food Standards Programme (1997), HACCP mempunyai 7 prinsip utama yaitu:

1. Melakukan analisis bahaya

2. Menentukan Titik Pengendalian Kritis (Critical Control Point atau CCP) 3. Menentukan ambang batas kritis

4. Membuat suatu sistem pemantauan (monitoring) terhadap CCP

5. Menyusun tindakan-tindakan perbaikan yang harus diambil ketika pengawasan menunjukkan bahwa suatu titik pengendalian kritis (CCP) berada diluar kendali.

6. Menyusun prosedur pengecekan ulang untuk memastikan bahwa sistem HACCP dapat bekerja dengan efektif.

7. Menyusun dokumentasi yang berhubungan dengan semua prosedur dan catatan-catatan yang sesuai untuk prinsip-prinsip ini beserta aplikasinya.

Bagi yang belum akrab dengan HACCP, sebagai contoh untuk pemahaman terhadap prinsip-prinsip diatas, kita ambil kasus penerapan HACCP pada makanan favorit berjuta umat, mie instan. Krisnawati (2002) menuturkan penerapan prinsip pertama HACCP dalam pembuatan mie instan adalah mengidentifikasi bahaya yang mungkin ada akibat faktor biologi, kimia, atau pun fisik dari mulai bahan baku sampai pada produk akhir. Bahaya pada bahan baku misalnya ada kutu pada terigu. Jika ada kutu maka terigu tersebut harus ditolak.

(42)

Dari identifikasi bahaya tersebut ditentukan bagian mana saja yang bersifat kritis sebagai prinsip kedua. Penerimaan bahan baku, pencampuran larutan alkali,

steaming, penggorengan, cooling, dan pengemasan adalah titik kritis atau critical point pada proses produksi mie instan. Pada prinsip ketiga ditetapkan batas dari

bahaya tersebut misalnya pada penggorengan batas asam lemak bebas atau FFA (free fatty acid) pada minyak goreng yang digunakan adalah 0.25 %.

Prinsip keempat, monitoring dilakukan untuk antisipasi penyimpangan terhadap batas kritis. Pada umumnya yang bertanggung jawab terhadap monitoring adalah operator pelaksana produksi, teknisi quality control, supervisor produksi dan manajer produksi. Pembersihan kembali peralatan yang kotor, pengembalian bahan baku pada supplier, kalibrasi peralatan, pengemasan ulang dan penarikan produk adalah contoh dari tindakan koreksi sebagai prinsip kelima.

Penerapan prinsip keenam adalah dokumentasi terhadap seluruh tahapan produksi mie instan. Dokumentasi ini harus mencakup data data teknis hasil studi yang meliputi ingredient, risiko bahaya, tahapan proses dan kemungkinan bahayanya, titik kendali kritis, penyimpangan yang terjadi, tindakan koreksi yang diambil, dan modifikasi HACCP. Verifikasi sebagai prinsip terakhir dilakukan dilakukan dengaan review terhadap rencana HACCP, kesesuaian titik kritis, konfirmasi penangan penyimpangan, inspeksi visual, dan penulisan laporan.

4.2 Halal Control Point (HCP)

Konsep HACCP diubahsesuaikan sedemikian rupa oleh ahli-ahli ilmu pangan muslim. Dr. Mian Riaz dari Texas A & M University mengubahsesuaikan HACCP menjadi Halal Control Point atau HCP. Sementara begawan ilmu pangan

(43)

Indonesia, Prof. Anton Apriyanto dari Institute Pertanian Bogor mengubahsesuaikan menjadi Haram Analysis Critical Control Point atau HrACCP. Namun ditilik dari prinsip, sejatinya antara HCP dan HrACCP hanya berbeda dalam penamaan saja. Intinya zat yang tidak halal alias haram dipersamakan sebagai hazard.

Dr. Mian Riaz berpendapat bahwa Good Manufacturing Process (GMP) dan Good Hygiene Process (GHP) belumlah cukup tanpa HACCP untuk menciptakan pangan yang aman. Kelebihan HACCP adalah sebagai instrument preventif untuk bahaya dan memiliki kemampuan untuk membuktikan keamanan pangan tersebut. GMP dan GHP adalah basis dari HACCP sehingga HACCP adalah inti dari total quality management. Prinsip pencegahan bahaya HACCP mempunyai prinsip yang sama dengan prinsip pencegahan bahan haram sehingga halal control point bisa ditambahkan pada aplikasi HACCP. Penerapan konsep halal, ISO, food hygine dan HACCP secara berbarengan akan membentuk total

quality management untuk tataran produksi pangan. Berikut adalah gambaran

konsepsi Dr. Mian Riaz untuk total quality management tersebut.

Sumber : Riaz (2009). Halal an Emerging Food Quality Standard. World Halal Food Research Summit Presentation.

(44)

Menurut Apriyantono et al. (2003), titik kritis keharaman produk atau

Haram Analysis Critical Control Point (HrACCP) pada prinsipnya mengikuti

prinsip yang diterapkan pada Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) akan tetapi dalam hal ini ditujukan pada usaha pencegahan masuknya bahan haram dan najis ke dalam sistem produksi sedini mungkin. Bahan haram dan najis tidak boleh kontak dengan produk halal pada seluruh rangkaian produksi dan pada kadar berapapun. Penerapan HrACCP terdiri dari enam komponen yaitu :

1. mengidentifikasi semua bahan yang termasuk haram dan najis,

2. mengidentifikasi titik-titik kontrol krisis, 3. membuat prosedur pemantauan,

4. membuat tindakan koreksi,

5. membuat dokumen-sistem perekaman, dan 6. membuat prosedur verifikasi.

Disini kita lihat bahwa point 3 dalam dalam prinsip HACCP yaitu menetapkan ambang batas kritis hilang dari prinsip HrACCP. Keadaan ini dikarenakan masalah halal haram bukanlah masalah kuantitatif tapi kualitatif. Apriyantono et al. (2003), menyatakan titik kendali kritis masalah halal haram adalah masalah ada atau tidak ada bahan haram dalam suatu produk atau proses, sehingga pendekatannya bukan berdasarkan ambang batas atas-bawah dengan suatu standar deviasi tertentu, melainkan no haram product. Hal ini didasarkan pada prinsip dalam Islam bahwa jika sesuatu yang itu haram maka tak peduli banyak atau sedikit tetap sama-sama haram.

(45)

Semua bahan diidentifikasi termasuk haram atau najis dengan melakukan penentuan resiko halal-haram yang didasarkan atas “Analisa bahaya dan resiko halal-haram khususnya untuk bahan baku, proses, penyimpanan serta distribusi produk jadi”. Penentuan Haram CCP dengan menggunakan diagram pohon pertanyaan atau pohon keputusan. Diagram pohon ini dimaksudkan untuk membantu penelusuran dan pengkajian suatu bahan baku atau produk atau suatu proses tentang kemungkinan-kemungkinan yang terjadi terhadap penyebab keharaman suatu produk atau tahapan proses. Pohon keputusan CCP yang dapat digunakan dari sistem jaminan halal MUI (2008) adalah sebagai berikut.

(46)

Pohon Keputusan untuk Identifikasi Titik Kritis Keharaman (TK : Titik Kritis; Non TK : Tidak Kritis)

Sumber: LPPOM-MUI 2008

Tambahan untuk produk mikrobial, semua produk mikrobial adalah titik kritis. Titik kritis terletak pada media, baik media penyegaran ataupun media

(47)

produksi. Pelaksanaan Sistem HrACCP ini dipermudah dengan membuat Lembar Kerja Status Preventif dan Tindakan Koreksi (LKSPTK) (control measure). LKSPTK ini merupakan lembaran kerja yang menyajikan uraian tentang lokasi CCP pada tahap proses produksi, faktor-faktor yang mungkin menyebabkan keharaman produk antara lain jenis bahan dan kontaminasi najis, prosedur pemantauan, tindakan koreksi, verifikasi dan pencatatan. Penerapan dari HCP atau HrACCP ini akan kita spesifikan lebih lanjut pada bab-bab selanjutnya.

Pustaka

Alli, I. 2004. Food Quality Assurance: Principles And Practices. CRC Press LLC. New York.

Apriyantono, A., J. Hermanianto dan N. Wahid. 2007. Pedoman Produksi Pangan Halal. Khairul Bayan Press.Jakarta.

Baadilla HO. 1996. Persyaratan Mutu Pangan Era Perdagangan Bebas. Makalah Seminar Nasional Pangan dan Gizi. Yogyakarta : 10-11 Juli 1996.

Codex Alimentarius Commission Joint FAO/WHO Food Standards Programme. 1997. Food Hygiene. FAO. Italy.

Daud, S., R. C. Din, S. Bakar, M. R. Kadir and N.M. Sapuan. 2011.

Implementation of MS1500: 2009: A Gap Analysis. IBIMA Publishing. Malaysia. Vol. 2011 (2011), Article ID 360500

European Committee for Standardisation. 2004. Pelatihan Penerapan Metode HACCP. European Committee for Standardisation-Implementing Agency for the Contract No ASIA/2003/069-236

Krisnawati, A. Aplikasi Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) Pada Produk Instat Noodle Di PT Sentrafood Indonusa Karawang. Skripsi Institut Pertanian Bogor. Bogor.

LPPOM–MUI. 2008. Panduan Umum Sistem Jaminan Halal LPPOM–MUI. Mortimore, S. dan C. Wallace. 2001. FOOD INDUSTRY BRIEFING SERIES:

(48)

Nasution, A.H. 2006. Manajemen Industri. Penerbit Andi. Yogyakarta.

Riaz, M.N. 2009. Halal : An Emerging Food Quality Standard - Similarities of Halal & HACCP. World Halal Research Summit 2009. Kuala Lumpur. Sholihin, A.I. 2010. Buku Pintar Ekonomi Syariah. Gramedia Pustaka Utama.

(49)

5. MENIKMATI DAGING HALAL

Pernah dengar atau baca alat yang bernama electroenchephalograph? Atau alat yang dinamakan electrocardiograph? Hmm… pasti pernah. Setidaknya sedetik yang lalu ketika barusan Anda membaca paragraf ini.

Electroenchephalograph (EEG) adalah alat untuk mengukur aktivitas

otak. Bidang keilmuan psikologi menggunakan alat ini untuk pengukuran psikofisiologis seperti aktivitas elektrik dalam sistem saraf otonom atau sistem saraf pusat (Davison et al., 2006). Electrocardiograph (ECG) adalah alat untuk mengukur aktivitas jantung. Willem Einthoven memenangkan hadiah nobel bidang medis di tahun 1924 untuk penemuan mekanisme ECG ini.

Kenapa kita membahas electroenchephalograph dan electrocardiograph? Apa hubungannya dengan daging yang halal? Sabar, sebab kita akan bercerita tentang sebuah penelitian yang sudah berusia lebih dari 30 tahun untuk mencoba menjelaskan sebuah hadits yang sudah berusia lebih dari 14 abad.

Hannover, Jerman, 1977. Tampaknya ketika itu ada sebuah pertanyaan yang mengganggu para ilmuan tentang bagaimana sebenarnya kedaan hewan yang disembelih. Persepsi manusia melihat bahwa hewan berada dalam kondisi kesakitan saat disembelih sehingga ini dijadikan pertimbangan dilakukannya pemingsanan (stunning). Dengan anggapan bahwa pemingsanan akan menghilangkan kesadaran hewan dan dengan hilangnya kesadaran tersebut, si hewan tak akan merasa kesakitan saat disembelih. Inilah pandangan yang

(50)

manusiawi, tapi benarkah persepsi tersebut? Bukankah seharusnya ada pengukuran objektif tentang rasa sakit ini dan tidak didasarkan pada persepsi manusia belaka?

Dari The Clinic for Small Clawed Animals and Forensic Medicine and Mobile Clinic of The Veterinary University of Hannover, awal bulan Juni 1977, Profesor Schulze dan koleganya menerbitkan laporan penelitian tentang perbandingan cara penyembelihan hewan menggunakan „cara barat‟ dan „ritual agama‟ pada sapi dan domba. Penyembelihan konvensional cara barat ini menggunakan pemingsanan dengan captive bolt pistol stunning (CBPS). Penyembelihan ritual agama di eropa biasa mengacu pada tatacara penyembelihan islam atau yahudi. Perlu diketahui bahwa makanan yang boleh dikonsumsi dalam islam disebut halal sedangkan makanan yang boleh dikonsumsi dalam agama yahudi disebut kosher. Cara penyembelihan hewan dalam agama yahudi dinamakan shechita sedangkan dalam islam disebut dhabiha. Shechita hampir sama seperti dhabiha dalam hal keharusan penggunaan alat yang tajam, memutuskan kerongkongan dan tenggorokan, serta memutuskan bagian dua pembuluh darah utama yaitu arteri carotid dan jugular veins (Reynnells, 2007).

Aisha El-Awady (2003), menuturkan bahwa Prof Schulze bersama DR Hazeem mengeluarkan hasil penelitian dengan judul Attempts to Objectify Pain

and Consciousness in Conventional (captive bolt pistol stunning) and Ritual (Halal, knife) Methods of Slaughtering Sheep and Calves. Pada penelitian itu,

sebagaimana ditulis oleh Nanung Danar Dono (2009), EEG dipasang pada permukaan otak yang menyentuh titik (panel) rasa sakit di permukaan otak. Alat ini dipakai untuk merekam dan mencatat derajat rasa sakit sapi ketika disembelih.

Gambar

Tabel Nilai Market Bisnis Pangan Halal Global (milyar US$)
Grafik Persentase Global Food Market Size dan Global Halal Food Market Size.
Grafik Rata-rata Pertumbuhan Populasi Muslim per Tahun secara Regional.
Gambar sebelah kiri adalah bulu dari babi dan Gambar sebelah kanan adalah  rambut manusia

Referensi

Dokumen terkait

Pasal 95 ayat (2) KUHAP menyebutkan, bahwa ahli waris tersangka dapat mengajukan tuntutan ganti rugi atas penangkapan atau penahanan serta tindakan lain tanpa

Sekolah/Madrasah Bertaraf Internasional merupakan Sekolah/Madrasah yang sudah memenuhi seluruh Standar Nasional Pendidikan dan diperkaya dengan mengacu pada standar pendidikan

Berikan contoh ilmu Fardhu Ain dan Ilmu Fardhu Kifayah yang terdapat di dalam peta di atasi. (2

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sistem dan prosedur pelayanan Izin Usaha Industri (IUI) di Kabupaten Karanganyar hampir memenuhi kriteria- kriteria yang

Data hasil observasi ini didapatkan melalui lembar observasi hasil belajar siswa, dan digunakan untuk melihat proses dan perkembangan hasil belajar siswa pada saat tes akhir

[r]

oleh: Abu Nuh AsySyahrani 5 Teknik 5.3 Untuk menyelesaikan masalah limit ∞ / ∞ , baik pembilang maupun penyebut dinyatakan ke dalam bentuk faktor, dengan salah

Skripsi berjudul ”Pengaruh Mengkonsumsi Jus Buah Stroberi Terhadap Viskositas Saliva dan Pembentukan Plak Gigi Anak Usia 10-12 Tahun” telah diuji dan disahkan oleh