• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDEKATAN TEORITIS DAN KERANGKA PEMIKIRAN. 2.1 Perkembangan Sistem Politik Indonesia: Tinjauan Teoritis

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENDEKATAN TEORITIS DAN KERANGKA PEMIKIRAN. 2.1 Perkembangan Sistem Politik Indonesia: Tinjauan Teoritis"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

PENDEKATAN TEORITIS DAN KERANGKA PEMIKIRAN

2.1 Perkembangan Sistem Politik Indonesia: Tinjauan Teoritis

Studi mengenai perilaku politik4 elit beretnis Tolaki pada pemilihan Gubernur Sulawesi Tenggara Tahun 2007, dapat diawali dengan tinjauan literatur mengenai teori dan fakta empiris tentang perilaku politik dalam sistem pemilihan langsung yang terjadi di Indonesia saat ini. Tinjauan ini nantinya berguna sebagai landasan teoritis serta menjadi acuan meletakkan sikap peneliti dalam studi-studi yang telah ada.

Studi-studi perilaku politik pilkada sebelumnya lebih mengarah pada perilaku politik masyarakat atau mengenai perilaku masyarakat sebagai pemilih, meskipun telah banyak pula studi mengenai perilaku politik elit dalam upayanya memobilisasi massa. Studi ini sendiri berada pada jalur perilaku elit politik sebagai bagian dari aktor politik pilkada, oleh karenanya, dengan tidak mengesampingkan pentingnya literatur mengenai studi perilaku politik yang dilakukan oleh masyarakat sebagai pihak pemilih, maka bagian literatur ini akan lebih banyak mengulas mengenai perilaku elit politik dalam sistem pemilihan langsung kepala daerah yang terjadi di Indonesia saat ini.

Perkembangan studi-studi periaku politik didasari oleh perubahan sistem politik yang berlaku di Indonesia saat ini, dimana sistem pemilihan langsung oleh masyarakat telah membuka peluang bagi lahirnya sistem politik yang lebih demokratis atau corak “demokrasi deliberatif” yakni demokrasi yang melibatkan pertimbangan masyarakat secara memadai (Soetarto dan Shohibuddin, 2004). Lebih lanjut dikatakan oleh keduanya, meskipun telah dihadapkan pada sebuah       

4

Dalam pandangan sosiologi, politik lebih terarah pada masalah kekuasaan. Istilah kekuasaan disini diartikan sebagai kesanggupan seorang individu atau suatu kelompok sosial guna melanjutkan suatu bentuk tindakan (membuat dan melaksanakan keputusan, dan secara lebih luas lagi, menentukan agenda pembuatan keputusan) jika perlu menentang kelompok kepentingan, dan bahkan oposisi serta individu lainnya (Bottomore, 1983).

(2)

sistem yang lebih menjamin berkembangnya nilai-nilai demokrasi, kondisi transisi demokrasi di Indonesia saat ini lebih mengarah pada pembaruan struktur politik secara formal semata melalui pelembagaan infrastruktur politik dan hukum, di samping itu, elit di berbagai level pemerintahan dan ranah sosial belum mencerminkan nilai-nilai demokrasi dan keadaban (civility) yang sebenarnya.

Salah satu perangkat sistem politik demokrasi seperti partai politik misalnya. Sebagai instrumen politik untuk menyalurkan aspirasi masyarakat, partai politik belum mampu menjadi keterwakilan suara masyarakat dan partai politik ditengarai tidak lebih sebagai kendaraan politik bagi para elit. Keputusan pemerintah pun melalui berbagai Undang-Undang yang dikeluarkan turut mendukung mandegnya perkembangan sistem demokrasi yang dicita-citakan. Dijelakan oleh Amin (2005), dibandingkan RUU yang diajukan pemerintah, UU No.32 Tahun 2004 jauh mengalami kemunduran. Dalam RUU yang diajukan pemerintah, calon kepala daerah dan wakil kepala daerah bukan hanya berasal dari partai politik, tetapi bisa juga diajukan oleh perseorangan, organisasi kemasyarakatan atau keagamaan, organisasi profesi dan organisasi okupasi. Jadi, ada kesempatan bagi calon independen untuk mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah. Namun, ayat 2 pasal 56 menegaskan, bahwa “pasangan calon sebagaimana yang dimaksud pada ayat 1 diajukan oleh partai politik atau gabungan dari partai politik” artinya, UU No. 32 tahun 2004 menutup peluang bagi calon independen (nonpartai) untuk mencalonkan diri menjadi kepala daerah. Dalam masa transisi sistem politik Indonesia saat ini, selain penting melihat partai politik sebagai salah satu instrumen pada sistem politik demokratis, penting juga untuk melihat bagaimana sumber-sumber kekuatan politik pilkada di akomodir menjadi basis kekuatan dalam sistem politik yang melibatkan masyarakat sebagai pihak penentu kemenangan5. Telaah terhadap pola mobilisasi massa melalui berbagai sumber kekuatan politik juga akan memperlihatkan

       5

Dalam konteks pemilihan kepala daerah, politik bermain dalam penerimaan dan penolakan pemilih terhadap pasangan calon kepala daerah. Kultur Indonesia, penolakan dan penerimaan ini lebih banyak disebabkan oleh hubungan yang bersifat emosional ketimbang rasional (Amin, 2005).

(3)

kecenderungan perilaku politik dari elit politik dalam upaya mencapai tujuan politiknya.

Bachtiar Effendi dalam Sitepu (2005) menyatakan banyak aspek yang potensial yang dapat ditransformasikan menjadi kekuatan politik yakni aspek formal maupun aspek non-formal. Aspek formal adalah kekuatan politik yang mengambil bentuk ke dalam partai-partai politik sedangkan aspek non-formal adalah merupakan bangunan dari civil society yaitu 1. Dunia usaha, 2. Kelompok professional dan kelas menengah, 3. Pemimpin agama, 4. Kalangan cerdik pandai (intelektual), 5. Pranata-pranata masyarakat, 6. Media massa dan yang lainnya.

Partai politik sebagai sumber kekuatan politik formal, lebih memiliki kekuatan formal setelah dikeluarkannya UU No. 32 pada pasal 56 seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Sedangkan sumber-sumber kekuatan politik yang lain sebagai kekuatan non-formal mendapatkan tempatnya sebab kultur masyarakat Indonesia dimana masyarakat sebagai pihak pemilih, cenderung memilih berdasarkan aspek-aspek emosional dan lebih dekat kepada sumber-sumber kekuatan non-formal tersebut. Seperti misalnya media massa. Melalui media massa, kekuatan figur politik sebagai salah satu dasar pilihan masyarakat dapat terbentuk. Mengenai kekuatan figure politik, Qodari dalam Soetarto dan Shohibuddin (2004) menyatakan bahwa lima kategori latarbelakang calon anggota DPD yang berpeluang besar terpilih dalam kompetisi pemilu. Pertama, mantan pejabat karena namanya telah dikenal luas oleh masyarakat, kedua pengusaha besar karena memiliki dana dan dukungan karyawan yang besar, ketiga tokoh organisasi agama, figure tokoh etnis dan yang kelima adalah veteran pengurus partai karena selain berpengalaman dalam membina konstituen dan menggalang dukungan, ia juga dapat memanfaatkan jaringan partainya untuk memobilisasi dukungan politik.

2.2 Pendekatan Perilaku Politik

Mengkaji sistem politik suatu masyarakat, terdapat beberapa teori yang dapat digunakan. Sitepu (2005) mengemukakan terdapat empat teori guna menganalisis dinamika kehidupan politik suatu Negara. Pertama adalah teori

(4)

sistem yang mengemukakan pranata-pranata sosial politik merupakan wadah untuk memahami dinamika kehidupan politik masyarakat. Kedua adalah teori perilaku politik yang mengungkapkan bahwa mengamati dinamika kehidupan politik masyarakat, tidak cukup dengan melihat pranata sosial politik formal saja tetapi juga individu-individu yang bersangkutan. Teori elit merupakan teori ketiga yang mengungkapkan bahwa elit politiklah yang menetukan dinamika kehidupan politik masyarakat. Sedangkan teori kelompok merupakan teori terakhir yang menjelaskan bahwa kristalografi yang ada dalam masyarakat ikut menentukan kehidupan politik masyarakat dan Negara.

Dalam pengkajian perilaku politik ini, pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan politik di dasarkan atas empat pendekatan politik Sitepu (2005) yang sebelumnya telah diuraikan. Meskipun empat pendekatan ini diajukan untuk melihat dinamika kehidupan politik Negara, namun pendekatan ini akan dipakai dan dipinjam untuk menjelaskan dinamika politik masyarakat daerah multietnis. Empat pendekatan politik yakni teori sistem, teori perilaku politik, teori elit dan teori kelompok digunakan dengan menyesuaikan konteks penelitian yaitu masyarakat daerah. Untuk kepentingan penelitian, dari empat teori tersebut di atas, teori yang akan digunakan adalah teori perilaku politik. Pemilihan atas teori perilaku politik (behavior political theory) didasarkan atas pumpunan penelitian yang ingin dikaji yaitu perilaku politik para pelaku politik dalam pemilihan gubernur Sulawesi Tenggara 2007.

Pendekatan perilaku politik diarahkan untuk melihat kecenderungan perilaku politik individu ber-etnis Tolaki dalam kaitannya memanfaatkan ruang politik yang ada serta memainkan peranannya dalam ruang politik. Pendekatan ini juga digunakan untuk melihat hubungan antara elit politik ber-ernis Tolaki dalam kehidupan bermasyarakat, kemampuan menjalin hubungan sosial asosiatif dengan masyarakat khususnya membangun hubungan politik sesama elit. Dalam kehidupan sosial terdapat dua golongan elit yang berbeda yaitu antara elit yang memerintah dan elit non-memerintah. Elit yang memerintah adalah individu yang secara langsung maupun tidak langsung memainkan bagian yang berarti dalam pemerintahan sedangkan elit yang tidak memerintah adalah elit yang tidak termasuk dalam golongan pertama (Bottomore, 1984). Sehubungan dengan

(5)

penelitian ini, maka pengkajian dibatasi hanya kepada perilaku-perilaku politik elit yang memeritah.

Selain pendekatan politik, dalam penelitian ini juga akan menggunakan pendekatan etnisitas. Pendekatan etnisitas diharapkan mampu menjelaskan perjalanan budaya dan sosial masyarakat etnis Tolaki, terlebih hubungan etnis Tolaki dengan etnis lainnya dan khususnya hubungan dan proses sosial politik elit ber-etnis Tolaki dengan elit dari etnis lainnya. Terdapat tiga pendekatan untuk mengkaji etnisitas. Pertama adalah perspektif asimilasi yang lebih menekankan pada proses-proses sosial yang cenderung melarutkan dan menghilangkan perbedaan etnisitas, mengarahkan asimilasi etnis minoritas ke dalam masyarakat luas. Pendekatan kedua adalah perspektif stratifikasi yang berfokus pada konsekuensi dari ketidakseimbangan yang terjadi akibat keberagaman antara kelompok etnis. Pendekatan yang ketiga adalah perspektif sumber-sumber kelompok sosial yang menekankan pada proses-proses mobilisasi dan solidaritas kelompok, anggota kelompok etnis menggunakan etnisitasnya untuk bersaing secara sempurna dengan kelompok yang lain.

Gordon dalam Healey (1945) mengemukakan bahwa teori asimilasi sangat penting untuk melihat asimilasi dan pluralisme dapat terjadi secara bersama. Asimilasi merupakan sebuah proses untuk mencapai komformiti. Dalam penelitian ini, perspektif asimilasi merupakan pendekatan utama yang akan digunakan, meskipun demikian tidak berarti dua pendekatan lainnya tidak digunakan. Dalam menelaah dan menganalisis proses sosial dalam kelompok etnis Tolaki kaitannya dengan etnis lainnya, pokok pimikiran dari ketiga perspektif di atas akan digunakan secara kontekstual agar tujuan penelitian dapat tercapai.

(6)

2.3 Perkembangan Budaya Politik, Pola Interaksi serta Nilai Sosial Etnis Tolaki

Etnis6 Tolaki tersebar secara meluas di hampir seluruh wilayah Sulawesi Tenggara, tidak seperti etnis Buton dan Muna yang memiliki daerah pemusatan kelompok masyarakat tersendiri. Etnis Tolaki secara umum berasal dari kerajaan Konawe dan kerajaan Mekongga. Dalam penelitian ini, pengkajian terhadap subyek penelitian tidak melakukan pembedaan atas asal-usul dari kerajaan mana etnis Tolaki berasal, hal ini disebabkan pemakaian individu sebagai subyek penelitian, selain itu, Tamburaka (2004) juga menjelaskan bahwa penduduk Kolaka (kerajaan Mekongga) dan Kendari (kerajaan Konawe) merupakan bagian yang tidak dapat terpisahkan dan DR. Kruyt dalam Tamburaka (2004) juga menjelaskan bahwa orang Tolaki mendiami daerah yang sangat luas yang meliputi kerajaan Mekongga dan kerajaan Konawe. Selanjutnya dijelaskan bahwa bahasa dan adat-istiadat orang-orang etnis Tolaki yang diam di landscahp Mekongga hanya berbeda sedikit skali dari orang Tolaki di landschap Konawe, sehingga secara pasti dapat dikatakan bahwa mereka semua adalah rumpun orang-orang suku Tolaki. Namun demikian, penjelasan mengenai kerajaan Konawe dan kerajaan Mekongga dianggap penting untuk menyajikan gambarakan mengenai etnis Tolaki di Sulawesi Tenggara.

Dari segi administrasi, wilayah Kendari saat ini sebagian besar merupakan wilayah yang meliputi bekas kerajaan Konawe. Sedangkan kerajaan Konawe yang asal mula katanya adalah Konaweeha yang merupakan sungai yang memberikan kesuburan dan kemakmuran bagi masyarakatnya, memiliki wilayah yang sangat luas. Wilayah tersebut berbatas langsung dengan wilayah propinsi Sulawesi Tengah (kerajaan Bungku dan kerajaan Luwu) di bagian Utara, Teluk Bone dan kerajaan Mekongga (kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara) di bagian Barat, selat Tiworo dan selat Buton di bagian Selatan, dan dibagian Timur berbatas langsung

       6

Glazer (2000) membedakan antara culture dan ethnicity dimana ethnic lebih kepada bentuk sebuah kelompok sedangkan culture merupakan nilai yang berlaku dalam kelompok tersebut.

(7)

dengan laut Maluku. Namun demikian, wilayah Kendari ini serta berubah ketika Kendari berubah dari bentuk kerajaan Konawe.

Seperti dengan kesultanan Buton, kerajaan Konawe juga mendapat pengaruh besar dari masuknya agama Islam. Pengaruh ini dapat terlihat dari sistem politik yang beribah serta sistem lainnya. Pada awal kerajaan Konawe, hukum serta sistem politik selalu bersumber dari hukum adat dan hal ini tergantikan menjadi politik berdasarkan hukum-hukum Islam yang bersumber dari Al Quran dan Al Hadits. Sistem pemerintahan ini cenderung mengarah pada sistem musyawarah atas mufakat, dan kegotong-royongan. Selain itu, masyarakat tidak dibedakan jenis ras dan strata masyarakat tetapi masyarakat merupakan kelompok yang memiliki hak dan kewajiban yang sama. Asas kemanusiaan merupakan prinsip yang menjadi pegangan kerajaan Konawe ketika politik Islam berlaku.

Dalam bidang sosial budaya, masuknya agama Islam mempengaruhi pergeseran nilai sosial yang berlaku dalam masyarakat. Apabila sistem adat memberlakukan strata sosial berdasarkan asal-usul keluarga, yaitu anak dari keturunan kerajaan mutlak memiliki status sosial yang tinggi, maka pada sistem hukum Islam hal ini tidak berlaku. Status sosial diperolah bukan atas dasar keturunan tetapi lebih berorientasi pada perjuangan. Sehingga pendidikan Islam melahirkan elit-elit baru yaitu; elit politik, elit ilmu pengetahuan, elit harta benda dan elit bangsawan yang pengaruhnya hanya terlihat pada kehidupan bermasyarakat semata.

Daerah Mekongga pada mulanya bernama Wonua Sorume atau Wonua ”Unamendaa”. Seperti kerajaan Konawe, kerajaan Mekongga juga mendapat pengaruh besar dari masuknya agama Islam. Penyebaran agama Islam di kerajaan Mekongga dilakukan melalui tiga jalur, yaitu;

a. Jalur pendidikan, dilaksanakan oleh para da’i diawali dengan memberikan pengetahuan yang mudah dimengerti oleh masyarakat, bertetangga dan bernegara, sampai kepada hal-hal yang menyangkut hidup berumah tangga. Di samping itu diperkenalkan sikap bertingkah

(8)

laku, baik sebagai anggota masyarakat maupun sebagai pemimpin suatu kelompok atau golongan dalam masyarakat.

b. Perkawinan, penyebaran agama Islam melalui perkawinan dilakukan pertama kali oleh seorang guru agama (da’i) dari Luwu yang menikah dengan keluarga bangsawan. Selanjutnya jalur pernikahan ini diikuti oleh da’i lainnya, sehingga di Kolaka banyak terdapat keturunan masyarakat yang berasal dari daerah Luwu dan Bone.

c. Saluran Islamisasi melalui perdagangan dilakukan oleh orang Bugis yang telah menganut agama Islam dan juga datang untuk berdagang. Kerajaan Mekongga membina hubungan dengan kerajaan Konawe, Wolio, Muna, Tiworo, Moronene, kerajaan Bone dan Luwu. Hubungan kerajaan Konawe dan Mekongga berlangsung sejak raja pertama. Selain itu, raja Mekongga dan raja Konawe adalah bersaudara. Hubungan kekeluargaan keduanya dipererat lagi dengan adanya perkawinan antar keturunan.

Dalam sidang paripurna dan seminar nasional yang diadakan di Kendari pada tanggal 24 Agustus 1999, terdapat keputusan yang mengangkat sejarah masyarakat Sulawesi Tenggara yaitu diterimanya Haluoleo sebagai pahlawan nasional. Haluoleo lebih dikenal sebagai tokoh yang beretnis Tolaki, namun demikian, dalam penjelajahan sejarah, Tamburaka (2004) mejelaskan bahwa Haluoleo merupakan pahlawan pemersatu masyarakat Sulawesi Tenggara yang terdiri dari beragam etnis. Awal karirnya, Haluoleo berkedudukan sebagai Tamalaki Pobendeno Wonua (panglima perang) di kerajaan Konawe, Mekongga dan Moronene (1520-1530). Selanjutnya Haluoleo menjadi raja ke VII di kerajaan Muna dengan gelar Raja Lakolaponto (1530-1538). Pada tahun 1538, Haluoleo diangkat menjadi raja Buton ke VI (1538-1541) dan kemudian dinobatkan menjadi Sultan Buton I dengan gelar Sultan Qaimoeddin Khalifatul Khamiz (1541-1587) dan setelah mangkat pada tahun 1587 diberi gelar Murhum.

Demikian sejarah Sulawesi Tenggara dan hadirnya tokoh etnis Tolaki yang menjadi pemersatu beragam etnis di Sulawesi Tenggara sekaligus menjabat sebagai pemimpin atau raja di periode tertentu. Meskipun demikian, dalam kehidupan masyarakat sehari-hari saat ini pengakuan atas kehadiran tokoh etnis

(9)

Tolaki sebagai pemersatu tidak begitu dihiraukan oleh masyarakat, sehingga perjalanan sejarah seolah-olah menjadi kabur, bahkan masyarakat etnis lainnya cenderung untuk menyangsikan dan meragukan atas sejarah tersebut (beberapa percakapan dengan masyarakat etnis Muna dan Buton memperlihatkan kecenderungan yang serupa).

2.4 Kerangka Pemikiran

Pada dasarnya kerangka pemikiran dibangun sebagai gambaran pola pikir peneliti, mapping atau susunan arah penelitian. Pada penelitian ini, ketertarikan terhadap kecenderungan aktor politik beretnis Tolaki selalu hadir dalam konfigurasi pasangan calon kepala daerah, kemenangan kubu yang dilekatkan dengan identitas Tolaki namun disatu etnis Tolaki tidak mendominasi peta politik Sultra, menjadi dasar kajian untuk melihat bagaimana fenomena PILKADA gubernur Sulawesi Tenggara digelar.

Kajian ini meliputi perilaku7 politik aktor politik beretnis Tolaki khususnya dalam proses pilkada, berbagai hal yang mempengaruhi perilaku politik yang dalam penelitian ini difokuskan pada nilai etnisitas khususnya nilai akan pentingnya kepemimpinan serta sejarah peranan dan kedudukan etnis Tolaki dalam peta politik Sultra. Selain hal itu, berbagai aspek yang menjadi kekuatan politik sebagai madia pencerminan dari perilaku politik yang dilakukan etnis Tolaki untuk mencapai berbagai kedudukan strategis dalam peta politik Sultra lebih jauh akan dikaji alam penelitian ini.

Untuk dapat menjabarkan hal tersebut, teori perilaku politik dari Sitepu (2005) merupakan pilihan teori yang digunakan untuk menganalisis bagaimana fenomena perilaku politik etnis Tolaki tersebut berlangsung. Pemilihan teori ini dilandaskan atas pemikiran bahwa perilaku-perilaku politik dari para aktor politik       

7

Batasan konsep perilaku secara umum dalam kajian ini mengacu pada konsep perilaku yang dikemukakan oleh Theodorson dan Theodorson, A.G (1979) dimana perilaku tidak hanya terbatas pada reaksi fisik dan gerakan tetapi juga mencakup pernyataan dan perkataan atau secara umum dapat mencakup segala sesuatu baik perkataan, pemikiran, perasaan dan perbuatan seseorang.

(10)

mencerminkan dinamika kehidupan politik masyarakat. Begitupula dengan perilaku politik calon kepala daerah beretnis Tolaki merupakan representasi serta pencerminan dari perilaku politik elit politik beretnis Tolaki.

Merujuk pada Nazaruddin Syamsuddin dalam Sitepu (2005) individual sebagai kekuatan politik merujuk pada aktor-aktor politik atau orang-orang yang memainkan peranan dalam kehidupan politik. Orang-orang ini terdiri dari pribadi-pribadi yang hendak mempengaruhi peroses pengambilan keputusan politik. Dalam kasus pemilihan kepala daerah, aktor politik dapat berwujud masyarakat umum sebagai pemilih dan elit politik. Elit politik merupakan fokus kajian sekaligus sebagai subyek penelitian kali ini. Pemilihan elit politik sebagai pelaku politik yang akan dikaji didasarkan atas keyakinan bahwa pelaku politik yaitu elit politik mampu memberikan berbagai warna pada proses politik yang terjadi pada pemilihan gubernur Sulawesi Tenggara. Weber dalam Eva dan Etzioni (1973) juga mengemukakan bahwa elit politik beserta pengikutnya merupakan bagian terpenting untuk membawa perubahan dalam masyarakat, dan perubahan tersebut tentunya akan kembali ke masyarakat.

Perilaku politik yang dilakukan oleh para aktor politik tidak dapat terlepas dari nilai-nilai yang tertanam dalam dirinya. Seperti yang dikemukakan oleh Althof dan Rush (1983) bahwa tidak ada seorang pun yang bertingkah laku terisolasi secara mutlak dari nilai-nilai. Lebih lanjut dikemukakan oleh keduanya bahwa nilai-nilai dapat dianggap penting selama ia dalam bentuk ideology; karena perkembangan nilai-nilai yang berkaitan dalam pola yang konsisten merupakan kekuatan bagi pembentukan tingkah-laku sosial, dan lebih khusus lagi bagi pembentukan sikap politik. Sztompka (1993) menyatakan perubahan dalam masyarakat dapat dilihat dari faktor tak teraba seperti keyakinan, nilai, motivasi dan sebagainya. Hal ini juga didukung oleh pendapat Weber bahwa nilai kultural, norma dan motivasi psikologis menjadi akar tindakan dan perilaku sosial seseorang. Berdasarkan konsep tersebut, maka perilaku politik aktor beretnis Tolaki didasarkan atas berbagai nilai yang dianut dalam etnisnya. Nilai kepemimpinan menjadi nilai penting dalam perilaku politik aktor beretnis Tolaki.

(11)

Selain berbagai nilai kepemimpinan yang dimiliki oleh etnis Tolaki, perilaku politik aktor beretnis Tolaki juga dipengaruhi oleh sejarah peranan dan kedudukan etnis Tolaki dalam peta politik Sultra khususnya pada masa sebelum pilkada Gubernur 2007. Nilai kepemimpinan yang dimiliki etnis Tolaki serta sejarah peta politik Sultra, membentuk sikap terhadap apa yang diharapkan, dalam hal ini harapan akan perubahan peran dan kedudukan elit politik beretnis Tolaki dalam peta politik Sultra.

Baron dan Byrne (2003) menyatakan bahwa ketika individu memiliki sikap yang kuat terhadap isu-isu tertentu, mereka seringkali bertingkah laku konsisten dengan pandangan tersebut. Pentingnya peran serta kedudukan strategis dalam peta politik Sultra yang diyakini berdampak pada keterwakilan etnis Tolaki dalam segi sosial, politik, ekonomi Sultra serta peningkatan kesejahteraan masyarakat khususnya masyarakat etnis Tolaki menjadikan pentingnya aksi-aksi dan perilaku politik untuk mewujudkan hal tersebut.

Momentum pemilihan kepala daerah secara langsung yang digelar di Sulawesi Tenggara tahun 2007 adalah sebuah momentum tepat untuk menjalankan serangkaian perilaku politik untuk mewujudkan tujuan politik yang dilatarbelakangi oleh faktor nilai kepemimpinan dan sejarah peta politik Sultra tersebut. Perubahan sistem pemilihan Gubernur dari dewan legislatif menjadi pilihan berdasarkan suara masyarakat semakin meningkatkan keinginan untuk mewujudkan tujuan politik; mendapat peran strategis dalam peta politik Sultra. Hal ini dikarenakan memberikan signifikansi terhadap siapa figur yang pantas menjadi pemimpin masyarakat Sultra dalam dikotomis wilayah daratan versus kepulauan.

Merujuk pada konsep aspek potensial dalam pilkada oleh Bachtiar Effendi dalam Sitepu (2005), maka untuk mewujudkan tujuan politiknya, aktor beretnis Tolaki mengoptimalisasikan sejumlah aspek potensial baik aspek formal maupun non-formal sebagai sumber kekuatan politik dalam proses pemilihan Gubernur. Aspek formal mengambil bentuk pada partai politik sebagai lembaga yang menentukan siapa elit politik yang berhak maju pada ajang politik pilkada. Sedangkan aspek non-formal mengambil bentuk pada kelompok-kelompok masyarakat, media massa, kekuatan figur politik.

(12)

Kemampuan optimalisasi sejumlah kekuatan politik ini juga merupakan bentuk partisipasi politik elit beretnis Tolaki secara pribadi atau individu serta kemampuannya mengorganisir berbagai kekuatan politik untuk mencapai tujuan politiknya. Optimalisasi kekuatan politik juga mempertimbangkan aspek masyarakat Sultra sebagai pemilih dilihat dari sisi rasional dan emosional pemilih serta sisi keberagaman masyarakat Sultra yang tersebar pada wilayah daratan dan kepulauan. Berikut skema kerangka berfikir perilaku politik aktor beretnis Tolaki dalam pemilihan Gubernur Sultra 2007.

Gambar 1. Kerangka Fikir Perilaku Politik Etnis Tolaki Dalam Pemilihan Gubernur Sultra Tahun 2007

Perilaku politik aktor politik beretnis Tolaki

Nilai Etnis Tolaki

Peran & Kedudukan Etnis Tolaki dalam

peta politik Sultra

1. Penggunaan Media Massa dan Pranata Sosial 

2. Optimalisasi Figur  3. Optimalisasi Partai Politik 

Peranan Etnis Tolaki dalam peta politik

(13)

2.5 Definisi Konseptual

Berdasarkan berbagai konsep dan literatur yang telah dipaparkan pada bab-bab sebelumnya, maka disusun beberapa definisi konseptual sebagai acuan pencarian data, penyusunan hasil kajian serta penarikan kesimpulan. Definisi konseptual tersebut akan dijelaskan sebagai berikut:

1. Etnis merupakan kelompok terdiri dari orang-orang yang memiliki kesamaan identitas yaitu seperangkat nilai menjadi dasar bertindak dan berperilaku sekaligus menjadi pemersatu kelompok. Etnis yang memiliki identitas mampu membedakan antara etnis ego8 dengan etnis lainnya. 2. Politik merupakan kesanggupan individu atau kelompok untuk bertindak

mempengaruhi proses pembuatan, pengambilan serta pelaksanaan keputusan-keputusan yang berhubungan dengan kehidupan masyarakat. 3. Politik Etnis merupakan kemampuan individu atau kelompok untuk

mempengaruhi jalannya pengambilan keputusan-keputusan yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat, dengan menggunakan identitas kelompok sebagai sumber kekuatan bertindak.

4. Perilaku Politik merupakan aksi-aksi yang dilakukan para pelaku politik untuk mencapai tujuan politiknya yaitu mendapatkan peran dan kedudukan strategis dalam peta politik Sultra melalui optimalisasi sejumlah aspek kekuatan politik.

5. Kekuatan politik dalam pemilihan kepala daerah terarah pada semua aspek baik aspek formal maupun non-formal yang dapat dioptimalisasikan dalam upaya menggalang suara dari masyarakat. Partai politik sebagai lembaga penentu calon kepala daerah serta jaringan keanggotaan yang ada di dalamnya merupakan aspek formal kekuatan politik. Sedangkan media massa, kelompok masyarakat serta figur politik merupakan aspek non-formal kekuatan politik.

       8

 Dimaksudkan untuk menunjukkan pribadi individu. Sebagai contoh: “saya orang Bugis, dia orang Muna”.  

(14)

6. Mobilisasi Massa merupakan segala bentuk gerak dan upaya untuk menghimpun massa atau masyarakat agar ikut ke dalam tujuan politik yang diinginkan. Dalam pemilihan kepala daerah, mobilisasi massa ditunjukkan dengan adanya berbagai upaya agar masyarakat bersimpatik, mendukung dan akhirnya memilih calon pasangan tertentu.

7. Nilai Etnis yaitu seperangkat nilai yang dimiliki etnis tertentu yang menjadi dasar dan pedoman dalam bertindak. Kasus etnis Tolaki, nilai ini mengatur cara berperilaku orang Tolaki juga apa yang dianggap baik oleh etnis Tolaki.

8. Tim Sukses yaitu sekelompok orang-orang dengan beragam latar belakang, memiliki tujuan bersama, dengan pembagian tugas yang jelas, saling dukung-mendukung untuk berjuang mendapatkan kemenangan dalam pilgub Sultra 2007.

9. Figur Politik yaitu pencitraan terhadap sosok pemimpin mengenai apa yang dianggap layak dan tidak layak, menjadi salah satu dasar dan pertimbangan atas pilihan politik.

10. Peran dan kedudukan strategis adalah posisi struktural dalam organisasi pemerintahan yang memungkinkan aktor politik menjalankan kontrol terhadap segi kehidupan masyarakat Sultra.

Gambar

Gambar 1. Kerangka Fikir Perilaku Politik Etnis Tolaki Dalam Pemilihan  Gubernur Sultra Tahun 2007

Referensi

Dokumen terkait

Dengan menggunakan ALIAS sebuah variabel yang sama dapat diberikan nama yang lain, tujuannya untuk mempermudah proses pemrograman Biasanya ALIAS digunakan untuk mengganti

Itulah sebabnya mengapa jika Anda didiagnosis terjangkit penyakit ini Anda harus mengajak pasangan Anda ke klinik untuk mendapatkan pengobatan juga, atau paling tidak untuk

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kontribusi pemikiran Hamka dan Natsir adalah bahwa konsep ilmu harus melalui proses islamisasi; pendidikan Islam adalah pembentukan

  Berdasarkan hasil penelitian, maka ditemukan hasil untuk rumah tangga yang menggunakan gas di Kelurahan dan Banuaran lebih besar bermata pencarian pegawai, sedangkan di

Mahasiswa calon guru hams mempunyai penalaran yang baik. Penalaran tersebut akan dilatihkan kepada siswa dalam kegiatan pembelajaran matematika apabila mahasiswa

Hasil penelitian yang dilakukan pada Pegawai Kantor Dinas Pemerintah Kabupaten Toba Samosir memperoleh data bahwa variabel Motivasi Kerja dan Kreatifitas Kerja

Yaitu suatu gerakan atau variasi yang menunjukan arah perkembangan secara umum (kecenderungan menaik atau menurun) dan bertahan dalam jangka waktu yang digunakan

(siswa) yang merupakan sampel dalam penelitian ini tidak dapat dilakukan.. dengan mengelompokkan subjek secara acak, karena di dalam