• Tidak ada hasil yang ditemukan

LAPORAN PENELITIAN TAHUN ANGGARAN 2019 SKEMA PENELITIAN UNGGULAN PERGURUAN TINGGI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "LAPORAN PENELITIAN TAHUN ANGGARAN 2019 SKEMA PENELITIAN UNGGULAN PERGURUAN TINGGI"

Copied!
134
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN PENELITIAN

TAHUN ANGGARAN 2019

SKEMA PENELITIAN UNGGULAN PERGURUAN TINGGI

PENGEMBANGAN KOMITMEN POLITIK PEMERINTAH

KABUPATEN KUANTAN SINGINGI DALAM PENETAPAN

KAWASAN HAK ULAYAT MASYARAKAT ADAT

DI DAERAH ALIRAN SUNGAI SINGINGI

KETUA : DR. H. ALI YUSRI, MS (0007086002) ANGGOTA : 1. ADLIN, S.Sos, M.Si (0008028104)

2. TITO HANDOKO S.IP, M.Si (8851020016) 3. FAIZAL YUSUF ARROFIQ (1701114301) 4. GIANDA PRATAMA (1701110395)

SUMBER DANA : DIPA LPPM UNIVERSITAS RIAU

NOMOR KONTRAK : 956/UN.19.5.1.3/PT.01.03/2019

LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT

UNIVERSITAS RIAU

OKTOBER, 2019

Tema : Pengembangan Wilayah Pesisir dan Daerah Aliran Sungai

Sub Tema :Pengembangan Wilayah Pesisir dan DAS Berbasis Keunggulan Lokal

(2)
(3)

RINGKASAN PENELITIAN

Hak ulayat masyarakat hukum adat atas wilayahnya sudah sejak lama ini diabaikan negara mengakibatkan kerugian yang luar biasa berupa kehancuran tatanan kehidupan masyarakat adat. Pada dasarnya masyarakat Hukum Adat (MHA) memiliki Hubungan Multi dimensi dengan wilayahnya. Bagi MHA tanah bukan hanya sebagai sumber ekonomi, tanah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan masyarakat hukum adat. Pengabaian relasi MHA dengan tanah dan wilayahnya, asal usul penguasaan tanah dan wilayah MHA, dan sejarah politik politik agraria selama ini telah berakibat rusaknya tatanan kehidupam MHA secara keseluruhan. Pengakuan negara atas hak masyarakat adat di mulai pada tahun 2012. Tonggak Penting Politik Agraria Nasional adalah keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi No.35 tahun 2012 (Putusan MK No.35/ 2012) yang mewajibkan negara memberi pengakuan wilayah adat kepada masyarakat hukum adat. Jika melihat lintasan sejarah sejak Domein Verklaring (1870), UU PA 1960, UU No.5 tahun 1967, UU No.41 tahun 1999 belum mewujudkan kedaulatan masyarakat adat atas wilayahnya. Putusan MK 35 menjadi penanda penting bagi harapan kembalinya kedaulatan masyarakat hukum adat atas wilayahnya. Namun demikian Putusan Mk No.35 mensyarakat pengakuan hak masyarakat adat atas wilayah hutan adatnya harus dituangkan dalam Peraturan daerah penetapan masyarakat hukum adat beserta wilayah adatnya.

Pengesahan Peraturan Daerah mengenai Penetapkan Kawasan Hak Ulayat di Indonesia berjalan lamban padahal Perda tersebut sangat penting untuk pengembangan kesejahteraan masyarakat adat. Hingga agustus 2017 di seluruh Indonesia, baru 36 peraturan daerah yang ditetapkan berhubungan dengan hak masyarakat adat, berupa 27 Perda Pengakuan dan 9 Perda Penetapan. Respon pemerintah kabupaten Kuantan Singingi juga tergolong lamban untuk membuat peraturan daerah atau aturan lain yang mengesahkan kawasan tanah ulayat. Hambatan utama adalah di pemerintah daerah. Keberadaan tanah ulayat di Aliran Sungai Singingi sudah ada sejak purbakala, bahkan dalam catatan Wan Ghalib, Kerajaan Singingi adalah satu dari 14 kerajaan yang ada di Riau yang dipimpin oleh dua orang raja yang bergelar Dt Jelo Sutan dan Dt Bendaharo. Konsep Ulayat dalam masyarakat singingi dikenal dengan istilah concang latiah, yang merujuk kawasan tertentu sesuai batas alam tertentu yang diwariskan secara turun temurun berdasarkan garis keturunan ibu.

Meskipun masyarakat adat Aliran Sungai Singingi mengharapkan Pemerintah daerah menetapkan eksistensi hak ulayatnya, Pemerintah kabupaten Kuantan Singingi belum menunjukkan komitmen yang serius walaupun aturan perundangan sudah banyak yang dikeluarkan pemerintah pusat untuk mendukung pengesahan hak ulayat milik masyarakat adat dalam bentuk peraturan Daerah, Antara lain :

1) Surat Edaran Menteri Kehutanan Nomor SE.1/ Menhut-II/ 2013 Kepada Gubernur, Bupati/ Walikota dan Permenhut Nomor. 62 tahun 2013 yang menjelaskan hutan adat akan dikeluarkan dari hutan negara setelah peraturan daerah disahkan.

2) Peraturan Menteri dalam negeri Nomor 52 tahun 2014 yang menjelaskan keberadaan masyarakat hukum adat ditetapkan berdasarkan peraturan Bupati/ Walikota

(4)

3) Peraturan Menteri Agraria/ Badan Pertanahan Nasional nomor 9/ 2015 yang mengatur tata cara penetapan hak komunal atas tanah untuk masyarakat hukum adat dan untuk masyarakat yang berada dalam kawasan hukum kehutanan, pekebunan dan lainnya

4) Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 88 tahun 2017 Tentang Penyelesaian tanah dalam kawasan hutan, yang kembali menegaskan penguasaan tanah ulayat ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

Berdasarkan uraian di atas maka masalah lemahnya komitmen politik pemerintah kabupaten Kuantan Singingi perlu diteliti dan dikuatkan demi kemajuan dan kesejahteraan masyarakat adat di wilayah aliran Sungai Singingi. Penelitian ini berusaha menggambarkan lemah political will pemerintah daerah di saat aspirasi masyarakat telah disampaikan agar tanah ulayatnya masuk ke dalam hukum nasional, melalui pembuatan peraturan daerah. Kemudian penelitian ini juga melakukan pemetaan aktor (mapping actor) kebijakan dari unsur pemerintah daerah dan unsur luar pemerintah daerah untuk melihat kecenderungan mereka mendukung atau menentang penetapan kawasan hak ulayat DAS Singingi dalam produk hukum daerah.

Penelitian menggunakan metode penelitian kualitatif. Dimulai dengan pengambilan informan penelitian menggunakan teknik purpossive sampling dengan mewawancara informan sekaligus aktor kebijakan yang dianggap mempunyai pengetahuan tentang Komitmen Politik Pemerintah kabupaten Kuantan Singingi dalam Penetapan hak ulayat daerah aliran sungai Singingi serta komitmen mereka dalam mendukung penetapan hak ulayat DAS Singingi. Informan penelitian antara lain adalah : Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Riau, Datuk Pemilik Tanah Ulayat, anggota DPRD Kabupaten Kuantan Singingi, Pimpinan Partai Politik level kabupaten, Dinas Pertanahan Kabupaten Kuantan Singingi, Unit Pelaksana Teknis Dinas Kehutanan Propinsi Riau wilayah Kuantan Singingi, Camat Singingi, Lembaga Adat Melayu Riau Kecamatan Singingi-Singingi Hilir. Pengumpulan data dilakukan dengan dua cara, yakni : 1) Untuk mendapatkan data primer, peneliti akan melakukan wawancara tatap muka dengan menggunakan daftar pertanyaan kepada informan penelitian; 2) untuk mendapatkan data sekunder penelitian, penulis akan mengumpulkan dokumen yang berhubungan dengan Komitmen Politik Pemerintah kabupaten Kuantan Singingi dan aktor lainnya dalam Penetapan hak ulayat daerah aliran sungai Singingi. Proses pengumpulan data dan analisa data dalam penelitian kualitatif merupakan sebuah proses yang dilakukan secara bersamaan. analisa data kualitatif yang akan digunakan adalah analisa data meliputi 5 tahap, yakni : 1)

sort and classify ; 2) open coding; 3) Axial coding; 4) Selective Coding); 5) interpret & elaborate.

Temuan Penelitian menunjukan komitmen politik bupati lemah dalam perlindungan hak ulayat meskipun aturan perundangan memberi peluang, dan beberapa momen tidak dimanfaatkan untuk melakukan perlindungan terhadap hak masyarakat adat. Proses memasukan perlindungan hak adat dalam produk hukum daerah menemui jalan sulit sebab aktor utama dari unsur pemerintah yaitu bupati dan birokrasi tidak mendukung penetapan hak ulayat. Disisi yang lain para aktor pendukung sebagian besar adalah unsur luar pemerintah seperti Partai Politik, AMAN Riau, LAM Singingi, LAM Singingi Hilir, Pimpinan masyarakat adat DAS Singingi, serta DPRD dari unsur pemerintah belum terjalin koalisi advokasi yang efektif guna mendorong penetapan hak ulayat dalam produk hukum daerah.

(5)

KATA PENGANTAR

Segala puji serta syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT, atas berkat rahmat Nya kami dapat melaksanakan salah tugas Tridarma Perguruan Tinggi yakni Penelitian yang berjudul “Pengembangan Komitmen Politik Pemerintah Kabupaten Kuantan Singingi Dalam Penetapan Kawasan Hak Ulayat Masyarakat Adat Di Daerah Aliran Sungai Singingi yang pada hakikatnya wajib dilaksanakan oleh setiap dosen di Indonesia. Kegiatan turun lapangan dilakukan pada bulan Mei sd Oktober 2019 yang didalamnya juga dilakukan proses pengolahan data dan pembuatan laporan penelitian.

Selanjutnya kami mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu kesuksesan pelaksanaan kegiatan penelitian sampai pada penyelesaian laporan kegiatan penelitian ini. Dalam laporan yang kami buat ini, tentu banyak terdapat kelemahan, oleh karena itu masukan dan saran dari pembaca sangat kami harapkan demi perbaikan pelaksanaan penelitian yang akan kami lakukan di masa depan.

Pekanbaru, Oktober 2019

(6)

DAFTAR ISI Halaman Judul ... 1 Halaman Pengesahan... 2 Ringkasan... 3 Kata Pengantar... 5 Daftar Isi... 6 Daftar Lampiran... 8 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah... 9

1.2 Perumusan Masalah... 10

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian... 13

1.4 Luaran Penelitian/ Manfaat penelitian... 13

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teori... 14

2.2 Kerangka Pemikiran... 22

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian... 23

3.2 Cara Penentuan Ukuran Sampel dan Teknik Sampling... 23

3.3 Jenis dan Sumber data... 23

3.4 Teknik Pengumpulan Data... 24

(7)

BAB IV GAMBARAN UMUM DAERAH SEPANJANG SUNGAI

SINGINGI... 25

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1 Political Will Pemerintah Daerah... 38 5.2 Pemetaan Aktor Kebijakan... 41

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan... 54 6.2 Saran... 55

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

(8)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Draft Kebijakan ………... 58

Draft Artikel untuk Jurnal Internasional ………... 77

Artikel untuk diterbitkan di Jurnal Nakhoda Ilmu Pemerintahan Universitas Riau ………... 90

Artikel untuk prosiding Seminar Nasional Polkras ... 100

SK Pembimbing skripsi mahasiswa ... 110

Bahan Ajar ... 111

(9)

BAB I PENDAHULUAN

1.1LATAR BELAKANG MASALAH

Hak ulayat masyarakat hukum adat atas wilayahnya sudah sejak lama ini diabaikan negara mengakibatkan kerugian yang luar biasa berupa kehancuran tatanan kehidupan masyarakat adat. Pada dasarnya masyarakat Hukum Adat (MHA) memiliki Hubungan Multi dimensi dengan wilayahnya. Bagi MHA tanah bukan hanya sebagai sumber ekonomi, tanah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan masyarakat hukum adat. Pengabaian relasi MHA dengan tanah dan wilayahnya, asal usul penguasaan tanah dan wilayah MHA, dan sejarah politik politik agraria selama ini telah berakibat rusaknya tatanan kehidupam MHA secara keseluruhan1.

Pengakuan negara atas hak masyarakat adat di mulai pada tahun 2012. Tonggak Penting Politik Agraria Nasional adalah keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi No.35 tahun 2012 (Putusan MK No.35/ 2012) yang mewajibkan negara memberi pengakuan wilayah adat kepada masyarakat hukum adat. Jika melihat lintasan sejarah sejak Domein Verklaring (1870), UU PA 1960, UU No.5 tahun 1967, UU No.41 tahun 1999 belum mewujudkan kedaulatan masyarakat adat atas wilayahnya. Putusan MK 35 menjadi penanda penting bagi harapan kembalinya kedaulatan masyarakat hukum adat atas wilayahnya2. Namun demikian Putusan Mk No.35 mensyarakat pengakuan hak masyarakat adat atas

1 Tim Inkuiri Nasional KOMNAS HAM. Inkuiri Nasional Komisi Nasional Hak Asasi Manusia: Hak Masyarakat Hukum Adat Atas Wilayah Kawasan Hutan. Jakarta: Komisi nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia . hal. 25

(10)

wilayah hutan adatnya harus dituangkan dalam Peraturan daerah penetapan masyarakat hukum adat beserta wilayah adatnya3.

1.2PERUMUSAN MASALAH

Pengesahan Peraturan Daerah mengenai Penetapkan Kawasan Hak Ulayat di Indonesia berjalan lamban padahal Perda tersebut sangat penting untuk pengembangan kesejahteraan masyarakat adat. Hingga agustus 2017 di seluruh Indonesia, baru 36 peraturan daerah yang ditetapkan berhubungan dengan hak masyarakat adat, berupa 27 Perda Pengakuan dan 9 Perda Penetapan4.

Respon pemerintah kabupaten Kuantan Singingi juga tergolong lamban untuk membuat peraturan daerah atau aturan lain yang mengesahkan kawasan tanah ulayat. Hambatan utama adalah di pemerintah daerah. Asisten I pemerintah daerah kabupaten Kuantan Singingi, Erlianto menyatakan keberadaan tanah ulayat di level kenegerian ada, namun pemerintah daerah belum memberikan pengakuan terhadap hak tersebut5.

Keberadaan tanah ulayat di Aliran Sungai Singingi sudah ada sejak purbakala, bahkan dalam catatan Wan Ghalib, Kerajaan Singingi adalah satu dari 14 kerajaan yang ada di Riau yang dipimpin oleh dua orang raja yang bergelar Dt Jelo Sutan dan Dt Bendaharo6. Konsep Ulayat dalam masyarakat singingi dikenal dengan istilah concang latiah, yang merujuk kawasan tertentu sesuai batas alam tertentu yang diwariskan secara turun temurun berdasarkan garis keturunan ibu7. Tanah ulayat di Singingi merupakan pusaka tertinggi dari

3Dian Cahyaningrum. “Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Mengenai status Hutan Adat Menjadi Hutan Hak”. Jurnal kajian Vol.20 No.1 Maret 2015. Hal.1.

4Tim Media Tenure Comference 2017. “Tantangan Penetapan Hutan Adat Setelah Putusan Mk 35”. 23 Oktober 2017. Akses 19 Desember 2017. (https://www.tenureconference.id/single-post/2017/10/23/Tantangan-Penetapan-Hutan-Adat-Setelah-Putusan-MK-35)

5Pelita Riau.com. “Pemkab Kuansing Rancang Perda Tanah Ulayat”. 06 November 2016. Akses 18 Desember 2017. (http://pelitariau.com/mobile/detailberita/1267/pemkab-kuansing-rancang-perda-tanah-ulayat.html) 6 Halkis. Revitalisasi tanah Ulayat : Tantangan dan Peluang. Pekanbaru: Yayasan Pusaka Riau. 2006 Hal. 79 7Ibid.,88.

(11)

beberapa suku dengan latar belakang sejarah berdasarkan silsilah kedatangan dari masing-masing penghulu adat masuk bermukim di rantau ini jauh sebelum masuk dan berkembangnya agama islam. Tanah ulayat yang ada sekarang merupakan gabungan dari beberapa tanah ulayat dibawah kuasa suku Piliang Nan Limo dan suku Melayu nan ompek8. Tanah ulayat di Rantau Singingi selamanya tetaplah berstatus tanah ulayat merupakan pusaka abadi masyarakat. Bagian-bagian tanah ulayat di Rantau Singingi bukanlah berdiri sendiri, melainkan merupakan gabungan dari bagian-bagian yang terbentuk dalam satu kesatuan rantau9.

Kurangnya komitmen pemerintah daerah kabupaten Kuantan Singingi, sangat membahayakan eksistensi tanah ulayat milik masyarakat, sebab tanah ulayat tersebut terus dirampas oleh pengusaha yang nantinya dapat berujung pada konflik. Diantaranya perampasan tanah ulayat masyarakat adat desa pangkalan Indarung Kecamatan Singingi oleh pemilik modal10. Masyarakat Adat di daerah Aliran Sungai Singingi sangat berharap Hak ulayat mereka diakui dan diperjuangkan pemerintah kabupaten. Diantaranya masyarakat adat meminta bupati Mursini memperjuangkan pengakuan hak ulayat mereka diperjuangkan dalam Perda Rencana Tata Ruang dan Wilayah Propinsi Riau11.

Meskipun masyarakat adat Aliran Sungai Singingi mengharapkan Pemerintah daerah menetapkan eksistensi hak ulayatnya, Pemerintah kabupaten Kuantan Singingi belum menunjukkan komitmen yang serius walaupun aturan perundangan sudah banyak yang

8Zulbakri Oemala. “Adat Kemasyarakatan Rantau Singingi”. Dalam buku Musyawarah Adat Antau Singingi : Jakarta : Robbani Press., 2007. Hal 31

9 Ibid. Hal. 48-49.

10Riaupos.co. “Hutan Ulayat desa Pangkalan Indarung Singingi Terancam Punah : 400 hektar dibabat Pemilik modal. 20 Juli 2013. Akses 18 Desember 2017 (http://m.riaupos.co/30436-berita--lebih-400-hektare-dibabat-pemilik-modal.html)

11Riaugreen.com. “Masyarakat Antau Singingi Minta Pemkab Kuansing Perjuangkan Hak Ulayat dalam RTRW Riau”. 19 Desember 2017. Akses 18 Desember 2017.

(http://riaugreen.com/view/Kuansing/27616/Masyarakat-Adat-Antau-Singingi-Minta-Pemkab-Kuansing-Perjuangkan-Hak-Ulayat-dalam-RTRW-Riau.html#.WjiQU9KWbMw)

(12)

dikeluarkan pemerintah pusat untuk mendukung pengesahan hak ulayat milik masyarakat adat dalam bentuk peraturan Daerah, Antara lain :

5) Surat Edaran Menteri Kehutanan Nomor SE.1/ Menhut-II/ 2013 Kepada Gubernur, Bupati/ Walikota dan Permenhut Nomor. 62 tahun 2013 yang menjelaskan hutan adat akan dikeluarkan dari hutan negara setelah peraturan daerah disahkan.

6) Peraturan Menteri dalam negeri Nomor 52 tahun 2014 yang menjelaskan keberadaan masyarakat hukum adat ditetapkan berdasarkan peraturan Bupati/ Walikota

7) Peraturan Menteri Agraria/ Badan Pertanahan Nasional nomor 9/ 2015 yang mengatur tata cara penetapan hak komunal atas tanah untuk masyarakat hukum adat dan untuk masyarakat yang berada dalam kawasan hukum kehutanan, pekebunan dan lainnya

8) Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 88 tahun 2017 Tentang Penyelesaian tanah dalam kawasan hutan, yang kembali menegaskan penguasaan tanah ulayat ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

Penetapan hak ulayat DAS Singingi dinilai terlalu lamban, oleh karena itu perlu dilakukan pemetaan orientasi aktor-aktor kebijakan dari unsur pemerintah daerah maupun di luar unsur pemerintah daerah yang berpengaruh dalam dalam penetan hak ulayat DAS Singingi. Pada penelitian tahap 1, belum teridentifikasi secara jelas kencenderungan para aktor kebijakan yang mendukung dan menentang penetapan hak ulayat DAS Singingi.

Berdasarkan uraian di atas maka masalah lemahnya komitmen politik pemerintah kabupaten Kuantan Singingi perlu diteliti dan dikuatkan demi kemajuan dan kesejahteraan masyarakat adat di wilayah aliran Sungai Singingi. Oleh karena itu peneliti mengajukan pertanyaan penelitian sebagai berikut :

(13)

1. Bagaimana penguatan komitmen politik pemerintah kabupaten Kuantan Singingi dalam Penetapan kawasan hak ulayat di daerah aliran sungai Singingi?

2. Bagaimana gambaran peta aktor kebijakan didasarkan sikap mendukung atau menentang terhadap Penetapan Tanah Ulayat?

1.3MAKSUD DAN TUJUAN PENELITIAN

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, penelitian ini memiliki tujuan :

a. mengidentifikasi bentuk-bentuk komitmen politik yang dilakukan oleh pemerintah kabupaten Kuantan Singingi guna menetapkan kawasan hak ulayat dan menggambarkan faktor-faktor yang perlu dikuatkan dalam rangka penetapan kawasan hak ulayat di daerah aliran sungai Singingi sehingga hak ulayat masyarakat adat terlindungi dan diakui dalam hukum negara.

b. Menggambarkan kencenderungan para aktor kebijakan dilihat dari sikap mendukung atau menentang penetapan kawasan DAS Singingi dalam Produk Hukum Daerah.

1.4LUARAN PENELITIAN

Luaran penelitian yang akan diwujudkan adalah :

1. Laporan Akhir

2. Artikel ilmiah untuk dipublikasi di jurnal internasional 3. Ringkasan eksekutif;

4. Bahan Ajar;

5. Rancangan Kebijakan Agraria di kabupaten Kuantan Singingi 6. Draft Tugas Akhir Mahasiswa

(14)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teori yang Relevan

Guna memandu penelitian, maka di uraikan tinjauan pustaka sebagai berikut : a. Komitmen Politik

Konsep komitmen politik (political Commitment) sering disamakan bahkan dipertukarkan dengan konsep kemauan politik (political will). Chrisbelt A. Medina et.al. mengemukakan 3 indikator komitmen politik : 1) niat dan tindakan politik; 2) Koordinasi politik dengan pihak pihak lain; 3) komitmen publik (masyarakat)12. Menurut Fox et.al, komitmen politik dapat diukur dari 3 dimensi13, yaitu:

i. Pernyataan Komitmen (Expressed Commitment). Berupa deklarasi dukungan terhadap sebuah isu secara jelas dari pemimpin politik berpengaruh;

ii. Komitmen Kelembagaan (Institusional Commitment). Berbentuk kebijakan spesifik dan pengorganisasian infrastruktur untuk mendukung isu tersebut;

iii. Komitmen Pendanaan ( Budgettary Commitment). Pemberian alokasi sumberdaya ditujukan untuk isu spesifik yang secara relatif dapat di ukur dengan standar tertentu.

Lebih jauh Fox et.al menjelaskan bahwa pernyataan komitmen saja pada isu tertentu tanpa kebijakan atau pengalokasian dana sebagai bentuk dukungan bisa diasumsikan sebagai

12Chrisbelt A. Madina et.al. “Political Commitmen and Sense of Responsibility among Social enterpreneurs in Davao City, Philippines. International Journal of Social sciences Studies Vol.4 No.4. April 2016. Hal. 94. 13 Fox, M. Ashley, Yarlini Balarajan, Chloe Cheng, and Michael R. Reich “ Measuring Political Commitmen and Opportunities to Advanced Food And Nutrision Security : A Rapid Assestment Approach” UNICEF Nutrition Working Paper, New York : UNICEF And MDG fund, August 2013. Hal. 6

(15)

komitmen hanya bersifat retorika sedangkan komitmen itu perlu lebih ditunjukkan sehingga tanda komitmen pemerintah bisa dipercaya14

b. Hak Ulayat

Iswantoro, mengutip pendapat Rizal, berpendapat bahwa hak ulayat yang disebut juga dengan hak persekutuan adalah daerah dimana sekelompok masyarakat hukum adat bertempat tinggal dan mempertahankan hidup, tempat berlindung yang sifatnya magis religius. Masyarakat yang hidup dalam tanah ulayat berhak mengerjakan tanah itu, dimana setiap anggota masyarakat berhak memperoleh bagian tanah dengan batasan batasan tertentu15

Selanjutnya Iswantoro ciri-ciri tanah ulayat dikemukakan oleh Van Vollenhoven16, yaitu :

1) Tiap anggota dalam persekutuan hukum (etnik, sub etnik, atau fam) mempunyai wewenang dengan bebas untuk mengerjakan tanah yang belum digarap, misalnya membuka tanah untuk tempat tinggal baru;

2) Bagi orang diluar anggota persekutuan hukum, untuk mengerjakan tanah, harus dengan izin persekutuan hukum (dewan pimpinan Adat); anggota-anggota persekutuan dalam mengolah tanah ulayat itu mempunyai hak yang sama, tetapi untuk yang bukan anggota selalu diwajibkan membayar retribusi (uang adat, sewa lunas, sewa hutang, bunga pasir dan lain-lain) ataupun menyampaikan suatu persembahan (ulutaon, pemohon);

14Ibid.

15Iswantoro “Eksistensi Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat dalam Hukum Agraria Nasional” Jurnal SOCIO -RELIGIA. Vol.10 No.1. Februari 2012.

(16)

3) Persekutuan hukum sedikit banyak masih mempunyai campur tangan terhadap dalam hal tanah yang sudah dibuka dan ditanami sesorang;

4) Persekutuan hukum bertanggung jawab terhadap segala sesuatu yang terjadi dalam ulayatnya;

5) Persekutuan hukum tidak dapat memindahkan penguasaan kepada orang lain; 6) Hak ulayat menurut hukum adat ada di tangan suku/ masyarakat hukum/ desa.

Selanjutnya Ginting17 juga mengutip pendapat van Vollen Hoven tentang hak Ulayat

(Beshisckingrecht) sebagai berikut :

1) Beschikingrecht atas tanah hanya dapat dimiliki oleh persekutuan hukum dan tidak dapat dimiliki perseorangan;

2) Beschikingrecht tidak dapat dilepaskan selama lamanya;

3) Jika hak tersebut dilepaskan sementara, bilamana alasan selain kerugian untuk penghasilan-penghasilan yang hilang harus dibayar juga dengan cukai oleh orang-orang asing menurut hukum adat menurtut hukum adat diwajibkan membayar ke persekutuan hukum yang memiliki tanah itu.

Menurut Rosmidah, Undang Undang Republik Indonesia Nomor 5 tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria memberikan pengakuan bersyarat terhadap hak ulayat yaitu :

pertama, syarat eksistensi (keberadaannya), yakni tanah ulayat diakui sepanjang kenyataannya masih ada; kedua, syarat pelaksanaannya yaitu sesuai dengan kepentingan nasional dan negara yang berdasarkan persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang undang dan Peraturan lain yang lebih tinggi18.

Sejalan dengan itu, Ginting mengutip pendapat Maria SW. Sumardjono tentang kriteria masih ada tidaknya hak ulayat dilihat dari 3 hal, yaitu :

17Darwin Ginting. “politik Hukum Agraria terhadap hak ulayat di Indonesia”. Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-42 No.1 Januari-Maret 2012. Hal. 41

18Rosmidah. “Pengakuan Hukum Terhadap hak Ulayat masyarakat Hukum Adat dan Hambatan Implementasinya”. INOVATIF Jurnal Hukum Vol.2 No.4. April 2010. Hal.96

(17)

1) Adanya masyarakat hukum adat yang mempunyai ciri-ciri tertentu sebagai subjek hak ulayat;

2) Adanya tanah/ wilayah dengan batas-batas tertentu sebagai labensraum sebagai objek hak ulayat; dan

3) Adanya kewenangan masyarakat hukum adat untuk melakukan tindakan tindakan tertentu19.

Dipenuhinya tiga persyaratan tersebut secara kumulatif, kiranya cukup objektif sebagai penentu ada atau tidaknya hak ulayat, sehingga misalnya walaupun masih ada masyarakat hukum dan ada tanah atau wilayahnya, namun apabila masyarakat hukum tersebut sudah tidak mempunyai kewenangan untuk melakukan tiga tindakan tersebut, maka tanah ulayatnya tidak ada lagi20.

c. Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Penetapan Tanah Ulayat

Kewenangan pemerintah daerah dalam penetapan tanah ulayat dapat dirinci sebagai berikut :

1) Membuat Peraturan Daerah Guna Menetapkan Kawasan Tanah Ulayat

Ini dituangkan dalam Surat Edaran Menteri Kehutanan Nomor SE.1/ Menhut-II/ 2013 Kepada Gubernur, Bupati/ Walikota dan Permenhut Nomor. 62 tahun 2013 yang menjelaskan hutan adat akan dikeluarkan dari hutan negara setelah peraturan daerah disahkan21.

2) Menetapkan Keberadaan masyarakat Hukum Adat

19 Darwin Ginting. Op.cit. hal. 42 20 Rosmidah. Op.Cit

21Sukirno. “ Tindak lanjut Pengakuan Hutan Adat Setelah Putusan Mahkamah Konstitusi No.35-PUU-X/ 2012. Jurnal Masalah-masalah hukum Jilid 45. No.4. Oktober 2016. Hal 264

(18)

Ini dituangkan dalam Peraturan Menteri dalam negeri Nomor 52 tahun 2014 yang menjelaskan keberadaan masyarakat hukum adat ditetapkan berdasarkan peraturan Bupati/ Walikota22.

3) Membentuk Tim Invetarisasi Penguasaan, pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (IP4T)

Tim IP4T dibentuk oleh Gubernur, Bupati/ Walikota untuk menetapakan Masyarakat Hukum Adat Beserta Tanah Ulayatnya yang dituangkan dalam Peraturan Menteri Agraria/ Badan Pertanahan Nasional nomor 9/ 2015 yang mengatur tata cara penetapan hak komunal atas tanah untuk masyarakat hukum adat dan untuk masyarakat yang berada dalam kawasan hukum kehutanan, pekebunan dan lainnya23

4) Bekerjasama dengan Tim Percepatan Pelaksanaan Penyelesaian Tanah Kawasan Hutan yang dibentuk Pemerintah pusat.

Ini dituangkan dalam Peraturan Presiden nomor 88 tahun 2017 Tentang Penyelesaian tanah dalam kawasan hutan pasal 16.

d. Aktor Dalam Perumusan Kebijakan

Marshal dan Gestpin (2005) menggambarkan bahwa suatu kebijakan merupakan hasil interaksi antar aktor yang masing masing menggunakan sumberdaya dan mempunyai pengaruh. Aktor kebijakan tersebut dapat dibedakan menjadi (a) aktor utama (resmi atau struktural), (b) Aktor non utama ( tidak resmi, tidak struktural)24. Sementara itu menurut Lester dan Joseph steward jr, (2000) bahwa aktor aktor atau pameran serta dalam proses

22 Ibid.

23Noer Fauzi Rachman. “Masyarakat Hukum Adat dan Hak Komunal atas Tanah”. Digest Epistema : Berkala Isu Hukum dan Keadilan Eko-Sosial Vol.6/2016 Hal 8

24 Ahmad Nur Fauzi, Dewi Rostyaningsih. Analisis Peran Aktor Dalam Formulasi Kebijakan Semarang

Smart City. Departemen Politik Dan Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Undip. (https://ejournal3.undip.ac.id › index.php › jppmr › article › download)

(19)

kebijakan publik dapat dibagi kedalam dua kelompok, yakni pemeran serta resmi (inside of government) dan pameran serta tidak resmi ( out side of government). Yang termasuk kedalam pameran serta resmi adalah agen agen pemerintah ( birokrasi), eksekutif, legislatif dan yudikatif. Sedangkan yang termasuk kedalam pameran kelompok tidak resmi adalah kelompok kelompok kepentingan ( interest group), partai politik dan warga negara25. Sejalan dengan itu, Linblom dalam agustino (2008) menyebutkan aktor pembuat kebijakan dalam sistem pemerintahan demokratis merupakan interaksi antara dua aktor besar , yaitu inside Government Actors (IGA) dan Outside Government Actors (OGA) . para aktor pembuat kebijakan ini terlibat sejak kebijakan publik ini berupa isu dalam agenda setting hingga pengambilan keputusanberlangsung. Aktor yang termasuk kategori IGA adalah presiden, lembaga eksekutif (staf khusus pemerintahan), para menteri dan aparatur birokrasi serta parlemen (lembaga legislatif). Sedangkan yang termasuk dalam OGA adalah diantara kelompok kepentingan dan kelompok penekan, kelompok akademis, militer, partai politik, private sector, media massa serta NGO26.

Sesuai dengan konteks penelitian kebijakan penetapan kawasan tanah ulayat di daerah maka aktor kebijakan yang akan digambarkan adalah :

1. Aktor Internal pemerintah daerah yaitu : Bupati, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Birokrasi

2. Aktor luar Pemerintah daerah : Partai Politik, Organisasi Non Pemerintah. e. Pemetaan Para Aktor yang Berperan Dalam Perumusan Kebijakan

25 Irman Salaputa, Muhlis Madani, Andi Luhur Prianto. Peran Aktor, Kebijakan dan Pemekaran Wilayah PERAN

AKTOR DALAM PENYUSUNAN AGENDA KEBIJAKAN PEMEKARAN WILAYAH KECAMATAN DI KABUPATEN MALUKU TENGAH (https://www.researchgate.net › publication › fulltext › PERAN-AKTOR-DAL..) 26 Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia. 2015. Modul Pelatihan Analisis Kebijakan. Jakarta : Author. Hal 111.

(20)

Pemetaan para aktor atau para pihak (Stakeholder Mapping) merupakan bagian penting dalam upaya menganalisis proses kebijakan. Menurut WHO Tahun 2007 pemetaan stakeholders adalah teknik yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi dan menilai kepentingan dari pihak pihak kunci, kelompok atau institusi yang dapat mempengaruhi kesuksesan dari sebuah kegiatan27. Lebih jauh Tim Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia menjelaskan bahwa hasil pemetaan stakeholder adalah sebagai berikut :

1. Gambaran tentang kepentingan para stakeholder dalam kaitannya dengan perumusan dan implementasi kebijakan;

2. Identifikasi adanya potensi konflik antara stakeholder karena kepentingan berbeda yang dapat mengancam kesuksesan pelaksanaan kebijakan;

3. Membantu memetakan struktur hubungan antara stakeholder sehingga dapat dipertimbangkan untuk menyusun kerjasama atau koalisi;

4. Membantu dalam merumuskan jenis partisipasi yang diharapkan dari stakeholder yang berbeda28.

Dalam proses formulasi kebijakan pasti ada aktor yang pro dan ada yang kontra terhadap masalah tertentu. Thomas A. Birkland berpendapat akan ada perbedaan sikap antara kelompok dalam menyikapi perubahan kebijakan, yakni (1) Kelompok yang mengupayakan perubahan kebijakan berusaha memajukan isu-isu lebih dekat kearah pada agenda keputusan; (2) Kelompok yang menentang perubahan kebijakan berusaha menghalangi isu isu masuk ke dalam agenda29.

Selanjutnya Thomas A. Birkland berpendapat bahwa untuk mengalahkan kelompok elit yang paling kuat. Maka kelompok pro perubahan perlu membentuk koalisi advokasi. 27 Ibid., Hal 119

28 Ibid., 120.

29 Frank Fischer, Gerald J. Miller, Mara S. Sidney. Handbook : analisis kebijakan publik : teori, Politik dan Metode, (Imam Baihaqi, Penterjemah). Bandung: Nusa Media. Hal. 92.

(21)

Koalisi advokasi adalah koalisi dari kelompok-kelompok yang bersatu berdasarkan beberapa keyakinan bersama tentang isu atau masalah tertentu sehingga terbentuk kelompok tandingan melawan elit yang paling kuat30.

Aktor pemerintahan yang ikut dalam pembuat kebijakan di level lokal juga eksekutif ( gubrenur, Bupati), Legislatif ( Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) dan lembaga peradilan.

Definisi Konsep :

1. Kawasan Ulayat Daerah Aliran Sungai Singingi adalah wilayah milik pesukuan masyarakat adat yang dijelaskan dalam buku sejarah atau Tombo Adat Singingi; 2. Aktor kebijakan dari unsur pemerintah adalah Bupati Kuantan Singingi, Dewan

Perwakilan Daerah kabupaten Kuantan Singingi dan Organisasi Perangkat Daerah Kabupaten Kuantan Singingi;

3. Aktor kebijakan dari unsur luar pemerintah adalah Pimpinan kantor Cabang partai Politik yang ada di kabupaten Kuantan Singingi, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Riau, Lembaga Adat Melayu Riau kecamatan Singingi dan Singingi Hilir, Pucuk pimpinan Lembaga masyarakat Adat Singingi.

Definisi Konseptual

Konsep teori di atas dioperasionalkan sebagai berikut :

1. Komitmen Politik adalah Tindakan pemerintah diukur dengan indikator pernyataan komitmen, dukungan kebijakan/ program dan alokasi Sumber daya dalam rangka Penetapan tanah Ulayat daerah Aliran Sungai Singingi

2. Pemerintah Kabupaten Kuantan Singingi adalah Bupati dan wakil Bupati Kuantan Singingi Beserta jajaran Birokrasinya.

(22)

3. Hak ulayat adalah hak atas tanah miliki masyarakat hukum adat (persukuan) di sepanjang Aliran Sungai Singingi.

4. Kewenangan Pemerintah Daerah adalah hak dan kewajiban pemerintah kabupaten Kuantan Singingi membuat Peraturan daerah, Peraturan Bupati dan tim IP4T untuk penetapan kawasan hak ulayat Masyarakat Adat di sepanjang Aliran Sungai Singingi. 5. Aktor kebijakan dari unsur pemerintah adalah Bupati Kuantan Singingi, Dewan

Perwakilan Daerah kabupaten Kuantan Singingi dan Organisasi Perangkat Daerah Kabupaten Kuantan Singingi;

6. Aktor kebijakan dari unsur luar pemerintah adalah Pimpinan kantor Cabang partai Politik yang ada di kabupaten Kuantan Singingi, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Riau, Lembaga Adat Melayu Riau kecamatan Singingi dan Singingi Hilir, Pucuk pimpinan Lembaga masyarakat Adat Singingi.

2.2 Kerangka Pemikiran

Gambar 1 : Kerangka Fikir Penelitian

Aspirasi Komitmen politik PEMERINTAH KABUPATEN KUANTAN SINGINGI Keluaran Komitmen

1. Pembentukan Tim IP4T; 2. Keputusan Bupati

Tentang masyarakat hukum adat

3. Perda Tentang Penetapan Kawasan Hak ulayat Bentuk Komitmen Politik

1) Pernyataan Komitmen

2) Dukungan Kebijakan/ program

3) Dukungan sumber daya dan Dana

MASYARAKAT HUKUM ADAT DAERAH ALIRAN SUNGAI SINGINGI

(23)

BAB III METODE PENELITIAN

Untuk mengungkap permasalahan dalam penelitian ini penulis menggunakan jenis penelitian kualitatif yang diuraikan sebagai berikut :

3.1Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian adalah kabupaten Kuantan Singingi yang penelitian dilaksanakan selama 6 Bulan.

3.2Cara Penentuan Ukuran Sampel dan Teknik Sampling

Penelitian ini menggunakan teknik purpossive sampling dengan mewawancara informan yang dianggap mempunyai pengetahuan tentang Penguatan Komitmen Politik Pemerintah kabupaten Kuantan Singingi dalam Penetapan hak ulayat daerah aliran sungai Singingi. Gambaran penarikan Sampel dapat dilihat pada Tabel 4 berikut ini :

Tabel 4 : Informan Penelitian

No Kelompok Informan Jumlah Informan

1 Komisi Nasional Hak Asasi Manusia RI 1

2 Anggota DPRD Kuantan Singingi 2

3 Pengurus Partai Politik di kabupaten Kuantan Singingi 2 4 Kepala UPT DLHK Propinsi Riau Cabang Kuantan Singingi 1 5 Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Riau 1

6 LAM R Singingi dan Singingi Hilir 2

7 Datuk Pemilik Tanah Ulayat 4

8 Pemuka Masyarakat Adat 3

9 Dinas Pertanahan kabupaten Kuantan Singingi 1

10 Camat Singingi 1

(24)

3.3 Jenis dan Sumber Data

Jenis data dalam penelitian ini dirinci sebagai berikut :

i. Data primer. Adalah data yang diperoleh langsung dari informan penelitian melalui proses wawancara.

ii. Data Sekunder. Adalah data pendukung yang diambil oleh peneliti dari data-data resmi instansi pemerintah maupun non pemerintah serta data dari media massa yang berhubungan dengan penelitian ini.

3.4 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan dua cara, yakni : 1) Untuk mendapatkan data primer, peneliti akan melakukan wawancara tatap muka dengan menggunakan daftar pertanyaan kepada informan penelitian yang disebutkan dalam tabel 4; 2) untuk mendapatkan data sekunder penelitian, penulis akan mengumpulkan dokumen yang berhubungan dengan Penguatan Komitmen Politik Pemerintah kabupaten Kuantan Singingi dalam Penetapan hak ulayat daerah aliran sungai Singingi dan pemetaan aktor aktor yang mendukung dan menentang penetapan hak ulayat baik dari unsur Pemerintah Kabupaten Kuantan Singingi maupun unsur di luar pemerintah daerah.

3.5 Teknik Analisa Data

Proses pengumpulan data dan analisa data dalam penelitian kualitatif menurut Meriam merupakan sebuah proses yang dilakukan secara bersamaan.31 Oleh karena itu semua data yang berhasil dikumpulkan dari berbagai sumber yang majemuk berupa wawancara yang dilakukan secara berkesinambungan maupun berupa dokumen, pada saat yang sama akan selalu berusaha diperdalam dianalisa selanjutnya akan digambarkan untuk menghasilkan

(25)

interprestasi data secara tepat dan akurat. Adapun analisa data kualitatif yang akan digunakan adalah analisa data narative sebagaimana diungkapkan Neuman yang meliputi 5 tahap, yakni : 1) sort and classify ; 2) open coding; 3) Axial coding; 4) Selective Coding); 5) interpret & elaborate. 32

Sejalan dengan pendapat Neuman tersebut maka peneliti akan melakukan langkah-langkah: Pertama, melakukan pemilahan dan klasifikasi data terhadap data-data yang diperoleh dari key informan dari unsur yang telah ditentukan. Kedua, peneliti akan membuat pengkodean data secara terbuka tentang sesuai jawaban informan bentuk komitmen pemerintah kabupaten Kuantan Singingi menurut masing informan penelitian. Ketiga, peneliti akan melakukan wawancara tentang kecenderungan sikap aktor terhadap penetapan hak ulayat daerah aliran sungai Singingi.

Keempat, melakukan seleksi data yang telah dikodekan dengan memilih data-data yang sesuai tema dan kerangka pemikiran sehingga diperoleh sekumpulan data yang utuh untuk diinterprestasikan (Selective Coding); 5) Melakukan interprestasi dan elaborasi terhadap kumpulan data sehingga dapat ditarik kesimpulan yang akurat (interpret & elaborate).

BAB. IV GAMBARAN UMUM DAERAH SEPANJANG SUNGAI SINGINGI

Dulu di sepanjang Sungai singingi terdapat sebuah kerajaan yang dinamakan kerajaan Singingi. Di masa Penjajahan Belanda, kewenangan kerajaan Singingi di kurangi, raja singingi di jadikan pejabat setingkat camat Oleh Belanda di Tahun 1905. Di era kemerdekaan dibentuk kecamatan Singingi dan kemudian di era reformasi dimekarkan menjadi kecamatan Singingi dan Kecamatan Singingi Hilir, yang digambarkan sebagai berikut :

32 Neuman, W. Lawrence Social Research Methods : Qualitative and Quantitative Approaches. Boston : Perason Education, Inc, 2003., hal 448.

(26)

A. Kecamatan Singingi

Kecamatan Singingimerupakan salah satu kecamatan yang ada di kabupaten Kuantan Singingi yang terdiri dari 1 (satu) kelurahan dan 13 (tiga belas) desa dengan luas wilayah 2.240,21 km2 dengan jumlah penduduk tahun 2017 sebanyak 32.951 jiwa, laki-laki 17.157 jiwa, perempuan 15.794 jiwa dengan jumlah kepala keluarga (KK) 9.434 KK, dengan batas wilayah sebagai berikut :

• Sebelah utara berbatasan dengan kecamatan Singingi Hilir

• Sebelah selatan berbatasan dengan kecamatan Kuantan Tengah

• Sebelah barat berbatasan dengan propinsi sumatera barat

• Sebelah timur berbatasan dengan logas tanah darat

Iklim kecamatan singingi tropis dengan suhu udara 20-40 C dengan kondisi alam datar, berbukit dan bergelombang dan mata pencaharian sebagian besar penduduk adalah petani. Budaya sngat kental dengan adat istiadat yang dikenal dengan pepatah Tali sapilin Tigo, yaitu adat, agama dan pemerintahan. Tabel 4.1 berikut menggambarkan jumlah penduduk dan luas wilayah desa dan kelurahan di kecamatan Singingi.

Tabel 4.1 Jumlah Penduduk Kecamatan Singingi Tahun 2017

NO Desa/ Kelurahan Penduduk (Dalam Jiwa

Laki-Laki Perempuan Jumlah

1 Pangkalan Indarung 1.090 931 2.021 2 Pulau Padang 682 613 1.295 3 Muara Lembu 2.246 2.363 4.789 4 Logas 1.127 1.088 2.215 5 Kebun Lado 831 779 1.610 6 Sungai Kuning 1.949 1.788 3.737 7 Sungai Sirih 1.705 1.455 3.160

(27)

8 Sungai Bawang 660 624 1.284 9 Air Mas 1.164 1.117 2.281 10 Pasir Emas 1.280 1.186 2.446 11 Petai Baru 825 743 1.567 12 Sungai Keranji 1.404 1.267 2.671 13 Sumber Datar 954 877 1.831 14 Logas Hilir 1.401 930 1.971 Jumlah 17.137 15.761 32.898

Sumber Data : Data Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2017 Kantor Camat Singingi hal.3 Berdasarkan tabel 4.1 di atas , dapat dilihat bahwa desa/ kelurahan yang penduduknya mayoritas adalah kelurahan Muara Lembu.

B. Gambaran Umum Kecamatan Singingi Hilir

Kecamatan Singingi Hilir merupakan salah satu kecamatan yang berada di Kabupaten Kuantan Singingi yang mempunyai penduduk 41.367 Jiwa dengan luas wilayah 1.244,42 km2 dan terdiri dari 12 desa/ kelurahan. Mempunyai posisi strategis pada jalur lintas propinsi antara kabupaten Kuantan Singingi dan pekanbaru yang dilewati jalur lintas utara.

Kecamatan Singingi Hilir dengan batas-batas sebagai berikut :

• Sebelah Utara : Berbatasan dengan Kabupaten Kampar

• Sebelah Timur : Berbatasan dengan kecamatan Logas Tanah Darat

• Sebelah Barat : Berbatasan dengan propinsi Sumatera Barat

(28)

Tabel 4.2 Jumlah Penduduk Kecamatan Singingi Hilir Tahun 2017

NO Desa/ Kelurahan Penduduk (Dalam Jiwa

Laki-Laki Perempuan Jumlah

1 Koto Baru 2.096 1.946 4.042 2 Petai 1.814 1.647 3.461 3 Sungai Paku 1.096 1.003 2.099 4 Tanjung Pauh 1.423 1.349 2.772 5 Simpang Raya 1.769 1.592 3.361 6 Sungai Buluh 2.845 2.585 5.430 7 Sumber jaya 1.649 1.519 3.168 8 Suka Damai 1.017 985 2.002 9 Muara Bahan 1.745 1.610 3.355 10 Bukit Raya 1.131 982 2.113 11 Beringin jaya 2.719 2.565 5.284 12 Suka Maju 3.561 3.111 6.672 Jumlah 22.865 20.894 43.759

Sumber Data : Data Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2017 Kantor Camat Singingi Hilir

Berdasarkan tabel 4.2 di atas , dapat dilihat bahwa desa/ kelurahan yang penduduknya mayoritas adalah Suka Maju

C. Sejarah Kerajaan Singingi dan Tanah Ulayat Sepanjang Sungai Singingi33 a. Batas Wilayah Adat

Batas-batas wilayah Singingi menurut keadaan semenjak purbakala sampai dengan sekarang tetap seperti semula34, yaitu :

33 Tulisan sejarah dan tanah Ulayat Sepanjang Aliran Sungai Singingi di ambil dari catatan Sejarah oleh Datuk Mangkuto Sinaro pada tanggal 22 Maret 1957, yang ditulis Kembali oleh Ikatan Keluarga Singingi Rengat tahun 1983.

(29)

1. Ke Timur dengan wilayah Kampar Kiri ( hingga Sei Nopan 5 km di Hilir Tanjung Pauh);

2. Ke utara dengan Subayang wilayah Kampar Kiri hingga Sianik Putih; 3. Ke barat dengan negeri Sumpur Kudus hingga bukit Penyabungan;

4. Ke selatan dengan wilayah Kuantan Hulu ( Teluk Kuantan) hingga Tobek Sigadobang, Kompe Buahan Batu dan Bukit Padang Terbakar di Mudik Ulo. Wilayah adat Singingi ini merupakan gabungan ulayat adat dari dua Kelompok suku

Piliang Nan Limo (Piliang Yang Lima) dan Melayu Nan Ompek ( Melayu yang empat)35 sebagai berikut :

1. Piliang Nan Limo :

• Datuk Bandaro, datuk Maharajo beserta datuk Sinaro Nan Putih keduanya dalam kandungan Datuk Bandaro juga, sebelah timur berbatas dengan Sungai Ruang (Durian Daun) dengan Datuk Mangkuto Sinaro, ke barat dengan Datuk Bandaro Kali di Rimbo Pematang Kilangan, ke Selatan Hingga Bukit Penyabungan batas Sumpur Kudus dengan Negeri Pangkalan Indarung;

• Datuk Bandaro kali, Ke sebelah barat berbatas dengan Datuk Bandaro di Rimbo Pematang Kilangan dan ke Utara hingga Sianik Putih Subayang;

• Datuk Besar ulayatnya terletak dalam kandungan Datuk Bandaro yaitu Sungai Sepuh.

2. Melayu Nan Ompek :

• Datuk Jelo Sutan

• Datuk Mangkuto Sinaro

• Datuk Sinyato

34 Ikatan Keluarga Singingi Rengat. 1983. Tombo Adat Rantau Singingi yang ditulis 1957. Rengat, 2. 35 Ibid., 10-11.

(30)

Mempunyai ulayat yang sama yaitu sebelah timur dari sungai Tikalak Godang terus ke Sungai Nopan, Sebelah Barat dari bukit Buluh Rampai sampai ke Sianik Putih Subayang, Sebelah Selatan dengan Tobek Sigadobang Kompe Buahan Batu dan terus ke Bukit Padang terbakar, dari Bukit Penyabungan batas Sumpur Kudus Sumatera Barat.

Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa kerajaan Singingi termasuk persekutuan daerah yang merupakan gabungan dari wilayah milik pesukuan yang menetap di kawasan tertentu. Disisi lain juga dapat diketahui bahwa salah satu faktor yang menyebabkan wujud dan eksisnya kerajaan singingi adalah masyarakatnya disatukan berdasarkan ikatan kesamaan daeran tempat tinggal, kesatuan masyarakat hukum territorial.

b. Sejarah Terbentuknya Lembaga Adat Singingi

Penyusunan Lembaga Adat di Aliran Sungai Singingi dilakukan dengan musyawarah. Ini artinya sesuai dengan teori Van Dijk yang mengemukakan bahwa pemilihan pemimpin adat secara umum dilakukan melalui musyawarah dan dipilih yang tertua dan terkemuka dalam kelompok tersebut. Menurut Tombo Adat Rantau Singingi, penyusunan pemerintah adat dimulai dengan musyawarah antara datuk Bandaro di Koto Intuk dengan Datuk Jelo Sutan, yang kemudian dilanjutkan dengan musyawarah yang melibatkan seluruh unsur di wilayah aliran sungai Singingi36. Kerajaan Singingi dipimpin oleh 2 orang, yang bergelar datuk khalifah, yang dikenal dengan sebutan Datuk Nan Baduo yaitu Datuk Bendaharo dari Suku Piliang dan Datuk Jelo Sutan dari suku Melayu. Lokasi ibu kota kerajaan disebut tanah kerajaan merupakan gabungan 3 desa, yaitu Pulau Padang sebagai kapalo Koto ( kepala negeri), Kebun Lado ekor koto ( ekor negeri) dan Muara Lembu ( Ranah Tanjung Bungo) sebagai pusat kota kerajaan37. Wilayahnya meliputi 9 kampung, yaitu Pangkalan Indarung, Pulau Padang, Muara Lembu, Kebun lado, Petai, Koto Baru, Pulau Petai/ Sungai Paku,

36 Ikatan Keluarga Singingi Rengat. 1983. Op. Cit.2-3

(31)

Tanjung Pauh dan Logas38. Terbentuk struktur lembaga adat di daerah Aliran Sungai Singingi, yang menjelma menjadi kerajaan Singingi merupakan kesepakatan para datuk yang merupakan pemuka masing masing koto (negeri) dengan suku suku tertentu yang dahulunya bermukim di Aliran Sungai Singingi, yang dirinci sebagai berikut39 :

1) Koto Muaro Simpang yang bernama Muara Lembu Sekarang adalah Koto Mangkuto Sinaro keturunan Rantau Kuantan pecahan Datuk Mudo Bisai, menjadi suku Melayu;

2) Koto Intuk, sekarang lokasinya termasuk dalam wilayah desa Pulau Padang , Pemimpinnya Datuk Bandaro, Datuk Sinaro nan Putih beserta Datuk Majo, keturunan alam minang Kabau Pagaruyung, menjadi suku Piliang;

3) Koto Tinggi Tasam, sekarang lokasinya termasuk dalam wilayah desa Pulau Padang, Pemimpinnya Datuk Bandaro Kali, keturunan alam minang Kabau Pagaruyung turun ke Subayang, menetap di Kawasan Tasam, menjadi suku Bendang;

4) Koto Cinatin, sekarang lokasinya termasuk dalam wilayah desa Kebun Lado, Pemimpinnya Datuk Sinyato keturunan dari tanah Johor, menurut jalan dan singgah di koto Cinatin, menjadi Suku Melayu;

5) Koto Pingiai di Sungai Tapi , sekarang lokasinya termasuk dalam wilayah desa Petai, Pemimpinnya Datuk Jelo Sutan keturunan tanah Johor menurut jalan dan singgah di Koto Pingiai, menjadi suku Melayu;

6) Koto Sinabuh, sekarang lokasinya termasuk dalam wilayah desa Tanjung Pauh, pemimpinnya Datuk Besar keturunan Kuntu Subayang, singgah di Sinabuh dan menetap di Sinabuh, menjadi suku Piabadar;

38 Ikatan Keluarga Singingi Rengat. 1983. Op. Cit., 5 39 Ibid., 3.

(32)

7) Koto Degi, sekarang lokasinya termasuk dalam wilayah desa Sungai Paku, pemimpinnya datuk Maharajo Garang keturunan dari alam minang Kabau Pagaruyung turun ke Rantau Subayang, singgah dan menetap di koto Degi, menjadi suku Piabadar.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa penyusunan lembaga adat dilakukan secara musyawarah para datuk yang mereka disatukan oleh faktor faktor geneologis, yaitu ikatan keturunan yang dulunya menetap pada suatu daerah tertentu di aliran Sungai Singingi.

c. Susunan Lembaga Adat

Struktur lembaga adat di di daerah aliran Singingi dipimpin oleh dua orang penghulu pucuk yang bergelar datuk khalifah yang lazim dikenal dengan Datuk Nan Baduo. struktur dibawahnya langsung adalah 7 orang datuk penghulu, yang lazim dikenal dengan Datuk Nan batujuah dan Datuk penghulu di masing masing negeri/ koto. Penyusunan Struktur Lembaga Adat disusun mempertimbangkan wakil dari kelompok suku Melayu dan wakil kelompok Suku Piliang, dikenal dengan istilah Melayu nan ompek ( Melayu yang Empat), Piliang nan Limo ( Piliang Yang lima). Peresmian lembaga adat ini ditandai dengan pemotongan kerbau yang dinamakan Si lenggang Tanduk di Pulau Galanggang di hilir koto Muaro Simpang ( Muara Lembu). Rincian Suku berdasarkan kelompok suku Piliang dan Melayu berikut pemimpinnya diuraikan sebagai berikut40 :

1) Suku Piliang

Dalam suku Piliang di angkat yang sebagai pemimpin adalah Datuk Bandaro

menjadi Datuk Nan baduo. Penghulu lainnya menjadi bagian dari Datuk Nan Batujuah. Yaitu :

(33)

a) Datuk Sinaro Nan Putih dari penghulu dari suku Piliang; b) Datuk Besar penghulu dari suku Piabadar;

c) Datuk Bandaro Kali penghulu suku Bendang; d) Datuk Maharajo Garang dari suku Piabadar. 2) Suku Melayu

Dalam suku Melayu yang diangkat sebagai pemimpin adalah datuk Jelo Sutan menjadi Datuk nan Baduo, penghulu lainnya sebagai bagian dari Datuk Nan Batujuah. Yaitu :

a) Datuk Mangkuto Sinaro; b) Datuk Sinyato;

c) Datuk Simajo Lelo.

Dengan demikian dapat dipahami bahwa adanya dua orang raja di Singingi merupakan wakil dari kelompok suku yang melayu nan ompek dan dari kelompok suku yang piliang nan limo.

Tata hubungan Datuk Nan Baduo dengan Datuk Nan Batujuah41 sebagai berikut : 1. Datuk Nan Baduo yaitu Datuk Bandaro dan Datuk Jelo Sutan adalah pimpinan utama

pemegang kendali tertinggi adat wilayah Singingi.

2. Datuk Nan Batujuah yaitu Datuk Bandaro Kali, Datuk Sinaro Nan Putih, Datuk Besar, Datuk Maharajo Garang, Datuk Mangkuto Sinaro, Datuk Sinyato, Datuk Simajo Lelo adalah dewan pimpinan adat wilayah Singingi.

3. Datuk Nan Baduo, Datuk Nan Batujuah mempunyai kewajiban dan kewenangan atas pembinaan dan pengawasan ninik mamak pemangku adat dan rakyat cucu kemenakan.

4. Datuk Nan Baduo dan datuk Nan Batujuah mempunyai kewajiban dan kewenangan menurut adat atas pembinaan hutan tanah ulayat suku dan ulayat wilayah negeri;

41Zoelbakri Oemala (2007). Adat Kemasyarakatan Rantau Singingi. Muara Lembu : Lembaga Adat Antau Singingi., 21-22

(34)

5. Datuk Nan Naduo, datuk Nan Batujuah mempunyai kewajiban dan kewenangan menurut adat menyelesaikan sengketa, perselisihan sempadan atau batas ulayat. 6. Proses pengangkatan datuk Nan Baduo, tetap diusulkan dari suku asal yang dipandang

cakap dan mampu, diajukan ke dewan datuk Nan Batujuah untuk mendapat pertimbangan diterima atau ditolak;

7. Proses pengangkatan datuk Nan Baduo dilakukan oleh dewan Datuk Nan Batujuah

dibawah koordinasi datuk Bandaro Kali menurut adat di hadiri seluruh Penghulu dan Monti Se Rantau Singingi;

8. Pemegang daulat datuk Nan Baduo dapat diberhentikan oleh datuk Nan Batujuah dan penghulu penghulu atas desakan masyarakat adat, apabila terjadi ketidakyakinan pandangan atau ketidak pedulian atas pelaksanaan fungsi dan tugasnya dan kondisi uzur yang dipandang tidak mampu lagi memangku daulat yang dipercayakan kepadanya. Rantau indak tataulangi, Nagori indak takanano.

Selanjutnya di bentuk lah negeri yang berbeda dengan koto koto sebelumnya dan di susun juga perangkat adat di masing masing negeri atau koto yang dipimpin oleh dua khalifah di setiap koto ( negeri), yang disebut khalifah duo sakoto sebagai perwakilan datuk Nan Baduo. Menurut pepatah adat kebesaran penghulu di masing-masing negeri “ ba mamak

kepada Datuk Nan Ba Tujuah, Ba Rajo kepada Datuk Nan Baduo di tanah kerajaan Muara Lembu”42. Ini artinya penghulu negeri memiliki atasan langsung ke 7 orang penghulu kerajaan yaitu Datuk Nan Batujuah, selanjutnya 7 orang penghulu kerajaan atasan langsungnya adalah Datuk Nan Baduo sebagai pimpinan pucuk kerajaan. Perangkat adat tersebut di rinci sebagai berikut43 :

1. Tanjung Pauh, dengan 5 penghulu, yaitu :

1) Datuk Tumanggung ( Datuk Khalifah wakil suku Domo)

42 Ikatan Keluarga Singingi Rengat. Op.Cit., 6. 43 Ibid., 6-7.

(35)

2) Datuk Jelo Sutan ( Datuk Khalifah wakil suku Melayu) 3) Datuk payung Putih

4) Datuk bendaro Putih 5) Datuk Bendaro Sati

2. Pulau Petai, sekarang Sungai Paku dengan 4 Penghulu, yaitu : 1) Datuk payung Putih ( Datuk Khalifah wakil suku Melayu) 2) Datuk Muwun ( Datuk Khalifah wakil suku Domo) 3) Datuk Melintang Kampar

4) Datuk Laksamano

3. Koto Baru, dengan 5 Penghulunya, yaitu :

1) Datuk Bandaro Hitam ( Datuk Khalifah wakil suku Melayu) 2) Datuk Temenggung ( Datuk Khalifah wakil suku Melayu Tonga) 3) Datuk Bandaro Raja

4) Datuk Sinyato

5) Datuk Bendaro Sutan

4. Petai, dengan 4 Penghulunya, yaitu :

1) Datuk Datuk Bandaro Kayo ( Datuk Khalifah wakil Piliang) 2) Datuk Sati ( Datuk Khalifah wakil Suku Melayu)

3) Datuk Bandaro Mudo 4) Datuk Sinego

5. Pangkalan Indarung, dengan 5 Penghulunya :

1) Datuk Bandaro ( Datuk Khalifah wakil suku Piliang)

2) Datuk Sutan Penghulu ( Datuk Khalifah wakil suku Melayu) 3) Datuk Rajo Melayu

(36)

5) Datuk Sinyato

Adapun struktur lembaga adat di Logas berbeda dengan negeri lainnya. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari sejarah perang saudara di Singingi. Setelah Datuk Nan Baduo mendapat penyerahan amanat dari Pagaruyung tahun 1651, datang lah Tuanku Nan Kuniang kemenakan Tuanku Rajo Bayang yang ingin menjadi Raja di Singingi, yang ditolak oleh Datuk Nan Baduo. Kemudian Tuanku Nan Kuniang melakukan perlawanan dengan membuat basis pertahanan di Logas. Selain dibantu orang Logas, dia minta juga bantuan ke Jake dan Mudik Ulo untuk menyerang dan menaklukkan kerajaan Singingi. Datuk nan Baduo

beserta pasukannya dibantu pasukan dari Subayang cepat mengambil tindakan dan menyerang Logas maka terjadilah pertempuran di sana. Perang Logas dimenangkan Datuk

Nan Baduo dan Tuanku nan Kuniang melarikan diri ke Kuantan44. Setelah kejadian itulah di Logas disusun lembaga adat, dengan status Luhak dengan dipimpin seorang Penghulu utama yang sehari hari disebut Datuk Godang, yang dimasa Belanda disebut Khalifah Nan Tunggal45. Penghulu di Logas, ada 5 yaitu:

1) Datuk Godang 2) Datuk Temenggung 3) Datuk Rajo Penghulu 4) Datuk Paduko

5) Datuk Panghulu Dagang/ Datuk Siak Gagah

Semua penghulu di Logas termasuk dalam kandungan Datuk Jelo Sutan penghulu pucuk Suku Melayu antau Singingi46.

44 Halkis Op.Cit., 83-84. 45 Zulbakri Oemala. Op.Cit., 11.

(37)

1. Konsep Ulayat

Dalam masyarakat sepanjang Aliran Sungai Singingi kepemilikan atas suatu kawasan atau hak ulayat di kenal dengan istilah “Concang Latiah”. Yaitu sebuah konsep kepemilikan oleh kelompok masyarakat adat berdasarkan batas alam yaitu ketinggian bukit dan aliran Sungai yang diwarisi secara turun temurun dalam suku tertentu menurut keturunan ibu (matriarkat). Concang latiah yang dimaksud sebuah adalah sebuah kawasan yang ditandai dengan batas“ tanah nan berkeleyiangan aigh nan ba ka cucuran” ( kawasan tanah yang miring dari puncak bukit turun ke arah anak sungai yang mengalir). Setiap suku sudah mengetahui kawasan “concang latiah” atau tanah ulayatnya yang memang telah diwariskan secara turun temurun.

Kepemilikan ulayat memang banyak sekali silsilahnya yang diuraikan sebagai berikut :

A. Piliang Nan Lima :

1) Datuk Bandaharo, datuk Maharajo beserta Datuk Sinaro Nan Putih yang keduanya dan kandungan Datuk Bandaharo juga, sebelah timur berbatasan dengan sungai Kuang (durian daun) dengan Datuk Mangkuto Sinaro, ke barat berbatasan dengan Datuk Bandaro Kali di rimbo Pematang Kilangan, ke selatan berbatasan dengan Sumpur Kudus dengan negeri Pangkalan Indarung.

2) Datuk Bandaro Kali, sebelah barat berbatas dengan datuk Bendaharo atau Rimbo pematang Kilangan dan Ke utara hingga Sianik Putih Subayang. 3) Datuk Besar Ulayatnya dalam kandungan Datuk Bandaharo yaitu Sungai

Sepuh.

(38)

1) Datuk Jalo Sutan

2) Datuk Mangkuto Sinaro 3) Datuk Sinyato

Sebagaimana diketahui bahwa orang-orang ini adalah mempunyai satu ulayat yang sama. Ulayat Datuk Jalo Sutan tersebut berbatas timur dari Sungai Tikalak terus ke sungai Nopan, Sebelah Barat dengan Bukit Buluh Rampai sampai ke Sianik Putih Subayang, sebelah Selatan dengan Tobek Sigadobang Kompe Buahan Batu dan terus ke Bukit Padang Terbakar.

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Pengembangan Political Will Pemerintah Daerah Dalam Menetapkan Hak Ulayat DAS Singingi

Komitmen politik Pemerintah Daerah dalam hal ini Bupati Kuantan Singingi Lemah Dalam merealisasikan penetapan kawasan ulayat DAS Singingi. Interaksi antara politicall will minimalis seperti terlihat pada gambar 2 berikut.

Gambar 2 : Realitas Political Will Pemerintah Daerah Terkait Hak Ulayat Aspirasi

Political will lemah : Respon Minimalis PEMERINTAH

KABUPATEN KUANTAN SINGINGI

Keluaran Komitmen

1. Pembentukan Tim IP4T; 2. Keputusan Bupati

Tentang masyarakat hukum adat

3. Perda Tentang Penetapan Kawasan Hak ulayat Bentuk Komitmen Politik

1. Pernyataan Komitmen

2. Dukungan Kebijakan/ program

3. Dukungan sumber daya dan Dana

MASYARAKAT HUKUM ADAT DAERAH ALIRAN SUNGAI SINGINGI

(39)

Berdasarkan gambar tersebut ada aspirasi masyarakat adat yang disampaikan kepada Bupati maupun jajaran birokrasinya namun mendapatkan respon minimalis yang menunjukan tidak adanya kemauan politik untuk menetapkan kawasan hak ulayat DAS Singingi dalam Produk Hukum Daerah. Rendahnya Politicall will tersebut di uraikan berikut ini

1. Aspirasi Perlindungan Hak Ulayat dari Masyarakat Adat

Aspirasi masyarakat adat telah disampaikan kepada Bupati secara langsung, namun tidak ada tindak lanjut yang berarti. Hal ini disampaikan anggota DPRD kabupaten Kuantan Singingi, Jontikal, September 2019 sebagai berikut :

“Saya sudah berulang kali menyampaikan agar Bupati berkenan memperjuangkan penetapan hak ulayat DAS Singingi dalam produk hukum Daerah. Sehingga saya sudah bosan menyampaikan hal tersebut, namun tidak ada respon yang sesuai harapan dari bupati”

Hasil wawancara tersebut menunjukkan bahwa aspirasi masyarakat minta diperjuangkan hak ulayat sudah sampai secara langsung kepada Bupati, namun respon Bupati tidak sesuai harapan.

Lebih jauh Jontikal mengungkapkan:

“ saya bahkan mengumpulkan pemuka masyarakat adat DAS Singingi di rumah saya, kemudian saya mengundang Bupati dan meminta beliau mendengarkan aspirasi masyarakat adat. Tapi tindak lanjut dari Bupati juga tidak ada”.

Hasil wawancara tersebut kembali menunjukkan bahwa aspirasi masyarakat adat yang meminta dukungan bupati untuk melindungi hak ulayat DAS Singingi melalui produk hukum daerah secara langsung telah disampai dan didengar langsung oleh Bupati.

Hal ini diakui oleh salah seorang Penghulu adat Sungai Paku, datuk Laksamano sebagai berikut :

“ saya hadir dalam pertemuan di rumah Jontikal dan mendengar langsung respon bupati terhadap harapan masyarakat adat. Respon Bupati justru tidak sesuai harapan, bahkan malah mengatakan bahwa hak ulayat itu tidak ada”.

(40)

Hasil wawancara tersebut menunjukkan bahwa Bupati tidak memahami tentang keberadaan hak ulayat bahkan menganggap hak ulayat di DAS Singingi malah tidak ada. Kondisi ini tentu saja membuat Bupati Mursini tidak punya komitmen memperjuangkan hak ulayat masyarakat adat.

Sejalan dengan itu, Kepala Unit Pelaksana Teknis Dinas kehutanan Provinsi Riau wilayah Kuantan Singingi, Erwin Satria berpendapat :

“Perlindungan hak ulayat masyarakat adat sangat penting untuk kesejahteraan masyarakat, tapi saya melihat Bupati Kuantan Singingi tidak paham mengenai pentingnya penetapan tersebut bagi masyarakat adat”.

Hasil wawancara tersebut menunjukkan bahwa kemauan politik Bupati yang lemah dalam mendukung perlindungan hak ulayat disebabkan pemahaman Bupati yang belum memadai tentang perlunya perlindungan eksistensi tanah ulayat.

Berdasarkan uraian beberapa wawancara di atas dapat disimpulkan bahwa aspirasi masyarakat telah disampaikan, namun tidak mendapat dukungan dari Bupati, disebabkan Bupati tidak menyadari pentingnya perlindungan hak ulayat bagi masyarakat adat.

2. Political Will Bupati yang lemah

Sampai akhir tahun 2019 tidak terdengar adanya pernyataan komitmen Bupati untuk melindungi hak ulayat, tidak ada juga dibuat dukungan kebijakan/ program maupun pemberian dukungan daya dan dana guna melindungi eksistensi hak ulayat. Tidak adanya komitmen Bupati terlihat juga dengan tidak masuknya perlindungan hak ulayat dalam visi misi pemerintah kabupaten yang di nakhodai Bupati Mursini. Bahkan poin 4 misi kabupaten berbunyi :

“Meningkatkan tata kelola sumber daya alam berdasarkan perencanaan tata ruang yang berwawasan lingkungan adalah dengan memanfaatkan seluruh potensi daerah untuk sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat dengan mempertimbangkan aspek fungsi lahan dan kelestarian lingkungan yang berkelanjutan.”

(41)

Visi ini memprioritaskan perencanaan tata ruang berwawasan lingkungan. Terkait perencanaan tata ruang ini, anggota DPRD, jontikal mengungkapkan :

“terkait perubahan tata ruang provinsi Riau tahun 2018, saya juga mendatangi Bupati , bermohon agar tanah ulayat di Singingi dilakukan perubahan status agar dapat dimanfaatkan oleh masyarakat adat DAS Singingi. Lengkap dengan usulan para datuk pemilik ulayat. Namun tidak juga diperjuangkan oleh Bupati”.

Hasil wawancara ini kembali menunjukkan bahwa hak ulayat dan hutan adat tidak mendapat prioritas untuk di lindungi pada hal peluang untuk melindungi wilayah adat sudah terbuka diberbagai kesempatan. Berdasarkan uraian wawancara di atas dapat disimpulkan bahwa komitmen Bupati memang lemah dalam melindungi hak ulayat DAS Singingi.

B. PEMETAAN AKTOR KEBIJAKAN

Gambaran peta sikap para aktor dari unsur pemerintah maupun unsur non pemerintah dapat dilihat pada gambar 2. Dibawah ini :

Gambar 2 : Pemetaan Aktor Kebijakan Terkait Penetapan Hak ulayat DAS Singingi

AMAN Riau Aktor Luar Pemerintah Daerah

Masyarakat Adat

LAM Singingi

Parpol

LAM Singingi Hilir

AMAN Riau Aktor Pemerintah Daerah

Bupati

OPD DPRD

ISU/ MASALAH :

PENETAPAN KAWASAN ULAYAT DAERAH ALIRAN SUNGAI SINGINGI

SIKAP PARA AKTOR

PRO/ M EN DUK U N G K ONT R A / M EN EN TAN G PEMERINTAH PUSAT STRATEGI D ARI A TAS S : IN TRUK SI P RESID EN

(42)

Gambar 2 menunjukkan bahwa jalan terjal perlu dilalui menuju penetapan kawasan daerah aliran sungai singingi dalam produk hukum daerah berupa peraturan daerah maupun keputusan Bupati. Hal ini disebabkan aktor utama pembuat kebijakan yaitu Bupati Kuantan Singingi dan birokrasi Organisasi perangkat daerah terkait memiliki political will yang lemah untuk memperjuangkan penetapan kawasan ulayat tersebut. Sementara unsur pemerintah yang mendukung penetapan hak ulayat adalah DPRD di tambah dengan aktor-aktor lain di luar pemerintah. Temuan penelitian diuraikan sebagai berikut :

1. Para Aktor yang Kontra Terhadap Penetapan kawasan Ulayat a) Bupati

Bupati Kuantan Singingi tidak memiliki political will yang kuat untuk menetapkan kawasan hak ulayat. Hal ini diungkapkan, salah seorang masyarakat adat pada wawancara bulan September 2019 sebagai berikut :

“Dalam sebuah pertemuan beberapa tahun lalu di rumah anggota DPRD Kuantan Singingi, Bupati menyatakan di hadapan kami semua bahwa tanah ulayat di sepanjang aliran sungai Singingi itu tidak ada. Hal itu tentu menyakiti hati kami, karena pada faktanya hak ulayat kami ada”

Berdasarkan wawancara tersebut diketahui bahwa Bupati Mursini tidak mengakui keberadaan hak ulayat yang ada di sepanjang sungai Singingi.

Sejalan dengan itu, dalam wawancara dengan AMAN Riau, Oktober 2019, diungkapkan informasi sebagai berikut :

“Dalam beberapa kesempatan kami rapat bersama dengan kepala daerah di Riau, termasuk Bupati Kuantan Singingi. Dari pidato sambutan yang beliau sambutan jelas terlihat bahwa beliau tidak pro dengan masyarakat adat termasuk pengesahan tanah ulayat”

(43)

Hasil wawancara tersebut kembali menguatkan bahwa bupati Kuantan Singingi memiliki politicall will yang lemah dalam melindungi masyarakat adat dan hak ulayatnya melalui kebijakan pemerintah.

Hal senada juga diungkapkan oleh anggota DPRD Kuantan Singingi bulan september 2019, Jontikal sebagai berikut :

“saya sudah berulang kali menyampaikan dan minta tolong kepada Bupati agar dimulai proses pembuatan Perda guna melindungi hak masyarakat adat di Singingi. Namun tidak ada tindak lanjut sama sekali dari beliau sampai saat ini”.

Hasil wawancara ini kembali menguatkan bahwa Bupati Kuantan Singingi memiliki politicall will yang lemah untuk mulai memberikan perlindungan tanah ulayat melalui kebijakan pemerintah Daerah.

Lebih jauh Jontikal menjelaskan :

“mengapa saya mendorong pak bupati, sebab bupati mempunyai kewenangan mengusulkan ranperda melalui inisiatif pemerintah. Pemerintah juga memiliki sumberdaya manusia dibagian hukum yang ahli membuat Ranperda, kemudian mempunyai dana yang bisa dialokasikan dalam APBD untuk memproses Ranperda Ulayat tersebut. Biasanya Ranperda inisiatif pemerintah prosesnya di DPRD lebih cepat ke penetapannya dibandingkan Ranperda usulan DPRD sendiri. Namun sampai saat ini, usulan saya tidak pernah direalisasikan pak Bupati”.

Wawancara tersebut menunjukan bahwa sudah menjadi kebiasaan dalam pembentukan Ranperda di Kabupaten Kuantan Singingi, Bupati merupakan aktor kunci, sebagai pihak yang paling menentukan jadi atau tidaknya proses pembentukan rancangan peraturan daerah. Bupati mempunyai staf bagian hukum dan Organisasi Perangkat daerah terkait yang mampu menyusun Ranperda dengan baik, sekaligus bisa menganggarkan biaya pembentukan rancangan peraturan Daerah yang diusulkannya dalam RAPBD. Komitmen Bupati dinilai lemah, sebab tidak ada satupun usulan anggota DPRD tersebut yang ditindaklanjuti oleh Bupati Kuantan Singingi.

Gambar

Gambar 1 : Kerangka Fikir Penelitian
Tabel 4 : Informan Penelitian
Tabel 4.1 Jumlah Penduduk  Kecamatan Singingi Tahun 2017
Tabel 4.2 Jumlah Penduduk  Kecamatan Singingi Hilir Tahun 2017
+4

Referensi

Dokumen terkait

Meskipun secara in vitro tanaman ini signifikan mampu menurunkan produksi metana pada ternak dan pada saat yang sama juga tidak mempengaruhi parameter nutrisi yang lain,

Mahasiswa mampu mengolah data dalam menentukan ikatan awal dan akhir semen serta menginterpretasi hasilnya (mg ke 1) [C2, C3, A3, P2 ]: 5.. Mahasiswa mampu Mampu mengolah

Tenaga kerja (TK) adalah orang yang bekerja pada sentra industri pengolahan makanan dan minuman (industri kecil menengah) yang ada di Kecamatan Batu yang

Kromatografi adalah suatu istilah umum yang digunakan untuk bermacam- macam teknik pemisahan yang didasarkan atas partisi sampel diantara suatu fase gerak yang bisa berupa gas

SK dalam meninjau kembali mampu menuliskan kesimpulan yang relevan dengan permasalahan dengan benar dan hanya saja penggunaan kalimat dalam menarik kesimpulan,.. SK

Demikian biodata ini saya buat dengan sebenarnya untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam pengajuan Hibah PKMK – KAPSUL B-PAY (BIJI PEPAYA) PELANCAR MENSTRUASI SEBAGAI

Dan pada tahun 1966 fungsi dan kedudukan Higene Industri didalam aparatur pemerintahan menjadi lebih jelas lagi yaitu dengan didirikannya Lembaga Higene Perusahaan

Sebelum dokumen akreditasi diserahkan ke BAN-PT wajib dilakukan simulasi penilaian dan melibatkan para dosen pakar di bidang borang dan perlu juga ada yang