• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I. LFG (ml/mnt/1,73m2) = (140 umur) X Berat Badan 72 X Kreatinin plasma (mg/dl) *) pada perempuan dikalikan 0,85

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I. LFG (ml/mnt/1,73m2) = (140 umur) X Berat Badan 72 X Kreatinin plasma (mg/dl) *) pada perempuan dikalikan 0,85"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

Penyatit ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan pada umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Selanjutnya, gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang irreversibel, pada suatu derajat yang memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi ginjal. Uremia adalah suatu sindrom klinik dan laboratorik yang terjadi pada semua organ, akibat penurunan fungsi ginjal pada penyakit ginjal kronik.(9)

National Kidney Foundation (NKF) mendefenisikan bahwa penyakit ginjal kronik dengan atau tanpa kerusakan ginjal atau penurunan Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) ginjal kurang dari 60 mL/menit/1.73 m2 selama 3 bulan atau lebih. (1,4)

Tabel Kriteria Penyakit Ginjal Kronik

1. Kerusakan ginjal (renal damage) yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan structural atau fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG), dengan manifestasi:

 Kelainan patologis

 Terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi darah atau urin, atau kelainan dalam tes pencitraan (imaging test)

2. Laju filtrasi glomerulus (LFG) kurang dari 60 ml/menit/1,73 m2 selama 3 bulan, dengan atau tanpa kerusakan ginjal

Tabel 1. Tabel Kriteria Penyakit Ginjal Kronik (dikutip dari kepustakaan 4,11)

Pada keadaan tidak terdapat kerusakan ginjal lebih dari 3 bulan, dan LFG sama atau lebih dari 60 ml/menit/1,73 m2, tidak termasuk kirteria penyakit ginjal kronik.(11)

Klasifikasi

Klasifikasi penyakit ginjal kronik didasarkan atas dua hal yaitu, atas dasar derajat (stage) penyakit dan atas dasar diagnosis etiologi. Klasifikasi atas dasar derajat penyakit, dibuat atas dasar LFG, yang dihitung dengan mempergunakan rumus Kockcroft-Gault sebagai berikut: (11) LFG (ml/mnt/1,73m2) = (140 – umur) X Berat Badan

72 X Kreatinin plasma (mg/dl) *) pada perempuan dikalikan 0,85

(2)

Derajat Penjelasan LFG (ml/mnt/1,72m2) 1 Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau

meningkat

> 90 2 Kerusakan ginjal dengan LFG menurun ringan 60 – 89 3 Kerusakan ginjal dengan LFG menurun sedang 30 – 59 4 Kerusakan ginjal dengan LFG menurun berat 15 – 29

5 Gagal ginjal <15 atau dialisis

Tabel 2. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik atas Dasar Derajat Penyakit (Dikutip dari kepusakaan 11)

EPIDEMIOLOGI

Di Amerika Serikat, data tahun 1995-1996 menyatakan insidens penyakit ginjal kronik diperkirakan 100 kasus perjuta penduduk pertahun, dan angka ini meningkat sekitar 8% setiap tahunnya. Di Malaysia, dengan populasi 18 juta, diperkirakan terdapat 1800 kasus baru gagal ginjal pertahunnya. Di negara-negara berkembang lainnya, insiden ini diperkirakan sekitar 40-60 kasus perjuta penduduk per tahun. (11)

Di Australia, survey mendapatkan bahwa penyakit ginjal kronik lebih umum dari biasanya. 1 dari 3 orang dewasa berada dalam resiko tinggi untuk terkena CKD, dan 1 dari 7 orang dewasa memiliki beberapa tanda dari CKD. Gejala-gejala dari CKD mungkin tidak terlihat sampai fungsi ginjal rusak berat dan ireversibel.(1)

Grafik 1. Grafik Jumlah Kasus Penyakit Ginjal Kronik (dikutip dari kepustakaan 1)

ETIOLOGI

Penyebab paling sering dari penyakit ginjal kronik adalah diabetes mellitus (baik yang tergantung insulin maupun yang tidak tergantung insulin), diikuti oleh hipertensi dan glomerulonefritis,. Penyakit polikistik ginjal, obstruksi dan infeksi adalah sisanya yang paling sering menyebabkan penyakit ginjal kronik.(7)

(3)

 Penyakit renovaskuler  Obat-obatan

 Interstisial nefritis: ini mungkin idiopatik tapi bisa juga penyebab sekunder dari NSAID dan penggunaan kronik dari furosemide

 Penyakit keturunan

 Dan penyebab yang tidak sering seperti amiloidosis, myeloma, SLE, gout, hiperkalsemia, dan retroperitoneal fibrosis

Etiologi penyakit ginjal kronik sangat bervariasi antara satu negara dengan Negara lain. Perhimpunan Nefrologi Indonesia (Pernefri) tahun 2000 mencatat penyebab gagal ginjal yang menjalani hemodialisis di Indonesia adalah sebagai berikut:(11)

 Glomerulonefritis dengan insiden sekitar 46.39%  Diabetes Melitus dengan insiden sekitar 18.65%  Obstruksi dan infeksi dengan insiden sekitar 12.85%  Hipertensi dengan insiden sekitar 8.46%

 Sebab lain dengan insiden sekitar 13.65% PATOFISIOLOGI

Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit yang mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih sama. Pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa (surviving nephrons) sebagai upaya kompensasi, yang diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan growth factors. Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang progresif, walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi. Adanya peningkatan aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron intrarenal, ikut memberikan kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis dan progresifitas tersebut. Aktivasi jangka panjang aksis renin-angiotensin-aldosteron, sebagian diperantarai oleh growth factors seperti transforming growth factor β (TGF-β). Beberapa hal yang juga dianggap berperan terhadap terjadinya progresifitas penyakit ginjal kronik adalah albuminuria, hipertensi, hiperglikemia, dislipidemia. Terdapat variabilitas interindividual untuk terjadinya sklerosis dan fibrosis glomerulus maupun tubulointerstisial. (4,7,11)

Patogenesis dari penyakit ginjal kronik terdiri dari kombinasi efek-efek toksik dari produk-produk yang tertahan yang normalnya diekskresikan dari tubuh (seperti nitrogen yang mengandung hasil dari metabolisme protein), hormon-hormon yang jumlahnya meningkat, dan kehilangan produk-produk dari ginjal (seperti kehilangan eritropoietin)..(7)

Pada stadium paling dini penyakit ginjal kronik, terjadi kehilangan daya cadang ginjal pada keadaan mana basal LFG masih normal atau malah meningkat. Kemudian secara perlahan tapi pasti, akan terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif, yang ditandai dengan

(4)

peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 60%, pasien masih belum merasakan keluhan (asimtomatik), tapi sudah terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 30%, mulai terjadi keluhan pada pasien seperti nokturia, badan lemah, mual, nafsu makan kurang dan penurunan berat badan. Sampai LFG di bawah 30%, pasien memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang nyata seperti anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan metabolism fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah dan lain sebagainya. Pasien juga mudah terkena infeksi seperti infeksi saluran napas, maupun infeksi saluran cerna. Juga akan terjadi gangguan keseimbangan air seperti hipo atau hipervolemia. LFG di bawah 15% akan terjadi gejala dan komplikasi yang lebih serius, dan pasien sudah memerlukan terapi pengganti ginjal antara lain dialisis atau transplantasi ginjal. Pada keadaan ini pasien dikatakan sampai pada stadium gagal ginjal.(11)

Gambar 1. Siklus terjadinya gagal ginjal progresif. (Dikutip dari kepustakaan 8)

FAKTOR RISIKO

Beberapa faktor risiko dari penyakit ginjal kronik yaitu(1) a. Yang dapat dikontrol

 Merokok  Diabetes  Hipertensi  Obesitas

b. Yang tak dapat dikontrol

 Umur lebih dari 50 tahun

 Riwayat keluarga dengan penyakit ginjal kronik

Penyakit primer ginjal

Jumlah nefron berkurang Glomerulosklerosis Protein flux meningkat Kerusakan sel glomerulus Hiperfiltrasi glomerulus Diabetes Hipertensi Tekanan dan aliran

(5)

GAMBARAN KLINIS

Gambaran klinis pasien penyakit ginjal kronik meliputi : (2,3,7,9,11)

a). sesuai dengan penyakit yang mendasari seperti diabetes mellitus, infeksi traktus urinarius, batu traktus urinarius, hipertensi, hiperurikemi, Lupus Eritematous Sistemik (LES), dan lain sebagainya.

b). sindrom uremia, yang terdiri dari lemah, letargi anoreksia, mual muntah, nokturia, kelebihan volume cairan (yang bisa mengakibatkan kenaikan berat badan karena edema, asites, peripheral edema), neuropati perifer, pruritus, uremic frost, perikarditis, kejang-kejang sampai koma. c). Gejala komplikasinya antara lain hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, payah jantung, asidosis metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit (sodium,kalium, khlorida) yang bisa mengakibatkan atrium fibrilasi jika terjadi hiperkalemia, juga jika terjadi kehilangan Na+ dan cairan yang tiba-tiba bisa mengakibatkan muntah-muntah, diare dan berkeringat dengan demam. Pada keadaan ini, akan dengan mudah terjadi kehilangan cairan ekstraseluler yang akan mengakibatkan fungsi ginjal memburuk dan bahkan vaskuler kolaps dan syok.

PEMERIKSAAN PENUNJANG a. Laboratorium

Gambaran laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi: (2,5,9,11)  Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya

 Penurunan fungsi ginjal berupa perningkatan kadar ureum dan kreatinin serum, dan penurunan LFG yang dihitung mempergunakan rumus Kockcroft-Gault. Kadar kreatinin serum saja tidak bisa diperguanakan untuk memperkirakan fungsi ginjal

 Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin, peningkatan kadar asam urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremia, hiper atau hipokloremia, hiperfosfatemia, hipokalsemia, asidosis metabolic

Kelainan urinalisis meliputi proteinuria, hematuri, leukosuria, cast, isostenuria.  Serum albumin biasanya menurun karena adanya proteinuria

 Pemeriksaan profil lipid sebaiknya dilakukan pada pasien dengan penyakit ginjal kronik karena meningkatnya risiko terkena penyakit kardiovaskuler.

b. Pemeriksaan Radiologi

Pemeriksaan radiologis Penyakit Ginjal Kronik meliputi(2,5,11)  Foto polos abdomen

Bisa tampak batu radiopak pada batu saluran kemih  Pielografi Intravena

Jarang dilakukan, karena kontras sering tidak bisa melewati filter glomerulus, di samping kekhawatiran terjadinya pengaruh toksik oleh kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami kerusakan

 Pielografi antegrad atau retrograde

(6)

 USG Ginjal

Dapat memperhatikan ukuran ginjal yang mengecil, korteks yang menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa, dan kalsifikasi

 CT-Scan

Sangat berguna untuk melihat massa renal dan kista dengan lebih baik yang biasanya didapatkan pada USG. Juga tes ini sangat sangat sensitive untuk mengidentifikasi batu ginjal. CT-Scan yang memakai kontras IV sebaiknya dihindari pada pasien dengan gangguan ginjal untuk menghindari gagal ginjal akut.

 MRI

MRI sangat berguna pada pasien yang membutuhkan CT-Scan tapi tidak bisa diberikan kontras IV. Ini sangat berguna dalam diagnosis thrombosis vena ginjal. Magnetic resonance angiografi juga menjadi sangat berguna utnuk diagnosis stenosis arteri ginjal. c. Pemeriksaan Histopatologi(2,11)

Biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal dilakukan pada pasien dengan ukuran ginjal yang masih mendekati normal, dimana diagnosis secara noninvasive tidak bisa ditegakkan. Pemeriksaan histopatologi ini bertujuan untuk mengetahui etiologi, menetapkan terapi, prognosis, dan mengevaluasi hasil terapi yang telah diberikan. Biopsi ginjal kontraindikasi dilakukan pada keadaan dimana ukuran ginjal yang sudah mengecil, ginjal polikistikk hipertensi yang tidak terkendali, infeksi perinefrik, gangguan pembekuan darah, gagal napas, dan obesitas.

d. EKG(2)

Mungkin abnormal menunjukkan ketidakseimbangan elektrolit dan asam basa, aritmia, hipertrofi ventrikel dan tanda tanda perikarditis.

PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan penyakit ginjal kronik meliputi:(11)  Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya

 Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid  Memperlambat pemburukan fungsi ginjal

 Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular  Pencegahan dan terapi terhadap komplikasi

 Terapi pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal. a. Terapi Spesifik Terhadap Penyakit Dasarnya(11)

Waktu yang paling tepat untuk terapi penyakit dasarnya adalah sebelum terjadinya penurunan LFG, sehingga pemburukan fungsi ginjal tidak terjadi. Pada ukuran ginjal yang masih normal secara ultrasonografi, biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal dapat menentukan indikasi yang tepat terhadap terapi spesifik. Sebaliknya, bila LFG sudah menurun sampai 20-30% dari normal, terapi terhadap penyakit dasar sudah tidak banyak bermanfaat.

(7)

Penting sekali untuk mengikuti dan mencatat kecepatan penurunan LFG pada pasien Penyakit Ginjal Kronik. Hal ini untuk mengetahui kondisi komorbid yang dapat memperburuk keadaan pasien. Factor-faktor komorbid ini antara lain, gangguan keseimbangan cairan, hipertensi yang tidak terkontrol, infeksti traktus urinarius, obstruksi traktus urinarius, obat-obat nefrotoksik, bahan radiokontras, atau peningkatan aktivitas penyakit dasarnya.

c. Menghambat Perburukan Fungsi Ginjal(6,11)

Faktor utama penyebab perburukan fungsi ginjal adalah terjadinya hiperfiltrasi glomerulus. Dua cara penting untuk mengurangi hiperfiltrasi glomerulus ini adalah:

 Pembatasan asupan protein. Pembatasan asupan protein mulai dilakukan pada LFG < 60 ml/mnt, sedangkan di atas nilai tersebut, pembatasan asupan potein tidak selalu dianjurkan. Protein diberikan 0,6-0,8/kg/kgBB/hari, yang 0,35-0,5 gr di antaranya merupakan protein nilai biologi tinggi. Jumlah kalori yang diberikan sebesar 30-35 kkal/kgBB/hari. Dibutuhkan pemantauan yang teratur terhadap status nutrisi pasien. Bila terjadi malnutrisi, jumlah asupan kalori dan protein dapat ditingkatkan. Berbeda dengan lemak dan karbohidrat, kelebihan potein tidak disimpan dalam tubuh tapi dipecah menjadi urea dan substansi nitrogen lain, yang terutama diekskresikan melalui ginjal. Selain itu, makanan tinggi protein yang mengandung ion hydrogen, posfat, sulfat dan ion unorganik lain juga diekskresikan melalui ginjal. Oleh karena itu, pemberian diet tinggi protein pada pasien Penyakit Ginjal Kronik akan mengakibatkan penimbunan substansi nitrogen dan ion anorganik lain, dan mengakibatkan gangguan klinis dan metabolic yang disebut uremia. Dengan demikian, pembatasan asaupan protein akan mengakibatkan berkurangnya sindrom uremik. Masalah penting lain adalah, asupan protein berlebih akan mengakibatkan perubahan hemodinamik ginjal berupa peningkatan aliran darah dan tekanan intraglomerulus, yang akan meningkatkan progresifitas perburukan fungsi ginjal. Pembatasan asupan protein juga berkaitan dengan pembatasan asupan fosfat, karena protein dan fosfat selalu berasal dari sumber yang sama. Pembtasan fosfat perlu untuk mencegah terjadinya hiperfosfatemia.  Terapi Farmakologis untuk mengurangi hipertensi intraglomerulus. Pemakaian obat

antihipertensi, di samping bermanfaat untuk memperkecil risiko kardiovaskular juga sangat penting untuk memperlambat pemburukan kerusakan nefron dengan mengurangi hipertensi intraglomerulus dan hipertrofi glomerulus. Di samping itu, sasaran terapi farmakologis sangat terkait dengan derajat proteinuria. Saat ini diketahui secara luas bahwa, proteinuria merupakan factor risiko terjadinya pemburukan fungsi ginjal, dengan kata lain derajat proteinuria berkaitan dengan proses perburukan fungsi ginjal pada penyakit ginjal kronik. Beberapa obat antihipertensi, terutama ACEI (Angiotensin Converting Enzyme/ACE inhibitor), melalui berbagai studi terbukti dapat memperlambat proses perburukan fungsi ginjal. Hal ini terjadi lewat mekanisme kerjanya sebagai antihipertensi dan antiproteinuria. d. Pencegahan dan Terapi terhadap Penyakit Kardiovaskular(10)

Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular merupakan hal yang penting, karena 40-45% kematian pada penyakit ginjal kronik disebabkan oleh penyakit kardiovaskular. Hal-hal yang termasuk dalam pencegahan dan terapi penyakit kardiovaskular adalah, pengendalian diabetes, pengendalian hipertensi, pengendalian dislipidemia, pengendalian anemia,

(8)

pengendalian hiperfosfatemia dan terapi terhadap kelebihan cairan dan gangguan keseimbangan elektrolit. Semua ini terkait dengan pencegahan dan terapi terhadap komplikasi penyakit ginjal kronik secara keseluruhan.

e. Pencegahan dan Terapi Terhadap Komplikasi(6,11)

Penyakit ginjal kronik mengakibatkan berbagai komplikasi yang manfiestasinya sesuai dengan derajat penurunan fungsi ginjal yang terjadi. Beberapa diantaranya antara lain:

 Anemia

Anemia terjadi pada 80-90% pasien penyakit ginjal kronik. Anemia pada penyakit ginjal kronik terutama disebabkan oleh defisiensi eritropoietin. Hal-hal lain yang ikut berperan dalam terjadinya anemia adalah defisiensi besi, kehilangan darah (misalnya perdarahan saluran cerna, hematuri), masa hidup eritrosit yang pendek akibat terjadinya hemolisis, defisiensi asam folat, penekanan sumsum tulang oleh substansi uremik, proses inflamasi akut maupun kronik. Evaluasi terhadap anemia dimulai saat kadar hemoglobin < 10 g% atau hematokrit < 30%, meliputi evaluasi terhadap status besi (kadar besi serum, kapasitas ikat besi total/Total Iron Binding Capacity, feritin serum), menceari sumber perdarahan, morfologi eritrosit, kemungkinan adanya hemolisis dan lain sebagainya. Penatalaksanaan terutama ditujukan kepada pada penyebab utamanya, di samping penyebab lain bila ditemukan. Pemberian eritropoietin (EPO) merupakan hal yang dianjurkan. Dalam pemberian EPO ini, status besi harus selalu mendapat perhatian karena EOP memerlukan besi dalam mekanisme kerjanya. Pemberian transfuse pada penyakit ginjal kronik harus dilakukan secara hati-hati, berdasarkan indikasi yang tepat dan pemantauan yang cermat. Transfusi darah yang dilakukan secara tidak cermat dapat mengakibatkan kelebihan cairan tubuh, hiperkalemia dan pemburukan fungsi ginjal. Sasaran hemoglobin menurut berbagai studi klinik adalah 11-12 g/dl.

 Pembatasan Cairan dan Elektrolit

Pembatasan asupan air pada pasien penyakit ginjal kronik, sangat perlu dilakukan. Hal ini bertujuan untuk mencegah terjadinya edema dan komplikasi kardiovaskular. Air yang masuk ke dalam tubuh dibuat seimbang dengan air yang keluar, baik melalui urin maupun insensible water loss. Dengan berasumsi bahwa air yang keluar melalui insensible water loss antara 500-800 ml/hari (sesuai dengan luas permukaan tubuh), maka air yang masuk dianjurkan 500-800 ml ditambah jumlah urin.

Elektrolit yang harus diawasi asupannya adalah kalium dan natrium. Pembatasan kalium dilakukan, karena hiperkalemia dapat mengakibatkan aritmia jantung yang fatal. Oleh karena itu, pemberian obat-obat yang mengandung kalium dan makanan yang tinggi kalium (seperti buah dan sayuran) harus dibatasi. Kadar kalium darah dianjurkan 3,5-5,5 mEq/lt. Pembatasan natrium dimaksudkan dengan mengendalikan hipertensi dan edema. Jumlah garam natrium yang diberikan disesuaikan dengan tekanan darah dan derajat edema yang terjadi.

 Osteodistrofi Renal

Penatalaksanaan osteodistrofi renal dilaksanakan dengan cara mengatasi hiperfofatemia dan pemberian hormone kalsitriol (1.25(OH)2D3). Penatalaksanaan hiperfosfatemia

(9)

meliputi pembatasan asupan fosfat, pemberian pengikat fosfat dengan tujuan menghambat absorbs fosfat di saluran cerna. Dialisis yang dilakukan pada pasien degnan gagal ginjal juga ikut berperan dalam mengatasi hiperfosfatemia

 Mengatasi Hiperfosfatemia

 Pembatasan asupan fosfat. Pemberian diet rendah fosfat sejalan dengan diet pada pasien penyakit ginjal kronik secara umum, yaitu tinggi kalori, rendah protein dan rendah garam, karena fosfat sebagian terkandung dalam daging dan produk hewan seperti susu dan telur. Asupan fosfat dibatasi 600-800 mg/hari. Pembatasan asupan fosfat yang terlalu ketat tidak dianjurkan, untuk menghindari terjadinya malnutrisi.

 Pemberikan pengikat fosfat. Pengikat fosfat yang banyak dipakai adalah, garam kalsium, aluminium hidroksida, garam magnesium. Garam-garam ini diberikan secara oral, untuk menghambat absorbs fosfat yang berasal dari makanan. Garam kalsium yang banyak dipakai adalah kalsium karbonat (CaCO3) dan calcium acetate.

Pemberian bahan kalsium memetik (calcium mimetic agent). Akhir-akhir ini dikembangkan sejenis obat yang dapat menghambat reseptor Ca pada kelenjar paratiroid, dengan nama sevelamer hidrokhlorida. Obat ini disebut calcium mimetic agent, dan dilaporkan mempunyai efektivitas yang sangat baik serta efek samping yang minimal.

 Keseimbangan asam-basa

Metabolik asidosis yang menetap seringkali menimbulkan demineralisasi tulang, serta hiperkalemia. Untuk mempertahankan keseimbangan asam basa perlu diberikan suplemen natrium bikarbonat dimulai dari dosis 2 mmol/kg/hari, dengan pemantauan pH dan kadar bikarbonat pada analisis gas darahnya.

f. Terapi Pengganti Ginjal(10,11)

Terapi pengganti ginjal dilakukan pada Penyakit Ginjal Kronik stadium , yaitu pada LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi pengganti tersebut dapat berupa hemodialisis, peritoneal dialisis atau transplantasi ginjal.

Pada umumnya indikasi dialisis pada GGK adalah bila laju filtrasi glomerulus (LFG sudah kurang dari 5 mL/menit) yang di dalam pratek dianggap demikian bila TKK < 5 mL/menit. Keadaan pasien yang hanya mempunya TKK < 5 mL/menit tidak selalu sama, sehingga dialysis dianggap baru perlu dimulai bila dijumpai salah satu dari hal tersebut di bawah:

 Keadaan umum buruk dan gejala klinis nyata  K serum > 6 mEq/L

 Ureum darah > 200 mg/dL  pH darah < 7,1

 Anuria berkepanjangan ( > 5 hari )  Fluid overloaded

KOMPLIKASI

Komplikasi yang dapat dialami oleh pasien CKD ialah:(11)  Penyakit kardiovaskular akibat dari hipertensi

(10)

 Osteodistrofi renal

 Gangguan hematologi :anemia  Asidosis metabolik BAB II LAPORAN KASUS IDENTITAS PASIEN  Nama: Nn. CC  Umur: 25 tahun

 Jenis Kelamin: Perempuan  Alamat: Bulukumba

 Ruangan: LIAD K5/III RSWS  Nomor RM : 447982

(11)

ANAMNESIS

Anamnesis: Autoanamnesis Keluhan Utama: Sesak Napas Anamnesis Terpimpin:

 Sejak 3 hari yang lalu, terus menerus, lebih nyaman dengan posisi duduk, sesak saat aktivitas (+), tidak dipengaruhi oleh cuaca, riwayat terbangun tengah malam karena sesak napas (-), riwayat sesak saat baring (+), nyeri dada (-)

 Mual (+), muntah (+), NUH (+).  Demam (-), riwayat demam (-)  Sakit kepala (-), pusing (-).  Batuk (-)

 BAK : tidak lancar, volume kesan berkurang

 BAB : Encer sudah 3 hari, frekuensi 1x/hari, darah (-), lendir (-)

Riwayat Penyakit Sebelumnya: Riwayat asma (-)

Riwayat penyakit ginjal (+) sejak tahun 2008, hanya diberi obat dari dokter di Bulukumba, tetapi OSI tidak mengetahui jenis obat apa yang diberikan, lalu bengkak seluruh badan dan di-HD 1x bulan 10 yang lalu. Saat itu TD 140, control di poli RSWS diberi Diltiazem 100 0-0-1

Bengkak seluruh badan bulan lalu

STATUS PRESENT  Sakit sedang  Gizi Kurang

Berat badan : 44 kg

Berat badan koreksi: 44 – (44x25%) = 33 Tinggi badan : 148 cm. IMT : 15,06 kg/m2  Kesadaran Composmentis STATUS VITAL  TD : 180/130 mmHg  N : 98x/menit

(12)

 P : 32x/menit  S : 36.6 0C PEMERIKSAAN FISIS

Kepala: Anemis (+), ikterus (-), sianosis (-)

Leher: Tidak didapatkan massa tumor, tidak ada nyeri tekan, DVS R+2 cmH2O. Thorax :

 I : simetris kiri = kanan, ikut gerak napas. Bentuk : normochest

 P : tidak ada massa tumor, tidak ada nyeri tekan, vocal fremitus kiri=kanan  P : sonor, batas paru hepar ICS V kanan depan

 A : BP Bronkovesikuler, BT: Rh , Wh -/-Jantung :

 I : ictus cordis tidak nampak  P : ictus cordis teraba

 P : batas jantung dalam batas normal  A : BJ I/II murni reguler, BT (-)

Abdomen:

 Inspeksi : datar, ikut gerak napas  Auskultasi : peristaltik (+) kesan normal  Palpasi : nyeri tekan (-)

 Perkusi : tympani, shifting dullness (+) Ekstremitas:

 Edema (+)/(+)

Pemeriksaan Lab (16,17 November 2010):

WBC 10.55 Trigliserida 222 Albumin 3 Natrium 135

RBC 2.20 GDS 59 Globulin 4.9 Kalium 5.3

- -

(13)

-HGB 5.9 Ureum 324 Kolestero l Total 159 Chlorid a 104 HCT 17.7 Kreatinin 21.6 HDL 30 MCV 88.5 SGOT 19 LDL 75 MCHC 33.3 SGPT 12 PLT 203 Protein Total 7.9

Pemeriksaan USG (17 November 2010)

Kesan : PNC bilateral, tanda-tanda kongestive liver, ascites DIAGNOSIS SEMENTARA:

 Uremic Lung

 CKD Stage V e.c. PNC Bilateral  CHF NYHA IV

 Anemia pro evaluasi  Diare pro evaluasi  Hipertensi Grade II PENATALAKSANAAN AWAL

 Diet rendah garam, rendah purin, rendah kalium, rendah protein 0,6 gr/kgBB/hari  O2 4 lpm  Ranitidin 150 mg 2x1  NaCl 0.9% : Dexstrose 5% = 1:1 10 tpm  Diltiazem100 0-0-1 (lanjut)  HD  Konsul GH

S: Sesak Napas (+), mual (+), muntah (+), BAK: volume kesan kurang, BAB: Encer sudah 3 hari, frekuensi 1x/hari, darah (-), lendir (-)

O: SS/GK/CM Kepala: anemis (+) Leher: R+2 cmH2O

Thoraks: BP Bronkovesikuler, BT: Rh , Wh -/-Cor: BJ I/II murni regular

Abdomen: Ascites (+) Extremitas: Edema +/+ A: CKD stage V e.c PNC

T: Diet rendah garam, protein 30 gr/hari, rendah kalium, rendah purin, Diltiazem 100 0-0-1, Transfusi PRC 3 kantung saat HD

-+ +

(14)

RENCANA PEMERIKSAAN  Foto Thorax  Urin lengkap  EKG  Fe  TIBC

 Analisa Gas Darah  Evaluasi Darah Tepi FOLLOW UP

Tanggal Perjalanan Penyakit Instruksi Dokter 18/11/2010 T: 170/110 N: 84x/i P:24x/i S: 35.9 0C Perawatan Hari I

S: sesak menurun post HD, pusing (+), mual (+), muntah (+), berisi cairan warna kecoklatan, , demam (+) tadi malam, mengigil (-), nafsu makan menurun, gatal-gatal (+) sejak tahun 2008, NUH (+)

BAK: sedikit-sedikit, volume + 50 cc, BAB: terakhir tadi malam, sedikit warna kuning kecoklatan, hitam (-)

O: SP= SS/GK/CM

Anemis (+), ikterus (-), sianosis (-) Thorax: BP vesikuler, Rh (-), Wh (-)

Cor: BJ I/II reguler

Abd: cembung, ikut gerak napas shifting dullness (+)

Ext: edema (-/-)

A: CKD stage V e.c PNC Bilateral, CHF NYHA II-III, Hipertensi grade II, Anemia pro evaluasi, Ascites pro evaluasi, Febris pro evaluasi

 Diet rendah garam, rendah purin, rendah kalium, rendah protein 0,6 gr/kgBB/hari  Balance cairan  IVFD NaCl 0,9% : Dextrose 5% = 1:1  10 tpm  Diltiazem 100 1-0-0  PCT tab 3x1 (KP)  Ranitidin 150 mg 2x1 -Cek DR post transfusi (3 kantung) saat HD

-Cek elektrolit, Ureum, Kreatinin post HD 19/11/2010 T: 170/110 N: 80x/i P:28x/i Perawatan Hari II

S: pusing (+), demam (-), mual (+), muntah (+), NUH (+), nafsu makan menurun, gatal-gatal (+)

 Diet rendah garam, rendah purin, rendah kalium, rendah protein 0,6 gr/kgBB/hari

(15)

S: 36,3 0C BAK: + 150 cc sejak kemarin, BAB: 2x, encer, hitam (-)

O: SP= SS/GK/CM Ikterus (-), anemis (+)

Abdomen: Shifting dullness (+) Edema

-/-A: CKD stage V e.c PNC Bilateral, CHF NYHA II-III, Hipertensi grade II, Ascites pro evaluasi

 Balance cairan  IVFD NaCl 0,9% : Dextrose 5% = 1:1  10 tpm  Diltiazem 100 1-0-0  Ranitidin 150 mg 2x1 Lapor ke GH  Jadwalkan HD GH:

 Diet rendah garam, rendah purin, rendah kalium, rendah protein 0,6 gr/kgBB/hari  Diltiazem 200 1-0-0  Rencana HD besok 20/11/2010 T: 160/100 N: 82x/i P:20x/i S: 36,5 0C

Perawatan Hari III

S: pusing (+), sakit dada (+), sakit perut (+), nafsu makan menurun, gatal-gatal (+) berkurang, NUH (+) BAK: + 150 cc, BAB: biasa

O: SP= SS/GK/CM Ikterus (-), anemis (+) Shifting dullness (+), Edema dorsum pedis +/+

A: CKD stage V e.c PNC Bilateral, Hipertensi grade II, CHF NYHA II-III,HD reguler

 Diet rendah garam, rendah purin, rendah kalium, rendah protein 0,6 gr/kgBB/hari  Balance cairan  IVFD NaCl 0,9% : Dextrose 5% = 1:1  10 tpm  Diltiazem 200 1-0-0  Ranitidin 150 mg 2x1  PCT tab 3x1 (KP)  Clonidin 0.15 gr ½-0-½ Rencana HD Edukasi cimino 22/11/2010 T: 170/130 N: 80x/i P:24x/i S: 36,5 0C Perawatan Hari V

S: pusing (-), sakit telinga (+),sakit perut (-), nafsu makan menurun, gatal-gatal (+) berkurang, NUH (+) BAK: + 400 cc, BAB: biasa

O: SP= SS/GK/CM Ikterus (-), anemis (+)

Shifting dullness (+),ascites (+)

 Diet rendah garam, rendah purin, rendah kalium, rendah protein 0,6 gr/kgBB/hari  IVFD NaCl 0,9% :

Dextrose 5% = 1:1  10 tpm

(16)

Edema dorsum pedis

-/-A: CKD stage V e.c PNC Bilateral, CHF NYHA II-III, Hipertensi grade II, HD regular, Otalgia pro evaluasi

 Ranitidin 150 mg 2x1  PCT tab 3x1 (KP)  Clonidin 0.15 gr ½-0-½ Lapor GH buat HD Edukasi cimino Konsul THT 23/11/2010 T: 160/120 N: 80x/i P:24x/I S: 36,2 0C Perawatan Hari VI

S: pusing (-), sakit telinga (+) berkurang, mual (-), muntah (-), nafsu makan menurun, gatal-gatal (+) berkurang

BAK: kesan kurang, BAB: biasa O: SP= SS/GK/CM

Ikterus (-), anemis (+), ascites (+) A: CKD stage V e.c PNC Bilateral, CHF NYHA II-III,Hipertensi grade II, HD regular, Otalgia pro evaluasi

 Diet rendah garam, rendah purin, rendah kalium, rendah protein 0,6 gr/kgBB/hari  IVFD NaCl 0,9% : Dextrose 5% = 1:1  10 tpm  Diltiazem 200 1-0-0  Ranitidin 150 mg 2x1  PCT tab 3x1 (KP)  Clonidin 0.15 gr ½-0-½ Menolak cimino Tunggu Jadwal HD Tunggu hasil konsul THT 23/11/2010

T: 160/120 N: 88x/i P:32x/i S: 36,3 0C

Perawatan Hari VII

S: pusing (-), sakit telinga (+) berkurang, mual (-), muntah (-), BAK: kesan kurang, BAB: biasa O: SP= SS/GK/CM

Ikterus (-), anemis (+), ascites (+) A: CKD stage V e.c PNC Bilateral, CHF NYHA II-III, Hipertensi grade II, HD regular, Serumen Obturans Sinistra

 Diet rendah garam, rendah purin, rendah kalium, rendah protein 0,6 gr/kgBB/hari  Aff infus  Diltiazem 200 1-0-0  PCT tab 3x1 (KP)  Clonidin 0.15 gr ½-0-½

 Forumen tetes telinga Rencana spooling hari kamis

Rencana rawat jalan setelah selesai spooling

(17)

PEMERIKSAAN PENUNJANG Laboratorium

Jenis Pemeriksaan Tanggal pemeriksaan

16/11 17/11 18/11 19/11 DARAH RUTIN WBC 10.5 x 103 9 x 103 RBC 2.20 x 106 3.25 x 106 HBG 5.9 9.0 HCT 17.7 % 27.4% MCV MCH MCHC PLT 203 x 103 190 x 103 Lym % MxD % Neut % PDW MPV KIMIA DARAH DAN ELT SGOT 19 22 SGPT 12 12 Bil. Direk 0.21 Bil. Total 0.45 Ureum 324 194 62 Kreatinin 21.6 16.1 1.8 TKK Asam Urat 9.5 8.9 Natrium 135 136 143 Kalium 5.3 3.3 3.2 Klorida 104 105 108 DM GDS 59 GDP Asam Urat HbA1c LIPID Kol. Tot 159 LDL 75 HDL 30 Trigliserida 222 PETAND A HATI APTTPT Fibrinogen Prot. Total 7.9 5.5 Albumin 3.0 2.9

(18)

Globulin 4.9 2.6 Alfa Feto Protein Alkali Fosfatase HbsAg - - anti Hbs Anti HCV - -Lain-lain Fe Serum TIBC LED I/II CT BT BAB III PEMBAHASAN RESUME

Seorang pasien perempuan berusia 25 tahun masuk rumah sakit dengan keluhan sesak napas, yang dialami sejak 3 hari yang lalu, dirasakan terus menerus, dan lebih nyaman dengan posisi duduk, sesak saat aktivitas (+), tidak dipengaruhi oleh cuaca, riwayat terbangun tengah malam karena sesak napas (-), riwayat sesak saat baring (+), mual (+), muntah (+), nyeri ulu hati (+). BAK: Tidak lancer, volume kesan berkurang. BAB: encer sudah 3 hari, frekuensi 1x/hari, darah (-), lendir (-). Riwayat penyakit sebelumnya yaitu terdapat riwayat penyakit ginjal sejak tahun 2008, dan hanya diberi obat dari dokter di Bulukumba, kemudian bengkak seluruh badan dan di-HD 1x bulan 10 yang lalu. Saat itu TD 140, control di poli RSWS diberi Herbesser CD 100 0-0-1

Dari pemeriksaan fisis, pasien sakit sedang, gizi kurang, composmentis. Tanda vital: tensi: 180/130 mmHg, nadi: 98x/menit, pernapasan: 32x/menit, suhu: 36.6 0C. Thorax: simetris kiri = kanan, massa tumor (-), nyeri tekan (-), vocal fremitus kiri = kanan, perkusi sonor, batas paru herpar setinggi intercosta VI dextra, bunyi pernapasan bronkovesikuler, rhonki pada kedua

(19)

basal paru, wheezing (-). Jantung dalam batas normal. Abdomen datar, ikut gerak napas, peristaltik (+) kesan normal, nyeri tekan (+), perkusi timpandi, shifting dullness (+).

Dari pemeriksaan hasil laboratorium didapatkan WBC 10.55 x 103/ul, RBC 2.20, HGB 5.9, HCT 17.7, MCV 88.5, MCHC 33.3, PLT 203, Trigliserida 222, GDS 59, Ureum 324, Kreatinin 21.6, SGOT 19, SGPT 12, Protein total 7.9, Albumin 3, Globulin 4.9, Kolesterol total 159, HDL 30, LDL 75. Hasil pemeriksaan USG kesan PNC Bilateral, tanda-tanda congestive liver, ascites.

Berdasarkan hasil anamnesa, pemeriksaan fisis dan hasil laboratorium serta pemeriksaan penunjang lainnya, pasien didiagnosis sementara sebagai Uremic Lung, CKD stage V et causa PNC, anemia e.c penyakit kronis, CHF NYHA II-III Hipertensi Grade II, Diare pro evaluasi

DISKUSI

Pasien masuk dengan keluhan sesak napas selama 3 hari, yang dirasakan terus menerus. Banyak penyakit yang dapat menimbulkan sesak napas, di antaranya seperti gagal jantung kongestif, edema paru, asma, uremic lung pada penyakit ginjal kronik, dan penyakit paru lainnya. Tetapi dari hasil anamnesis didapatkan bahwa terdapat riwayat terkena penyakit ginjal pada tahun 2008, sehingga pasien ini kemungkinan mengalami sesak napas karena terjadinya uremic lung karena peningkatan kadar ureum pada penyakit ginjal kronik. Karena berdasarkan Perhimpunan Nefrologi Indonesia (Pernefri) tahun 2000 mencatat penyebab gagal ginjal yang menjalani hemodialisis di Indonesia adalah sebagai berikut:(11)

 Glomerulonefritis dengan insiden sekitar 46.39%  Diabetes Melitus dengan insiden sekitar 18.65%  Obstruksi dan infeksi dengan insiden sekitar 12.85%  Hipertensi dengan insiden sekitar 8.46%

 Sebab lain dengan insiden sekitar 13.65%

Tetapi masih harus dilakukan pemeriksaan-pemeriksaan lain terutama kadar ureum dalam darah. Dari gejala lainnya dapat dilihat bahwa terdapat juga gejala-gejala uremia seperti mual dan muntah, dan juga pada pasien ini BAK yang dirasakan tidak lancar, dan volumenya kesan berkurang, dimana gejala ini disebut sebagai sindrom uremia, yang berdasarkan teori sindrom

(20)

uremia terdiri dari lemah, letargi anoreksia, mual muntah, nokturia, kelebihan volume cairan (yang bisa mengakibatkan kenaikan berat badan karena edema, asites, peripheral edema), neuropati perifer, pruritus, uremic frost, perikarditis, kejang-kejang sampai koma. Hal ini membuktikan bahwa pasien ini sangat mungkin sudah mengalami gangguan pada ginjalnya. Pasien juga merasakan adanya nyeri ulu hati, yang kemungkinan sudah terjadi iritasi lambung. Pada lambung, terdapat faktor-faktor pertahanan yang mencegah terjadinya tukak pada lambung, seperti adanya mukosa, prostaglandin, dan aliran darah ke mukosa. Tetapi pasien ini mengalami hipertensi yang lama sehingga dapat terjadi gangguan pada aliran darah ke mukosa, yang dapat menyebabkan iskemi dan membuat asam lambung mengiritasi lapisan lambung yang menyebabkan nyeri ulu hati.

Hal ini semakin ditegakkan dari pemeriksaan fisis dengan adanya hipertensi, konjungtiva anemis, shifting dullness, dan edema pada kedua kaki. Berdasarkan teori, hipertensi dapat terjadi oleh penyakit ginjal kronik karena adanya peningkatan aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron intrarenal yang mengakibatkan vasokonstriksi vascular sehingga menyebabkan hipertensi. Tetapi Hipertensi juga bisa menjadi penyebab dari penyakit ginjal kronik itu sendiri, berdasarkan Perhimpunan Nefrologi Indonesia (Pernefri) tahun 2000. Anemia pada kasus ini dapat disebabkan oleh defisiensi eritropoietin, defisiensi besi, kehilangan darah (misalnya perdarahan saluran cerna, hematuri), masa hidup eritrosit yang pendek akibat terjadinya hemolisis, defisiensi asam folat, penekanan sumsum tulang oleh substansi uremik, proses inflamasi akut maupun kronik. Evaluasi terhadap anemia dimulai saat kadar hemoglobin < 10 g % atau hematokrit < 30%, meliputi evaluasi terhadap status besi (kadar besi serum, kapasitas ikat besi total/Total Iron Binding Capacity, feritin serum), mencari sumber perdarahan, morfologi eritrosit, kemungkinan adanya hemolisis dan lain sebagainya. Sehingga melalui pemeriksaan evaluasi darah tepi, dapat dilihat kelainan dari eritrositnya, juga pemeriksaan kadar Fe dan TIBC jika dicurigai anemia defisiensi Fe dimana nilai normal dari Fe ialah 60-180 mg/dl, dan TIBC 200-410 mg/dl. Adanya shifting dullness pada abdomen dan juga pada ekstremitas didapatkan edema pada kedua kaki, yang bisa diakibatkan oleh adanya hipoalbuminemia, dan juga oleh gagal jantung kongestif. Hipoalbuminemia dapat disebabkan karena hilangnya albumin melalui urin, juga karena malnutrisi atau asupan protein yang menurun. Asites dan edema pada kedua kaki dapat disebabkan oleh gagal jantung kongestif, karena ventrikel gagal memompa darah dengan baik sehingga darah akan terbendung dan tekanan di atrium dan vena-vena akan meningkat, termasuk vena porta di hati yang mengakibatkan ascites, dan juga vena-vena perifer yang mengakibatkan edema pada kedua kaki. Kemudian pada pemeriksaan laboratorium didapatkan dengan jelas terjadi penurunan Hb, dan peningkatan ureum dan kreatinin yang sangat signifikan yang disebabkan oleh gangguan fungsi ekskresi dari ginjal. Sedangkan pada pemeriksaan USG didapatkan kesan PNC Bilateral, tanda-tanda congestive liver, ascites. Adanya kesan PNC bilateral merupakan penyebab dari terjadinya penyakit ginjal kronik pada pasien ini. Adanya tanda-tanda congestive liver dan ascites juga merupakan salah satu tanda-tanda dari adanya gagal jantung kongestif. Hal ini sesuai dengan kriteria gagal jantung menurut Framingham Heart Study yaitu:

(21)

 Kriteria Mayor

o Paroxysmal Nocturnal Dyspnoe o Dyspnoe On Effort

o Peningkatan tekanan vena jugularis

o Ronkhi paru o Kardiomegali o Udema paru akut o Gallop S3

o Pemanjangan waktu sirkulasi >25 detik

o Refluks hepatojugular

 Kriteria minor

o Udema pergelangan kaki o Batuk malam

o Hepatomegali o Efusi pleura

o Takikardi (>120x/menit)

o Penurunan kapasitas vital paru (1/3 dari maksimal)

 Kriteria mayor atau minor

o Penurunan berat badan lebih dari 4,5 kg selama 5 hari perawatan

Disebut gagal jantung kongestif bila memenuhi 2 kriteria mayor atau 1 mayor dengan 2 minor. Pada pasien ini, krietria Framingham terpenuhi karena terdapat lebih dari 2 kriteria mayor dan lebih dari 1 kriteria minor.

Hasil-hasil di atas sesuai dengan diagnosa Uremic Lung + CKD Stage V e.c PNC + CHF NYHA IV + Hipertensi Grade II + Anemia pro evaluasi. Dikatakan sebagai CKD stage V karena pada perhitungan dengan menggunakan rumus Kockcroft-Gault yaitu:

LFG (ml/mnt/1,73m2) = (140 – umur) X Berat Badan 72 X Kreatinin plasma (mg/dl) *) pada perempuan dikalikan 0,85

Dan jika dihitung, LFG yang didapatkan pada pasien ini yaitu LFG = 2.35 ml/mnt/1.73m2, yang termasuk pada derajat ke V sehingga diagnosisnya CKD stage V. Hal ini dapat dilihat pada table berikut:

Derajat Penjelasan LFG (ml/mnt/1,72m2)

1 Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau meningkat

> 90 2 Kerusakan ginjal dengan LFG menurun ringan 60 – 89 3 Kerusakan ginjal dengan LFG menurun sedang 30 – 59 4 Kerusakan ginjal dengan LFG menurun berat 15 – 29

5 Gagal ginjal <15 atau dialisis

Tabel Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik atas Dasar Derajat Penyakit

Pengobatan pada pasien dilakukan dengan diet rendah garam, rendah purin, rendah kalium, rendah protein 0,6 gr/kgBB/hari karena adanya gangguan fungsi ginjal, IVFD NaCl 0,9% : Dextrose 5% = 1:1  10 tpm, sebagai penyeimbang elektrolit, dan diberikan hanya 10 tetes per menit karena adanya gangguan fungsi ekskresi ginjal yang tidak mampu menyaring cairan yang

(22)

berlebih, sehingga cairan dapat tertumpuk dalam tubuh. Diberikan juga kombinasi obat antihipertensi seperti Diltiazem 200 dan Clonidin 0.15 untuk menurunkan tekanan darah, kemudian Ranitidin sebagai obat golongan H2 reseptor antagonis yang diberikan untuk mengobati nyeri ulu hati dari pasien. Pasien ini juga menjalani HD yang akan dilakukan saat rawat jalan karena pasien telah memenuhi indikasi dari HD yaitu:

 keadaan umum buruk dan gejala klinis nyata  K serum > 6 mEq/L

 Ureum darah > 200 mg/dL  pH darah < 7,1

 Anuria berkepanjangan ( > 5 hari )  Fluid overloaded

DAFTAR PUSTAKA

1. Anonim., Chronic Kidney Disease (CKD) Management In General Practice, Kidney Health Australia; Australia; 2007,

2. Anonim., Chronic Kidney Disease Symptomps, available from URL:

http://www.emedicinehealth.com/chronic_kidney_disease/page4_em.htm#Chronic

%20Kidney%20Disease%20Symptoms, accesed on 7 November 2010

3. Anonim., Pengertian Gagal Ginjal Kronik, available from URL:

http://www.ezcobar.com/dokteronline/dokter15/index.php?

option=com_content&view=article&id=305:pengertian-gagal-ginjal-kronik&catid=53:perut&Itemid=68

4. Arora, Pradeep., Chronic Renal Failure. [online] 6 Agustus 2010 [cited 7 November 2010]. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/238798-overview

5. Arora, Pradeep., Chronic Renal Failure: Differential Diagnoses & Workup. [online] 6 Agustus 2010 [cited 7 November 2010]. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/238798-diagnosis

6. Arora, Pradeep., Chronic Renal Failure: Treatment & Medication. [online] 6 Agustus 2010 [cited 7 November 2010]. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/238798-treatment

(23)

7. McPhee, Stephen J., Ganong William F., Pathophysiology of Disease, Fifth Edition, McGraw-Hill Companies Medical Publishing Division; New York; 2006; p. 469-473

8. Noer, Sjaifullah, Mohammad. Gagal Ginjal Kronik pada Anak. Divisi Nefrologi Anak, Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UNAIR; Surabaya; p. 4

9. Parker, Sharma., General Medicine, Second Edition, Mosby An Imprint of Elsevier Limited; Italy; p. 250-252

10. Rahardjo, Pudji, dkk., Hemodialisis, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid I, Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; Jakarta; 2007; h. 579-580.

11. Suwitra, Ketut., Penyakit Ginjal Kronik, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid I, Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; Jakarta; 2007; h. 570-573.

Gambar

Tabel Kriteria Penyakit Ginjal Kronik
Tabel 2. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik atas Dasar Derajat Penyakit (Dikutip dari kepusakaan 11)
Gambar 1. Siklus terjadinya gagal ginjal progresif.
Tabel Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik atas Dasar Derajat Penyakit

Referensi

Dokumen terkait

Kotler, Philips dan Kevin Lane Keller, Manajemen Pemasaran (Edisi Kedua.. Belas), Cetakan

Bila tidak ada penambahan harga masuk (Rp 0,-) diduga jumlah kunjungan per tahun sebesar 409 orang dengan nilai total ekonomi ekowisata di kawasan TNDS adalah nilai yang

Dapatkah anak menendang bola kecil (sebesar bola tenis) Gerak kasar ke depan tanpa berpegangan pada apapun? Mendorong tidak ikut dinilai. Bila diberi pensil, apakah anak

model pengajaran langsung adalah salah satu pendekatan mengajar yang dirancang khusus untuk menunjang proses belajar peserta didik yang berkaitan dengan

Masalah keperawatan yang timbul pada klien antara lain: defisit volume cairan dan elektrolit berhubungan dengan perdarahan intra abdomen; nyeri berhubungan adanya trauma abdomen

a) Jenis penelitian berdasarkan metode (kualitatif/kuantitatif), dan jenis penelitian berdasarkan tujuan (deskriptif, eksplanatif, prediktif). Pada penelitian yang

Corporate (Tanggung Jawab Sosial Perusahaan: Apa itu dan Apa Manfaatnya Bagiperusahaan), http://www.policy.hu/suharto/Naskah%20PDF/CSRIntipe sanJt.pdf. Edi Suharto,

Contoh sistem distribusi instalasi listrik pada fasilitas pelayanan kesehatan.. Tegangan #urge ini da$at men'e+a+kan keru#akan $ada jaringan dan $eralatan li#trik* karena