i RESPONSI KASUS
CHRONIC KIDNEY DISEASE ON HEMODIALYSIS REGULAR
Pembimbing :
dr. I Gusti Ngurah Agung Tresna Erawan,M.Biomed,Sp.PD
Mahasiswa :
Ni Kadek Dwita Hening Tias (1702612174)
DALAM RANGKA MENJALANI KEPANITERAAN KLINIK MADYA DI BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM RSUP SANGLAH
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA 2019
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan karunia-Nya, sehingga penulisan responsi yang berjudul
“Chronic Kidney Disease on Hemodialysis Regular” ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya.
Responsi ini dibuat sebagai prasyarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik Madya di Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam RSUP Sanglah Denpasar.
Dalam penyusunan responsi ini, tidak terlepas dari bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, untuk itu dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat :
1. Dr. dr. Ketut Suega, Sp.PD-KHOM selaku Kepala Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar,
2. dr. Made Susila Utama, Sp.PD-KPTI selaku Koordinator Pendidikan sekaligus Pembimbing kami di Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar,
3. dr. I Gusti Ngurah Agung Tresna Erawan,M.Biomed,Sp.PD selaku pembimbing dalam penyusunan laporan ini,
4. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas dukungan dan bantuan yang telah diberikan dalam penyelesaian laporan ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan responsi ini tidak luput dari berbagai kekurangan. Oleh karena itu, penulis terbuka untuk saran dan kritik yang membangun dari pembaca. Akhir kata, semoga responsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Denpasar, Agustus 2019
Penulis
iii DAFTAR ISI
Halaman
Halaman Judul ... i
Kata Pengantar ... ii
Daftar Isi ... iii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 3
2.1 Definisi ... 3
2.2 Klasifikasi ... 3
2.3 Epidemiologi ... 5
2.4 Faktor Risiko ... 6
2.5 Patofisiologi ... 9
2.6 Manifestasi Klinis ... 11
2.7 Diagnosis ... 12
2.8 Penatalaksanaan ... 14
2.9 Prognosis ... 23
BAB III LAPORAN KASUS ... 25
BAB IV PEMBAHASAN ... 33
BAB V SIMPULAN ... 36
DAFTAR PUSTAKA ... 37
1 BAB I PENDAHULUAN
Chronic Kidney Disease atau Penyakit Ginjal Kronis (PGK) merupakan proses patofisiologis dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan umumnya berakhir dengan gagal ginjal. 1,3 The Kidney Disease Outcomes Quality Initiative (K/DOQI) of the National Kidney Foundation (NKF) mendefinisikan Chronic Kidney Disease sebagai kerusakan ginjal secara struktural atau fungsional yang berlangsung dalam waktu > 3 bulan, atau tingkat penurunan Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) kurang dari 60 mL/min/1.73 m2dalam waktu ≥3 bulan yang dengan atau tanpa kerusakan struktur ginjal.2
Chronic Kidney Disease dipengaruhi oleh banyak faktor resiko dengan patofisiologi yang masih belum dimengerti secara sempurna. Chronic Kidney Disease merupakan faktor risiko independen untuk penyakit kardiovaskular (CVD). Semua tahapan CKD dikaitkan dengan peningkatan risiko morbiditas kardiovaskular, mortalitas dini, dan / atau penurunan kualitas hidup. Kebanyakan penderita CKD tidak sampai pada tahap kegagalan ginjal, namun penderita akan meninggal terlebih dahulu karena komplikasi dari penyakit kardiovaskular.1,3
Prevalensi CKD di negara maju mencapai 11-13% dari populasi. Di negara barat CKD telah menjadi suatu permasalahan dengan angka peningkatan kasus dialisis pertahun 6-8%. Dari suatu Systematic Review and Meta-Analysis yang dilakukan oleh Oxford Univeristy didapatkan prevalensi CKD stadium 1 - 5 adalah 13,4% dan 10,6% stadium 3 – 5.3 Di Indonesia sendiri jumlah penderita baru CKD semakin meningkat setiap tahunya. Menurut IRR, pada tahun 2014 tercatat penderita baru CKD sebanyak 17.193 dan khususnya untuk daerah Bali sebanyak 1.258 pasien.4
Chronic Kidney Disease disebabkan oleh berbagai etiologi yang mendasari, yang menyebabkan kerusakan massa ginjal dengan sklerosis yang menetap dan hilangnya nefron akan mengarah ke penurunan progresifitas Laju Filtrasi Glomerulus. Dalam menghadapi cedera, ginjal memiliki kemampuan untuk mempertahankan Laju Filtrasi Glomerulus. Meskipun kerusakan nefron
2
terjadi secara progresif, Laju Filtrasi Glomerulus dipertahankan dengan hiperfiltrasi dan kompensasi hipertrofi nefron sehat yang masih tersisa.
Kandungan toksin dalam plasma seperti urea dan kreatinin mulai menunjukkan peningkatan yang signifikan hanya setelah total Laju Filtrasi Glomerulus menurun hingga 50%, dimana ginjal sudah tidak mampu mengkompensasi lagi.5
Pada CKD, fungsi ekskresi dan sekresi ginjal menurun dan mengakibatkan berbagai gejala secara sistemik. Pasien dengan penyakit gagal ginjal kronik stadium 1-3 umumnya bersifat asimtomatik, sedangkan manifestasi klinis biasanya muncul pada stadium 4-5. Manifestasi klinis yang timbul pada CKD dapat sesuai dengan penyakit yang mendasari, karena adanya sindrom uremia, maupun gejala dari komplikasi yang ditimbulkan.1
Modifikasi faktor resiko CKD dilakukan pada hipertensi, obesitas, sindroma metabolik, hiperkolesterolemia, anemia, dan rokok. Menurut KDIGO, CKD dengan tanda-tanda kegagalan ginjal (serositis, gangguan keseimbangan asam-basa atau elektrolit, pruritus), kegagalan pengontrolan volume dan tekanan darah, gangguan status gizi yang refrakter, dan gangguan kognitif membutuhkan terapi hemodialisis. Pada penderita yang sudah mencapai CKD stadium 4 juga harus dimulai terapi hemodialisis.2
Hemodialisis adalah proses pertukaran zat terlarut dan produk sisa tubuh.
Zat sisa yang menumpuk pada pasien CKD ditarik dengan mekanisme difusi pasif membran semipermiabel. Perpindahan produk sisa metabolik berlangsung mengikuti penurunan gradien konsentrasi dari sirkulasi ke dalam dialisa. Dengan metode tersebut diharapkan pengeluaran albumin yang terjadi pada pasien CKD dapat diturunkan, gejala uremia berkurang, sehingga gambaran klinis pasien juga dapat membaik.2
Penting untuk melakukan diagnosis dini, modifikasi pola hidup, dan pengobatan penyakit yang mendasari. Penanganan CKD memerlukan kerjasama tim medis, pasien, serta keluarga dan lingkungan. Edukasi terhadap pasien dan keluarganya tentang penyakit dan komplikasi yang memungkinkan sangat membantu memperbaiki hasil pengobatan. Meskipun CKD merupakan penyakit yang ireversibel, akan tetapi dengan penangan yang baik dapat mengurangi gejala yang muncul dan memperbaiki kualitas hidup penderitanya1
3 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Chronic Kidney Disease (CKD) atau Penyakit Ginjal Kronis (PGK) adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan pada umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang ireversibel, pada suatu derajat yang memerlukan terapi pengganti ginjal tetap, dapat berupa dialisis atau transplantasi ginjal.1 Kerusakan ginjal mengacu pada berbagai macam kelainan yang ditemukan selama pemeriksaan, yang bisa saja bersifat non-spesifik terhadap penyakit penyebabnya tetapi dapat mengarah pada penurunan fungsi ginjal. Fungsi ekskresi, endokrin, dan metabolik menurun secara bersamaan pada hampir semua kasus CKD.
Adapun yang termasuk kriteria CKD menurut KDIGO 2012 adalah sebagai berikut2:
1. Kerusakan ginjal ≥ 3 bulan, berupa kelainan struktural atau fungional yang dapat dideteksi melalui pemeriksaan laboratorium (albuminuria (AER ≥ 30 mg/24jam; ACR ≥ 30 mg/g [≥3 mg/mmol]), abnormalitas sedimen urin, gangguan elektrolit atau yang lain oleh karena gangguan pada tubulus, kelainan pada pemeriksaan histologi, kelainan struktural yang terdeteksi melalui pemeriksaan radiologi, atau riwayat transplantasi ginjal.2
2. Penurunan Laju Filtrasi Glomerulus (LFG < 60 ml/menit/1,73 m2) dalam waktu lebih dari 3 bulan, dengan atau tanpa kelainan struktural ginjal.2
2.2 Klasifikasi
Klasifikasi CKD didasarkan atas dua hal yaitu atas dasar derajat penyakit dan atas dasar diagnosis etiologi. Klasifikasi atas dasar derajat penyakit, dibuat atas dasar LFG yang dihitung dengan mempergunakan rumus Kockroft-Gault sebagai berikut:
4
Pada perempuan, rumus tersebut dikalikan 0,85. Rumus Kockroft-Gault tidak berlaku pada umur di bawah 18 tahun atau di atas 80 tahun, berat badan di bawah 40 kg atau di atas 100 kg, wanita hamil, pasien penderita Acute Kidney Injury (AKI), kerusakan otot yang luas (crush syndrome, tetraparesis), atau ada anggota tubuh yang tidak lengkap (amputasi).1 National Kidney Foundation merekomendasikan menggunakan CKD-EPI dan MDRD yang terdiri atas beberapa item yang harus diisi yaitu umur, jenis kelamin, ras dan serum kreatinin kemudian akan dikalkulasikan sehingga didapatkan eGFR. 10
Klasifikasi atas dasar derajat penyakit dapat dilihat di tabel berikut:2 Tabel 1. Derajat Penyakit Berdasarkan LFG Dan Albumin
Kategori GFR ( ml/min/1.73m2)
Kategori Albumin Persistent
A1 A2 A3
Peningkatan Normal hingga sedang
Peningkatan sedang
Peningkatan berat
< 30 mg/g
<3mg/mmol
30-300mg/g 3-30mg/mmol
>300mg/g
>30mg/mmol G1 Normal atau
high
>90
G2 Penurunan ringan
60-89
G3a Penurunan ringan samai
sedang
45-59
G3b Penurunan sedang sampai
berat
30-44
G4 Penurunan berat
16-29
G5 Gagal ginjal <15
LFG (ml/menit/1,73m2) = (140 – umur) x berat badan (kg) 72 x kreatinin plasma (mg/dl)
5
Sedangkan klasifikasi atas dasar diagnosis etiologi dilihat di tabel berikut:1 Tabel 2. Klasifikasi Atas Dasar Diagnosis Etiologi
Penyakit Tipe mayor (contoh)
Penyakit ginjal diabetes Diabetes tipe 1 dan 2 Penyakit ginjal non diabetes Penyakit glomerular
(penyakit autoimun, infeksi sistemik, obat, neoplasia)
Penyakit vaskular
(penyakit pembuluh darah besar, hipertensi, mikroangiopati) Penyakit tubulointerstitial
(pielonefritis kronik, batu, obstruksi, keracunan obat)
Penyakit kistik (ginjal polikistik) Penyakit pada transplantasi Rejeksi kronik
Keracunan obat (siklosporin /takrolimus)
Penyakit recurrent (glomerular) Transplant gromerulopathy
2.3 Epidemiologi
Chronic Kidney Diseasemerupakan penyakit yang sering dijumpai pada praktek klinik sehari-hari. Prevalensinya di negara maju mencapai 10-13% dari populasi. Di Australia pada tahun 2015 diperkirakan terdapat 1.7 juta pasien yang menderita Chronic Kidney Disease, atau 1 dari 10 orang di Australia mengalami Chronic Kidney Disease.7 Di negara-negara berkembang lainnya, insiden ini diperkirakan sekitar 40-60 kasus per juta penduduk per tahun.1
Di Indonesia, populasi yang terdiagnosis CKD sebesar 0,2% yang lebih rendah dari prevalensi CKD di negara-negara lain. Menurut data Indonesian Renal Registry (IRR) tahun 2017 proporsi diagnosa utama pasien yang menjalani hemodialisis adalah penyakit ginjal kronik (27637; 90%), gagal ginjal akut pada gagal ginjal kronik (593; 2%) dan gagal ginjal akut (2375; 8%) .4
6 2.4 Faktor Resiko
Menurut data Indonesian Renal Registry (IRR) tahun 2017, hipertensi muncul sebagai penyebab tertinggi. Dikelompokkan pada sebab lain diantaranya nefritis lupus, nefropati urat, intoksikasi obat, penyakit ginjal bawaan, tumor ginjal, dan penyebab yang tidak diketahui. 4
Tabel 3. Penyebab Gagal Ginjal yang Menjalani Hemodialisis di Indonesia Tahun 2017 4
Penyebab Jumlah
Penyakit ginjal hipertensi 36%
Nefropati diabetika 29%
Glomerulopati primer 12%
Pielonefritis kronis 7%
Nefropati urat 1%
Penyakit ginjal pilikistik 1%
Tidak diketahui 1%
Sebab lain 8%
2.4.1 Glomerulonefritis
Seluruh bentuk dari penyakit glomerulonephritis akut dapat menjadi progresif dan menyebabkan perubahan menjadi glomerulonephritis kronik.
Kondisi ini dikarakteristikan sebagai ireversibilitas dan progresifitas glomerulus dan fibrosis dari tubulointerstitial, yang menyebabkan terjadinya penurunan pada laju filtrasi glomerulus (LFG) dan retensi terhadap racun uremia. Bila progresifitas dari glomerulonephritis kronik tidak segera ditangani, maka glomerulonephritis kronik dapat berubah menjadi CKD, penyakit gagal ginjal, dan bahkan penyakit kardiovaskular.2
2.4.2 Diabetes Mellitus
Diabetes mellitus merupakan penyakit menahun yang akan diderita seumur hidup. Diabetes dapat terjadi saat tubuh tidak memproduksi insulin yang cukup atau tubuh tidak dapat menggunakan insulin yang sudah ada. Insulin
7
merupakan hormon yang sangat penting untuk mengatur kadar glukosa dalam darah.8
Diabetes mellitus adalah epidemi yang berkembang dan merupakan penyebab umum penyakit ginjal kronis (CKD) dan gagal ginjal. Nefropati diabetik mempengaruhi kira-kira 20–40% orang yang menderita diabetes, menjadikannya salah satu komplikasi diabetes paling umum. Skrining untuk nefropati diabetik bersama dengan intervensi awal merupakan hal mendasar untuk menunda perkembangan penyakit bersamaan dengan penyediaan yang tepat terhadap kontrol glikemik. Mengingat pertumbuhan populasi sekarang yang terkena diabetes semakin banyak, pengetahuan mengenai keamanan penggunaan berbagai anti-hiperglikemik agen pada mereka dengan nefropati sangat penting.
Secara keseluruhan, diperlukan pengetahuan tentang pencegahan dan manajemen diabetes nefropati serta perawatan yang komprehensif setiap pasien dengan diabetes.8
Diabetes dapat merusak ginjal dengan memberikan gangguan pada aliran darah yang melewati ginjal. Sistem filtrasi pada ginjal dipenuhi oleh pembuluh darah yang sangat kecil. Seiring waktu, tingginya kadar gula dalam darah dapat menyebabkan pembuluh darah tersebut menjadi sempit dan terhambat. Tanpa darah yang cukup, kerusakan dapat terjadi pada ginjal dan albumin dapat melewati sistem filtrasi tersebut dan akan didapatkan pada urin, dimana hal tersebut tidak seharusnya terjadi.6
Rekomendasi untuk skrining nefropati pada diabetes, pasien dengan diabetes harus diskrining setiap tahun. Pada individu dengan diabetes tipe 1,skrining untuk nefropati harus dimulai 5 tahun setelahnyadiagnosis diabetes.
Biasanya dibutuhkan sekitar 5 tahun untuk terjadinya komplikasi mikrovaskular.
Pada pasien diabetestipe 2, skrining harus dimulai sejak diagnosis awal oleh karena awitan diabetes yang tepat sering tidak diketahui. Nefropati diabetik dapat dideteksi dengan pengukuran albumin urin atau kreatinin serum, dan keduanyates harus dilakukan minimal setiap tahun, mereka yang memiliki level abnormal harus melakukan tes ulanglebih cepat. Tahap pertama nefropati biasanya timbulalbumin urin yang meningkat yang memprediksi perkembangan CKD dan penurunan laju filtrasi glomerulus secara bertahap. Beberapa individu dengan
8
CKD, tidak terjadi peningkatan albumin urin meningkat diawalnya. Sehingga penting untuk melakukan tes darah selain tes pengukuran albumin urin.
Disarankan untuk menggunakan kedua modalitas tes tersebut untuk mengidentifikasi kasus nefropatidaripada menggunakan salah satu tes saja.8
Terdapat dua tipe dari diabetes mellitus : 2.4.2.1 Diabetes Mellitus Tipe 1
Diabetes mellitus tipe 1 merupakan penyakit kronik yang ditandai dengan ketidakmampuan tubuh dalam memproduksi insulin karena proses penghancuran sel β di pankreas oleh autoimun. Biasanya diabetes mellitus tipe 1 sudah dapat ditemukan sejak anak-anak, namun penyakit ini juga dapat berkembang pada dewasa dengan umur 30-40 tahun. 8
Tidak seperti pasien dengan diabetes mellitus tipe 2, pasien dengan diabetes mellitus tipe 1 biasanya tidak mengalami obesitas dan biasanya muncul diawali dengan diabetic ketoacidosis (DKA). Karakteristik yang terlihat pada pasien dengan diabetes mellitus tipe 1 adalah, apabila pasien tersebut berhenti menggunakan insulin, ketosis dan ketoasidosis juga akan muncul. Sehingga pasien dengan diabetes mellitus tipe 1 bergantung dan diobati dengan exogenous insulin yang digunakan sehari-hari disertai dengan diet makanan yang sudah direncanakan.1,8
2.4.2.2 Diabetes Mellitus Tipe 2
Diabetes mellitus tipe 2 terdiri dari beberapa kelainan fungsi yang dikarakteristikkan dengan hyperglikemia dan merupakan hasil kombinasi dari resistensi terhadap kinerja insulin, sekresi insulin yang inadekuat, dan sekresi glukagon yang berlebihan. Diabetes mellitus tipe 2 yang tidak di tangani dengan baik akan menyebabkan komplikasi yang melibatkan gangguan pada sistem mikrovaskular, makrovaskular, dan neuropatik.6,8
Komplikasi mikorvaskular meliputi penyakit pada retina, renal dan juga neuropatik. Komplikasi makrovaskular yang dapat terjadi meliputi gangguan arteri coroner dan penyakit pada pembuluh darah perifer. Sedangkan komplikasi yang terjadi pada sistem neuropati dapat mempengaruhi sistem saraf autonomik maupun perifer.8
9 2.4.3 Hipertensi
Hipertensi adalah tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg. Hipertensi dapat dibedakan menjadi primer/esensial dan sekunder berdasarkan penyebabnya. Hipertensi primer/esensial apabila tidak diketahui penyebabnya dan hipertensi sekunder apabila diketahui penyakit pada ginjalnya atau disebut juga hipertensi renal. Penyakit ginjal hipertensif merupakan salah satu penyebab CKD.8
Hipertensi secara kuat terkait dengan CKD. Beberapa penelitian prospektif besar telah dilakukan pada populasi umum ditemukan bahwa hipertensi merupakan fakor risiko independen yang kuat untuk terjadinya CKD. 6
Hipertensi dapat menimbulkan CKD melalui dua mekanisme, yang pertama yaitu hipertensi kronik dapat mestimulasi terjadinya iskemia pada glomerulus sehingga terjadi penyempitan pembuluh darah kapiler didalam glomerulus dan menurunkan aliran darah ke dalam glomerulus.
Pada pasien dengan CKD terjadi gangguan pada pengaturan natrium ginjal yang menimbulkan peningkatan tekanan darah. Awalnya terjadi peningkatan volume cairan ekstraseluler, yang mengakibatkan peningkatan tekanan darah meskipun terjadi penurunan resistensi perifer total. Pada tahap ini akan terjadi peningkatan curah jantung yang memediasi terjadinya peningkatan tekanan darah yang bermanifestasi sebagai hipertensi sistolik. 8
Namun, secara bertahap, akan terjadi normalisasi volume ECF dan curah jantung. Peningkatan resistensi perifer menimbulkan terjadinya peningkatan tekanan darah, dimana akan meningkatkan tekann darah diastolik. Selanjutnya, aktivasi dari sistem renin-angiotensin dapat merangsang sistem saraf simpatik dan berkontribusi terhadap hipertensi. Selain itu,beberapa faktor lain telah diusulkan berkontribusi terhadap peningkatan resistensi pembuluh darah pada pasien dengan CKD. 8
2.5 Patofisiologi
Chronic Kidney Disease disebabkan oleh adanya gangguan atau kerusakan pada ginjal, terutama pada komponen filtrasi ginjal seperti membran basal glomerulus, sel endotel, dan sel podosit. Kerusakan komponen ini dapat
10
disebabkan secara langsung oleh kompleks imun, mediator inflamasi, atau toksin.
Selain itu, dapat pula disebabkan oleh mekanisme progresif yang berlangsung dalam jangka panjang. Berbagai sitokin dan growth factor berperan dalam menyebabkan kerusakan ginjal.9
Patofisiologi CKD pada awalnya tergantung pada penyakit yang mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih sama. Pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa (surviving nephrons) sebagai upaya kompensasi, yang diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan growth factors. Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang progresif, walapun penyakit dasarnya sudak tidak aktif lagi. Adanya peningkatan aktivitas aksis rennin-angiotensin-aldosteron intrarenal ikut memberikan kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis, dan progresifitas tersebut. Aktivasi jangka panjang aksis renin-angiotensin-aldosteron sebagian diperantarai oleh growth factor seperti transforming growth factor β (TGF-β). Beberapa hal yang juga dianggap berperan terhadap terjadinya progresifitas CKD adalah albuminuria, hipertensi, hiperglikemia, dislipidemia.
Terdapat variabilitas interindividual untuk terjadinya sklerosis dan fibrosis glomerulus maupun tubulointerstitial.1
11
Gambar 1. Patogenesis CKD1 Sumber : N Engl J Med.2004
2.6 Manifestasi Klinis
Pasien dengan CKD derajat 1 hingga 3 dengan LFG >30 mL/menit/1,73 m2 sering asimptomatik atau tidak menunjukkan gejala, yang artinya pasien belum mengalami gejala yang terdapat pada gangguan keseimbangan air ataupun elektrolit, atau kekacauan dari sistem endokrin dan sistem metabolik.2
Gejala lebih sering muncul pada pasien dengan CKD derajat 4 hingga 5 dengan LFG < 30 mL/menit/1,73 m2. Pasien dengan gangguan pada tubulointerstitial, cystic, sindroma nefrotik, dan kondisi lainnya yang sering disebut dengan gejala positif seperti poliuri, hematuria, edema, lebih sering memperlihatkan tanda-tanda penyakit pada derajat yang lebih awal.2
12
Manifestasi klinis berupa sindrom uremik pada pasien dengan CKD derajat 5 biasanya terjadi oleh akibat dari akumulasi dari berbagai racun dengan jenis yang belum diketahui. Asidosis metabolik pada CKD derajat 5 akan termanifestasi sebagai malnutrisi energi dan protein, kehilangan massa tubuh, dan kelemahan otot. Peningkatan kadar garam dan cairan yang di hadapi oleh ginjal pada CKD dapat menyebabkan terjadinya edema perifer dan tidak jarang hingga menjadi edema paru dan hipertensi.2
Anemia pada CKD terjadi akibat penurunan sintesis eritropoietin oleh ginjal, yang akhirnya akan menimbulkan gejala seperti lemas, penurunan kemampuan dalam berkegiatan, penurunan kesadaran dan fungsi imun, dan penurunan kualitas hidup. Anemia juga berhubungan dengan munculnya penyakit kardiovaskular, kejadian baru dari gagal jantung ataupun perburukan dari penyakit gagal jantung, hingga peningkatan kematian yang disebabkan oleh sistem kardiovaskular.2
Manifestasi klinis uremia lainnya yang dapat muncul pada derajat akhir dari CKD, utamanya pada pasien yang tidak menjalani proses dialisa dengan adekuat, diuraikan sebagai berikut: 10
- Perikarditis, yang didapatkan oleh karena komplikasi dari tamponade jantung, yang dapat menyebabkan kematian.
- Ensepalopati yang dapat menyebabkan koma hingga kematian - Neuropati perifer
- Restless Leg Syndrome
- Gejala gastrointestinal seperti anoreksia, mual, muntah, diare - Manifestasi pada kulit seperti kulit kering, pruritus, ekimosis - Lemas, malnutrisi
- Disfungsi ereksi, penurunan libido, amenorea
- Disfungsi platelet dengan peningkatan kemungkinan untuk perdarahan.
2.7 Diagnosis
Diagnosis pasti sering memerlukan biopsi ginjal yang meskipun sangat jarang dilakukan karena dapat menimbulkan komplikasi. Oleh karena itu, biopsi ginjal dilakukan pada pasien tertentu yang diagnosis pastinya hanya dapat
13
ditegakkan dengan biopsi ginjal atau jika diagnosis pasti tersebut akan merubah baik pengobatan maupun prognosis. Pada sebagian pasien diagnosis ditegakkan berdasarkan gambaran klinik yang lengkap dan faktor penyebab yang didapat dari evaluasi klinik dan pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan laboratorium dan pencitraan ginjal.1
2.7.1 Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis pasien CKD meliputi:1
1. Sesuai dengan penyakit yang mendasari seperti diabetes mellitus, infeksi traktus urinarius, batu traktus urinarius, hipertensi, hiperurikemi, Lupus Eritematosus Sistemik dan lain sebagainya.
2. Sindrom uremia yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual muntah, nokturia, kelebihan volume cairan (volume overloaded), neuropati perifer, pruritus, uremic frost, perikarditis, kejang-kejang sampai koma.
3. Gejala komplikasinya antara lain, hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, payah jantung, asidosis metabolik, dan gangguan keseimbangan elektrolit (sodium, kalium, klorida).
2.7.2 Gambaran Laboratorium
Gambaran laboratorium CKD meliputi:1 1. Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya
2. Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan kreatinin serum, dan penurunan LFG yang dihitung mempergunakan rumus Kockcroft-Gault. Kadar kreatinin serum saja tidak bisa dipergunakan untuk memperkirakan fungsi ginjal.
3. Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin, peningkatan kadar asam urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremia, hiper atau hipokloremia, hiperfosfatemia, hipokalemia, asidosis metabolik.
4. Kelainan urinalisis meliputi proteinuria, hematuri, leukosuria, cast, isostenuria.
2.7.3 Gambaran Radiologis
Pemeriksaan radiologis CKD meliputi:1
1. Foto polos abdomen, bisa tampak batu radio-opak
14
2. Pielografi intravena jarang dikerjakan karena kontras sering tidak bisa melewati filter glomerulus, di samping kekhawatiran terjadinya pengaruh toksik oleh kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami kerusakan 3. Pielografi antegrad atau retrograd dilakukan sesuai indikasi
4. Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil, korteks yang menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa, kalsifikasi
5. Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi dikerjakan bila ada indikasi.
2.7.4 Biopsi dan Pemeriksaan Histopatologi Ginjal
Biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal dilakukan pada pasien dengan ukuran ginjal yang masih mendekati normal, dimana diagnosis secara noninvasive tidak bisa ditegakkan. Pemeriksaan histopatologi ini bertujuan untuk mengetahui etiologi, menetapkan terapi, prognosis, dan mengevaluasi hasil terapi yang telah diberikan. Kontra indikasi biopsi ginjal pada keadaan dimana ukuran ginjal sudah mengecil (cintracted kidney), ginjal polikistik, hipertensi yang tidak terkendali, infeksi perinefrik, gangguan pembekuan darah, gagal nafas, dan obesitas.1
2.8 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan CKD meliputi1:
1. Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya
2. Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid (comorbid condition) 3. Memperlambat pemburukan (progression) fungsi ginjal
4. Pencegahan dan terapi terhadap komplikasi
5. Terapi pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal
Perencanaan tatalaksana (action plan) CKD sesuai dengan derajatnya dapat dilihat pada tabel berikut.1
Tabel 4. Rencana Tatalaksana CKD Sesuai dengan Derajatnya1 Derajat LFG(mL/menit/1,73 m2) Rencana Tatalaksana
1 ≥ 90 Terapi penyakit dasar, kondisi komorbid, evaluasi pemburukan (progression) fungsi ginjal, memperkecil risiko kardiovaskular
15
2 60-89 Menghambat pemburukan (progression)
fungsi ginjal
3 30-59 Evaluasi dan terapi komplikasi
4 15-29 Persiapan untuk terapi pengganti ginjal 5 < 15 Dialisis atau terapi pengganti ginjal
2.8.1 Terapi Spesifik Terhadap Penyakit Dasarnya
Waktu yang paling tepat untuk terapi penyakit dasarnya adalah sebelum terjadinya penurunan LFG, sehingga perburukan fungsi ginjal tidak terjadi. Pada ukuran ginjal yang masih normal secara USG, biopsy, dan pemeriksaan histopatologi ginjal dapat menetukan indikasi yang tepat terhadap terapi spesifik.
Sebaliknya, bila LFG sudah menurun sampai 20-30% dari normal, terapi terhadap penyakit dasar sudah tidak banyak bermanfaat.1,2
2.8.2 Pencegahan dan Terapi Terhadap Kondisi Komorbid
Penting sekali mengikuti kecepatan penurunan LFG pada pasien CKD.
Hal ini untuk mengetahui kondisi komorbid yang dapat memperburuk keadaan pasien. Faktor komorbid tersebut antara lain gangguan keseimbangan cairan, hipertensi yang tidak terkontrol, infeksi traktus urinarius, obat-obat nefrotoksik, bahan radiokontras atau peningkatan aktivitas penyakit dasarnya.1,2
2.8.3 Memperlambat Perburukan (Progression) Fungsi Ginjal
Faktor utama penyebab perburukan fungsi ginjal adalah hiperfiltrasi glomerulus. Cara penting untuk mengurangi hiperfiltrasi glomerulus adalah:1 2.8.3.1 Restriksi Protein.
Pembatasan protein mulai dilakukan pada LFG< 60 ml/mnt, sedangkan diatas nilai tersebut, pembatasan asupan protein tidak selalu dianjurkan. Pada penderita CKD konsumsi protein yang direkomendasikan adalah 0,8 gr/kgBB/hari (50% protein dianjurkan yang mempunyai nilai biologi tinggi) dengan kalori 30- 35 kkal/kgBB/hari. Sebab kelebihan protein tidak disimpan dalam tubuh tapi dipecah menjadi urea dan substansi nitrogen lain yang terutama diekskresikan melalui ginjal. Oleh karena itu, diet tinggi protein pada pasien CKD akan mengakibatkan penimbunan substansi nitrogen dan ion anoganik lain dan mengakibatkan gangguan klinis dan metabolik yang disebut uremia. Selain itu,
16
asupan protein berlebih akan mengakibatkan perubahan hemodinamik ginjal berupa peningkatan aliran darah dan tekanan intraglomerulus yang akan meningkatkan perburukan fungsi ginjal. Pembatasan asupan protein juga berkaitan dengan pembatasan asupan fosfat, karena protein dan fosfat selalu berasal dari sumber yang sama. Dibutuhkan pemantauan yang teratur terhadap status nutrisi pasien. Jika terjadi malnutrisi, jumlah asupan protein dan kalori dapat ditingkatkan.1
Pada pasien dengan terapi hemodialisis (HD), untuk mempertahankan keadaan klinik stabil, protein yang dianjurkan adalah 1.2 gr/kgBB/hari karena pada pasien HD kronik sering mengalami malnutrisi. Malnutrisi pada pasien HD kronik disebabkan oleh intake protein yang tidak adekuat, proses inflamasi kronik dalam proses dialisis, dialysis reuse, adanya penyakit komorbid, gangguan gastrointestinal, post dialysis fatigue, dialisis yang tidak adekuat, overhidrasi interdialitik.1
2.8.3.2 Terapi Farmakologis
Pemakaian obat antihipertensi, disamping bermanfaat untuk memperkecil risiko kardiovaskular juga sangat penting untuk menghambat perburukan kerusakan nefron dengan mengurangi hipertensi intraglomerulus dan hipertrofi glomerulus. Di samping itu, sasaran terapi farmakologis sangat terkait dengan derajat proteinuria. Proteinuria merupakan faktor resiko terjadinya perburukan fungsi ginjal. Beberapa obat antihipertensi terutama penghambat enzim yang merubah angiotensin (ACE inhibitor) melalui berbagai studi dapat memperlambat proses perburukan fungsi ginjal lewat mekanismenya sebagai antihipertensi dan antiproteinuria.1
2.8.3.3 Pencegahan dan Terapi Terhadap Penyakit Kardiovaskular
Hal-hal yang termasuk dalam pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular adalah pengendalian diabetes, hipertensi, dislipidemia, anemia, hiperfosfatemia, dan terapi terhadap kelebihan cairan dan gangguan keseimbangan elektrolit. Semua ini terkait dengan pencegahan dan terapi terhadap komplikasi CKD secara keseluruhan.1
17 a. Diabetes Mellitus
Pada pasien DM, kontrol gula darah, hindari pemakaian metformin dan obat-obat sulfonilurea dengan masa kerja panjang. Target HbA1C untuk pasien diabetes mellitus adalah 7% untuk mencegah atau memperlambat komplikasi mikrovaksular. Tidak direkomendasikan untuk target HbA1c <7% pada pasien dengan risiko hiperglikemia.2
b. Hipertensi
Pasien dengan diabetes maupun non-diabetes dengan CKD dan albumin excretion rate (AER) <30 mg/24 jam dengan tekanan darah sistolik >140 mm Hg dan diastolik >90 mm Hg direkomendasikan untuk target tekanan darah adalah
<140/90mmHg. Pada pasien dengan albumin excretion rate >30mg/24 jam dengan tekanan darah >130/80mmHg direkomendasikan untuk menurunkan tekanan darah dengan target ≤130/80mmHg. Penghambat perubahan enzim angiotensin (Angiotensin Converting Enzyme/ ACE inhibitor) atau antagonis reseptor Angiotensin II → evaluasi kreatinin dan kalium serum, bila terdapat peningkatan kreatinin > 35% atau timbul hiperkalemia harus dihentikan.2
Penghambat kalsium, diuretic, beberapa obat antihipertensi, terutama penghambat enzim converting angotensin (ACE inhibitor) dan angiotensin reseptor bloker melalui berbagai studi terbukti dapat memperlambat proses perburukan fungsi ginjal, hal ini terjadi lewat mekanisme kerjanya sebagai antihipertensi dan antiproteinuria. Jika terjadi kontraindikasi atau terjadi efek samping terhadap obat-obat tersebut dapat diberikan calcium channel bloker, seperti verapamil dan diltiazem.1
c. Dislipidemia
Kontrol dislipidemia dengan target LDL,100 mg/dl dianjurkan golongan statin.1
d. Anemia
Koreksi anemia dengan target Hb 11-12 g/dl. Anemia pada CKD terutama disebabkan oleh defisiensi eritropoetin. Hal-hal lain yang ikut berperan dalam terjadinya anemia, yaitu defisiensi asam besi, kehilangan darah (perdarahan saluran cerna, hematuria), masa hidup eritrosit yang pendek akibat hemolisis, defisiensi asam folat, penekanan pada sumsum tulang, proses inflamasi akut
18
maupun kronik. Evaluasi terhadap anemia dimulai saat kada Hb ≤ 10 g/dL atau Hct ≤ 30%, meliputi evaluasi terhadap status besi, mencari sumber perdarahan, morfologi eritrosit, kemungkinan adanya hemolisis. Pemberian transfusi pada CKD harus dilakukan secara hati-hati, berdasarkan indikasi yang tepat dan pemantauan yang cermat. Transfusi darah yang dilakukan secara tidak cermat dapat mengakibatkan kelebihan cairan tubuh, hiperkalemia, dan pemburukan fungsi ginjal.1
e. Hiperfosfatenemia
Pemberian diet rendah fosfat sejalan dengan diet pada pasien CKD secara umum, yaitu tinggi kalori, rendah protein, dan rendah garam, karena fosfat sebagian besar terkandung dalam daging dan produk hewan, seperti susu dan telor. Asupan fosfat dibatasi 600-800 mg/hari. Pembatasan asupan fosfat yang terlalu ketat tidak dianjurkan, untuk mencegah terjadinya malnutrisi. Pemberian pengikat fosfat dapat pula diberikan pada pasien CKD dengan hiperfosfatemia.
Pengikat fosfat yang banyak dipakai, adalah garam kalium, aluminium hidroksida, garam magnesium. Garam-garam ini diberikan secara oral, untuk menghambat absorbs fosfat yang berasal dari makanan. Garam kalsium yang banyak dipakai adalah kalsium karbonat (CaCO3) dan kalsium asetat. Pemberian bahan kalsium mimetic (calcium mimetic agent). Akhir-akhir ini dikembangkan sejenis obat yang dapat menghambat reseptor Ca pada kalenjar paratiroid, dengan nama sevelamer hidrokhlorida. Obat ini disebut juga calcium mimetic agent.1
f. Kelebihan Cairan
Pembatasan cairan dan elektrolit bertujuan mencegah terjadinya edema dan komplikasi kardiovaskular. Air yang masuk ke dalam tubuh dibuat seimbang dengan air yang keluar dengan asumsi bahwa air keluar melalui insensible water loss antara 500- 800 ml/hari, maka air yang dianjurkan masuk 500-800 ml ditambah jumlah urin. Elektrolit yang harus diawasi adalah Na dan K sebab hiperkalemia dapat mengakibatkan aritmia jantung yang fatal dan hipernatremia dapat mengakibatkan hipertensi dan edema. Oleh karena itu pemberian obat- obatan yang mengandung kalium dan makanan yang tinggi kalium seperti sayur dan buah harus dibatasi. Kadar kalium darah dianjurkan 3.5-5.5 mEq/lt .1
19 g. Keseimbangan Asam Basa
Gangguan keseimbangan elektrolit utama pada CKD adalah hyperkalemia dan asidosis. Hiperkalemia dapat tetap asimptomatis walaupun telah mengancam jiwa. Perubahan gambaran EKG kadang baru terlihat setelah hyperkalemia membahayakan jiwa. Pencegahan meliputi:1
- Diet rendah kalium, menghindari buah (pisang, jeruk, tomat) serta sayuran rendah kalium;
- Menghindari pemakaian diuretika K-sparring.
Pengobatan hiperkalemia tergantung derajat kegawatannya, yaitu:1,2 - Gluconas calcicus IV (10 - 20 ml 10% Ca gluconate)
- Glukosa IV (25-50 ml glukosa 50%)
- Insulin-dextrose IV dengan dosis 2-4 unit aktrapid tiap 10 gram glukosa - Natrium bikarbonat IV (25-100 ml 8,4% NaHCO3)
h. Koreksi asidosis metabolik dengan target HCO3 20-22 mEq/l
Asidosis menyebabkan keluhan mual, lemah, air hunger dan drowsiness.
Pengobatan intravena dengan NaHCO3 hanya diberikan pada asidosis berat, sedangkan jika tidak gawat dapat diberikan secara peroral.5
2.8.4 Pencegahan dan Terapi Terhadap Komplikasi 2.8.4.1 Anemia
Penyebab utama terjadinya anemia pada pasien CKD adalah penurunan produksi eritropoetin oleh ginjal. Disamping itu faktor non renal yang juga ikut berkontribusi antara lain infeksi, inflamasi, masa hidup sel darah merah yang pendek pada CKD dan faktor yang berpotensi menurunkan fungsi sumsum tulang seperti defisiensi besi, defisiensi asam folat dan toksisitas aluminium. Selain itu adanya perdarahan saluran cerna tersembunyi dan malnutrisi dapat menambah beratnya keadaan anemia.1
Pemberian eritropoetin (EPO) merupakan hal yang dianjurkan dan status besi harus diperhatikan karena EPO memerlukan besi dalam mekanisme kerjanya.
Tujuan pemberian EPO adalah untuk mengoreksi anemia renal sampai target Hb = 10g/dL. Target pencapaian Hb dengan transfusi darah adalah 7-9g/dL. Pemberian transfusi darah pada pasien CKD harus hati-hati dan hanya diberikan pada keadaan khusus yaitu:1
20
- Perdarahan akut dengan gejala gangguan hemodinamik - Hb < 7g/dL dan tidak memungkinkan menggunakan EPO - Hb < 8g/dL dengan gangguan hemodinamik
Pasien dengan defisiensi besi yang akan diprogram dengan EPO ataupun yang telah mendapat EPO namun respon tidak adekuat, diberi preparat besi intravena.1
2.8.4.2 Osteodistrofi Renal
Merupakan istilah yang menggambarkan secara umum semua kelainan tulang akibat gangguan metabolisme Ca karena terjadinya penurunan fungsi ginjal. Penatalaksanaannya dilakukan dengan cara mengatasi hiperfosfatemia dan pemberian hormon kalsitriol. Hiperfosfatemia diatasi dengan pembatasan asupan fosfat 600-800mg/hari, pemberian pengikat fosfat seperti kalsium karbonat (CaCO3) dan kalsium asetat serta pemberian bahan kalsium mimetik yang dapat menghambat reseptor Ca pada kelenjar paratiroid dengan nama sevelamer hidroklorida. Dialisis yang dilakukan pada pasien dengan gagal ginjal juga berperan dalam mengatasi hiperfosfatemia.1,6
Pemberian kalsitriol dibatasi pada pasien dengan kadar fosfat darah normal dan kadar hormon PTH > 2,5 kali normal karena pemakaian kalsitriol pada kadar fosfat darah yang tinggi dapat menyebabkan terbentuk garam fosfat yang mengendap di jaringan lunak dan dinding pembuluh darah (kalsifikasi metastatik).1,6
Selain itu pemberian kalsitriol juga dapat mengakibatkan penekanan berlebihan terhadap kelenjar paratiroid.1,6
2.8.5 Terapi Pengganti Ginjal berupa Dialisis atau Transplantasi Ginjal Dilakukan pada CKD stadium 5, yaitu pada LFG kurang dari 15 ml/mnt.
Terapi tersebut dapat berupa hemodialisis, peritoneal dialisis atau transplantasi ginjal.5
Pembuatan akses vaskular sebaiknya sudah dikerjakan sebelum klirens kreatinin dibawah 15 ml/menit. Dianjurkan pembuatan akses vaskular jika klirens kreatinin telah dibawah 20 ml/menit. 5
Hemodialisis adalah proses pembuangan zat-zat sisa metabolisme, zat toksis lainnya melalui mebran semipermiabel sebagai pemisah antara darah dan
21
cairan dialisat (suatu cairan khusus untuk dialisis) yang sengaja dibuat dalam dialiser. Di dalam mesin dialiser darah dibersihkan dari zat-zat racun melalui proses difusi dan ultrafiltrasi oleh dialisat, lalu dialirkan kembali dalam tubuh.
Proses hemodialisa dilakukan 1-3 kali seminggi dirumah sakit dan setiap kalinya membutuhkan waktu sekitar 2-4 jam. Tujuan dilakukannya hemodialisis adalah membuang produk metabolisme protein seperti urea, kreatinin, dan asam urat, membuang kelebihan air, mempertahankan atau mengembalikan sistem buffer tubuh, mempertahankan atau mengembalikan kadar elektrolit tubuh, memperbaiki status kesehatan penderita.2
Indikasi hemodialisis dibedakan menjadi 2 yaitu : hemodialisis emergency atau hemodialisis segera dan hemodialisis kronik. Keadaan akut tindakan dialisis dilakukan pada : Kegawatan ginjal dengan keadaan klinis uremik berat, overhidrasi, oliguria (produksi urine <200 ml/12 jam), anuria (produksi urine <50 ml/12 jam), hiperkalemia (terutama jika terjadi perubahan EKG, biasanya K >6,5 mmol/I), asidosis berat (PH <7,1 atau bikarbonat <12 meq/I), uremia (BUN >150 mg/dL), ensefalopati uremikum, neuropati/miopati uremikum, perikarditis uremikum, disnatremia berat (Na>160 atau <115 mmol/I), hipertermia, keracunan akut (alkohol, obat-obatan) yang bisa melewati membran dialisis.11
Indikasi hemodialisis kronis adalah hemodialisis yang dilakukan berkelanjutan seumur hidup penderita dengan menggunakan mesin hemodialisis, dialisis dimulai jika GFR <15 ml/mnt, keadaan pasien yang mempunyai GFR <15 ml/mnt tidak selalu sama, sehingga dialisis dianggap baru perlu dimulai jika dijumpai salah satu dari : 1) GFR <15 ml/mnt, tergantung gejala klinis, 2) gejala uremia meliputi: lethargi, anoreksia, nausea dan muntah, 3) adanya malnutrisi atau hilangnya massa otot, 4) hipertensi yang sulit dikontrol dan adanya kelebihan cairan, 5) komplikasi metabolik yang refrakter. 11
Tindakan hemodialisis saat ini mengalami perkembangan yang cukup pesat, namun masih banyak penderita yang mengalami masalah medis saat menjalani hemodialisis. Komplikasi yang sering terjadi pada penderita yang menjalani hemodialisis adalah gangguan hemodinamik. Tekanan darah umumnya menurun dengan dilakukannya ultrafiltrasi atau penarikan cairan saat hemodialisis. Hipotensi intradialitik terjadi pada 5-40% penderita yang menjalani hemodialisis regular, namun sekitar 5-15% dari pasien hemodialisis tekanan darahnya justru meningkat.
22
Kondisi ini disebut hipertensi intradialitik atau intradialytic hypertension.
Komplikasi akut hemodialisis adalah komplikasi yang terjadi selama hemodialisis berlangsung. Komplikasi yang sering terjadi diantaranya adalah hipotensi, kram otot, mual dan muntah, sakit kepala, sakit dada, sakit punggung, gatal, demam, dan menggigil. Komplikasi kronik yang terjadi pada pasien hemodialisis yaitu penyakit jantung, malnutrisi, hipertensi/volume excess, anemia, Renal osteodystrophy, Neurophaty,disfungsi reproduksi, komplikasi pada akses, gangguan perdarahan,
infeksi, amiloidosis, dan Acquired cystic kidney disease. 11 2.8.6 Terapi nutrisi pada Pasien Chronic Kidney Disease
Seperti telah dibahas pada CKD dikelompokkan menurut stadium, yaitu stadium I, II, III, dan IV. Pada stasium IV dimana terjadi penurunan fungsi ginjal yang berat tetapi belum menjalani terapi pengganti dialisis biasa disebut kondisi pre dialisis. Umumnya pasien diberikan terapi konservatif yang meliputi terapi diet dan medikamentosa dengan tujuan mempertahankan sisa fungsi ginjal yang secara perlahan akan masuk ke stadium V atau fase gagal ginjal. Status gizi kurang masih banyak dialami pasien dengan CKD.12
Faktor penyebab gizi kurang antara lain adalah asupan makanan yang kurang sebagai akibat dari tidak nafsu makan, mual dan muntah. Untuk mencegah penurunan dan mempertahankan status gizi, perlu perhatian melalui monitoring dan evaluasi status kesehatan serta asupan makanan oleh tim kesehatan. Pada dasaranya pelayanan dari suatu tim terpadu yang terdiri dari dokter, perawat, ahli gizi serta petugas kesehatan lain diperlukan agar terapi yang diperlukan kepada pasien optimal. Asuhan gizi (Nutrition Care) betujuan untuk memenuhi kebutuhan zat gizi agar mencapai status gizi optimal, pasien dapat beraktivitas normal, menjaga keseimbangn cairan dan elektrolit, yang pada akhirnya mempunyai kualitas hidup yang cukup baik.12
Terapi Nutrisi pada Pasien CKD:12
1. Pengaturan asupan protein : 0,8 mg/kgBB (pasien non hemodialisis), 1,2 mg/kgBB (pasien hemodialisis).
2. Pengaturan asupan kalori: 35 kal/kgBB ideal/hari
3. Pengaturan asupan lemak: 30-40% dari kalori total dan mengandung jumlah yang sama antara asam lemak bebas jenuh dan tidak jenuh
4. Pengaturan asupan karbohidrat: 50-60% dari kalori total
23 5. Garam (NaCl): 2-3 gram/hari
6. Kalium: 40-70 mEq/kgBB/hari
7. Fosfor: 5-10 mg/kgBB/hari. Pasien HD :17 mg/hari 8. Kalsium: 1400-1600 mg/hari
9. Besi: 10-18mg/hari
10. Magnesium: 200-300 mg/hari 11. Asam folat pasien HD: 5mg
12. Air: jumlah urin 24 jam + 500ml (insensible water loss)
2.9 Prognosis
Pasien dengan CKD secara keseluruhan memiliki kemungkinan untuk mengalami kerusakan yang progresif dari fungsi ginjal, dan menjadi faktor risiko untuk menjadi derajat akhir dari penyakit ginjal. Tingkat progresifitas tersebut bergantung pada umur, penyebab dasar, dan kesuksesan implementasi pada pencegahan sekunder dan individu dari pasien itu sendiri. Pengobatan yang dilakukan pada CKD pada umumnya adalah untuk mencegah terjadinya komplikasi akibat uremia yang dapat menyebabkan morbiditas dan kematian. 6,10
Secara garis besar prognosis dari CKD yang tidak ditangani adalah buruk.
Mortality rate untuk pasien yang menjalani dialisis adalah sebesar 20%. Apalagi jika disertai dengan gangguan kardiovaskular, mortality rate dapat meningkat 30%. Prediksi prognosis dapat dilihat melalui beberapa parameter seperti penyebab CKD, kategori LFG, kategori albuminuria dan faktor resiko serta komplikasi yang sudah terjadi.2
Prognosis berdasarkan LFG dan kategori albuminurianya sebagai berikut.
24
Pasien dengan CKD lebih banyak akan meninggal dengan komplikasi penyakit kardiovaskuler, infeksi, atau jika dialisis tidak tersedia maka akan terjadi sindrom uremia yang progresif (hiperkalemia, asidosis, malnutrisi, perubahan fungsi mental). Diantara pasien yang menjalani terapi pengganti ginjal, penyakit kardiovaskuler merupakan penyebab mortalitas tersering kira-kira 40% dari populasi. Volume ekstraseluler yang overload dan hipertensi diketahui sebagai faktor prediktor terjadinya hipertropi ventrikular kiri dan peningkatan risiko mortalitas akibat penyakit kardiovaskuler di populasi. Setelah disesuaikan dengan umur, ras, jenis kelamin, dan etnik, dan keberadaan diabetes, risiko penyakit kardiovaskuler tetap menjadi penyebab kematian tertinggi terutama pada pasien muda.2
25 BAB III LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : IGNMS
Umur : 59 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Badung
Agama : Hindu
Bangsa/Suku : Indonesia/Bali Pekerjaan : Pensiunan Status Perkawinan : Menikah Tanggal MRS : 29 Juni 2019 Tanggal Pemeriksaan : 4 Juli 2019
II. ANAMNESIS Keluhan Utama
Kejang
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien rujukan dari Rumah Sakit Swasta di Bali datang ke IGD RSUP Sanglah pada tanggal 29 Juni 2019 dengan keluhan kejang sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit. Keluhan kejang sebanyak 3 kali dengan durasi 2-3 menit. Kejang pertama kali terjadi ketika pasien sedang mandi pagi, dimana pasien merasa gemetar dan pandangan gelap. Kemudian pasien diistirahatkan oleh keluarganya, namun pasien ditemukan kejang kembali oleh anaknya. Keesokan harinya, pasien dibawa ke rumah sakit swasta untuk melakukan cuci darah, namun selama menunggu giliran, pasien kejang sebanyak 2 kali dengan durasi 2-3 menit. Pasien juga sempat kejang sebanyak 1 kali setelah melakukan cuci darah. Kejang juga terjadi setelah dua hari masa perawatan di rumah sakit, dan ini merupakan kejang yang reaksinya lebih berat dengan kaki tangan kaku dan mata mendelik ke atas. Setelah kejang, pasien sadar penuh namun sulit diajak
26
berkomunikasi. Bicara cadel disangkal, kelemahan anggota gerak disangkal.
Pasien sempat muntah sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit saat perjalanan menuju rumah sakit swasta. Keluhan muntah dikatakan hanya terjadi 1 kali. Muntahan berwarna kekuningan yang mengandung makan dan minuman yang telah dikonsumsi. Muntah darah disangkal.
Selain itu pasien mengeluhkan tubuh terasa lemas sejak sehari sebelum masuk Rumah Sakit. Keluhan lemas dirasakan diseluruh tubuh.
Keluhan lemas awalnya masih terasa ringan dan hanya memberat saat melakukan aktivitas. Keluhan tersebut awalnya membaik dengan istirahat, namun setelah kejang yang pertama keluhan tersebut menetap dan pasien hanya dapat diam di tempat tidur. BAB dikatakan normal, 1 kali sehari.
BAK dikatakan sedikit.
Istri pasien mengatakan, hari ke-4 masa perawatan, pasien mulai gelisah. Gelisah dikatakan berat hingga pasien tidak dapat tidur sama sekali dan harus diikat. Gelisah seperti berbicara sendiri dan membenturkan kepalanya ke tembok berkali-kali.
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien mengatakan baru pertama kali memiliki keluhan kejang seperti ini. Pasien memiliki riwayat hipertensi sejak 2 tahun yang lalu.
Saat ini pasien rutin mengkonsumsi obat antihipertensi namun lupa nama obatnya. Pasien juga mengatakan rutin kontrol ke dokter setiap kali obat habis.. Riwayat penyakit kencing manis, penyakit jantung, asma disangkal.
Pasien riwayat sakit ginjal dan cuci darah rutin sejak empat setengah tahun yang lalu dan mengonsumsi obat valsartan 1 x 80 mg, Alopurinal 1 x 100 mg, karvedilol x 6,25 mg, dan asam folat 2 x 2 mg. Riwayat rawat inap 2 minggu yang lalu di RSUP Sanglah dengan keluhan infeksi paru. Pasien memiliki riwayat edema pada lengan kanannya sejak tahun 2017 dan sudah dirawat oleh dokter bedah vaskular. Saat ini sudah lebih baik tidak bengkak seperti sebelumnya. Pasien juga pernah mengalami keluhan berbicara sendiri dan berjalan turun dari tempat tidur saat dirawat inap di
27
RSUP Sanglah pada bulan maret. Pasien tidak memiliki riwayat alergi terhadap obat-obatan maupun makanan.
Riwayat Penyakit Keluarga
Adik pasien memiliki riwayat penyakit ginjal. Riwayat penyakit sistemik lain pada anggota keluarga lain seperti penyakit hipertensi, jantung, dan asma disangkal oleh pasien. Riwayat alergi obat maupun makanan dikeluarga disangkal.
Riwayat Sosial
Pasien merupakan seorang pensiunan polisi sejak tahun 2017. Pada saat masih aktif bertugas, pasien sering mengonsumsi kopi, minuman penambah stamina, dan jamu seduh untuk membantu pasien dapat menjalani tugas dan shift malam. Riwayat merokok dan konsumsi alkohol disangkal.
III. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum : Sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis
GCS : E4V5M6
Status Present
Tensi : 150/90 mmHg
Nadi : 82 x/mnt reguler, kuat angkat Respirasi : 20 x/mnt, torakoabdominal Suhu aksila : 36,6o C
SpO2 : 99% dengan udara ruangan Berat badan : 60kg
Tinggi badan : 160cm
BMI : 23,4 kg/m2
Status General
Kepala : Normochepali
Mata : Konjungtiva anemis +/+, Ikterus -/-, Reflek pupil +/+ isokor, Edema palpebra -/-
Telinga : Sekret (-)
28
Hidung : Konka hiperemis (-) Mulut : Sianosis (-)
Tenggorokan : Tonsil T1/T1, Faring hiperemi (-) Leher : JVP 0 cm H2O, Pembesaran KGB (-) Thorax : Simetris statis dinamis
Cor
Inspeksi : Pulsasi ictus cordis tidak tampak Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
Perkusi :
Batas atas : Intercostal II sinistra Batas bawah : Intercostal V sinistra Batas kanan : PSL Dextra ICS IV Batas kiri : MCL sinistra ICS V
Auskultasi : S1 tunggal ,S2 tunggal,regular, murmur (-)
Pulmo :
Inspeksi : Simetris, statis dinamis
Palpasi : Vokal fremitus N/N, Pergerakan simetris Perkusi : sonor/sonor
Auskultasi : vesikuler rhonki wheezing
Abdomen
Inspeksi :Distensi (-), scar (-) Auskultasi : Bising usus (+) normal
Palpasi : Hepar dan lien tidak teraba,nyeri tekan (-) Perkusi :Timpani(+),shifting dullness(-),nyeri ketok
CVA(-)
Inguinal : Pembesaran kelenjar (-) Genitalia : Tidak ada kelainan Ekstremitas : Hangat +/+ Edema +/-
+/+ -/- + +
+ + + +
- - - - - -
- - - - - -
29 IV. PEMERIKSAANPENUNJANG Darah Lengkap (04/07/2019)
Parameter Hasil Satuan Nilai Rujukan Keterangan
WBC 6,39 103/µL 4,1 - 11,0
NEU% 66,74 % 47,0 - 80,0
LYM% 15,37 % 13,0 - 40,0
MONO
%
8,20 % 2,0 - 11,0
EOS% 8,76 % 0,0 - 5,0 Tinggi
BASO% 0.93 % 0,0 - 2,0
RBC 3,28 106/µL 4,00 - 5,20 Rendah
HGB 9,33 g/dL 12,0 - 16,0 Rendah
HCT 29,58 % 36,0 - 46,0 Rendah
MCV 90,31 fL 80,0 - 100,0
MCH 28,48 Pg 26,0 - 34,0
MCHC 31,54 g/dL 31,0 - 36,0
PLT 94,15 103/µL 140 – 440 Rendah
RDW 14,22 % 11,6 - 14,8
Kimia klinik (04/07/2019)
Parameter Hasil Satuan Nilai Rujukan Keterangan
BUN 27,80 mg/dL 8.00 - 23.00 Tinggi
Creatinine 4,09 mg/dL 0,50 – 0,90 Tinggi
e-LFG 14,94 >=90 Rendah
30 Elektrolit (Tanggal 04-07-2019)
Parameter Hasil Satuan Nilai Rujukan Keterangan Natrium (Na) 136 mmol/L 136 – 145
Kalium (K) 3,63 mmol/L 3.50-5.10
Analisa Gas Darah (03/07/2019)
Parameter Hasil Satuan Nilai Rujukan Keterangan
pH 7.42 7.35 – 7.45
pCO2 40,7 mmHg 35.00 – 45.00
pO2 144,40 mmHg 80.00 – 100.00 Tinggi
BEecf 1,0 mmol/L -2 – 2
HCO3 25,60 Mmol/L 22.00 – 26.00
Hasil pemeriksaan foto Thorax AP (19/06/2019)
Foto Thorax AP : (Asimetris, costa 1,2 kanan tak tampak) Cor : besar dan bentuk kesan normal, kalsifikasi aortic knob (+)
Pulmo : tampak infiltrat paracardial kanan dengan pelebaran MPA kanan ringan Tampak penebalan fissura minor
Sinus pleura kanan kiri tumpul
Diaphragma kanan kiri tertutup perselubungan
31 Tulang-tulang : tidak tampak kelainan
Tampak terpasang kateter double lumen dengan tip terproyeksi setinggi os costae 8 kanan posterior
Kesan:
Aortosclerosis Pneumonia
Efusi pleura bilateral (kanan lebih berat)
Tampak terpasang double lumen dengan tip yang terproyeksi disetinggi costae 8 kanan posterior
Hasil pemeriksaan foto Thorax AP (29/06/2019)
Dibandingkan dengan foto sebelumnya tanggal 19/ 06/2019:
Cor : besar dan bentuk kesan normal, dengan kalsifikasi aortic kob (+)
Pulmo : tampak infiltrat pada paracardial kanan. Corakan bronchovaskuler normal Tampak cavitas bersepta berdinding tipis pada hemithorak kiri
Sinus pleura kanan tumpul kiri tidak valid dievaluasi Diaphragma kanan tertutup perselubungan kiri normal Tulang-tulang : tampak osteophyte pada CVTh
Tampak terpasang double lumen dengan tip yang terproyeksi disetinggi costae 8 kanan posterior
Kesan:
32
Dibandingkan dengan foto sebelumnya tanggal 19/ 06/2019:
Pneumonia, kesan berkurang Efusi pleura kanan
Obs cavitas berdinding tipis pada hemithorak kiri, curiga giant bulla pada hemithorak kiri
Lain-lain menetap
V. DIAGNOSIS
1. CKD st V ec susp PNC dd/ NS on HD reguler - Ensefalopati uremikum
- Anemia ringan normokromik normositer on CKD - Hipertensi st I
- Hiperuricemia (AU 6,7)
2. Obs trombositopenia ec susp konsumtif
3. Obs. serial konvulsi ec susp bangkitan sindrom khusus dd/ dyalisis equilibrium syndrome
4. Delirium ec metabolik
VI. PENATALAKSANAAN Terapi :
- IVFD NaCl 0,9 % 8tpm
- Diet CKD 1900 kkal/hari, protein 65 gram/hari - Valsartan 160mg tiap 24jam oral
- Amlodipin 10mg tiap 24jam oral - Karvedilol 6,25mg tiap 12 jam oral - Alopurinol 100mg tiap 24 jam oral - Asam folat 2mg tiap 12 jam oral - HD 3 kali/minggu
- Free heparin
- Tranfusi PRC 2 kolf on HD
Monitoring
Keluhan, vital sign, dan DL post HD
33 BAB IV PEMBAHASAN
Pasien IGNMS, laki-laki usia 59 tahun rujukan dari Rumah Sakit Swasta di Bali datang ke IGD RSUP Sanglah pada tanggal 29 Juni 2019 dengan keluhan kejang sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit. Dari anamnesis, didapatkan keluhan kejang sebanyak 6 kali dengan durasi yang sama yaitu 2-3 menit. Setelah kejang, pasien sadar penuh namun sulit diajak berkomunikasi. Pasien juga mengeluhkan muntah dan badan lemas 1 hari sebelum masuk rumah sakit. BAB dikatakan normal, 1 kali sehari. BAK dikatakan sedikit. Istri pasien mengatakan, hari ke-4 masa perawatan, pasien mulai gelisah.
Pasien memiliki riwayat hipertensi sejak 2 tahun yang lalu. Saat ini pasien rutin mengkonsumsi obat antihipertensi namun lupa nama obatnya. Pasien riwayat sakit ginjal dan cuci darah rutin sejak empat setengah tahun yang lalu. Pasien memiliki riwayat edema pada lengan kanannya sejak tahun 2017 dan sudah dirawat oleh dokter bedah vaskular.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah 150/90mmHg. Pada pemeriksaan mata, ditemukan konjungtiva pasien tampak pucat. Didapatkan juga edema pada lengan kanan atas pasien.
Berdasarkan tinjuan pustaka, manifestasi klinis berupa sindrom uremic pada pasien dengan CKD derajat 5 biasanya terjadi oleh akibat dari akumulasi dari berbagai racun dengan jenis yang belum diketahui. Peningkatan kadar garam dan cairan yang dihadapi oleh ginjal pada CKD dapat menyebabkan terjadinya edema perifer dan tidak jarang hingga menjadi edema paru dan hipertensi.
Anemia pada CKD terjadi akibat penurunan sintesis eritropoietin oleh ginjal, yang akhirnya akan menimbulkan gejala seperti lemas, penurunan kemampuan dalam berkegiatan, penurunan kesadaran dan fungsi imun, dan penurunan kualitas hidup.
Selain itu, gambaran klinis pasien CKD meliputi:1
1. Sesuai dengan penyakit yang mendasari seperti diabetes mellitus, infeksi traktus urinarius, batu traktus urinarius, hipertensi, hiperurikemi, Lupus Eritematosus Sistemik dan lain sebagainya.
34
2. Sindrom uremia yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual muntah, nokturia, kelebihan volume cairan (volume overloaded), neuropati perifer, kulit kering, pruritus, uremic frost, perikarditis, kejang-kejang sampai koma.
3. Gejala komplikasinya antara lain, hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, payah jantung, asidosis metabolik, dan gangguan keseimbangan elektrolit (sodium, kalium, klorida).
Dari hasil pemeriksaan darah lengkap pada kasus ini, dijumpai adanya anemia ringan normokromik normositer (hemoglobin 9,33 g/dl, MCV 90,31 fL, MCH 28,48 Pg). Pada pemeriksaan kimia klinik ditemukan adanya peningkatan kadar BUN (27,80mg/dl), peningkatan kreatinin (4,09 mg/dl), dan penurunan LFG (14,94 berdasarkan hasil laboratorium dan 16,5 berdasarkan rumus Kockcroft-Gault).
Berdasarkan tinjauan pustaka, gambaran laboratorium CKD meliputi1: 1. Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya
2. Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan kreatinin serum serta penurunan LFG yang dihitung mempergunakan rumus Kockcroft-Gault
3. Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin (anemia), peningkatan kadar asam urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremia, hiper atau hipokloremia, hiperfosfatemia, hipokalsemia, asidosismetabolik dan
4. Kelainan urinalisis yang meliputi proteinuria, hematuria, leukosuria,cast, isostenuria.
Pemeriksaan radiologis pada CKD meliputi foto polos abdomen, pielografi intravena, ultrasonografi, serta renografi. Pada foto polos abdomen tampak adanya batu radioopak. Pielografi intravena jarang dikerjakan, karena kontras sering tidak bisa melewati filter glomerulus, disamping kekhawatiran terjadinya pengaruh toksik oleh kotras terhadap ginjal yang sudah mengalami kerusakan. Pielografi antegrad atau retrograd dilakukan sesuai dengan indikasi. Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil, korteks yang menipis, adanya
35
hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa, kalsifikasi. Sedangkan pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi dikerjakan bila ada indikasi.1
Pada pasien ini telah dilakukan pemeriksaan USG dan didapatkan ukuran kedua ginjal yang mengecil dan hidronefrosis sedang kanan. Pada pasien juga telah dilakukan pemeriksaan foto thorax AP, dan didapatkan kesan pneumonia serta efusi pleura bilateral.
Penatalaksanaan yang diberikan pada pasien CKD disesuaikan dengan stadium penyakit pasien tersebut (National Kidney Foundation, 2012). Selain itu diperlukan penatalaksanaan yang komprehensif meliputi1,10:
1. Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya,
2. Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid (faktor komorbid tersebut antara lain gangguan keseimbangan cairan, hipertensi yang tidak terkontrol, infeksi traktus urinarius, obat-obat nefrotoksik, bahan radiokontras atau peningkatan aktivitas penyakit dasarnya),
3. Memperlambat perburukan fungsi ginjal (restriksi protein dan terapi farmakologis),
4. Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular (pengendalian diabetes, hipertensi, dislipidemia,anemia, hiperfosfatemia, dan terapi terhadap kelebihan cairan dan gangguan keseimbangan elektrolit).
5. Pencegahan dan terapi terhadap komplikasi (anemia,osteodistrofi renal, pembatasan cairan dan elektrolit).
6. terapi pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal.
Pada pasien-pasien yang penurunan fungsi ginjalnya berjalan terus, maka saat laju filtrasi glomerulus mencapai 10 - 12 ml/menit (setara dengan klirens kreatinin kurang dari 15 ml/menit atau serum kreatinin lebih dari 6 mg/dl) dianjurkan untuk memulai dialisis (hemodialisis atau peritoneal dialisis). Pilihan pengobatan gagal ginjal terminal yang lain adalah trasnplantasi ginjal.5
Pada kasus, pasien sudah menjalani hemodialisis sejak empat setengah tahun yang lalu. Pada saat hemodialisis, pasien mendapatkan tranfusi PRC sebanyak 2 kolf. Pasien juga sudah mengonsumsi obat untuk hipertensi dan asam urat yang tinggi.
36 SIMPULAN
Penyakit Ginjal Kronis atau Chronic Kidney Disease (CKD) merupakan penyakit ginjal yang ditandai adanya kerusakan dari struktur ginjal lebih dari 3 bulan yang dengan atau tanpa penurunan GFR < 60 mL/min/1,73m2 yang bersifat progresif dan irreversible.
Adapun gejala klasik CKD diantaranya adalah edema, hipertensi dan anemia. Berdasarkan derajat penyakitnya CKD dibagi menjadi 5 stage yang dinilai dari GFR. Gejala klinis CKD meliputi gejala penyakit dasar, gejala sindrom uremikum serta gejala komplikasi CKD. Penatalaksanaan CKD disesuaikan dengan derajat kerusakan fungsi ginjal.
Pada kasus, pasien didiagnosis dengan CKD stage V, sehingga penatalaksanaan utama pada pasien ini ialah terapi pengganti ginjal berupa hemodialisis. Disamping itu pada pasien ini juga diberikan beberapa terapi penunjang lainnya yang disesuaikan dengan manifestasi klinis yang muncul.
Penanganan etiologi, gejala dan komplikasi penyakit dengan tepat, serta perubahan pola diet yang disesuaikan dengan fungsi ginjal diharapkan dapat membantu mencegah perburukan kondisi ginjal sehingga meningkatkan kualitas hidup pasien.