• Tidak ada hasil yang ditemukan

Respons antibodi IgA terhadap Epstein-Barr virus (EBV) pada keluarga penderita kanker nasofaring

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Respons antibodi IgA terhadap Epstein-Barr virus (EBV) pada keluarga penderita kanker nasofaring"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

1

Respons antibodi IgA terhadap Epstein-Barr virus (EBV)

pada keluarga penderita kanker nasofaring

Margi Yati Soewito, Abdul Kadir, Eka Savitri, Burhanuddin Bahar Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok

Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar - Indonesia

ABSTRAK

Latar belakang: Kanker nasofaring (KNF) merupakan keganasan epitelial dengan insiden tersering pada traktus aerodigestif bagian atas. KNF merupakan salah satu penyakit di bidang THT yang banyak mendapatkan perhatian, karena angka kematiannya yang relatif tinggi. Gejala-gejala awal yang muncul tidak spesifik seperti gangguan pendengaran, ingus bercampur darah dan hidung tersumbat dan bahkan ada yang tanpa gejala sama sekali. Pemeriksaan deteksi dini KNF dikembangkan menggunakan dua macam antigen sekaligus dalam satu sumuran, yaitu bagian protein EBNA1 dan VCA-p18, yang berupa peptide sintetik yang dipilih dari epitop yang imunogenik. Tujuan: Mengetahui perbedaan kadar IgA (VCA-p18+EBNA1) dalam serum pada keluarga penderita KNF dengan keluarga tanpa ada penderita KNF. Metode: Jenis penelitian adalah cross sectional yang bersifat analitik observasional. Jumlah sampel 35 orang generasi pertama dan penderita KNF dan 12 kontrol yang tidak ada riwayat keluarga menderita KNF. Dilakukan pemeriksaan IgA (V CA-p18+EBNA1) dari serum keluarga penderita KNF dan kontrol secara ELISA di laboratoriurn biomolekuler UGM. Hasil: Kadar IgA (VCA-p18+EBNA1) pada keluarga penderita KNF yang positif 32 orang (91,4%) dan pada kontrol yang positif 8 orang (66,7%). Kadar IgA (VCA-p18+EBNA1) pada keluarga penderita KNF lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol, yaitu 1,7 kali. Secara linear, terdapat korelasi yang bermakna antara kadar IgA (VCA-p18+EBNA1) pada keluarga penderita KNF dengan kontrol (p=0,040). Estimasi risiko rnendapatkan kadar IgA (VCA-p18+EBNA1) positif pada kelompok keluarga KNF dan kontrol adalah 5,3:1. Kesimpulan: Kadar antibodi terhadap EBV pada populasi keluarga penderita KNF lebih tinggi daripada populasi kontrol dan mengindikasikan bahwa keluarga penderita KNF merupakan kelompok risiko tinggi untuk terjadinya KNF.

Kata kunci: keluarga penderita KNF, IgA (VCA-p18+EBNA1), EBV

ABSTRACT

Background: Nasopharyngeal carcinoma (NPC) is an epithelial malignancy with the highest

incidence in the upper aerodigestive tract. The early sign of NPC is not specific such as hearing problems, blood stained nasal discharge, nasal obstruction, and in some cases no early signs and symptoms. Our study to detect early sign of KNF used two types of antigen in the same well which is

(2)

2

protein fragments EBNA1 and VCA-p18, in the form of synthetic peptide selected from immunogenic epitope. Purpose: To investigate the difference of IgA (VCA-p18+EBNA1) level in the serum between the family with nasopharyngeal carcinoma and control group. Method: Observational analytic cross-sectional study. The sample was a group of 35 persons of the first generation of NPC family and the control group consisted of 12 persons who had no history of the cancer. IgA (VCA-p18+EBNA1) level was determined by ELISA method. Result: Positive IgA level were found in 32 persons (91.4%) in the family group and 8 persons (66.7%) in control group. The level of IgA in the family group was 1.7 times higher than control group. There was a significant linear correlation between the IgA (VCA-p18+EBNA1) level in the family group and the control group (p=0.040). The risk estimation signified an IgA (VCA-p18+EBNA1) level positive at both groups with a ratio of 5.3:1. Conclusion: The level of antibody against EBV in family of NPC patient’s is higher than control group and this indicates that the family groups have a high risk to get the NPC.

Key words: familial nasopharyngeal carcinoma, IgA (VCA-p18+EBNA1), EBV

Alamat korespondensi: Margi Yati Soewito, Bagian THT FK-UNHAS. Jl. Perintis Kemerdekaan, KM 11 Tamalanrea, Makassar. E-mail: agisuwito@yahoo.co.id

PENDAHULUAN

Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan keganasan epitelial yang merupakan neoplasma dengan insiden tertinggi pada traktus aerodigestif bagian atas. KNF merupakan salah satu keganasan di bidang Telinga Hidung Tenggorok (THT) yang banyak mendapatkan perhatian, karena angka kematiannya yang relatif tinggi. Secara global, didapat kira-kira 65.000 kasus baru dan 38.000 kematian per tahun.1 Di seluruh dunia, insiden tertinggi KNF terdapat di Cina Selatan, di mana KNF merupakan keganasan yang endemis pada orang-orang Canton di provinsi Guangdong Cina, dengan insiden 10–150 per 100.000 penduduk per tahun, dengan usia rata-rata

40–50 tahun. Insiden sedang KNF terdapat pada penduduk di daerah Asia Selatan, termasuk di sini adalah ras melayu, yaitu Thailand, Vietnam, Malaysia, Singapura dan Indonesia dengan angka sekitar 5 sampai dengan 9 per 100.000 penduduk per tahun.2

Di Indonesia, KNF menduduki urutan ke-4 di antara semua penyakit kanker setelah kanker rahim, payudara dan kulit, dengan insiden sekitar 4,7 per 100.000 penduduk. Namun, seluruh Bagian THT yang ada di Indonesia mendudukkan KNF pada peringkat pertama penyakit kanker di daerah kepala leher dengan perbandingan antara laki-laki dan wanita adalah 2-3:1.3 Di Yogyakarta, KNF relatif lebih tinggi mencapai 5,7 per 100.000 populasi. Insiden

(3)

3 di Makassar provinsi Sulawesi Selatan, Kuhuwael4 melaporkan pada RSU Dadi dan RS Dr. Wahidin Sudirohusodo selama periode 10 tahun (1990–1999) ditemukan 274 (47,98%) kasus KNF dari tumor ganas kepala dan leher dengan perbandingan antara laki-laki dan wanita adalah 2,6:1. Sedangkan pada periode Januari 2004 sampai dengan Juni 2007, didapatkan 33% dari keganasan di bagian telinga, hidung dan tenggorok.5 Gejala-gejala awal yang muncul tidak spesifik seperti gangguan pendengaran, ingus bercampur darah dan hidung tersumbat, bahkan ada yang tanpa gejala sama sekali pada tahap awalnya. Hal ini menyebabkan sekitar 60–95% penderita KNF terdiagnosis pada stadium lanjut (III atau IV). Diagnosis awal KNF sangat penting karena keberhasilan pengobatan sangat bergantung pada tingkat keparahan penyakit. Prognosis penderita KNF sangat bergantung pada stadium klinis saat dilakukan diagnosis, di mana lebih dari 80% keberhasilan terapi terjadi pada stadium awal (stadium I–II) dan bila penderita didiagnosis pada stadium lanjut (stadium III–IV), angka keberhasilan kurang dari 40%.6

EBV merupakan suatu

gammaherpesvirus (ditemukan pada tahun 1964 oleh Epstein dan Barr), dapat ditularkan melalui saliva dan menginfeksi lebih dari 90% populasi dunia. Infeksi

primer EBV umumnya terjadi sebelum umur 20 tahun. Sebagian besar orang akan terinfeksi EBV tanpa implikasi klinis yang serius, sementara pada sebagian kecil orang, virus EBV dapat bereaktivasi dan berkembang menjadi tumor di kemudian hari. Hal ini akan bergantung pada kerentanan genetik dan faktor lingkungan.7

KNF cenderung lebih banyak terjadi pada ras tertentu (mongoloid) dan lebih sering terjadi pada pria dibandingkan wanita (2–3:1). Hal ini menimbulkan dugaan adanya faktor genetik yang berperan dalam etiologi penyakit ini. Risiko KNF meningkat secara signifikan pada generasi pertama, insidennya enam kali lebih tinggi dibandingkan dengan populasi umum.

Penelitian di beberapa negara mendapatkan data bahwa pada KNF terjadi peningkatan kadar antibodi IgG dan IgA terhadap VCA, dan peningkatan kadar antibodi IgA tersebut tidak terjadi pada tumor-tumor kepala leher selain KNF. Peningkatan VCA dapat terlihat 8–30 bulan sebelum terjadinya KNF, sehingga sangat penting skrining dan deteksi dini.8

Tim KNF Asia Link NPC kerjasama dengan Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada, Rumah Sakit Sardjito, Free University Netherlands, Antoni van Leeuwenhoek Hospital Netherlands, Karolinska Institute Swedia dan Gustava Roussy Perancis dengan sponsor The

(4)

4 European Economic Council, mengembangkan suatu kit pemeriksaan deteksi dini KNF. Kit yang dikembangkan ini menggunakan dua macam antigen sekaligus dalam satu sumuran, yaitu bagian protein EBNA1 dan VCA-p18, berupa peptide sintetik yang dipilih dari epitop yang imunogenik. Kit ini mempunyai keunggulan dibandingkan kit yang beredar, yaitu hemat biaya karena menggunakan dua antigen dalam sekali pemeriksaan. Untuk keperluan skrining tersebut Fachiroh et al6 menetapkan titik potong untuk EBNA1+VCA-p18 dengan menggunakan analisis kurva

receiver operating characteristic (ROC) antara 254 orang normal dan 151 pasien KNF, dan memberikan nilai titik potong =0,353 pada populasi Yogyakarta dengan sensitivitas 90,1% dan spesifisitas 85,4%.9

Karena insiden risiko terjadinya KNF yang cukup tinggi (enam kali lebih tinggi dari populasi umum) pada generasi pertama, maka penelitian ini diperlukan untuk deteksi dini dan mendapatkan KNF stadium awal, sehingga dapat dilakukan perbaikan penatalaksanaannya. Dengan demikian harapan hidup dapat ditingkatkan. Penelitian

cross sectional respons antibodi IgA (VCA-p18+EBNA1) pada keluarga penderita KNF ini belum pernah dilakukan di Sulawesi Selatan, khususnya di Makassar.

METODE

Penelitian ini merupakan studi cross

sectional bertujuan untuk deteksi dini KNF dan mengetahui perbedaan kadar IgA (VCA-p18+EBNA1) dalam serum pada keluarga penderita KNF dengan kontrol. Pada penelitian ini jumlah sampel 35 orang keluarga penderita KNF generasi pertama dan kontrol 12 orang. Setelah dilakukan anamnesis dilakukan pemeriksaan THT, yaitu: otoskopi, rinoskopi anterior, rinoskopi posterior dan faringoskopi. Bagi yang memenuhi kriteria inklusi, dimasukkan sebagai sampel penelitian. Dilakukan pengisian kuesioner dan informed concent untuk kemudian ditandatangani. Darah diambil dari sampel maupun kontrol dan dilakukan pemeriksaan IgA (VCA-p18+EBNA1). Pemeriksaan ELISA dilakukan di laboratorium biomolekuler Universitas Gajah Mada.

Pemeriksaan ELISA

Sampel darah diambil sebanyak 6 ml, diambil 0,5 ml darah + 4,0 ml N lysis buffer dicampur segera dan disimpan pada suhu -80˚C. Sisa darah diisolasi serumnya kemudian disimpan pada suhu -20˚C. Serum dianalisis menggunakan peptida sintetik imunodominan epitop protein VCA-p18 dan EBNA1. Piring ELISA yang dilapisi dengan peptida kombinasi (1 ug/ml EBNA1 plus 0,5 ug/ml VCA-p18) dalam 0,05 M Na2CO3, pH 9,6 diinkubasikan dua jam pada 4˚C.

(5)

5 Setelah itu buang cairan, berikan 3% BSA (dalam 1x PBS) 200 ul /wadah pada lapisan, lalu diinkubasikan satu jam pada 37˚C, kemudian dicuci tiga kali dengan PBS Tween 0,05%.

Berikutnya ambil 100 ul sampel (1:100), serum dimasukkan dan diinkubasikan satu jam pada 37˚C, tutup piring/wadah, buang cairan, setelah pencucian keempat dengan PBS-Tween 0,05%, buang cairan pencuci. Berikan konjugate (mouse anti-human IgA-HRP dilarutkan dalam cairan sampel (1;4000), tutup piring inkubasikan satu jam pada 37˚C. Buang cairan, cuci dengan PBS Tween 0,05% (4x), buang cairan pencuci. Campurkan larutan TMB A (merah) dan B (biru) (1:1), berikan warna dengan TMB (100ul/wadah), inkubasikan dalam ruang gelap 30 menit. Berikan 0,5 M H2SO4 100 ul/wadah, hindari terjadi gelembung. Baca OD 450 nm dengan menggunakan pembaca ELISA.

HASIL

Selama periode bulan Januari–Maret 2009, telah dilakukan penelitian untuk melihat respons antibodi IgA (VCA-p18+EBNA1) pada 35 orang dari keluarga penderita kanker nasofaring dan 12 kontrol yang keluarganya tidak menderita kanker nasofaring. Berdasarkan karakteristik sampel penelitian usia rerata keluarga penderita karsinoma nasofaring 32,48 ±17,2

tahun, termuda usia 6 tahun dan paling tua 70 tahun. Laki-laki 20 orang (57,1%) dan perempuan 15 orang (42,9%). Suku Bugis 19 orang (54,3%), Makassar 10 orang (28,6%) dan Toraja 3 orang (8,6%).

Hubungan keluarga dengan penderita KNF pada penelitian ini didapatkan anak kandung 17 orang (48,6%), saudara kandung 12 orang (34,3%) dan orang tua kandung 6 orang (17,1%).

Gambaran distribusi keluarga penderita KNF berdasarkan atas gambaran histopatologi penderita KNF menurut WHO 1979 didapatkan terbanyak adalah WHO tipe III, yaitu 32 orang (91,4%), selanjutnya WHO tipe II sebanyak 3 orang (8,6%) dan tidak didapatkan WHO tipe I pada penelitian ini.

Gambaran distribusi keluarga penderita KNF berdasarkan atas stadium penderita KNF menurut TNM-UICC 2002 terbanyak stadium III: 17 orang (48,6%), selanjutnya stadium IV: 14 orang (40,0%) dan stadium II: 4 orang (11,4%).

Hasil pemeriksaan IgA (VCA-p18+EBNA1)

Dari hasil pemeriksaan kadar IgA (VCA-p18+EBNA1) dengan metode ELISA pada 35 keluarga penderita KNF dan 12 kontrol didapatkan pada keluarga penderita KNF yang positif 32 orang (91,4%) dan pada kontrol yang positif 8 orang (66,7%).

(6)

6 0 20 40 60 80 100 Keluarga KNF Kontrol 91.4 66.7 8.6 33.3 P r e s e n t a s e Positif Negatif

Gambar 1. Hasil tes serologi terhadap EBV pada keluarga penderita KNF dan kontrol

Gambar 2 menunjukkan kadar IgA (VCA-p18+EBNA1) pada keluarga penderita KNF dengan rata-rata 0,9762±0,79332 dan pada kelompok kontrol rata-rata 0,5844±0,35089, dapat dilihat bahwa kadar IgA (VCA-p18+EBNA1) pada keluarga penderita KNF lebih tinggi

dibandingkan dengan kontrol, yaitu 1,7 kali. Namun demikian, secara statistik tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara kadar IgA (VCA-p18+EBNA1) pada keluarga penderita KNF dengan kontrol (p=0,107).

Gambar 2. Kadar IgA (VCA-p18+EBNA1) pada keluarga penderita KNF dan kontrol

Secara linier terdapat korelasi yang bermakna antara kadar IgA

(VCA-p18+EBNA1) pada keluarga penderita KNF dengan kontrol (p=0,040). Artinya semakin

(7)

7 berada pada kelompok keluarga penderita KNF, semakin berpeluang mendapatkan hasil kadar IgA (VCA-p18+EBNA1) yang tinggi. Estimasi risiko pemeriksaan IgA

(VCA-p18+EBNA1) positif pada kelompok keluarga KNF mempunyai risiko lima kali lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol.

Tabel 1. Analisis kadar IgA (VCA-p18+EBNA1) pada keluarga KNF dan kontrol dibandingkan dengan titik potong Yogyakarta

Kelompok N Rata-rata p

(uji T one sample test) Keluarga KNF Kontrol 35 12 0,9762±0,79332 0,5844±0,35089 0,000 0,042 Titik potong: 0,352

Dari tabel 1, terlihat bahwa perbedaan kadar IgA (VCA-p18+EBNA1) pada keluarga KNF di Makassar dibandingkan dengan titik potong Yogyakarta sangat bermakna (p=0,000), begitu juga pada kelompok kontrol ternyata terdapat perbedaan yang bermakna (p=0,042).

DISKUSI

Satu langkah baru pemeriksaan EBV IgA ELISA telah dikembangkan menggunakan dua peptide sintetik berasal dari antigen-antigen EBNA1 dan VCA-p18 untuk diagnosis serologik KNF pada populasi risiko tinggi di Asia Selatan. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara kadar IgA (VCA-p18+EBNA1) dengan adanya riwayat keluarga yang menderita KNF dan mendapatkan risiko tinggi KNF di Makassar

dengan mengambil sampel keluarga penderita KNF, karena dalam kepustakaan dikatakan insiden risiko terjadinya KNF yang cukup tinggi (enam kali lebih tinggi dari populasi umum) pada generasi pertama.10 Berdasarkan karakteristik sampel usia rerata keluarga penderita KNF adalah 32,48±17,2 tahun, temuda usia 6 tahun dan tertua 70 tahun. Laki-laki 20 orang (57,1%) dan perempuan 15 orang (42,9%) dengan rasio 1,3:1, hal ini sedikit lebih besar jika dibandingkan dengan penelitian sebelumnya, yaitu 0,8:1, sangat mungkin karena jumlah sampel pada penelitian ini lebih kecil dibandingkan penelitian sebelumnya.11 Suku terbanyak adalah suku Bugis-Makassar, yaitu 29 orang (82,9%), hal ini hampir sama dengan penelitian sebelumnya tentang penderita KNF di Makassar.12,13

(8)

8 Berdasarkan hubungan keluarga dengan penderita KNF, pada penelitian ini didapatkan terbanyak adalah anak kandung 17 orang (48,6%), disusul saudara kandung 12 orang (34,3%) dan orang tua kandung 6 orang (17,1%). Berbeda dengan penelitian sebelumnya menurut Wai-Tong et al,11 hubungan keluarga terbanyak berturut-turut adalah saudara kandung (54,8%), orang tua kandung (49,3%) dan anak kandung (6,7%) dari total sampel 929 orang. Hal ini sangat mungkin disebabkan karena jumlah sampel penelitian yang lebih kecil dibandingkan penelitian sebelumnya.

Distribusi keluarga penderita KNF berdasarkan atas gambaran histopatologi penderita KNF menurut WHO 1979 didapatkan terbanyak adalah WHO tipe III, yaitu 32 orang (91,4%), selanjutnya WHO tipe II sebanyak 3 orang (8,6%) dan tidak didapatkan WHO tipe I. Hal ini sesuai dengan yang dilaporkan oleh Fransiska,14 Perkasa,15 Punagi,12 akan tetapi berbeda dengan yang dilaporkan oleh Savitri,13 walaupun WHO tipe III tetap terbanyak, tetapi juga didapatkan WHO tipe I sebanyak 2,6%. Histopatologi WHO tipe II dan III hampir 100% berhubungan dengan infeksi virus Epstein-Barr.9,16

Distribusi keluarga penderita KNF berdasarkan atas stadium penderita KNF menurut TNM-UICC 2002 terbanyak stadium III: 17 orang (48,6%), selanjutnya

stadium IV: 14 orang (40,0%) dan stadium II: 4 orang (11,4%), tidak ada perbedaan dengan penelitian sebelumnya.12,13,15,17

Hal ini menandakan bahwa hampir sebagian besar penderita datang berobat dalam kondisi stadium lanjut yang menyebabkan prognosis pengobatan dan harapan hidup tetap jelek, keberhasilan terapi untuk pasien KNF stadium I dan II >80%, sedangkan stadium III dan IV <40%. Maka, upaya-upaya deteksi dini KNF sangat diperlukan dan upaya diagnostik, prognostik dan terapeutik sebaiknya ditekankan pada pola pendekatan biologi molekuler terhadap virus Eptein-Barr.6

Kadar IgA (VCA-p18+EBNA1) pada keluarga penderita KNF di Makassar

Hasil pemeriksaan kadar IgA (VCA-p18+EBNA1) secara ELISA pada 35 keluarga penderita KNF dan 12 kontrol, didapatkan pada keluarga penderita KNF yang positif 32 orang (91,4%) dan pada kontrol yang positif 8 orang (66,7%), dengan rata-rata 0,9762±0,79332 pada keluarga penderita KNF dan pada kelompok kontrol rata-rata 0,5844±0,35089, dapat dilihat bahwa kadar IgA (VCA-p18+EBNA1) pada keluarga penderita KNF lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol, yaitu 1,7 kali.

Walaupun secara statistik tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara kadar IgA (VCA-p18+EBNA1) pada keluarga

(9)

9 penderita KNF dengan kontrol dengan nilai p=0,107 (p>0,05), namun secara linier terdapat korelasi yang bermakna antara kadar IgA (VCA-p18+EBNA1) pada keluarga penderita KNF dengan kontrol (p=0,040). Artinya semakin berada pada kelompok keluarga penderita KNF semakin berpeluang mendapatkan hasil kadar IgA (VCA-p18+EBNA1) yang tinggi. Jadi selain faktor pajanan terhadap virus Epstein-Barr, faktor keluarga/genetik juga berpengaruh terhadap tingginya kadar IgA (VCA-p18+EBNA1). Keluarga penderita KNF mempunyai risiko tertular virus Epstein-Barr lebih besar karena kontak dalam keluarga dan mempunyai kerentanan genetik memungkinkan adanya gen HLA

suspectable menjadikan cenderung lebih mudah tertular oleh virus Epstein-Barr, Hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian ini, sehingga kelompok keluarga penderita KNF mempunyai risiko lima kali lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol.

Wai-Tong et al11 meneliti 929 sampel dari keluarga penderita KNF, didapatkan IgA VCA positif pada 84 orang dan dilakukan follow up 6–32 bulan ternyata yang berkembang menjadi KNF sebanyak 9 orang (10,7%). Sedangkan Lo et al,18 dari hasil penelitiannya mendapatkan dari 66 orang normal dengan IgA VCA positif

difollow up selama kurang dari empat tahun

hanya 1 orang (2%) yang berkembang menjadi KNF.

Analisis kadar IgA (VCA-p18+EBNA1) pada keluarga penderita KNF dan kontrol dibandingkan dengan titik potong Yogyakarta terlihat bahwa ada perbedaan yang sangat bermakna pada keluarga penderita KNF dengan nilai p=0,000 (p<0,005), tetapi pada kelompok kontrol ternyata juga terdapat perbedaan yang bermakna dengan nilai p=0,042 (p=0,005).

Kadar IgA (VCA-p18+EBNA1) yang lebih dari titik potong pada kelompok kontrol sangat mungkin disebabkan oleh jumlah sampel yang kecil, selain itu faktor pajanan terhadap virus EBV. Lebih dari 90% populasi dunia terekspos oleh EBV yang ditularkan melalui saliva, sebagian besar akan terinfeksi EBV tanpa implikasi klinis yang serius, sementara pada sebagian kecil orang virus EBV dapat bereaktivasi dan berkembang menjadi tumor di kemudian hari. Hal ini bergantung pada faktor genetik dan lingkungan.7 Selanjutnya yang perlu digaris-bawahi adalah kadar antibodi terhadap EBV pada populasi keluarga penderita KNF lebih tinggi daripada populasi kontrol.

Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa kadar antibodi terhadap EBV pada populasi keluarga penderita KNF lebih tinggi daripada populasi kontrol, dan keluarga penderita KNF merupakan

(10)

10 kelompok risiko tinggi untuk terjadinya KNF, sehingga penting dilakukan program skrining dan deteksi dini bagi keluarga penderita KNF.

DAFTAR PUSTAKA

1. Chan JKC, Bray F, McCarron P. Nashopharyngeal carcinoma. Dalam: Leon Barnes, ed. Patology & genetics head and neck tumour, WHO classification of tumours. Lyon: IARCPress; 2005. p. 85-7. 2. Cheng H. Nasopharyngeal cancer and the

Southeast Asian patient. Am Fam Physic 2001; 63:1776-82.

3. Susworo R. Kanker nasofaring epidemiologi dan pengobatan mutakhir. Cermin Dunia Kedokteran 2004; 144:16-8.

4. Kuhuwael FG. Aspek klinis karsinoma nasofaring di RSU Dadi dan RS Wahidin Sudirohusodo tahun 1990-1999. Pertemuan Ilmiah Berkala XV. Makassar: Fakultas Kedokteran UNHAS; 2001.

5. Punagi AQ, Savitri E. Profil karsinoma nasofaring di RS Pendidikan FK UNHAS Periode Januari 2004-Juni 2007. Makassar: Fakultas Kedokteran UNHAS; 2007. h. 1-5. 6. Kwong DLW, Sham JST, Au GKH, Chua

DTT, Kwong PWK, Cheng ACK, et al. Concurrent and adjuvant chemoterapy for nasopharyngeal carcinoma: a factorial study. J Clin Oncol 2004; 22:2643-53.

7. Thomson MP, Kurzrock R. Epstein-Barr virus and cancer. Rev Clin Cancer Res 2004; 10:803-21.

8. Zeng Y, Zhang LG, Wu YC, Huang YS, Li JY, Wang YB, et al. Prospective studies on nasopharyngeal in Epstein-Barr virus IgA/VCA antibody-positive persons in Wuzhou City, China. Int J Cancer 1985; 36:545-7.

9. Fachiroh J, Paramita DK, Hariwiyanto B, Harijadi A, Dahlia HL, Indrasari SR, et al. Single-assay combination of Epstein-Barr virus (EBV) EBNA1 and viral capsid antigen-p18-derived syntethic peptides for measuring anti-EBV Immunoglobulin G (IgG) and IgA Antibody Levels in Sera from nasopharyngeal carcinoma patients: options for field screening. J Clin Microbiol 2006; 44(4):1459-67.

10. Zhang F, Zhang J. Clinical hereditary characteristics in nasopharyngeal carcinoma through Ye-Liang’s family cluster. Chin Med J Engl 1999; 112(2):185-7.

11. Wai-Tong Ng, Tsz KY, Yung RWH, Sze WM, Tsang AHL, Law ALY, et al. Screening for family members of patients with nasopharyngeal carcinoma. Int J Cancer 2005; 113:998-1001.

12. Punagi AQ. Analisis polimorfisme gen VEGF pada gambaran klinis dan histopatogi karsinoma nasofaring. Disertasi. Makassar: Program Doktor FK UNHAS; 2008.

13. Savitri Eka. Ekspresi interleukin-8, interleukin-10 dan viral load Epstein-Barr sebagai indikator prognostik pada kanker nasofaring. Disertasi. Makassar: Progam Doktor FK UNHAS; 2009.

14. Fransiska TBA. Akurasi hasil pemeriksaan biopsi jarum halus secara endoskopik

(11)

11

tersangka karsinoma nasofaring. Tesis. Makassar: Bagian THT FK UNHAS; 2004. 15. Perkasa MF. Akurasi hasil pemeriksaan

“brush biopsy” secara endoskopik pada tersangka karsinoma nasofaring. Tesis. Makassar: Bagian THT FK UNHAS; 2005. 16. Tay WL, Tan PH, Yip GWC et al.

Nasopharyngeal carcinoma: an enimatic tumor. Ann Rev Biomed Sci 2008; 10:27-35.

17. Chan ATC, Teo PML, Johnson PJ. Nasopharingeal cancer. Dalam: Rosen St,

Bruce Brockstein, eds. Cancer treatment and research, head and neck cancer, kluwer Academic Publishers, New York: 2004;275-7

18. Lo S, Wai KH, Wei WI. Outcome of patients with positive Epstein-Barr virus serologic status in the absence of nasopharyngeal carcinoma in Hong Kong. Arch Otolaryngol Head Neck Surg 2004; 130:770-2.

Gambar

Gambar 1. Hasil tes serologi terhadap EBV pada keluarga penderita KNF dan kontrol
Tabel 1. Analisis kadar IgA (VCA-p18+EBNA1) pada keluarga KNF dan kontrol dibandingkan  dengan titik potong Yogyakarta

Referensi

Dokumen terkait

Ketentuan pengendalian rencana disusun sebagai bagian proses penyusunan RTBL yang melibatkan masyarakat, baik secara langsung (individu) maupun secara tidak langsung

Bahwa perbuatan terdakwa berawal pada hari Sabtu tanggal 04 Januari 2014 sekira pukul 09.00 WIB saksi korban Tuti Mawar Sari yang merupakan adik dari isteri terdakwa

mengelilingi matahari adalah lebih cepat dibanding planet Mars, sehingga pada titik tertentu gerakan planet mars di langit seperti berbalik arah padahal gerak bumi inilah

Dalam masalah ini yang lebih kuat menurut saya adalah pendapat bahwa penghasilan yang mencapai nisab wajib diambil zakatnya, sebagaimana yang dikatakan Zuhri dan Auza'i, baik

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi bahaya yang memiliki nilai risiko tertinggi sebanyak 3 jenis kecelakaan kerja pada praktikum di Laboratorium SMK

Tujuan penelitian ini terdiri dari: (1) untuk mengetahui aktivitas guru dalam proses pembelajaran dengan penggunaan media flash card untuk meningkatkan kemampuan membaca

Variabel independen yang digunakan dalam penelitian ini adalah besaran komite audit, aktivitas pertemuan komite audit, independensi komite audit, kualifikasi komite

Rumah Sakit Kelas D Pratama adalah rumah sakit umum yang hanya menyediakan pelayanan perawatan kelas 3 (tiga) untuk peningkatan akses bagi masyarakat dalam