• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. suatu bisnis yang sangat menggiurkan, ditambah lagi peningkatan jumlah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. suatu bisnis yang sangat menggiurkan, ditambah lagi peningkatan jumlah"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kendaraan tidak terlepas dari parkir, bagi mereka yang memiliki kendaraan pasti pernah menggunakan sarana parkir. Pengemudi kendaraan tidak mungkin mengendarai kendaraannya terus-menerus sehingga kendaraan tidak mungkin digunakan tanpa diparkir. Dengan demikian, pengemudi kendaraan pasti menggunakan jasa parkir. Parkir diartikan sebagai keadaan tidak bergerak suatu kendaraan yang tidak bersifat sementara dan dengan posisi mesin kendaraan yang mati. Parkir telah menjadi salah satu hal yang krusial dalam lalu lintas jalan, termasuk di kota Salatiga . Hal inilah yang membuat lahan parkir dapat dijadikan suatu bisnis yang sangat menggiurkan, ditambah lagi peningkatan jumlah kendaraan di kota-kota besar Indonesia dari tahun ke tahun selalu bertambah. Pada praktiknya tidak terlepas dari masalah. Perpakiran menimbulkan masalah yang cukup serius baik pada konsumen, pengelola parkir bahkan pemerintah daerah. Fasilitas parkir merupakan fasilitas pendukung kegiatan lalu lintas dan angkutan jalan1. Mengenai fasilitas parkir itu sendiri dapat dibedakan menjadi dua, pertama adalah fasilitas parkir pada badan jalan yaitu fasilitas untuk parkir kendaraan dengan menggunakan sebagian badan jalan (Pasal 1 angka 4 Keputusan

1

Menurut Keputusan Direktur Jenderal Perhubungan Darat Nomor 272/HK.105/DRJD/96 tentang Pedoman Teknis Penyelenggaraan Fasilitas Parkir, Bab I Ketentuan Umum: Pengertian, angka 3, fasilitas parkir adalah lokasi yang ditentukan sebagai tempat pemberhentian kendaraan yang tidak bersifat sementara untuk melakukan kegiatan pada suatu kurun waktu tertentu.

(2)

2

Menteri Perhubungan Nomor KM 65 Tahun 1993 tentang Fasilitas Pendukung Kegiatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan) dan kedua adalah fasilitas parkir diluar badan jalan yaitu fasilitas parkir yang dibuat khusus yang dapat berupa taman parkir dan atau gedung parkir (Pasal 1 angka 2 Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 66 Tahun 1993 tentang Fasilitas Parkir Untuk Umum).2

Dalam setiap usaha yang melibatkan antara penyedia jasa terhadap konsumen pasti terdapat adanya sebuah perjanjian yang merupakan salah satu hubungan hukum yang kerap kali dilakukan dalam pergaulan hidup didalam masyarakat. Hampir setiap kegiatan dan hubungan yang dilakukan antara orang yang satu dengan yang lain dalam masyarakat adalah berupa perjanjian. Pada umumnya perjanjian dilakukan secara tertulis, yang tentunya dimaksudkan untuk dijadikan sebagai alat bukti bilamana dikemudian hari terjadi suatu permasalahan yang terjadi dengan perjanjian yangdibuat. Bahkan bukan itu saja, tapi pada umumnya dalam dunia bisnis banyak sekali perjanjian yang dibuat secara tertulis yang isinya ditetapkan secara baku. Dikenal istilah perjanjian baku atau standar kontrak. Perjanjian baku tersebut dalam praktik tidak hanya digunakan oleh perusahaan-perusahaan besar saja, tapi perusahaan-perusahaan kecil kecilpun menggunakannya seperti bengkel atau penyedia jasa parkir. Perjanjian baku merupakan rasionalisasi hubungan hukum yang terjadi dalam masyarakat

2 Fasilitas parkir di luar badan jalan (off-street parking) adalah fasilitas parkir kendaraan di luar

tepi jalan umum yang dibuat khusus atau penunjang kegiatan yang dapat berupa tempat parkir dan/atau gedung parkir (Keputusan Direktur Jenderal Perhubungan Darat Nomor

272/HK.105/DRJD/96 tentang Pedoman Teknis Penyelenggaraan Fasilitas Parkir, Bab I Ketentuan Umum: Pengertian, angka 5).

(3)

3

demikian, dan lazimnya dibuat oleh organisasi perusahaan maupun penyedia usaha dengan harapan agar yang dikehendaki terwujud.

Perjanjian Eksonerasi merupakan perjanjian yang dibuat dalam bentuk tertulis yang telah digandakan berupa formulir-formulir, yang isinya telah distandarisasikan atau dibakukan terlebih dahulu secara sepihak oleh pihak yang menawarkan (dalam hal ini pelaku usaha), serta ditawarkan secara massal tanpa mempertimbangkan perbedaan kondisi yang dimiliki kosumen. Isi perjanjian baku dibuat secara sepihak oleh salah satu pihak yang mengadakan perjanjian ialah biasanya pihak yang mempunyai kekuatan ekonomis dan psikologis yang lebih kuat dari pihak lainnya. Dalam dunia perdagangan atau bisnis pihak yang membuat perjanjian baku itu adalah pihak pengusaha (produsen) yang pada umumnya memiliki kekuatan ekonomis yang lebih besar daripada konsumen. Penerapan klausula baku yang dilakukan oleh pihak dengan posisi lebih kuat akan merugikan pihak lain dengan posisi yang lebih kuat akan merugikan pihak lain dengan posisi yang lebih lemah, biasanya model perjanjian seperti ini dikenal dengan penyelahgunaan keadaan.3 Sehingga tidak mustahil jika isi klausula baku kerap kali dapat merugikan pihak konsumen. Klausula-klausula baku yang ada dalam perjanjian baku pada umumnya dilakukan secara sepihak oleh pengusaha, maka tidak mustahil jika klausula-klausula baku banyak memuat hak-hak pelaku usaha dan kewajiban-kewajiban konsumen, bahkan tidak jarang pula dalam klausula-klausula baku itu berisi pengalihan tanggung jawab yang seharusnya menjadi tanggung jawab pelaku usaha dialihkan menjadi tanggung jawab pihak

3

(4)

4

konsumen. Klausula-klausula yang berisi mengalihkan tanggung jawab pelaku usaha kepada konsumen itu dikenal dengan istilah klausula Eksonerasi. Lahirnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dimaksudkan untuk memberikan perlindungan terhadap Konsumen dari tindakkan-tindakan yang dilakukan oleh pengusaha jasa parkir yang dapat menimbulkan kerugian bagi konsumen. Salah satu ketentuan dalam undang-undang yang memberikan perlindungan kepada konsumen ketentuan yang berkenaan dengan larangan bagi pelaku usaha untuk membuat klausula-klausula yang dibuat oleh pelaku usaha.

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) memberikan definisi mengenai konsumen sebagai berikut: Konsumen adalah pemakai barang atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik kepentingan diri sendiri, keluarga atau orang lain dan tidak untuk diperdagangkan kembali4. Pengertian konsumen berdasarkan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen diatur pada Pasal 1 angka 2 yang menegaskan bahwa: Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, untuk keuntungan diri sendiri, keluarga, orang lain dan tidak untuk diperdagangkan. Sedangkan Mariam Darus Badrul Zaman, mendefinisikan konsumen dengan cara mengambil alih pengertian yang digunakan oleh kepustakaan belanda, yaitu “Semua individu yang menggunakan barang dan jasa secara konkret dan riil.5 Namun dalam kenyataan di kehidupan sekarang ini konsumen jasa parkir kerap kali menjadi pihak yang

4https://ylki.or.id.

5Mariam Darus Badrul Zaman, 1981, Pembentukan Hukum Nasional dan Permasalahannya,

(5)

5

dirugikan jika terjadi kehilangan atas kendaraanya maupun barang yang dalam kendaraan maupun kerusakan-kerusakan yang terjadi selama waktu penitipan dalam tempat parkir. Sehingga dengan adanya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen beserta perangkat hukum lainnya, konsumen memiliki hak dan posisi yang berimbang danmereka pun bisa menggugat atau menuntut jika ternyata hak-haknya telah dirugikan atau dilanggar oleh pelaku usaha.6

Perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan lima asas yang relevan dalam pembangunan nasional, yakni :

1. Asas manfaat

Harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku secara keseluruhan.

2. Asas keadilan

Memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk melaksanakan kewajiban dan haknya secara adil.

3. Asas keseimbangan

Memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil dan spiritual.

4. Asas keamanan dan keselamatan

6

(6)

6

Memberi jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.

5. Asas kepastian hukum

Baik pelaku maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen serta negara menjamin kepastian hukum.7

Tujuan dari perlindungan konsumen adalah meningkatan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri; mengangkat harkat dan martabat konsumen; meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen menetapkan sistem hukum perlindungan konsumen yang memiliki kepastian hukum serta keterbukaan untuk mendapat informasi sehingga menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen, dan memiliki sikap bertanggung jawab dalam berusaha; meningkatkan jasa yang menjamin kelangsungan usaha yang nyaman dan aman.

Hilangnya kendaran atau barang di dalam wilayah parkir tentu saja hal yang sangat merugikan konsumen parkir. Dalam praktik, memang umum ditemui pengelola parkir yang memasang tulisan ”kehilangan barang bukan menjadi tanggung jawab pengelola parkir” di lokasi parkir maupun di dalam karcis parkir sebagai bentuk pengalihan tanggungjawabnya atas kendaraan yang hilang di

7 Janus Sidabalok , Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti,

(7)

7

dalam area secure pakir. Pencantuman tulisan seperti di atas pada karcis atau lokasi parkir yang berisi pernyataan bahwa tidak bertanggung jawab atas kehilangan dikenal dengan eksoneri atau klausula baku. Berdasarkan Pasal 18 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (“UUPK”) dicantumkannya klausula baku oleh pelaku usaha yang menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha dilarang, dan berdasarkan Pasal 18 ayat (3) UUPK klausula tersebut dinyatakan batal demi hukum. Bila terdapat kendaraan konsumen yang hilang dalam lokasi parkir, pelaku usaha jasa parkir wajib bertanggungjawab dan dpat digugat secara hokum akibat perbuatan yang melawan hukum.

Meski undang-undang perlindungan Konsumen menyatakan klausula baku terlarang batal demi hukum dan mewajibkan pengusaha pencantum untuk mencabutnya, namun hal tersebut sering tidak di hiraukan oah para penyedia jasa parkir. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Jakarta menyatakan hanya bisa meminta pelanggar untuk mencabut klausula yang melanggar itu. Sementara penyidik Departemen Perdagangan (Depdag) pun belum pernah mengambil langkah represif bagi pelanggar. Sepertinya ketidakjelasan inilah yang membuat konsumen mulai bergerak.

Masalah pertanggungjawaban memiliki keterkaitan dengan pelanggaran terhadap suatu peraturan, serta suatu kewajiban yang harus dilaksanakan berdasarkan perjanjian maupun ketentuan hukum. Akibat dari pelanggaran tersebut yang dilakukan, maka menimbulkan kewajiban kepada pihak yang melakukan pelanggaran maupun wanprestasi untuk melakukan perbaikan atau

(8)

8

memberikan ganti kerugian kepada pihak lain. Terdapat beberapa manfaat yang akan diperoleh konsumen dari adanya kewajiban pelaku usaha untuk memberikan penggantian kerugian, yaitu: untuk memulihkan hak-hak konsumen yang dilanggar, untuk memulihkan atas kerugian baik materiil maupun immateriil yang telah diderita oleh konsumen, serta memulihkan keadaan semula. Perundangan undangan pidana positif, sebagai satu bidang hukum yang menggunakan sistem sanksi sebagai penguatnya, ialah sanksi yang bersifat kepidanaan. Sanksi ini akan menjadi tumpuan harapan, manakala sanksi-sanksi dalam bidang hukum lainnya tidak mampu merubah bentuk-bentuk perilaku yang bersifat sosial menjadi taat terhadap norma-norma hukum yang mengaturnya. Sistem pidana yang dimaksudkan sebagai suatu sistem sanksi dimana pihak yang melanggar norma-norma undang- undang pidana diancam dengan seperangkat pidana yang bervariasi dari bentuk pidana pokok dan pidana tambahan. Sehingga perlunya sanksi pidana kepada penyedia jasa parkir merupakan sarana penting untuk membangun asas keadilan yaitu memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk melaksanakan kewajiban dan haknya secara adil.

Untuk memberikan perlindungan pada konsumen pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (selanjutnya disebut “UUPK”). Konsumen merupakan salah satu pihak dalam hubungan dan transaksi ekonomi yang hak- haknya sering diabaikan oleh sebagian pelaku usaha, sehingga hak-hak konsumen perlu dilindungi. Berkaitan dengan jasa parkir, terdapat hak- hak konsumen yang secara normatif telah diatur dalam pasal 4 huruf a UU No. 8 Tahun 1999 dimana konsumen berhak atas

(9)

9

kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa. Pasal 7 huruf f UU No. 8 Tahun 1999 juga mengatur mengenai ganti rugi sebagai kewajiban pelaku usaha yang menegaskan sebagai berikut:

“Kewajiban pelaku usaha adalah memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan”

Perjanjian Eksonerasi yang tercantum pada karcis kendaraan bermotor atau di tempat jasa parkir itu sendiri telah melanggar ketentuan dalam Pasal 18 ayat (1) huruf a, yakni

“pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha.”

Pencantuman klausula baku sebagaimana ketentuan di atas dapat dikategorikan sebagai tindak pidana. Hal ini sebagaimana ketentuan dalam UUPK Pasal 62 ayat (1) Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud khususnya dalam Pasal 10 huruf (c) tentang kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu barang dan/atau jasa serta pasal 18 ayat (1) huruf a mengenai menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha. Sehingga telah memenuhi unsur yang berada dalam pasal 62 UUPK dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). Perumusan delik pencantuman klausula

(10)

10

baku pada karcis kendaraan bermotor adalah sebagai berikut: (a) pelaku usaha; (b) menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan; (c) membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian; dan (d) menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha.

Oleh karena itu, hilangnya kendaraan milik konsumen menjadi tanggung jawab pengusaha parkir. Secara pidana, ada Pasal 406 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) yang menentukan bahwa:

“Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum menghancurkan, merusakkan, membikin tak dapat dipakai atau menghilangkan barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”

Akan tetapi, dalam pasal tersebut harus ada unsur “dengan sengaja” yang harus dipenuhi. Sehingga, jika pemilik tempat parkir tidaklah sengaja menghilangkan kendaraan ataupun barang di tempat parkir melainkan lalai, maka tidak dapat dituntut atas dasar Pasal 406 ayat (1) KUHP. Tentunya unsur kelalaian atau kesengajaan ini kemudian harus dibuktikan dalam penyelidikan maupun proses pembuktian dalam pengadilan.

Hukum pidana Indonesia memandang, bahwa pencantuman klausula baku merupakan perbuatan yang dapat dipidana karena telah terpenuhinya unsur-unsur perbuatan pidana. Pertama, unsur subjektif, yakni unsur yang berasal dari dalam

(11)

11

diri pelaku yang meliputi perbuatan yang disengaja (dolus) atau karena kelalaian (culpa). Hal tersebut merupakan unsur subyektif syarat pemidanaan.

Sedangkan dalam hukum perdata terdapat prisip penting berkontrak, yaitu bila salah satu pihak berada dalam posisi tidak puas dengan isi perjanjian, maka pihak tersebut memiliki kekuatan untuk merundingkan kembali isi perjanjian. Namun, cukup banyak ahli yang melihat bahwa prinsip posisi tawar yang seimbang antara produsen dan konsumen tidak ditemukan dalam praktek.8 Penggunaan KUH Perdata dalam hubungan dan masalah perlindungan konsumen antara pelaku usaha penyedia jasa dan konsumen dengan keadan kedudukan para pihak yang tidak seimbang, lebih cenderung pihak yang kuatlah yang dapat menikmatinya. Posisi konsumen yang terlalu sering berada pada posisi take it or leave it mudah dipahami akan berada pada keadaan yang sulit. Begitu besarnya kebebasan yang dapat dinikmati pihak yag kuat sampai-sampai dapat mengecualikan atau meniadakan sesuatu kewajibannya atau mengurangi dan/atau menghapus hak-hak pihak yang lain. Kesser mengatakan bahwa hukum perjanjian itu adalah pelindung dari pembagian kekuasaan yang tidak merata dalam masyarakat sehingga memungkinkan pemaksaan kehendak pihak yang kuat atas pihak-pihak yang lemah.9 Selain itu Putusan MA No 3416/Pdt/1985, majelis hakim berpendapat bahwa perparkiran merupakan perjanjian penitipan barang, sehingga penyedia jasa wajib menjaga barang yang dititipkannya.

8

Samsul, Inosentius. Perlindungan Konsumen kemungkinan Penerapan Tanggung Jawab Mutlak, (Jakarta: Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004), h.73.

9 Nasution, Az. Hukum Perlindungan Kosumen : Suatu Pengantar, (Jakarta: Diadit Media, 2011),

(12)

12

Pasal 1365 KUH Perdata menentukan “tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu mengganti kerugian tersebut.” Pertanggungjawaban orang tersebut tidak saja untuk kerugian yang disebabkan oleh perbuatannya, tetapi juga kerugian yang disebabkan oleh kelalaian atau kurang hati-hatinya orang tersebut.10 Kelalaian atau Kesengajaan sebagai Perbuatan Melawan Hukum (PMH), adalah perikatan yang terjadi tanpa adanya perjanjian. Kerugian dapat pula terjadi di luar hubungan perjanjian yaitu jika terjadi PMH, yang dapat berupa adanya cacat pada barang atau jasa yang mengakibatkan kerugian bagi konsumen, baik itu karena rusaknya atau musnahnya barang itu sendiri, maupun kerusakan atau musnahnya barang akibat cacat pada barang itu.11

Berdasarkan pemaparan latar belakang yang telah disampaikan, penulis ingin membahas tanggungjawab penyedia jasa parkir sesuai dengan UUPK.Sehingga penulis mengambil judul: Pertanggungjawaban Hukum Pelaku Usaha Jasa Parkir Atas Perjanjian Klausula Eksonerasi.

1.2. Rumusan Masalah

Dari uraian latar belakang di atas maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut:

10

Irna Nurhayati, “Pertanggungjawaban Produsen Terhadap Konsumen Dalam Perspektif UU No. 8 Tahun 1999,” Jurnal Hukum Bisnis Volume 30 Nomor 1 (2011), h. 26.

11 Miru, Ahmadi. Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen di Indonesia, (Jakarta: PT

(13)

13

Bagaimana bentuk pertanggungjawaban hukum dari pelaku usaha jasa parkir yang mencantumkan klausula eksonerasi?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang telah penulis uraikan di atas, maka penelitian ini diadakan dengan tujuan sebagai berikut:

Mengetahui hak-hak konsumen penyedia jasa parkir sesuai UUPK (Undang-Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999), serta memahami bentuk pertanggungjawaban hukum dari pelaku usaha jasa parkir yang mencantumkan klausula eksonerasi.

1.4. Manfaat Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian yang hendak dicapai, maka penelitian ini diharapkan mempunyai manfaat dalam pendidikan baik secara langsung maupun tidak langsung. Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Manfaat teoritis

 Memberikakan sumbangan pemikiran mengenai sanksi tindak pidana bagi penyedia jasa parkir bila mencantumkan perjanjian eksonerasi.

 Memberikan sumbangan ilmiah dalam penerapan penyedia jasa parkir dalam melakukan usahanya.

2. Manfaat Praktis

 Diharapkan dapat memberikan sumbangan yang berupa masukan bagi pemerintah sebagai pengambil kebijakan guna melakukan pembenahan

(14)

14

dan penyempurnaan perangkat hukumnya yang berkaitan dengan sanski pidana pelaku penyedia jasa parkir yang mencantumkan perjanjian eksonerasi di area parkir atau karcis parkir.

 Dapat dijadikan referensi kepada pelaku penyedia jasa parkir dalam melakukan usahanya.

1.5. Metodologi Penelitian

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah secaranormatif yakni memberikan penjelasan sistematis aturan yang mengatur suatu kategori hukum tertentu, menganalisis hubungan antara peraturan menjelaskan daerah kesulitan dan mungkin memprediksi pembangunan masa depan12.

2. Jenis Pendekatan

Jenis pendekatan perundang-undangan (statue approch)yaitu pendekatan dengan menggunakan legislasi dan regulasi untuk menjawab isu hukum atau permasalahan hukum13. Pendekatan ini dilakukan untuk mengkaji Pasal 18 dan Pasal 62 UU No. 8 Tahun 1999 tentang pelimpahan tanggung jawab dalam perjanjian eksonerasi, dalam hal mengganti rugi bila ada kendaraan atau barang yang hilang dalam area parkir serta pendekatan koseptual mengkaji konsep-konsep dari teori-teori yang berkembang di bidang hukum yang berkembang di bidang hukum yang relevan dengan permasalahan penelitian.

12Peter Mahmud Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2006, h. 32 13

(15)

15 3. Bahan Hukum

Bahan hukum primer yang mengikat dan yang berkaitan dengan permasalahan ini antara lain Kitab Undang Hukum Pidana, Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Putusan Pengadian Negeri No 551/PDT.G/2000/PN.JKT.PST jo Putusan MA No 3416/Pdt/1985

Sedangkan bahan hukum sekunder, yaitu kepustakaan yang berkaitan dengan perlindungan hukum terkait perlindungan konsumen . Bahan-bahan hukum tersebut dikumpulkan kemudian dianalisis secara kualitatif untuk menemukan hukumnya, yaitu hukum yang mengatur mengenai perlindungan konsumen serta bentuk prtanggungjawaban pelaku usaha atas perjanjian eksonerasi.

1.6 Sistematika Penulisan

BAB I.Pendahuluan

Yang di dalamnya terdiri dari: Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Metodologi Penelitian dan Sistematika Pembahasan.

BAB II. Kerangka Teori

Berisi mengenaipengertian tanggungjawab pidana, unsur unsur terjadinya tindak pidana pertanggungjawaban penyedia jasa parkir dan hak hak konsumen serta undang-undang yang mengatur sanksi pidana penyedia jasa parkir.

(16)

16 BAB III. Hasil Penelitian dan Analisis

Berisi tentang hasil penelitian serta kajian pidana tentang pencantuman perjanjian eksonerasi oleh penyedia jasa parkir, serta tanggung jawab pidana bagi pelaku usaha penyedia jasa parkir yang mencantumkan perjanjian eksonerasi di karcis maupun di area sekitar tempat parkir penyedia jasa parkir tersebut.

BAB IV. Penutup

Referensi

Dokumen terkait

Beban yang menjadi gangguan pada sistem pengaturan level air steam drum berupa laju aliran uap yang keluar

Hasil analisis data tersebut jelas bahwa dilihat dari indicator yang pertama yaitu komunikasi kepala desa dengan lembaga-lembaga dan unsur-unsur yang terkait di dalam

Dari tujuh indikator yang dikemukakan oleh Gibson Strategi dan kebijakan yang ditetapkan sudah bejalan baik hanya saja kejelasan tujuannya tidak pada pokok dasar

Pertama, pemberian kondisi berupa asumsi tidak terjadi gangguan hubung singkat, sehingga tampilan kondisi instalasi kelistrikan ―sistem aman‖, ditekankan kepada observasi

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap 62 ibu premenopause di Kelurahan Sengon dapat disimpulkan sebelum diberikan pendidikan kesehatan tentang paket

Strategi adaptasi wanita Islam terhadap kehidupan keluarga suami tercermin dalam proses belajar berbahasa Bali, mengolah dan mengonsumsi makanan Bali, membuat banten ,

Aktivitas antimikroba pada ekstrak daging gonggong Bintan rebus bercangkang tebal yang mengandung protein histon sebagai pangan favorit di Bintan memiliki kemampuan

Adanya konflik dalam lingkungan belajar anak baik itu konflik dengan guru atau teman.. Ketika sudah masuk pada jam akhir subjek AB selalu bermain dengan teman