• Tidak ada hasil yang ditemukan

REPRESENTASI GAGASAN FEMINISME DALAM FILM THE HUNGER GAMES

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "REPRESENTASI GAGASAN FEMINISME DALAM FILM THE HUNGER GAMES"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

REPRESENTASI GAGASAN FEMINISME DALAM FILM THE HUNGER GAMES

Anissa Karamina Viandra

Alumni dari LSPR Jakarta, Jurusan Mass Communication Abstract

This research discusses about the idea of feminism in the film The Hunger Games. Feminism is generally understood as a movement that asks for the equality of rights between women and men. The idea of feminism in the film is shown by the main character, Katniss Everdeen. By employing Hartsock’s standpoint theory, the research attempts to uncover how the idea of feminism in the film The Hunger Games is represented. The research is a qualitative study by analyzing data from selected scenes of The Hunger Games. It is concluded that the film The Hunger Games contains the idea of feminism that is in accordance with Hartsock’s standpoint theory and the third wave feminism (which is Postmodern feminism).

Keywords: film, The Hunger Games, representation, feminism Abstrak

Penelitian ini membahas tentang gagasan feminisme dalam film The Hunger Games. Feminisme secara umum dipahami sebagai gerakan yang menuntut persamaan hak antara kaum wanita dan pria. Gagasan feminisme dalam film ini diperlihatkan oleh karakter utama yaitu Katniss Everdeen. Dengan menggunakan teori sikap Hartsock, penelitian ini berusaha mengungkapkan bagaimana gagasan feminisme di dalam film The Hunger Games direpresentasikan. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan menganalisa data dari adegan-adegan terpilih film The Hunger Games. Berdasarkan hasil penelitian, film The Hunger Games mengandung gagasan feminisme yang sesuai dengan teori sikap Hartsock dan feminisme gelombang ketiga (yaitu feminisme Postmodern).

(2)

Latar Belakang

Manusia merupakan makhluk sosial yang senantiasa ingin berkomunikasi dengan manusia lainnya. Komunikasi adalah interaksi antara dua makhluk hidup atau lebih. Komunikasi didefinisikan secara luas sebagai berbagi pengalaman. Sampai batas tertentu, setiap makhluk hidup dapat dikatakan berkomunikasi dalam pengertian berbagi pengalaman (Mulyana, 2009, p.46). Komunikasi juga dapat dijadikan sebagai sarana penyampaian pesan.

Salah satu cara penyampaian pesan adalah media massa. Media massa adalah alat yang digunakan dalam penyampaian pesan dari sumber kepada khalayak (penerima) dengan menggunakan alat-alat komunikasi mekanis seperti surat kabar, film, radio dan televisi (Cangara, 2006, p.122). Media massa merupakan salah satu bentuk kemajuan teknologi informasi dan komunikasi. Dengan adanya kemudahan penyebaran informasi di masyarakat melalui media massa, informasi dalam bentuk apa pun dapat disebarluaskan dengan mudah dan cepat. Hal tersebut dapat mempengaruhi gaya hidup, cara pandang, serta budaya suatu bangsa.

Dalam beberapa tahun terakhir ini, baik dalam majalah, surat kabar, televisi maupun film, muncul fenomena maraknya tayangan isu-isu perempuan oleh media massa. Film adalah media komunikasi audiovisual yang terbentuk karena penggabungan dua panca indra, yaitu pendengaran (audio) dan pengelihatan (visual). Film dengan kemampuan visualnya, yang didukung dengan audio yang khas, sangat efektif sebagai media hiburan dan juga sebagai media pendidikan dan penyuluhan (Cangara, 2006, p.126).

Media massa khususnya film, secara tidak sadar sering membuat relasi-relasi tertentu yang bias gender, seperti menempatkan perempuan pada posisi yang lemah. Salah satu contoh yang paling mudah yang dapat kita lihat adalah film produksi Walt Disney yaitu film Cinderella yang menceritakan tentang seorang gadis miskin yang dinikahi oleh seorang pangeran, lalu kehidupan Cinderella menjadi lebih baik dan terangkat derajatnya. Secara tidak langsung hal itu dapat mengungkapkan bahwa film

Gambar 1.1 Cinderella

(3)

Cinderella menanamkan ideologi patriarki dan mengajarkan perempuan untuk berpikir

bahwa mereka harus bergantung pada seorang pria.

Namun, di lain pihak ada juga film yang menampilkan feminisme seorang perempuan. Feminisme adalah sebuah gerakan perempuan yang menuntut emansipasi atau kesamaan dan keadilan antara wanita dan pria. Feminisme dapat diartikan sebagai suatu gerakan sosial yang bertujuan untuk memajukan secara politis dan ekonomis kaum wanita. Salah satu film yang menampilkan feminisme yaitu film The Hunger Games. Pada tahun 2008 seorang penulis dari Amerika Serikat bernama Suzzane Collins mengeluarkan novel fiksi ilmiah yang berjudul The Hunger Games. The Hunger Games adalah novel pertama dari trilogi The Hunger

Games, yang diikuti oleh Catching Fire (2008) dan Mocking Jay (2010). Pada tahun 2012,

novel The Hunger Games diadaptasi ke dalam sebuah film yang disutradarai oleh Gary Ross.

Gambar 1.2 The Hunger Games

(Sumber: Seventeen, 2015) Film The Hunger Games bercerita tentang seorang gadis berusia 16 tahun bernama Katniss Everdeen (Jennifer Lawrence) yang tinggal di sebuah tempat bernama Distrik 12 yang mayoritas penduduknya bekerja sebagai penambang batu bara. Distrik 12 adalah distrik terakhir dari dua belas distrik di negara yang disebut Panem. Panem adalah sebuah negara yang dulunya Amerika Utara pernah berada, namun setelah terjadi bencana besar di Bumi, Panem menjadi satu-satunya wilayah yang selamat. Karena adanya pemberontakan yang gagal dari setiap distrik terhadap pemerintahan Panem, maka pemerintahan Panem kemudian menyelenggarakan sebuah kompetisi maut bernama Hunger Games yang diadakan di ibukota negara Panem yaitu Capitol.

Hunger Games adalah sebuah kompetisi yang diikuti oleh sepasang anak muda berusia antara

12 - 18 tahun yang dipilih dari 12 distrik di Panem. Kompetisi Hunger Games telah dilakukan selama 74 tahun berturut-turut. Tujuan diadakan kompetisi ini adalah untuk menunjukan keberadaan distrik dan merekatkan hubungan antara distrik, sekaligus menyegarkan ingatan tentang mereka yang terbunuh akibat pemberontakan di distrik-distrik serta mengingatkan kepada seluruh penduduk betapa berkuasanya pemerintahan Panem yang dipimpin oleh Presiden Snow (Donald Sutherland).

(4)

Diceritakan dalam film ini Katniss adalah seorang perempuan yang memiliki sifat pemberani, kuat, pekerja keras dan penyayang. Dia berani dalam menghadapi berbagai permasalahan hidup yang ada dan menolak untuk menyerah tanpa perlawanan. Katniss juga dapat dikatakan sebagai perempuan yang kuat dalam segi fisik dan mental, dikarenakan dia sudah terbiasa menjadi tulang punggung keluarga sejak kecil. Katniss bekerja keras untuk menghidupi ibu dan seorang adiknya sejak ayahnya tewas karena kecelakaan di pertambangan saat ia berumur 11 tahun.

Sebagai anak yang tertua dalam keluarganya, Katniss juga memiliki rasa tanggung jawab serta menempatkan dirinya sebagai pengganti peran seorang ayah dan pemimpin di dalam keluarga. Dengan keahlian memanahnya, Katniss berusaha mencukupi kebutuhan keluarganya dengan memburu hewan di dalam hutan.

Peran-peran yang dijalani Katniss ini biasanya selalu dilekatkan pada pria, sangat kontras dengan stereotype perempuan dalam masyarakat selama ini yang berperan sebagai ibu atau pengurus rumah tangga, dan tentu hal ini tidak berlaku bagi Katniss. Selain itu, jika perempuan selama ini dianggap harus dilindungi oleh pria, maka sebaliknya tokoh Katniss di sini malah melindungi pasangan prianya, Peeta Mellark, yang ternyata lebih lemah dari dirinya.

Selain itu dalam film ini, Katniss berani menentang penindasan dari kalangan kapitalis yang menguasai 12 distrik di bawah kepemimpinan Capitol. Hal itu dikarenakan Katniss ingin melindungi ibu dan adiknya serta tetap dapat bertahan hidup dalam kompetisi The Hunger

Games. Katniss juga memiliki hal yang dimiliki kebanyakan wanita pada umumnya yaitu

naluri yang ingin melindungi.

Dalam novel yang dijadikan film ini, sang penulis novel dan sutradara film menggunakan sudut pandang orang pertama yaitu Katniss Everdeen, dalam menceritakan kisahnya. Melalui sudut pandang orang pertama, dapat dilihat bahwa Katniss memiliki sifat seorang perempuan yang pemberani, kuat, pekerja keras, mandiri, dan tidak mudah menyerah serta memiliki cara berpikir yang aktif, sehingga dapat disimpulkan bahwa Katniss merupakan seorang karakter feminis terutama dalam hal perjuangan dan bertahan hidup.

Digambarkan bahwa Katniss merupakan seorang perempuan yang memiliki caranya sendiri dalam memenuhi kewajibannya. Ia tidak mau hidupnya diatur, terlebih lagi oleh Capitol. Katniss memiliki kepercayaan diri terhadap kemampuan yang dimilikinya dan mengetahui hal terbaik yang dapat dilakukan untuknya dan orang-orang di sekitarnya. Dengan semua sifat dan kelebihan yang dimiliki, dia dapat memberikan kontribusi yang nyata kepada masyarakat tempat ia tinggal yaitu Distrik 12 dan dapat mengubah sejarah The Hunger

Games dengan menyelamatkan partnernya, Peeta Mellark.

Apabila kita amati, tidak sedikit film yang menampilkan karakter wanita petarung yang kuat seperti karakter Katniss Everdeen. Namun, yang membedakan film-film tersebut dengan film The Hunger Games ini adalah karakter wanita tersebut jarang dijadikan tokoh utama dalam film. Biasanya karakter wanita tersebut hanya menjadi partner untuk melengkapi tokoh utama lelaki petarung yang menjadi fokus dalam film, dan pada akhirnya para wanita ini akan berada di bawah perlindungan tokoh lelaki.

(5)

memerankan sebagai resepsionis, sekretaris, gadis yang disokong, dan peran lainnnya. Perempuan ditindas dengan memerankan peran sebagai objek seksualitas laki-laki dan korban pelecehan. Sutradara-sutradara sering sekali menggambarkan perempuan sebagai manusia “cengeng” dan rendah diri.

Stereotipe-stereotipe dalam film dapat terlihat sebagai anggapan-anggapan bawah sadar yang sulit untuk diubah dengan mudah walaupun sudah banyak perempuan-perempuan yang menempati posisi kuat dalam industri film (Gamble, 2010, p.119).

Hal menarik yang terdapat dalam film The Hunger Games ini adalah adanya gagasan feminisme yang terdapat dalam karakter utama yang merupakan figur seorang perempuan muda bernama Katniss Everdeen dengan kisah mengenai dirinya dan perjuangan hidupnya yang menjadi fokus utama dalam film.

Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti ingin mengkaji bagaimana representasi gagasan feminisme dalam film The Hunger Games yang ditunjukkan oleh karakter utama yaitu Katniss Everdeen. Penelitian ini bertujuan untuk: 1) menunjukkan pandangan pembuat film tentang feminisme yang ada dalam film; dan 2) menunjukkan representasi gagasan feminisme yang terdapat dalam film.

Metodologi Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode analisis isi kualitatif dengan pendekatan deskriptif. Paradigma yang digunakan adalah interpretatif. Thomas S. Kuhn dalam (Surajiyo, 2007, p.157) mendefinisikan paradigma sebagai “suatu asumsi dasar dan asumsi teoritis yang umum (merupakan suatu sumber nilai), sehingga menjadi suatu sumber hukum, metode, serta penerapan dalam ilmu pengetahuan sehingga menemukan sifat, ciri, serta karakter ilmu pengetahuan itu sendiri”.

Penelitian ini menggunakan paradigma interpretatif. “The interpretive aspect means that

the approach seeks to understand people’s lived experience from the perspective of people themselves, which is often referred as the emic perspective or “inside” perspective. This involves studying the subjective meanings that people attach to their experiences; so rather than focusing on facts (as in the positivist paradigm) qualitative researchers seek to “understand subjective meaningful experiences” and “the meaning of social actions within the context in which people live” (Hennink et all, 2011, p. 14-15).

Artinya, aspek interpretasi memiliki arti bahwa pendekatan tersebut mencari pemahaman akan pengalaman hidup masyarakat dari perspektif mereka, yang sering disebut sebagai perspektif emic atau perspektif dalam. Hal ini melibatkan pembelajaran akan makna subjektif yang mana pengalaman masyarakat terlekat mereka; jadi daripada berfokus pada fakta-fakta (seperti dalam paradigma positivis), penelitian kualitatif berusaha untuk memahami makna pengalaman yang subjektif dan makna tindakan sosial dalam konteks dimana orang hidup. Dalam penggunaan paradigma intrepretatif kuncinya menginterpretasi dan melakukan pengamatan dalam memahami dunia sosial secara subjektif. Penelitian menggunakan pendekatan paradigma interpretatif dapat memahami realitas yang dikonstruksi dalam konteks sosial, budaya, dan sejarah.

(6)

Kerangka Teori

Penelitian tentang representasi feminisme dalam film juga pernah diteliti oleh Maria Intan Kristalia dalam jurnal yang berjudul Representasi feminisme dalam film “The Devil Wears

Prada”. Film “The Devil Wears Prada” merupakan film yang ber-setting dunia fashion. Film ini

bercerita mengenai kehidupan para perempuan terutama Miranda dan Andy yang berjuang di dunia kerja fashion yang sangat keras. Dalam penelitian ini, rumusan masalah yang diajukan oleh peneliti adalah bagaimana representasi feminisme dalam film “The Devil Wears Prada”. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif dengan metode semiotika dan menggunakan teori kode-kode televisi (television codes theory) oleh John Fiske. Subtema yang digunakan untuk menganalisa film tersebut adalah feminisme dalam hubungan dunia kerja, feminisme dalam hubungan dengan pasangan dan keluarga, feminisme dalam hubungan dunia sosial. Dalam penelitian ini, peneliti menemukan bahwa dalam proses encodingnya yang menghasilkan sebuah teks film, faktor-faktor eksternal di luar maksud pembuat film dapat berperan dalam membentuk muatan ideologisnya. Lalu, kesimpulan dalam penelitian ini adalah pada akhirnya, ditemukan bahwa film dapat menjadi media untuk menyampaikan pesan berupa representasi atas realitas sosial dari kesetaraan hak antara perempuan dan laki-laki dalam berbagai bidang, sebagai manusia yang sederajat, yang disebut feminisme. Penelitian kedua tentang representasi perempuan juga pernah diteliti oleh Yolanda Hana Chornelia dalam jurnal yang berjudul Representasi Feminisme dalam Film “Snow White

and The Huntsman”. “Snow White and The Huntsman” merupakan sebuah film adaptasi dari

sebuah dongeng asal Jerman, yaitu “Snow White” yang disusun oleh Brothers Grimm. Film ini berbeda dari dongeng klasik. Film ini menyorot perempuan sebagai tokoh utama yang memiliki sisi tangguh. Rumusan masalah yang ingin dijawab oleh peneliti adalah bagaimana representasi feminisme dalam film “Snow White and the Huntsman”.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode semiotika, khususnya teori kode-kode televisi John Fiske. Subtema yang digunakan untuk menganalisa yaitu feminisme dalam pengambilan keputusan, feminisme dalam kekuatan, dan feminisme dalam kepemimpinan. Kesimpulan dari penelitian ini adalah film ini mengandung feminisme dalam pengambilan keputusan, feminisme dalam kekuatan, feminisme dalam kepemimpinan dan androgini. Di samping itu, terdapat faktor eksternal dalam pencapaian feminisme.

Jurnal 1 Jurnal 2 Rencana Penelitian

Judul Representasi feminisme dalam film "The Devil Wears Prada".

Representasi

Feminisme Dalam Film “Snow White and The Huntsman”.

Representasi Gagasan

Feminisme Dalam Film. Studi Deskriptif Film “The Hunger Games”. Latar Belakang dan Tujuan Penelitian Ingin mengetahui bagaimana representasi feminisme dalam film "The Devil Wears Prada”.

Ingin mengetahui bagaimana representasi feminisme dalam film “Snow White and The Huntsman”.

Ingin mengetahui bagaimana representasi gagasan feminisme yang terdapat dalam film The Hunger Games yang ditampilkan dalam karakter utama yaitu Katniss Everdeen.

Tabel 1.1

(7)

Teori Teori kode-kode televi(Television Codes Theory) oleh John Fiske.

Teori kode-kode televisi (Television Codes

Theory) oleh John Fiske.

Teori Sikap (Standpoint Theory) oleh Nancy Hartsock.

Metode Pendekatan kualitatif,

metode semiotika. Pendekatan kualitatif, metode semiotika. Metode analisis isi kualitatif, pendekatan deskriptif. Subtema Subtema yang

digunakan untuk menganalisa adalah feminisme dalam hubungan dunia kerja, feminisme dalam hubungan dengan pasangan dan keluarga, feminisme dalam hubungan dunia sosial.

Subtema yang digunakan untuk menganalisa yaitu feminisme dalam pengambilan keputusan, feminisme dalam kekuatan, dan feminisme dalam kepemimpinan.

Subtema yang digunakan untuk menganalisa adalah feminisme dalam kemampuan bertahan hidup, feminisme dalam status sosial, dan feminisme dalam menentang penindasan.

Hasil Kesimpulan dalam penelitian ini adalah pada akhirnya, ditemukan bahwa film dapat menjadi media untuk

menyampaikan pesan berupa representasi atas realita sosial dari kesetaraan hak antara perempuan dan laki-laki dalam berbagai bidang, sebagai manusia yang sederajat yang disebut feminisme.

Kesimpulan dari penelitian ini adalah film ini mengandung feminisme dalam pengambilan keputusan, feminisme dalam kekuatan, feminisme dalam kepemimpinan dan androgini.

Di samping itu terdapat faktor eksternal dalam pencapaian feminism.

Kesimpulan dari penelitian ini adalah film ini mengandung gagasan feminisme dalam kemampuan bertahan hidup, feminisme dalam status sosial, dan feminisme dalam menentang penindasan. Di samping itu gagasan feminisme yang

tergambarkan di dalam film ini juga dipengaruhi oleh sikap, kondisi dan situasi dimana individu tersebut berada.

(Sumber: Data Olahan Peneliti, 2015)

Film

Menurut Barsam (2007, p.48) dalam bukunya yang berjudul Writing about Movies pengertian film dijelaskan sebagai berikut: 1) Rangkaian gambar yang berurutan yang bergerak dengan cepat dan diproyeksikan dalam layar dengan objek yang diletakkan pada posisi berurutan sehingga dapat menghasilkan efek optik pada rangkaian gambar dari objek yang bergerak tersebut; 2) Rangkaian foto dalam film yang diproyeksikan dengan cepat ke dalam layar oleh cahaya. Sementara itu film layar lebar diartikan sebagai film yang karena gambarnya dibuat sedemikian rupa harus diputar dan dipertunjukkan di layar yang berukuran besar.

Film dalam pengertian sempit adalah penyajian gambar lewat layar lebar, tetapi dalam pengertian yang lebih luas bisa juga termasuk yang disiarkan di televisi. Film dengan kemampuan visualnya yang didukung dengan audio yang khas sangat efektif sebagai media

(8)

hiburan dan juga sebagai media pendidikan dan penyuluhan. Film bisa diputar berulang kali pada tempat dan khalayak yang berbeda (Cangara, 2006, p.126).

Representasi

Representasi adalah konstruksi artifisial realitas (citra, gambaran visual, konsep, deskripsi verbal) yang merupakan materi pemikiran paling awal dalam proses memahami realitas. Representasi adalah tindakan pernyataan, atau kenyataan mempresentasikan atau dipresentasikan, mewakili atau melambangkan citra, gambaran, penampilan dramatis: citra (image) mental; sebuah penyajian pandangan atas fakta-fakta atau argumen-argumen, sebuah petisi, bantahan, peringatan, penerimaan harta warisan oleh pewaris, sekumpulan wakil (Cavallaro, 2007, p.38). Dalam penelitian ini, representasi yang dimaksudkan oleh peneliti adalah bukan representasi yang bersifat teoretis, namun representasi yang memiliki makna generik atau hanya sebagai bahasa yang digunakan sehari-hari.

Feminisme

Feminisme merupakan gerakan memperjuangkan hak-hak perempuan agar perempuan keluar dari ketidakadilan. Feminisme juga merupakan suatu gerakan politis yang dapat ditinjau dari berbagai aspek kehidupan. Hingga kini feminisme sangat ramai diperbincangkan, sehingga muncul beraneka macam aliran feminisme (Ganeshvar, 2015). Adapun secara historis aliran-aliran tersebut terbagi ke dalam tiga gelombang.

Feminisme Postmodern

Feminisme ini dipengaruhi oleh filusuf Perancis, Eksistensialis, Psikoanalisa, Dekonstruksi. Feminisme jenis ini mengatakan bahwa perbedaan antara laki-laki dan perempuan harus diterima dan dipelihara. Mereka berusaha membongkar narasi-narasi besar, realitas, konsep kebenaran dan bahasa. Feminisme postmodern menganggap bahwa tiap masyarakat diatur oleh suatu seri tanda, peranan dan ritual yang saling berhubungan yang disebut aturan simbolik dan internalisasi aturan simbolik dihasilkan lewat bahasa sehingga semakin banyak aturan simbolik masyarakat yang diterima oleh seorang anak semakin tertanam di dalam alam bawah sadarnya (Tong, 1998).

Dalam pembongkaran tidak dapat dihancurkan total tetapi bisa diperlemah dengan melakukan pembongkaran tersebut dengan melakukan interpretasi alternatif. Ada beberapa langkah yang ditawarkan untuk menstrukturkan pengalaman perempuan dalam dunia laki-laki, yaitu: perempuan dapat membentuk bahasanya sendiri, perempuan dapat membuat seksualitasnya sendiri, dan ada usaha untuk menyimpulkan dirinya sendiri (Tong, 1998).

Feminisme dalam Film

Menurut Gamble (2010, p.117) perempuan ditindas dalam film, perempuan lebih banyak berperan sebagai resepsionis, sekretaris, gadis yang disokong dan lain-lainnya. Perempuan ditindas dengan memerankan peran sebagai objek seksualitas laki-laki dan korban pelecehan. Sutradara-sutradara sering sekali menggambarkan perempuan sebagai manusia “cengeng” dan rendah diri.

Stereotipe-stereotipe pada film dapat terlihat sebagai anggapan-anggapan bawah sadar yang sulit untuk bisa diubah walaupun sudah banyak perempuan yang menempati posisi kuat dalam industri film (Gamble, 2010, p.119).

(9)

didefinisikan sebagai suatu sistem penggambaran atau sebuah cara pandang pada dunia yang terlihat menjadi natural, tetapi sebenarnya merupakan struktur kekuatan yang membentuk suatu masyarakat (2010, p.120).

Kritikus film feminis cenderung mengasumsikan dua bentuk feminisme yang ada dalam film. Pertama, sebuah analisis dan deskripsi dari sebuah gambaran wanita dalam film yang kebanyakan dibuat oleh pria. Banyak kritikus film feminis membahas bagaimana cara visual menggambarkan wanita sebagai objek dan objek yang erotis untuk penonton pria. Contohnya pada aktris Marilyn Monroe, film membuat aktris tersebut menjadi erotis. Kedua, bagaimana film menggambarkan sebuah karakter (Prince, 2007, p.462-464).

Teori Sikap (Standpoint Theory)

Teori Sikap memberikan kerangka untuk memahami sistem kekuasaan dan memberikan wewenang pada suara pribadi individu. Teori ini mengklaim bahwa pengalaman, pengetahuan dan perilaku komunikasi orang dibentuk sebagian besarnya oleh kelompok sosial di mana mereka tergabung. Selain itu, Teori Sikap berargumen bahwa tidak ada standar yang objektif untuk mengukur sikap. Pada intinya, semua pernyataan, ungkapan, dan teori harus dipahami sebagai perwakilan dari lokasi sosial yang subjektif (West & Turner, 2010, p. 178).

Masyarakat pada umumnya memberikan kerangka pada Teori Sikap karena keyakinan bahwa mereka memiliki pengetahuan yang berbeda dari mereka yang sedang memegang kekuasaan. Pengetahuan ini membentuk sikap yang merupakan oposisi dari mereka yang berkuasa. Sikap berasal dari perlawanan terhadap mereka yang berkuasa dan menolak untuk menerima cara bagaimana masyarakat mendefinisikan kelompok mereka. Teori Sikap menunjuk pada permasalahan dalam tatanan sosial dan juga menyiratkan cara-cara baru untuk mengatur kehidupan sosial sehingga menjadi lebih setara dan adil (West & Turner, 2010, p. 178).

Teori sikap disebut juga sebagai teori sikap feminisme karena Hartsock menerapkan konsep Hegel mengenai tuan dan budak dan pemikiran Marx mengenai kelas dan kapitalisme pada isu-isu mengenai jenis kelamin (kategori biologis laki-laki dan perempuan) dan gender (kategori perilaku maskulinitas dan feminitas). Ini merupakan bentuk adaptasi dari Teori Sikap yang umum, dan karenanya kebanyakan orang terkadang menyebut Teori Sikap sebagai Teori Sikap Feminis (Feminist Standpoint Theory) (West & Turner, 2010, p. 179).

Dalam bahasan ini harus diakui adanya keberagaman, tetapi melihat bahwa karakteristik penentu yang menyatukan semua feminisme adalah fokus pada posisi sosial wanita dan keinginan untuk mengakhiri dominasi berdasarkan jenis kelamin atau gender (West & Turner, 2010, p. 180).

Teori Sikap Feminis harus dimulai dengan menggarisbawahi hubungan antara kekuasaan dan pengetahuan. Dengan melakukan hal tersebut, teori sikap feminis berusaha untuk menyatukan dua hal yang bersitegang: pencarian akan pengetahuan yang lebih baik dan komitmen pada ide bahwa pengetahuan selalu berkaitan dengan isu kekuasaan dan politik. Teori Sikap dapat digunakan untuk menganalisis berbagai macam sikap berdasarkan ras, kelas, dan status sosial ekonomi (West & Turner, 2010, p. 180).

Teori Sikap Feminis berpijak pada empat asumsi yang menurut Janet Saltzman Chafetz (1997) memberikan karakter bagi teori feminis manapun (West & Turner, 2010, p. 181):

(10)

1. Jenis kelamin atau gender merupakan fokus utama teori ini;

2. Hubungan jenis kelamin atau gender dipandang sebagai sesuatu yang problematis, dan teori ini berusaha untuk memahami bagaimana jenis kelamin atau gender berhubungan dengan ketidaksetaraan dan kontradiksi;

3. Hubungan jenis kelamin atau gender dipandang sebagai sesuatu yang dapat diubah; 4. Teori feminis dapat digunakan untuk menantang status quo ketika status quo ini

merendahkan atau melecehkan wanita.

Selain itu, Teori Sikap, sebagaimana dikonseptualisasikan oleh Hartsock, berpijak pada lima asumsi khusus mengenai sifat kehidupan sosial (West & Turner, 2010, p. 182):

1. Kehidupan material (atau posisi kelas) menyusun dan membatasi pemahaman akan hubungan sosial.

2. Ketika kehidupan material distrukturkan dalam dua cara yang berlawanan untuk dua kelompok yang berbeda, pemahaman yang satu akan menjadi kebalikan dari yang satunya. Ketika terdapat kelompok dominan, kelompok bawahan, dan pemahaman dari kelompok yang dominan akan bersifat parsial dan merugikan.

3. Visi dari kelompok yang berkuasa menyusun hubungan material di mana semua kelompok dipaksa berpartisipasi.

4. Visi yang ada bagi kelompok yang tertindas mempresentasikan pergulatan dan prestasi. 5. Potensi pemahaman dari mereka yang tertindas (sikap) membuat dapat dilihatnya

ketidakmanusiawian yang lebih baik dan lebih adil.

Terdapat lima asumsi yang dibingkai di dalam perspektif Marxis yang telah dimodifikasi yang didukung oleh Hartsock (West & Turner, 2010, p. 182), yaitu:

1. Lokasi individu dalam struktur kelas membentuk dan membatasi pemahaman seseorang dalam hubungan sosial.

2. Semua sikap bersifat parsial, tetapi sikap dari kelompok yang berkuasa dapat merugikan mereka yang berada di dalam kelompok bawah.

3. Kelompok yang berkuasa menyusun kehidupan sedemikian sehingga untuk menyingkirkan beberapa pilihan dari kelompok bawah. Sebagaimana dinyatakan oleh Hartsock, visi dari pemimpin menyusun kehidupan sosial dan memaksa semua pihak untuk berpartisipasi dalam struktur ini.

4. Kelompok bawahan harus berjuang bagi visi mereka mengenai kehidupan sosial.

5. Perjuangan kelompok bawah menghasilkan visi yang lebih jelas dan akurat bagi kelompok bawah dibandingkan dengan yang dimiliki oleh kelompok yang berkuasa. Dengan pandangan yang jelas ini, kelompok bawah dapat melihat ketidakmanusiawian yang ada di dalam tatanan sosial dan dapat berusaha mengubah dunia agar menjadi lebih baik. Kebanyakan konsepsi dari Standpoint theory juga membentuk epistemologi, atau cara untuk mengetahui dan ontologi, atau kepercayaan akan apa yang layak untuk diketahui. Epistemologi dan ontologi Sikap juga didasarkan pada beberapa asumsi berikut ini (West & Turner, 2010, p.183):

1. Semua pengetahuan adalah produk dari kegiatan sosial, dan karenanya tidak ada pengetahuan yang dapat benar-benar objektif.

2. Kondisi budaya yang “secara khusus melingkupi kehidupan wanita menghasilkan pengalaman dan pemahaman yang secara rutin berbeda dari yang dihasilkan oleh kondisi bingkai kehidupan pria”. Pemahaman yang berbeda ini sering kali menghasilkan pola komunikasi yang unik.

3. Memahami fitur-fitur unik dari pengalaman wanita merupakan usaha yang layak dilakukan.

(11)

4. Kita hanya dapat mengetahui pengalaman wanita dengan memerhatikan interpretasi wanita mengenai pengalaman ini.

Melalui asumsi-asumsi ini kita mendapatkan gambaran mengenai teori sikap sebagai kerangka yang terus berevolusi, memiliki dasar yang berada dalam Marxisme, tetapi menolak beberapa pemikiran sentral dari perspektif tersebut dalam mendukung suatu pendekatan feminis (West & Turner, 2010, p.183).

Teori sikap memiliki beberapa konsep penting: sikap, pengetahuan tersituasi, dan pembagian pekerja berdasarkan jenis kelamin. Sikap merupakan posisi yang dicapai berdasarkan lokasi sosial yang memberikan suatu aspek interpretatif pada kehidupan seseorang. Karena sikap didefinisikan oleh lokasi sosial tertentu, berdasarkan kepentingan sikap bersifat parsial (partial) atau tidak lengkap. Lokasi hanya memungkinkan sebuah bagian dari kehidupan sosial untuk dipandang oleh kelompok tertentu mana pun.

Konsep penting berikutnya adalah pengetahuan tersituasi (situated knowledge), yang berarti bahwa pengetahuan setiap orang didasarkan pada konteks dan keadaan (West & Turner, 2010, p.185).

Pembagian pekerjaan berdasarkan jenis kelamin merupakan konsep alokasi pekerjaan yang didasarkan pada jenis kelamin, tetapi hal ini juga mengeksploitasi wanita dengan menuntut kerja tanpa memberikan upah sekaligus membuat “wanita bertanggung jawab dalam pemeliharaan yang tidak digaji dan dalam reproduksi dari tenaga kerja di masa kini dan masa depan”. Teori Sikap juga mengedepankan hubungan yang respirokal dengan perilaku komunikasi dan sikap. Komunikasi bertanggung jawab dalam membentuk sikap kita hingga pada batasan di mana kita mempelajari tempat kita di dalam masyarakat melalui interaksi dengan orang lain. Selain itu, teori ini menunjuk pada kegunaan komunikasi sebagai alat dalam mengubah status quo dan menghasilkan perubahan (West & Turner, 2010, p.187). Untuk memperpendek diskusi, berikut adalah tabel Teori Sikap Feminisme dari Hartsock yang digunakan sebagai alat analisis untuk membahas film The Hunger Games:

Tabel 1.3

Sikap Feminisme Hartsock yang Diterapkan dalam Film The Hunger Games

Konsep Elemen Eviden

Sikap

Feminisme Kemampuan Bertahan Hidup

Lokasi keberadaan individu dalam struktur kelas ekonomi membentuk dan membatasi sikap dan perilaku akan kondisi kehidupan.

- Menghidupi Keluarga - Melindungi Adiknya - Menghindar Dari Kebakaran Hutan - Melindungi Diri Dari Lawan

Status Sosial

Posisi sosial wanita dan keinginan untuk mengakhiri dominasi berdasarkan jenis kelamin atau gender merupakan fokus utama.

- Sebagai Kepala Keluarga - Sebagai Pemenang Hunger Games

- Sikap Skeptis Katniss Sebagai Wanita Yang Dicintai

(12)

Analisis

Feminisme dalam Kemampuan Bertahan Hidup

Scene Pertama: Menghidupi Keluarga

Gambar 1.3 Menghidupi Keluarga

(Sumber: Gambar Olahan Peneliti, 2015) Hartsock mengemukakan pemikiran bahwa lokasi individu dalam struktur kelas membentuk dan membatasi pemahaman mereka akan hubungan sosial (West & Turner, 2010, p. 182). Hal ini dapat dikaitkan dengan pemahaman bahwa lokasi keberadaan individu dalam struktur kelas ekonomi juga membentuk dan membatasi sikap dan perilaku akan kondisi kehidupan. Komunikasi verbal adalah komunikasi yang berupa kata-kata dalam bentuk lisan maupun tertulis. Dalam scene ini terlihat Katniss sedang berbicara kepada Gale bahwa ia akan menjual atau menukar hasil buruannya dengan mengatakan “Aku akan menjualnya, ke

penjaga kedamaian”.

Komunikasi nonverbal adalah sebagai penciptaan dan pertukaran pesan dengan tidak menggunakan kata-kata, seperti komunikasi yang menggunakan gerakan tubuh, sikap tubuh, vokal yang bukan kata-kata, kontak mata, ekspresi muka, kedekatan jarak dan sentuhan. Dengan komunikasi nonverbal seseorang dapat mengekspresikan perasaan melalui ekspresi wajah, nada, atau kecepatan berbicara (Muhammad, 2011, p. 130). Dalam scene di atas terlihat Katniss sedang berada di dalam hutan untuk berburu, dengan menggunakan busur panah miliknya yang selalu disiapkan di balik pohon. Katniss mencari peluang dan bersiap untuk membidik rusa buruannya.

(Sumber: Hartsock, 2015)

Menentang Penindasan

Status dan kondisi individu akan mempengaruhi dalam bersika dan bertindak untuk menentang kelompok yang berkuasa.

(13)

Interpretasi yang dapat diberikan dalam adegan ini adalah lokasi individu yang merupakan wilayah tempat tinggal Katniss (Distrik 12), memiliki struktur kelas ekonomi bawah sebagai keluarga penambang batu bara. Hal itu dapat membentuk sikap dan membatasi pemahaman Katniss akan hubungan sosial dan kehidupannya. Dengan latar belakang kelas ekonomi dan usianya yang masih muda, yang hidup tanpa didampingi seorang ayah yang meninggal saat kecelakaan kerja, maka terbentuklah sikap untuk melindungi dan menghidupi ibu serta adiknya dengan cara berburu di hutan yang penuh tantangan dan risiko. Hal ini harus dilakukannya karena Katniss tidak dapat melakukan pekerjaan sebagai penambang, sedangkan berburu merupakan keahlian satu-satunya yang dia miliki atas didikan dari ayahnya.

Terdapat beberapa kesimpulan dalam scene ini, yaitu Teori Sikap dapat memberi gambaran bahwa lokasi seseorang di dalam masyarakat dapat membentuk pemahaman dari sikap Katniss, yang didasarkan pada keadaannya yang sulit dalam menghidupi ibu dan adiknya tanpa kehadiran seorang ayah. Representasi feminisme yang terdapat dalam scene ini adalah Katniss terbukti mampu untuk menjalani peran dan melakukan pekerjaan yang seharusnya menjadi kewajiban seorang lelaki.

Scene Kedua: Melindungi Adiknya

Gambar 1.4 Melindungi Adiknya

(Sumber: Gambar Olahan Peneliti, 2015) Hartsock mengemukakan pemikiran bahwa kelompok yang berkuasa menyusun hubungan material, di mana semua individu dan kelompok yang ada dipaksa untuk berpartisipasi; serta lokasi individu dalam struktur kelas membentuk dan membatasi pemahaman mereka akan hubungan sosial (West & Turner, 2010, p. 182). Hal ini dapat dikaitkan dengan pemahaman bahwa lokasi keberadaan individu dalam struktur kelas ekonomi juga membentuk dan membatasi sikap dan perilaku akan sebuah pengorbanan untuk melindungi. Komunikasi verbal dalam scene ini terjadi pada saat Effie mengumumkan bahwa Primrose terpilih menjadi kandidat peserta Hunger Games, Katniss langsung mengatakan kepada Effie “Kuajukan

diriku sebagai sukarelawan!”. Ucapan tersebut menunjukkan bentuk sikap feminisme dalam

keberanian Katniss untuk melindungi dan menggantikan adiknya, Primrose, dalam mengikuti kompetisi Hunger Games.

(14)

Proses pemilihan kandidat peserta dilakukan dengan cara pengundian nama yang disimpan dalam sebuah tempat, kemudian diambil 2 buah nama yang merupakan seorang pria dan wanita, yang kemudian dinyatakan sebagai peserta terpilih. Komunikasi nonverbal dalam

scene ini ditunjukkan ketika Katniss melihat bahwa adiknya, Primrose, terpilih menjadi

kandidat peserta Hunger Games, Katniss langsung bergerak maju untuk menggantikan posisi adiknya.

Interpretasi yang dapat diberikan dalam adegan ini terkait dengan asumsi Hartsock di atas adalah kelompok yang berkuasa seperti Capitol, menyusun kehidupan di setiap distrik menjadi sedemikian rupa sehingga menyingkirkan beberapa pilihan dari kelompok sosial seperti di Distrik 12. Visi dari penguasa adalah menyusun kehidupan sosial dan memaksa semua distrik untuk berpartisipasi dalam Hunger Games. Dalam scene ini dapat diketahui bahwa adik Katniss, yaitu Primrose, yang sudah terpilih akan dipaksa mengikuti aturan yang ada untuk menjadi kandidat pemain Hunger Games. Hal ini harus dipatuhi oleh setiap kandidat yang terpilih. Untuk menjaga dan melindungi adiknya, Katniss menawarkan dirinya sebagai sukarelawan menggantikan adiknya.

Terdapat beberapa kesimpulan dalam scene ini, yaitu Teori Sikap dapat memberi gambaran bahwa setiap individu dan kelompok bawah yang ada dipaksa untuk berpartisipasi. Dalam

scene ini terlihat bahwa Distrik 12 dipaksa untuk mengikuti dan tidak dapat menolak perintah

dan keinginan Capitol sebagai penguasa. Representasi feminisme yang terdapat dalam scene ini adalah Katniss rela berkorban demi menjamin masa depan dan kehidupan adiknya. Sikap Katniss tersebut menunjukkan bahwa wanita memiliki keberanian dan jiwa melindungi.

Scene Ketiga: Menghindar dari Kebakaran Hutan

Gambar 1.5

Menghindar dari Kebakaran Hutan

(Sumber: Gambar Olahan Peneliti, 2015) Hartsock mengemukakan pemikiran bahwa lokasi individu dalam struktur kelas membentuk dan membatasi pemahaman mereka akan hubungan sosial (West & Turner, 2010, p. 182). Hal ini dapat dikaitkan dengan pemahaman bahwa lokasi keberadaan individu dalam struktur kelas ekonomi membentuk dan membatasi sikap dan perilaku terhadap cara untuk bertahan hidup. Komunikasi nonverbal yang terdapat dalam scene ini adalah setelah lelah melakukan perjalanan mengitari hutan, Katniss tidur di dahan pohon. Katniss terbangun oleh kebakaran

(15)

hutan yang telah diciptakan oleh game maker. Katniss kemudian berlari untuk menghindari kobaran api dan rintangan meskipun kakinya telah terkena luka bakar akibat kebakaran tersebut. Pada akhirnya Katniss berhasil menemukan sungai dan menggunakan airnya untuk sedikit menghilangkan rasa sakitnya.

Interpretasi yang dapat diberikan dalam adegan ini adalah sikap dan tindakan Katniss berasal dari perlawanan terhadap game maker yang menciptakan terjadinya kebakaran hutan. Katniss juga menolak bagaimana cara mempertahankan hidup yang didefinisikan oleh para penguasa, dalam hal ini adalah seorang game maker. Untuk dapat mempertahankan hidupnya, sikap dan tindakan yang harus dilakukan Katniss adalah dia tidak boleh menyerah dan harus terus berlari menyelamatkan diri dari kobaran api dan berbagai rintangan yang berbahaya. Kondisi tersebut mengakibatkan kaki kanannya mengalami luka bakar yang cukup serius. Meskipun demikian, Katniss tetap dapat bertahan hidup dengan mengandalkan keberanian dan kemampuan dirinya sendiri.

Terdapat beberapa kesimpulan dalam scene ini, yaitu Teori Sikap menggambarkan bahwa struktur kelas ekonomi membentuk sikap dan perilaku terhadap cara bertahan hidup. Representasi feminisme yang ditunjukkan oleh Katniss dalam scene ini terlihat dari kondisi fisiknya yang kuat dan tindakannya yang berani dalam mengambil risiko. Di samping itu, Katniss dapat menjaga dan menyelamatkan dirinya sendiri tanpa bantuan orang lain.

Scene Keempat: Melindungi Diri dari Lawan

Gambar 1.6

Melindungi Diri dari Lawan

Sumber: Gambar Olahan Peneliti, 2015 Hartsock mengemukakan pemikiran bahwa lokasi individu dalam struktur kelas membentuk dan membatasi pemahaman mereka akan hubungan sosial (West & Turner, 2010, p. 182). Hal ini dapat dikaitkan dengan pemahaman bahwa lokasi keberadaan individu dalam struktur kelas ekonomi membentuk dan membatasi sikap dan perilaku dalam menghadapi lawan. Dalam scene ini, tidak terdapat komunikasi verbal yang disampaikan langsung oleh Katniss. Namun terdapat komunikasi verbal saat Peeta berkata kepada Cato yang hendak membunuh Katniss: “Dia (Katniss) pasti akan turun atau kelaparan sampai mati. Saat itu kita bunuh

dia.” Komunikasi verbal antara Cato dan Peeta tersebutlah yang membuat Katniss berusaha

(16)

Feminisme dalam Status Sosial

Komunikasi nonverbal yang terdapat dalam scene ini adalah ketika Katniss dikejar oleh lawannya yaitu Cato, Glimmer, Clove, Marvel dan Peeta yang hendak membunuhnya. Katniss kemudian berlari menyelamatkan diri ke dalam hutan dan berhasil memanjat ke dahan pohon yang tinggi untuk berlindung. Sementara itu, lawannya tetap menunggu di bawah pohon tempat Katniss bernaung. Ketika lawannya sedang tertidur, Katniss berusaha melumpuhkan lawannya dengan menjatuhkan sarang tawon yang berada di dahan pohon tersebut dan memotongnya dengan pisau, sehingga terjatuh menimpa lawan-lawannya. Hal itu membuat mereka semua akhirnya kabur karena terkena sengatan tawon yang beracun.

Interpretasi yang dapat diberikan dalam adegan ini adalah sikap dan tindakan Katniss berasal dari perlawanan terhadap mereka yang berkuasa (membuat aliansi atau persekutuan) di dalam kompetisi Hunger Games. Untuk dapat mempertahankan hidup dan bisa lolos dari kejaran lawan, Katniss harus mengambil sikap dan tindakan menyelamatkan diri. Lawannya merupakan persekutuan yang selalu berusaha untuk membunuh pihak lainnya dengan berbagai cara, karena Katniss merupakan ancaman bagi lawannya. Menyadari akan kondisi tersebut, Katniss tidak pantang menyerah dan berani bertindak serta siap mengambil risiko. Meskipun demikian, Katniss tetap dapat bertahan hidup dan menyelamatkan dirinya dengan hanya mengandalkan dirinya sendiri.

Terdapat beberapa kesimpulan dalam scene ini, yaitu Teori Sikap menggambarkan bahwa struktur kelas ekonomi membentuk sikap dan perilaku terhadap cara bertahan hidup. Representasi feminisme Katniss dalam scene ini dapat terlihat dari tindakannya yang berani dalam melakukan perlawanan terhadap musuh-musuhnya dengan mengandalkan kecerdikan yang dia miliki.

Scene Pertama: Sebagai Kepala Keluarga

Gambar 1.7

Sebagai Kepala Keluarga

(Sumber: Gambar Olahan Peneliti, 2015) Menurut Hartsock, karakteristik penentu yang menyatukan semua jenis feminisme adalah fokus pada posisi sosial wanita dan keinginan untuk mengakhiri dominasi berdasarkan jenis kelamin atau gender (West & Turner, 2010, p. 180).

(17)

Scene Kedua: Sebagai Pemenang Hunger Games

Komunikasi verbal yang terdapat dalam scene ini adalah ketika Katniss mengatakan kepada ibunya untuk menjaga Primrose, “Kau tidak boleh meninggalkannya. Meski Ayah sudah tiada.

Aku tidak ada lagi untuknya, hanya kau yang dia miliki. Tidak peduli apa yang kau rasakan, kau harus berada di sana untuk dia, kau mengerti? Jangan menangis. Jangan.”

Komunikasi nonverbal dalam scene ini dapat diamati bahwa Katniss lebih mendominasi dalam keluarga dibandingkan ibunya. Katniss menunjukkan tatapan mata yang tajam, dagu terangkat dan bahu yang tegap saat berbicara dengan ibunya, Mrs. Everdeen. Katniss juga berusaha untuk menenangkan ibunya dengan cara memeluknya. Semua hal ini mencermin-kan sikap seorang pemimpin.

Interpretasi yang dapat diberikan dalam adegan ini dapat dilihat dalam sikap yang terjadi saat Katniss diisolasi di sebuah ruangan dan diberi waktu tiga menit untuk berbicara dengan keluarga dan teman-teman sebelum dibawa ke Capitol. Ketika dia sedang berbicara dengan ibunya tentang merawat Primrose, dia berbicara dengan sangat tegas. Nada dan bahasanya tidak seperti percakapan seorang ibu dan anak melainkan seperti percakapan antara suami dan istri. Katniss juga memiliki andil dalam menenangkan ibunya. Sikapnya terhadap ibunya adalah salah satu dari bentuk dominasi, sedangkan sikap ibunya adalah jelas tunduk kepada anak remajanya. Pada kenyataannya seorang wanita dapat bersikap dan bertindak sebagai seorang pemimpin yang dituntut karena kondisi dan status sosialnya. Sikap dan tindakan yang dilakukan oleh seseorang dapat dipengaruhi oleh status sosial yang ada.

Terdapat beberapa kesimpulan dalam scene ini, yaitu Teori Sikap dapat digunakan untuk menganalisis berbagai sikap, seperti sikap yang ditunjukkan Katniss dalam komunikasi verbal dan nonverbal di atas, yang lebih mendominasi dibandingkan dengan ibunya, serta menggantikan peran sang ayah. Representasi feminisme dalam scene ini ditunjukkan Katniss melalui ucapan dan bahasa tubuh yang terlihat. Hal ini dapat dengan mudah diamati bahwa karakter Katniss adalah kepala keluarga, menggantikan ayahnya yang meninggal dalam kecelakaan pertambangan dan dengan mengambil peran sebagai kepala keluarga, Katniss menegaskan dominasinya; ia menampilkan bahwa wanita juga dapat berperan menjadi “breadwinner” dalam keluarga yang sejatinya adalah peran seorang laki-laki.

Gambar 1.8

Sebagai Pemenang Hunger Games

(18)

Menurut Hartsock, karakteristik penentu yang menyatukan semua jenis feminisme adalah fokus pada posisi sosial wanita dan keinginan untuk mengakhiri dominasi berdasarkan jenis kelamin atau gender (West & Turner, 2010, p. 180).

Dalam scene ini, tidak terdapat komunikasi verbal yang disampaikan langsung oleh Katniss. Namun terdapat komunikasi verbal saat Game maker mengumumkan pemenang Hunger

Games dengan langsung berkata “Hadirin sekalian, kami persembahkan pemenang acara tahunan Hunger Games ke 24.” Caesar Millan juga mengatakan kepada Katniss dan Peeta

“Inilah pemenang acara tahunan Hunger Games ke-74”. Presiden Snow mengatakan “Selamat” kepada Katniss atas kemenangannya. Hal ini sebagai bukti yang menunjukkan bahwa Katniss merupakan pemenang Hunger Games.

Komunikasi nonverbal dalam scene ini dapat diamati ketika Katniss terlihat terkejut saat mendengar game maker mengumumkan pemenang Hunger Games ke 74 di sebuah lapangan. Selain itu, Katniss menunjukkan ekspresi wajah yang terlihat tersenyum senang saat Caesar mengumumkan bahwa Katniss adalah pemenangnya dalam sebuah show. Katniss juga berdiri saat Presiden Snow memberikan mahkota kemenangan kepada Katniss karena telah berhasil memenangkan Hunger Games ke-74.

Interpretasi yang dapat diberikan dalam scene ini adalah Katniss menunjukkan bahwa dirinya sebagai seorang wanita yang memiliki keahlian, kemampuan dan keberanian dalam mengubah dominasi gender yang ada. Katniss telah berhasil memenangkan kompetisi

Hunger Games bersama partner-nya, Peeta Mellark yang merupakan seorang pria. Hal ini

menunjukkan bahwa wanita dan pria sama-sama memiliki hak atau kesetaraan untuk menjadi pemenang atau pemimpin dalam suatu pertandingan.

Terdapat beberapa kesimpulan dalam scene ini, yaitu Teori Sikap dapat digunakan untuk menganalisis berbagai sikap, seperti sikap yang ditunjukkan Katniss dalam komunikasi nonverbal di atas. Representasi feminisme dalam scene ini, yaitu Katniss dapat mengakhiri dominasi pria sebagai pemenang. Selain itu dapat dilihat bahwa wanita juga memiliki keahlian dan kemampuan yang sama dengan pria dalam memenangkan suatu kompetisi atau pertandingan.

Scene Ketiga: Sikap Skeptis Katniss sebagai Wanita yang Dicintai

Gambar 1.9

Sikap Skeptis Katniss sebagai Wanita yang Dicintai

(19)

(Sumber: Gambar Olahan Peneliti, 2015)

Gambar 1.9.1

Sikap Skeptis Katniss sebagai Wanita yang Dicintai (2)

Menurut Hartsock, karakteristik penentu yang menyatukan semua jenis feminisme adalah fokus pada posisi sosial wanita dan keinginan untuk mengakhiri dominasi berdasarkan jenis kelamin atau gender (West & Turner, 2010, p. 180).

Komunikasi verbal yang terdapat dalam scene ini adalah Peeta mengakui kepada Caesar bahwa ada wanita yang disukainya dengan berkata, “Ada seorang gadis yang membuatku

jatuh cinta. Tetapi kurasa dia tidak mengetahuinya dan dia di sini bersamaku.” Katniss lalu

menganggap bahwa perasaan Peeta hanyalah omong kosong dengan berkata “Apa-apaan

itu tadi? Kau tidak pernah berbicara denganku dan tiba-tiba menyukaiku? Kau bilang ingin berlatih sendirian. Apa ini leluconmu?” Katniss juga berkata kepada Haymitch kalau sikap

Peeta hanya akan membuatnya terlihat lemah dengan berkata, “Dia hanya membuatku terlihat

lemah!” Katniss juga menolak perkataan Haymitch yang mengatakan jika mereka merupakan

sepasang kekasih yang sedang jatuh cinta dengan kalimat, “Kami bukan pasangan kasmaran!” Komunikasi nonverbal terdapat sesaat ketika Peeta turun dari panggung dan memasuki ruangan yaitu ketika Katniss langsung marah kepadanya dengan menunjukkan gerakan tubuh yang terlihat sedang mendorong Peeta. Tatapan mata yang tajam, nada suara yang tinggi dan gestur tubuh yang menghakimi Peeta dengan berusaha mencekik leher Peeta namun berhasil dilerai oleh Haymitch.

Interpretasi yang dapat diberikan dalam adegan ini adalah dalam sebagian besar scene, Katniss merupakan seseorang yang jarang mengekspresikan emosinya dan tidak ingin mendapatkan bantuan dari orang lain terutama dari Peeta. Saat Katniss menyaksikan pengakuan cinta Peeta kepadanya, mungkin kebanyakan wanita akan merasa tersanjung, tetapi tidak dengan Katniss, dia seketika merasa kaget dan marah kepada Peeta. Sikap independen Katniss menunjukkan bahwa dia tidak membutuhkan bantuan siapa pun bahkan sebuah cinta dari seorang pria untuk menyelamatkan hidupnya. Dia beranggapan bahwa apabila dirinya bergantung kepada Peeta, segala hal itu hanya akan membuat dirinya terlihat lemah yang dapat merugikan dirinya dalam kompetisi. Walaupun demikian, harkat dan naluri seorang wanita adalah untuk dicintai, dan hal ini telah ditunjukkan oleh Peeta.

(20)

Terdapat beberapa kesimpulan dalam scene ini, yaitu Teori Sikap dapat digunakan untuk menganalisis berbagai sikap, seperti sikap yang ditunjukkan Katniss dalam komunikasi verbal dan nonverbal di atas. Representasi feminisme dalam scene ini terlihat bahwa Katniss tidak membutuhkan cinta dan bantuan dari seorang pria yang hanya akan membuat dirinya terlihat lemah. Selain itu Katniss tetap menunjukkan jati dirinya sebagai wanita yang berpendirian.

Feminisme dalam Menentang Penindasan

Scene Pertama: Menentang Capitol

Gambar 1.10 Menentang Capitol

(Sumber: Gambar Olahan Peneliti, 2015) Menurut Hartsock, kelompok bawah harus berjuang bagi tujuan mereka mengenai kehidupan sosial. Perjuangan ini menghasilkan tujuan yang lebih jelas dan akurat bagi kelompok bawah dibandingkan dengan yang dimiliki kelompok yang berkuasa (West & Turner, 2010, p. 180). Dengan pandangan yang jelas ini, kelompok bawah dapat melihat ketidakmanusiawian yang ada di dalam tatanan sosial dan dapat berusaha mengubah dunia agar menjadi lebih baik (West & Turner, 2010, p. 180). Berangkat dari pandangan Hartsock di atas, hal tersebut dapat dikaitkan dengan pemikiran bahwa status dan kondisi individu juga akan mempengaruhi dalam bersikap dan bertindak untuk menentang kelompok yang berkuasa.

Komunikasi verbal dalam scene ini adalah saat game maker mengubah peraturan permainan bahwa hanya ada satu pemenang, Peeta berkata kepada Katniss, “Salah satu dari kita harus

mati”. Lalu Katniss mengatakan kepada Peeta, “Tidak. Tak akan ada pemenang. Kenapa harus menuruti mereka?”

Komunikasi nonverbal dalam scene ini adalah saat Katniss memberikan buah berry beracun kepada Peeta untuk dimakan bersama, yang dapat menyebabkan kematian mereka berdua, sebagai bentuk perlawanan dan menentang keputusan game maker yang semena-mena. Interpretasi yang dapat diberikan dalam adegan ini adalah Katniss menentang peraturan yang dibuat oleh penguasa permainan yaitu game maker dengan cara mengajak Peeta untuk mengakhiri hidup mereka berdua dengan memakan buah berry beracun. Hal tersebut Katniss lakukan agar tidak ada pemenang dalam Hunger Games. Sikap dan tindakan Katniss, akhirnya membuat game maker mengubah keputusannya untuk menghentikan tindakan mereka.

(21)

Terdapat beberapa kesimpulan dalam scene ini, yaitu berdasarkan pemikiran Hartsock di atas, status dan kondisi individu akan mempengaruhi dalam bersikap dan bertindak untuk menentang kelompok yang berkuasa. Representasi feminisme yang ditunjukkan Katniss dalam menentang Capitol adalah melalui tekad dan keberaniannya sebagai seorang wanita yang teguh pada pendiriannya yang akhirnya dapat mengubah keputusan game maker.

Diskusi Lanjutan

Analisis data dalam scene film The Hunger Games menunjukkan bahwa film ini sesuai dengan teori sikap dari Hartsock dalam West & Turner (2010). Teori ini mengungkapkan bahwa pengalaman, pengetahuan dan perilaku yang terbentuk pada diri seseorang adalah berdasarkan status dan kelompok sosialnya. Dalam film ini, warga Distrik 12 bekerja sebagai penambang batubara untuk memenuhi kebutuhan hidup. Keluarga Katniss pun harus memenuhi kebutuhan hidupnya, namun tidak dapat dipenuhi karena ayahnya telah meninggal akibat kecelakaan saat bekerja. Hal itu menyebabkan Katniss harus dapat menghidupi ibu dan adiknya. Sebagai anak tertua dalam keluarga, Katniss harus dapat mengambil peran ayahnya sebagai kepala keluarga walaupun Katniss adalah seorang wanita.

Feminisme adalah persamaan hak antara kaum wanita dan pria. Dalam teori sikap feminisime, jenis kelamin dan gender merupakan fokus utama. Hal tersebut juga terlihat pada film ini, yang menceritakan bahwa setiap warga dari masing-masing distrik diwajibkan untuk mengikuti kompetisi Hunger Games tanpa memandang jenis kelamin. Pada kenyataannya kompetisi Hunger Games layaknya diikuti oleh pria.

Komunikasi verbal merupakan pesan lisan yang disampaikan melalui kata-kata oleh Katniss Everdeen, Peeta Mellark dan Haymitch dalam mengungkapkan pemikiran, gagasan dan maksud tujuan mereka. Salah satu scene menunjukkan ketika Peeta menyatakan kepada Caesar bahwa dia memiliki perasaan suka terhadap Katniss. Pernyataan yang disampaikan oleh Peeta tersebut mendapat tanggapan dari Katniss melalui percakapan di antara mereka. Dalam percakapan tersebut pada awalnya terdapat kesalahpahaman antara Katniss dan Peeta yang menimbulkan amarah Katniss, tetapi karena penjelasan dari Haymitch yang mengatakan bahwa sebenarnya Peeta hanya bermaksud baik untuk membantu Katniss dalam menarik hati penonton agar Katniss dapat memenangkan Hunger Games.

Komunikasi nonverbal merupakan bahasa tubuh yang mempunyai peranan penting dalam mencerminkan maksud dan tujuan seseorang. Dalam film ini ditamplikan scene ketika Katniss memberikan buah berry beracun kepada Peeta. Saat Katniss memberikan buah tersebut kepada Peeta, Peeta langsung tahu bahwa Katniss bermaksud untuk mengajaknya bunuh diri sebagai tindakan protes atau perlawanan terhadap game maker atau penguasa. Tindakan Katniss tersebut merupakan isyarat komunikasi non verbal.

Dilihat dari segi feminisme, film The Hunger Games sendiri menunjukkan bahwa seorang wanita dapat memenangkan suatu kompetisi yang selama ini pemenangnya didominasi oleh seorang pria. Dalam film ini, feminisme ditunjukkan dengan sikap Katniss yang berani, mandiri, pekerja keras untuk menghidupi keluarganya dan berani menentang penindasan dari Capitol.

Dilihat dari segi komunikasi massa, film bertujuan untuk memberikan edukasi dan hiburan untuk para penontonnya. Film The Hunger Games memberikan edukasi tentang bagaimana wanita dengan status sosial yang ada dapat mempengaruhi sikap dan tindakannya dalam

(22)

bertahan pada kondisi kehidupan yang sulit serta harus memenangkan sebuah kompetisi maut. Hal tersebut sesuai dengan teori sikap Hartsock dalam West & Turner bahwa diakui banyak keberagaman dalam feminisme, tetapi karakteristik penentu yang menyatukan semua jenis feminisme adalah fokus pada posisi status sosial wanita dan keinginan untuk mengakhiri dominasi berdasarkan jenis kelamin atau gender.

Dalam elemen feminisme, sikap, perilaku dan tindakan Katniss mencerminkan keberanian, kemandirian, pekerja keras dan pantang menyerah. Berdasarkan elemen tersebut, Katniss dapat menyelesaikan tantangan dan permasalahan yang ada. Dalam film ini, aliran feminisme gelombang ketiga yaitu feminisme postmodern terlihat lebih dominan. Posisi gender pada tiap lokasi tinggal individu (distrik) tidak lagi dibedakan. Aliran ini juga menolak adanya otoritas kelompok dominan, yaitu seperti pertentangan yang dilakukan oleh Katniss terhadap Capitol.

Katniss memiliki gagasan feminisme yaitu melalui keberanian dan perlawanan kepada penguasa. Contohnya, sikap Katniss yang berani saat mengajukan diri sebagai pengganti adiknya saat pemilihan peserta. Katniss juga berani bersikap untuk menentang Capitol dalam menetapkan pemenang Hunger Games. Sikap dan tindakan yang dia lakukan itulah yang membuatnya mencapai tujuan akhir yaitu sebagai pemenang kompetisi Hunger Games. Dikaitkan dengan teori Hartsock dalam West & Turner (2010), kemampuan bertahan hidup adalah suatu sikap dan perilaku yang terbentuk oleh lokasi keberadaan individu dalam struktur kelas ekonomi. Film The Hunger Games ini sesuai dengan teori tersebut karena Katniss memiliki kemampuan bertahan hidup dalam menghidupi keluarga, melindungi adiknya, menghindar dari kebakaran hutan dan melindungi diri dari lawan. Teori sikap Hartsock dalam West & Turner ini sesuai dengan film The Hunger Games.

Status sosial dalam teori Hartsock dalam West & Turner merupakan posisi sosial wanita dan keinginan untuk mengakhiri dominasi berdasarkan jenis kelamin atau gender (West & Turner, 2010, p. 180). Film The Hunger Games ini sesuai dengan teori tersebut karena Katniss memiliki status sosial yang menggambarkan feminisme ketika dirinya berperan sebagai kepala keluarga, dan sikap skeptis sebagai wanita yang dicintai serta sebagai pemenang

Hunger Games.

Menentang penindasan menurut Hartsock dalam West & Turner merupakan sikap dan tindakan untuk menentang kelompok yang berkuasa dipengaruhi oleh status dan kondisi individu. Film The Hunger Games ini sesuai dengan teori tersebut karena Katniss berani bersikap melalui tindakannya memberikan buah berry beracun kepada Peeta sebagai bentuk perlawanan dan ancaman kepada Capitol dalam memutuskan pemenang Hunger Games.

Simpulan

Dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur sikap feminisme menurut Hartsock dalam film

The Hunger Games sudah diterapkan dalam dunia perfilman melalui komunikasi verbal

dan nonverbal. Hal tersebut didasarkan pada analisis mengenai gagasan feminisme dalam adegan film The Hunger Games.

Adapun unsur sikap feminisme menurut Hartsock dalam film The Hunger Games terdapat pada elemen kemampuan bertahan hidup dalam eviden menghidupi keluarga, melindungi

(23)

adiknya, menghindar dari kebakaran hutan, melindungi diri dari lawan, yang diungkapkan melalui komunikasi verbal dan nonverbal yang dilakukan oleh Katniss Everdeen dapat membantunya untuk tetap bertahan hidup.

Pada elemen status sosial dalam eviden di antaranya sebagai kepala keluarga, Katniss lebih mendominasi dengan berperan sebagai kepala keluarga untuk menggantikan ayahnya. Sebelum pergi ke Capitol untuk mengikuti kompetisi Hunger Games, Katniss berkata kepada ibunya untuk selalu ada dan tidak boleh meninggalkan Primrose dalam kondisi apa pun. Komunikasi yang dibentuk oleh Katniss dalam penyampaian pesan tersebut merupakan bentuk dari komunikasi verbal. Sedangkan saat berbicara dengan ibunya, Katniss menunjukkan tatapan mata yang tajam, dagu terangkat dan bahu yang tegap. Di samping itu, Katniss juga berusaha untuk menenangkan ibunya dengan cara memeluknya. Gerakan tersebut merupakan bentuk dari komunikasi nonverbal yang menunjukkan sikap seorang pemimpin atau kepala keluarga.

Pada elemen menentang penindasan, Katniss mengajak Peeta untuk menentang peraturan dari game maker di akhir kompetisi. Katniss melihat adanya ketidakmanusiawian dan berusaha menentang atau mengubahnya. Di dalam adegan ini, Katniss mengatakan kepada Peeta bahwa tidak akan ada pemenang dan tidak akan menuruti peraturan dari game maker. Perkataan Katniss tersebut merupakan bentuk dari komunikasi verbal dalam menentang penindasan. Katniss juga menunjukkan komunikasi nonverbal yang bermaksud untuk menentang game maker dengan cara memberikan Peeta buah berry beracun yang dapat menyebabkan kematian, untuk dimakan bersama.

Representasi atau perbuatan yang mewakili gagasan feminisme yang terdapat dalam film

The Hunger Games sudah dapat ditunjukkan dalam film melalui sikap dan tindakan yang

dilakukan oleh Katniss.

Daftar Pustaka

Barsam, R. (2007). Looking at movies: An introduction to film. New York: W.W Norton & Company

Cangara, H. (2006). Pengantar ilmu komunikasi. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada.

Chornelia, Y, H. (2013). Representasi feminisme dalam film “Snow White and The Huntsman”.

Jurnal E-Komunikasi. Universitas Kristen Petra Surabaya. Diakses dari http://

studentjournal.petra.ac.id/index.php/ilmukomunikasi/article/view/924.

Cinderella. (2019, 29 Mei). Diakses dari

h t t p : / / m e d i a 2 . p o p s u g a r - a s s e t s . c o m / f i l e s / 2 0 1 4 / 1 2 / 0 2 / 0 8 8 / n/1922283/46f3e8ccca68f6c2_Ella_and_Prince.xxxlarge_2x.jpg

Dani, Cavallaro. (2007). Critical and cultural theory. New Jersey: British Library Catalouging in Publication Data.

(24)

Ganeshvar, P. (2015, 29 Mei). Diakses dari

https://www.academia.edu/9451313/Aliran-Aliran_Feminisme

Hennink, M, Hutter I, dan Bailey, A. (2011). Qualitative research methods. London: Sage Publications, LTD.

Kristalia, M, I. (2009). Representasi feminisme dalam film “The Devil Wears Prada. Jurnal

E-Komunikasi. Universitas Kristen Petra Surabaya. Diakses dari http://dewey.petra.

ac.id/jiunkpe_dg_11680.html

Prince, S. (2007). Movies and meaning: An introduction to film. United States of America: Library of Congress Catalogingin Publication Data.

Surajiyo. (2007). Filsafat ilmu dan perkembangannya di Indonesia. Jakarta: PT.Bumi Aksara.

The Hunger Games. (2015, 29 Mei). Diakses dari

http://cdn.quizatio.us/cm/seventeen/images/AP/sev-hunger-games-poster-blog.jpg Tong, Rosemarie Putnum. (1998). Feminist thought. USA: Allen & Unwin, Westview Press. West, R. and Turner, Lynn H. (2010). Pengantar teori komunikasi: Analisis dan aplikasi. Jakarta:

Gambar

Gambar 1.1 Cinderella
Gambar 1.2 The Hunger Games
Gambar 1.3 Menghidupi Keluarga
Gambar 1.4 Melindungi Adiknya
+2

Referensi

Dokumen terkait

Beberapa ahli ilmu komunikasi mencoba memberikan gambaran mengenai definisi identitas, seperti yang diungkapkan oleh Fong (dalam Samovar dkk, 2010) menjelaskan

Kesimpulan dari penelitian ini adalah adanya tanda-tanda yang terdapat dalam scene-scene yang merepresentasikan pencarian identitas seksual oleh remaja, memberikan pesan

Kesimpulan dari penelitian ini adalah adanya tanda-tanda yang terdapat dalam scene-scene yang merepresentasikan pencarian identitas seksual oleh remaja, memberikan pesan

Representasi Feminisme Pada Film Minggu Pagi di Victoria Park (Analisis Semiotika Komunikasi Tentang Representasi Feminisme Dalam Film Minggu Pagi di Victoria Park). Film

Untuk melihat hasil penelitian dan menguatkannya, penulis menggunakan teknik trianggulasi data dengan sumber teks dan dokumen literatur dari berbagai sumber

Menurut para ahli seperti Charles Sanders Pierce mendefinisikan bahwa semiotika sebagai studi tentang tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya yakni cara

Representasi pubertas pada remaja perempuan dalam film Turning Red dianalisis dengan mengambil beberapa sejumlah adegan (Scene) dan menganalisis tanda-tanda yang ada

Awal simbol tiga jari ( salam kemenangan tiga jari ) dikeluarkan oleh Jennifer Lawrence, yang berperan sebagai Katniss Everdeen pada Film Hunger Games yang