• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kolaborasi Dalam Skrining Kesehatan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Kolaborasi Dalam Skrining Kesehatan"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

MELAKSANAKAN KOLABORASI DALAM PELAKSANAAN SKRINING KESEHATAN

A. Latar Belakang

Proses menua (aging) adalah proses alami yang disertai adanya penurunan kondisi fisik, psikologis maupun sosial yang saling berinteraksi satu sama lain. Keadaan itu cenderung berpotensi menimbulkan masalah kesehatan secara umum maupun kesehatan jiwa secara khusus pada lansia. Masalah kesehatan jiwa lansia termasuk juga dalam masalah kesehatan yang dibahas pada pasien-pasien Geriatri dan Psikogeriatri yang merupakan bagian dari Gerontologi, yaitu ilmu yang mempelajari segala aspek dan masalah lansia, meliputi aspek fisiologis, psikologis, sosial, kultural, ekonomi dan lain-lain. Menurut Setiawan (1973), timbulnya perhatian pada orang-orang usia lanjut dikarenakan adanya sifat-sifat atau faktor-faktor khusus yang mempengaruhi kehidupan pada usia lanjut.

Lansia merupakan salah satu fase kehidupan yang dialami oleh individu yang berumur panjang. Lansia tidak hanya meliputi aspek biologis, tetapi juga psikologis dan sosial. Menurut Laksamana (1983:77), perubahan yang terjadi pada lansia dapat disebut sebagai perubahan `senesens` dan perubahan ‘senilitas’. Perubahan `senesens’ adalah perubahan-perubahan normal dan fisiologik akibat usia lanjut. Perubalian ‘senilitas’ adalah perubahan-perubahan patologik permanent dan disertai dengan makin memburuknya kondisi badan pada usia lanjut. Sementara itu, perubahan yang dihadapi lansia pada amumnya adalah pada bidang klinik, kesehatan jiwa dan problema bidang sosio ekonomi. Oleh karma itu lansia adalah kelompok dengan resiko tinggi terhadap problema fisik dan mental.

Proses menua pada manusia merupakan fenomena yang tidak dapat dihindarkan. Seinakin baik pelayanan kesehatan sebuah bangsa makin tinggi pula harapan hidup masyarakatnya dan padan gilirannya makin tinggi pula jumlah penduduknya yang berusia lanjut. Demikian pula di Indonesia.

Dalam pendekatan pelayanan kesehatan pada kelompok lansia sangat perlu ditekankan pendekatan yang dapat mencakup sehat fisik, psikologis, spiritual dan sosial. Hal tersebut

(2)

karena pendekatan dari satu aspek saja tidak akan menunjang pelayanan kesehatan pada lansia yang membutuhkan suatu pelayanan yang komprehensif.

Usia lansia bukan hanya dihadapkan pada permasalahan kesehatan jasmaniah saja, tapi juga permasalahan gangguan mental dalam menghadapi usia senja. Lansia sebagai tahap akhir dari siklus kehidupan manusia, sering diwarnai dengan kondisi hidup yang tidak sesuai dengan harapan. Banyak faktor yang menyebabkan seorang mengalami gangguan mental seperti depresi.

Ada beberapa faktor yang sangat berpengaruh terhadap kesehatan jiwa lansia. Faktor-faktor tersebut hendaklah disikapi secara bijak sehingga para lansia dapat menikmati hari tua mereka dengan bahagia. Adapun beberapa faktor yang dihadapi para lansia yang sangat mempengaruhi kesehatan jiwa mereka adalah sebagai berikut:

1. Penurunan kondisi fisik

2. Penurunan fungsi dan potensi seksual 3. Perubahan aspek psikososial

4. Perubahan yang berkaitan dengan pekcrjaan 5. Perubahan dalam peran sosial di masyarakat

Skrining (screening) adalah deteksi dini dari suatu penyakit atau usaha untuk mengidentifikasi penyakit atau kelainan secara klinis belum jelas dengan menggunakan test, pemeriksaan atau prosedur tertentu yang dapat digunakan secara cepat untuk membedakan orang-orang yang kelihatannya sehat tetapi sesunguhnya menderita suatu kelainan. Penelitian epidemiologi ditujukan untuk faktor-faktor epidemiologis yang berkaitan dengan distribusi penyakit /masalah kesehatan di masyarakat yang hasilnya dipergunakan untuk membuat perencanaan intervensi atau upaya pencegahan yang sesuai Salah satu jenis penelitian yang sering digunakan adalah screening. Mahasiswa perlu mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan penelitian skrining tersebut sebelum nantinya terjun ke masyarakat untuk mengadakan penelitian. Oleh sebab itu, dalam makalah ini akan dibahas lebih jauh mengenai penelitian screening.

B. Rumusan Masalah

1. Apa skrening kesehatan pada lansia?

2. Bagaimana pencegahan primer, sekunder dan tersier? 3. Apa macam-macam skrening kesehatan?

(3)

4. Bagaimana penggolongan skrening kesehatan? 5. Apa skrening pada keadaan khusus lansia? C. Tujuan

1. Untuk mengetahui pengertian skrening kesehatan.

2. Untuk mengetahui pencegahan primer, sekunder, dan tersier. 3. Untuk menjelaskan macam-macam skrening kesehatan. 4. Untuk mengetahui penggolongan skrening kesehatan. 5. Untuk mengetahui skrening pada keadaan khusus lansia .

(4)

2.1. Pengertian Kolaborasi

Kolaborasi merupakan istilah umum yang sering digunakan untuk menggambarkan suatu hubungan kerja sama yang dilakukan pihak tertentu. Sekian banyak pengertian dikemukakan dengan sudut pandang beragam namun didasari prinsip yang sama yaitu mengenai kebersamaan, kerja sama, berbagi tugas, kesetaraan, tanggung jawab dan tanggung gugat. Namun demikian kolaborasi sulit didefinisikan untuk menggambarkan apa yang sebenarnya yang menjadi esensi dari kegiatan ini. Seperti yang dikemukakan National Joint Practice Commision (1977) yang dikutip Siegler dan Whitney (2000) bahwa tidak ada definisi yang mampu menjelaskan sekian ragam variasi dan kompleknya kolaborasi dalam kontek perawatan kesehatan.

Berdasarkan kamus Heritage Amerika (2000), kolaborasi adalah bekerja bersama khususnya dalam usaha penggambungkan pemikiran. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukanan oleh Gray (1989) menggambarkan bahwa kolaborasi sebagai suatu proses berfikir dimana pihak yang terklibat memandang aspek-aspek perbedaan dari suatu masalah serta menemukan solusi dari perbedaan tersebut dan keterbatasan padangan mereka terhadap apa yang dapat dilakukan.

American Medical Assosiation (AMA), 1994, setelah melalui diskusi dan negosiasi yang panjang dalam kesepakatan hubungan professional dokter dan perawat, mendefinisikan istilah kolaborasi sebagai berikut ; Kolaborasi adalah proses dimana dokter dan perawat merencanakan dan praktek bersama sebagai kolega, bekerja saling ketergantungan dalam batasan-batasan lingkup praktek mereka dengan berbagi nilai-nilai dan saling mengakui dan menghargai terhadap setiap orang yang berkontribusi untuk merawat individu, keluarga dan masyarakat.

Kolaborasi (ANA, 1992), hubungan kerja diantara tenaga kesehatan dalam memeberikan pelayanan kepada pasien/klien adalah dalam melakukan diskusi tentang diagnosa, melakukan kerjasama dalam asuhan kesehatan, saling berkonsultasi atau komunikasi serta masing-masing bertanggung jawab pada pekerjaannya.

Apapun bentuk dan tempatnya, kolaborasi meliputi suatu pertukaran pandangan atau ide yang memberikan perspektif kepada seluruh kolaborator.

(5)

Efektifitas hubungan kolaborasi profesional membutuhkan mutual respek baik setuju atau ketidaksetujuan yang dicapai dalam interaksi tersebut. Partnership kolaborasi merupakan usaha yang baik sebab mereka menghasilkan outcome yang lebih baik bagi pasien dalam mecapai upaya penyembuhan dan memperbaiki kualitas hidup.

Kolaborasi merupakan proses komplek yang membutuhkan sharing pengetahuan yang direncanakan yang disengaja, dan menjadi tanggung jawab bersama untuk merawat pasien. Kadangkala itu terjadi dalam hubungan yang lama antara tenaga profesional kesehatan. (Lindeke dan Sieckert, 2005). Bekerja bersama dalam kesetaraan adalah esensi dasar dari kolaborasi yang kita gunakan untuk menggambarkan hubungan perawat dan dokter. Tentunya ada konsekweksi di balik issue kesetaraan yang dimaksud. Kesetaraan kemungkinan dapat terwujud jika individu yang terlibat merasa dihargai serta terlibat secara fisik dan intelektual saat memberikan bantuan kepada pasien.

Kolaborasi adalah suatu proses dimana praktisi keperawatan atau perawat klinik bekerja dengan dokter untuk memberikan pelayanan kesehatan dalam lingkup praktek profesional keperawatan, dengan pengawasan dan supervisi sebagai pemberi petunjuk pengembangan kerjasama atau mekanisme yang ditentukan oleh peraturan suatu negara dimana pelayanan diberikan. Perawat dan dokter merencanakan dan mempraktekan bersama sebagai kolega, bekerja saling ketergantungan dalam batas-batas lingkup praktek dengan berbagi nilai-nilai dan pengetahuan serta respek terhadap orang lain yang berkontribusi terhadap perawatan individu, keluarga dan masyarakat.

2.2. Kolaborasi di Rumah Sakit

Kolaborasi merupakan hubungan kerja sama antara anggota tim dalam memberikan asuhan kesehatan. Pada kolaborasi terdapat sikap saling menghargai antar tenaga kesehatan dan saling memberikan informasi tentang kondisi klien demi mencapai tujuan (Hoffart & Wood, 1996; Wlls, Jonson & Sayler, 1998).

(6)

Hubungan kolaborasi di Rumah Sakit :

Tim Kerja di Rumah Sakit : a. Tim satu disiplin ilmu:

- Tim Perawat - Tim dokter - Tim administrasi - dll

b. Tim multi disiplin : - Tim operasi

- Tim nosokomial infeksi - dll

2.3. Anggota Tim interdisiplin

Tim pelayanan kesehatan interdisiplin merupakan sekolompok profesional yang mempunyai aturan yang jelas, tujuan umum dan berbeda keahlian. Tim akan berfungsi baik jika terjadi adanya konstribusi dari anggota tim dalam memberikan pelayanan kesehatan terbaik. Anggota tim kesehatan meliputi : pasien, perawat, dokter, fisioterapi, pekerja sosial, ahli gizi, manager, dan apoteker. Oleh karena itu

laboratorium

administrasi

dll

radiologi IPSRS

Dokter Perawat Ahli Gizi

Fokus Klien/ Pasien

(7)

tim kolaborasi hendaknya memiliki komunikasi yang efektif, bertanggung jawab dan saling menghargai antar sesama anggota tim.

Pasien secara integral adalah anggota tim yang penting. Partisipasi pasien dalam pengambilan keputusan akan menambah kemungkinan suatu rencana menjadi efektif. Tercapainya tujuan kesehatan pasien yang optimal hanya dapat dicapai jika pasien sebagai pusat anggota tim.

Perawat sebagai anggota membawa persfektif yang unik dalam interdisiplin tim. Perawat memfasilitasi dan membantu pasien untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dari praktek profesi kesehatan lain. Perawat berperan sebagai penghubung penting antara pasien dan pemberi pelayanan kesehatan.

Dokter memiliki peran utama dalam mendiagnosis, mengobati dan mencegah penyakit. Pada situasi ini dokter menggunakan modalitas pengobatan seperti pemberian obat dan pembedahan. Mereka sering berkonsultasi dengan anggota tim lainnya sebagaimana membuat referal pemberian pengobatan.

Kolaborasi menyatakan bahwa anggota tim kesehatan harus bekerja dengan kompak dalam mencapai tujuan. Elemen penting untuk mencapai kolaborasi yang efektif meliputi kerjasama, asertifitas, tanggung jawab, komunikasi, otonomi dan koordinasi seperti skema di bawah ini.

(8)

Elemen kunci efektifitas kolaborasi

Kerjasama adalah menghargai pendapat orang lain dan bersedia untuk memeriksa beberapa alternatif pendapat dan perubahan kepercayaan. Asertifitas penting ketika individu dalam tim mendukung pendapat mereka dengan keyakinan. Tindakan asertif menjamin bahwa pendapatnya benar-benar didengar dan konsensus untuk dicapai. Tanggung jawab, mendukung suatu keputusan yang diperoleh dari hasil konsensus dan harus terlibat dalam pelaksanaannya. Komunikasi artinya bahwa setiap anggota bertanggung jawab untuk membagi informasi penting mengenai perawatan pasien dan issu yang relevan untuk membuat keputusan klinis. Otonomi mencakup kemandirian anggota tim dalam batas kompetensinya. Kordinasi adalah efisiensi organisasi yang dibutuhkan dalam perawatan pasien, mengurangi duplikasi dan menjamin orang yang berkualifikasi dalam menyelesaikan permasalahan.

Kolaborasi didasarkan pada konsep tujuan umum, konstribusi praktisi profesional, kolegalitas, komunikasi dan praktek yang difokuskan kepada pasien.

Mutuality Assertiveness Efective collaborat ion Autonom y Communi cations Responsi bility Common purpose Coordinati on cooperation

(9)

Kolegalitas menekankan pada saling menghargai, dan pendekatan profesional untuk masalah-masalah dalam team dari pada menyalahkan seseorang atau atau menghindari tangung jawab. Hensen menyarankan konsep dengan arti yang sama : mutualitas dimana dia mengartikan sebagai suatu hubungan yang memfasilitasi suatu proses dinamis antara orang-orang ditandai oleh keinginan maju untuk mencapai tujuan dan kepuasan setiap anggota. Kepercayaan adalah konsep umum untuk semua elemen kolaborasi. Tanpa rasa pecaya, kerjasama tidak akan ada, asertif menjadi ancaman, menghindar dari tanggung jawab, terganggunya komunikasi . Otonomi akan ditekan dan koordinasi tidak akan terjadi.

Dasar-dasar kompetensi koaborasi : a. Komunikasi

b. Respek dan kepercayaan

c. Memberikan dan menerima feed back d. Pengambilan keputusan

e. Manajemen konflik

Komunikasi sangat dibutuhkan daam berkolaborasi karena kolaborasi membutuhkan pemecahan masalah yang lebih kompleks, dibutuhkan komunikasi efektif yang dapat dimengerti oleh semua anggota tim. Pada dasar kompetensi yang lain, kualitas respek dapat dilihat lebih kearah honor dan harga diri, sedangkan kepercayaan dapat dilihat pada mutu proses dan hasil. Respek dan kepercayaan dapat disampaikan secara verbal maupu non verbal serta dapat dilihat dan dirasakan dalam penerapannya sehari-hari.Feed back dipengaruhi oleh persepsi seseorang, pola hubungan, harga diri, kepercayaan diri, kepercayaan, emosi, lingkunganserta waktu, feed back juga dapat bersifat negatif maupun positif. Dalam melakukan kolaborasi juga akan melakukan manajemen konflik, konflik peran umumnya akan muncul dalam proses. Untuk menurunkan konflik maka masing-masing anggota harus memahami peran dan fungsinya, melakukan klarifikasi persepsi dan harapan, mengidentifikasi kompetensi, mengidentifikasi tumpang tindih peran serta melakukan negosiasi peran dan tanggung jawabnya.

Elemen kunci kolaborasi dalam kerja sama team multidisipliner dapat digunakan untuk mencapai tujuan kolaborasi team :

(10)

a. Memberikan pelayanan kesehatan yang berkualitas dengan menggabungkan keahlian unik profesional.

b. Produktivitas maksimal serta efektifitas dan efesiensi sumber daya c. Peningkatnya profesionalisme dan kepuasan kerja, dan loyalitas d. Meningkatnya kohesifitas antar profesional

e. Kejelasan peran dalam berinteraksi antar profesional,

f. Menumbuhkan komunikasi, kolegalitas, dan menghargai dan memahami orang lain.

Terwujudnya suatu kolaborasi tergantung pada beberapa kreiteria yaitu (1) adanya rasa saling percaya dan menghormati, (2) saling memahami dan menerima keilmuan masing-masing, (3) memiliki citra diri positif, (4) memiliki kematangan profesional yang setara (yang timbul dari pendidikan dan pengalaman), (5) mengakui sebagai mitra kerja bukan bawahan, dan (6) keinginan untuk bernegosiasi (Hanson & Spross, 1996).

Inti dari suatu hubungan kolaborasi adalah adanya perasaan saling tergantung (interdependensi) untuk kerja sama dan bekerja sama. Bekerja bersama dalam suatu kegiatan dapat memfasilitasi kolaborasi yang baik. Kerjasama mencerminkan proses koordinasi pekerjaan agar tujuan auat target yang telah ditentukan dapat dicapai. Selain itu, menggunakan catatan klien terintegrasi dapat merupakan suatu alat untuk berkomunikasi anatar profesi secara formal tentang asuhan klien.

Kolaborasi dapat berjalan dengan baik jika : a. Semua profesi mempunyai visi dan misi yang sama

b. Masing-masing profesi mengetahui batas-batas dari pekerjaannya c. Anggota profesi dapat bertukar informasi dengan baik

d. Masing-masing profesi mengakui keahlian dari profesi lain yang tergabung dalam tim.

Model Praktek Kolaborasi :

a. Interaksi Perawat-Dokter, dalam persetujuan pratek

b. Kolaborasi Perawat – Dokter, dalam memberikan pelayanan c. Tim Interdisiplin atau komite

(11)

Pemahaman mengenai prinsip kolaborasi dapat menjadi kurang berdasar jika hanya dipandang dari hasilnya saja. Pembahasan bagaimana proses kolaborasi itu terjadi justru menjadi point penting yang harus disikapi. Bagaimana masing-masing profesi memandang arti kolaborasi harus dipahami oleh kedua belah pihak sehingga dapat diperoleh persepsi yang sama.

Kolaborasi dan model interdisiplin merupakan fondasi dalam memberikan asuhan keperawatan yang bermutu tinggi dan hemat biaya. Melalui pemanfaatan keahlian berbagai anggota tim untuk berkolaborasi, hasil akhir asuhan kesehatan dapat dioptimalkan Hickey, Ouimette dan Venegoni, 1996)

Seorang dokter saat menghadapi pasien pada umumnya berfikir, ” apa diagnosa pasien ini dan perawatan apa yang dibutuhkannya” pola pemikiran seperti ini sudah terbentuk sejak awal proses pendidikannya. Sulit dijelaskan secara tepat bagaimana pembentukan pola berfikir seperti itu apalagi kurikulum kedokteran terus berkembang. Mereka juga diperkenalkan dengan lingkungan klinis dibina dalam masalah etika, pencatatan riwayat medis, pemeriksaan fisik serta hubungan dokter dan pasien. mahasiswa kedokteran pra-klinis sering terlibat langsung dalam aspek psikososial perawatan pasien melalui kegiatan tertentu seperti gabungan bimbingan – pasien. Selama periode tersebut hampir tidak ada kontak formal dengan para perawat, pekerja sosial atau profesional kesehatan lain. Sebagai praktisi memang mereka berbagi lingkungan kerja dengan para perawat tetapi mereka tidak dididik untuk menanggapinya sebagai rekanan/sejawat/kolega. (Siegler dan Whitney, 2000)

Dilain pihak seorang perawat akan berfikir; apa masalah pasien ini? Bagaimana pasien menanganinya?, bantuan apa yang dibutuhkannya? Dan apa yang dapat diberikan kepada pasien?. Perawat dididik untuk mampu menilai status kesehatan pasien, merencanakan intervensi, melaksanakan rencana, mengevaluasi hasil dan menilai kembali sesuai kebutuhan. Para pendidik menyebutnya sebagai proses keperawatan. Inilah yang dijadikan dasar argumentasi bahwa profesi keperawatan didasari oleh disiplin ilmu yang membantu individu sakit atau sehat dalam menjalankan kegiatan yang mendukung kesehatan atau pemulihan sehingga pasien bisa mandiri.

(12)

Sejak awal perawat dididik mengenal perannya dan berinteraksi dengan pasien. Praktek keperawatan menggabungkan teori dan penelitian perawatan dalam praktek rumah sakat dan praktek pelayanan kesehatan masyarakat. Para pelajar bekerja diunit perawatan pasien bersama staf perawatan untuk belajar merawat, menjalankan prosedur dan menginternalisasi peran.

Kolaborasi merupakan proses komplek yang membutuhkan sharing pengetahuan yang direncanakan yang disengaja, dan menjadi tanggung jawab bersama untuk merawat pasien. Kadangkala itu terjadi dalam hubungan yang lama antara tenaga profesional kesehatan. (Lindeke dan Sieckert, 2005).

Kolaborasi adalah suatu proses dimana praktisi keperawatan atau perawat klinik bekerja dengan dokter untuk memberikan pelayanan kesehatan dalam lingkup praktek profesional keperawatan, dengan pengawasan dan supervisi sebagai pemberi petunjuk pengembangan kerjasama atau mekanisme yang ditentukan oleh peraturan suatu negara dimana pelayanan diberikan. Perawat dan dokter merencanakan dan mempraktekan bersama sebagai kolega, bekerja saling ketergantungan dalam batas-batas lingkup praktek dengan berbagi nilai-nilai dan pengetahuan serta respek terhadap orang lain yang berkontribusi terhadap perawatan individu, keluarga dan masyarakat.

Berkaitan dengan issue kolaborasi dan soal menjalin kerja sama kemitraan dengan dokter, perawat perlu mengantisipasi konsekuensi perubahan dari vokasional menjadi profesional. Status yuridis seiring perubahan perawat dari perpanjangan tangan dokter menjadi mitra dokter sangat kompleks. Tanggung jawab hukum juga akan terpisah untuk masing-masing kesalahan atau kelalaian. Yaitu, malpraktik medis, dan malpraktik keperawatan. Perlu ada kejelasan dari pemerintah maupun para pihak terkait mengenai tanggung jawab hukum dari perawat, dokter maupun rumah sakit. Organisasi profesi perawat juga harus berbenah dan memperluas struktur organisasi agar dapat mengantisipasi perubahan. (www. kompas.com.)

Pertemuan profesional dokter-perawat dalam situasi nyata lebih banyak terjadi dalam lingkungan rumah sakit. Pihak manajemen rumah sakit dapat menjadi fasilitator demi terjalinnyanya hubungan kolaborasi seperti dengan menerapkan sistem atau kebijakan yang mengatur interaksi diantara berbagai profesi kesehatan.

(13)

Pencatatan terpadu data kesehatan pasien, ronde bersama, dan pengembangan tingkat pendidikan perawat dapat juga dijadikan strategi untuk mencapai tujuan tersebut.

Ronde bersama yang dimaksud adalah kegiatan visite bersama antara dokter-perawat dan mahasiswa dokter-perawat maupun mahasiswa kedokteran, dengan tujuan mengevaluasi pelayanan kesehatan yang telah dilakukan kepada pasien. Dokter dan perawat saling bertukar informasi untuk mengatasi permasalahan pasien secara efektif. Kegiatan ini juga merupakan sebagai satu upaya untuk menanamkan sejak dini pentingnya kolaborasi bagi kemajuan proses penyembuhan pasien. Kegiatan ronde bersama dapat ditindaklanjuti dengan pertemuan berkala untuk membahas kasus-kasus tertentu sehingga terjadi trasnfer pengetahuan diantara anggota tim.

Komunikasi dibutuhkan untuk mewujudkan kolaborasi yang efektif, hal tersebut perlu ditunjang oleh sarana komunikasi yang dapat menyatukan data kesehatan pasien secara komfrenhensif sehingga menjadi sumber informasi bagi semua anggota team dalam pengambilan keputusan. Oleh karena itu perlu dikembangkan catatan status kesehatan pasien yang memungkinkan komunikasi dokter dan perawat terjadi secara efektif.

Pendidikan perawat perlu terus ditingkatkan untuk meminimalkan kesenjangan profesional dengan dokter melalui pendidikan berkelanjutan. Peningkatan pengetahuan dan keterampilan dapat dilakukan melalui pendidikan formal sampai kejenjang spesialis atau minimal melalui pelatihan-pelatihan yang dapat meningkatkan keahlian perawat.

2.4. Perawat sebagai Kolaborator

Sebagai seorang kolaborator, perawat melakukan kolaborasi dengan klien, pper group serta tenaga kesehatan lain. Kolaborasi yang dilakukan dalam praktek di lapangan sangat penting untuk memperbaiki. Agar perawat dapat berperan secara optimal dalam hubungan kolaborasi tersebut, perawat perlu menyadari akuntabilitasnya dalam pemberian asuhan keperawatan dan meningkatkan otonominya dalam praktik keperawatan. Faktor pendidikan merupakan unsur utama yang mempengaruhi kemampuan seorang profesional untuk mengerti hakikat kolaborasi yang berkaitan dengan perannya masing-masing, kontribusi spesifik setisp

(14)

profesi, dan pentingnya kerja sama. Setiap anggota tim harus menyadari sistem pemberian asuhan kesehatan yang berpusat pada kebutuhan kesehatan klien, bukan pada kelompok pemberi asuhan kesehatan. Kesadaran ini sangat dipengaruhi oleh pemahaman setiap anggota terhadap nilai-nilai profesional.

Menurut Baggs dan Schmitt, 1988, ada atribut kritis dalam melakukan kolaborasi, yaitu melakukan sharing perencanaan, pengambilan keputusan, pemecahan masalah, membuat tujuan dan tanggung jawab, melakukan kerja sama dan koordinasi dengan komunikasi terbuka.

2.6. Tindakan Kolaboratif Interdisiplin Ilmu 2.6.1. Upaya Pelayanan Kesehatan Lansia

Upaya mengatasi kesehatan pada lansia adalah sebagai berikut : a. Upaya pembinaan kesehatan

b. Upaya pelayanan kesehatan : 1. Upaya promotif

2. Upaya preventif

3. Diagnosa dini dan pengobatan 4. Pencegahan kecacatan

5. Upaya rehabilitatif c. Upaya perawatan

d. Upaya pelembagaan Lansia

2.6.2. Prinsip pelayanan kesehatan pada Lansia 2.6.2.1. Prinsip holistik

Seorang penderita lanjut usia harus dipandang sebagai manusia seutuhnya (lingkungan psikologik dan sosial ekonomi). Hal ini ditunjukkan dengan asesmen geriatri sebagai aspek diagnostik, yang meliputi seluruh organ dan sistem, juga aspek kejiwaan dan lingkungan sosial ekonomi.

(15)

Sifat holistik mengandung artian baik secara vertikal ataupun horizontal. Secara vertikal dalam arti pemberian pelayanan di masyarakat sampai ke pelayanan rujukan tertinggi, yaitu rumah sakit yang mempunyai pelayanan subspesialis geriatri. Holistik secara horizontal berarti bahwa pelayanan kesehatan harus merupakan bagian dari pelayanan kesejahteraan lansia secara menyeluruh. Oleh karena itu, pelayanan kesehatan harus bekerja secara lintas sektoral dengan dinas/ lembaga terkait di bidang kesejahteraan, misalnya agama, pendidikan, dan kebudayaan, serta dinas sosial.

Pelayanan holistik juga berarti bahwa pelayanan harus mencakup aspek pencegahan (preventif), promotif, penyembuhan (kuratif), dan pemulihan (rehabilitatif). Begitu pentingnya aspek pemulihan, sehingga WHO menganjurkan agar diagnosis penyakit pada Lansia harus meliputi 4 tingkatan penyakit :

a. Disease (penyakit), yaitu diagnosis penyakit pada penderita, misalnya penyakit jantung iskemik.

b. Impairment (kerusakan/ gangguan), yaitu adanya gangguan atau kerusakan dari organ akibat penyakit, missal pada MCI akut ataupun kronis.

c. Disability (ketidakmampuan), yaitu akibat obyektif pada kemampuan fungsional dari organ atau dari individu tersebut. Pada kasus di atas misalnya terjadi decompensasi jantung.

d. Handicap (hambatan), yaitu akibat sosial dari penyakit. Pada kasus tersebut di atas adalah ketidakmampuan penderita untuk melakukan aktivitas sosial, baik di rumah maupun di lingkungan sosialnya.

(16)

2.6.3. Prinsip tatakerja dan tatalaksana secara TIM

Tim geriatrik merupakan bentuk kerjasama multidisipliner yang bekerja secara inter-disipliner dalam mencapai tujuan pelayanan geriatrik yang dilaksanakan.

Yang dimaksud dengan multidisiplin si sini adalah berbagai disiplin ilmu kesehatan yang secara bersama-sama melakukan penanganan pada penderita lanjut usia. Komponen utama tim geriatrik terdiri dari dokter, pekerja sosio medik, dan perawat. Tergantung dari kompleksitas dan jenis layanan yang diberikan. Anggota tim dapat ditambah dengan tenaga rehabilitasi medik (dokter, fisioterapist, terapi okupasi, terapi bicara, dll.), psikolog, dan atau psikiater, farmasis, ahli gizi,dan tenaga lain yang bekerja dalam layanan tersebut.

Istilah interdisiplin diartikan sebagai suatu tatakerja dimana masing-masing anggotanya saling tergantung (interdependent) satu sama lain. Jika tim multidisiplin yang bekerja secara multidisiplin, dimana tujuan seolah-olah dibagi secara kaku berdasarkan disiplin masing-masing anggota. Pada tim interdisiplin, tujuan merupakan tujuan bersama. Masing-masing anggota mengerjakan tugas sesuai disiplinnya sendiri-sendiri, tetapi tidak secara kaku. Disiplin lain dapat memberi saran demi tercapainya tujuan bersama. Secara periodik dilakukan pertemuan anggota tim untuk mengadakan evaluasi kerja yang telah dicapai, dan kalau perlu mengadakan perubahan demi tujuan bersama yang hendak dicapai.

Pada tim multidisiplin, kerjasama terutama bersifat pada pembuatan dan penyerasian konsep. Sedangkan pada tim interdisiplin, kerjasama meliputi pembuatan dan penyerasian konsep serta penyerasian tindakan.

Tim geriatri disamping mengadakan asesmen atas masalah yang ada, juga mengadakan asesmen atas sumber daya manusia dan sosial ekonomi yang bisa digunakan untuk membantu pelaksanaan masalah penderita tersebut.

(17)

2.7. Skrining Kesehatan Pada Lansia 2.7.1. Pengantar Skrining pada Lansia

Mengingat kondisi usia lanjut seperti diuraikan terdahulu, mudah dipahami bahwa dari segi promotif dan preventif menduduki tempat penting dalam memberikan tindakan atau program intervensi bagi kelompok ini.

Oleh Direktorat keluarga Binkesmas Departemen Kesehatan RI sejak tahun 1990-an telah dikembangkan Program Pembinaan Usila (Usia Lanjut) pada sejumlah puskesmas percontohan di Indonesia.

Dalam program pembinaan tersebut tercakup antara lain kegiatan skrining kesehatan bagi kelompok usia lanjut di puskesmas yang secara praktis berbentuk pengisian KMS (Kartu Menuju Sehat) yang dirancang khusus bagi keperluan pembinaan kesehatan usia lanjut.

Khusus mengenai bentuk dan tata cara pengisian KMS akan dijelaskan tersendiri pada bagian lampiran (Annex 1). Berikut ini akan diuraikan definisi, tujuan, dan ciri-ciri skrining kesehatan bagi usia lanjut.

Skrining (penapisan) adalah mengidentifikasi ada tidaknya penyakit atau kelainan yang sebelumnya tidak diketahui dengan menggunakan berbagai tes pemeriksaan fisik dan prosedur lainnya, agar dapat memilah dari sekelompok individu, mana yang tergolong mengalami kalainan. Skrining tidak dapat diartikan secara diagnostic, tetapi bilamana hasilnya positif selanjutnya dapat di follw-up dengan pemeriksaan diagnostic, kalau perlu dengan tindakan pengobatan. Sasaran skrining kesehatan memang ditujukan bagi setiap lansia, namun sasaran utamanya adalah mereka yang berada dalam kategori resiko tinggi (Broklehurst & Allen dalam Darmojo, R. B Geriatri, 1999).

Golongan yang termasuk kategori resiko tinggi adalah: 1. Laki-laki, duda

2. Lansia jompo (diatas 80 tahun) 3. Tinggal sendiri

4. Baru keluar dari perawatan rumah sakit

(18)

Kegiatan skrining perlu mempertimbangkan hal-hal berikut: 1. Diarahkan untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas

2. Harus cukup efektif dengan pengertian harus cukup akurat, baik dalam hal sensitivitas maupun spesifitas

3. Bersifat cost-effective.

Pilihan jenis skrining yang dilakukan adalah berbeda-beda untuk masing-masing individu, yang penting bahwa tindakan skrining sebenarnya hanya perlu dilakukan bila terdapat kemungkinan untuk tindakan selanjutnya.

2.7.2. Pencegahan Primer, Sekunder, dan Tersier

Secara umum, aspek pencegahan dapat dibagi atas pencegahan primer dan pencegahan sekunder.

Contoh pencegahan primer adalah hal-hal seperti: 1. Berhenti merokok

2. Mengubah gaya hidup 3. Memerhatikan diet 4. Melakukan exercise

5. Vaksinasi terhadap influenza/pneumococcus/tetanus.

Selanjutnya, pencegahan sekunder adalah untuk mencegah kecacatan melalui deteksi dini, yaitu terhadap penyakit-penyakit yang masih berada pada stadium subklinis. Pencegahan sekunder ini dilakukan melalui kegiatan skrining atau penemuan kasus (case finding). Di Negara maju, skrining pada umumnya ditujukan pada penyakit kardiovaskular, keganasan dan cerebrovascular accident (CVA).

2.7.3. Macam-macam Skrining Kesehatan 2.7.3.1. Penyakit hipertensi

Tindakan skrining sangat bermanfaat, baik terhadap hipertensi sistolik maupun diastolic. Pencegahannya akan dapat mengurangi risiko timbulnya stroke, penyakit jantung atau bahkan kematian. Dari hasil studi, ditemukan

(19)

bahwa bila 40 orang diobati selama 5 tahun akan dapat mencegah 1 (satu) kejadian stroke.

2.7.3.2. Keganasan

Skrining terhadap keganasan terutama ditujukan terhadap penyakit kanker payudara, yaitu dengan cara BSE. Juga penyakit kanker serviks dengan cara pap smear. Selanjutnya skrining juga dilakukan terhadap kanker kolon dan rectum. Adapun caranya adalah dengan pengujian laboratorium terhadap darah samar di dalam feses, selain dengan cara endoskopi untuk kelainan dalam sigmoid dan kolon terutama pada penderita yang menunjukkan adanya keluhan.

2.7.3.3. Wanita menopause

Tindakan skrining ditujukan untuk memastikan apakah diperlukan terapi hormone pengganti estrogen. Terapi ini dapat mengurangi risiko kanker payudara. Juga fraktur akibat osteoporosis. Namun, perlu diwaspadai kemungkinan timbulnya kanker endometrium, dimana untuk pencegahannya dapat dianjurkan agar diberikan secara bersamaan dengan hormone progesterone.

Tindakan skrining juga biasanya ditujukan bagi kelainan pada system indera, yaitu terutama pada pengkihatan dan pendengaran seperti berikut ini.

2.7.3.4. Skrining Ketajaman Visus

Skrining katajaman visus dengan tindakan sederhana, yaitu koreksi dengan ukuran kacamata yang sesuai. Bagi kasus katarak dengan tindakan ekstraksi lensa tidak saja akan memperbaiki penglihatan, tetapi juga akan meningkatkan status fungsional dan psikologis. Skrining dengan alat funduskopi dapat mendeteksi penyakit glaucoma, degenerasi macula, dan retinopati diabetes. Adapun factor resiko untuk degenerasi macula adalah adanya riwayat keluarga dan factor merokok.

2.7.3.5. Skrining Pendengaran

Dengan tes bisik membisikkan enam kata-kata dari jarak tertentu ke telinga pasien serta dari luar lapang pandang. Selanjutnya minta pasien

(20)

untuk mengulanginya. Cara ini cukup sensitive, dan menurut hasil penelitian dikatakan mencapai 80% dari hasil yang diperoleh melalui pemeriksaan dengan alat audioskop. Mengenai pemeriksaan dengan audioskop, yaitu dihasilkan nada murni pada frekuensi 500, 1.000, 2.000, dan 4.000 Hz, yaitu pada ambang 25-40 dB.

Bentuk pencegahan ketiga adalah pencegahan tersier. Di sini meliputi pencegahan terhadap morbiditas dan mortalitas yang timbul akibat penyakit yang telah ada. Jenis pencegahan ini termasuk tindakan khusus dan tergolong dalam disiplin ilmu geriatric. Sebagai contoh adalah tindakan rehabilitasi terhadap penderita lansia, misalnya dengan fraktur panggul agar dapat mengurangi kecacatan serta kemampuan mereka untuk merawat diri sendiri. Contoh lainya adalah rehabilitasi pada pasien stroke.

Adapun pencegahan tersier ini lebih dimaksudkan selaku tindakan untuk peningkatan kesehatan dan bukan semata-mata ditujukan bagi penyakit tertentu. 2.7.4. Penggolongan Skrining Kesehatan

Terdapat 2(dua) golongan skrining, yaitu (1) survey epidemiologi, dan (2) case finding(pencarian/penemuan kasus). Hal pertama yang dilakukan misalnya pada penelitian ilmiah ataupun untuk maksud perencanaan program-program intervensi kesehatan, selanjutnya tidak akan dibahas disini. Sedangkan yang kedua dapat dilakukan bagi usia lanjut yang secara kebetulan dating berobat atau sengaja dating untuk keperluan pemeriksaan kesehatan rutin. Tindakan skrining bertujuan agar sebisa mungkin dan selama mungkin tetap mempertahankan usia lanjut dalam keadaan yang optimal serta mencegah institusionalisasi (alias tetap mempertahankannya tinggal dirumah). Dari segi pertimbangan praktis, dapat dibedakan bahwa untuk periode usia 65-74 tahun, skrining brtujuan untuk dapat memperpanjang aktivitas fisik, mental social, serta untuk mengurangi kemungkinan cacat maupun kondisi penyakit yang berlangsung menahun.

Sedangkan untuk periode lebih dari 75 tahun, skrining bertujuan untuk memperpanjang kemandirian (ADL) secara optimal, mencegah institusionalisasi

(21)

dan mengurangi ketidaknyamanan maupun stress, terutama bagi kasus-kasus terminal, serta untuk member dukungan emosional bagi keluarga. Ciri-ciri skrining kesehatan usia lanjut berdasarkan pengalaman sebaiknya diselenggarakan selaku kegiatan kelompok, bersifat office-base (yaitu dilakukan di institusi misalnya di puskesmas) dan mengingat tingkatannya yang sederhana, cukup bila ditangani oleh kader terlatih (tidak mesti oleh petugas kesehatan profesional). Penilaian secara lengkap bagi lansia memang pada dasarnya haruslah bersifat analisis multidisiplin (dengan pendekatan kolaboratif), namun mengingat keberadaan lansia pada umumnya yang jarang memiliki akses kepada pengkajian yang menyeluruh seperti itu, maka perlu dipopulerkan skrining secara sederhana yang dapat dilakukan oleh perawat maupun petugas lainnya ditingkat lapangan.

Jenis-jenis skrining secara sederhana tersebut dapat digolongkan dalam: 1. Pengkajian faktor lingkungan (dapat dilakukan oleh petugas sosiomedis). 2. Skrining fisik (dapat dilakukan oleh dokter maupun perawat)

3. Skrining kejiwaan (dapat dilakukan oleh dokter/perawat) 4. Skrining ADL (dapat dilakukan oleh dokter/perawat)

Skrining seperti ini pada dasarnya selain bertujuan untuk dapat menegakkan diagnosis, baik dari segi fisik maupun kejiwaan juga agar dimungkinkan untuk melakukan tindak lanjut atas temuan yang didapat. Selain itu, juga memungkinkan untuk dilakukannya tindakan rujukan secara tepat (kolaborasi).

Untuk pengkajian secara komprehensif ditinjau dari sudut pandang medis dan keperawatan, pembaca dapat merujuk pada Annex 4,5, dan 6. Namun, disini akan disajikan pengkajian sederhana yang mencangkup 10 poin seperti yang dianjurkan oleh Lachs et al. (dalam Geriatri: Darmojo, R.B. dan Martono, 1999) sebagai berikut.

1. Melakukan test baca koran sebagai modifikasi test snellen berturut-turut pada mata kiri dan kanan.

2. Melakukan test bisik untuk menilai kemampuan pendengaran berturut-turut pada telinga kiri dan kanan

(22)

3. Test fungsi ekstermitas atas dan bawah antara lain dengan cara berjabat tangan serta meminta lansia untuk bangkit dari duduknya dan berjalan.

4. Test tentang fungsi ADL dan ADL instrumen

5. Mengecek ada tidaknya kontinensia (ngompol atau buang air besar tidak terasa)

6. Mengecek status gizi melalui pengukran berat dan tinggi badan (IMT)

7. Mengecek kemungkinan depresi dengan menanyakan apakah lansia sering merasa sedih ,tertekan,was-was, dan khawatir.

8. Mengecek dukungan sosial dengan menanyakan ada tidaknya penanggung biaya bila lansia memerlukan pengobatan atau keadaan darurat lainnya. 9. Mengecek status kognitif dengan meminta lansia menyebutkan nama 3 objek

tertentu dan mengulanginya sesudah 5 menit.

10. Mengecek kondisi lingkungan dimana lansia berada dengan menanyakan ada tidaknya bahaya yang dapat mengancam (anak tangga, , tinggi, penerangan kamar mandi, WC)

2.7.5. Skrining pada Keadaan Khusus Lansia

Di negara maju, skrining pada umumnya ditujukan pada penyakit kardiovaskuler, keganasan dan cerebravaskular accident (CVA) seperti yang dijelaskan berikut :

2.7.5.1. Penyakit Hipertensi

Tindakan skrining sangat bermanfaat, baik terhadap hipertensi sistolik maupun diastolik. Pencegahan akan dapat mengurangi resiko timbulnya stroke, penyakit jantung, bahkan kematian. Dari hasil studi, ditemukan bahwa bila 40 orang diobati dalam waktu 5 tahun akan dapat mencegah satu kejadian stroke, pada hipertensi dilakukan pengkajian secara lengkap (anamnesa dan pemeriksaan fisik) , skrining atau tes saringan. Hal yang perlu dilakukan disini adalah pengukuran tekanan darah. Sebagai patokan diambil batas normal tekanan darah bagi lansia adalah (1) tekanan sistolik 120-160mmHg, dan (2) tekanan diastolic sekitar 90mmHg. Pengukuran tekanan darah pada lansia sebaiknya dilakukan dalam keadaan berbaring,

(23)

duduk, dan berdiri dengan selang beberapa waktu, yaitu untuk mengetahui kemungkinan adanya hipertensi ortostatik.

2.7.5.2. Penyakit Jantung

Selain pengkajian secara lengkap (anamnesis dan pemeriksaan fisik), skrining yang perlu dilakukan pada lansia dengan dugaan kelainan jantung antara lain pemeriksaan EKG, treadmill, dan foto thoraks.

2.7.5.3. Penyakit Ginjal

Selain pengkajian secara lengkap (anamnesis dan pemeriksaan fisik), skrining yang perlu dilakukan pada lansia dengan dugaan kelainan ginjal adalah pemeriksaan laboratorium tes fungsi ginjal dan foto IVP.

2.7.5.4. Diabetes Melitus

Selain pengkajian secara lengkap (anamnesis dan pemeriksaan fisik), skrining yang perlu dilakukan pada lansia dengan dugaan diabetes antara lain pemeriksaan reduksi urine, pemeriksaan kadar gula darah, dan funduskopi.

2.7.5.5. Gangguan Mental

Selain pengkajian secara lengkap (anamnesis dan pemeriksaan fisik), skrining yang perlu dilakukan pada lansia dengan dugaan gangguan mental antara lain pemeriksaan status mental dan tes fungsi kognitif. Biasanya telah dapat dibedakan apakah terdapat kelainan mental seperti depresi, delirium, atau demensia.

(24)

SIMPULAN

Untuk mencapai pelayanan yang efektif maka perawat, dokter dan tim kesehatan harus berkolaborasi satu dengan yang lainnya. Tidak ada kelompok yang dapat menyatakan lebih berkuasa diatas yang lainnya. Masing-masing profesi memiliki kompetensi profesional yang berbeda sehingga ketika digabungkan dapat menjadi kekuatan untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Banyaknya faktor yang berpengaruh seperti kerjasama, sikap saling menerima, berbagi tanggung jawab, komunikasi efektif sangat menentukan bagaimana suatu tim berfungsi. Kolaborasi yang efektif antara anggota tim kesehatan memfasilitasi terselenggaranya pelayanan pasien yang berkualitas. Skrining atau penyaringan kasus adalah cara untuk mengidentifikasi penyakit yang belum tampak melalui suatu tes atau pemeriksaan atau prosedur lain yang dapat dengan cepat memisahkan antara orang yang mungkin menderita penyakit dengan orang yang mungkin tidak menderita.

Sehingga skrining ini dilakukan yaitu karena hal berikut ini: sebagai langkah pencegahan khususnya Early diagnosis dan promotif treatment. Banyaknya penyakit yang tanpa gejala klinis. Penderita mencari pengobatan setelah studi lanjut. Penderita tanpa gejala mempunyai potensi untuk menularkan penyakit.

(25)

DAFTAR REFERENSI

Berger, J. Karen and Williams. 1999. Fundamental Of Nursing; Collaborating for Optimal Health, Second Editions. Apleton and Lange. Prenticehall. USA

Dochterman , Joanne McCloskey PhD, RN, FAAN. 2001 Current Issue in Nursing. 6th

Editian . Mosby Inc.USA

Sitorus, Ratna, DR, S.Kp, M.App.Sc. 2006. Model Praktik Keperawatan Profesional di Rumah Sakit : Penataan Struktur dan Proses (Sistem) Pemberian Asuhan Keperawatan di Ruang Rawat. EGC. Jakarta

Siegler, Eugenia L, MD and Whitney Fay W, PhD, RN., FAAN , alih bahasa Indraty Secillia, 2000. Kolaborasi Perawat-Dokter ; Perawatan Orang Dewasa dan Lansia, EGC. Jakarta

www. Nursingworld. 1998.: Collaborations and Independent Practice: Ongoing Issues for Nursing.

www. Kompas.com/kompas-cetak/ 2001. Diskusi Era Baru: Perawat Ingin Jadi Mitra Dokter.

www.pikiran-rakyat.com/cetak. 2002 : Hak dan Kewajiban Rumah Sakit. www. nursingworld. Sieckert. 2005 Nursing - Physician workplace Collaboration.

www.nursingworld. Canon. 2005. New Horizons for Collaborative Partnership. www. Nursingworld. Gardner. 2005. Ten Lessons in Collaboration.

DAFTAR PUSTAKA

Anderson, Elizabeth T.2006.Keperawata Komunitas Teori dan Praktik.Jakarta: EGC Gunadarma, elearning. 2013. Epidemiologi K ebidanan Skrining. Available:

http://elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/epidemiologi_kebidanan/bab6-skrinning.pdf. Diakses pada 19Maret 2015

Hidayat, Aepnurul. 2014. Skrining Keseha tan. Available:

https://aepnurulhidayat.wordpress.com/2014/03/19/skrining-kesehatan/. Diakses pada 19 Maret 2015

Ikhwan. 2014. Konsep Dasar Skrining. Available:

http://ikhwan554.blogspot.com/2010/03/konsep-dasar-screening.html. Diakses pada 19 Maret 2015.

Mubarak,Wahit Iqbal. 2009. Pengantar Keperawatan Komunitas 2. Jakarta: Salemba Medika

Referensi

Dokumen terkait

Kesimpulan yang diperoleh dari makalah ini yaitu perawatan sistem kelistrikan gedung RSG- GAS menggunakan metoda Non Destructive Testing (NDT) dapat dimanfaatkan untuk

Panti 16 SMK/Diploma I, II dan III kualifikasi pendidikan di sesuikan dengan kebutuhan organisasi Tidak untuk formasi CPNS 17 Pengadministrasi Hukum 17 Diploma II dan III sesuai

Tabel I.3 Data Hasil Survei Pendahuluan pada Pegawai Kantor Dinas Perikanan dan Kelautan Kota Pangkalpinang .... Tabel I.4 Data Spesifikasi Jabatan Pegawai Struktural di

Dalam pemikiran Pancasila, nilai-nilai kemanusiaan universal yang bersumber dari hukum Tuhan, hukum alam, dan sifat-sifat sosial manusia juga meruapakan fundamen penting

Isolasi dan identifikasi bakteri termofilik penghasil kitinase dari sumber air panas Danau Ranau Suma- tera Selatan, diperoleh 2 isolat yang mampu meng- hasilkan kitinase dengan

di Kendari (“geoexplor.wordpress.com”, par. Wisata di kota Kendari ini memerlukan media informasi yang tepat dan komunikatif karena informasi tentang wisata-wisata ini

Adapun tujuan dari penelitian tindakan kelas ini adalah : meningkatkan aktivitas, hasil belajar dan jumlah siswa yang tuntas berdasar KKM pada mata pelajaran Pendidikan

Pertama, penyalurannya dijelaskan secara detil di website baik Global Qurban maupun Aksi Cepat Tanggap, seperti cara bayarnya yang cukup jelas,”