• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN UMUM SHALAT IED DAN SHALAT JUM AT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN UMUM SHALAT IED DAN SHALAT JUM AT"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN UMUM SHALAT IED DAN SHALAT JUM’AT

A. SHALAT IED

1. Pengertian Shalat Ied

Sebelum penulis memasuki pembahasan mengenai shalat Ied dan shalat Jum’at, penulis akan mendefinisikan dahulu tentang arti shalat. Menurut Hudhari Bik, kata shalat bukan berasal dari kata Islam, karena kata-kata tersebut telah digunakan bangsa Arab sebelum Islam datang dengan arti do’a dan minta ampun. Sebagaimana yang disitir oleh Hudhari Bik dari do’anya Al A’sya :

ﻠﺻ ﻯ ﺬﻟﺍ ﻞﺜﻣ ﻚﻴﻠ

ﻰﻀﻤﻏ ﺎﻓ ﺖﻴ

#

ﺐﻨﳉ ﻥﺎﻓ ﺎﻣﻮﻧ

ﺎﻌﺠﻄﻀﻣ ﺀﺮﳌﺍ

Artinya: “Semoga atasmu seperti apa yang saya do’akan maka tidurlah, karena bagi setiap lambung seseorang mempunyai pembaringan”.1

Asal kata shalat juga bermakna pengagungan menurut satu pendapat yang lain, karena didalamnya mengandung makna pengagungan dan memahasucikan Allah SWT. Sementara arti shalat menurut bahasa (etimologi) adalah do’a.2 sesuai dengan firman Allah SWT dalam al Qur’an surat At-Taubah ayat 103 yang berbunyi :

ﻢﳍ ﻦﻜﺳ ﻚﺗﺍﻮﻠﺻ ﻥ ﺍ ﻢﻬﻴﻠﻋ ﻞﺻﻭ

)

ﺑﻮﺘﻟ ﺍ

:

١٠٣

(

Artinya: “Dan mendo’alah untuk mereka. Sesungguhnya do’a kamu itu (menjadi) ketentraman bagi jiwa mereka. (QS. At-Taubah: 103)3

1 Hudhari Bik, Tarikh Tasyri, Terj. Muhammad Zuhri, Indonesia: Darul Ihya, t.th, hlm.82 2Ahmad Ibn Al-Husain Asy Shahir Abi Syuja, Fathul Qarib al-Mujib, Semarang: CV. Toha Putra, t.th, hlm. 11

3 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta: Yayasan Penyelenggara penterjemah Al-Qur'an, 1985, hlm. 933

(2)

Sedangkan arti shalat menurut istilah syara’ (terminologi Islam) adalah :

ﻁ ﺍﺮﺸﺑ ﻢﻴﻠﺴﺘﻟﺎﺑ ﺔﻤﺘﺘﳐ ﲑﺒﻜﺘﻟﺎﺑ ﻪﺤﺘﺘﻔﻣ ﻝﺎﻌﻓﺍﻭ ﻝﺍﻮﻗ

ﺔﺻﻮﺼﳐ

٤

Artinya: “Perkataan dan perbuatan yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam menurut syarat-syarat yang telah ditentukan.

Arti shalat yang melengkapi bentuk, hakikat dan jiwa shalat itu sendiri adalah : berhadap jiwa kepada Allah Swt yang mendatangkan rasa takut, yang menumbuhkan rasa kebesaran dan kekuasaan-Nya dengan khusyu dan ikhlas didalam beberapa ucapan dan perbuatan yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam.5

Pengertian Ied berasal dari kata

(

ةدﻮﻋ

-

دﻮﻌﻳ

-

دﺎﻋ

)

yang artinya mengulang kembali suatu pekerjaan atau perbuatan. Jama’nya (

ﺪﻴﻋ

)

adalah

دﺎﻴﻋا

artinya tiap-tiap hari berkumpul dalam memperingati suatu peristiwa atau kejadian yang penting, atau yang dinamakan

ﺪﻴﻋ

karena kembali berulang-ulang setiap tahun dengan kegembiraan baru.6

Adapun pengertian shalat Ied secara terminologi adalah shalat dua rakaat yang dilakukan oleh umat Islam pada hari raya Idul Fitri dan Idul Adha.7

٤ Ahmad Ibn Al-Husain Asy Shahir Abi Syuja, loc.cit.

5 TM. Hasbi Asy Syiddieqy, Pedoman Shalat, Semarang: CV. Bulan Bintang, Cet Ke-12, 1983, hlm. 64

6 Dr. Wahbah al Zuhaili, Al Fiqh al Islamy wa Adilatuh, Juz II, Beirut: Dar al Fikr, t.th., hlm. 362

7 Abdul Aziz Dahlan, et.al, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT. Ictiar Baru Van Hoeve, Cet Ke-I,1997, hlm. 1564

(3)

2. Dasar Hukum Shalat Ied

Dalam al-Qur’an dan Hadits telah tertera jelas tentang dasar hukum shalat Ied. Allah SWT berfirman dalam al Qur’an surat Al Kautsar ayat 2:

ﺮﳓ ﺍﻭ ﻚﺑﺮﻟ ﻞﺼ

)

ﺮﺛﻮﻜﻟ ﺍ

:

٢

(

Artinya: “Maka dirikanlah shalat karena tuhanmu dan berkorbanlah”. (QS. Al Kautsar :2)8

ﻰﻠﺼﻓ ﻪﺑﺭ ﻢﺳ ﺍﺮﻛﺫﻭ ﻰﻛﺰﺗ ﻦﻣ ﺢﻠﻓﺍ ﺪ

)ﺍ

ﻰﻠﻋ

:

١٤

-١٥

(

Artinya: “Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman). Dan dia ingat nama tuhannya lalu ia sembahyang”. (QS. Al-A’la :14-15) 9

Sedangkan dalil yang digunakan dalam hadits, yaitu :

ﺿﺭ ﺱﺎﺒﻋ ﻦﺑﺍ ﻦ

ﱮﻨﻟﺍ ﻊﻣ ﺪﻴﻌﻟﺍ ﺕ ﺪﻬﺷ ﻝﺎﻗ ﺎﻤﻬﻨﻋ ﷲﺍ

ﷲﺍ ﻰﺿﺭ ﻥﺎﻤﺜﻋﻭ ﺮﻤﻋﻭ ﺮﻜﺑ ﰉ ﺍﻭ ﻢﻠﺳﻭ ﻪﻴﻠﻋ ﷲﺍ ﻰﻠﺻ

ﺔﺒﻄﳋﺍ ﻞﺒﻗ ﻥﻮﻠﺼﻳ ﺍﻮﻧﺎﻛ ﻢﻬﻠﻜﻓ ﻢﻬﻨﻋ

)

ﻯﺭﺎﺨﺒﻟﺍ ﻩﺍﻭﺭ

(

١٠

Artinya: “Dari Abbas r.a berkata saya menyaksikan Fitri bersama Nabi Saw, Abu Bakar, Umar dan Utsman r.a. mereka menjalankan shalat sebelum khutbah kemudian baru berkhutbah sesudahnya”. (HR. Bukhari)

Dengan demikian shalat Ied itu juga disyari’atkan dalam pelaksanaannya seperti shalat wajib lainnya. Adapun yang disyari’atkan untuk menghadiri shalat Ied selain pria, wanita juga disyari’atkan untuk hadir meskipun dalam keadaan haid. Sesuai dengan hadits yang berbunyi :

8 Depag RI, op. cit., hlm. 1110 9 Ibid, hlm. 1052

١٠ Abi Abdillah Muhammad Ibnu Ismail al-Bukhari, Shahih Bukhari, Jus I, Baerut: Dar al Kutub Al-Ilmiah, t.th, hlm. 291

(4)

ﻖﺗﺍﻮﻌﻟﺍﻭ ﺝﺮﳔ ﻥﺍ ﺎﻧﺮﻣﺍ ﺖﻟﺎﻗ ﺔﻴﻄﻋ ﻡﺍ ﻦ

ﺭﻭﺬﳊﺍ ﺕﺍﻭﺫ

ﺯﻭ ﻩﻮﺤﻨﺑ ﺔﺼﻔﺣ ﻦﻋ ﺏﻮﻳﺍ ﻦﻋﻭ

ﻝﺎﻗ ﺔﺼﻔﺣ ﺚﻳﺪﺣ ﰱ ﺩﺍ

ﻰﻠﺼﳌﺍ ﺾﻴﳊﺍ ﻦﻟﺰﺘﻌﻴﻓ ﺭﻭﺬﳊﺍ ﺕﺍﻭﺫﻭ ﺖﻟﺎﻗ ﻭﺍ

.

) ﻢﻠﺴﻣ ﻩﺍﻭﺭ ( ١١

Artinya: “Dari Umu A’tiyyah kami diperintahkan oleh Rasulullah Saw untuk membawa keluar perempuan yang berhaid dan gadis-gadis pingitan pada hari raya Fitri dan Adha. Dari khafshah dalam haditsnya berkata:Perempuan yang sedang berhaid mengasingkan diri dari shalat. (HR. Muslim)

3. Syarat dan Rukun Shalat Ied i. Syarat-syarat Shalat Ied

Dalam melaksanakan shalat Ied harus dipenuhi dengan beberapa syarat-syarat sebagai berikut:

1) Didirikan ditempat terbuka (tanah lapang) bila tidak ada halangan.

ﷲﺍ ﻰﻠﺻ ﷲﺍ ﻝﻮﺳﺭ ﻥﺎﻛ ﻝﺎﻗ ﻯﺭ ﺪﳊﺍ ﺪﻴﻌﺳ ﰉﺍ ﻦ

ﻰﻠﺼﳌﺍ ﱃﺍ ﻰﺤﺿ ﻻﺍﻭ ﺮﻄﻔﻟﺍ ﻡﻮﻳ ﺝﺮﳜ ﻢﻠﺳﻭ ﻪﻴﻠﻋ

)ﺭ

ﻯﺭﺎﺨﺒﻟﺍ ﻩﺍﻭ

(

١٢

Artinya: “Dari Abi Said al-Khudriy berkata bahwa Rosulullah Saw berkata pada hari raya Fitri dan Adha ke Mushala. (HR. Bukhari)

2) Dilaksanakan setelah terbit matahari

ﺀﺎﻨﺒﻟﺍ ﻦﺴﳊﺍ ﻦﺑ ﺪﲪﺍ ﻦﻋ ﺏ ﺪﻨﺟ ﻦ

)

ﻻﺍ ﺏﺎﺘﻛ ﰱ

ﻰﺤﺿ

(

ﻝﺎﻗ

ﺎﻨﺑ ﻰﻠﺼﻳ ﻢﻠﺳﻭ ﻪﻴﻠﻋ ﷲﺍﻰﻠﺻ ﱮﻨﻟﺍ ﻥﺎ

ﻴﻗ ﻰﻠﻋ ﺲﻤﺸﻟﺍﻭ ﺮﻄﻔﻟﺍ ﻡﻮﻳ

ﺢﻣﺭ ﺪﻴﻗ ﻰﻠﻋ ﲔﳏﺭ ﺪ

.

)

ﻥﺎﻛﻮﺴﻟﺍ ﻩﺍﻭﺭ

(

١٣ ١١ Ibid, hlm. 294 ١٢ Ibid, hlm. 289

١٣Muhammad Ibnu Ali Ibnu Muhammad asy-Syaukani, Nailul Authar, Juz II, Baerut: Darul Kutub al-Arabi, 2000, hlm. 592

(5)

Artinya: “Dari Jundup, menurut riwayat Ahmad bin Hasan al Bana’ di dalam (kitab al Adha) ia berkata: Nabi SAW shalat bersama kami pada hari raya fitri dan matahari setinggi dua lembing dan shalat adha setinggi satu lembing atau sepenggalahan (HR.Syaukani)

3) Shalat Ied disunnahkan pelaksanaannya secara berjamaah

Ulama Syafi’iyyah mengatakan shalat Ied berjamaah adalah sunnah kecuali bagi orang yang lupa mengerjakannya. Apabila setelah zawal maka hal itu adalah ada, sedangkan menurut ulama Malikiyyah bahwa berjamaah itu adalah syarat karena shalat Ied itu sunnah. Maka shalat Ied itu sunnah bagi yang menjalaninya secara berjamaah. Dan disunnahkan mengqadha bila lupa melakukannya.

Menurut ulama Hanafiyyah berjamaah menjadi syarat syahnya shalat Ied seperti shalat Jum’at. Apabila melanggarnya maka tidak diharuskan menqadha baik pada waktu itu maupun waktu yang lainnya. Namun dapat mengqadhanya dengan shalat empat rakaat. Sedangkan ulama Hanabillah berpendapat bahwa jamaah adalah syarat syahnya shalat Ied seperti shalat Jum’at, namun apabila lupa maka boleh menqadha dalam waktu longgarnya.14

4) Pelaksanaan shalat Ied diakhiri dengan khutbah.

ﻢﻠﺳ ﻭ ﻪﻴﻠﻋ ﷲﺍ ﻰﻠﺻ ﷲﺍ ﻝﻮﺳﺭ ﻥﺎﻛ ﻝﺎﻗ ﺮﻤﻋ ﻦﺑﺍ ﻦ

ﻞﺒﻗ ﻦﻳ ﺪﻴﻌﻟﺍ ﻥﻮﻠﺼﻳ ﺎﻤﻬﻨﻋ ﷲﺍ ﻰﺿﺭ ﺮﻤﻋﻭ ﺮﻜﺑ ﻮﺑﺍﻭ

ﺔﺒﻄﳋﺍ

)

ﻭﺭ

ﻯﺭﺎﺨﺒﻟﺍ ﻩﺍ

(

١٥

Artinya: “Dari Ibnu Umar r.a bahwa Rasulullah Saw, Abu Bakar dan Umar r.a selalu melakukan shalat dua hari raya sebelum khutbah. (HR. Bukhari)

14 Abdurrahman Al-Jaziri, Al Fiqh al Madzhabil al-Arba’ah, Juz I, Baerut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1990, hlm. 349

(6)

ii. Rukun-rukun Shalat Ied

Adapun rukun shalat Ied, sama halnya dengan rukun dalam shalat wajib lainnya, rukun tersebut adalah:

1) Niat.

2) Berdiri bagi yang kuasa ketika shalat. 3) Takbiratul Ikhram, dan takbir tambahan.16 4) Membaca surat al-Fatihah.

5) Ruku dengan tuma’ninah. 6) I’tidal dengan tuma’ninah. 7) Sujud dengan tuma’ninah.

8) Duduk diantara dua sujud dengan tuma’ninah. 9) Duduk pada takhyat akhir.

10) Membaca takhyat. 11) Membaca shalawat. 12) Membaca salam terakhir. 13) Tertib, (berurutan).17

B. Shalat Jum’at

1. Pengertian Shalat Jum’at

Kata Jum’at berasal dari kata jama’a

(

ﻊﻤﺟ

)

18 yang bila

ditashrifkan adalah jama’a-yajma’u-jam’an

(

ﺎﻌﻤﺟ

-

ﻊﻤﺠﻳ

-

ﻊﻤﺟ

)

yang

16 Takbir tambahan adalah menurut kalangan ulama Syafi’iyyah pada rakaat pertama takbir tujuh kali, sedangkan rakaat kedua takbir lima kali, ulama Malikiyyah dan Hanabillah yang mengatakan bahwa rakaat pertama disunnahkan takbir sebanyak enam kali, sedangkan rakaat kedua takbir lima kali, ulama hanafiyyah mengatakan rakaat pertama disunnahkan takbir tiga kali selain takbiratul ikhram dan rakaat kedua takbir sebanyak lima kali (lihat: wahbah Az-Zuhaili, Al

Fiqh Al Islam wa Addilatuh, Juz II, ad-Dimasyqy: Dar al Fikr, 1989, hlm.370

17 Ahmad Ibn Al-Husain Asy Shahir Abi Syuja, op.cit, hlm. 13-14

18 Abdul Aziz Dahlan, et.al, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, Cet. I, 1996, hlm.1579

(7)

berarti mengumpulkan, menghimpunkan.19 Berlainan dengan di atas, dalam Tafsir Ibnu Katsir, kata al-jumu’ah dinamakan jumu’ah karena kata ini berasal dari kata al Jam’u

(

ﻊﻤﺠﻟا

)

yang artinya berkumpul.

Dalam Ensiklopedi Islam Indonesia makna asal jum’at adalah perkumpulan, Perhimpunan, persahabatan, kerukunan dan persatuan. Juga berarti pekan atau segenggam.

Kata Jum’at menurut Al-Fara’ dapat dibaca jum’at

(

ﺔﻌﻤﺟ

),

jumu’ah

(

ﺔﻌﻤﺟ

),

jama’ah

(

ﺔﻌﻤﺟ

)

dan ketiga kata tersebut menunjukan sifat hari yang berarti saat berkumpulnya manusia. Sementara jumhur ulama lebih cenderung membaca dengan bacaan jumu’ah

(

ﺔﻌﻤﺟ

)

.

Dari pengertian kata shalat dan kata Jum’at di atas bila digabung menjadi shalat Jum’at maka memunculkan hipotesa yang mengarah kepada dua pengertian yaitu, pertama, bila kata Jum’at dimaksudkan sebagai hari, maka shalat Jum’at adalah shalat yang dilakukan pada hari Jum’at. Kedua, bila kata Jum’at dimaksudkan seperti pada arti asal Jum’at yaitu berkumpul atau berhimpun, maka interpretasi terhadap shalat Jum’at adalah shalat yang dilaksanakan dengan cara berjama’ah.

Pengertian shalat Jum’at dalam al-Qur’an dapat dilihat dari surat al Jumu’ah ayai 9 :

ﺍﻮﻌﺳﺎﻓ ﺔﻌﻤﳉﺍ ﻡﻮﻳ ﻦﻣ ﺓﻮﻠﺼﻠﻟ ﻱﺩﻮﻧ ﺍﺫﺍ ﺍﻮﻨﻣﺃ ﻦﻳﺬﻟﺍ ﺎﻬﻳﺎ

ﺫ ﱃﺍ

ﷲﺍ ﺮ

Dari ayat tersebut secara detail tidak menyebutkan tentang bagaimana sesungguhnya shalat Jum’at yang semestinya namun hanya mengandung perintah untuk melaksanakan shalat Jum’at.

19 Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, Jakarta: Hida Karya Agung, Cet. VIII, 1990, hlm.91

(8)

Pada umumnya pengertian shalat Jum’at menurut fuqaha’ adalah shalat dua rakaat, dengan berjama’ah di masjid pada waktu dzuhur pada setiap hari Jum’at sesudah khutbah Jum’at. Pengertian ini adalah pengertian yang didasarkan dari realita historis-empiris20 yang dilakukan

oleh Nabi Muhammad ketika melaksanakan shalat Jum’at beserta sahabat-sahabatnya. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi SAW yang memberikan petunjuk pelaksanaan dalam shalat:

ﺎﻗ ﺙﺮﻳ ﻮﺣ ﻦﺑ ﻚﻟ ﺎﻣ ﻦ

ﺍﺭﺎﻤﻛ ﺍﻮﻠﺻ ﻢﻌﻠﺻ ﱮﻨﻟﺍ

ﻰﻠﺻﺍ ﱏﻮﻤﺘﻳ

)

ﻢﻠﺴﻣﻭ ﻯﺭﺎﺨﺒﻟﺍ ﻩﺍﻭﺭ

(

Artinya: “Shalatlah kamu sekalian sebagaiman kamu melihat aku shalat”. (HR. Bukhari dan Muslim)21

2. Dasar Hukum Shalat Jum’at i. Al-Qur'an

Islam adalah agama yang bersumberkan dari wahyu yang diyakini termanifestasi dalam wujud teks yaitu Al-Qur'an dan As-Sunnah. Al-Qur'an berisi tentang pesan-pesan Syar’i sebagai referensi dalam menentukan suatu hukum yang sebagian bersifat rinci dan sebagian masih bersifat global (mujmal). Oleh karena globalnya petunjuk-petunjuk dalam al-Qur'an maka sudah seharusnya memerlukan penjelasan-penjelasan yang bersifat memerinci (tafsil).

Al-Qur'an sebagai sumber pertama dalam istinbath hukum dan tidak diragukan keabsahan nashnya secara naqli. Semua madzhab fiqh sepakat menempatkan al-Qur'an sebagai sumber pertama dan utama dalam wacana penetapan hukum Islam (tasyri’ Islami), sedangkan Sunnah merupakan sumber kedua yang bersifat naqli. Penggunaan As-Sunnah ini dilakukan setelah istinbath al-hukm tidak ditemukan dalam

20 Maksudnya adalah sunnah (tradisi yang hidup/living tradition) yang dilaksanakan nabi ketika menjalankan shalat jum’at.

(9)

Al Qur'an atau dapat juga penggunaannya sebagai komplemen terhadap al Qur'an

Dalam Al Qur’an yang menjelaskan tentang kewajiban shalat Jum’at adalah QS.al Jumu’ah ayat 9 yang berbunyi;

ﻣﺍ ﻦﻳﺬﻟﺍ ﺎﻬﻳﺎ

ﺔﻌﻤﳉﺍ ﻡﻮﻳ ﻦﻣ ﺓﻮﻠﺼﻠﻟ ﻱﺩﻮﻧ ﺍﺫﺍ ﺍﻮﻨ

ﻢﺘﻨﻛ ﻥﺍ ﻢﻜﻟ ﲑﺧ ﻢﻜﻟﺫ ﻊﻴﺒﻟﺍ ﺍﻭﺭﺫﻭ ﷲﺍ ﺮﻛﺫ ﱃﺍ ﻮﻌﺳﺎﻓ

ﻥﻮﻤﻠﻌﺗ

.

)

ﺔﻌﻤﳉ ﺍ

:

٩

(

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman apabila telah diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jum’at. Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik jika kamu mengetahuinya”.(QS. Al-Jumu’ah: 9)22

ii. Al Hadits

As Sunnah sebagai sumber hukum yang kedua setelah al-Qur'an juga memuat tentang dasar pelaksanaan shalat Jum’at. Dalam hadits banyak yang menerangkan tentang bagaimana pelaksanaan shalat Jum’at, diantaranya yaitu:

ﻢﻠﺳﻭ ﻪﻴﻠﻋ ﷲ ﻰﻠﺻ ﱯﻨﻟ ﺍ ﻦﻋ ﺏﺎﻬﺷ ﻦﺑ ﻕﺭﺎﻃ ﻦ

ﻝﺎﻗ

:

ﻻﺍ ﺔﻋ ﺎﲨ ﰱ ﻢﻠﺴﻣ ﻞﻛ ﻰﻠﻋ ﺐﺟ ﺍﻭ ﻖﺣ ﺔﻌﻤﳉ ﺍ

ﺔﻌﺑﺭ ﺍ

:

ﻙﻮﻠﳑ ﺪﺒﻋ

,

ﻣ ﺍ ﻭﺍ

ﺓﺍ

,

ﱯﺻ ﻭ ﺍ

,

ﺾﻳ ﺮﻣ ﻭ ﺍ

.

)

ﺑﺍ ﻩﺍﻭﺭ

ﺩﻭﺍﺩ ﻮ

(

٢٣

Artinya: “Dari Thariq bin Syihab dari nabi SAW. bersabda: shalat Jum’at wajib bagi setiap muslim dengan berjamaah kecuali bagi empat orang yaitu hamba sahaya, wanita, anak kecil, dan orang sakit”. (HR. Abu Daud)

22 Depag RI, op. cit, hlm. 933

٢٣ Abi Thayyib Muhammad Samsul Haq, AunilMa’bud, Al-Maktabah as-Salafiyyah, t.th, hlm. 394

(10)

Dalam hadits lain juga disebutkan tentang kewajiban shalat Jum’at.

ﻝﺎﻗ ﻢﻠﺳ ﻭ ﻪﻴﻠﻋ ﷲ ﻰﻠﺻ ﱯﻨﻟ ﺍ ﺝﻭﺯ ﺔﺼﻔﺣ ﻦ

:

ﺍﻭﺭ

ﻢﻠﺘﳏ ﻞﻛ ﻰﻠﻋ ﺐﺟ ﺍﻭ ﺔﻌﻤﳉﺍ ﺡ

)

ﻰﺋﺎﺴﻨﻟ ﺍ ﻩ ﺍﻭﺭ

(

Artinya: “Dari Hafsah r.a berkata:bahwasanya Nabi SAW bersabda: pergi ke Jum’at wajib bagi setiap yang sudah bermimpi (baligh)”.(HR. An-Nasa’i)24

iii. Al-Ijma

Berdasarkan dari surat al-jumu’ah ayat 9-10 dan kemudian dikuatkan oleh hadits-hadits diatas, kaum muslimin (ijma) bahwa shalat Jum’at hukumnya fardlu A’in, kewajiban bagi masing-masing individu muslim yang sudah memenuhi kriteria baligh, kecuali bagi empat orang yaitu wanita, musafir, hamba sahaya dan anak-anak. Dan dalam pelaksanaannya harus dilakukan dengan berjama’ah dengan didahului khutbah.

Meskipun demikian, tidak seluruh ulama sepakat shalat Jum’at itu wajib. Ibnu Rusyd mengemukakan bahwa pendapat yang ganjil berasal dari Imam Malik yang menyatakan shalat Jum’at adalah sunnah25. Sebab perbedaan pendapat ini adalah kemiripan shalat Jum’at dengan shalat Ied, berdasarkan pada hadits Nabi “Inna

Haadzaa Yaumun Ja’alahullahu Iedan” (Ini adalah suatu hari yang

Allah menjadikannya sebagai hari raya).

٢٤ Abu Abdurrahman Ahmad an-Nasa’i, Sunan Nasa’i, Terj. Bey Arifin Dkk, Semarang: Asy syifa, 1992, hlm. 111

25 Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, wahinayah al Mukhtasid, Juz I, Beirut: Dar al Kutub al Alamiyah, t.th., hlm. 113

(11)

3. Syarat dan Rukun Shalat Jum’at a.1 Syarat-syarat Wajib Shalat Jum’at

Setiap ibadah di samping mengandung nilai-nilai religius, juga merupakan perwujudan adanya rasa penghambaan kepada Allah SWT. setiap shalat tidak terlepas dari syarat-syaratnya supaya ibadah shalat yang dikerjakan menjadi syah. Begitu juga dengan shalat jum’at, kalangan fuqaha sepakat persyaratannya meliputi syarat-syarat shalat wajib kecuali waktu dan adzan sebab kedua persyaratan itu masih diperdebatkan para ulama.

Dalam hal syarat shalat jum’at ini Ulama fiqh (empat Imam Madzhab) memabgi syarat shalat jum’at kedalam kategori syarat wajib dan syarat sah. Syaarat wajib shalat jum’at sama dengan shalat yang berlaku dalam masalah shalat fardhu lainnya.

Adapun syarat-syarat wajibnya shalat jum’at adalah sebagai berikut:

Dalam hal syarat wajib ini para fuqaha madzhab syafi’I mengemukakan bahwa shalat jum’at diwajibkan atas orang yang memenuhi tujuh syarat, yaitu : Islam, baligh, berakal, merdeka, laki-laki, berbadan sehat, dan penduduk asli tempat jum’at dilaksanakan atau sedang menetap dirumah26.

Sementsara madzhab Maliki berpendapat bahwsa syarat wajib shalat jum’at seperti syarat wajibnya shalat yang lain, hanya saja

26 Abu al Walid Muhammad bin Ahmad bin Rusydi al Kurtubi, Bidayatul Mujatahid wa

(12)

dalam madzhab ini ada beberapa tambahan, yaitu : pertama laki-laki, wanita tidak diwajibkan shalat jum’at, akan tetapi jika wanita ikut dalam jama’ah shalt jumat maka shalatnya sah. Kedua adalah merdeka, artinya bukan budak. Ketiga tidak adanya udur yang membolehkan meninggalkan shalat jum’at. Keempat orang yang melihat, artinya bahw orang buta yang kesulitan daatang sendiri dan tidak punya penuntun, tidak diwajibkan shalat jum’at. Kelima bulkan oran grenta. Keenam adalah waktu shalat jum’at tidak terlalu panas dan juga tidak terlalu dingin. Ketujuh tidk takut dari orang dhalim yang akan membahayakan dirinya.27

Kemudian dalam madzhab Hanafi dalam menentukan shalat wajib shalat jum’at, sebagian dari syarat tersebut adalah sebagaimana syarat yang dikemukakan oleh Maliki dan Syafi’i. Seperti merdeka (bukan budak), laki-laki, tidak adanya udzur yang membolehkan meninggalkan shalat jum’at tidak waktu panas atau dingin yang sangat.28

1) Islam

Islam adalah persyaratan yang harus dipenuhi dalam setiap ibadah termasuk shalat jum’at, sehingga bagi umat Islam wajib melaksanakannya sebagaimana sabda Nabi SAW:

27 Muhammad al Zuhri, Anwar Al Masalib, Indonesia: Dar Ihya al Kutub al Arabiyah, t.th., hlm. 85

(13)

ﺻ ﱯﻨﻟﺍ ﻦﻋ ﺏﺎﻬﺷ ﻦﺑ ﻕﺭﺎﻃ ﻦ

ﻢﻠﺳﻭ ﻪﻴﻠﻋ ﷲ ﻰ

ﻝﺎ

:

ﻻﺍ ﺔﻋﺎﲨ ﰱ ﻢﻠﺴﻣ ﻞﻛ ﻰﻠﻋ ﺐﺟﺍﻭ ﻖﺣ ﺔﻌﻤﳉﺍ

ﺔﻌﺑﺭﺍ

:

ﻙﻮﻠﳑ ﺪﺒﻋ

,

ﺓﺍﺮﻣﺍ ﻭﺍ

,

ﱯﺻ ﻭﺍ

,

ﺾﻳ ﺮﻣ ﻭﺍ

.

)

ﺩﻭﺍﺩ ﻮﺑﺍ ﻩﺍﻭﺭ

(

٢٩

Artinya: “Dari Thariq bin Syihab bahwasannya Rasulallah SAW, telah bersabda: shalat jum’at hak wajib atas orang muslim dengan berjama’ah kecuali empat golongan: hamba sahaya, orang perempuan, anak kecil dan orang sakit”. (HR. Abu Daud).

2) Berakal Sehat

Orang yang berakal sehat wajib mendirikan shalat jum’at kecuali bagi orang gila, ayan dan mabuk. Akan tetapi orang mabuk masih dibebani shalat dzuhur setelah sembuh sebagai pengganti shalat jum’at. Sebagaimana sabda Nabi SAW:

ﻝﺎﻗ ﻢﻌﻠﺻ ﱯﻨﻟﺍ ﻦﻋ ﻪﻨﻋ ﷲﺍ ﻲﺿﺭ ﻰﻠﻋ ﻦ

:

ﻊﻓﺭ

ﻦﻋﻭ ﻆﻘﻴﺘﺴﻳ ﱴﺣ ﻢﺋﺎﻨﻟﺍ ﻦﻋ ﺔﺛﻼﺛ ﻦﻋ ﻢﻠﻘﻟﺍ

ﱯﺼﻟ

ﻞﻘﻌﻳ ﱴﺣ ﻥﻮﻨﳉﺍ ﻦﻋﻭ ﻢﻠﺘﳛ ﱴﺣ

.

)

ﺩﻭﺍﺩ ﻮﺑﺍ ﻩﺍﻭﺭ

(

٣٠

Artinya: “Dari Ali ra. Nabi Muhammad bersabda, dihilangkan dari umatku tiga perkara yaitu orang tidur hingga ia terbangun dan anak kecil hingga ia berakal dan orang gila hingga ia sadar”. (HR. Abu Daud).

3) Baligh

Di wajibkan melaksanakan shalat jum’at bagi seorang muslim yang sudah baligh (dewasa), anak kecil yang belum cukup

٢٩ Abi Thayyib Muhammad Samsul Haq, loc. cit ٣٠ Ibid., hlm. 390

(14)

umur (belum bermimpi dan keluar mani) tidak wajib mendatangi shalat jum’at. Sabda Nabi SAW:

ﺯ ﺔﺼﻔﺣ ﺮﻤﻋ ﻦﺑﺍ ﻦ

ﻢﻠﺳﻭ ﻪﻴﻠﻋ ﷲﺍ ﻰﻠﺻ ﱯﻨﻟﺍ ﺝ

ﻝﺎﻗ

:

ﻢﻠﺘﳏ ﻞﻛ ﻰﻠﻋ ﺐﺟﺍﻭ ﺔﻌﻤﳉﺍ ﺡﺍﻭﺭ

.

) ﻰﺋﺎﺴﻨﻟﺍ ﻩﺍﻭﺭ ( ٣١

Artinya: “Dari Ibnu Umar Bin Harsah istri Nabi SAW bersabda pergi shalat jum’at di wajibkan atas tiap-tiap orang yang telah bermimpi atau baligh”. (HR. an-Nasa’i).

4) Merdeka

Shalat jum’at wajib bagi setiap orang yang merdeka, bagi seorang budak tidak diwajibkannya kecuali jika ia mendapat izin dari majikannya. Maka shalatnya syah dan tidak diwajibkannya dengan shalat dzuhur.

5) Laki-laki

Seorang wanita banci tidak diwajibkan Shalat jum’at di karenakan seorang wanita tidak aman dan dikhawatirkan menimbulkan fitrah dan kerusakan apabila berjama’ah di masjid, tetapi apabila seorang wanita sudah melakukan shalat jum’at maka tidak perlu shalat dzuhur lagi.

(15)

6) Sehat

Bagi orang sakit tidak diwajibkan pergi ke masjid untuk shalat jum’at di khawatirkan akan bertambah parah sakitnya atau takut

akan mempersulit proses penyembuhannya (udzur). 6) Mukim32

Orang musafir tidak dikenakan kewajiban shalat jum’at apabila dalam perjalanannya membutuhkan jarak dan waktu yang panjang sesuai dengan jarak yang telah ditentukan oleh syar’i. Tetapi orang yang wajib shalat jum’at haram melakukan safar meninggalkan negerinya setelah tergelincirnya matahari pada hari jum’at kecuali ia yakin akan dapat melaksanakannya di perjalanan. Hukum ini berlaku juga bagi orang yang dalam perjalanan sebelum tergelincir matahari sebab kewajiban shalat tersebut terkait dengan hari jum’at.33

a.2 Syarat Sah Shalat Jum’at

Sudah menjadi kesepakatan para ulama bahwa syarat sah shalat jum’at seperti halnya syarat sah shalat fardhu, yaitu menutup aurat, suci, menghadap kiblat, dikerjakan ditempat yang boleh digunakan untuk shalat, dan menghindari perbuatan-perbuatan dan ucapan-ucapan yang tidak termasuk perbuatan dan ucapan shalat.

32 Lahmuddin Nasution, Fiqh I, Jakarta: PT. Lentera Basritama, 1996, hlm. 97 33 Ibid.

(16)

Syarat sah di atas merupakan persyaratan umum sebagaimana syarat yang diberlakukan pada shalat-shalat makdubah yang lain. Akan tetapi untuk shalat jum’at masih ada beberapa tambahan persyaratan (persyaratan khusus) yang akan membedakan shalat jum’at dengan shalat lainnya. Secara umum syarat-syarat sah shalat jum’at yang banyak terdapat kitab-kitab fiqh adalah sebagai berikut :

a. Dilaksanakan secara berjamaah

Imam empat madzhab menyatakan bahwa shalat jum’at harus dilaksanakan dengan secara berjamaah.34 Ini berarti shalat jum’at tidak sah dilaksanakan dengan sendirinya (munfarid) menurut empat madzhab tersebut. Muhammad Syarbini al Khatib dalam

Mughn al Muhtajnya, mengemukakan bahwa yang disyaratkan

berjama’ah itu hanya untuk raka’at pertama saja35.

Memang betul bahwa jumhur ulama mempunyai kecenderungan bahwa berjamaah salah satu syarat yang harus dipenuhi agar shalat jum’at memenuhi kriteria absah. Akan tetapi lain dengan apa yang menjadi penjelasannya Hasby ash Shiddieqi dalam buku Pedoman

Shalatnya, bahwa shalat jum’at itu bukan diwajibkan atas jamaah

tetapi diwajibkan atas masing-masing pribadi. Dengan perngertian

34 Abu Al Walid Muhammad bin Ahmad Muhammad bin Ahmad bin Rusyd al Qurtubi,

op. cit., hlm. 115

35 Muhammad al Khatib asy Sarbini, Mughni al Muhtaj, Juz I, tanpa penerbit: Dar al Fikr, t.th., hlm. 282

(17)

baik dikerjakan sendiri-sendiri maupun dikerjakan secara berjamaah.36

b. Jumlah Jamaah

Dalam hal jumlah jamaah shalat jum’at, para ulama beragam pendapat. Sebagaimana dalam kitab-kitab kalangan Syafi’iah mensyaratkan jumlah jamaah harus 40 orang yang mukallaf, merdeka, dan laki-laki.37

Sementara Imam Malik mensyaratkan lebih sedikit daripada Imam Syafi’I yaitu 20 Jamaah. Meskipun demikian An Nakhai Ahlu ad Dhahir dan Al Hasan ibnu Hay berpendapat bahwa shalat jum’at sah dengan 2 orang. Lain halnya dengan apa yang diungkapkan oleh Ibnu Hazm dan Abdil Barr bahwa shalat jum’at sah dengan seorang diri.38

c. Didirikan dikawasan pemukiman yang tepat

Syarat sah yang dimaksud ini adalah dilakukan di Khittatil Balad, yaitu suatu kawasan pemukiman tetap yang dihuni oleh sekelompok masyarakat. Yang dalam konteks sekarang secara administratif ditandai dengan KTP baik itu kota, desa, dusun, atau pedukuhan yang disana ada bangunan perumahan penduduk.

36 Hasbi Ash Shiddiqie, op. cit., hlm. 527,

37 Abi Yahya Zakaria al Anshari, Fathul Wahab, Juz I, Semarang: CV. Toha Putra, t.th., hlm. 75

38 Hasbi Ash Shiddiqie, Koleksi Hadits-hadits Hukum 4, Jakarta: Yayasan TM. Hasbi Ash Shiddiqie, Cet V, 1994, hlm. 261

(18)

d. Dilakukan setelah masuk waktu

Waktu shalat jum’at adalah waktu shalat dhuhur, yaitu dari tergelincirnya matahari samapai bayangan sesuatu telah menjadi sama setelah bayangan waktu istiwa’.

Al Malikiah menjelaskan bahwa waktu shalat jum’at adalah dari sejak tergelincirnya matahari sampai dengan terbenamnya, yaitu sekiranya dapat menjumpakannya secara utuh dengan khutbahnya sebelum matahari terbenam.39

Sedang Hanafilah menggambarkan bahwa waktu shalat jum’at adalah mulai dari naiknya matahari sekedar satu tombak, dan selesai dengan terjadinya bayangan sesuatu menjadi sama selain waktu tergelincirnya matahari.40

e. Didahului dengan dua kali khutbah

Oleh para fuqaha khutbah dijadikan sebagai syaratnya shalat jum’at, kecuali oleh Syafiiyah. Menurutnya khutbah itu termasuk fardhu atau rukunnya shalat jum’at, akan tetapi sebaliknya Hasbi Ash Shiddiqie dengan menyetir pendapatnya Al Hasan Al Bisri, Daud al Zahiri dan Al Juwaini, bahwa khutbah dalam shalat jum’at itu hukumnya hanyalah sunnah saja, bukanlah fardhu.41 Jadi

39 Abdurrahman al jaziri, op. cit., hlm. 342 40 Ibid.

41 Nouruzzaman Shiddiqie, Fiqh Indonesia Penggagas dan Gagasannya, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. I, 1997, hlm. 186. Juga Sayid Sabiq, Fiqh Sunah, (terj.) Mahyudin Syaf, Bandung: PT. Al Ma’arif, Cet. 20, t.th., hlm. 323

(19)

khutbah bukan termasuk salah satu syaratnya shalat jum’at, yang berarti tanpa khutbah pun shalat jum’at tetap sah dilaksanakan. Hal ini bila berpegang pada pendapat Hasbi yang mensunnahkan khutbah.

f. Tidak adanya dua shalat jum’at dalam suatu pemukiman

Menutrut jumhur ulama termasuk Syafiiyah kecuali ulama Hanafiyah berpendapat bahwa shalat jum’at lebih dari satu dalam satu daerah atau satu kampung yang punya nama sendiri-sendiri, tidak diperbolehkan.42 Apabila terjadi ta’addudil jum’at (jum’atan lebih dari satu) maka yang sah adalah yang terlebih dahulu memulainya. Pendapat Syafi’iah tersebut sering kali menjadi sumber perdebatan di sebagian pedesaan ketika akan membangun dua masjid dalam suatu wilayah. Kemudian biasanya mereka memakai parameter dalam jarak antara satu masjid yang lama dengan yang akan dibangun.

b2. Rukun Shalat Jum’at

7Sama halnya denga syarat-syarat shalat jum’at diatas, rukun (fardhu)43. Shalat jum’at tidak berbeda dengan rukun-rukun shalat maktubah yang

42 Tim redaksi Tanwirul Afkar, Fiqh Rakyat Pertautan Fiqh dengan Kekuasaan, Yogyakarta: LkiS, Cet. I, 2000, hlm. 310

43 Bahwasanya ungkapan fardhu dipakai oleh Taqiyudin Abi Bakar bin Muhammad Huseini dalam mengemukakan fardhu-fardhu atau rukun shalat. (Taqiyuddin Abi Bakar bin Muhammad Huseini, Kifayatul Ahyar, Juz I, Sirkah an Nur Asiyah, t.th., hlm. 148

(20)

lain. Para ulama pun beragam dlam memformulasikan rukun-rukun shalat jum’at tersebut. Rukun tersebut adalah sebagai berikut :

1) Niat.

Para ulama bermufakat bahwa eksistensi niat berimplikasi terhadap sahnya suatu shalat, karena niat sebagai kepalanya ibadah (ra’si al Ibadah).44 Perbedaan pendapat para ulama terletak pada kedudukan niat. Abu Hanifah dan Imam Ahmad bin Hambal mendudukkan niat sebagai syarat perbuatan. Sedangkan Imam Syafi’i mendudukkannya sebagai rukun perbuatan. Akibat dari perselisihan ini, membawa dampak hukum seperti dalam hal melafadzkan niat atau talafudin niat (membaca ushalli dalam shalat). Bagi Abu Hanifah dan Imam Ahmad bin Hambal menyatakan bid’ah ketika membaca ushalli, karena Nabi tidak pernah membacanya. Lain halnya dengan Imam Syaf’i yang menyatakan sunnah ketika membaca niat45

2) Berdiri bagi yang kuasa ketika shalat.

Maksudnya adalah shalat fardhu46 itu diharuskan berdiri, akan tetapi bila seseorang dalam keadaan tertentu dikarenakan sakit ataupun cacat, maka dibolehkan dengan duduk apabila tidak kuasa

44 Abu al Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad bin Rusyd al Qurtuby, op. cit., hlm. 86

45 Muslih Utsman, Kiadah-kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah Pedoman Dasar dalam

Istinbath hukumIslam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, Cet. I, 1996, hlm. 109

46 Dalam shalat fardhu memang diharuskan berdiri kecuali ada halangan. Kalau shalat sunnah boleh mengerjakan dengan duduk meskipun mampu untuk berdiri (Hasbi Ash Shiddiqie,

(21)

duduk, maka boleh shalat boleh dengan berbaring. Jika tidak kuasa berbaring maka menggunakan isyarat kedipan mata. Bila dengan yang terakhir ini tidak mampu berarti shalat itu tidak dengan gerakan fisik melainkan dengan hati. Hal tersebut memang menggambarkan bahwa dalam kondisi apapun shalat wajib dilaksanakan. Lain dengan shalat fardhu, shalat sunah boleh dikerjakan dengan posisi duduk walaupun mushalli mampu untuk berdiri.

3) Takbiratul Ikhram

Bagi Imam Malik lafadz takbiratul ihram tidak lain adalah

ﺍﷲ

ﺐﻛ

ر

Bagi Imam Syafi’i boleh membaca

ﱪﻛﺍ ﷲ

ataupun

ﺍﷲ

ﱪﻛﻻ

Sedangkan Abu Hanifah menyatakan bahwa ketika takbir boleh mambaca lafadz apa saja yang bermakna pengagungan, seperti

ﻢﻀﻋﻻ

ﺍﷲ

dan

ﻞﺟﻻ

ﺍﷲ

.47 Bagi ulama syafiiyah takbiratul ihram ini dibaca bersamaan dengan niat serta semua huruf dalam takbiratul ihram harus biasa didengar oleh dirinya sendiri.

47 Abu al Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Muhammad bin Rusyd al Qurtubi, op. cit., hlm. 88

(22)

4) Membaca surat al Fatihah.

Dalam hal membaca surat al Fatihah ini, permasalahan muncul terutama terhaap permulaan surat ini, yakni bacaan basmallah. Perdebatan ini bermula dari sebuah pertanyaan tentang bacaan basmallah, apakah dia termasuk dari suarat bacaan al Fatihah atau tidak. Abu Hanifah, Al Tsaury dan Ahmad mengungkapkan basmallah dibaca bersamaan dengan al Fatihah pada setiap rakaat shalat secara pelan-pelan. Bagi Syafi’i basmallah harus dibaca sesuai dengan konteksnya, dalam artian ketika seorang imam melaksankan berjamaah shalat maghrib, Isya dan subuh, maka basmallah dibaca keras. Namun sebaliknya imam harus membaca pelan-pelan ketika melaksanakan shalat dhuhur dan ashar. Karena basmallah menurut Syafi’i merupakan bagian dari surat al Fatihah.48

5) Ruku49 dengan tuma’ninah.

Di dalam ruku’ ini harus ada diam sejenak dalam ruku’ (tuma’ninah). Ruku’ disepakati kefardhuannya oleh para ulama.50 Mengingat ayat al Qur’an :

ﺍﻭﺪﺠﺳﺍﻭ ﺍﻮﻌﻛﺮﻟﺍ ﺍﻮﻨﻣﺍ ﻦﻳﺬﻟﺍﺎﻬﻳﺍ ﺎ

..

)

ﺝﺎﳊﺍ

:

٧٧

(

48 Abu Al Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad, op. cit., hlm. 89 49 Menurut syara’ ruku’ adalah menunduk seukuran yang memungkinkan seseorang mushalli meletakkan telapak tangannya pada lututnya. Hal tersburt merupakan ukuran minimal, ruku’ yang sempurna adalah menunduk sehingga punggung menjadi rata.

(23)

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, ruku’ dan sujudlah

kamu….” (QS. Al Haj:77)51 6) I’tidal dengan tuma’ninah.

Adalah berdiri tegak yang memisahkan antara perbuatan ruku’ dan sujud. I’tidal dalam ruku’ menrutu syafi’i adalah wajib. Akan tetapi menurut Abu hanifah menjadi tidak wajib52.

Untuk sahnya perbuatan I’tidal ini ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, pertama adalah mushalli benar-benar melakukannya tanpa ada maksud lain, kecuali adalah ibadah. Maksud lain tersebut menghindari sesuatu yang jatuh. Kedua dalam I’tidal harus tenang selama kira-kira bacaan tasbih. Ketiga tidak terlalu lama berdiri dalam I’tidal, karena I’tidal merupakan rukun yang pendek.

7) Sujud dengan tuma’ninah.

Anggota-anggota sujud adalah muka, dua telapak tangan, dua lutut, dan dua telapak kaki, kesemuanya anggota badan harus menempel pada tangan.

Persoalan mendasar pada sujud adalah tentang batasan kalimat yang harus dibaca pada saat sujud maupun ruku’. Syafi’i, Hanifah dan Ahmad mensyatkan bahwa bacaan sujud adalah

ﻥﺎﺤﺒ

51 Depag RI, op. cit., hlm. 175

52 Abu al Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad bin Rusyd al Qurtubi, op. cit., hlm. 97

(24)

ﻰﻠﻋﻻ

sebanyak tiga kali.53 Kemudian Abu Hanifah menambahkan bahwasanya didalam shalat tidak boleh berdoa selain lafadz-lafadz al Qur’an, namun Imam Malik dan Syafi’i membolehkannya.54

8) Duduk diantara dua sujud dengan tuma’ninah.

Duduk diantara dua sujud ini menurut Ibnu Rusyd mayoritas pendapat menyatakan sebagai sunnah, bukan kefardhuan. Namun mayoritas ulama menyatakan fardhu.55

9) Duduk pada takhyat akhir.

Sama halnya dengan tersebut di atas, Ibnu Rusyd menyatakan bahwa duduk yang akhir ini adalah sebuah kefardhuan diutarakan oleh mayoritas jumhur dan tidak fardhu diutarakan oleh minoritas.56

10) Membaca takhyat.

Tashyahut akhir ini merupakan salah satu rukun qauliyah (bila melihat pada pengklasifikasian yang dilakukan Syafi’i kefi’liyah dan qauliyah) yang dibaca ketika duduk yang terakhir sebelum salam. Jika Malik dan Abu Hanifah menyatakan tasyahut itu tidak

53 Ibid., hlm. 93 54 Ibid.

55 Ibid., hlm. 98

56 Ibnu Rusyd memanng tidak menyebutkan siapa saja ulama yang termasuk kedalam kelompok jumhur ataupun kelompok non jumhur.

(25)

wajib, maka Syafi’i dan Ahmad mengutarakan tasyahut itu sekelompok rukun yang wajib57

11) Membaca shalawat.

Hasbi mengungkapakan bahwa sebagian ulama menetapkan shalawat kepada Nabi dalam tasyahut akhir (kedua) adalah sunnah dan bukan wajib58. Bagi Syafi’iyah shalawat diharuskan dibaca ketika tasyahut akhir.

12) Membaca salam terakhir.

Adalah ucapan mushalli dengan menengok ke kanan. Salam ini merupakan salah satu rukun yang mengakhiri perbuatan shalat. Menurut jumhur ulama salam adalah salah satu rukun yang wajib. Abu Hanifah dan beberapa sahabatnya menyatakan salam itu tidak wajib.

57 Abu al Walid Muhammad bin Ahmad Muhammad bin Ahmad bin Rusyd al Qurtubi,

op. cit., hlm. 93

Referensi

Dokumen terkait

Disunnahkan untuk mengenakan pakaian terbaik ketika keluar untuk melakukan Shalat ‟Ied, namun bagi kaum wanita tidak boleh bersolek dengan perhiasan yang mencolok

Boleh bagi orang yang telah mengerjakan shalat „ied untuk tidak menghadiri shalat Jum'at sebagaimana berbagai riwayat pendukung dari para sahabat dan tidak diketahui

Kompetensi dasar Materi pokok / pembelajaran Kegiatan Pembelajaran Indikator Penilaian Aloka si waktu Sumber belajar Teknik Bentuk instrumen Contoh instrumen

Hal ini disebabkan karena usahatani yang mengintegrasikan antara terubuk dan sapi dapat mengefisienkan biaya produksi terubuk dan ternak sapi seperti halnya dalam

Oleh yang demikian, kajian ini mengenalpasti kecekapan pengurusan keusahawanan yang terdapat pada diri pelajar dan mengenalpasti impak latihan keusahawanan kepada

permasalahan tersebut dalam penelitian yang berjudul “Dampak Kegiatan Jamaah Tabligh terhadap keharmonisan keluarga ”..

Musro memiliki in-house Public Relations untuk melakukan kegiatan komunikasi pemasaran.Tujuan dari penelitian adalah mengetahui strategi kegiatan komunikasi

Rumah Gadang sudah ada sejak sebelum Islam masuk ke daerah ,dan sudah menjadi bagian dari masyarakat minangkabau itu sendiri ,setelah Islam masuk