Pengembangan Alat Pengukuran Kelelahan Mental Berbasis Uji
Flicker
Yassierli1*, Atya Nur Aisha1, Azi Ginanjar Nugraha1
Abstract: Previous studies have been conducted to measure fatigue using flicker test. However, the validity of the device is still unknown empirically. This study proposed a modification of fatigue measuring apparatus based on flicker test. The modifications were developed from the framework of human factors product design, with the stages including analysis of the existing condition, operational concept, user requirements, performance criteria, system requirements, design prototyping, usability testing and final testing. The proposed apparatus consists of two main parts: a stimulus source and a control device as input. The stimulus is given by three lights with adjustable position and orientation angle. A LCD screen was provided to display status and result of the measurement. The control device consists of three buttons to respond the stimulus accordingly. Product testings were done through 1) a laboratory experiment with activities of critical reading and arithmetic complex and 2) a field study on a night bus driver. All the tasks selected represent works with a dominant mental workload. The laboratory experiments showed the range of Critical Flicker Fusion Frequency (CFFF) at work of 14-40 HZ, with the average decline of CFFF values of 5.3 Hz in arithmetic complex and 4.8 Hz in critical reading activities. The study on the night bus driver resulted in CFFF value range of 18-40 Hz with the average delta CFFF of 8.97 Hz. Both testings suggest that flicker test with CFFF indicators can be used to measure mental fatigue. In addition, the proposed framework used in this design development can be used as a reference in designing various products by taking human factor aspects as the focus such as user needs and user limitations.
Keywords: Fatigue; mental workload; product design; flicker test.
Pendahuluan
Angka kecelakaan kerja di Indonesia masih ter-golong tinggi. Pada akhir Triwulan IV tahun 2014, angka kecelakaan kerja nasional mencapai 14.519 kasus, dengan jumlah korban kecelakaan mencapai 14.257 orang. Sumber kecelakaan kerja didominasi oleh kecelakaan lalu lintas dalam hubungan kerja, alat kerja mesin serta perkakas kerja tangan (Pusdatinaker [1]). Caldwell, et al. [2] menyatakan bahwa faktor kelelahan berpengaruh terhadap ter-jadinya kecelakaan. Kelelahan diidentifikasi sebagai faktor yang berkontribusi terhadap kecelakaan, insiden dan kematian di berbagai kondisi karena adanya penurunan kewaspadaan dan kinerja (Williamson, et al. [3]). Oleh karena itu, perlu adanya suatu alat pengukuran dan monitoring ke-lelahan kerja, termasuk di dalamnya keke-lelahan mental.
Berbagai alat ukur untuk monitoring kelelahan telah diusulkan dalam literatur. Salah satunya ada-lah alat ukur berbasis uji flicker dengan mengguna-kan indikator Critical Flicker Fusion Frequency (CFFF).
1 Fakultas Teknologi Industri, Jurusan Teknik Industri, Institut
Teknologi Bandung, Jl. Ganesha 10, Bandung 40132. Email: yassierli@mail.ti.itb.ac.id; atyanuraisha@gmail.com; azignugraha@gmail.com
* Penulis korespondensi
Konsep dasar pengukuran flicker dengan meng-gunakan konsep lampu yang berkedip pada fre-kuensi tertentu, kemudian frefre-kuensi dari lampu akan meningkat sampai frekuensi tertentu, sehing-ga kedipan lampu terlihat seperti lampu yang kontinu. Frekuensi dari kondisi tersebut dinamakan CFFF. Nilai CFFF mempunyai satuan Hertz (Hz), yang dapat digunakan untuk mengukur efisiensi fungsi sistem saraf pusat atau ketanggapan sistem saraf (cortical arousal) (Kroemer dan Grandjean [4]).
Tingkat kelelahan seseorang, khususnya kelelahan mental, dapat diukur dari waktu reaksi dan kondisi mata. Kemampuan mata dalam menerima stimulus dan memproses informasi diatur oleh sistem saraf pusat. Saat kemampuan mata mengalami penurun-an dalam menpenurun-angkap stimulus, ypenurun-ang ditpenurun-andai dengan ketidakmampuan membedakan lampu ber-kedip serta waktu reaksi yang besar, mengindikasi-kan adanya penurunan kinerja sistem saraf pusat dan kelelahan (Saito, [5]). Individu yang mengalami kelelahan akan memiliki nilai CFFF lebih rendah dibandingkan individu normal (Kulinski, et al. [6]). Menurut Kroemer dan Grandjean [4], adanya penu-runan nilai CFFF sebesar 0,5–6,0 Hz mengindikasi-kan adanya kelelahan yang dialami selama berak-tivitas. Penurunan nilai CFFF yang cukup besar dapat disebabkan oleh tingkat kelelahan (mental)
yang dialami cukup tinggi. Selain itu, pekerjaan yang berulang dan kondisi yang monoton, juga dapat mempengaruhi penurunan nilai flicker. Sementara itu, tidak adanya penurunan nilai CFFF mengindikasikan bahwa aktivitas yang dilakukan hanya membutuhkan usaha mental tingkat rendah hingga sedang (Kroemer dan Grandjean [4]).
Alat uji flicker juga dikembangkan mulai dari yang hanya bisa digunakan pada laboratorium hingga alat yang portabel seperti diusulkan oleh Saito [5]. Namun, tidak diketahui validitas alat tersebut secara empiris, jika digunakan di lapangan industri. Selain itu, alat uji flicker yang dirancang oleh Saito [5], masih memiliki kekurangan yaitu pengkondisi-an jarak pengujipengkondisi-an sulit distpengkondisi-andarkpengkondisi-an, serta tidak dapat mendeteksi titik kesalahan yang terjadi. Uji flicker memanfaatkan konsep bahwa kelelahan dapat menimbulkan penurunan aktivitas kewaspa-daan dan perhatian, karena adanya reaksi dari sistem penghambat yang menurunkan kondisi sistem penggerak di bagian cerebral cortex. Adanya impuls yang berasal dari kedipan lampu akan ditangkap oleh bagian sistem penggerak di cerebral cortex. Kemampuan menangkap impuls tersebut digunakan untuk mengukur aktivitas saraf pusat atau ketanggapan sistem saraf (cortical arousal) (Kroemer dan Grandjean [4]).
Dalam penelitian ini dilakukan pengembangan alat uji flicker untuk mengukur kelelahan mental dan hasil rancangan kemudian diujicoba dengan studi laboratorium dan studi lapangan untuk memperoleh validasi alat ukur secara empiris
Metode Penelitian
Pengembangan Alat UkurDalam penelitian ini, kerangka pengembangan produk yang digunakan sebagai acuan adalah model
system life cycle Chapanis [7] yang dilengkapi oleh
model siklus pengembangan produk dari Ulrich dan Eppinger [8]. Pada kedua kerangka ini, metode pengembangan produk berpusat pada pemenuhan kebutuhan, fungsi, prosedur, fitur dan disain lain-nya, karena adanya kelebihan, kekurangan, dan sifat-sifat khusus dari manusia sebagai pengguna-nya.
Kerangka usulan dimulai dari evaluasi alat ukur eksisting, untuk merancang fungsi dasar produk yang akan dijabarkan dalam konsep operasional. Bersamaan dengan penjabaran kebutuhan konsep operasional dilakukan identifikasi kebutuhan pro-duk dengan mempertimbangkan karakteristik peng-guna.
Hasil kedua proses ini adalah spesifkasi kebutuhan sistem. Tahapan selanjutnya adalah penentuan kriteria performansi yang hendak dicapai yang digali dari benchmark sebagai dasar uji usabilitas dan penerjemahan konsep produk menjadi prototipe sederhana. Beberapa tahapan dapat dilakukan paralel karena tidak terkait. Kemudian dilakukan uji usabilitas untuk memastikan aspek usabilitas produk dan melihat kekurangan produk yang belum disadari pada proses pengembangan. Setelah lulus uji usabilitas, dilakukan pengujian performansi yang dilakukan pada eksperimen di laboratorium dan pengujian di lapangan. Hasil dari pengujian performansi diperoleh ketercapaian target pengem-bangan produk dan perbaikan konsep produk apa-bila diperlukan. Gambaran tahapan pengembangan alat ukur selangkapnya dapat dilihat pada Gambar 1.
Evaluasi Alat Ukur Eksisting
Evaluasi dilakukan terhadap berbagai alat ukur yang ada saat ini. Dua alat uji flicker yang di-evaluasi adalah produk buatan Yagami Scientific Instrument Mfg dan portable fatigue meter yang diusulkan Saito [5]. Hasil evaluasi alat ukur eksisting selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 1.
Evaluasi Alat Ukur Eksisting Identifikasi Kebutuhan Pengguna Rancangan Konsep Operasional Penentuan kriteria kinerja produk Uji usabilitas Uji Laboratorium Evaluasi Akhir Prototipe Penentuan Kebutuhan Sistem Uji Lapangan
Rancangan Konsep Operasional
Konsep produk merupakan hasil penurunan ide produk yang dijabarkan menjadi fungsi dasar produk. Hal tersebut akan menjadi dasar dalam melakukan pengembangan produk (Chapanis [7]). Rancangan konsep operasional ini menjawab keku-rangan yang ada dari produk buatan Yagami Scien-tific Instrument Mfg dan portable fatigue meter yang diusulkan Saito [5]. Kelemahan dari produk buatan Yagami Scientific Instrument Mfg adalah tidak
portable dan tidak memiliki mekanisme umpan
ba-lik. Sementara kelemahan dari portable fatigue
meter yang diusulkan oleh Saito [5] adalah tidak
memiliki mekanisme umpan balik.
Fungsi dasar produk yang hendak dikembangkan adalah sebagai berikut: (a) Menghasilkan stimulus. (b) Memfasilitasi pengguna untuk merespon stimu-lus. (c) Validasi input pengguna (d) Memberikan penilaian kondisi kelelahan pengguna.
Identifikasi Kebutuhan Pengguna
Bersamaan dengan tahapan pendefinisian konsep operasional dilakukan tahapan identifikasi spesifi-kasi kebutuhan. Targetnya adalah produk yang akan dibuat memiliki fungsi produk yang dapat memenuhi kebutuhan pengguna, pekerja industri dengan risiko kecelakaan kerja yang tinggi akibat kelelahan, misalnya pengemudi, pekerja konstruksi, pekerja tambang, dan lain-lain. Alat akan diguna-kan di lapangan industri. Untuk itu diperludiguna-kan identifikasi kebutuhan pengguna.
Hasil identifikasi kebutuhan pengguna perlu dipenuhi sebagai berikut: (a) Alat dapat digunakan dengan mudah. (b) Mampu dilihat dalam jarak pan-dang mata normal dan dapat dilihat oleh buta warna atau tidak. (c) Mampu digunakan secara objektif. (d) Memiliki stimuli suara, dapat diguna-kan di lingkungan yang bising. (e) Alat mampu membedakan apakah pengguna hanya menebak atau memang masih bisa merespon dengan benar. (f) Alat kendali untuk memberikan respon nyaman digunakan oleh tangan. (g) Pengasosiasian sumber stimulus dengan alat kendali untuk memberikan respon dapat digunakan dengan mudah dan benar. (h) Informasi dalam layar kendali mudah untuk dicerna dan dilihat. (i) Proses interpretasi dan penarikan kesimpulan terhadap hasil assesmen dengan mudah dilakukan.
Penentuan Kebutuhan Sistem
Pendefinisian kebutuhan sistem dilakukan dengan memanfaatkan informasi hasil rancangan konsep operasional dan identifikasi kebutuhan pengguna. Pada tahapan ini, kebutuhan sistem ditentukan dengan digunakan pendekatan three view of system, yaitu terkait aspek fungsional (fungsi dasar produk), operasional (cara menjalankan fungsi produk), serta fisikal (tampilan yang akan digunakan untuk menjalankan fungsi tersebut) (Chapanis [7]). Infor-masi kebutuhan pengguna akan menjadi masukan dalam merancang kebutuhan sistem, baik dari aspek operasional, fungsional maupun fisikal. Hasil penentuan kebutuhan sistem selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 1. Hasil evaluasi alat ukur saat ini
No Dimensi
Yagami Scientific Instrument Mfg Saito [5]
1 Kinerja fungsional mekanisme flicker
Uji dengan frekuensi flicker naik dan turun. Kombinasi ini mampu meminimasi bias hasil pengukuran jika pengguna cendrung memberikan respons melewati batas
threshold
Uji dengan frekuensi flicker naik
Hasil pengukuran dapat bias jika pengguna cendrung memberikan respons melewati batas threshold
Ketersediaan umpan balik hasil uji
Tidak ada umpan balik untuk memastikan respons pengguna adalah tidak bias
Tidak ada umpan balik untuk memastikan respons pengguna adalah tidak bias 2 Kemudahan penggunaan
Kemudahan dibawa
Tidak portabel dan memiliki dimensi besar apparatus berukuran 36 (panjang) X 26 (lebar) X 25 (tinggi) cm dengan berat 7 kg.
Portabel dan mudah dibawa. Apparatus berukuran 57(panjang) x 207(lebar) x 17(tinggi) mm.
3 Fitur tambahan Dapat menyimpan data. Data yang dapat
tersimpan adalah nilai CFFF hasil pengukuran dengan kapasitas lima data nilai CFFF terakhir (Murata [9])
Tabel 2. Penentuan kebutuhan sistem
Kebutuhan Pengguna Operasional Fungsional Fisikal
Alat dapat digunakan
dengan mudah Alat dapat disiapkan dan digunakan dengan cepat Jumlah instruksi dan operasi yang diperlukan untuk mempersiapkan dan menggunakan alat minimum
Mekanisme kendali alat minimum
Cara penggunaan alat sejalan
dengan intuisi pengguna Disain alat memungkinkan penggunauntuk meng-gunakan alat secara alamiah Alat mampu membedakan
apakah pengguna hanya menebak atau memang masih bisa merespon dengan benar
Pengguna hanya dapat merespons jika diperkirakan masih dapat membedakan stimuli
Terdapat mekanisme menilai bahwa respon pengguna salah
Menampilkan status jawaban pada LCD dan menghentikan alat jika stopping rule terpenuhi
Mampu digunakan secara objektif
Alat kendali untuk memberikan respon nyaman digunakan oleh tangan
Tidak ada perubahan efektivitas pemberian respon ketika digunakan oleh tangan kanan atau kiri
Rancangan alat kendali pemberian respon harus
ambidextrous
Pengasosiasian sumber stimulus dengan alat kendali untuk memberikan respon dapat digunakan dengan mudah dan benar
Antar muka untuk memberikan respon dapat diaktifkan baik dengan dipencet maupun ditekan
Alat kendali dapat menahan tekanan dengan baik
Mampu dilihat dalam jarak pandang mata normal dan dapat dilihat oleh buta warna atau tidak
Posisi dan orientasi sudut sumber stimulus disesuaikan dengan posisi dan orientasi mata responden
Posisi dan orientasi sudut sumber stimulus dapat disesuaikan
Terdapat mekanisme pengaturan posisi dan orientasi sudut stimulus Digunakan pada jarak pandang
normal
Layar kendali terlihat dengan jelas pada jarak pandang normal
Assessor dapat menyesuaikan
tingkat pencahayaan agar sesuai dengan pengguna
Menyediakan mekanisme pengaturan tingkat pencahayaan sumber stimulus Menyediakan komponen pengendali tingkat
pencahayaan dan kejelasan stimulus
Informasi dalam layar kendali mudah untuk dicerna dan dilihat
Menampilkan status dan keterangan untuk
memudahkan penggunaan
Alat disertai petunjuk penggunaan dan instruksi yang telah direkam sebelumnya Mampu dilihat dalam jarak
pandang mata normal dan dapat dilihat oleh buta warna atau tidak
Dapat digunakan pada orang
yang buta warna ataupun tidak Informasi pada layar kendali dapat dicerna bahkan oleh orang yang buta warna Memiliki stimuli suara,
dapat digunakan di lingkungan yang bising Proses interpretasi dan penarikan kesimpulan terhadap hasil assesmen dengan mudah dilakukan
Menghasilkan parameter kelelahan
Dilengkapi dengan skala/standar kelelahan
Alat dapat digunakan dengan mudah
Alat hanya membutuhkan perawatan minimum
Perawatan minimum yang diperlukan terbatas pada penggunaan sumber daya
Penentuan Kriteria Performansi Produk Pengembangan fungsi produk dilakukan dengan mempertimbangkan kelebihan dan kekurangan dari alat yang telah ada sebelumnya dan karakteristik calon pengguna alat. Informasi tersebut berpenga-ruh pada penentuan kriteria performansi yang hen-dak dicapai oleh produk yang dirancang. Kriteria performansi digunakan untuk mengukur keter-capaian dan melakukan evaluasi dari kriteria-kri-teria yang telah ditetapkan. Penentuan target dila-kukan dengan membandingkan dengan benchmark dan wawancara dengan ahli. Daftar kriteria per-formansi yang telah disusun dapat dilihat pada Tabel 3.
Hasil dan Pembahasan
Pembuatan PrototipePrototipe dibuat dengan bahan styrofoam, kertas, dan beberapa komponen elektronik sederhana. Disain alat yang dirancang terdiri dari dua bagian utama yaitu sumber stimulus dan alat kendali sebagai input. Pada bagian sumber stimulus, ter-dapat tiga buah lampu dengan posisi dan orientasi sudut dapat disesuaikan, serta adanya layar LCD untuk menampilkan status pengukuran. Pada bagian alat kendali terdiri dari tiga tombol dengan orientasi posisi tombol disesuaikan dengan sumber stimulus. Hasil pembuatan prototipe dapat dilihat
Tabel 3. Daftar kriteria performansi hasil rancangan
Kebutuhan sistem Kriteria
Jumlah instruksi dan operasi yang diperlukan untuk
mempersiapkan dan menggunakan alat minimum 100% pengguna dapat menggunakan alat dengan benar setelah diberi instruksi dan latihan maksimal 2 kali Alat disertai petunjuk penggunaan dan instruksi yang
telah direkam sebelumnya
Layar kendali terlihat dengan jelas pada jarak pandang normal
100% pengguna dapat melihat sinyal dalam jarak 30 cm Posisi dan orientasi sudut sumber stimulus dapat
disesuaikan 100% pengguna dapat menangkap stimulus
Menyediakan mekanisme pengaturan tingkat pencahayaan sumber stimulus
Terdapat mekanisme menilai bahwa respon pengguna
salah Tingkat kesalahan jawab maksimal 10%
Memiliki stimuli suara Dapat digunakan dengan baik pada kondisi kebisingan 20-80 dB
Dilengkapi dengan headset / earphone Jumlah instruksi dan operasi yang diperlukan untuk
mempersiapkan dan menggunakan alat minimum Waktu persiapan dan penggunaan kurang dari 3 menit Pengguna hanya dapat merespons jika diperkirakan
masih dapat membedakan stimuli
100% pengguna berhenti saat memang tidak mampu lagi menangkap stimulus
Menampilkan status jawaban pada LCD dan menghentikan alat jika stopping rule terpenuhi Tidak ada perubahan efektivitas pemberian respon
ketika digunakan oleh tangan kanan atau kiri 90% pengguna merasa dapat menggunakan alat kendali dengan nyaman 100% pengguna dapat menggunakan alat pemberian respon sesuai dengan kehendak mereka
Antar muka untuk memberikan respon dapat diaktifkan baik dengan dipencet maupun ditekan
100% pengguna dapat mengasosiakan dengan benar pada percobaan pertama
Terdapat mekanisme pengaturan posisi dan orientasi sudut stimulus
Posisi dan orientasi sudut sumber stimulus dapat disesuaikan 100% dengan responden
Menyediakan komponen pengendali tingkat pencahayaan
dan kejelasan stimulus Terdapat komponen pengendali tingkat pencahayaan dan kejelasan stimulus Alat disertai petunjuk penggunaan dan instruksi yang
telah direkam sebelumnya 90% assessor dapat menggunakan alat dengan baik setelah membaca petunjuk dan instruksi penggunaan 100% assessor dapat menggunakan alat dengan benar setelah diberi instruksi dan latihan maksimal 2 kali
Terdapat rekaman petunjuk/instruksi penggunaan alat yang standar
Dilengkapi dengan skala/standar kelelahan Terdapat skala/standar kelelahan Perawatan minimum yang diperlukan terbatas pada
penggunaan sumber daya
Maksimal perawatan rutin yang perlu dilakukan adalah penggantian sumber daya
pada Gambar 2. Gambar teknik untuk prototipe yang dibuat dapat dilihat pada bagian Lampiran 1. Pengujian Usabilitas
Pengujian usabilitas dilakukan bertujuan untuk memastikan produk bersifat user friendly dan mengetahui apakah ada kekurangan produk yang belum disadari pada proses pengembangan. Uji usa-bilitas dilakukan dilingkungan laboratorium dengan responden berlatar belakang pekerja administrasi. Hal ini sesuai dengan karakteristik calon pengguna, dimana pekerjaan dari calon pengguna memiliki beban kerja fisik mental dan tekanan waktu. Uji usabilitas dilakukan dengan menjalankan beberapa skenario pengguna alat, dengan melibatkan dua peran utama yaitu observer dan responden. Pendataan respon dilakukan dari hasil wawancara dan pengamatan terhadap critical incident (temuan ketidaksesuaian rancangan) selama responden menggunakan alat berdasarkan skenario yang telah disusun. Hasil uji usabilitas mencatat beberapa
critical incident berikut: (a) Responden tidak
meng-atur sudut LED saat melakukan pengujian. (b) Responden tidak mengetahui maksud display headset. (c) Responden merasa tombol kontrol yang berada di samping alat kurang pas. (d) Responden tidak langsung memahami tampilan informasi di LCD
Setelah mengetahui hasil uji usabilitas, selanjutnya dilakukan rancangan disain prototipe dengan mem-pertimbangkan hasil uji usabilitas. Beberapa poin perbaikan yang dilakukan pada perancangan produk jadi antara lain bagian LED dibuat lebih menonjol, LED dapat diatur sudut kemiringannya sesuai dengan yang mudah diterima oleh responden, tombol kontrol input dibuat terpisah seperti remote, serta tombol input diletakkan pada bagian pinggir untuk mempermudah proses penekanan pada saat alat digenggam, serta membuat LCD lebih miring, tidak lagi sejajar dengan lampu. Rancangan produk jadi yang digunakan dapat dilihat pada Gambar 3. Gambar teknik untuk rancangan produk usulan
yang dibuat dapat dilihat pada bagian Lampiran 2 dan Lampiran 3.
Pengujian Produk
Pengujian produk dilakukan melalui eksperimen di laboratorium dan pengujian di lapangan. Tujuan ujicoba adalah untuk melakukan pengujian perfor-mansi ketercapaian target pengembangan produk dan perbaikan konsep produk apabila diperlukan. Pada eksperimen di laboratorium, dilakukan dua jenis aktivitas mental yaitu critical reading dan per-hitungan aritmatika kompleks dengan melibatkan 16 orang partisipan. Partisipan melakukan aktivitas
critical reading dan perhitungan aritmatika
kom-pleks selama 100 menit.
Pengambilan data di lapangan dengan melibatkan objek pengemudi bis malam antar kota antar pro-vinsi. Pemilihan objek ini dilandasi karena peker-jaan pengemudi bis memiliki komposisi beban kerja mental, fisik, serta tekanan waktu. Hasil pengujian performansi dari eksperimen di laboratorium dan studi di lapangan selengkapnya, dapat dilihat pada Tabel 4.
Pembahasan
Seiring dengan adanya kebutuhan dari sektor industri dan transportasi untuk meminimasi tingkat kecelakaan kerja, maka muncul kebutuhan untuk mengembangkan alat pengukuran kelelahan yang praktis untuk digunakan dan memberikan hasil pengukuran yang mudah diinterpretasikan. Salah satu indikator yang dapat digunakan untuk pengu-kuran kelelahan adalah berbasis uji flicker. Pengu-kuran ini menggunakan konsep lampu yang ber-kedip pada frekuensi tertentu, kemudian frekuensi dari lampu akan meningkat sampai frekuensi ter-tentu, sehingga kedipan lampu terlihat seperti lampu yang kontinu. Frekuensi dari kondisi tersebut dinamakan critical flicker fusion frequency (CFFF). Nilai CFFF mempunyai satuan Hertz (Hz), yang dapat digunakan untuk mengukur efisiensi fungsi sistem saraf pusat atau ketanggapan sistem saraf (cortical arousal) (Kroemer dan Grandjean [4]). Tingkat kelelahan seseorang, khususnya kelelahan mental, dapat diukur dari waktu reaksi dan kondisi mata. Kemampuan mata dalam menerima stimulus dan memproses informasi diatur oleh sistem saraf pusat. Saat kemampuan mata mengalami penu-runan dalam menangkap stimulus, yang ditandai dengan ketidakmampuan membedakan lampu ber-kedip serta waktu reaksi yang besar, dapat meng-indikasikan adanya penurunan kinerja sistem saraf pusat dan mengindikasikan adanya kelelahan (Saito [5]).
Pengukuran kelelahan menggunakan indikator CFFF merupakan metode dasar untuk mengukur kelelahan dan saat ini telah banyak diaplikasikan (Sang dan Li [10]). Penurunan nilai CFFF diban-dingkan kondisi sebelum beraktivitas, mengin-dikasikan terjadinya kelelahan (Ikarashi [11]; Lafere, et al. [12]; Murata, et al. [9]; Suarez [12]). CFFF dapat digunakan sebagai indikator kelelahan, karena menunjukkan penurunan daya proses informasi setelah beraktivitas.
Pemilihan metode uji kelelahan berbasis uji flicker ini didasarkan atas keterbatasan metode pengukur-an kelelahpengukur-an berbasis indikator fisiologis, denyut jantung dan tekanan darah untuk digunakan di lapangan kerja terutama untuk kelelahan mental. dengan menggunakan uji flicker.
Kondisi kelelahan yang dialami oleh setiap pekerja dapat diketahui dari nilai CFFF. Apabila terjadi penurunan nilai CFFF yang signifikan dibanding-kan dengan kondisi sebelum beraktivitas, maka se-baiknya pekerja tersebut melakukan istirahat. Hal ini karena penurunan nilai CFFF yang signifikan mengindikasikan terjadinya kelelahan dan pe-nurunan kewaspadaan. Alat ukur ini diharapkan kedepannya dapat dimanfaatkan di industri untuk kegiatan pengukuran dan monitoring kelelahan secara kontinu sehingga kecelakaan kerja dapat dicegah sedini mungkin.
Saito [5] merancang alat pengukur kelelahan ber-basis critical flicker frequency (CFF) dan reaction
time, dikenal sebagai Portable Fatigue Meter (PFM).
Namun, alat ini masih memiliki beberapa ke-terbatasan, yaitu tidak adanya umpan balik untuk memvalidasi frekuensi kerlipan, serta tidak dapat mendeteksi titik kesalahan yang terjadi. Alat flicker
test apparatus yang dikembangkan oleh Yagami
Manufacturing, hanya dapat mengukur frekuensi pada tingkat 0-50 Hz, dengan bentuk yang cukup besar sehingga sulit untuk dibawa dan tidak dapat digunakan untuk mengukur secara real time secara langsung. Selain itu, kedua alat ukur tersebut memiliki unsur subjektivitas yang tinggi, yang dapat mempengaruhi output nilai CFFF.
Oleh karena itu, alat yang dikembangkan bertujuan untuk mengakomodasi kebutuhan, kemampuan dan keterbatasan calon pengguna alat, serta mengisi gap yang tersedia dari alat ukur eksisting. Kriteria alat ukur rancangan yang hendak dipernuhi antara lain: (1) Memiliki disain umpan balik yang dapat me-nampilkan kondisi pengukuran secara realtime dalam bentuk digital. (2) Terdapat penanda untuk memberikan input di setiap perubahan frekuensi. (3) Dapat berdiri sendiri (stand alone), memiliki ukuran dimensi yang kecil dan ringan, sehingga mudah untuk dipindahkan dan digunakan dimana-pun, (4) Memiliki termination rule yang otomatis,
seperti terjadi dua kesalahan beruntun. (5) Terdapat lebih dari satu lampu indikator yang digunakan untuk meminimasi aspek subjektivitas pengguna. (6) Posisi lampu indikator pada saat pengukuran yang relatif stabil.
Dalam penelitian ini, ujicoba alat dilakukan dengan menggunakan eksperimen di laboratorium dan studi di lapangan. Pengambilan data di laborato-rium bertujuan untuk mengetahui signifikansi pengaruh aktivitas terhadap nilai CFFF, dengan aktivitas kelelahan yang hendak diukur adalah dominasi kelelahan mental, dengan kegiatan mem-baca dan berhitung. Pengambilan data di lapangan bertujuan untuk melihat pemanfaatan alat ukur di lapangan dan mengambil data kelelahan dalam kondisi yang lebih real. Kondisi natural responden pada saat bekerja dapat diperoleh, suatu hal yang tidak dapat diperoleh pada saat melakukan eks-perimen di laboratorium.
Dari hasil pengukuran, diperoleh bahwa alat ukur kelelahan usulan sensitif untuk mengukur kelelah-an, ditandai dengan melihat adanya penurunan nilai CFFF. Nilai delta CFFF diperoleh dengan cara menghitung selisih dari nilai CFFF partisipan sebelum beraktivitas dengan nilai CFFF reponden setelah beraktivitas. Menurut Kroemer dan Gran-djean [4], adanya penurunan nilai CFFF sebesar 0,5-6 Hz mengindikasikan adanya kelelahan yang dialami selama beraktivitas. Penurunan nilai CFFF yang cukup besar, dapat disebabkan oleh tingkat kelelahan (mental) yang dialami cukup tinggi. Selain itu, pekerjaan yang repetitif dan kondisi yang monoton, juga dapat mempengaruhi penurunan nilai flicker. Sementara, tidak adanya penurunan nilai CFFF mengindikasikan bahwa aktivitas yang dilakukan hanya membutuhkan usaha mental ting-kat rendah hingga sedang (Kroemer dan Grandjean [4]).
Berdasarkan hasil pengujian, baik pengujian eks-perimen laboratorium maupun pengujian di lapang-an kepada pengemudi bis malam, diperoleh hasil nilai delta CFFF yang positif. Nilai delta CFFF positif pada eksperimen untuk aktivitas critical
reading sebesar 4,8 Hz dan aktivitas aritmatika
kompleks: 5,3 Hz. Penurunan nilai CFFF ini masih berada pada batas penurunan nilai CFFF menurut Kroemer dan Grandjean [4] sebesar 0,5-6 Hz. Hal ini mengindikasikan bahwa aktivitas yang dilakukan memberikan dampak kelelahan normal yang masih dapat ditoleransi selama beraktivitas. Sementara hasil pengujian di lapangan pada pekerjaan supir bis malam memiliki nilai rentang CFFF sebelum berangkat (sebagai baseline) adalah 18-42 Hz. Sementara nilai CFFF pada kondisi setelah ber-aktivitas berada pada rentang 10-35 Hz, dengan
nilai rataan delta CFFF yaitu sebesar 8,97 Hz, indikasi kelelahan yang tinggi. Hal-hal yang dapat menimbulkan kelelahan dalam aktivitas ini adalah kondisi kerja (seperti kursi pengemudi) yang masih kurang nyaman, kondisi jalan raya selama per-jalanan, lama waktu mengemudi dan adanya ke-harusan untuk bekerja di malam hari yang dapat mempengaruhi circadian rhythym. Penelitian se-belumnya oleh Sang dan Li [10] juga menunjukkan adanya penurunan nilai flicker frequency yang signi-fikan pada supir bis, mendukung hasil penelitian yang disajikan pada paper ini.
Perlu dicatat bahwa paper ini juga merekomendasi-kan suatu kerangka tahapan-tahapan perancangan produk yang dikembangkan dari model system life
cycle Chapanis [7] dan model siklus pengembangan
produk dari Ulrich dan Eppinger [8]. Saat ini, tahap-an metode pertahap-anctahap-angtahap-an produk terkestahap-an kurtahap-ang sistematis dan tidak dilandasi oleh referensi ilmiah yang memadai. Kelebihan kerangka yang diusulkan adalah berbasiskan karakteristik ergonomis peng-guna (human factors approach), sehingga hasil rancangan dapat dipastikan lebih ergonomis dan memuaskan pengguna. Kerangka ini dapat diguna-kan untuk tahapan-tahapan perancangan produk yang lain.
Simpulan
Penelitian ini telah menghasilkan suatu produk usulan untuk pengukuran alat ukur kelelahan berbasis uji flicker. Metode pengembangan alat ukur yang diusulkan berangkat dari kerangka usulan konsep perancangan berbasis human faktor dengan siklus meliputi evaluasi kondisi saat ini, rancangan konsep operasional, identifikasi kebutuhan peng-guna, penentuan kriteria kinerja, penentuan ke-butuhan sistem, perancangan prototipe, uji usa-bilitas dan uji akhir produk.
Hasil pengukuran pada studi laboratorium menun-jukkan rentang pengukuran Critical Flicker Fusion
Frequency (CFFF) pada 14-40 HZ, dengan rataan
penurunan 5,3 Hz untuk aktivitas aritmatika kom-pleks dan 4,8 Hz untuk aktivitas critical reading. Pengukuran pada pengemudi bis malam menun-jukkan rentang nilai CFFF adalah 18-40 Hz dengan rataan delta CFFF sebesar 8,97 Hz. Hasil pengujian statistik mengungkapkan bahwa kondisi baseline (sebelum beraktivitas) dan kondisi setelah ber-aktivitas.
Hasil pengujian produk menunjukkan bahwa hasil produk rancangan sensitif terhadap kelelahan yang ditandai dengan perubahan nilai CFFF secara konsisten. Produk juga dianggap ergonomis, yang menjadi bukti bahwa tahapan perancangan produk
yang dilakukan sudah sistematis menjawab kebu-tuhan pengguna. Alat ukur kelelahan usulan ini diharapkan kedepannya dapat dimanfaatkan oleh industri untuk kegiatan pengukuran dan monitor-ing kelelahan secara kontinu, sehmonitor-ingga dapat men-cegah terjadinya kecelakaan kerja sedini mungkin.
Daftar Pustaka
1. Pusdatinaker, Pusat Data Informasi Ketenaga-kerjaan Badan Penelitian Pengembangan dan Informasi Kementrian Ketenagakerjaan Repu-blik Indonesia (Pusdatinaker), Data Tipe
Kece-lakaan Kerja di Indonesia Menurut Provinsi dan Sumber Kecelakaan Kerja, 2015, retrieved from:
http://pusdatinaker.balitfo.depnakertrans. go.id/viewpdf.php?id=391on 24 Agustus 2015. 2. Caldwell, J. A., Caldwell, J. L., and Schmidt, R.
M., Alertness Management Strategies for Opera-tional Contexts, Sleep Medicine Reviews, 12(4), 2008, pp. 257-273.
3. Williamson, A., Lombardi, D. A., Folkard, S., Stutts, J., Courtney, T. K., and Connor, J. L., Link Between Fatigue and Safety, Accident
Analysis and Prevention (43), 2011, pp. 498-515.
4. Kroemer, K. H. E., and Grandjean, E.,Fitting the
Task to the Human: A Textbook of Occupational Ergonomics, Taylor & Francis Ltd, London,
2000.
5. Saito, K., Measurement of Fatigue in Industries,
Industrial Health, 37, 1999, pp. 134-142.
6. Kulinski, M., Koszela-Kulinska, J., and Jach, K., Worker Fatigue, An Overview of Subjective and Objective Methods of Measurement, Advances in
Human Factors and Sustainable Infrastructure,
2014, pp. 51-56.
7. Chapanis, A., Human Factors in Engineering
Design, John Wiley & Sons, Inc, New York, 1996.
8. Ulrich, K. T., and Eppinger, S. D.,Product Design
and Develpoment. McGraw-Hill, New York,
2008.
9. Murata, K., Araki, S., Yokoyama, K., Yamashita, K., Okumatsu, T., and Sakou, S., Accumulation of VDT Work-Related Visual Fatigue Assessed by Visual Evoked Potential, Near Point Distance and Critical Flicker Fusion, Industrial health, 34(2), 1996, pp. 61-69.
10. Sang, Y., and Li, J., Research on Beijing Bus Driver Psychology Fatigue Evaluation, Procedia
Engineering, 43, 2012, pp. 443-448.
11. Ikarashi, T., Measurement of Physic Fatigue by a Flicker in Our Employees Suffering in Mid Niigata Prefecture Earthquake in 2004, 2005, retrieved from: www.janiigata.sakura.ne.jp/JMNK/ 14-1/7.pdfon 24 Agustus 2015.
12. Lafere, P., Balestra, C., Hemelryck, W., Donda, N., Sakr, A., Taher, A., Marroni, S., and Ger-monpre, P., Evaluation of Critical Flicker Fusion
Frequency and Perceived Fatigue in Divers After Air and Enriched Air Nitrox Diving, Diving and
Hyperbaric Medicine, 40(3), 2010.
13. Suarez, V. J. C., Fatigue of Nervous System ThroughFlicker Fusion Threshold After a Maximum Incremental Cycling Test, Journal of
Sport and Health Research, 3(1), 2011,pp. 27-34.
Lampiran 1. Gambar teknik prototipe produk
Lampiran 2. Gambar teknik rancangan usulan produk