• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV ANALISIS TA WIL MIMPI SEBAGAI MATERI BIMBINGAN KONSELING ISLAM. A. Perbandingan Ta wil Mimpi Ibnu Sirin dengan Teori Psikoanalisa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB IV ANALISIS TA WIL MIMPI SEBAGAI MATERI BIMBINGAN KONSELING ISLAM. A. Perbandingan Ta wil Mimpi Ibnu Sirin dengan Teori Psikoanalisa"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

70

ANALISIS TA’WIL MIMPI SEBAGAI MATERI BIMBINGAN KONSELING ISLAM

A. Perbandingan Ta’wil Mimpi Ibnu Sirin dengan Teori Psikoanalisa Sigmund Freud

Al-Qur’an adalah sumber pertama bagi umat Islam dan as-Sunah merupakan yang kedua. Kebahagiaan manusia tergantung pada pemahaman maknanya, pengertahuan rahasia-rahasianya dan pengalaman apa yang dikandung di dalamnya. Kemampuan setiap orang dalam memahami ungkapan al-Qur’an dan sunah tidaklah sama, dan perbedaan daya nalar di antara mereka ini adalah suatu hal yang tidak dipertentangkan lagi. Kalangan awam hanya dapat memahami makna-maknanya yang zhahir dan pengertian-pengertian ayatnya secara global, sedangkan kalangan cerdik cendekia dan terpelajar akan dapat menyimpulkan pula padanya makna-makna yang menarik. Dan di antara kelompok ini terdapat aneka ragam dan tingkat pemahaman (Zumaroh 1998: 52).

Al-Qur’an dan sunah merupakan petunjuk untuk umat manusia yang bersifat universal, yang di dalam ajarannya sama sekali tidak mengandung kontradiksi. Sebagai petunjuk umat manusia yang bersifat universal, al-Qur’an dan sunah haruslah selalu dapat memberikan bimbingan kepada manusia dalam hidup dan kehidupannya. Maka suci Allah yang telah menurunkan al-Qur’an kepada hamba-Nya agar dia menjadi pemberi peringatan kepada

(2)

seluruh alam (Depag, 1985: 559). Berarti keberadaan al-Qur’an dan sunah merupakan doktrin yang disepakati oleh seluruh umat manusia.

Pada dasarnya manusia merupakan makhluk Allah SWT., yang berarti dia diciptakan oleh Yang Maha Pengasih, Penyayang dan hidupnya tidak dapat keluar dari ketentuan yang telah digariskan oleh Allah SWT. Di mana manusia berada dalam penguasaan Allah, penglihatan, pendengaran, kekuasaan dan iradatnya. Manusia tidak dapat berbicara kalau tidak dengan kondrat Allah. Tidak dapat belajar tanpa kondrat Allah. Dan apabila ia berdoa, pasti Allah mendengarkannya. Apabila ia bermimpi pasti dengan kodrat Allah juga (Wibowo, 2003: 3). Begitu juga dalam memahami ta’wil mimpi al-Qur’an dan sunah Ibnu Sirin dengan tafsir mimpi Sigmund Freud.

Ibnu Sirin memandang bahwa Allah SWT., menciptakan mimpi yang benar dengan menghadirkan malaikat yang diwakilkan, maka mimpi seperti ini dikatakan sebagai mimpi yang dinisbatkan pada malaikat. Allah SWT. Menciptakan mimpi palsu atau bathil dengan kehadiran setan, maka mimpi seperti ini dinisbatkan pada setan tersebut. Mimpi yang batil selalu mendustakan ajaran Allah atau berakibat melanggar sebagian perintah-Nya (Sirin, 2003: viii).

Dari pandangan di atas, kita dapat melihat pengaruhnya, ketika Sirin mendefinisikan mimpi sebagaimana diterangkan di atas, bahwa mimpi terbagi menjadi tiga, yaitu: (1) pembicaraan jiwa (2) petakut dari setan (3) kabar gembira dari Allah SWT. Mimpi yang berkenaan dengan pembicaraan jiwa (hadis an-nafs), harapan, kelemasan dan kesedihannya serta semua mimpi

(3)

yang tidak mengandung hikmah, karena ia berkaitan dengan masalah orang yang bermimpi itu sendiri. Mimpi yang disertai dengan rasa lapar atau terlalu kenyang juga tidak benar sebagaimana orang yang sedang jaga mengimpikannya, karena mimpi itu tidak menunjukkan suatu hikmah, sehingga makanan dan setan juga tidak mempunyai pengaruh, namun ia hanyalah suatu yang alami. Mimpi yang menakutkan dari setan ialah semua mimpi yang menyebabkan mandi wajib, sehingga mimpi tersebut dinisbatkan kepadanya. Sedangkan mimpi kabar gembira dari Allah adalah semua mimpi yang disaksikan manusia dalam tidur, baik maupun buruk (Sirin, 2003: viii).

Dalam pandangan Sirin dikenal dengan mimpi sebagai pembicaraan jiwa. Dalam Freud juga demikian. Pertanyaan yang muncul apakah istilah tersebut dipahami sama? Freud memberikan arti bahwa psikis beraktivitas dalam mimpi, yang mana aktivitas psikis di alam sadar akan diteruskan secara penuh dalam mimpi-mimpi (Freud, 2003: 84). Di sini jiwa tidak tidur, alat kelengkapannya tetap utuh tapi di bawah kondisi tidur, yang berbeda secara sadar, fungsi normalnya akan memberikan hasil-hasil yang berbudi dengan yang diberikan di alam sadar serta dalam hal aktivitas psikis yang dilumpuhkan oleh tidur akan mengungkapkannya dalam mimpi (Freud, 2003: 85).

Aspek psikis menurut Islam merupakan keseluruhan daya psikis khas manusia yang berupa pikiran, pernyataan dan kemauan bebas. Dimensi psikis yang ada padanya, yaitu dimensi nafsu, al-‘aql dan al-qalb (Baharudin, 2004: 231). (1) dimensi al-nafsu memiliki dua daya warna, yaitu ghadab (marah)

(4)

dan daya syahwat (senang). Daya ghadab adalah daya untuk mengindari sesuatu yang membahayakan atau menimbulkan hal yang tidak menyenangkan. Sedangkan syahwat adalah daya untuk merebut dan mendorong kepada hal-hal yang memberikan kenikmatan. (2) dimensi al-‘aql memiliki daya mengetahui (al’ilm), memahami (tadabbur), sehingga dengan adanya al-‘ilm dan tadabbur dapat dipahami bahwa memikirkan sunnatullah yang kongkrit itu memerlukan alat sebagai alat bantu untuk menerima, menyimpan, menyusun, memilih dan memilah, menganalisa, memikirkan, sampai menangkap maknanya. (3) dimensi qalb memiliki dua daya, yakni daya memahami dan merasakan. Di samping menggunakan kedua daya di atas, daya al-qalb juga menggunakan daya persepsi rohaniah yang sifatnya menerima, yaitu memahami haqq (kebenaran) dan ilham (ilmu dan Allah). Penyucian qalb yang disebut dengan tazkiyah al-qalb dilakukan dengan mengisi penuh dengan seluruh perintah Allah dan mengosongkan dari seluruh larangan Allah.

Sigmund Freud memiliki konsep ego, di mana ego merupakan bagian yang menghubungkan id dengan dunia luar. Akal dipahami sebagai daya berfikir yang terdapat dalam jiwa manusia, yaitu daya memperoleh pengetahuan, daya untuk menyusun ilmu. Sebatas ini masih ada kecocokan dengan konsep ego yang dikatakan alat psikis yang bekerja atas prinsip realitas (Abidin, 2002: 49).

Sigmund Freud memiliki konsep ego yang cenderung mengikuti prinsip-prinsip yang realistis, objektif, rasional dan proporsional akan tetapi

(5)

batasan dan wawasan ego ini sema sekali tidak bisa disamakan dengan kecenderungan yang cocok dengan akal. Konsep ego tidak mengenal kebenaran Allah yang gaib seperti yang dijabarkan agama (akhirat, surga, neraka, malaikat dan Allah). Menurut Freud tidak ada dan tidak pernah ada gunanya untuk dipertimbangkan, karena menurut mereka bukan Tuhan yang menciptakan manusia, akan tetapi fantasi manusialah yang menciptakan secara imajiner. Manusia dengan ego dominan dalam konsep Freud hanyalah seorang manusia yang berhasil mengarahkan tujuan prinsip kesenangan id-nya kepada objek penenangan dan kesenangan dunia nyata dan bukan imajiner seperti dikenal dalam proses pikiran primernya.

Bagi Freud, semua orang mengalami neurosis dan menganggap bahwa mimpi itu adalah salah satu gejala patologis yang mengungkapkan kegiatan-kegiatan primitif dari jiwa manusia. Dengan mimpi seseorang berusaha memenuhi hasrat dan menghilangkan ketegangan dengan menciptakan suatu gambaran tentang tujuan yang diinginkan (Mujib dan Mudzakir, 2001: 305).

Dalam menginterpretasikan mimpi, Freud menggunakan metode untuk menjelaskan unsur-unsur tertentu dalam mimpi yang dianggap memiliki arti simbolik yang kaya, dengan prosedurnya adalah orang yang mimpi diminta untuk mempertahankan unsur-unsur tersebut dan memberinya asumsi-asumsi ganda. Jawaban-jawaban yang diberikannya membentuk konstelasi sekitar unsur mimpi khusus dan memberi banyak arti bagi orang yang bermimpi. Freud menganggap bahwa lambang-lambang sejati adalah lambang yang banyak muka dan sulit diterka maknanya. Penjelasan makna perlu

(6)

menjelaskan dari tulisan kuno, mitologi, dogeng, teks-teks agama, etnologi, dan kamus etimologi.

Sedangkan Sirin berpendapat beda, bahwa menginterpretasikan mimpi dapat dilakukan oleh struktur kalbu. Kalbu mampu menangkap pesan, symbol dan kenyataan mimpi. Mimpi kendatipun irrasional (ghair al-ma’qul), namun maknanya dapat dirasakan dan ditangkap oleh kalbu manusia. Gejala-gejala mimpi yang irrasional ini menunjukkan adanya relativitas otak manusia. Sirin menganggap bahwa tidur merupakan tertahannya ruh dari dunia lahir dan menunju pada dunia batin. Perkataan tersebut menunjukkan bahwa ketika fisik manusia istirahat (tidur), maka aspek ruhaniahnya mampu beraktivitas secara batiniah, aktivitas-aktivitas ini yang di dalam tidur disebut mimpi.

Ibnu Sirin dengan Sigmund Freud berpendapat sama bahwa mimpi merupakan aktivitas batiniah yang dilakukan dalam tidur. Mimpi sama-sama memiliki nilai baik (ada segi positif) dan nilai buruk (segi negatif), mimpi juga dipengaruhi faktor jasmani (fisik).

Di dalam persoalan dan perbedaan antara pandangan Ibnu Sirin dan Sigmund Freud dalam menginterpretasikan mimpi mempunyai implikasi berbagai macam. Pertama, dari persamaan penafsiran mimpi, yaitu dari unsur-unsur mimpi itu sendiri sebagai alat psikis, sama-sama bekerja atas prinsip realistis untuk memperoleh pengetahuan dan ilmu dengan cara orang yang mengalami mimpi diberikan kebebasan untuk mengasosiasikan dengan segala hal yang ada dalam pikiran. Pendapat Freud dapat digunakan sebagai acuan yang berguna bagi bimbingan penyuluhan Islam dalam memberikan terapi

(7)

kepada klien atau orang yang mengalami gangguan kejiwaan. Kedua, implikasi dari perbedaan pandangan mengintrepretasikan mimpi antara Sirin dengan Freud bahwa akal pikiran dalam tafsir mimpi Freud tidak memiliki daya untuk menerima amanah apapun dan tidak mempercayai sesuatu yang ghaib (sekuler). Oleh karena itu, mimpi menurut pandangan Freud ini tentu saja bertentangan dengan bimbingan penyuluhan Islam yang lebih mengutamakan iman dan takwa dalam melaksanakan bimbingan dan penyuluihan, sedangkan pandangan Ibnu Sirin mengenai mimpi mempunyai daya untuk menerima amanah dan mempercayai yang ghaib, sehingga hal ini cocok dengan bimbingan penyuluhan Islam itu sendiri. Ketiga, dalam pandangan Freud bahwa mimpi adalah ego bisa menyeimbangkan konflik yang terjadi antara id dan superego, sehingga jadilah mimpi yang menyenangkan (baik). Hal tersebut dalam bimbingan dan penyuluhan Islam dapat dimanfaatkan untuk melakukan terapi, selain menggunakan konsep iman dan takwa. Karena teori tersebut berkenaan langsung dengan kondisi jiwa manusia pada umumnya, yaitu dengan memperkuat ego yang ditambah dengan wawasan atau pengetahuan mengenai iman dan takwa.

Ibnu Sirin berpendapat bahwa penafsiran mimpi bisa dilakukan dengan tujuh karakteristik simbol mimpi seseorang, yaitu:

1. Mimpi yang ditakbirkan dengan al-Qur’an 2. Mimpi yang ditakbirkan dengan hadits

3. Mimpi yang ditakbirkan dengan perumpamaan (amtsal) 4. Mimpi yang ditakbirkan dengan arti sebuah nama (tekstual)

(8)

5. Mimpi yang ditakbirkan dengan pengertian kontektual 6. Mimpi yang ditakbirkan dengan makna sebaliknya

7. Mimpi yang ditakbirkan dengan melihat perbedaan perilaku dan kebiasaan orang yang mengalami (Jumatoro, 2003: 292).

Allah SWT. juga mengirimkan ilhamnya kepada manusia lewat mimpi. Tidak semua mimpi dapat menjadi ilham, hanya mimpi yang berkualitas yang berisi ilham (Nashori, 2002: 114). Sumber pengetahuan adalah Allah Azza wa Jalla, maka sumber kreativitas adalah Allah. Kalau seseorang mengharapkan Ilham itu menyatu di dalam dirinya dan dalam langkah hidupnya, maka yang diharapkan adalah pemberian dari Allah. Perlu diingat bahwa hadirnya ide-ide atau ilham ke dalam diri seseorang merupakan karunia Allah (Nashori, 2002: 115).

Begitu juga dengan mimpi dalam menafsirkan harus memiliki beberapa sisi, yaitu: 1) kehati-hatian, yakni suatu sikap yang menjadi syarat ilmuwan di manapun. Hal ini tidak akan mendorong seseorang pada ketergeseran penafsiran atau keyakinan sesaat; 2) keleluasan dan kedalaman analisis, yakni bekal pengetahuan yang disyaratkan pada penafsir mimpi tidak terbatas pada satu sisi pengetahuan, bahkan bukan seorang spesialis ilmu. Namun berbagai analisis yang meliputi hermeneutik, fenomenologis, syari’ah, tauhid, sejarah, kebudayaan, bahasa, perilaku dan kontekstual penabir; 3) kualitas pena’wil, yakni persyaratan yang harus dimiliki oleh pena’wil yang meliputi: kode moral, kejujuran, kesucian, teladan, keimanan, kesederhanaan

(9)

dan kemanusiaan. Kode tersebut sudah dimiliki secara terpatri pada diri pena’wil (Nashori, 2003: 293).

Sedangkan penulis menganggap bahwa mimpi adalah keyakinan yang dibuat oleh Allah di dalam hati orang yang tidur, seperti juga di dalam orang yang terjaga (tidak tidur), keyakinan itu dibuat Allah seakan sebagai pengetahuan (ilmu) untuk urusan-urusan lain, dan untuk kondisi yang lain. Keyakinan itu bisa datang lewat malaikat dan kejadian sesudahnya menyenangkan. Pada saat yang lain bisa datang dari setan. Dan kejadian sesudahnya menyusahkan, sehingga dalam menginterprertasikan mimpi hendaknya menerapkan metode yang berguna dalam mena’wilkan mimpi yang secara urut, yakni:

1. Mendengarkan dan merekam informasi dari pemimpi sampai detail.

2. Memetakan mimpi, usaha ini berupa pengumpulan kata-kata kunci yang dilambagkan dalam mimpi.

3. Memcoba mencari rujukan dari sumber kitab suci dan kepada rujukan lain. 4. Mencoba menganalisis berbagai analisis penafsiran alternatif, kemudian

menyingkirkan mana yang tidak valid (mimpi bohong belaka).

5. Menemukan tema utama dan mengambil penafsiran yang terkuat, tanpa mengesampingkan yang lemah.

6. Menjelaskan kepada pemimpi dengan bahasa yang santun, tidak menakut-nakuti, bahkan bila perlu memberikan beberapa nasehat agama apabila ada indikasi mimpi tersebut membawa berita buruk.

(10)

Sebagaimana telah dijelaskan di atas, terdapat perbedaan penafsiran mimpi. Beberapa faktor yang dapat membedakan penafsiran mimpi tersebut, di antaranya adalah:

1. Faktor subjektivitas penafsir 2. Faktor keluasan wawasan 3. Faktor keyakinan

4. Faktor keshalehan 5. Faktor budaya 6. Faktor kemahiran 7. Faktor kerahasiaan

Di sisi lain, Freud berpendapat bahwa manusia adalah makhluk yang dikuasai oleh sistem unconsciousness (ketidaksadaran) dalam diri manusia. Dalam diri manusia, menurut Freud (tokoh pendiri psikoanalisa), bahwa struktur jiwa manusia terdiri dari tiga sistem dasar, yaitu id, ego dan super ego. Sementara itu, psikis manusia juga memiliki strata kesadaran, yaitu consciousness (kesadaran), priconsciousness (ambang sadar) dan unonsciousness (ketidaksadaran). Wilayah inilah yang mengendalikan seluruh sistem perilaku manusia. Dalam wilayah unconsciousness (tidak sadar) ini sistem id bersemayam. Sistem id ini merupakan dimesi psikis yang mengandung insting-insting bawaan, nafsu-nafsu primer dan pengalaman-pengalaman traumatis masa kanak-kanak, utamanya umur di bawah lima tahun. Hal ini kemudian dipandang sebagai penguasa bagi tingkah laku manusia.

(11)

Sedangkan Josie Hadley and Carol Staudacher mengatakan bahwa subconcious is the reason you evereat may not be at all clear to you. That is, you may not recognize the culprit if it walk right up and sits down at the diner table with you. And why is this so? Any motive that is capabvle of making you operate in a way that cause you long term physical, emotional, social or mental dicomfort is a motive that has most likely been well buried in order to avoid recognition (Hadley and Staudacher, 1989: 60).

Behaviorisme memandang manusia adalah makluk biologis yang terkondisikan oleh lingkungannya. Oleh karena itu, proses adaptasi merupakan tema sentral dalam kajian psikologi behaviorisme. Proses adaptasi muncul dalam berbagai wajah yang menyatu dalam konsep Sarbon, yaitu stimulus-respond-bond yang lama muncullah teori classical conditioning (pembiasaan klasik) yang dikembangkan oleh Ivan Pavlov dan J.B. Watson.

Bagi Jung menyampaikan pandangan-pandangan tentangt problem sentral: apakah agama itu? Perjalanan agama ialah hakikat dari pengalaman religius itu adalah penyerahan kepada kekuatan-kekuatan yang lebih tinggi dari kita sendiri. Selanjutnya Jung menginterpretasikan konsep ketidaksadaran itu tidak dapat hanya merupakan suatu bagian dari pikiran individu, tetapi suatu kenyataan bahwa seseorang merasakan suara hati (dan ketidaksadaran) dalam mimpinmya bukanlah sama sekali suatu bukti, sebab seseorang dapat juga mendengar suara itu dijalanan yang dia tidak menerangkan sebagai pemiliknya. Dengan kata lain, bahwa kepribadian sadarnya merupakan suatu

(12)

keseluruhan lingkaran yang lebih besar dari yang terkecil (Erich Fromm, 1988: 14-15).

Sedangkan humanistik (Frankl) memandang bahwa manusia adalah makhluk unik (khas dan istimewa) yang berbeda dengan binatang. Ia memiliki karakteristik kemanusiaan, seperti gagasan-gagasan, kreativitas, nilai-nilai, kesadaran tinggi, tanggung jawab, hati nurani, makna hidup, pengalaman transenden, rasa malu, rasa cinta, semangat, humor, rasa seni dan lain sebagainya. Manusia sebagai makhluk yang unik juga memiliki kemauan, kebebasan dan potensi untuk memecahkan persoalan hidupnya. Di dalam diri manusia diakui adanya dimensi spiritual, somatik, psikologis dan dimenesi sosial. Pada eksistensi manusia serta menitikberatkan pada makna hidup dan hasrat untuk hidup bermakna sebagai motif asasi manusia serta memiliki kebebasan sebagai motif.

Hanna Djumhana Bastaman memberikan pandangan lain, bahwa manusia yang sifanya deterministis, seperti hanya psikoanalisa, kebebasan ini adalah terbatas sekali sifanya, karena manusia adalah makhluk (being) yang serba terbatas. Manusia tidak mungkin bisa lepas dari berbagai kondisi, baik kondisi biologis, psikologis, sosial maupun kesejarahan. Kebebasan manusia bukanlah dari freedom from melainkan kebebasan untuk mengambil jarak dan menentukan sikap terhadap berbagai kondisi lingkungan dan terhadap dirinya (Baharuddin, 2004: 291).

Oleh karena itu dalam menentukan makna hidup (the meaning of life) ini setidak-tidaknya ada tujuh hal potensial yang dapat dilaksanakan, yaitu:

(13)

1. Hal-hal yang biasa kita berikkan kepada kehidupan, dalam artian berkarya dan berkreasi serta melaksanakan tugas hidup dengan sebaik-baiknya. 2. Hal-hal yang bisa kita peroleh dari kehidupan, yakni berusaha menghayati

dan menjalani nilai-nilai yang ada dalam kehidupan itu sendiri, seperti kebenaran, keindahan, kebajikan dan menghayati orang lain dalam arti mencintai dan mengasihi.

3. Menusia dengan penuh ketabahan dan keberanian menjelang kematian sekalipun setelah segala ikhtiar telah dilakukan secara maksimal.

Dengan demikian, bila dibandingkan dengan konsep manusia dalam psikonalisa, behavior, humanistik dengan psikologi Islami dalam memandang manusia terdapat perbedaan yang besar dan hanya sedikit persamaannya. Secara biologis tidak ada perbedaan yang signifikan antara aliran psikologis tersebut, namun dari sisi ruhani manusia berisikan dorongan nafsu-nafsu primitf, hereditas dan dilengkapi pengalaman traumatis masa kanak-kanak di bawah lima tahun yang diperoleh dari pengalaman berhubungan dengan lingkungan terutama orang tua. Dengan ini berada pada sistem id dalam wilayah unconsciusness (tak sadar), inilah yang menguasai seluruh jiwa manusia.

Sementara itu, jika konsep-konsep manusia yang dikemukakan di atas, berdasarkan psikoanalkisa, behavior, humanistik ditelaah dengan kaca mata psikologis Islam, maka psikologi Islam tidak menolak dan juga tidak membenarkan semua teori-teori tentang konsep manusia tersebut. Maksunya adalah bahwa konsep tersebut dapat diterima dengan mendudukan secara

(14)

proporsional dalam wilayah dan komposisi struktur manusia menurut psikologi Islam. Sedangkan tidak membenarkan, maksudnya kalau dimensi itu, seperti dalam psikoanalisa, behavior dan humanistik menjadi satu-satunya dimensi yang berperan dalam jiwa manusia dan menafikan dimensi lainnya. Sebagai misal konsep libido seksual dalam psikoanalisa menjadi dapat diterima dalam jiwa manusia, tetapi tidak menjadi benar ketika libido seksual itu, yakni sebagai satu-satunya dimensi yang menguasai dan menggerakkan tingkah laku manusia.

Untuk memahami pendekatan metodologis yang dapat dikembangkan melalui psikologi Islami perlu dipahami lebih dulu kesamaan dan perbedaan alur pikir serta pendekatan metodologisnya dari sudut pandang psikologi Islami dan psikologi yang telah dikembagkan dengan konsep para ahli Barat. Hal ini divisualisasikan pada bagan I, berikut ini:

(15)

Bagan 1

Titik Temu Metodologis dalam Kajian Psikologi Islami dan Psikologi Barat

Psikologi Islami Rahmatan lil ‘Alamin

Pengkajian Konsep Tingkah Laku Manusia menurut al-Qur’an dan al-Hadits

Metode Ilmu Tafsir Metode Ushul Fiqh

Rujukan pada wahyu Ilahi Prosedur akal memahami wahyu

Pemahaman Konsep

Terapan

Pemahaman Konsep

Asosiasi, Intropeksi Observasi, Pengukuran Eksistensi

Psikoanalisa Behaviorisme Humanistik

Pengkajian Kepribadian (Konsep manusia)

(16)

Sedangkan persamaan dan perbedaan pandangan Ibnu Sirin dengan Sigmund Freud dalam mena’wilkan mimpi dilihat pada bagan II sebagai berikut:

No Penta’wil Pemikiran Persamaan Perbedaan

Ibnu Sirin 1. Tidur merupakan tertahannya ruh dari dunia

lahir dan menuju pada dunia batin yang menunjukkan ketika fisik manusia beristirahat (tidur), sehingga aspek rohaniahnya mampu beraktivitas dalam tidur yang biasa disebut mimpi 2. Mimpi merupakan ciptaan

Allah yang benar yang dinisbatkan pada malaikat, sedangkan mimpi palsu atau bathil dengan kehadiran setan 3. Mimpi diketegorikan ke

dalam tiga bagian yang meliputi: a) pembicaraan jiwa; b) petakut dari setan; c) kabar gembira dari Allah SWT.

4. Mimpi disebabkan oleh pembicaraan jiwa yang

berupa harapan, kecemasan, kesedihan, ketakutan dan kelelahan rohaniah

5. Dalam

menginterpretasikan mimpoi dapat dilakukan oleh struktur kalbu

6. Kalbu berfungsi menangkap pesan, simbol

dan kenyataan mimpi

- aktivitas rohaniah - Jiwa tidak tidur

secara penuh - Jiwa beraktivitas - Mimpi sebagai terapi

kejiwaan bagi orang yang sakit

- Ruh tertahan oleh genggaman Allah dalam tidur - Akal mampu menerima amanah apapun dan memiliki suatu yang gaib - Mimpi merupakan ilham atau petunjuk dari Allah. 2 Sigmund Freud

1. Psikis beraktivitas dalam mimpi yang mana di alam sadar diteruskan secara penuh dalam mimpi. Di sini jiwa tidak tidur dan memberikan hasil yang berbudi di alam sadar,

sehingga mimpi merupakan penekan alam

bawah sadar.

2. Ego merupakan bagian

- Mimpi terjadi dalam kondisi tidur - Merupakan lat psikis

jiwa

- Mimpi memiliki nilai baik (positif) dan nilai buruk (segi negatif)

- Sama-sama menggunakan

lambang atau

-Akal pikiran tidak mampu menerima amanah apapun dan tidak memiliki sesuatu yang gaib.

-Ego bisa menyeimbangkan

konflik antara id dan super ego, sehingga menjadi mimpi yang

(17)

yang menghubungkan id dengan dunia berakal dipahami sebagai daya berfikir yang terdapat dalam jiwa manusia, yaitu daya memperoleh pengetahuan, daya untuk menyusun ilmu serta ego merupakan alat psikis yang bekerja atas prinsip realitas.

3. Semua orang mengalami neurosis dan menganggap bahwa mimpi adalah salah satu gejala patologis yang mengungkapkan kegiatan primitif dari jiwa manusia. 4. Dalam

menginterpretasikan

mimpi menggunakan metode untuk menjelaskan unsur-unsur

mimpi yang dianggap memiliki arti.

5. Lambang-lambang sejati dalam mimpi memberikan banyak arti bagi orang yang bermimpi.

6. Mimpi memiliki nilai baik (ada segi positif) dan nilai buruk (segi negatif).

simbol dalam menginterpretasika n mimpi. menyenangkan mimpi -Jiwa mempunyai kebebasan berekspresi dalam bawah sadar.

B. Analisis Ta’wil Mimpi sebagai materi Bimbingan Konseling Islam

Bimbingan Penyuluhan (Konseling) merupakan komposisi dari pendidikn kita, baik Islam maupun Nasional. Mengingat bahwa bimbingan dan penyuluhan Islam merupakan satu kegiatan bantuan dan tuntunan yang diberikan kepada individu pada umumnya dan pada seorang muslim pada khususnya, dalam rangka meluruskan dan meningkatkan keimanan dan ketakwaan (Abidin, 2002: 51). Bimbingan dan penyuluhan di sini sangat penting, karena bimbingan dan penyuluhan agama Islam pada akhirnya mengerucut pada tujuan untuk mengembangkan pemahaman terhadap

(18)

penta’wilan mimpi al-Qur’an dan sunah terutama mimpi seorang muslim itu sendiri, dengan berbagai potensi-potensi (bakat, minat dan kemampuan).

Kehidupan modern dengan kehebatan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kemajuan ekonomi yang dialami oleh bangsa-bangsa telah telah menimbulkan berbagai suasana kehidupan yang tidak memberikan kebahagiaan batiniah dan berkembang rasa kehampaan. Mereka menyadari bahwa kemajuan itu telah memisahkan nilai-nilai keagamaan sebagai sumber kebahagiaan hidup dan dirasakan oleh mereka sebagai satu kekurangan. Dewasa ini, berkembang kecenderungan untuk menata kehidupan yang berlandaskan nilai-nilai keagmaan. Mereka makin menyadari bahwa suasa keluarga yang harmonis di atas dilandaskan nilai agama yang kuat pada dasarnya merupakan situasi kondusif bagi terciptanya kehidupan. Suasana seperti itu akan menumbuhkan kualitas manusia agamamis yang memiliki ketahanan dan keberdayaan yang mantap (Wibowo, 2003: 2).

Kita dapat melihat bahwa berapa banyak orang cenderung putus asa dalam menghadapi kesulitan hidup, atau mengalami penderitaan tidak berkesudahan. Sehingga akan membawa kepada kenistaan. Oleh karena itu, peranan iman dan takwa manusia kepada Allah SWT. adalah sangat penting dalam memberikan sinar terhadap kegelapan hidup manusia untuk mengatasi segala kesulitan hidup yang dialaminya. Iman dan takwa seseorang tersebut pasti sedang terganggu (iman dan takwanya sedang rendah). Oleh karena itu, bimbingan dan penyuluhan Islam dilakukan terhadap orang yang menderita itu dengan cara membangkitkan iman dan takwa orang tersebut, sehingga

(19)

dapat menjadi tenaga pendorong terhadap kemampuan dirinya dalam mengatasi segala kesulitan hidup yang dihadapi. Dengan demikian, diharapkan ia akan tegak kembali kesadarannya sebagai pribadi yang harus mengarungi kehidupan nyata dalam masyarakat dan alam sekitarnya.

Kedudukan iman dan takwa pada hakekatnya adalah sebagai pendorong yang dapat membangkitkan semangat optimis manusia dalam segala cuaca kehidupan, bilamana nilai-nilainya dapat diaktualisasikan (dibangkitkan) serta tepat, terarah pada penyadaran harkat pribadi akan memaknai (menta’wilkan) sebuah mimpi yang menyenangkan (gembira) dan mimpi yang menakutkan (seram) memiliki pengaruh pada psikis manusia. Sehingga dalam perilaku sehari-harinya tidak lapas dari bayangan mimpi tersebut. Dengan melakukan bimbingan dan penyuluhan Islam berupa bekal iman dan takwa, manusia dapat melepaskan dari segala penyakit (gangguan) atas mimpi-mimpi yang menakutkan (seram) serta bisa terhindar dari prasangka/dugaan dalam memaknai mimpi-mimpi yang negatif lainnya. Sehingga semua persoalan yang dialami atau dihadapi dipandang sebagai cobaan yang mengandung hikmah baginya.

Freud menggambarkan struktur jiwa terdiri atas “Di” (id), “Aku” (ego) dan “hati sanubari” (super ego), penggambaran yang menjelaskan sebagimana ia dengan keseimbangan menjamin bagi individu cara yang sehat untuk mengungkapkan tenaga libido. Dapat dijelaskan hal tersebut dengan apa yang disebut oleh Freud tentang kompleks “dikebiri” (ketakutan anak laki-laki kepada bapaknya yang akan memotong alat kelaminnya karena

(20)

ketergantungannya yang sangat kepada ibunya). Ketakutan bawah sadar tentang kebiri itu menyebabkan anak melepaskan kecintaan dan ketergantungannya kepada ibunya dan mengganti kecintaan dengan sayang padanya. Sehingga Freud menggagas bahwa apabila si sakit bermimpi, artinya ia hidup dalam tingkat lambang dan dalam tingkat ini memantulkan perasaan waktu kecil (takut, bermusuhan dan jengkel terhadap orang-orang tersebut), psikoanalisis tidak mampu/sanggup menentukan sasaran lambang-lambang yang terkandung dalam mimpi kecuali melalui kerja sama dengan si sakit. Dengan kata lain, sesungguhnya Freud menganggap bahwa mimpi adalah cara yang pokok untuk mencapai bawah sadar, yang meliputi kompleks, dorongan dan keinginan yang terpendam. Keinginan yang terpendamn itu mencari kesempatan untuk lepas dari pengawasan dan menunjukkan dirinya dalam mimpi, biasanya ia muncul dalam bentuk terselubung atau dalam bentuk lambang. Dan lembang bagi Freud memaknai berupa segi-segi seksual khususnya. Berbeda dengan Sirin tentang struktur jiwa tentang kondisi mimpi manusia.

Tidur menunjukkan kekuasaan Allah terhadap sadar tidak sadar jiwa manusia. Adalah benar bahwa ketika seseorang sedang tidur nyawanya ditahan sementara, kemudian dikembalikan lagi. Allah SWT. memegang (memanfaatkan) jiwa orang ketika tidur matinya dan memegang jiwa yang belum mati di waktu tidurnya. Maka Dia tahanlah jiwa yang telah diterapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang

(21)

ditentukan. Sesungguhnya pula yang demikian itu terdapat tanda-tanda (fenomena) bagi kaum yang berfikir.

Menurut Sirin, mimpi yang benar merupakan prinsip dasar wahyu. Seseorang yang terbiasa mimpi benar, maka dalam dunia sadarnya ia selalu berbicara jujur. Mimpi merupakan salah satu pintu untuk mendapatkan hidayah Allah. Barangsiapa menginginkan mimpi yang benar, hendaklah menjaga kejujuran, memakan makanan yang halal, memperhatikan perintah dan larangan Allah, tidur dalam kondisi suci sambil menghadap kiblat, menyebut nama Allah sampai mata terpejam. Mimpi yang benar adalah mimpi di waktu sahur, yang mana waktu itu rahmat dan ampunan Allah turun dan setan sedang istirahat.

Oleh karena itu, kegiatan mimpi merupakan salah satu aktivitas kepribadian dalam Islam, maka diperlukan penjelasan (ta’bir) dan penta’wilan terhadap simbol, kendatipun mimpi tidak selalu berbentuk simbol-simbol makna (hakikat batiniah) yang terkandung dalam mimpi dibungkus dalam berbagai bentuk (al-Shuwar), yang cara pemahamannya melalui interpretasi. Pentakwilan mimpi hanya dilakukan oleh seorang yang telah memperoleh hikmat Yusufiyah dan Khayal Haqiqi (imajinasi yang sebenarnya yang dilihat dalam mimpi), seperti orang-orang arif (orang yang memiliki maqam ma’rifat).

Selain itu, manusia diciptakan oleh Allah SWT. selain dari unsur jasmani juga dari unsur ruhani yang saling menyatu. Dari kedua unsur ini terdapat potensi manusia itu sendiri, yaitu potensi kebaikan dan kejelekan.

(22)

Masing-masing pribadi diberi kebebasan untuk memilih dengan konsekuen ia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di hari kemudian. Menurut Islam, di sinilah terjadi pertarungan antara kebaikan dan kejelekan. Dalam kejelekan ada setan yang mempengaruhi dan membantunya dan dalam kebaikan terdapat hidayah Allah SWT.

Begitu juga dengan mimpi yang dialami oleh manusia. Perbedaan ta’wil mimpi Ibnu Sirin dengan tafsir mimpi Sigmund Freud adalah bahwa ta’wil mimpi al-Qur’an dan sunah Ibnu Sirin mempunyai dasar untuk menerima amanah yang mulia dari Allah SWT. berupa perintah dan larangan-larangan sesuai dengan syari’at Islam, dengan begitu akan selalu terkontrol oleh hidayah Allah SWT.

Manusia yang mendapatkan petunjuk lewat mimpi mempunyai tanggung jawab moral spiritual untuk mempertanggungjawabkan diri kepada Allah SWT., sedangkan penafsiran mimpi yang dilakukan Sigmund Freud yang menganggap bahwa Id, Ego dan Superego tersebut sama sekali tidak mempunyai daya untuk menerima amanat apapun, akan tetapi berdiri sendiri dan sangat otonom, juga tidak mempunyai konsekuensi untuk mempertanggungjawabkannya. Jadi, tafsir mimpi yang menurut Freud lebih lemah dan tidak mempunyai sandaran yang kuat. Perbendaan yang lain adalah bahwa ta’wil mimpi al-Qur’an dan sunah sangat kental dengan mengenal percaya dan menyakini kebenaran dan petunjuk Allah SWT., yang sifatnya ghaib dan diajarkan agama (Allah SWT., akhirat, surga, neraka dan lain

(23)

sebagainya), sedangkan Freud menganggap bahwa mimpi itu sendiri tidak mengenal sama sekali tentang situasi yang ghaib.

Dari pandangan ibnu Sirin dengan Sigmund Frued mengenai interpretasi mimpi pada manusia mempunyai kesamaan yang mendasar sekali, terutama yang berkaitan dengan implikasi terhadap bimbingan dan penyuluhan Islam (Islamic Guidance and Counseling). Karena di dalam menafsirkan mimpi tersebut sangat jelas diterangkan bahwa mimpi manusia sangat tergantung sekali terhadap peran aktif pengontrol yang ada di dalam diri manusia sendiri. Kalau menurut Freud harus memperkuat ego, sedangkan menurut Ibnu Sirin adalah dengan cara mengontfrol dan memperkuat iman dan takwa kepada Allah SWT. jadi, di sini peranan bimbingan penyuluhan Islam sangat penting sekali untuk mengarahkan ego benar-benar dominan dan seimbang serta iman dan takwa yang ada pada diri manusia tetap terjaga atau bahkan berkembang meningkat pada taraf yang tinggi.

Hal ini sesuai dengan tujuan bimbingan penyuluhan Islam, yaitu usaha pemberian bantuan kepada seorang manusia yang menjalani kesulitan, baik lahiriyah maupun batiniah, yang menyangkut kehidupan, di masa kini dan mendatang (Faqih, 2001: 40).

Ta’wil mimpi sebagai materi bimbingan konseling Islam menurut pandangan ibnu sirin dengan teori psikoanalisa Sigmund freud pada dasarnya mempunyai korelasi dan relefansi yang tak terpisahkan, di antaranya karena beberapa hal:

(24)

1. Dakwah merupakan semua aktivitas manusia muslim di dalam berusaha merubah situasi kepada situasi yang sesuai dengan ketentuan Allah SWT., dengan disertai kesadaran dan tanggung jawab, baik terhadap dirinya sendiri, orang lain maupun terhadap Allah SWT. Dengan demikian, proses aktivitas berdakwah akan berjalan terus menerus, baik pada situasi dan kondisi apapun.

2. Dilihat dari hukum melaksanakan dakwah, yang mengharuskan setiap individu dan masyarakat, maka dari awal zaman sampai akhir zaman umat Islam akan melaksanakan kewajiban dakwah, terutama dalam masalah kebodohan, keterbelakangan, ketidakadilan, kemiskinan yang senantiasa harus diperangi sampai kapanpun dan oleh siapapun.

3. Teori materi dakwah merupakan bagian dari ajaran-ajaran Islam yang wajib disampaikan kepada umat manusia guna mengajak mereka agar mau menerima dan mau mengikuti.

Dari hal di atas, diharapkan agar ajaran Islam benar-benar dapat diketahui, dipahami, dihayati dan diamalkan, sehingga mereka hidup dan berada dalam kehidupan yang sesuai dengan ketentuan sesuai dengan ajaran Islam. Seperti seorang pemberi dakwah melakukan dakwah dengan materi ta’wil mimpi. Dengan segala kemampuan yang ada dan dia berusaha bagaimana agar masalah penta’wilan mimpi dapat dimengerti sebaik-baiknya, kemudian setelah mengerti sesuai dengan pelajaran yang di dapat, maka konsekuensinya bahwa penta’wilan mimpi harus dilaksanakan sesuai dengan hukum-hukum yang ada yang bersumberkan

(25)

pada al-Quran dan sunah, baik dari si pemberi maupun si penerima. Di sini terlihat tanggung jawab moril dari si pemberi dakwah, karena sebelum berdakwah harus yakin terlebih dahulu, mengerti dan mengerjakan apa yang akan disampaikan atau diajarkan pada orang lain. Karena masyarakat banyak persoalan tentang mimpi, sehingga mereka ingin mengetahui makna mimpi yang ia alami dan hikmah apa yang didapat dari mimpi tersebut terhadap dirinya, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara serta agama.

4. Dilihat dari materinya, dakwah mencakup tiga aspek: keyakinan(akidah), hukum dan akhlak (moral), yang ketiganya sangat terkait dengan persoalan manusia terutama dalam hal penta’wilan mimpi, baik secara konseptual maupun praktis dalam menjalankan dakwah islam yang harus benar-benar menjadi solusi bagi persoalan manusia yang akan datang .terutama dalam kegiatan bimbingan dan konseling Islam. Ta’wil mimpi bukanlah termasuk dalam materi bimbingan konseling Islam, namun ta’wil mimpi bisa melengkapi materi bimbingan konseling Islam, sehingga menambah khazanah pengetahuan bagi ilmuwan di bidang pengembangan konseling Islam. Di samping untuk menjalankan fungsi-fungsi bimbingan konseling Islam yang bertujuan untuk membantu individu mengetahui, mengenal dan memahami kembali keadaan dirinya sesuai dengan hakekatnya, membantu individu sebagaimana segi baik dan buruk, membantu individu memahami keadaan (situasi dan kondisi) yang dihadapi saat ini, membantu individu menemukan alternatif pemecahan

(26)

masalah sendiri, sedangkan pembimbing hanya sekedar menunjukan alternatif yang disesuaikan dengan kadar intelektual masing-masing individu.

Dengan demikian dasar dakwah, subjek dakwah, objek dakwah, materi dakwah, media serta strategi yang diterapkan pada masyarakat, komponen-komponen tersebut sangat terkait serta terkandung relevansi yang dialogis dan dinamis sesuai dengan perubahan manusia itu sendiri. Mengingat antara komponen-komponen dakwah itu hanya berbeda formulasinya, akan tetapi secara substansi adalah sama, hanya disesuaikan dengan fenomena yang terjadi di masyarakat.

Upaya integralistik adalah sebuah tantangan bagi kita semua sebagai umat Islam, karena di sinilah agama kita akan diuji, apakah betul bahwa Islam adalah agama yang membawa rahmat bagi semua alam. Apakah betul bahwa Islam adalah agama yang tinggi dan tidak ada yang melebihinya.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasrkan hasil penelitian yang telah dilakukan pada siswa kelas VIII SMP Negeri 9 Pontianak, peneliti memberikan beberapa saran sebagai berikut: (1) Menerapkan pendekatan

Di samping terdapat berita yang dapat diakses dengan cepat oleh setiap pembacanya, Serambinews.com juga menyediakan fasilitas bagi para pembaca untuk memberikan

Analisis dari Kultur Hukum melalui hasil Penelitian di Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Gresik melalui program peningkatan pengembangan sistem pelaporan

Data yang diperoleh dari hasil tindakan siklus II menunjukkan bahwa pembelajaran IPA yang dilaksanakan dengan model pembelajaran kooperatif tipe STAD berbantukan media

Menurut Pusat Hiperkes dan Keselamatan Kerja, 1995, Kelelahan mata akibat dari pencahayaan yang kurang baik akan menunjukan gejala kelelahan mata yang sering

Bahwa penjaminan mutu dimaksudkan untuk terwujudnya peradilan yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme, serta terwujudnya peningkatan kualitas

Analisis regresi berganda digunakan untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh variabel bebas yaitu kesempatan bertumbuh, kemajuan dalam karier, pengakuan orang