• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jembatan Beton Prategang (Prestressed Concrete Bridge)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Jembatan Beton Prategang (Prestressed Concrete Bridge)"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Umum

2.1.1. Beton Prategang

Beton prategang pada dasarnya adalah beton dimana tegangan – tegangan internal (gaya tekan dengan besar serta distribusi yang sesuai diberikan sedemikian rupa sehingga tegangan – tegangan yang diakibatkan oleh beban – beban luar (tegangan tarik) dilawan sampai suatu tingkat yang diinginkan. Hal ini berfungsi untuk mengatasi keretakan serta berbagai keterbatasan yang lain maka dilakukan penegangan (gaya konsentris) pada struktur beton bertulang dalam arah longitudinal. Gaya konsentris bekerja dengan cara mengurangi tegangan tarik di bagian tumpuan dan daerah kritis pada kondisi beban kerja, yang meningkatkan kapasitas lentur, geser, dan torsional penampang. Jika kapasitas lentur, geser, dan torsional beton meningkat, maka penampang beton elastis sehingga kapasitas tekan beton dapat dimanfaatkan secara efektif pada semua beban bekerja.

2.1.2. Jembatan

Pengertian jembatan secara umum adalah suatu konstruksi yang berfungsi untuk

menghubungkan dua bagian jalan yang terputus oleh adanya rintangan-rintangan seperti

danau, lembah, jurang, saluran irigasi, jalan kereta api dan semacamnya. Jenis jembatan

berdasarkan fungsi, lokasi, bahan konstruksi dan tipe struktur sekarang ini telah

mengalami perkembangan yang pesat sejalan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan

teknologi, mulai dari yang sederhana sampai pada konstruksi yang kompleks.

Berdasarkan bahan konstruksinya,jembatan dapat dibedakan sebagai berikut :

a. Jembatan kayu (log bridge)

b. Jembatan beton (concrete bridge)

c. Jembatan beton prategang (prestressed concrete bridge)

d. Jembatan baja (steel bridge)

e. Jembatan komposit (composite bridge)

2.1.3. Jembatan Beton Prategang (Prestressed Concrete Bridge)

Beton merupakan material yang lemah menahan gaya tarik tetapi kuat menahan gaya tekan. Kuat tarik beton bervariasi mulai dari 8 sampai 14 persen dari kuat tekannya. Rendahnya

(2)

kapasitas tarik beton menimbulkan tejadinya retak lentur pada taraf pembebanan yang masih rendah. Untuk mengurangi atau mencegah berkembangnya retak tersebut, gaya konsentris atau eksentris diberikan dalam arah longitudinal elemen struktural.

Gaya longitudinal tersebut disebut gaya prategang, yaitu gaya tekan yang pemberian prategang pada penampang di sepanjang bentang suatu elemen struktural sebelum bekerjanya beban mati dan beban hidup transversal aau beban hidup horizontal transien. Gaya prategang ini berupa tendon yang diberikan tegangan awal sebelum memikul beban kerjanya yang berfungsi mengurangi atau menghilangkan tegangan tarik pada saat beton mengalami beban kerja, menggantikan tulangan tarik pada struktur beton bertulang biasa.

Beton prategang adalah material yang sangat banyak digunakan dalam konstruksi. Beton prategang pada dasarnya adalah beton di mana tegangan-tegangan internal dengan besar serta distribusi yang sesuai diberikan sedemikian rupa sehingga tegangan-tegangan yang diakibatkan oleh beban-beban luar dilawan sampai suatu tingkat yang diinginkan. Beton yang digunakan dalam beton prategang adalah beton yang mempunyai kuat tekan yang cukup tinggi dengan nilai f’c min K-300, modulus elastis yang tinggi dan mengalami rangkak ultimate yang lebih kecil yang menghasilkan kehilangan prategangan yang lebih kecil pada baja.

Kuat tekan yang tinggi ini diperlukan untuk menahan tegangan tekan pada serat tertekan, pengangkuran tendon, mencegah terjadinya keretakan. Tipikal diagram tegangan-regangan beton dapat dilihat pada gambar 2.1

(3)

2.2. Standar Pembebanan Jembatan

Faktor beban merupakan hal terpenting dalam perencanaan jembatan. Diperlukan standar khusus untuk perencanaan pembebanan yang nantinya menjadi dasar dan patokan perencanaan pembebanan. Di Indonesia, standar perencanaan pembebanan untuk jembatan mengacu pada Bridge Management System tahun 1992 tentang Panduan Perencanaan Jembatan.

 Beban Tetap

a. Beban Mati (Dead Load)

Berat nominal dan nilai terfaktor dari berbagai bahan dapat diambil dari tabel berikut ini :

Tabel 2.1. Berat sendiri

b. Beban Mati Tambahan

Beban mati tambahan adalah berat semua elemen tidak struktural yang dapat bervariasi selama umur jembatan seperti :

 Perawatan permukaan khusus

 Pelapisan ulang dianggap sebesar 50 mm aspal beton (hanya digunakan dalam kasus menyimpang dan nominal 22 kN/ m³) --- dalam SLS

 Sandaran, pagar pengaman dan penghalang beton  Tanda-tanda (rambu)

 Perlengkapan umum seperti pipa air dan penyaluran (dianggap kosong atau penuh)

c. Pengaruh Pratekan

Selain dari pengaruh primer, pratekan menyebabkan pengaruh sekunder dalam komponen tertahan dan struktur tidak tertentu, untuk penentuan pengaruh dari pratekan dalam struktur tidak tertentu adalah cara beban ekivalen dimana gaya tambahan pada beton akibat kabel pratekan dipertimbangkan sebagai beban luar.

(4)

 Beban Tidak Tetap a. Beban Lalu Lintas

Beban lalu lintas adalah semua beban yang berasal dari berat

kendaraan-kendaraan bergerak, dan pejalan kaki yang dianggap bekerja pada jembatan. Beban lalu lintas meliputi :

• Beban Kendaraan Rencana

Beban kendaraan mempunyai tiga komponen, yaitu : 1. Komponen vertikal

2. Komponen rem

3. Komponen sentrifugal (untuk jembatan melengkung)

Beban lalu lintas untuk rencana jembatan jalan raya terdiri dari pembebanan lajur “D” dan pembebanan truk “T”. Pembebanan lajur “D” ditempatkan melintang pada lebar penuh dari jalan kendaraan jembatan dan menghasilkan pengaruh pada jembatan yang ekivalen dengan rangkaian kendaraan sebenarnya, jumlah total pembebanan lajur “D” yang ditempatkan tergantung pada lebar jalan kendaraan jembatan. Pembebanan truk “T” adalah berat kendaraan, berat tunggal truk dengan tiga gandar yang ditempat dalam kedudukan sembarang pada lajur lalu lintas rencana. Tiap gandar terdiri dari dua pembebanan bidang kontak yang dimaksudkan agar mewakili pengaruh moda kendaraan berat. Hanya satu truk “T” boleh ditempatkan perlajur lalu lintas rencana. Umumnya, pembebanan“D” akan menentukan untuk bentang sedang sampai panjang dan pembebanan “T” akan menentukan untuk bentang pendek dan sistem lantai.

 Beban Lajur “D”

Beban terbagi rata = UDL (Uniformly Distribute Load) mempunyai intensitas q kPa, dimana besarnya q tergantung pada panjang total yang dibebani L seperti berikut : q = 8,0 kPa (jika L ≤ 30 m)

q = 8,0 . (0,5+ L )

q = 15 kPa (jika L > 30 m) dimana :

L : panjang (meter), ditentukan oleh tipe konstruksi jembatan kPa : kilo pascal per jalur

Beban UDL boleh ditempatkan dalam panjang terputus agar terjadi pengaruh maksimum. Dalam hal ini, L adalah jumlah dari panjang masing-masing beban terputus tersebut. Beban garis (KEL) sebesar P kN/m, ditempatkan dalam kedudukan sembarang sepanjang jembatan dan tegak lurus pada arah lalu lintas (P = 44,0 kN/m). Pada bentang

(5)

menerus, KEL ditempatkan dalam kedudukan lateral sama yaitu tegak lurus arah lalu lintas pada 2 bentang agar momen lentur negatif menjadi maksimum.

 Kombinasi Pembebanan yang dipakai

Tabel 2.2. Kombinasi Pembebanan

(Sumber : BMS 1992) 2.3. Prinsip Dasar Prategang

Pemberian gaya prategang ditentukan berdasarkan jenis sistem yang dilaksanakan dan panjang bentang serta kelangsingan yang dikehendaki. Gaya prategang yang diberikan secara longitudinal di sepanjang atau sejajar dengan sumbu komponen struktur, maka prinsip-prinsip prategang dikenal sebagai pemberian prategang linier.

Pemberian gaya prategang dapat dilakukan sebelum atau sesudah beton dicor. Pemberian prategang yang dilakukan sebelum pengecoran disebut sistem pratarik (pre-tensioned), sedangkan pemberian prategang setelah dilakukan pengecoran disebut sistem pascatarik (post-tensioned). Pemberian gaya prategang pada beton akan memberikan tegangan tekan pada penampang.

(6)

Tegangan ini akan menahan beban luar yang bekerja pada penampang. Beton prategang sendiri dapat mengalami gaya prategang penuh (fully stressed) atau gaya prategang sebagian (partial stressed). Prategang penuh adalah struktur tidak diizinkan ada tegangan tarik pada penampang baik pada tahap transfer sampai dengan masa layan dan tegangan pada serat bawah dianggap tidak ada. Sedangkan prategang sebagian adalah penampang struktur direncanakan untuk dapat menerima tegangan tarik pada lokasi penampang selama masa transfer sampai masa layan dan tegangan serat bawah tidak sama dengan nol.

Gambar 2.2. Distribusi tegangan beton prategang sebagian

2.3. Metode Prategang

Untuk memberikan tekanan pada beton prategang dilakukan sebelum dan sesudah beton dicetak/dicor. Kedua kondisi tersebut membedakan sistem prategang yaitu Pre-Tension (Pra Tarik) dan Post Tension (pasca tarik).

2.3.1. Pratarik (Pre-Tension)

Pada cara ini, tendon pertama – tama ditarik dan diangkur pada abutment tetap. Beton dicor pada cetakan yang sudah disediakan dengan melingkupi tendon yang sudah ditarik tersebut. Jika kekuatan beton sudah mencapai yang disyaratkan maka tendon dipotong atau angkurnya dilepas. Pada saat baja yang ditarik berusaha untuk berkontraksi, beton akan tertekan. Pada cara ini tidak digunakan selongsong atau tendon.

(7)

Gambar 2.3. Prinsip Metode Pratarik

Tahap (A) : Kabel (tendon) prategang ditarik atau diberi gaya prategang kemudian diangker pada suatu abutment tetap.

Tahap (B) : Beton dicor pada cetakan (formwork) dan landasan yang sudah disediakan sedemikian sehingga melingkupi tendon yang sudah diberi gaya prategang dan dibiarkan mengering.

Tahap (C) : Setelah beton mongering dan cukup umur dan kuat untuk menerima gaya prategang, tendon dipotong dan dilepas, sehingga gaya prategang ditransfer ke beton. Setelah gaya prategang ditransfer ke beton, balok beton tersebut akan melengkung ke atas sebelum menerima beban kerja. Setelah beban kerja bekerja, maka balok beton tersebut akan rata.

2.3.2. Pasca Tarik (Post Tension)

Dengan cetakan yang sudah disediakan, beton dicor disekeliling selongsong (duct). Posisi selongsong diatur sesuai dengan bidang momen dari struktur. Biasanya baja tendon tetap berada dalam selongsong selama dalam pengecoran. Jika beton sudah mencapai pada kuat tekan tertentu, tendon ditarik. Tendon bisa ditarik disatu sisi dan sisi yang lain diangkur. Atau tendon ditarik di dua sisi dan diangkur secara bersamaan. Beton menjadi tertekan setelah pengangkuran.

(8)

Gambar 2.4. Prinsip Metode Pasca Tarik (Post Tension)

Tahap (A) : Dengan cetakan (formwork) yang telah disediakan lengkap dengan saluran/selongsong kabel prategang (tendon duct) yang dipasang melengkung sesuai dengan momen balok, beton dicor.

Tahap (B) : Setelah beton cukup umur dan kuat memikul gaya prategang, tendon atau kabel prategang dimasukkan dalam selongsong (tendon duct), kemudian ditarik untuk mendapat gaya prategang. Metode pemberian gaya prategang ini, salah satu ujung kabel diangker, kemudian ujung lainnya ditarik (ditarik dari satu sisi). Ada pula yang ditarik di kedua sisinya dan diangker secara bersamaan. Setelah diangkur, kemudian saluran di grouting melalui lubang yang telah disediakan.

Tahap (C) : Setelah diangkur, balok beton menjadi tertekan, jadi gaya prategang telah ditransfer ke beton. Karena tendon dipasang melengkung, maka akibat gaya prategang tendon memberikan beban merata ke balok yang arahnya ke atas, akibatnya balok melengkung ke atas. Karena alasan transportasi dari pabrik beton ke lokasi proyek, maka biasanya beton prategang dengan sistem post-tension ini dilaksanakan secara segmental (balok dibagi-bagi, misalnya dengan panjang 1-1,5 m), kemudian pemberian gaya prategang dilaksanakan di lokasi proyek, setelah balok segmental tersebut dirangkai.

(9)

2.4. Prosedur Perencanaan Balok Prategang

Tahap paling awal dari perencanaan struktur beton prategang adalah menetapkan parameter – parameter perencanaan. Parameter – parameter tersebut diantaranya geometri penampang, perencanaan gaya prategang, kemampuan layan dan lain – lain.

2.4.1. Kemampuan Layan

Ada dua tahap utama dalam penentuan kemampuan layan struktu beton prategang. Tahap pertama adalah tahap transfer dimana kekuatan beton masih rendah. Beban pada struktur masih minim (hanya beban mati dan beban konstruksi yang bekerja), tetapi gaya prategang mencapai nilai puncaknya. Tahap kedua adalah ketika semua kehilangan sudah tercapai dan semua beban sudah bekerja, dengan nilai prategang mencapai nilai puncaknya. Tahap kedua adalah ketika semua kehilangan sudah tercapai dan semua beban sudah bekerja, dengan nilai gaya prategang mencapai nilai terendah. Pada kedua tahap tersebut semua persyaratan harus dipenuhi.

 Analisis Deformasi

Analisis “eksak” untuk mendapatkan kurva pembebanan-deformasi seperti Gambar 5 dibawah ini memerlukan tahapan yang kompleks melalui “Time-Dependent Analysis”. Pada perencanaan struktur seperti jembatan cable stayed, jembatan gantung, jembatan segmental dll, time dependent analysis ini umumnya harus dilakukan dengan bantun komputer namun untuk struktur-struktur sederhana seperti balok bentang panjang pada struktur gedung, jembatan sederhana, atap bentang panjang dll, metoda pendekatan diijinkan oleh peraturan. Metoda pendekatan berdasarkan peraturan ACI318 yang akan dipelajari.

(10)

ACI318 membagi metoda tiga kelas dalam melakukan analisis deformasi yaitu Class U, Class C dan Class T. Untuk Class C dan T metoda yang dapat digunakan dalam menentukan lendutan pendek adalah dengan momen inersia efektif ataupun metoda bilinier dari PCI.

Batasan Ijin Deformasi Pada Balok

Sesuai Tabel dari ACI318 maka batasan lendutan pada balok terutama adalah sebagai berikut: Tabel 2.3. Batasan lendutan berdasarkan ACI 318

2.4.2. Penentuan Gaya Prategang

Setelah didapatkan tegangan initial (awal) dan tegangan efektif serta luas strand yang dibutuhkan maka gaya prategang bisa dihitung berdasarkan rumus mencari tegangan (Ilustrasi diagram tegangan akibat gaya prategang (P) dapat dilihat pada gambar 2.5).

Gambar 2.5. Diagram tegangan akibat gaya prategang (P)

Maka, rumus untuk mencari gaya prategang yaitu : Gaya prategang awal (initial) = Pi = fpi. Aps

(11)

2.4.3. Perilaku balok terhadap Lentur

Perilaku dari suatu balok prategang akibat lentur dapat digambarkan sesuai Gambar 1 sebagai berikut:

Sumber : Buku Beton prategang (Suatu Pendekatan mendasar) Edisi ketiga Jilid 1 Hal 109.Edward G.Nawy, 2

Gambar 2.6 . Diagram beban deformasi dari balok prategang akibat lentur

Dari Gambar 2.6. ditunjukkan kondisi tegangan dan deformasi yang terjadi apabila suatu beban dikerjakan pada balok prategang yang dibagi menjadi enam (6) kondisi yaitu:

 Full dead load  pada tahapan ini, akibat gaya prategang dan beban mati, tegangan yang terjadi pada penampang adalah tekan (tidak ada tegangan tarik yang terjadi). Deformasi yang terjadi adalah deformasi akibat beban mati dikurangi oleh camber akibat gaya prategang

 Balanced  pada tahapan, dengan penambahan beban (hidup) lebih lanjut, tegangan pada penampang akibat beban dan prategang adalah tegangan tekan pada kondisi seimbang  Decompression  pada tahapan ini, dengan penambahan beban (hidup) lebih lanjut,

tegangan yang terjadi diserat terbawah dari penampang menunjukkan tegangan tarik sama dengan nol

(12)

 First Cracking Load  pada tahapan ini, dengan penambahan beban (hidup) lebih lanjut serat terbawah dari balok akan mengalami retak pertama yaitu saat tegangan serat terbawah sudah mengalami tegangan tarik fb 0

 Service Load Limit  pada tahapan ini, dengan penambahan beban (hidup) lebih lanjut serat terbawah dan teratas mencapai tegangan tarik dan tekan namun maih lebih kecil dari tegangan ijin tarik dan tegangan ijin tekannya

 Steel Yielding  pada tahapan ini, dengan penambahan beban (mati + hidup) terfaktor, tulangan akan mengalami leleh (underreinforced/ductile). Perilaku ini menunjukkan desain yang baik dimana tulangan mencapai tegangan lelehnya sebelum tegangan pada serat teratas beton mencapai tegangan maksimumnya

 Ultimate  pada tahapan ini, dengan penambahan beban (mati + hidup) terfaktor, setelah tulangan mencapai tegangan lelehnya diikuti tegangan pada serat teratas beton yang mencapai tegangan maksimumnya yaitu

cu

0

.

003

diaman setelah mencapai tegangan maksimum tersebut dianggap kekuatan balok beton prategang akan mengalami penurunan

2.4.4. Riwayat tegangan yang terjadi pada penampang beton prategang

Tidak seperti pada komponen struktur beton bertulang, beban mati eksternal dan beban hidup parsial bekerja pada komponen struktur beton prategang pada kekuatan beton yang berbeda – beda untuk berbagai tahap pembebanan. Tahap – tahap pembebanan tersebut dapat diringkas sebagai berikut :

 Gaya prategang awal Pi diterapkan, kemudian pada saat transfer gaya ini disalurkan dari

strands prategang ke beton.

 Berat sendiri WD bekerja pada komponen struktur bersamaan dengan gaya prategang

awal.

 Beban mati tambahan WSD termasuk topping untuk aksi komposit, bekerja pada

komponen struktur tersebut.

 Sebagian besar kehilangan gaya prategang terjadi sehingga mengakibatkan gaya prategang menjadi tereduksi.

 Komponen struktur tersebut mengalami beban kerja penuh, dengan kehilangan jangka panjang akibat rangkak, susut dan relaksasi strand terjadi dan menghasilkan gaya prategang netto Peff.

 Kelebihan beban pada komponen struktur terjadi pada kondisi batas kegagalan.

Riwayat pembebanan tipikal dan distribusi tegangan yang berkaitan dengan itu di seluruh tinggi penampang kritis ditunjukan dalam gambar 2.7.

(13)

Gambar 2.7 .Distribusi tegangan lentur pada berbagai tahap pembebanan (a) penampang

balok. (b) Tahap pemberian prategang awal. (c) Berat sendiri dan prategang efektif. (d) Beban mati penuh ditambah prategang efektif. (e) Beban kerja penuh ditambah prategang efektif. (f) Kondisi batas tegangan pada saat beban ultimit pada balok bertulangan kurang.

2.5. Analisis Tegangan Penampang Tidak Retak (Class U)

Analisis tegangan yang terjadi pada suatu penampang balok prategang sengat bergantung pada metoda konstruksinya. Secara garis besar untuk kebanyakan kasus metoda konstruksi dari balok prategang dibagi dalam dua (2) kategori yaitu:

a) Konstruksi Balok Non Komposit

 Pada saat transfer sesudah kehilangan prategang seketika Tegangan pada serat teratas

ti t SW t i t

S

M

r

ec

A

P

f

 

1

2 (1a)

Tegangan pada serat terbawah ci b SW b i b

S

M

r

ec

A

P

f

 

1

2 (1b)

 Pada kondisi final sesudah kehilangan prategang total Tegangan pada serat teratas

c t T t e t

S

M

r

ec

A

P

f

 

1

2 (2a)

Tegangan pada serat terbawah t b T b e b

S

M

r

ec

A

P

f

 

1

2 (2b)

(14)

dimana :

A = luas penampang balok

ct = jarak dari C.G.C ke serat teratas (mm)

cb = jarak dari C.G.C ke serat terbawah (mm)

r = radius girasi (mm)

St = modulus penampang terhadap serat teratas (mm3)

Sb = modulus penampang terhadap serat terbawah (mm3)

σti = tegangan ijin tarik awal (MPa)

σci = tegangan ijin tekan awal (MPa)  nilainya harus negatif

σt = tegangan ijin tarik akhir (MPa)

σc = tegangan ijin tekan akhir (MPa)  nilainya harus negative

MT = momen total akibat berat sendiri, beban mati tambahan dan beban hidup

MSW = Momen akibat beban sendiri ditengah bentang

Apabila ukuran penampang belum diketahui maka untuk mendapatkan berapa modulus penampang yang dibutuhkan, persamaan (1a), (1b), (2a) dan (2b) dapat disusun sehingga diperoleh:

 Untuk draped/straight tendon

c ti SW T t

M

M

S



min (3a) ci t SW T b

M

M

S



min (3b)

Substitusi balik persamaan (3a) ke persamaan (1a) maka dapat dtentukan eksentrisitas yang harus diberikan sebagai berikut:

i SW i t ci ti

P

M

P

S

f

e

(3c)

 Untuk parabolic tendon

c ti T t

M

S



min (4a) ci t T b

M

S



min (4b)

Substitusi balik persamaan (4a) ke persamaan (1a) maka dapat dtentukan eksentrisitas yang harus diberikan sebagai berikut:

t ci ti

P

S

f

e

(4c)

(15)

dimana :

ti ci

t ti ci

h

c

f

(5)

rasio tegangan efektif setelah kehilangan prategang total terhadap tegangan awal atau tegangan efektif setelah kehilangan prategang seketika. Untuk perhitungan awal, nilai  dapat diambil antara 0.75 untuk balok dan 0.85 untuk pelat. Nilai yang lebih kecil direkomendasikan untuk memberikan penampang yang lebih konservatif

M adalah momen pada tengah bentang untuk balok dua perletakan

b) Konstruksi Balok Komposit

Pada struktur gedung kebanyakan pekerjaan post-tensioned dikategorikan beton non komposit karena gaya prategang diberikan sesudah balok dan pelat sudah dicor bersama. Namun pada konstruksi jembatan umumnya balok dibuat dari struktur pracetak yang sudah diberi gaya prategang baru pelat beton cast in situ dilaksanakan kemudian. Pada umumnya diasumsikan beban mati tambahan (SDL) dan beban hidup (LL) dipikul setelah balok dan pelat menjadi komposit.

Gambar 2.8. Diagram tegangan pada balok komposit

Ada juga sistem yang menggunakan balok pracetak dan pelat pracetak misal dengan HCS. Stressing dapat dilakukan parsial dimana gaya prategang diberikan awal pada balok untuk mampu memikul berat sendiri balok dan HCS dan kemudian setelah menjadi komposit baru distressing secara penuh. Dengan cara ini, penggunaan perancah dapat dieliminir namun memerlukan dua kali pekerjaan stressing sehingga belum tentu lebih ekonomis

(16)

b.1) Unshored (Tanpa Perancah)

Pada konstruksi tanpa perancah langkah-langkah yang umum digunakan adalah sbb: 1. Balok pracetak yang sudah di beri gaya prategang (pre/post tension) diereksi

2. Pasang bekisiting pelat dapat berupa panel pracetak apabila menggunakan teknik cast in situ contoh half slab. Langkah ke dua ini tidak diperlukan bila menggunakan sistem pelat pracetak

3. Pengecoran pelat cast in situ atau pemasangan pelat pracetak + pengecoran strip agar pelat pracetak dan balok pracetak menjadi komposit

4. Setelah 28 hari dianggap pelat dan balok sudah menjadi komposit 5. Pemasangan beban mati tambahan spt: screed, keramik, dinding dll

6. Beban konstruksi maupun beban hidup dianggap bekerja setelah komposit terjadi

 Pada saat transfer sesudah kehilangan prategang seketika (sebelum komposit) Tegangan pada serat teratas girder

t SDL SW t i t

S

M

M

r

ec

A

P

f

 

1

2 (6a)

Tegangan pada serat terbawah girder b SDL SW b i b

S

M

M

r

ec

A

P

f

 

1

2 (6b)

 Pada kondisi final setelah kehilangan prategang total (sesudah komposit) Tegangan pada serat teratas girder

t c LL CSDL t SDL SW t e t

S

M

M

S

M

M

r

ec

A

P

f

 

1

2 (7a)

Tegangan pada serat terbawah girder

b c LL CSDL b SDL SW b e b

S

M

M

S

M

M

r

ec

A

P

f

 

1

2 (7b)

Tegangan pada serat teratas pelat dek

g c d c t cs LL CSDL t s E E S M M f , ,    (7c)

Tegangan pada serat terbawah pelat dek

g c d c b cs LL CSDL t b E E S M M f , ,    (7d) dimana: CSDL

M adalah momen akibat beban mati tambahan sesudah efek komposit bekerja i.e barrier, perkerasan

(17)

d c

E , = modulus elastisitas pelat dek

g c

E , = modulus elastisitas girder

ct = jarak dari C.G.C ke serat teratas (mm)

cb = jarak dari C.G.C ke serat terbawah (mm)

t cs

S = Modulus penampang pelat sesudah menjadi komposit (serat atas) b

cs

S = Modulus penampang pelat sesudah menjadi komposit (serat bawah) b.2) Shored (Dengan Perancah)

Pada konstruksi dengan perancah langkah-langkah yang umum digunakan adalah sbb: 1. Balok pracetak yang sudah di beri gaya prategang (pre/post tension) diereksi namun

masih ditopang oleh perancah

2. Pasang bekisiting pelat dapat berupa panel pracetak apabila menggunakan teknik cast in situ contoh half slab. Langkah ke dua ini tidak diperlukan bila menggunakan sistem pelat pracetak

3. Pengecoran pelat cast in situ atau pemasangan pelat pracetak + pengecoran strip agar pelat pracetak dan balok pracetak menjadi komposit

4. Setelah 28 hari dianggap pelat dan balok sudah menjadi komposit dan perancah dibongkar

5. Pemasangan beban mati tambahan spt: screed, keramik, dinding dll

6. Beban konstruksi maupun beban hidup dianggap bekerja setelah komposit terjadi

 Pada saat transfer sesudah kehilangan prategang seketika (sebelum komposit) Tegangan pada serat teratas girder

t SW t i t

S

M

r

ec

A

P

f

 

1

2 (6a)

Tegangan pada serat terbawah girder b SW b i b

S

M

r

ec

A

P

f

 

1

2 (6b)

 Pada kondisi final setelah kehilangan prategang total (sesudah komposit) Tegangan pada serat teratas girder

t c LL CSDL SDL t SW t e t

S

M

M

M

S

M

r

ec

A

P

f

 

1

2 (7a)

Tegangan pada serat terbawah girder

b c LL CSDL SDL b SW b e b

S

M

M

M

S

M

r

ec

A

P

f

 

1

2 (7b)

(18)

Tegangan pada serat teratas pelat dek g c d c t cs LL CSDL SDL t s E E S M M M f , ,     (7c)

Tegangan pada serat terbawah pelat dek

g c d c b cs LL CSDL SDL t b E E S M M M f , ,     (7d) dimana: SDL

M = momen akibat beban mati tambahan sebelum efek komposit bekerja i.e

beban konstruksi CSDL

M = momen akibat beban mati tambahan sesudah efek komposit bekerja i.e barrier, perkerasan

d c

E , = modulus elastisitas pelat dek

g c

E , = modulus elastisitas girder t

S = modulus penampang terhadap serat teratas b

S = modulus penampang terhadap serat terbawah ct = jarak dari C.G.C ke serat teratas (mm)

cb = jarak dari C.G.C ke serat terbawah (mm)

2.5.1. Kehilangan Prategang

Gaya prategang pada beton mengalami proses reduksi yang progresif

(pengurangan secara perlahan) sejak gaya prategang awal diberikan. Pada dasarnya nilai

masing-masing kehilangan gaya prategang adalah kecil, tetapi apabila dijumlahkan

dapat menyebabkan penurunan gaya yang cukup signifikan yaitu ± 15% - 25%,

sehingga kehilangan gaya prategang harus dipertimbangkan.

Beberapa hal yang harus diperhatikan untuk meminimalkan kehilangan gaya

prategang adalah :

 Mutu beton yang digunakan minimal 40 MPa untuk memperkecil rangkak.

 Tendon yang digunakan adalah mutu tinggi yang memiliki relaksasi rendah.

Secara umum, reduksi gaya prategang dapat dikelompokkan menjadi dua

kategori, yaitu:

(19)

a. Kehilangan elastis segera yang terjadi pada saat proses fabrikasi atau konstruksi,

termasuk perpendekan (deformasi) beton secara elastis, kehilangan karena

pengangkuran dan kehilangan karena gesekan.

b. Kehilangan yang bergantung pada waktu, seperti rangkak, susut dan kehilangan

akibat efek temperatur dan relaksasi baja, yang semuanya dapat ditentukan pada

kondisi limit tegangan akibat beban kerja di dalam beton prategang.

2.5.1.1. Kehilangan tegangan seketika

1. Kehilangan Akibat Perpendekan Elastis Beton

Mekanisme pengeringan beton yang mempengaruhi kehilangan tegangan adalah

berbeda antara struktur dengan sisitem pratarik dan pasca tarik. Pada struktur pratarik,

perubahan regangan pada tulangan prategang yang diakibatkan oleh perpendekan elastis

dari beton adalah sama dengan regangan beton di level baja.

1. Pratarik

Secara umum, kehilangan tegangan akibat perpendekan elastis (elastic

shortening) tergantung pada rasio modular dan tegangan beton pada level baja

atau dinyatakan dengan persamaan sebagai berikut :

ES = n. 𝑓

𝑐

Dimana :

fc’ = tegangan beton pada level baja

n = rasio modular dengan nilai n =

𝐸𝑠

𝐸𝑐

Jika gaya prategang ditransfer ke beton maka beton akan memendek dan baja

prategang akan mengikuti perpendekan beton tersebut. Dengan terjadinya

perpendekan baja prategang maka akan terjadi kehilangan tegangan yang ada

pada baja prategang tersebut. Besarnya kehilangan akibat perpendekan elastis

dapat diestimasi sebesar :

ES =

𝑛.𝑃𝑖

𝐴𝑠+ 𝑛.𝐴𝑠

Dimana :

n = angka rasio modular pada saat transfer , dengan harga n =

𝐸𝑠

𝐸𝑐

𝑃

𝑖

= gaya prategang awal

𝐴

𝑐

= luas penampang beton

𝐴

𝑠

= luas penampang baja

(20)

2. Kehilangan Akibat Gesekan tendon (

friksi)

Kehilangan prategang terjadi pada komponen pasca tarik akibat adanya gesekan

antara tendon dan beton disekelilingnya. Besarnya kehilangan ini merupakan fungsi

dari alinyemen tendon yang disebut efek kelengkungan dan deviasi lokal di dalam

alinyemen tendon disebut efek Wobble.

Tabel 2.2 Koefisien gesekan dan Wobble – effect

Sumber : Prestressed Concrete Institute

Untuk menghitung kehilangan tegangan akibat gesekan tendon :

∆𝑓𝑝𝑓 = -𝑓𝑝𝑖 (𝜇.𝛼 + K.L) (8)

Dimana,

∆𝑓𝑝𝑓 = kehilangan tegangan akibat friksi

𝑓𝑝𝑖 = tegangan awal (sudah dikurangi dengan kehilangan tegangan akibat jacking) 𝜇 = koefisien kelengkungan (dapat dilihat pada tabel 2.2)

𝛼 = perubahan sudut total lintasan tendon

K = Koefisien efek wobble (dapat dilihat pada tabel 2.2) L = Panjang kabel tendon

3. Kehilangan tegangan akibat dudukan angkur

Kehilangan karena dudukan angkur pada komponen struktur pascatarik diakibatkan adanya blok – blok pada angkur pada saat gaya pendongkrak ditransfer ke angkur. Cara mudah untuk mengatasi kehilangan ini adalah dengan memberikan kelebihan tegangan. Besar pemberian kelebihan tegangan yang dibutuhkan bergantung pada sistem pengangkuran yang digunakan karena setiap sistem mempunyai kebutuhan penyesuaian sendiri – sendiri dan pembuatnya

(21)

diharapkan mensuplai data mengenai gelincir yang dapat terjadi akibat penyesuaian angkur. Untuk menghitung kehilangan tegangan akibat dudukan angkur menggunakan rumus :

∆𝑓𝑝𝑎 = ∆

𝐿 . Eps (9) Dimana,

∆ = panjang tarik masuk (besar gelincir) 𝑓𝑐 = tegangan pada penampang

𝐸𝑠 = modulus elastis baja tendon L = panjang kabel

2.5.1.2 Kehilangan Tegangan Tergantung Waktu

Kehilangan tegangan tergantung waktu (time dependent loss of stress)

diakibatkan oleh proses penuaan beton selama dalam pemakaian. Proses ini terutama

dipengaruhi oleh adanya susut dan rangkak pada beton sepanjang umur pemakaian.

Disamping kedua hal tersebut, kehilangan tegangan juga dipengaruhi oleh adanya

relaksasi pada baja prategang.

1. Kehilangan Akibat Susut pada Beton

Hal – hal yang mempengaruhi susut pada beton adalah rasio volume terhadap

luas permukaan, kelembapan relatif dan waktu antara akhir pengecoran dan pemberian

gaya prategang. Kehilangan tegangan akibat susut dapatditentukan dengan persamaan

berikut :

SH = 𝜀

𝑐𝑠

. 𝐸

𝑠

(10)

Dimana:

𝜀

𝑐𝑠

: regangan susut sisa total, dengan harga

 𝜀

𝑐𝑠

= 300 x 10

−6

untuk struktur pratarik

 𝜀

𝑐𝑠

=

𝑙𝑜𝑔200 𝑥 10−6

10(𝑡+2)

untuk struktur pasca tarik dengan t adalah usia beton pada

waktu transfer gaya prategang dalam hari.

Susut pada beton dapat juga ditentukan dengan persamaan berikut :

SH = 𝜀

𝑠𝑕

. 𝐾

𝑠𝑕

. 𝐸

𝑠

(22)

𝜀

𝑠𝑕

= 8,2 x 10

−6

( 1 – 0,006.

𝑉𝑆

)(100 – RH)

(11)

Dimana :

𝜀

𝑠𝑕

: susut efektif

𝐾

𝑠𝑕

: koefisien susut, harganya ditentukan terhadap waktu antara akhir pengecoran dan

pemberian gaya prategang. Tabel berikut dapat digunakan untuk mengestimasi

harga 𝐾

𝑠𝑕

.

Tabel 2.3. Koefisien Susut 𝐾

𝑠𝑕

Waktu Antara

(hari)

1

3

5

7

10

20

30

60

𝐾

𝑠𝑕

0,92 0,85 0,80 0,77 0,73 0,64 0,58 0,45

𝐸

𝑠

: modulus elastisitas

V : volume beton dari suatu komponen struktur

S : luas permukaan dari suatu komponen struktur

RH :Kelembapan udara relatif

2. Kehilangan Akibat Rangkak pada Beton

Kehilangan tegangan pada baja prategang akibat rangkak dapat ditentukan

dengan dua cara, yaitu cara regangan rangkak batas dan cara koefisien rangkak.

Dengan cara regangan rangkak batas, besarnya kehilangan tegangan pada baja

prategang akibat rangkak dapat ditentukan dengan persamaan berikut ;

CR = 𝜀

𝑐𝑒

. 𝑓

𝑐

. 𝐸

𝑠

(12a)

Sedangkan dengan koefisien rangkak, besarnya kehilangan tegangan pada baja

prategang akibat rangkak dapat ditentukan sebagai berikut :

𝜑 =

𝜀𝑐𝑟 𝜀𝑐𝑒

(12b)

𝜀

𝑐𝑟

= 𝜑 . 𝜀

𝑐𝑒

= 𝜑.

𝑓𝐸𝑐. 𝑐

(12c)

CR = 𝜀

𝑐𝑟

. 𝐸

𝑠

= 𝜑.

𝑓𝐸𝑐. 𝑐

. 𝐸

𝑠

= 𝜑. 𝑓

𝑐

.

𝐸𝑠 𝐸𝑐

= 𝜑. 𝑓

𝑐

. N

(12d)

Dengan n =

𝐸𝑠 𝐸𝑐

(12e)

(23)

Dimana :

𝜑 : koefisien rangkak

n : angka rasio modular

𝜀

𝑐𝑟

: regangan akibat rangkak

𝑓

𝑐

.: tegangan tekan beton pada level baja

𝐸

𝑠

: modulus elastisitas baja

𝐸

𝑐

: modulus elastisitas beton

𝜀

𝑐𝑒

: regangan akibat elastis

Rangkak pada beton terjad karena deformasi akibat adanya tegangan pada beton

sebagai suatu fungsi waktu. Pada struktur beton prategang, rangkak mengakibatkan

berkurangnya tegangan pada penampang. Untuk struktur dengan lekatan yang baik

antara tendon dan beton (bonded members), kehilangan tegangan akibat rangkak dapat

diperhitungkan dengan persamaan berikut :

CR = 𝐾

𝑐𝑟

.

𝐸𝑠

𝐸𝑐

(𝑓

𝑐𝑖

- 𝑓

𝑐𝑑

)

(12f)

Dimana:

𝐾

𝑐𝑟

: koefisien rangkak, harganya 2,0 untuk pratarik dan 1,6 untuk pasca tarik

𝐸

𝑐

: modulus elastis beton

𝐸

𝑠

: modulus elastis baja

𝑓

𝑐𝑖

: tegangan pada beton pada level baja sesaat setelah transfer

𝑓

𝑐𝑑

: tegangan pada beton pada pusat berat tendon akibat beban mati

Sedangkan untuk struktur dimana tidak terjadi lekatan yang baik antara tendon

dan beton (unbonded members), besarnya kehilangan dapat ditentukan dengan

persamaan berikut :

CR = 𝐾

𝑐𝑟

.

𝐸𝑠

𝐸𝑐

𝑓

𝑐𝑝

(12g)

Dimana : 𝑓

𝑐𝑝

= tegangan tekan beton rata – rata pada pusat berat tendon

3. Kehilangan Akibat Relaksasi Baja Prategang

Relaksasi baja terjadi pada baja prategang dengan perpanjangan tetap selama

satu periode yang mengalami pengurangan gaya prategang. Pengurangan gaya

prategang tergantung pada lamanya waktu berjalan dan rasio gaya prategang awal 𝑓

𝑝𝑖

terhadap gaya prategang akhir 𝑓

𝑝𝑦

. Besarnya kehilangan tegangan akibat relaksasi baja

adalah :

RE = C (𝐾

𝑟𝑒

- J (SH +CR + ES))

(13a)

Dimana :

(24)

𝐾

𝑟𝑒

= koefisien relaksasi, harganya bervariasi antara 41 – 138 N/mm

2

J = faktor waktu, harganya berkisar antara 0,05 dan 0,15

SH = Kehilangan tegangan akibat susut

CR = Kehilangan tegangan akibat rangkak

ES = kehilangan tegangan akibat perpendekan elastis

Kehilangan tegangan akibat relaksasi terhadap persentase nilai gaya prategang

awal dapat juga ditentukan dengan persamaan berikut :

RE = R ( 1 –

2 𝐸𝐶𝑆𝑓

𝑝𝑖

)

(13b)

Dimana :

R = relaksasi yang direncanakan , dalam %

ECS = kehilangan tegangan pada tendon akibat rangkak CR ditambah susut SH

𝑓

𝑝𝑖

= tegangan pada tendon sesaat setelah pemindahan gaya prategang.

2.5.1.3. Kehilangan Akibat Pengaruh Lain

Bilamana dianggap perlu, dalam perencanaan harus diperhitungkan kehilangan

tegangan akibat pengaruh lain yang belum disebutka di atas, tergantung dari jenis dan

kepentingan struktur beton prategang, antara lain untuk faktor kehilangan seketika :

a. Perubahan suhu antara saat penegangan tendon dan saat pengecoran beton

b. Deformasi pada sambungan struktur pracetak

c. Relaksasi tendon sebelum transfer

d. Deformasi acuan pada komponen pracetak

e. Perbedaan suhu antara tendon yang ditegangkan dan struktur yang di prategang

selama perawatan pemanasan beton.

f. Demikian juga bila dianggap perlu, diperhitungkan kehilangan yang tergantung

waktu, yang disebabkan oleh beberapa hal, antara lain :

 Deformasi pada sambungan struktur pracetak yang dipasang pada

penampang

 Pengaruh penambahan rangkak yang disebabkan oleh beban berulang

yang sering terjadi.

Gambar

Gambar 2.1. Diagram Tegangan-Regangan pada Beton
Tabel 2.1. Berat sendiri
Tabel 2.2. Kombinasi Pembebanan
Gambar 2.2. Distribusi tegangan beton prategang sebagian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Retak yang terjadi merupakan retak lentur dan retak geser diagonal yang terjadi pada kedua sisi balok di mana arah beban aksial bekerja. Penambahan retak untuk setiap

Balok dengan subtitusi kadar serat 0,6% dari volume beton mampu menerima beban retak pertama rata-rata sebesar 16,10 KN atau naik rata-rata 11,27% dari beban maksimum balok

Gaya Geser pada balok prategang akibat beban tidak terfaktor .. Jumlah Tendon di Tengah

Retak awal yang terjadi pada balok adalah retak geser (retak halus) yang terjadi pada daerah bentang geser. Seiring dengan penambahan beban, retak halus merambat

Dari hasil pengujian diperoleh kuat lentur balok beton bertulang yang menggunakan air laut dan pasir sungai mengalami retak awal saat beban sebesar 4,91 kN dan mencapai

Dengan membandingkan kedua diagram tegangan total, memberi bukti jelas bahwa pemberian gaya prategang eksentris lebih efektif daripada yang konsentris karena tegangan total

Beban-beban struktur balok girder prategang pada perencanaan fly over ini digunakan dengan acuan pembebanan pada balok tengah, hal ini dikarenakan pada balok girder bagian

Gaya Geser pada balok prategang akibat beban tidak terfaktor ... Jumlah Tendon di Tengah