• Tidak ada hasil yang ditemukan

STRESOR PSIKOLOGIK BERHUBUNGAN DENGAN POLA KOPING ANAK USIA SEKOLAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "STRESOR PSIKOLOGIK BERHUBUNGAN DENGAN POLA KOPING ANAK USIA SEKOLAH"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

215

(The Correlation Between Psychological Stressor with Coping Pattern

School-Age Children)

Suliswati, Ermawati, Nurhalimah.

Jurusan Keperawatan Poltekkes Kemenkes Jakarta III.

Email : suliswati_31@yahoo.com.

ABSTRAK

Kekerasan fisik dan psikologik merupakan stresor psikologik yang dapat memberikan dampak negatif dan mempengaruhi perkembangan mental anak serta pola kopingnya. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran tentang hubungan stressor psikologik dengan pola koping pada anak usia sekolah. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan menggunakan desain cross sectional. Pengambilan data menggunakan kuesioner. Sampel penelitian berjumlah 196 murid Sekolah Dasar kelas enam. Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara stressor psikologik: “mengisolasi“ dengan pola koping pada anak usia sekolah, dengan nilai p = 0,011. Sedangkan stressor psikologik yang terdiri dari : mengusir, memaki, menghina, tidak perduli, menuntut, tingkat pendidikan orang tua, pola komunikasi, riwayat kesehatan, riwayat pertengkaran dalam keluarga tidak ditemukan hubungan bermakna dengan pola koping anak usia sekolah (nilai p>0.05). Rekomendasi hasil penelitian, perlu adanya peningkatan kerjasama antara guru dan orang tua dalam membentuk suasana yang kondusif dan terbuka dalam mengungkap permasalahan yang ada serta mencari solusi yang tepat sehingga anak mencapai tingkat perkembangan yang optimal.

Kata Kunci: anak usia sekolah, pola koping, stressor psikologis

ABSTRACT

The physical and psychologic violence are the psychologic stressor which can convey negative impact and influence to children mental health development and their coping pattern. This research aimed to obtain a description of correlation between psychologic stressor with coping pattern among school-age children. It was a descriptive research in which used cross sectional design. The collecting data were using questionnaires. The research samples were 196 students of Grade Six of Elementary School. The result showed that there was a correlation with p value = 0.011. Meanwhile, the pshycologic stressor which consisted of: chasing away, cursing, insulting, ignoring, demanding, parents educational level, communication pattern, health history, quarelling history within family, there was no significant correlation among them with school-age children coping (p value>0.05). The recommendation from this research, there is a needed to improve collaboration between teachers and parents in which together build the condusive and open situation to share the existence problems, and also find the right solutions, hence children can achive the optimal developmental level.

(2)

PENDAHULUAN

Jumlah anak korban kekerasan terus meningkat dari tahun ke tahun, bahkan di Indonesia akhir-akhir ini memperlihatkan peningkatan kekerasan terhadap anak, baik dari aspek fisik meliputi penganiayaan, pelecehan seksual, hingga pembunuhan maupun aspek psikologis seperti pola komunikasi yang kurang efektif, tidak memperdulikan anak, mengisolasi, mengusir dan berkata kasar.

Indonesia pada tahun 2012 diperkirakan ada 871 kasus kekerasan fisik terhadap anak, 80 % diantaranya terjadi pada anak dibawah usia 15 tahun dan kasus kekerasan psikologik sebanyak 176. Pada tahun 2008 tercatat sebanyak 1600 kasus, sedangkan tahun 2009 terdapat 1891 kasus (KPAI, 2012). Sedangkan data mengenai kekerasan psikologis pada data ini tidak dijelaskan secara rinci. Kekerasan fisik yang dilakukan dapat mengakibatkan stressor psikologik.

Anak usia sekolah yang memperilihatkan perilaku negative seperti merokok, minum-minuman yang mengandung alkohol, menghayal, berfantasi, banyak makan, banyak tidur, dan sering menangis merupakan karekteristik anak yang rentan mendapatkan perilaku kekerasan dari orang tua.

Stressor psikologik adalah berbagai peristiwa atau kejadian yang mengancam hubungan interpersonal. Stressor psikologik misalnya; perceraian, masalah orang tua, hubungan interpersonal yang tidak baik, keluarga yang tidak harmonis, dan dampak dari penyakit kronis. Tidak semua individu dapat beradaptasi dan mengatasi stressor tersebut sehingga hal ini dapat berakibat timbulnya stress psikologik.

Penganiayaan dan kekerasan pada anak merupakan dilema pribadi anak karena penganiayaan secara fisik maupun psikologik merupakan stressor psikologik yang dapat menimbulkan stres psikologik atau kecemasan (Hilard,1985).

Kekerasan fisik dan psikologik merupakan stresor psikologik yang dapat memberikan dampak negatif. Hal ini akan mempengaruhi perkembangan mental anak yaitu perkembangan pola koping menjadi tidak efektif seperti: merokok, minum alkohol, menghayal, berfantasi, banyak makan, banyak tidur, menangis dan lain lain.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara stressor psikologis terhadap pola koping anak usia sekolah.

(3)

METODE

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif korelasi menggunakan pendekatan cross sectional, untuk melihat hubungan antara variabel independent yaitu stressor psikologik dengan pola koping sebagai variabel dependent. Populasi penelitian adalah seluruh murid kelas VI pada salah satu SDN di wilayah Jakarta Pusat yang berjumlah 1080 murid.Sampel penelitian adalah murid SD kelas VI yang berusia 12-13 tahun. Perhitungan sampel menggunakan rumus uji hipotesis dua proporsi (Lemeshow, Holmer, Klar, & Lwanga (2002) dengan jumlah sampel sebanyak 196 responden. Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan cara cluster random sampling yaitu pengambilan sampel berdasarkan gugus kelompok yang memenuhi kriteria inklusi dan disesuaikan dengan besar sampel berdasarkan jangka waktu untuk mendapatkan sampel penelitian (Sastroasmoro & Ismael, 2002).

Penelitian dilaksanakan pada hari Jum’at dan Sabtu, di mana jadwal mata pelajaran hanya sedikit, agar tidak mengganggu proses belajar. Pengukuran variabel penelitian dilakukan dengan menggunakan alat ukur berupa kuesioner yang telah dilakukan uji coba. Instrumen penelitian ini disebarkan kepada murid SDN Kelas VI yang termasuk ke dalam

kriteria inklusif. Sebelum pengisian kuesioner, terlebih dahulu peneliti menjelaskan pada Kepala Sekolah, guru, dan murid mengenai hal-hal yang terkait dengan penelitian yang akan dilaksanakan. Selanjutnya dilakukan pengolahan dan analisa data dengan menggunakan uji statistik Chi Square.

HASIL DAN PEMBAHASAN.

Hasil analisis univariat menggambarkan tingkat pendidikan orang tua responden mayoritas berpendidikan rendah yaitu 84,7%. Pola komunikasi antara orang tua dengan responden mayoritas baik yaitu sebesar 90,3%. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa sebagian besar responden memiliki tingkat kesehatan baik sebesar 84,2%. Sebagian besar responden mengatakan tidak ada riwayat pertengkaran dalam keluarga sebanyak 93,9%. Hasil penelitian ini juga menunjukkan sebagian besar responden memiliki pola koping tidak efektif ketika menghadapi stressor psikologik yaitu tidak melakukan olah raga (43,9%), tidak menggunakan pengalaman keberhasilan yang lalu (22,5%), tidak melakukan “curhat” 38,3%. Selain itu, hasil penelitian juga menunjukkan bahwa sebagian besar responden menggunakan pola koping yang adaptif ketika menghadapi stressor psikologik dari orang tua yaitu tidak menangis (66,3%), tidak banyak makan

(4)

(93,2%), tidak banyak tidur (75,6%), tidak berfantasi (26,6%), tidak minum alkohol

(95,4%) dan tidak merokok (91,3%).

Tabel 1. Hubungan antara Stressor Psikologik dengan Pola Koping Anak usia sekolah (n=196)

Stressor Psikologik Pola Koping Total p-value

Tidak efektif Efektif

Mengusir Ya 12( 33,3%) 24( 66,7%) 36(100%) 0,275 Tidak 72(45,0 %) 88 ( 55,0%) 160(100%) Memaki Ya 56 ( 42,7 %) 75 ( 57,3 %) 131 ( 100 %) 1,000 Tidak 28 ( 43,1 %) 37 ( 56,9 %) 65 ( 100 % ) Menghina Ya 47 ( 40,5 %) 69 ( 59,5 %) 116 ( 100 %) 0,516 Tidak 37 ( 46,3 %) 43 ( 51,8 %) 80 ( 100 % ) Tidak peduli Ya 18 ( 37,5 %) 30 ( 62,5 %) 48 ( 100 %) 0,487 Tidak 66 ( 44,6 %) 82 ( 55,4 %) 148 (100 %) Mengisolasi Ya 31 ( 33,0 %) 63 ( 67,0 %) 94 ( 100 %) 0,011 Tidak 53 ( 52,0 %) 49 ( 48,0 %) 102 (100 %) Menuntut Ya 58 ( 43,6 %) 75 ( 56,4 %) 133 ( 100 %) 0,877 Tidak 26 ( 41,3 %) 37 ( 58,7 %) 63 (100 %) Riwayat pertengkaran dalam keluarga Ada 79 ( 42,9 %) 105( 57,1 %) 184 ( 100 %) 1,000 Tidak ada 5 ( 41,7 %) 7 ( 58,3 %) 12 (100 %)

Tabel 2. Hubungan antara Karakteristik Keluarga Pola Koping Anak Usia Sekolah (n=196)

Karakteristik Keluarga Pola Koping Total p-value

Tidak efektif Efektif Tingkat Pendidikan ortu Rendah 73 ( 44,0 %) 93 ( 56,0 %) 166 ( 100 %) 0,586 Tinggi 11 ( 36,7 %) 19 ( 63,3 %) 30 (100 %) Pola komunikasi ortu Buruk 81 ( 44,8 %) 100( 55,2 %) 181 ( 100 %) 0,112 Baik 3 ( 20,0 %) 12 ( 80,0 %) 15 (100 %) Riwayat Kesehatan Ortu Riwayat Pertengkaran dalam Keluarga Buruk 74 ( 44,8 %) 91( 55,2 %) 165 ( 100 %) 0,270 1,000 Baik Ada Tidak Ada 10 ( 32,3 %) 79 (42.9 %) 5 (41,7%) 21 ( 67,7 %) 105 (57,1%) 7 (58,3%) 31 (100 %) 184 (100%) 12(100%)

(5)

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan bermakna antara stresor psikologis seperti mengusir, memaki, menghina, tidak peduli dan menuntut dengan pola koping anak usia sekolah (nilai p>0.05), sedangkan stressor psikologis: mengisolasi berhubungan secara bermakna dengan pola koping anak usia sekolah (nilai p=0.011). Stresor psikologis “mengisolasi“ meliputi: membatasi waktu bermain, melarang anak bermain dengan teman sebaya di luar rumah setelah pulang dari sekolah. Apabila anak melanggar aturan yang ditetapkan, orang tua akan mengurangi uang jajan sampai tidak memberikan uang jajan.

Pemberian sangsi ini menimbulkan stressor psikologik yang sangat berat pada anak, seperti menjadi tidak simpati pada orang tua, membenci orang tua, menjadi tidak suka tinggal di rumah, lari dari rumah dan lebih tertarik pada lingkungan yang membuat mereka merasa nyaman dan diterima. Hasil penelitian ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Klein dan Leidy (1990 dalam Kozier, 2005 ) menyatakan bahwa ketika seseorang merasakan adanya stressor yang mengancam dirinya baik aktual maupun risiko akan menimbulkan frustrasi, ansietas dan ketegangan. Untuk menanggulangi masalah psikologis yang

dialami anak akibat isolasi yang dilakukan oleh orang tua, pemerintah maupun sekolah harus memberikan penyuluhan mengenai salah satu tugas perkembangan keluarga yaitu mengenal masalah anggota keluarga pada anak usia sekolah.

Keluarga mempunyai tugas untuk mengenal tanda-tanda tumbuh kembang pada anak usia sekolah dan penyimpangan perilaku yang terjadi jika tugas perkembangan pada masa itu tidak terpenuhi. Pengetahuan yang harus dimiliki keluarga untuk memenuhi kebutuhan tumbuh kembang anak meliputi : tahap tumbuh kembang anak, kebutuhan yang harus dipenuhi sesuai dengan karakteristik usia sekolah, penyimpangan perilaku yang ditimbulkan dari tidak terpenuhinya kebutuhan tumbuh kembang, masalah yang timbul akibat tidak atau kurang terpenuhinya kebutuhan tumbuh kembang anak.

Upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah agar tidak timbul masalah tumbuh kembang anak meliputi pemilihan strategi koping yang adaptif, pemahaman terhadap tehnik penyelesaian masalah dan memanfaatkan sumber-sumber yang tersedia, perlu diadakan penyuluhan dalam bentuk terapi kelompok terapeutik. Townsend (2013) dan Handayani (2008), mengatakan bahwa terapi kelompok bertujuan untuk

(6)

mengambil keputusan dalam memberikan stimulasi perkembangan usia anak yang ditunjukkan dengan memberikan kebutuhan tumbuh kembang anak sesuai dengan umurnya dan mengkomunikasikan pada anggota keluarga yang lain agar ikut berperan dalam memberikan stimulasi perkembangan pada anak. Merawat anggota keluarga melalui keterampilan yang harus dimiliki orangtua merupakan latihan dalam memberikan stimulasi perkembangan sesuai tahapan usia anak, latihan mengatasi masalah, keterampilan dan strategi koping serta manajemen krisis. Mempertahankan suasana rumah yang mendukung kesehatan dan perkembangan anak. Keluarga harus mampu menciptakan suasana yang nyaman pada seluruh anggota keluarga dengan memberikan perhatian dan memberikan reinforcement positif khususnya pada anak. Memanfaatkan pelayanan kesehatan dan sarana kesehatan, jika ditemukan gejala-gejala penyimpangan perilaku anak.

Keluarga juga harus melihat sumber-sumber yang tersedia di dalam keluarga itu sendiri, maupun dari pemerintah yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan tumbuh kembang anggota keluarga. Handayani (2008), mengatakan bahwa upaya yang dapat dilakukan keluarga adalah berbagi peran antar anggota keluarga, mempertahankan

keharmonisan dalam keluarga, mengembangkan hubungan secara baik dalam keluarga sehingga tercipta lingkungan yang mendukung untuk tumbuh dan berkembangnya usia kanak – kanak serta berbagi pengalaman dengan keluarga yang lain dengan cara berdiskusi melalui kegiatan terapi kelompok terapeutik,

Menurut Friedman, Bowden & Jones (2002), terlaksananya tugas perkembangan keluarga dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu tahap perkembangan keluarga, kondisi fisik dan emosional keluarga, status ekonomi keluarga, nilai budaya, etik, spiritual keluarga, sumber-sumber yang ada pada keluarga dan masyarakat serta karakteristik dari tahap tumbuh kembang sesuai dengan usia. Hal ini sejalan dengan pendapat Townsend (2013) dan Handayani (2008), bahwa keluarga sangat berperan dalam penanggulangan masalah psikologis anak.

Penanggulangan masalah psikologis yang dimaksud adalah pengetahuan tentang bagaimana mengenal masalah anggota keluarga, kebutuhan tumbuh kembang, tanda-tanda tumbuh kembang dan penyimpangan perilaku yang terjadi. Hasil penelitian ini sesuai dengan teori di atas bahwa ke lima upaya pencegahan dalam keluarga untuk mencegah agar tidak timbul masalah tumbuh kembang dan pola

(7)

koping menjadi efektif. Oleh karena itu, keluarga harus mampu mempertahankan suasana rumah yang kondusif untuk tumbuh kembang anak, seperti: mempertahankan suasana rumah yang nyaman, memberikan perhatian dan memberikan reinforcement positif. Selain itu, juga dapat berbagi pengalaman dengan anggota keluarga lain melalui diskusi dalam kelompok teraputik agar dapat mencegah masalah pola koping anak yang kurang efektif.

Metode Koping menurut (Bell, 1977 dalam Kozier, 2005) dibagi dalam 2 kelompok yaitu metode koping long term (jangka panjang) dan short term (jangka pendek) Metode long term merupakan metode koping yang konstruktif dan realistik terhadap stress sehingga dapat menurunkan stres secara efektif. Contoh metode koping konstruktif/efektif adalah: mendiskusikan masalahnya dengan orang lain (teman, professional), mencoba mencari informasi tambahan terkait dengan masalahnya, percaya dan yakin pada kekuasaan supernatural, melakukan latihan fisik untuk menurunkan stres, menggunakan pengalaman keberhasilan yang lalu.

Untuk metode koping short term (jangka pendek), merupakan metode koping yang bertujuan untuk menurunkan ketegangan atau stres sesaat dan tidak

dapat menurunkan stres. Metode ini merupakan cara koping tidak realistik dan destruktif. Contoh metode koping yang destruktif / tidak efektif : menggunakan alkohol/obat/zat adiktif, berfantasi, menghayal, mencoba untuk humor, banyak tidur, banyak makan, merokok, menangis.

Ketika seseorang merasakan adanya stressor yang mengancam dirinya baik aktual ataupun risiko, akan menimbulkan frustrasi, ansietas, dan ketegangan (Kline-Leidy, 1990 dalam Kozier, 2005). Perilaku adaptif psikologis individu akan dapat membantu kemampuan seseorang dalam menghadapi stressor. Perilaku ini diarahkan pada penatalaksanaan stress dan didapatkan melalui pembelajaran serta pengalaman yang dapat diterima dan berhasil.

Hasil penelitian ini mengambarkan responden yang mengalami isolasi sosial, mempunyai pola koping tidak efektif sebanyak 33,0%. Pada umumnya pola koping tidak efektif yang digunakan adalah: merokok (8,7%), minum alkohol (4,6%), berfantasi (26,6%), banyak tidur (24,4%), banyak makan (16,8%), dan menangis (33,7%). Hasil penelitian ini sesuai dengan teori yang dikemukan oleh (Bell 1977 dalam Kozier 2005) bahwa metode koping yang digunakan oleh responden adalah metode koping jangka

(8)

pendek yang hanya menurunkan ketegangan atau stress dan bersifat hanya sementara atau sesaat, serta tidak dapat menurunkan kecemasan atau stres. Menurut pendapat peneliti, pola koping tidak efektif yang digunakan oleh responden hanya memberikan perasaan tenang dan nyaman yang sifatnya tidak permanen serta bersifat tidak konstruktif dalam mengatasi stressor.

Pola koping tidak efektif yang digunakan oleh anak disebabkan stressor karena adanya kebutuhan yang tidak terpenuhi. Kebutuhan tersebut dapat berupa kebutuhan fisiologik, psikologik, sosial, lingkungan, perkembangan, spiritual atau kebutuhan kultural. Stressor secara umum dapat diklasifikasikan dalam stressor internal yang berasal dari dalam diri seseorang misalnya ; keadaan emosi seperti rasa bersalah dan stressor eksternal yang berasal dari luar diri seseorang misalnya perubahan dalam peran keluarga, perubahan dalam peran sosial, dan tekanan dari berbagai pihak misalnya tekanan dari orang tua.

Perilaku konstruktif membantu individu menerima tantangan untuk menyelesaikan konflik bahkan ansietas dan dapat bersifat konstruktif, misalnya ansietas dapat menjadi tanda bahwa terdapat ancaman sehingga seseorang dapat melakukan tindakan untuk

mengurangi ansietasnya. Perilaku destruktif yang dialami pelajar, diantaranya ketidakmampuan menyelesaikan masalah, dan ketidakmampuan untuk berfungsi. Ansietas dapat bersifat destruktif misalnya: seseorang tidak mampu melepaskan diri dari stressor, maka akan memperberat

masalahnya dan melakukan

penyalahgunaan alkohol atau obat terlarang, sehingga stres akan semakin meningkat.

Perilaku adaptif psikologis disebut juga mekanisme koping. Mekanisme ini dapat berorientasi pada tugas yang mencakup penggunaan teknik pemecahan masalah secara langsung untuk menghadapi ancaman atau dapat juga disebut mekanisme pertahanan ego. Mekanisme ini bertujuan untuk mengatur distress emosional, dengan demikian akan memberikan perlindungan pada individu terhadap ansietas dan stress.

Mekanisme pertahanan ego adalah metode koping terhadap stress secara tidak langsung. Mekanisme ini digunakan oleh setiap orang, dapat membantu melindungi diri terhadap perasaan tidak berdaya dan ansietas. Terkadang mekanisme pertahanan diri dapat menyimpang dan tidak lagi mampu untuk membantu seseorang dalam menghadapi stressor. Mekanisme pertahanan ego ini sering kali

(9)

diaktifkan oleh stress jangka pendek dan biasanya tidak mengakibatkan gangguan psikiatrik.

Stressor psikologik mencakup suatu keadaan pasangan alkoholik, takut dioperasi, berduka yang berlebihan akibat kematian orang yang dicintai, serta berbagai kondisi atau keadaan yang dapat menimbulkan stress psikologis (Hillard, 1985, dalam Kozier 2005). Teori yang dikemukan oleh (Byrne 1978 dalam Kozier, 2005) menyatakan bahwa tingkat stressor yang dapat mempengaruhi individu tergantung pada sifat stressor, jumlah stressor, lamanya stressor, dan pengalaman menghadapi stressor. Hubungan stressor psikologik “menuntut” dengan pola koping individu, menurut pendapat penulis stressor ini tidak akan berpengaruh terhadap pola koping selagi individu masih mempunyai kemampuan dalam menghadapi stressor.

Penelitian ini menyimpulkan pula bahwa sebagian besar orang tua responden dengan tingkat pendidikan rendah, mempunyai pola koping tidak efektif. Hal ini disebabkan karena pengetahuan tentang tumbuh kembang anak yang kurang, dan orang tua tidak mempunyai pengalaman dalam mengatasi stressor psikologis dengan baik. Sedangkan orang tua dengan pendidikan tinggi memiliki pengetahuan yang cukup dalam tumbuh kembang anak,

dan mampu menggunakan pengalaman dalam mengatasi stressor psikologis yang dialami anak. Analisis tersebut membuktikan bahwa tingkat pendidikan yang tinggi dari orang tua berpengaruh terhadap pembentukkan pola koping anak.

Orang tua dengan pendidikan tinggi memiliki ketrampilan yang lebih baik dan lebih bijaksana. Hal ini akan berpengaruh pada pola koping anak, karena orang tua mempunyai kemampuan untuk memberikan pengalaman sukses pada anak dalam pola asuhnya dikehidupan sehari hari.

Responden dengan riwayat pertengkaran dalam keluarga, mempunyai pola koping yang tidak efektif karena anak selalu berada dalam lingkungan yang tidak kondusif untuk tumbuh dan berkembang, di mana anak akan selalu mengalami peningkatan emosi. Peningkatan emosi akan disalurkan secara tidak disadari kepada orang lain dan lingkungan. Bentuk pola koping maladaptif yang dimiliki anak terjadi sebagai akibat dari penyakit yang diderita orang tua seperti merokok, tidak mau berolah raga, tidak menggunakan pengalaman masa lalu yang sukses untuk mengatasi masalah saat ini, tidak melakukan konsultasi kepada ahli atau orang yang berarti untuk mengatasi masalah yang dialami. Hal ini sejalan

(10)

dengan teori yang dikemukakan Hurlock (2001), bahwa pertengkaran merupakan perselisihan pendapat yang mengandung kemarahan. Umumnya pertengkaran dimulai dengan penyerangan yang dilakukan seseorang tanpa alasan, di mana dalam pertengkaran seseorang memainkan peran bertahan. Bila keduanya saling menyerang akan menjadi agresif. Orang tua yang agresif akan memberi contoh pada anak untuk menjadi agresif pula. Hubungan riwayat pertengkaran dengan pola koping, menurut pendapat penulis riwayat pertengkaran akan berpengaruh pada pola koping anak usia sekolah, karena orang tua biasanya akan mempunyai sikap yang keras dan kurang bijaksana dalam memberikan pengasuhan pada keluarga.

SIMPULAN

Stressor psikologik “mengisolasi“ mempunyai hubungan yang bermakna dengan pola koping anak usia sekolah. Sedangkan stressor psikologik; mengusir, memaki, menghina, tidak perduli dan menuntut, tidak ada hubungan yang bermakna dengan pola koping anak usia sekolah. Hal ini menunjukkan bahwa sifat dan kualitas stressor yang kuat seperti mengisolasi adalah pembatasan aktifitas seorang anak untuk berinteraksi dengan kelompok sebayanya di luar rumah.

Kondisi ini dirasakan anak dan sangat mengancam dirinya sehingga dapat menimbulkan ketegangan atau frustrasi. Oleh karena itu, perlu adanya peningkatan kerjasama antara guru dan orang tua anak dalam membentuk suasana yang lebih kondusif sehingga dapat terbentuk hubungan saling percaya dan terbuka dalam mengungkap permasalahan yang ada. Perlu dilakukan deteksi dini terhadap masalah anak usia sekolah melalui peningkatan peran bimbingan dan konseling di sekolah. Perlu diadakan pertemuan rutin antara pihak sekolah dengan orang tua, untuk mendiskusikan permasalah anak baik di lingkungan rumah maupun di sekolah dan dicarikan solusinya. Penyuluhan pada keluarga tentang kebutuhan pada tahap tumbuh kembang anak, mengenal masalah tumbuh kembang, tahapan tumbuh kembang dan melakukan diskusi dalam kelompok terapeutik juga sangat penting untuk memaksimalkan peran orang tua dalam memfasilitasi tumbuh kembang anak. .

DAFTAR RUJUKAN

Barbara Kozier, Glenora Erb .2005. Fundamental of Nursing Consept and procedure , Addison Wesley publishing company inc.

Elizabeth B Hurlock. 2005 Perkembangan Anak . ed 6. Jakarta: Erlangga.

(11)

Friedman, M. M., Bowden, V.R., & Jones, E.G. (2002). Family Nursing :

Research, Theory & Practice. 5th

ed. New Jersey : Pearson Education, Inc..

Handayani, N. (2008) Ibu bekerja dan dampaknya bagi perkembangan anak.

http://anakuya.wordpress.com/200

8/01/29/ibu

bekerja-dampaknya-bagi-perkembangan-anak.

Hurlock, E.B., Developmental Psychology , A Life-Span Approach (5 th ed.) , McGraw-Hill, Inc, 2001.

Lemeshow, S., Holmer, D.W., Klar, J., & Lwanga, S.K. (2002). Besar

Sampel dalam Penelitian

Kesehatan. (Pramono, D., &

Kusnanto, H., Penerjemah). Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.

Townsend, C.M. (2013). Essentials of

Psychiatric Mental Health

Nursing. (3th Ed.). Philadelphia: F.A. Davis Company

Referensi

Dokumen terkait

Dugaan akan terjadinya praktik manajemen laba dengan pola income decreasing membayangi pada saat terjadinya pergantian CEO, dimana adanya penurunan jumlah laba

c) Pemain secara bergiliran menempatkan atau menandai ruang dalam kotak berukuran 3 × 3 dengan simbol yang ditentukan. d) Pemain pertama dapat berupa simbol huruf X,

(2) cara orang tua tunggal melatih anak supaya terampil dan mandiri yaitu yang diperoleh di lapangan berbeda dari cara orang tua lainnya dalam mendidik anaknya

Apabila penggunaan daya untuk motor multipel tidak berjalan pada saluran yang sama, hal tersebut akan terjadi arus bocor untuk mengisi kapasitor diantara konverter frekuensi, pada

broken grade BOP ( Broken Orange Pekoe ) dan BOPF ( Broken Orange Pekoe Fanning ) dengan mutu tinggi, yang mayoritas dijual pada Colombo Tea Auction , biasanya teh

Berkaitan dengan pelayanan kesehatan di rumah sakit maka untuk  timbulnya tanggung jawab pidana dalam pelayanan kesehatan oleh rumah sakit  pertama-tama harus

Uji toksisitas akut oral adalah suatu pengujian untuk mendeteksi efektoksik yang muncul dalam waktu singkat setelah pemberian sediaan uji yangdiberikan secara oral dalam dosis

Diharapkan dengan diberlakukannya Peraturan Pemerintah Nomor 23 tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Keuangan Badan Layanan Umum dan Permendagri Nomor 61 tahun