• Tidak ada hasil yang ditemukan

DELAPAN-HIDROKSI-2 DEOKSIGUANOSIN SERUM SEBAGAI FAKTOR RESIKO ABORTUS IMINENS. dr. Made Darmayasa, Sp.OG(K)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "DELAPAN-HIDROKSI-2 DEOKSIGUANOSIN SERUM SEBAGAI FAKTOR RESIKO ABORTUS IMINENS. dr. Made Darmayasa, Sp.OG(K)"

Copied!
78
0
0

Teks penuh

(1)

1

DELAPAN-HIDROKSI-2’DEOKSIGUANOSIN SERUM

SEBAGAI FAKTOR RESIKO ABORTUS IMINENS

dr. Made Darmayasa, Sp.OG(K)

BAGIAN/SMF OBSTETRI DAN GINEKOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA

RSUP SANGLAH DENPASAR

2013

(2)

2

RINGKASAN

Abortus merupakan salah satu komplikasi kehamilan yang sering dijumpai, yang dapat menimbulkan morbiditas dan mortalitas pada seorang wanita. Lebih dari 80% abortus terjadi pada umur kehamilan kurang dari 12 minggu dan setelah itu angka ini cepat menurun. Abortus iminens merupakan suatu ancaman keguguran yang dapat berlanjut menjadi abortus komplit maupun inkomplit, ataupun masih terus dapat dipertahankan sampai aterm.

Mekanisme pasti yang menjadi penyebab abortus belum dipahami secara jelas, banyak faktor yang diperkirakan sebagai faktor peyebab. Salah satu faktor resiko yang diperkirakan menjadi penyebab abortus adalah radikal bebas yang berlebihan yang tidak mampu diimbangi antioksidan yang ada didalam tubuh sehingga menimbulkan kondisi yang disebut dengan stress oksidatif. Peningkatan stress oksidatif dapat menjadi penanda serangan radikal bebas pada molekul fisiologi yang penting seperti lipid, protein termasuk enzim dan deoxyribonucleic

acid (DNA).

Salah satu biomarker penting yang sering digunakan sebagai penanda kerusakan DNA adalah suatu basa nukleotida yang disebut

8-hidroksi-2’deoksiguanosin (8-OHdG). Atas dasar itulah ingin diketahui apakah terdapat

peningkatan kadar serum 8-OHdG pada wanita yang mengalami abortus iminens. Adapun hipotesis dari penelitian ini adalah 8-OHdG serum merupakan faktor resiko terjadinya abortus iminens. Rancangan penelitian ini adalah suatu

case-control, dimana penelitian dilaksanakan di ruang bersalin IRD, poliklinik

kebidanan dan penyakit kandungan RSUP Sanglah Denpasar sejak Januari 2012 sampai jumlah sampel terpenuhi.

Hasilnya sebanyak 68 orang sampel yang terdiri dari 34 orang kelompok kasus abortus iminens dan 34 orang lainnya kelompok kontrol ( kehamilan normal dengan umur kehamilan kurang dari 12 minggu). Dilihat dari karakteristik subyek penelitian dengan uji t-independent dengan nilai p<0,05 pada ketiga variabel disimpulkan tidak terdapat perbedaan rerata umur, paritas dan umur kehamilan pada kelompok kasus dan kontrol. Rerata kadar 8-OHdG pada kelompok kasus

(3)

3

adalah 0,16 ng/ml dan rerata kadar 8-OHdG pada kelompok kontrol adalah 0,13 ng/ml dengan nilai p<0,05 yang berarti terdapat perbedaan yang bermakna. Nilai

cut of point kadar 8-OHdG berdasarkan kurva ROC adalah 0,131 ng/ml dengan

nilai sensitivitas 82,4% dan nilai spesifisitas 55,9%. Nilai odd ratio didapatkan 5,9, IK 95%= 1,95-17,97, p=0,001 yang berarti kadar 8-OHdG yang tinggi merupakan faktor resiko terjadinya abortus iminens sebesar 6 kali.

(4)

4 ABSTRAK

DELAPAN-HIDROKSI-2’DEOKSIGUANOSIN SERUM SEBAGAI FAKTOR RESIKO ABORTUS IMINENS

Abortus iminens adalah perdarahan pervaginam yang berasal dari uterus pada umur kehamilan dibawah 20 minggu tanpa adanya pembukaan serviks dimana hasil konsepsi masih didalam uterus yang dibuktikan dengan ultrasonografi dan tes kehamilan positif. Insidennya kurang lebih 25% pada wanita hamil muda. Abortus iminens dapat bertahan sampai hamil aterm atau berlanjut menjadi abortus spontan baik komplit maupun inkomplit, dimana abortus inkomplit memerlukan tindakan kuretase untuk membersihkan sisa jaringan hasil konsepsi. Tindakan kuretase memiliki resiko berupa perdarahan, infeksi, sepsis sampai dengan kematian, dan dalam jangka panjang dapat menimbulkan masalah infertilitas. Terjadinya abortus dapat berulang dan disebut abortus habitualis apabila kejadiannya lebih dari tiga kali. Penyebab pasti abortus iminens tidak selalu jelas, ada beberapa faktor yang diduga berperanan, salah satunya adalah peranan radikal bebas yang menimbulkan stress oksidatif pada awal kehamilan, yang dapat menimbulkan kerusakan protein, lipid dan DNA pada sel-sel desidua basalis, sitotrofoblast maupun sinsitiotrofoblast yang berpengaruh pada fase organogenesis plasenta janin. Delapan-hidroksi 2’Deoksiguanosin (8-OHdG) dapat dipakai untuk menilai kerusakan DNA. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui 8-OHdG serum sebagai faktor resiko abortus iminens.

Desain pada penelitian ini berupa studi kasus kontrol yang melibatkan 68 orang wanita yang dikelompokkan menjadi 34 orang kasus abortus iminens dan 34 orang wanita hamil muda sebagai kontrol yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi yang datang ke Rumah Sakit Umum Sanglah Denpasar. Dilakukan pemeriksaan serum darah untuk mengetahui kadar 8-OHdG pada kedua kelompok dengan metode Elisa.

Berdasarkan uji independent test-t diperoleh hasil dimana tidak terdapat perbedaan bermakna dalam hal umur ibu, umur kehamilan dan paritas antara

(5)

5

kelompok kasus abortus iminens dan kelompok kontrol yaitu hamil muda (p<0,05). Terdapat perbedaan (p<0,05) yang secara signifikan bermakna antara kadar serum 8-OHdG pada abortus iminens (0,16+0,06) µg/ml dan hamil muda normal (0,13+0,06) µg/ml. Dengan uji Chi-Square diperoleh nilai rasio odds (RO=6,00;IK95%=1,95-17,97,p=0,001). Berdasarkan kurva ROC diperoleh nilai

cut off point kadar 8-OHdG adalah sebesar 0,131µg/ml. Pada hamil muda dengan

kadar 8-OhdG > 0,131 µg/ml beresiko 6 kali untuk terjadi abortus iminens.

(6)

6 ABSTRACT

SERUM EIGHT-HIDROKSI-2’DEOKSIGUANOSIN AS RISK FACTOR IN THREATENED ABORTION

Threatened abortion was vaginal bleeding from uterus prior to 20 weeks gestation without evidence of cervix opening, conception was still intrauterine proved by ultrasound with a positive pregnancy test. The prevalence rate of threatened abortion about 25% in early pregnancy. Threatened abortion could be continued until aterm pregnancy or half of continued became spontaneous abortion for example complete abortion, incomplete abortion. As we knew that incomplete abortion need curettage to clear waste conception. The risk of curettage were bleeding, infection until sepsis and death, in long range could made infertility problem. Abortion could recurrent and we called habitualis abortion if it happened more than three times. The cause of threatened abortion still unclear but one of the predict cause was oxidative stress. Oxidative stress state could cause damage of protein, lipid and DNA decidua basalis, sitotrofoblast and sinsitiotrofoblast cells, which have a role in organogenesis phase of fetal placenta. One of the most important biomarker that used to assess DNA damage was 8-hydroxy-2’deoksiguanosin (8-OHdG). The purpose of this reaserch was to investigate serum 8-OHdG as risk factor in threatened abortion.

This was a case control study involving 68 women which divided in to two groups, 34 womens with threatened abortion as case and the other 34 womens were normal pregnancy as the control group, who fulfill the inclusion and exclusion criteria that came to Sanglah General Hospital Denpasar. Blood serum was checked to determine the level of 8-OHdG in both group with Elisa method. Based on the independent t-test, we found no significant difference in maternal age, gestational age, and parity between case and control group (p<0,05). There is significant difference (p<0,05) of serum 8-OHdG level in threatened abortion (0,16+0,06) µg/ml and normal pregnancy (0,13+0,06) µg/ml. By Chi-square we found odd ratio level (OR=6,00; CI 95%=1,95-17,97, p=0,001). By ROC curve we found the cut off point level 8-OHdG is 0,131 µg/ml.

(7)

7

It is concluded that serum 8-OHdG level ≥ 0,131µg/ml in women with early pregnancy had 6 times higher risk to become threatened abortion.

(8)

8 BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Abortus merupakan salah satu komplikasi kehamilan yang sering dijumpai dimana dapat menimbulkan morbiditas maupun morlatilitas pada seorang wanita. Diperkirakan oleh World Health Organization (WHO) di dunia 20-25% dari seluruh wanita hamil ditemukan gejala perdarahan atau ancaman abortus iminens (threatened abortion) pada trimester pertama dan 50% diantaranya akan berakhir dengan abortus. Lebih dari 80% abortus terjadi pada umur kehamilan kurang dari 12 minggu dan setelah itu angka ini cepat menurun. Angka abortus akan meningkat sesuai dengan umur contohnya penelitian di Amerika utara menunjukkan 15 % pada wanita kurang dari 25 tahun dan 35 % pada wanita lebih dari 38 tahun. Abortus iminens sebagian berlanjut menjadi kehamilan aterm dan sebagian lagi dapat menjadi abortus spontan baik komplit maupun inkomplit, dimana abortus inkomplit memerlukan suatu tindakan kuretase untuk membersihkan sisa jaringan konsepsi. Tindakan kuretase memiliki resiko komplikasi berupa perdarahan, infeksi, sepsis sampai dengan kematian dan dalam jangka panjang dapat menimbulkan infertilitas. Terjadinya abortus dapat berulang dan apabila berlangsung lebih dari tiga kali yang disebut abortus habitualis. Hal ini tentu saja akan menimbulkan kekecewaan dan trauma mendalam pada pasangan yang mendambakan kehadiran seorang anak. (Morikawa, 2004, Cunningham, 2006, Gupta, 2009).

(9)

9

Mekanisme pasti yang menjadi penyebab abortus belum dipahami secara jelas, banyak faktor yang diperkirakan sebagai faktor penyebab. Faktor tersebut antara lain : 1. Faktor fisiologi dan mekanisme biologi yang meliputi : faktor resiko genetik (kelainan kromosom), faktor resiko kelainan anatomi uterus seperti uterus bikornu, didelfis, septa, jaringan parut, mioma uteri dan inkompetensia serviks, faktor resiko kelainan endokrin, faktor resiko kelainan imunologi dan thrombofilia. 2. Faktor resiko exogenous seperti bahan kimia misalnya gas anestesi (nitrous oxide), minum air yang terkontaminasi seperti chlorine (Gracia, 2005)

Saat ini salah satu faktor resiko yang diperkirakan menjadi penyebab abortus adalah faktor radikal bebas yang berlebihan yang tidak mampu diimbangi antioksidan didalam tubuh sehingga menimbulkan kondisi yang disebut stress oksidatif. Terjadinya stress oksidatif yang berlebihan di plasenta, pada kehamilan 8 sampai 10 minggu dapat merupakan pathogenesis terjadinya kegagalan plasentasi yang mendasari terjadinya abortus dan preeklampsia (Eric Jauniaux, dkk., 2003)

Pada sistem reproduksi wanita oksidan dan antioksidan mempunyai peran fisiologi selama folikulogenesis, maturasi oosit, regresi luteal dan fertilisasi. Sebagai contohnya adalah peningkatan marker kerusakan oksidatif DNA, 8-hidroksi-2’-deoksiguanosin pada sel granulosa dan cumulus oophorus cells, berhubungan dengan rendahnya kemampuan fertilisasi oosit, kualitas embrio yang rendah dan mengurangi kesuksesan implantasi. Disebutkan juga bahwa 8-hidroksi-2’-deoksiguanosin ini tidak hanya sebagai marker stress oksidatif dalam

(10)

10

sel granulosa selama proses ovulasi sehingga mempengaruhi fertilisasi tetapi juga mempengaruhi pertumbuhan embrio (Agarwal, et al., 2006).

Peranan radikal bebas pada keadaan stress oksidatif dalam pathogenesis terjadinya abortus telah disadari, dimana peningkatan oksigen reaktif akan menyebabkan gangguan plasentasi (Eric Jauniaux, 2006)

Ekspresi yang berbeda dari antioksidan menunjukkan eksistensi stress oksidatif selama perubahan siklus endometrium. Estrogen-progesterone

withdrawal memulai peningkatan ekspresi COX-2 mRNA dan peningkatan

sintesis prostaglandin F2α didalam sel endometrium yang ditunjukkan pada media kultur in vitro. Efek ini diperkirakan menimbulkan reaktif oksigen spesies dengan mengaktivasi nuclear factor kappa B (NFkB). Disebutkan juga produksi F2α di dalam endometrium distimulasi oleh reaktif oksigen spesies melalui cyclooxygenase (COX) pada sel stroma endometrium manusia. Kadar PGF2α maksimal pada saat menstruasi dan bertanggung jawab pada pelepasan dinding endometrium. Terdapat hipotesis yang menyebutkan ada interaksi yang kuat antara superoksid dismutase, reaktif oksigen spesies dan prostaglandin F2α yang menimbulkan pelepasan endometrium pada saat menstruasi. Hal ini juga yang menjadi dasar bagaimana pengaruh radikal bebas dalam menimbulkan stress oksidatif yang tidak mampu diimbangi oleh antioksidan tubuh, kemudian menimbulkan kerusakan sel sel sitotrofoblas dan sinsitiotrofoblas pada awal kehamilan yang berakhir menjadi keguguran (Gupta, dkk., 2009)

Radikal bebas utama yang berperan pada stress oksidatif antara lain radikal superoksid (O2-), hydrogen peroksida (H2O2), hidroksil radikal (OH-) dan

(11)

11

radikal oksigen tunggal. Antioksidan yang berperan sebagai mekanisme pertahanan tubuh dibedakan menjadi antioksidan non enzimatik seperti vitamin C, vitamin A, vitamin E, piruvat, taurine, hypotaurine dan glutathione dimana antioksidan ini lebih berperan melawan reaktif oksigen spesies yang bersumber dari luar. Antioksidan enzimatik antara lain superoksid dismutase, catalase, glutathione peroksidase dan glutaredoksin. Antioksidan seperti superoksid dismutase terletak didalam sitoplasma (Cu, Zn-SOD) , mitokondria (Mn-SOD) dan sel - sel glandular endometrial. Antioksidan non enzimatik seperti vitamin C dan E terdapat di ovarium sementara karoten dan asam askorbat terdapat pada cairan folikel (Gupta, dkk.,2009).

Beberapa biomarker stress oksidatif telah diselidiki diantaranya superoksid dismutase, glutathione peroksidase, catalase, conjugated dienes, lipid peroksidase, asam thiobarbiturik, glutaredoksin, oksidatif DNA adducts, nitrit oksidase dan kapasitas total antioksidan. Pemeriksaan ELISA dipergunakan untuk mengukur konsentrasi SOD, Catalase, GPX didalam sel folikel dan sel granulosa media kultur. Biomarker stress oksidatif ditemukan pada plasenta dengan mempergunakan pemeriksaan imunohistokimia atau analisa western blot. Oksidatif DNA produk yaitu 8-hidroksi-2’deoksiguanosin dapat dipelajari dengan immunostaining di dalam kumulus/mural sel granulose, desidua basalis, sel sitotrofoblast dan sinsitiotrofoblast (Gupta, dkk.,2009)

Peningkatan stress oksidatif dapat menjadi petanda serangan radikal bebas pada molekul fisiologi yang penting seperti lipid, protein termasuk enzim dan deoxyribonucleic acid (DNA). Salah satu biomarker yang paling sering digunakan

(12)

12

untuk menandai kerusakan DNA yaitu 8-hidroksi-2’deoksiguanosin (8-OHdG) (Wiktor, dkk., 2004)

Atas dasar itulah ingin diketahui apakah terdapat peningkatan kadar serum

8-OHdG pada wanita yang mengalami abortus iminens.

1.2. Rumusan Masalah

Delapan-hidroksi-2’deoksiguanosin serum merupakan faktor resiko terjadinya

abortus iminens. 1.3. Tujuan penelitian

1.3.1. Tujuan umum

Untuk mengetahui resiko terjadinya abortus iminens pada peningkatan kadar serum 8-hidroksi-2’deoksiguanosin.

1.4. Manfaat Penelitian

1.4.1. Manfaat akademis

1. Menjelaskan kadar 8-hidroksi-2’deoksiguanosin pada abortus iminens 2. Sebagai data penunjang dalam patogenesis penyebab abortus iminens. 1.4.2 Manfaat praktis

Bila pada penelitian ini memang terbukti kadar 8-OhdG tinggi dibandingkan hamil muda dengan umur kehamilan < 12 minggu maka 8-OHdG dapat dipakai sebagai marker kerusakan DNA pada abortus iminens sehingga dapat dilakukan deteksi dini dan dipertimbangkan pemberian suatu antioksidan pada awal kehamilan.

(13)

13 BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1. Abortus Iminens

2.1.1. Definisi abortus iminens

Abortus iminens juga dikenal sebagai threatened abortion, termasuk kedalam abortus spontan, didefinisikan sebagai perdarahan yang berasal dari uterus pada umur kehamilan dibawah 20 minggu disertai sakit perut atau tidak sama sekali, uterus membesar sesuai umur kehamilan, tanpa adanya pembukaan serviks, dimana hasil konsepsi masih didalam uterus yang dibuktikan dengan USG dengan tes kehamilan yang masih positif (Cunningham, dkk., 2006).

Perdarahan bisa terlihat dari ostium uteri dan tidak terdapat nyeri goyang atau nyeri adneksa. Mula–mula perdarahan berasal dari desidua basalis kemudian diikuti oleh nekrosis jaringan sekitar. Hal tersebut menyebabkan hasil konsepsi terlepas sebagian atau seluruhnya sehingga merupakan benda asing dalam uterus, menyebabkan uterus berkontraksi untuk mengeluarkan isinya.

Abortus iminens merupakan komplikasi paling umum pada kehamilan muda sekitar 15-20% pada kehamilan yang sebelumnya viable atau hidup yang telah dibuktikan dengan hasil USG. Wanita dengan perdarahan pada awal kehamilan disarankan untuk melakukan pemeriksaan ultrasonografi untuk mengkonfirmasi apakah kehamilan tersebut berlokasi intra uteri ataukah diluar kavum uteri (Gamal, 2007)

(14)

14 2.1.2. Insiden abortus iminens

Perdarahan pervaginam berupa perdarahan bercak sangat umum terjadi pada wanita hamil muda kurang dari 20 minggu yaitu sekitar 25 % dan insidennya bervariasi tergantung ketentuan yang digunakan untuk mengidentifikasi abortus iminen. Perdarahan yang banyak dan nyeri perut yang menyertai abortus iminen sangat jarang terjadi. Sering perdarahan itu berupa flek dan berhenti sendiri, mungkin karena pengaruh implantasi trofoblas pada desidua endometrium. Sekitar setengah dari wanita yang mengalami abortus iminens mengalami abortus spontan dan sisanya terus bertahan sampai viabel. Abortus iminens sering terjadi pada 8 minggu pertama kehamilan yaitu sekitar 75% dan setelah itu kejadiannya mulai menurun. Hampir 15% dari seluruh kehamilan mengalami abortus iminens dan 16-18% berkembang menjadi keguguran tergantung jumlah perdarahan yang terjadi (Gracia, dkk., 2005).

2.1.3. Penyebab terjadinya abortus iminens

Meskipun mekanisme pasti yang menjadi penyebab abortus tidak selalu jelas namun perdarahan pada trimester pertama dengan atau tanpa hematom subkorionik berhubungan dengan reaksi inflamasi kronik pada desidua yang menyebabkan uterus berkontraksi. Untuk diketahui dua pertiga abortus terjadi akibat kelainan pada plasenta terutama akibat kegagalan invasi sitotrofoblas pada lumen arteri spiralis. Adanya perdarahan subkorionik pada abortus iminens berhubungan dengan insiden abortus spontan. Abortus iminens dipertimbangkan sebagai bagian yang terpisah dari abortus lainnya karena berasal dari perdarahan

(15)

15

lokal pada bagian perifer dari plasenta yang sedang terbentuk. Perdarahan ini terjadi pada saat pembentukan membran dan dapat menyebabkan abortus komplit bila hematom meluas kebagian plasenta yang definitive (Cunningham, 2006). Abortus iminens mengalami perbaikan dan menjadi kehamilan normal sampai trimester tiga atau malahan berlanjut menjadi abortus insipien, abortus inkomplit dan abortus komplit. Perdarahan pervaginam yang berat sangatlah jarang terjadi tetapi perdarahan berupa spoting akan sembuh dengan sendirinya.

Faktor penyebab abortus iminens adalah sebagai berikut:(Cunningham, 2006 ) 1. Faktor embrio, biasanya akibat kelainan kromosom hampir 75% terjadi

abortus selama trimester pertama.

2. Faktor ibu seperti hipertensi, penyakit ginjal, diabetes mellitus, penyakit infeksi akut, trauma dan kelainan sistem reproduksi, mioma uteri, dan kelainan uterus.

3. Kelainan plasentasi.

Peran reaksi oksidatif pada plasenta akan mengalami kelainan dari plasenta itu sendiri. Sekarang terdapat bukti yang jelas bahwa abortus merupakan kelainan plasentasi. Pada dua pertiga kasus abortus, terdapat bukti anatomis adanya defek pada plasentasi yang memiliki karakteristik lapisan pelindung trofoblas yang lebih tipis maupun berfragmentasi, invasi endometrium oleh trofoblas yang menurun dan sumbatan ujung arteri spiralis yang tidak sempurna. Hal ini berhubungan dengan tidak adanya perubahan fisiologis pada sebagian besar arteri spiralis dan menyebabkan onset prematur dari sirkulasi maternal pada seluruh plasenta.

(16)

16

Oksigen dalam plasenta janin stadium awal sangat rendah dan meningkat ketika mendapatkan aliran darah dari ibu. Metabolisme aerobik sangat berhubungan dengan pembentukan spesies oksigen reaktif dan kecepatan pembentukannya sebanding dengan kadar oksigen. Reaksi oksidatif memiliki potensial yang sangat berbahaya sehingga sistem pertahanan tubuh yang kompleks telah dibentuk untuk mengatasi ini. Bila konsentrasi oksigen berfluktuasi terlalu cepat atau meningkat terlalu tinggi maka akan melampaui pertahanan antioksidan seluler sehingga menimbulkan stress oksidatif. Pada kondisi seperti ini, kerusakan pada protein, lemak dan DNA mengganggu fungsi seluler, bahkan mengakibatkan kematian sel. Sebelumnya telah ditemukan lapisan sinsitiotrofoblas pada awal pembentukan plasenta sangat sensitif terhadap peningkatan kadar oksigen in vitro, sehingga mengalami degenerasi selektif. Kemudian dicari bukti stres oksidatif pada trofoblas yang berhubungan dengan perubahan sirkulasi maternal pada plasenta in vivo. Hal tersebut dicapai dengan memonitor secara immunohistokimia ekspresi dari Heat Shock Protein (Hsp70i) yang merupakan marker stres oksidatif pada sistem yang lain, dan pembentukan residu nitrotirosin pada berbagai fase kehamilan (Adrian, dkk., 2000).

2.2. Stress Oksidatif Pada Abortus Iminens

2.2.1. Stress oksidatif

Radikal bebas adalah setiap unsur yang mempunyai satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan diorbit paling luarnya. Radikal bebas ini dapat bermuatan positif, negatif atau netral. Unsur radikal dapat merupakan bagian dari struktur yang lebih besar dan immobile, namun dapat juga merupakan unsur berukuran

(17)

17

kecil yang dapat berdifusi, dikenal sebagai radikal bebas. Radikal bebas merupakan molekul reaktif dengan elektron tanpa pasangan dan diproduksi terus menerus dalam sel, baik disengaja maupun tidak sebagai produk sampingan dari metabolisme. Radikal bebas mempunyai dua sifat penting : 1) bersifat sangat reaktif dan cenderung bereaksi dengan molekul lain untuk mencari pasangan elektronnya sehingga menjadi bentuk yang lebih stabil. 2) dapat mengubah molekul menjadi radikal. Radikal bebas mirip dengan oksidan dalam sifatnya sebagai penerima elektron (menarik elektron). Radikal bebas lebih berbahaya daripada oksidan oleh karena reaktifitas yang tinggi dan kecendrungannya membentuk radikal bebas yang baru. Pada gilirannya apabila radikal bebas berjumpa dengan molekul lain akan membentuk radikal bebas yang baru lagi, dan demikian seterusnya sehingga terjadi reaksi rantai.

Molekul oksigen reaktif termasuk radikal bebas, pada keadaan yang normal dibentuk secara kontinyu sebagai hasil sampingan proses metabolisme seluler. Proses metabolisme yang merupakan sumber radikal bebas: (Manfred, 2000) 1. Reaksi fosforilase oksidatif pada pembentukan ATP di mitokondria. Secara

normal dalam reaksi ini 1-5% oksigen keluar dari jalur ini dan mengalami reduksi univalent. Reduksi satu elektron dari molekul oksigen ini akan membentuk radikal superoksida, yang harus didetoksifikasi oleh mekanisme proteksi biokimia endogen untuk mencegah kerusakan sel.

2. Beberapa jenis enzim oksidase, misalnya xantin oksidase dan aldehid

(18)

18

3. Metabolisme asam arakhidonat oleh enzim siklooksigenase untuk membentuk prostaglandin dan oleh enzim lipooksigenase untuk membentuk leukotrien menyebabkan pembentukan zat-zat antara berbentuk peroksi maupun radikal hidroksi.

4. Sistem oksidase NADPH-dependen dipermukaan membran neutrofil adalah sumber pembentukan radikal superoksida yang sangat efisien. Enzim ini lebih banyak bersifat dorman namun jika teraktivasi misalnya oleh bakteri, mitogen dan sitokin enzim ini akan mengkatalisis reaksi reduksi mendadak oleh oksigen menjadi hidrogen peroksida dan O2-.

5. Sel yang mengandung peroksisim, organela yang mengoksidasi asam lemak akan memproduksi H2O2.

Gambar 2.1. Fisiologi pembentukan dan katalisasi radikal bebas

(Andrian, dkk., 2000) Electron Transport chain Mn SOD Cytoplasm a Mitochondr ia Cytochrome P450 O2 + e -Superoxi de Cu/Zn SOD Hydroge n peroxide H2O + O2 O2 + e -Superoxid e Hydrogen peroxide GPX CAT H2O + O2 N O NO Peroxynitr ite Hydroxy l radical GPX CAT

(19)

19

Radikal bebas oksigen diproduksi melalui bocoran elektron dari rantai electron transport di dalam mitokondria dan retikulm endoplasma dalam bentuk molekul oksigen. Superoksid anion umumnya tidak secara bebas berdifusi pada membran sel dan harus bergabung dengan Cu/Zn atau Mn SOD. Meskipun H2O2

bukan radikal bebas tetapi dapat bereaksi dengan O2- menjadi bentuk reaktif

radikal hidroksil yang ekstrem. Catalase dan GPX harus dioperasikan secara bersama dengan SOD untuk menjaga konsentrasinya tetap dalam kondisi fisiologi. Oksigen dapat bereaksi dengan nitrit oksida (NO) yang menghasilkan

peroksinitrit (ONOO-) yang kemudian akan dioksidasi menjadi nitrat (NO3-).

Nitric oxide merupakan suatu endothelium derived relaxing factor (EDRF), suatu

zat yang menyebabkan vasodilatasi sebagai respon terhadap asetilkolin.

Peroksinitrit ini sangat toksik dan menyebabkan kerusakan oksidatif pada protein,

(20)

20

Gambar 2.2. Induksi Apoptosis oleh ROS dan NOS (Gupta, 2010)

Radikal bebas dapat diklasifikasikan menjadi reaktif oksigen spesies dan reaktif nitrogen spesies. Reaktif oksigen spesies bentuk utamanya seperti radikal superoksid, hydrogen peroksida (H2O2), singlet oksigen (O-), dan radikal hidroksil

(OH-). Reaktif nitrogen spesief bentuk utamanya seperti peroksinitrit dan nitrit oksid yang dihasikan selama hipoksia dan menyebabkan cedera reperfusi sel. Radikal bebas dihasilkan selama proses fisiologi normal, namun pelepasannya meningkat pada keadaan iskemia dan reperfusi. Selain sumber endogen, sumber eksogen pembentukan radikal bebas adalah radiasi, ionisasi, merokok, dan polusi udara. Radikal bebas dapat merusak semua komponen biokimia sel. Protein dan asam nukleat adalah target utama yang paling penting. Karena sangat reaktif radikal bebas umumnya bereaksi dengan struktur pertama yang dijumpai, yang

(21)

21

paling sering adalah komponen lipid membran sel atau organela (Biri, dkk., 2006, Gupta, 2007).

Kalau radikal bebas dan oksidan adalah penerima elektron maka antioksidan secara kimia adalah senyawa yang mampu memberikan elektron. Dalam arti biologis antioksidan mempunyai pengertian yang luas yaitu semua senyawa yang dapat meredam dampak negatif oksidan, termasuk enzim-enzim dan protein pengikat logam. Dalam meredam dampak negatif dari oksidan dilakukan dengan dua cara yaitu : 1) mencegah terjadinya dan tertimbunnya senyawa oksidan secara berlebihan, 2) mencegah terjadinya reaksi rantai yang berkelanjutan. Bertitik tolak pada dua cara kerjanya tersebut, antioksidan digolongkan menjadi antioksidan pencegah dan antioksidan pemutus reaksi rantai (Kohen dan Nyska, 2002).

1. Mekanisme antioksidan enzimatik

a. Sitokrom oksidase pada mitokondria, mengkonsumsi hampir seluruh oksigen yang terdapat dalam sel, sehingga mencegah 95% hingga 99% molekul oksigen dari pembentukan metabolit toksik.

b. SOD mengkatalisa dismutase radikal bebas O2- menjadi hidrogen

peroksida dan molekul oksigen, sehingga tidak tersedia O2- yang dapat

bereaksi dengan hidrogen peroksida untuk membentuk radikal hidroksil. c. Enzim katalase, mengkatalisa perubahan hidrogen peroksida yang toksik

menjadi H2O, sehingga mencegah pembentukan sekunder zat antara yang

(22)

22

d. Glutation peroksidase, bekerja mengoksidasi glutation menjadi glutation

disulfida dan pada saat yang bersamaan karena adanya reaksi redoks,

terjadi perubahan hidroperoksida menjadi H2O dan alkohol.

e. Superoksid dismutase merupakan enzim antioksidan pencegah, yang merupakan suatu antioksidan metalloenzim. SOD adalah enzim antioksidan intraseluler utama yang dapat digunakan untuk menetralisir aktifitas O2-. Secara umum semua SOD, ion metal (M) mengkatalisa

dismutasi O2- melalui mekanisme oksidasi reduksi sebagai dibawah:

M3+ + O2-  M2+ + O2

M2+ + O2- + 2H+  M3+ + H2O2

f. Superoksid dismutase menetralisir O2- menjadi oksigen dan hidrogen

peroksida (H2O2). Selanjutnya H2O2 diubah menjadi molekul air (H2O)

oleh enzim katalase dan peroksidase. Peroksidase yang penting dalam tubuh yang dapat meredam dampak negatif H2O2 adalah glutation

peroksidase.

g. 2O2- + 2H+ O2 + H2O2 (oleh superoksid dismutase)

h. 2H2O2 2H2O + O2 (oleh katalase)

i. 2GSH + H2O2 GSSG + 2H2O (oleh glutation peroksidase)

Kerusakan sel dipicu oleh reaktif oksigen spesies (ROS). Bisa juga berupa radikal bebas anion reaktif dari atom oksigen (O2-), atau molekul yang

mengandung atom oksigen yang dapat memproduksi radikal bebas atau yang diaktifkan oleh radikal berupa radikal hidroksil, superoksida, hidroksi peroksida dan peroksinitrit. Sumber utama reaksi oksidatif berasal dari pernapasan aerob

(23)

23

walaupun bisa juga diproduksi melalui peroksisomal β-oksidasi asam lemak, komponen metabolik sitokrom P450. Dalam kondisi normal, oksidasi reaktif

dikeluarkan dari sel atas kerja superoksid dismutase (SOD), katalase atau

glutation peroksidase. Kerusakan utama pada sel terjadi akibat perubahan makro

molekul seperti asam lemak pada membrane lipid, protein esensial dan DNA (Sharma dan Argawal, 2004).

2. Mekanisme antioksidan non enzimatik.

Antioksidan non enzimatik ada yang larut dalam lemak dan yang larut dalam air. Beta karoten dan vitamin E adalah antioksidan yang larut dalam lemak sedangkan asam askorbat, asam urat dan glutation larut dalam air. Antioksidan nonenzimatik bekerja langsung berikatan dengan radikal bebas sehingga mengurangi reaktifitasnya.

Sebenarnya dalam keadaan normal, sistem pertahanan tubuh sudah mampu meredam radikal atau oksidan yang timbul dengan memproduksi antioksidan dalam jumlah yang memadai. Tetapi apabila keseimbangan tersebut terganggu karena oksidan atau radikal bebas diproduksi dalam jumlah yang melebihi kemampuan tubuh untuk memproduksi antioksidan maka akan terjadi suatu keadaan yang disebut sebagai stres oksidatif yang selanjutnya akan diikuti kerusakan jaringan (Hung, 2010).

2.2.2. Abortus iminens sebagai keadaan stress oksidatif

Pada fase organogenesis, plasenta janin membatasi pemberian oksigen terhadap fetus sehingga pada awal perkembangannya, fetus berada dalam lingkungan

(24)

24

rendah oksigen. Sebagian besar oksigen yang digunakan dalam oksidasi molekul organik dalam diet akan diubah menjadi air melalui kerja enzim dalam proses respirasi. Sekitar 1-5% dari oksigen yang digunakan tidak melalui proses ini dan diubah menjadi radikal bebas oksigen yang sangat reaktif Oxygen Free Radicals (OFRs) dan spesies oksigen reaktif lainnya (ROS) dengan kecepatan yang dipengaruhi kadar oksigen yang tersedia. Ketika produksi OFRs melebihi perlindungan seluler yang alami, kerusakan terhadap protein, lipid dan DNA dapat terjadi (Adrian, dkk.,2000).

Salah satu kunci sukses kehamilan adalah terjadinya pertukaran darah feto-maternal yang adekuat. Perbandingan antara gambaran morfologi dengan data fisiologis menunjukkan bahwa struktur kantong gestasi pada trimester pertama di desain untuk membatasi pemaparan fetus terhadap oksigen yang sangat vital bagi pertumbuhan fetus (Adrian, dkk., 2000).

(25)

25

Gambar 2.3. Ekspresi antioksidan di dalam plasenta (Davis, 2010)

Superoksid dismutase (SOD) 1,2,3 diekspresikan di dalam sel sitotrofoblas, bersama dengan thioredoxin (TXN). Pada saat umur kehamilan aterm, SOD 1 terdapat dalam miometrium, seperti halnya pada sinsitiotrofoblas dan desidua. Ekspresi SOD 2 sama dengan SOD 1 kecuali lebih tinggi dapat diobservasi didalam fetal villous endotelium. Ekspresi tidak dipengaruhi oleh proses persalinan. Ekspresi SOD 3 intrasel terdapat pada villous trofoblas trimester pertama tetapi menghilang pindah lokasi ke matriks ekstraselular didalam villi setelah 17 minggu. Sejak ekspresi SOD meningkatkan bioavailabilitas dan angiogenik sinyal dari nitrit oksid, kemungkinan ekspresi SOD 3 intraseluler penting pada perkembangan awal pembuluh darah plasenta. Ekspresi TXN didalam trofoblas meningkat pada wanita yang mengalami preeklamsia.

(26)

26

Metabolisme catalase (CAT) O2- menjadi H2O2 dan ditemukan di dalam

trofoblas dengan peningkatan imunolabel intensitas sebagai perkembangan kehamilan (Davis, 2010).

Plasentasi terjadi akibat infiltrasi difus pada endometrium dan sepertiga miometrium oleh sel trofoblas ekstravilli. Plasenta manusia digolongkan sebagai tipe hemokorial dengan trofoblas fetus direndam oleh darah ibu. Sebelumnya diperkirakan sirkulasi plasenta intervillous dibentuk setelah satu minggu implantasi. Hal tersebut menunjukkan bahwa selama trimester pertama, rongga intervilli plasenta yang sedang berkembang dipisahkan dari sirkulasi uterus oleh sel-sel trofoblas yang menutupi arteri uteroplasenta (arteri spiralis). Pada akhir trimester pertama sel-sel trofoblas ini hilang dan mengakibatkan darah ibu mengalir secara bebas ke ruang intervilli. Sel-sel embrio dan plasenta sangat sensitif terhadap stres oksidatif karena berada dalam tahap pembelahan sel yang cepat sehingga meningkatkan risiko pemaparan OFRs pada sel DNA. Sel-sel

sinsitiotrofoblas pada plasenta sangat sensitif, tidak hanya karena merupakan

lapisan sel terluar dari hasil konseptus yang terpapar lingkungan dengan konsentrasi oksigen yang sangat tinggi. Namun karena ternyata sel-sel tersebut memiliki kadar enzim antioksidan yang sangat rendah pada awal kehamilan. Sehingga dapat dihubungkan antara kehamilan dengan gangguan metabolisme maternal seperti diabetes mellitus yang diasosiasikan dengan peningkatan produksi OFRs, dengan peningkatan insiden abortus, vaskulopati dan kelainan struktural pada fetus, yang menunjukkan bahwa hasil konseptus mamalia dapat mengalami kerusakan yang irreversibel akibat stres oksidatif. Jadi suplai makanan

(27)

27

untuk embrio selama trimester satu melalui kelenjar endometrium yang langsung disekresi pada ruang intervili plasenta. Pada akhir trimester pertama, sumbatan trofoblastik pada arteri spiralis dibuka secara bertahap, sehingga meningkatkan aliran darah maternal kedalam ruang intervillier secara bertahap pula. Selama fase transisi pada umur kehamilan 10-14 minggu, dua pertiga dari plasenta primitif yang sudah terbentuk akan menghilang, kavitas eksokoelomik hilang akibat pertumbuhan kantong amnion dan aliran darah maternal meningkat secara bertahap pada seluruh bagian plasenta. Perubahan tersebut memungkinkan darah maternal untuk mendekati jaringan fetus sehingga terjadi pertukaran nutrien dan gas antara sirkulasi maternal dan fetus (Eric, dkk., 2009).

Gambar 2.4. Permukaan uteroplasenta awal dan akhir timester pertama

(Eric, dkk.,2009)

Berdasarkan evaluasi sirkulasi plasenta pada berbagai masa kehamilan dengan menggunakan Doppler, tidak ditemukan sinyal nonpulsatile yang menunjukkan aliran darah maternal intraplasenta dalam rongga intervilli hingga umur kehamilan 10 minggu. Salah satu implikasi dari teori baru tersebut adalah

(28)

28

bahwa kadar oksigen dalam plasenta janin stadium awal sangat rendah dan meningkat ketika mendapatkan aliran darah dari ibu. Sebaliknya, pada kehamilan muda dengan komplikasi, terlihat hipervaskularisasi pada plasenta jauh sebelum akhir trimester pertama dengan pemetaan color flow. Pada kehamilan dengan komplikasi, invasi endometrium oleh trofoblas ekstravilli sangat terbatas dibandingkan keadaan normal. Pembatasan (plugging) dengan arteri spiralis tidak sempurna dan dapat menjadi faktor predisposisi pada onset awal sirkulasi maternal. Jaringan plasenta memiliki enzim antioksidan dalam konsentrasi rendah dan aktifitas rendah selama trimester pertama sehingga menjadi sangat rentan terhadap kerusakan yang dimediasi oksidatif. Ditemukan peningkatan tajam dari ekspresi marker stress oksidatif pada trofoblas pada umur kehamilan 8 hingga 9 minggu yang berhubungan dengan onset sirkulasi pada kehamilan normal dan berspekulasi bahwa stress oksidatif yang berlebih pada plasenta dalam umur kehamilan muda mungkin merupakan faktor yang berperan dalam patogenesis abortus (Adrian, dkk., 2000).

Beberapa studi mempelajari dampak sistemik dan stress oksidatif pada plasenta sebagai patofisiologi terjadinya abortus dan reccurent pregnancy loss (RPL). Stress oksidatif yang memicu disfungsi plasenta mungkin merupakan penyebab umum multifaktorial dari abortus, reccurent pregnancy loss, defek embriogenesis, mola hidatidiform, obat yang menginduksi terjadinya efek teratogenik. Stress oksidatif juga menginduksi modifikasi phospolipid yang berkaitan dengan pembentukan antiphospolipid antibodi pada sindrom antipospolipid (Gupta, 2007).

(29)

29 2.3. Stres oksidatif dan kerusakan DNA

Kerusakan oksidatif pada dasar DNA dianggap sumber signifikan terjadinya mutasi dan berbagai penyakit degeneratif seperti penuaan dan kanker. Kerusakan DNA secara terus menerus akan diperbaiki dan dasar kerusakan akan diekskresikan melalui urin. Salah satu biomarker yang paling sering digunakan untuk mendeteksi kerusakan DNA adalah 8-hidroksi-2’deoksiguanosin (8-OHdG) yang merupakan modifikasi dasar nukleosida. Hubungan antara reaktif oksigen

spesies (ROS) dengan penggunaan 8-OHdG sebagai biomarker terjadinya stres

oksidatif telah banyak diselidiki pada berbagai macam penyakit (Cooke, dkk.,2003)

Gambar 2.5. Kerusakan DNA oleh Radikal Hidroksil (Gupta, 2007)

Marker biokimia pada reaktif stress oksidatif menyebabkan kerusakan membran seperti produk lipid peroksidase yang meningkat kadarnya segera sebelum abortus (Gupta, 2007).

(30)

30

2.4. Peranan Radikal Bebas Pada Kehamilan Normal

Struktur kantong gestasi pada trimester pertama di desain untuk membatasi pemaparan fetus terhadap oksigen yang sangat vital bagi pertumbuhan fetus. Data in vivo mendemonstrasikan nilai tekanan parsial dari oksigen (PO2) dua hingga tiga kali

lebih rendah pada umur kehamilan 8 hingga 10 minggu dibandingkan umur kehamilan 12 minggu. Seiring meningkatnya umur kehamilan antara minggu ke-7 hingga minggu ke-12, terdapat peningkatan yang progresif namun independen dari PO2 pada desidua, yang mungkin merefleksikan peningkatan volume darah

maternal yang mengalir dalam sirkulasi uterus pada awal kehamilan. Pada minggu ke 13-16, PO2 pada sirkulasi fetus hanya 24 mmHg, dibandingkan nilai yang

ditemukan pada pertengah kehamilan atau lebih dimana PO2 vena umbilikus

berkisar antara 35 hingga 55 mmHg. Peningkatan bertahap pada PO2 intraplasenta

yang dilihat pada umur kehamilan 8 hingga 14 minggu diikuti peningkatan konsentrasi mRNA dan aktivitas enzim antioksidan yang sebanding dalam jaringan villi. Gradien oksigen dalam uterus pada trimester pertama memiliki efek regulasi pada perkembangan dan fungsi jaringan plasenta. Khususnya gradien tersebut mempengaruhi proliferasi dan differensiasi sitotrofoblas selama proses invasi, serta mempengaruhi vaskulogenesis pada villi. Hipoksia fisiologis pada kantong gestasi trimester pertama dapat melindungi fetus terhadap efek teratogenik akibat OFRs. Data terakhir mengindikasikan hipoksia dibutuhkan untuk mempertahankan stem-cell pada fase pluripotent yang sempurna, karena pada kadar fisiologis, radikal bebas mengatur fungsi sel secara luas, khususnya faktor-faktor transkripsi. Produksi OFRs yang berlebih menyebabkan stres

(31)

31

oksidatif dan terdapat dua contoh, dimana hal tersebut dapat terjadi secara fisiologis selama kehamilan. Stres oksidatif dan peningkatan oksigenasi mungkin juga menstimulasi sintesis dari berbagai protein trofoblastik seperti human

chorionic gonadotropin (hCG) dan estrogen. Konsentrasi hCG dalam serum

maternal mencapai puncak pada akhir trimester pertama dan kondisi oksidasi mempromosikan penyusunan subunit dari hCG in vitro. Konsentrasi hCG lebih meningkat lagi pada kasus seperti trisomi 21, dimana terdapat bukti adanya stress oksidatif trofoblas melalui ketidakseimbangan ekspresi enzim antioksidan. Akhir-akhir ini, telah didemonstrasikan bahwa enzim P-450 sitokrom aromatase (CYP19)

yang berperan dalam sintesis estrogen, diregulasi oleh oksigen melalui transkripsi dan hal tersebut mungkin menjadi penyebab peningkatan signifikan dari produksi CYP19 pada awal trimester kedua (Wiktor, 2004.,Hubel, 1999).

Early pregnancy

failure Resolution and continuing pregnancy

Metabolic disorders Mitochondrial dysfunction Drugs

Degeneration of syncytiotrophoblast

Extravilous trophoblast invasion of endometrium Unpluging of arteries and onset of maternal circulation

Rise in intraplacental oxygen tension Parental genotype Maternal diet

Syncytiotrophoblastic oxidative stress Antioxidan t defences Differentation trigger Induction of antioxidant enzymes Maladaptation of mitochondria Poor placental perfusion Chronic oxidative stress Pre-eclampsia Fetal Genotype

Maternal immune system

Endometrial Environment

(32)

32

Gambar 2.6. Patofisiologi abortus akibat stress oksidatif (Adrian, dkk., 2000)

Onset dari aliran darah maternal ke plasenta diduga merupakan fenomena yang progresif, dimana komunikasi antara arteri uteroplasenta dan rongga intervilli berawal dari beberapa pembuluh darah kecil dari akhir bulan kedua kehamilan. Dugaan ini didukung oleh temuan angiografi in vivo yang menunjukkan hanya beberapa lokasi terbuka pada rongga intervilli yang bisa diidentifikasi pada umur kehamilan 6,5 minggu, sedangkan pada umur kehamilan 12 minggu lebih banyak ditemukan. Studi anatomi menunjukkan migrasi trofoblas dan perubahan morfologi pada arteri uteroplasenta lebih luas terjadi pada bagian sentral dari plasenta. Radikal hidroksil merupakan salah satu ROS yang sangat agresif. Diproduksi di mitokondria dan bertanggung jawab terhadap kerusakan yang terjadi pada mitokondria bukan terhadap nukleus. Mitokondria DNA merupakan target utama radikal oksigen oleh karena lokasinya yang dekat dengan mitokondria membran inti tempat oksidan terbentuk dan aktifitas perbaikan DNA berkurang (Umekawa, 2008).

Radikal hidroksil sangatlah reaktif dan inilah yang menyebabkan mereka mempunyai jangka waktu hidup sangat pendek sehingga tidak bisa dinilai secara langsung, tetapi oksidasi produk DNA atau turunannya dapat dideteksi di urin, serum, saliva (Helbock, dkk., 1998).

Sketsa di bawah ini mengilustrasikan hubungan antara masing-masing metabolit ROS serta peranannya terhadap kerusakan seluler.

(33)

33

Gambar 2.7. Hubungan metabolit ROS (Kohen dan Nyska, 2002)

Walaupun DNA stabil, suatu molekul yang terlindungi dengan sangat baik, ROS dapat berinteraksi dan menimbulkan beberapa macam kerusakan : modifikasi basa DNA, putusnya salah satu atau kedua utas DNA, hilangnya purin (apurinic sites), kerusakan pada gula deoksiribose, ikatan silang antara DNA dengan protein, dan kerusakan pada sistem perbaikan (usaha memperbaiki diri) Radikal hidroksil adalah salah satu ROS yang paling berperan menyebabkan kerusakan ini. (Kohen dan Nyska, 2002)

2.5. Delapan-Hidroksi-2’-Deoksiguanosin (8-OHdG)

Penemuan 8-OHdG dilaporkan pertama kali oleh Kasai dan Nishimura pada tahun 1984 di dalam usaha mereka untuk mempelajari dan mengisolasi mutagens pada

(34)

34

glukosa yang dipanaskan (seperti model makanan yang dimasak). Karena kesulitan mengisolasi mutagens yang sangat tidak stabil, metode dikembangkan dengan memeriksa mutagen reaktif yang merupakan derivatif guanine dari kenyataan yang ada jika karsinogen dan reaksi mutagen dengan basa asam nukleat, dalam hal ini guanine. Peneliti yang sama menemukan radikal bebas oksigen berkembang pada reaksi C-8 oksidasi. Beberapa tahun kemudian bentuk 8-OHdG dapat dikonfirmasi dalam reaksi yang melibatkan radikal bebas oksigen seperti serat asbes dan H2O2. Beberapa tahun kemudian kadar 8-OHdG dapat

dideteksi dan dianalisis dengan sensitifitas yang tinggi dengan menggunakan high-performance liquid chromatography (HPLC), gas-chromatography-mass spectrometry (GC-MS) dan liquid chromatograpy-mass spectrometry-mass spectrometry (LC-MS-MS) dan metode imunohistokimia dan eletroforesis pada sel tunggal. Pemeriksaan dan analisis 8-OHdG dapat menggunakan organ hewan dan sampel pada manusia seperti urin, leukosit DNA, serum, cairan cerebrospinal, organ manusia) dapat dipakai sebagai biomarker stress oksidatif , proses penuaan dan karsinogenesis.

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa peningkatan stress oksidatif dapat menyebabkan radikal bebas menyerang molekul-molekul yang secara fisiologis sangat penting seperti lipid, protein termasuk enzim dan DNA. Sebagai akibat lanjutan dari kerusakan terhadap purin dan pirimidin akan terjadi modifikasi DNA yang teroksidasi. Guanin dapat diserang oleh OH-. pada posisi C-8 menghasilkan 8-hidroksideoksiguanosin (8-OHdG) sebagai produk oksidasinya.

(35)

35

Posisi lain juga dapat diserang dan produk-produk lainnya mungkin saja terbentuk. Di antara basa-basa yang teroksidasi itu 8-hidroksi-2’-deoksiguanosin yang terbanyak jumlahnya (Helbock, dkk., 1998)

Gambar 2.8. Mekanisme pembentukan produk oksidasi guanin oleh radikal hidroksil (Kohen dan Nyska, 2002)

Produk lesi dari oksidasi oleh radikal hidroksil adalah 8-hidroksiguanin, bersama dengan ekivalennya 8-hidroksi-2’-deoksiguanosin (8-OHdG) sangat mutagenik. Komponen ini menyebabkan mutasi (transversi) A:T menjadi C:C atau G:C menjadi T:Aoleh karena pasangan basanya dengan adenin sebaik sitosin (Kohen dan Nyska, 2002).

Radikal hidroksil juga dapat menyerang basa yang lain seperti adenin untuk membentuk 8 (atau 4-,5-) hidroksiadenin. Produk-produk lain hasil interaksi antara pirimidin dengan radikal hidroksil yaitu tiamin perokside, tiamin glikol, 5 (hidroksimetil) urasil dan produk-produk lainnya. Interaksi langsung lain antara ROS yang kurang reaktif seperti O.2- dan H2O2 tidak menimbulkan kerusakan pada

jumlah fisiologi, tapi bagaimanapun produk ini adalah sumber–sumber intermediat reaktif yang mudah diserang dan menyebabkan kerusakan. Seperti

(36)

36

contoh H2O2 dan superoksid dapat menurunkan OH.- melalui reaksi

Haber-Weiss/Fenton, NO dan O.2- dapat menurunkan formasi ONOO- dan mudah

menyebabkan kerusakan DNA sama seperti kerusakan yang melibatkan radikal hidroksil. Transisi metal seperti besi yang menguasai high-binding affinity terhadap lokasi DNA dapat mengkatalisis produksi OH- dan memastikan serangan berulang atas DNA selain oleh karena radikal hidroksil sendiri.

Delapan-hidroksi-2’-deoksiguanosin (8-OHdG) adalah indikator kerusakan DNA yang sensitif sebagai akibat stress oksidatif. Disebutkan bahwa komponen yang dihasilkan melalui DNA yang rusak diakibatkan oleh radiasi, radikal hidroksil, superoksid atau peroksinitrit. Delapan-hidroksi-2’deoksiguanosin itu sendiri mempunyai peran biologi yang mampu menginduksi konversi G:C ke T:A selama replikasi DNA. Adanya assay yang sensitif untuk 8-hidroksi-2’deoksiguanosin menyebabkan 8-hidroksi-8-hidroksi-2’deoksiguanosin ini dipakai di banyak laboratorium sebagai biomarker kerusakan oksidasi DNA (Hung, dkk., 2010, Valavanidis, dkk., 2009)

Faktor-faktor lain yang mendukung adalah :

1. Formasinya di DNA oleh beberapa spesies reaktif seperti singlet oksigen dan radikal hidroksil.

2. Kemampuan mutagenisitinya dalam menginduksi transversi GCTA.

3. Mekanisme multipel yang terlibat dalam pemindahan 8-OHdG dari DNA atau dalam mencegah penyatuan 8-OHdG ke dalam sel DNA, dengan asumsi bahwa sel “menganggap” 8-OHdG adalah sebuah ancaman yang segera harus dimusnahkan.

(37)

37

4. Karena prevalensi dan kemudahan dalam mendeteksi senyawa ini pada sampel-sampel biologik

Beberapa penelitian telah menguji pengaruh stress oksidatif terhadap kualitas oosit in vitro. Persentase oosit matur (tahap meiosis II oosit dengan polar body pertama) secara signifikan menurun dengan pemberian radikal H2O2 dosis tertentu

tetapi dengan menginkubasi oosit dengan antioksidan (melatonin) dosis tertentu maka pengaruh radikal terhadap pematangan oosit dihambat (Umekawa, 2008). Mungkin sangat besar juga pengaruhnya terhadap kejadian ovum patologis/besarnya oosit berkualitas rendah yang dipicu kronisnya paparan oleh radikal hidroksil.

Kelainan kromosom sangat menonjol dalam penilaian dampak penyakit genetik yaitu sekitar 50% kematian mudigah, 5-7% kematian janin, 6-11 % lahir mati dan kematian neonatus dan 0,9% dari bayi lahir hidup. Gamet-gamet abnormal kecil kemungkinannya menghasilkan konsepsi dibandingkan dengan gamet normal. Apabila tetap terjadi pembuahan maka seleksi menyebabkan sebagian besar hasil konsepsi aneuploidi (kelainan kromosom) akan lenyap sebelum implantasi (Cunningham, dkk., 2006).

Dari beberapa penelitian tentang kualitas oosit, didapatkan kosentrasi 8-hidroksi-2’-deoksiguanosin pada cairan intrafolikel wanita yang menjalani IVF-ET diperoleh dengan tingkat degenerasi oosit yang tinggi (Umekawa, 2008). Oksigenasi intrafolikel yang rendah berhubungan dengan penurunan potensi berkembangnya oosit seperti yang direfleksikan dengan meningkatkan frekuensi kerusakan sitoplasma oosit, menyebabkan lemahnya pembelahan dan kelainan

(38)

38

agregasi kromosom oosit yang berasal dari folikel yang miskin vaskularisasi. ROS bertanggung jawab terhadap terjadinya fragmentasi embrio sebagai akibat peningkatan apoptosis. Sehingga dengan meningkatnya level ROS tidak memungkinkan pertumbuhan dan perkembangan embrio. Penelitian terkini lebih memfokuskan diri kepada kemampuan growth factors untuk melindungi keadaan embrio in vitro dari pengaruh ROS yang merugikan seperti apoptosis. Plasentasi yang abnormal mengarah kepada stress oksidatif plasenta yang merugikan sinsitiotrofoblast dan terlibat dalam mekanisme etiopatogenesis abortus. Puncak ekspresi dari marker stress oksidatif pada trofoblast terdeteksi pada kehamilan normal dan jika berlebihan akan menyebabkan abortus dini. (Agarwal, dkk., 2006) Perkembangan embrio awal pada mamalia terjadi melalui diferensiasi sistem organ dasar dalam lingkungan rendah oksigen. Kosentrasi oksigen yang rendah pada lingkungan in vitro embrio menurunkan level H2O2 selanjutnya mengurangi

fragmentasi DNA dengan demikian memperbaiki kemampuan berkembang. Kosentrasi oksigen yang tinggi (sampai 20%) berhubungan dengan turunnya kompetensi berkembang sebaliknya perkembangan yang cepat terjadi saat kosentrasi oksigen di bawah 5%.

Reactive Oxygen Species (ROS) bisa didapatkan endogenous atau eksogenous tetapi keduanya dapat mempengaruhi oosit dan embrio. Kultur media IVF bisa merupakan sumber ROS eksogenous yang mempengaruhi oosit dan embrio preimplantasi. Pada hari pertama level ROS yang tinggi pada media kultur berhubungan dengan perkembangan embrio yang terlambat, fragmentasi yang tinggi, dan berkembangnya morfologi blastokista yang abnormal setelah kultur

(39)

39

yang lama. Korelasi yang signifikan telah dilaporkan antara peningkatan level ROS pada hari pertama media kultur dengan tingkat fertilisasi yang rendah pada pasien yang menjalani ICSI (Intra Cytoplasmic Sperm Injection).

Fertilisasi dan perkembangan embrio in vivo terjadi dalam lingkungan rendah tekanan oksigen. Tekanan oksigen yang rendah lebih efektif untuk implantasi dibandingkan dengan yang tinggi tekanan oksigen. Vaskularisasi folikel menentukan kandungan oksigen intrafolikuler serta kemampuan berkembangnya oosit. Hipoksia intrafolikuler menyebabkan kelainan agregasi kromosom dan gangguan mosaik embrio. Hal tersebut menjelaskan kembali bagaimana ROS dapat merusak oosit (Agarwal, dkk., 2006).

Pada kehamilan sendiri metabolisme akan meningkat sehingga memerlukan oksigen lebih banyak, maka semakin meningkat pula radikal bebas yang ditimbulkan. Stress oksidatif yang terjadi dapat mengganggu kehamilan jika antioksidan tidak dapat mengimbanginya. Secara umum sudah diterima bahwa kelainan kromosom fetus merupakan penyebab pada paling sedikit separuh dari abortus dini. (Hasegawa, dkk., 1996; Griebel, dkk., 2005; Cunningham, dkk., 2006)

Mekanisme pasti yang menyebabkan abortus tidak jelas, tetapi pada bulan-bulan awal kehamilan, ekspulsi secara spontan hampir selalu didahului oleh kematian mudigah atau janin, dan kelainan kromosom pada mudigah dan janin awal ini menyebabkan banyak atau sebagian besar abortus pada awal kehamilan (Cunningham, dkk.,2006)

(40)

40

Dengan mengetahui kadar 8-hidroksi-2’-deoksiguanosin ini, secara tidak langsung dapat diketahui agresi dari radikal bebas atau antioksidan yang bekerja melawan radikal bebas itu dalam hal ini pasien yang mengalami abortus iminens. Sehingga jika memang kadarnya signifikan berbeda dengan pasien normal, kita dapat melakukan pencegahan abortus dan bahkan abortus berulang salah satunya dengan pemberian antioksidan secara dini.

(41)

41 BAB 3

KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1. Kerangka Berpikir

Terjadinya abortus iminens disebabkan oleh banyak faktor. Salah satu faktor yang diperkirakan sebagai faktor penyebab adalah peranan radikal bebas yang tidak mampu diimbangi oleh antioksidan sehingga menimbulkan stress oksidatif. Stres oksidatif akan menimbulkan kerusakan dan degenerasi sel-sel sinsitiotrofoblas pada kehamilan muda. Salah satu produk kerusakan pada DNA adalah 8-hidroksi

2’deoksiguanosin (8-OHdG).

Jumlah 8-hidroksi-2’deoksiguanosin yang tinggi sangat mungkin memberikan peran besar akan terjadinya abortus, demikian juga faktor lainnya seperti umur ibu yang meningkat, anomali uterus, anomali plasenta, penyakit maternal, ketidakseimbangan hormon, pengaruh lingkungan, ovum patologik dapat meningkatkan kejadian abortus.

Seseorang yang terpapar radikal hidroksil, jika antioksidan tidak adekuat menetralisirnya akan menyebabkan stress oksidatif sampai kemudian mampu merusak DNA dan apabila hamil akan berpengaruh terhadap janinnya seperti resiko untuk terjadi abortus iminens

(42)

42 3.2. Kerangka Konsep

Gambar 3.1 Kerangka konsep

3.3. Hipotesis Penelitian

Delapan-hidroksi-2’deoksiguanosin serum merupakan faktor resiko terjadinya

abortus iminens. Hamil muda Stress oksidatif Kerusakan DNA (peningkatan 8-OHdG) Abortus Iminens Variabel terkontrol: Umur ibu Umur kehamilan Paritas Molahidatidosa Mioma Uteri Kelainan uterus Variabel perancu : Kromosom Polusi udara Asap rokok Radiasi

(43)

43 BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah Case- control

Gambar 4.1. Jenis Penelitian

4.2. Tempat dan Waktu Penelitian

4.2.1. Tempat penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di ruang bersalin IRD dan poliklinik kebidanan dan penyakit kandungan RSUP Sanglah Denpasar

4.2.2. Waktu penelitian

Penelitian dilaksanakan sejak Januari 2012 sampai jumlah sampel terpenuhi

4.3. Populasi dan Sampel Penelitian Kadar 8-OHdG < cut of

point

Kadar 8-OHdG > cut of point *

*

Kadar 8-OHdG < cut of point

Kadar 8-OHdG >cut of point

Hamil Normal < 12 minggu Abortus iminen <12 minggu

*NB : µg/ml Kasus Kontrol Umur Ibu Umur Kehamilan Matching

(44)

44 4.3.1. Populasi penelitian

4.3.1.1. Populasi Target

Semua ibu hamil dengan umur kehamilan < 12 minggu yang mengalami abortus iminens

4.3.1.2. Populasi Terjangkau

Semua ibu hamil dengan umur kehamilan < 12 minggu yang datang ke Poliklinik dan IRD Kebidanan & Kandungan RSU Sanglah Denpasar tahun 2012. 4.3.2. Sampel penelitian

Sampel penelitian adalah semua ibu hamil yang datang ke ruang bersalin IRD dan poliklinik kebidanan dan penyakit kandungan RSUP Sanglah Denpasar dengan diagnosis abortus iminens dan hamil muda < 12 minggu yang memenuhi kriteria inklusi.

Adapun kriteria inklusi dimaksud adalah sebagai berikut:

1. Ibu hamil muda < 12 minggu yang mengalami abortus iminens yang datang ke IRD dan poliklinik kebidanan dan penyakit kandungan RSUP Sanglah Denpasar.

2. Bersedia ikut penelitian

Sedangkan kriteria eksklusi dalam penelitian ini adalah: 1. Molahidatidosa

2. Kehamilan ekstra uteri

3. Ibu hamil dengan kelainan uterus 4.4. Pemilihan Sampel :

(45)

45 4.5. Penghitungan Besar Sampel

Besar sampel dihitung dengan menggunakan rumus : n = {2 (Zα + Zβ) S}2

(X 1 – X 2)2 Keterangan:

X 1 = 179,97 (rerata 8-OHdG pada kehamilan normal (Wiktor, dkk., 2004)

X 2 = 240 (rerata 8-OHdG pada abortus iminens, diharapkan 30% lebih tinggi dari rerata hamil normal)

S = 80,58 (Standar deviasi, Wiktor, dkk., 2004) α = 1,96

β = 1,28

n = 2 x(1,96 +1,28) x 80,58)2 (179,97 – 240)2

n = 28,2933 ditambahkan 20% = 33,95 ~ 34

Jadi jumlah sampel yang diperlukan pada penelitian ini adalah sebanyak 68 sampel.

4.6. Variabel Penelitian

Variabel bebas : 8-hidroksi-2’- deoksiguanosin Variabel tergantung : abortus iminens

(46)

46

Variabel terkontrol : umur ibu, umur kehamilan, paritas, molahidatidosa, kelainan uterus.

4.7. Definisi Operasional Variabel

1. Delapan-hidroksi-2’-deoksiguanosin merupakan suatu basa nukleotida guanine yang dinyatakan dengan satuan µg/ml, merupakan bagian dari nucleus dan mitochondrial rantai DNA yang mengalami kerusakan karena radikal bebas.

2. Abortus iminens adalah hamil muda < 12 minggu disertai perdarahan yang berasal dari uterus disertai sakit perut atau tidak sama sekali, uterus membesar sesuai umur kehamilan, tanpa adanya pembukaan serviks dengan tes kehamilan masih positif, dimana hasil konsepsi masih didalam uterus yang dibuktikan dengan USG.

3. Umur ibu merupakan umur ibu hamil yang dihitung dari tanggal lahir atau yang tercantum dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP).

4. Umur kehamilan merupakan umur kehamilan yang dihitung dari hari pertama haid terakhir (HPHT) atau berdasarkan hasil pemeriksaan USG yang dilakukan sebelum umur kehamilan 12 minggu.

5. Paritas adalah jumlah anak lahir hidup yang dialami oleh ibu hamil sebelum kehamilan sekarang.

6. Hamil normal adalah bila masih dijumpai adanya kantong gestasi pada umur kehamilan lima minggu dengan fetal pole setelah umur kehamilan 6 minggu,

fetal movement dan fetal heart beat setelah umur kehamilan tujuh minggu

(47)

47

7. Ibu hamil muda dengan mioma uteri adalah ibu hamil muda ditandai dengan tinggi fundus uteri lebih besar dari umur kehamilan dan dibuktikan dengan kantong kehamilan pada umur kehamilan lima minggu, fetal heart beat setelah umur kehamilan tujuh minggu dan disertai whorl like appearance pada pemeriksaan USG.

8. Molahidatidosa adalah tumor jinak sel trofoblas oleh karena kegagalan plasentasi yang mengakibatkan villi menggelembung menyerupai buah anggur yang ditandai dengan adanya gejala klinis umur kehamilan < 12 minggu berupa : riwayat amenore, perdarahan pervaginam atau tidak, disertai keluarnya gelembung mola atau tidak, dengan besar uterus lebih besar dari umur kehamilan, tidak ditemukan ballottement dan detak jantung, dengan pemeriksaan USG ditemukan adanya vesikel didalam rongga uterus.

9. Kelainan uterus adalah kelainan bawaan pada uterus berupa uterus didelphys yaitu dua buah uterus terpisah sama sekali disertai dua serviks dengan sebuah septum vertikal pada bagian atas vagina, yang ditemukan pada pemeriksaan inspikulo dan dibuktikan dengan USG dimana tampak 2 buah uterus yang terpisah.

4.8. Alat Pengumpul Data

Alat – alat pengumpul data meliputi: 1. Lembar status pasien 2. Timbangan berat badan

(48)

48 3. Alat pengukur tinggi badan

4. Tensimeter

5. Spuit disposibel 10 cc 6. Tabung reagen EDTA 7. Lembar pengumpul data 4.9. Alur Penelitian

Ibu hamil yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi seperti yang disebutkan diatas dimasukkan dalam sampel ibu hamil dengan abortus iminens dan sampel ibu hamil muda normal < 12 minggu, kemudian diminta untuk menandatangani formulir yang telah disediakan. Selanjutnya semua sampel penelitian dikelola sesuai dengan pedoman terapi Bagian/SMF Ilmu Kebidanan dan Penyakit Kandungan FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar.

Langkah – langkah yang dilakukan pada sampel adalah :

1. Anamnesis meliputi nama, umur, paritas, hari pertama haid terakhir, berat badan sebelum hamil, penambahan berat badan selama kehamilan dan riwayat penyakit sebelumnya.

2. Pemeriksaan fisik meliputi kesadaran, berat badan dan tinggi badan, tekanan darah dan pemeriksaan tes kehamilan, gula darah, BUN dan serum kreatinin, USG. Alat USG yang digunakan Medison Co.Ltd model : SA-6000C Tahun Pembuatan 2000.

3. Pemeriksaan tekanan darah. Penderita berbaring minimal lima menit sebelum pengukuran dimulai. Tekanan darah diukur pada bagian tengah lengan kiri dengan menggunakan tensimeter air raksa( ®Nova). Tekanan darah sistolik

(49)

49

ditentukan dengan teknik korotkof 1 ( saat pertama terdengar detak nadi) dan tekanan diastolik dengan korotkof V (hilangnya detak nadi).

4. Dilakukan pengambilan darah vena dari vena cubiti sebanyak 10 cc untuk pemeriksaan kadar 8-hidroksi-2’-deoksiguanosin serum. Sampel darah yang ada diberi label identitas kemudian diserahkan kebagian laboratorium patologi klinik RSUP Sanglah untuk disimpan pada suhu –80°C.

5. Pemeriksaan kadar 8-hidroksi-2’-deoksiguanosin serum dikerjakan dengan metode ELISA.

6. Setelah semua sampel terkumpul dilakukan pemeriksaan kadar 8-hidroksi-2’

(50)

50

Gambar 4.2 Alur Penelitian.

4.10. Teknik Analisis Data

Data yang diperoleh akan dianalisis dengan program SPSS 16.0 for windows untuk uji komparatif. Urutannya sebagai berikut:

1. Uji normalitas dan homogenitas dengan tes Saphiro-Wilk 2. Uji komparasi t-group

4.11. Hipotesis Penelitian

Ibu hamil < 12 mgg Yang Datang Ke Poliklinik Dan VK IRD RSUP Sanglah Denpasar

Sampel Kriteria Inklusi Kriteria Eksklusi Kadar 8-OHdG Analisa Data Hamil Normal Abortus iminens Populasi Terjangkau Consecutive Sampling

(51)

51 H0 : X8OHdG ab = X8OHdG n

H1: X8OHdG ab ≠ X8OHdG n Keterangan :

X8OHdG ab adalah kadar rata-rata serum 8-hidroksi-2’-deoksiguanosin pada abortus iminens.

X8OHdG n adalah kadar rata-rata serum 8-hidroksi-2’-deoksiguanosin pada hamil muda normal Trimester pertama.

(52)

52 BAB V

HASIL PENELITIAN

Penelitian dengan rancangan kasus-kontrol dengan melibatkan 68 orang sampel dilakukan di Poliklinik dan IRD Kebidanan dan Penyakit Kandungan RSUP Sanglah Denpasar pada bulan Januari 2012 sampai jumlah sampel terpenuhi.

5.1 Karakteristik Sampel Penelitian

Sebanyak 68 orang sampel, terdiri atas 34 orang kelompok kasus (abortus imminens) dan 34 orang lainnya kelompok kontrol (kehamilan normal dengan umur kehamilan kurang dari 12 minggu). Data karakteristik subjek pada kedua kelompok disajikan pada Tabel 5.1.

Table 5.1

Karakteristik Subjek Penelitian pada Kelompok Kasus dan Kelompok Kontrol Variabel Kelompok P Kasus (abortus iminens) Kontrol (hamil normal <12mgg) Umur (th) 28,71±6,16 27,53±6,52 0,447 Paritas 0,91±0,83 0,82±0,87 0,610 Umur Kehamilan (mgg) 8,79±2,29 8,41±2,02 0,467

Tabel 5.1 di atas, menunjukkan bahwa dengan uji t-independent didapatkan nilai p > 0,05 pada ketiga variabel, hal ini berarti bahwa tidak ada

(53)

53

perbedaan rerata umur, paritas, dan umur kehamilan antara kelompok kasus dengan kelompok kontrol.

5.2 Perbedaan kadar 8-OHdG antara kelompok kasus dengan kelompok kontrol diuji dengan uji t-independent. Hasil analisis disajikan pada Tabel 5.2 berikut.

Tabel 5.2

Perbedaan Kadar 8-OHdG antara Kelompok kasus dengan kelompok Kontrol

n Rerata Kadar 8-OHdG SD t p

Kasus 34 0,16 0,06

11,44 0,023

Kontrol 34 0,13 0,06

Tabel 5.2 di atas menunjukkan bahwa terdapat perbedaan rerata kadar 8-OHdG antara kelompok kasus dengan kelompok kontrol secara bermakna (p<0,05).

5.3 Kadar 8-OHdG Tinggi Merupakan Petanda Terjadinya Abortus Iminens

Untuk mengetahui peranan kadar 8-OHdG terhadap terjadinya abortus imminens dipakai uji Chi-Square. Nilai cut off point kadar 8-OHdG berdasarkan kurva ROC adalah 0,131 dengan nilai sensitivitas 82,4% dan nilai spesifisitas sebesar 55,9%. Hasil analisis disaji pada Tabel 5.3.

Tabel 5.3

(54)

54 Kelompok Kasus Kelompok Kontrol RO IK 95% p Kadar 8-OHdG Tinggi 28 15 5,9 1,95-17,97 0,001 Normal 6 19

Tabel 5.3 menunjukkan bahwa kadar 8-OHdG yang tinggi merupakan petanda terjadinya abortus imminens sebesar hampir 6 kali (RO = 5,9, IK 95% = 1,95-17,97, p=0,001).

Gambar

Gambar 2.2. Induksi Apoptosis oleh ROS dan NOS (Gupta, 2010)
Gambar 2.3. Ekspresi antioksidan di dalam plasenta (Davis, 2010)
Gambar 2.4. Permukaan uteroplasenta awal dan akhir timester pertama   (Eric, dkk.,2009)
Gambar 2.5. Kerusakan DNA oleh Radikal Hidroksil (Gupta, 2007)  Marker  biokimia  pada  reaktif  stress  oksidatif  menyebabkan  kerusakan  membran  seperti produk lipid peroksidase yang meningkat kadarnya segera sebelum abortus  (Gupta, 2007)
+6

Referensi

Dokumen terkait

POLITEKNIK KE K KESEHAT SEHATAN AN KEMENTRIA KEMENTRIAN K N KESEHAT ESEHATAN AN P PALANGKA ALANGKA RA RAY YA A JURUSAN KEBIDANAN PR. JURUSAN KEBIDANAN PROGRAM STUDI DIPL OGRAM

PERANCANGAN ULANG DESAIN LABEL KEMASAN JAMU ANAK SEHAT SIDOMUNCUL Dengan ini menyatakan bahwa, laporan dan karya tugas akhir ini adalah asli dan belum pernah diajukan untuk

Penelitian ini bertujuan menentukan jumlah katalis yang diperlukan pada proses polimerisasi propilena; dalam hal ini dinyatakan sebagai mileage (g propilena per mg katalis);

Pengukuran kembali lubang ledak yang sudah di bor ( sounding )merupakan hal yang sangat penting untuk menentukan isian bahan peledak agar sesuai rencana.Kegiatan

tidak terlalu spesifik, adanya peningkatan ekhogenitas yang heterogen pada pankreas yang membesar patut dicurigai sebagai suatu proses nekrosis, disamping adanya koleksi

Berdasarkan rumusan masalah di atas maka yang menjadi tujuan penelitian adalah untuk mengetahui pengaruh model pembelajaran kooperatif tipe scramble terhadap kemampuan

Sikap merupakan bentuk respon dari suatu stimulus, dimana sikap Sikap merupakan bentuk respon dari suatu stimulus, dimana sikap manusia akan menggerakkan untuk

akti. Pada pemeriksaan inspekulo didapatkan adanya robekan pada  jalan lahir yaitu di portio di jam ) dan jam , dengan perdarahan akti. :asil lab menunjukkan bahwa masa