• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGKAJIAN TEKNOLOGI PEMBIBITAN SAPI POTONG BERBASIS PEDESAAN MENDUKUNG SWASEMBADA DAGING DI SULAWESI SELATAN. Ir. Matheus Sariubang, MS, dkk

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGKAJIAN TEKNOLOGI PEMBIBITAN SAPI POTONG BERBASIS PEDESAAN MENDUKUNG SWASEMBADA DAGING DI SULAWESI SELATAN. Ir. Matheus Sariubang, MS, dkk"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

PENGKAJIAN TEKNOLOGI PEMBIBITAN SAPI POTONG BERBASIS PEDESAAN MENDUKUNG SWASEMBADA DAGING DI SULAWESI SELATAN

Ir. Matheus Sariubang, MS, dkk ABSTRAK

Populasi sapi selama 5 tahun terakhir menurun karena kurangnya pembibitan sapi yang terprogram. Untuk meningkatkan kembali populasi sapi potong, pemerintah daerah telah mencanangkan program peningkatan sapi potong satu juta ekor tahun 2013. Tujuan dari pengkajian ini adalah meningkatkan produktivitas induk sapi potong 20 – 25% melalui teknologi perbaikan pakan dan inseminasi buatan serta meningkatkan efisiensi pakan dan berat badan pedet umur 2 – 7 bulan sebesar 20 – 25% melalui teknologi perbaikan pakan berbasis sumber daya lokal. Kegiatan ini akan dilaksanakan di Kecamatan Lanrisang, Kabupaten Pinrang Provinsi Sulawesi Selatan pada Bulan Januari – Desember 2011, dengan melibatkan peternak setempat dan Instansi terkait. Kegiatan ini meliputi (1) Kajian peningkatan produktivitas induk sapi melalui teknologi inseminasi buatan dan perbaikan pakan. Kajian ini terbagi dalam 4 perlakuan yaitu : (A) ransum yang digunakan peternak (pola peternak sebagai kontrol), (B) ransum yang disusun dari bahan pakal lokal, (C) ransum yang disusun dari bahan pakal lokal + probiotik (D) ransum konsentrat komersial; (2) Kajian teknologi pakan murah yang mampu meningkatan efisiensi pakan dan peningkatan berat badan pedet umur 2-7 bulan. Kajian ini terbagi dalam 3 perlakuan yaitu : (A) Ransum yang digunakan peternak (pola peternak sebagai kontrol); (B) Ransum yang disusun dari pakan-pakan lokal; (C) Ransum konsentrat murah (complete feed); Analisis data dilakukan dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL). Parameter yang diamati adalah berat lahir, service per conseption ratio (S/C), % kebuntingan, laju kelahiran (calving rate), APP, produktivitas pedet (Bobot Badan dan Pertambahan Bobot Badan Harian/PBBH), B/C rasio pembibitan dan pembesaran pedet.

(2)

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Sulawesi Selatan pada tahun 1900-an merupakan salah satu sentra produksi ternak potong atau lumbung ternak sapi potong yang terbesar di Indonesia setelah Provinsi Jawa Timur. Populasi sapi pada periode tersebut mencapai 1.235.975 ekor, namun selama periode tahun 2002 – 2006 terjadi penurunan populasi sebanyak - 2,63 % per tahun (Direktorat Jenderal Peternakan, 2008). Hal ini disebabkan : (1). Tidak seimbang antara produksi dan permintaaan daging, (2). Tingginya angka pemotongan ternak betina produktif dan kesadaran masyarakat/peternak akan meminimalkan pemotongan betina produktif masih rendah, (3) Rendahnya angka kelahiran dan panen pedet, (4). Tingkat pengeluaran ternak sapi dan kerbau untuk tujuan perdagangan antar pulau tidak terkontrol, terutama yang dilakukan pedagang antar pulau illegal, (5). Hilangnya daerah penyangga populasi yang masuk dalam wilayah Sulawesi Barat, dan (6) Tidak adanya pembibitan terprogram.

Untuk meningkatkan populasi sapi, pemerintah propinsi Sulawesi Selatan melalui Dinas Peternakan telah mencanangkan program peningkatan populasi sapi potong 1 (satu) juta ekor pada tahun 2013, program ini sejalan dengan program Nasional Swasembada Daging Sapi (PSDS) tahun 2014. Upaya untuk mendukung program ini telah banyak teknologi yang dihasilkan oleh Lolit sapi potong maupun dari sumber teknologi lainnya yang dapat dijadikan acuan untuk dikaji, salah satunya teknologi pembibitan sapi potong spesifik lokasi. Program pembibitan ini penting guna mendukung ketersediaan bibit sapi yang ekonomis dan berkualitas. Teknologi yang dimaksud meliputi bidang reproduksi, pakan murah, dan sistem pemeliharaan pedet dan bakalan sapi potong.

(3)

Usaha pembibitan sapi potong di Sulawesi Selatan masih mengandalkan pada peternakan rakyat yang berciri skala usaha kecil, manajemen sederhana, pemanfaatan teknologi seadanya, lokasi tidak terkonsentrasi dan belum menerapkan sistem dan usaha agribisnis, akibatnya usaha pembibitan yang diusahakan tidak optimal, hal ini ditandai dengan angka rasio pelayanan kawin per kebuntingan (service per conseption ratio = S/C) pada IB masih cukup tinggi, dan jarak waktu beranak (calving interval) juga terlalu panjang (Sudono, 1983). Selain itu juga, kegiatan operasional untuk pengembangan usaha perbibitan sapi potong yang murah dan efisien di Sulawesi Selatan dapat dilakukan dengan memanfaatkan sumber pakan biomas lokal. Pakan sangat penting untuk diperhatikan, karena pakan sangat besar pengaruhnya terhadap pertambahan bobot badan sapi, selain itu juga pakan merupakan biaya produksi terbesar dalam usaha peternakan. Pakan diperlukan untuk hidup pokok, pertumbuhan, reproduksi dan produksi daging (Tilman et al., 1998). Melalui inovasi teknologi limbah dan sisa hasil ikutan agroindustri pertanian dapat dimanfaatkan sebagai sumber pakan sapi yang potensial untuk usaha penggemukan dan pembibitan (Badan Litbang Pertanian, 2005). Oleh karena itu, diperlukan pengkajian teknologi pembibitan sapi potong spesifik lokasi yang menguntungkan petani dengan jalan memperbaiki sistem reproduksi, sistem pakan dan sistem pemeliharaan pedet dan sapi bakalan. Dengan demikian pencapaian target populasi sapi 1 juta ekor tahun 2013 di provinsi Sulawesi Selatan dan program nasional swasembada daging tahun 2014 dapat dicapai.

1.2. Perumusan Masalah

Populasi sapi potong di Sul-Sel pada tahun 2007 sebesar 868.622 ekor. Sekitar 20 tahun yang lalu, Sulawesi Selatan tecatat sebagai penghasil sapi potong terbesar di Indonesia setelah Jawa Timur dengan populasi sekitar 1,3 juta ekor pada tahun 1988, namun karena

(4)

pemotongan sapi, dan pengeluaran sapi antar pulau (inter insuler) tidak seimbang atau lebih besar daripada tingkat kelahiran menyebabkan populasinya menurun. Selain itu juga, ditambahkan Hadi et al. (2002) banyaknya kasus pemotongan betina produktif akhir-akhir ini juga merupakan indikasi adanya pengurasan ternak sapi lokal. Hal senada juga diungkapkan Menteri Pertanian RI dalam sambutannya pada acara penandatangan dan penyerahan surat pemberitahuan persetujuan kredit usaha pembibitan sapi (SPP KUPS) yang diadakan di Makasar pada tanggal 8 Mei 2010 bahwa populasi sapi semakin menurun karena adanya pemotongan betina produktif yang kasusnya hampir merata di seluruh sentra sapi potong di Indonesia.

Oleh kerena itu guna mendukung program peningkatan populasi 1 juta ekor pada tahun 2013 di Sulawesi Selatan dan program nasional swasembada daging sapi tahun 2014, maka populasi sapi potong di Sulawesi Selatan dapat ditingkatkan melalui program pembibitan sapi. Selain itu juga tingginya impor sapi bakalan merupakan indikasi kuat adanya peluang pasar bagi pengembangan usaha pembibitan sapi potong di Indonesia. Demikian juga dengan kualitas sapi yang semakin menurun, sebagai akibat dari terjadinya perkawinan sedarah (inbreeding) selama berpuluh-puluh tahun dalam populasi tertutup, hal ini dapat diatasi dengan memasukkan breed/bangsa yang sama dari luar populasi atau breed/bangsa sapi yang berbeda untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas sapi potong di Sulawesi Selatan.

1.3. Tujuan

Tujuan tahunan dari pengkajian ini adalah : meningkatkan produktivitas induk sapi potong 20 – 25% melalui teknologi perbaikan pakan dan inseminasi buatan serta meningkatan efisiensi pakan dan meningkatan berat badan pedet umur 2-7 bulan sebesar 20 – 25% melalui teknologi perbaikan pakan berbasis sumber daya lokal.

(5)

Tujuan Akhir : Menemukan paket teknologi untuk meningkatkan produktivitas induk sapi potong dan produksi pedet umur 2 – 7 bulan dan bakalan umur 1,5 – 2 tahun

1.4. Output (Keluaran)

Keluaran Tahunan : peningkatan efisiensi pakan dan produktivitas induk sapi potong 20 – 25% melalui penerapan teknologi perbaikan pakan dan inseminasi buatan serta peningkatan berat badan pedet umur 2 – 7 bulan sebesar 20 – 25 % melalui penerapan teknologi perbaikan pakan berbasis sumber daya lokal

Keluaran Akhir : rekomendasi paket teknologi inseminasi buatan untuk peningkatan produktivitas induk sapi potong dan rekomendasi paket teknologi produksi pedet umur 2 – 7 bulan dan bakalan umur 1,5 – 2 tahun melalui perbaikan teknologi pakan berbasis sumber daya lokal.

1.5. Perkiraan Outcome

Teradopsinya teknologi inseminasi buatan dan perbaikan pakan guna meningkatkan produktivitas induk sapi potong 20 – 25%; serta teradopsinya teknologi perbaikan pakan berbasis sumber daya lokal guna meningkatkan berat badan pedet umur 2 – 7 bulan sebesar 20 – 25%.

1.6. Perkiraan Benefit (manfaat)

Meningkatnya efisiensi pakan dan produktivitas induk sapi potong sebesar 20 – 25% di Sulawesi Selatan melalui teknologi inseminasi buatan dan perbaikan pakan serta meningkatnya efisiensi pakan dan berat badan pedet umur 2 – 7 bulan dan bakalan umur 1,5 – 2 tahun sebesar 20 – 25% melalui teknologi perbaikan pakan berbasis sumber daya lokal.

(6)

1.7. Perkiraan Impact (dampak)

Peningkatan efisiensi pakan dan produktivitas induk sapi potong, pedet umur 2 – 7 bulan dan bakalan umur 1,5 – 2 tahun sebesar 20 – 25% di Sulawesi Selatan akibat diadopsinya teknologi inseminasi buatan dan perbaikan pakan berbasis sumber daya lokal, sehingga menjadikan Sulawesi Selatan sebagai sentra pembibitan sapi potong (village

(7)

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Bali

Sulawesi Selatan termasuk daerah yang potensial di bidang pengembangan ternak sapi. Usaha penggemukan sapi muncul di beberapa daerah. Bahkan, pelabuhan Pare-pare terkenal sebagai pintu keluar untuk perdagangan sapi antarpulau. Data Dinas Peternakan Sulawesi Selatan menyebutkan, hingga April 2009, populasi sapi sudah mencapai 704 ribu ekor dan tersebar pada 18 kabupaten sentra pengembangan sapi. Perdagangan sapi antarpulau masih terus berlangsung, terutama untuk memasok daging kebutuhan masyarakat di kawasan timur Indonesia seperti Kalimantan, Maluku, Papua, Gorontalo dan Sulawesi Utara. Target populasi ternak sapi setiap tahun antara 50 ribu sampai 60 ribu ekor dengan rincian tahun 2009 764.099 ekor, 2010 naik menjadi 822.350 ekor, pada 2011 akan dicapai 880.157 ekor, 2012 bertambah menjadi 943.341 ekor dan tahun 2013 populasinya mencapai 1.016.729 (Anomimous, 2008 ). Adapun bangsa sapi yang berkembang di Sulawesi Selatan adalah Sapi Bali. Sapi Bali mampu beradaptasi baik dengan lingkungan setempat dan telah turun temurun dipelihara dan diusahakan peternak serta berpotensi sebagai sumber bibit sapi potong lokal. Bahkan Sulawesi Selatan tercatat sebagai provinsi yang memiliki potensi sebagai sumber bibit dengan rata-rata populasi di atas 90.000 ekor dan pertumbuhan populasi sebesar 2,8 - 5,9 %. Adapun jumlah populasi sapi Bali di Sulawesi Selatan sekitar 709.000 ekor yang tersebar di 8 kabupaten yang memiliki populasi sapi Bali di atas 30.000 ekor dengan pertumbuhan populasi sebesar 4.1 s/d 5,2 %, yakni di Kabupaten Bone, Bulukumba, Gowa, Barru, Pinrang, Wajo, Bantaeng dan Sidrap (Dirjen Peternakan, 2010). Oleh karena itu Sulawesi Selatan pada beberapa kabupaten sangat potensial dan masih sangat berpeluang untuk dijadikan lokasi

(8)

pengembangan sapi bali, hal tersebut terlihat dengan tingginya respon peningkatan populasi pada setiap perubahan (perbaikan parameter produksi).

2.2. Peningkatan Populasi Sapi

Laju kelahiran (calving rate) sapi nasional hanya sekitar 22% dengan mortalitas pedet 18% (Wiryosuhanto, 1999). Hal ini disebabkan lama bunting 9-9,50 bulan (Devendra et al, 1973) dan jarak beranak 15-17 bulan, sehingga ada selang waktu yang cukup lama bagi induk dapat bunting kembali. Persentase mortalitas ”pre” dan ”post-partus” pada pedet berkisar 7-27% (Sumadi et al., 1982), sementara kematian induk dewasa mencapai 2,70% (Sumbung et

al., 1978). Sapi bali memiliki calving rate 45-56% (Hardjosubroto, 1982) atau bervariasi

55-85% dengan mortalitas pedet 20-45% (Wirdahayati et al., 1998).

Dalam rangka meningkatkan populasi sapi dalam negeri pada prinsipnya dapat ditempuh dengan 3 (tiga) cara yaitu : (1) mengoptimalkan potensi sapi betina lokal yang ada melalui peningkatan produksi dan produktivitas. Upaya ini dilaksanakan dengan penerapan

Good Farming Practices (GFP) dan optimalisasi pelayanan teknis peternakan dan kesehatan

hewan. Strategi ini diarahkan untuk memperpendek Calving Interval dari 21 bulan menjadi ≤ 14 bulan sehingga akan meningkatkan Calving Rate (CR) menjadi 75 – 80%. Dengan optimalisasi pelayanan diharapkan dapat peningkatkan angka kelahiran dari 55% –57% menjadi 75 – 80% dari populasi sapi betina dewasa produktif; (2) Menekan angka kematian (pedet dan sapi muda), salah satu faktor penghambat peningkatan populasi sapi adalah masih tingginya kematian pedet dan sapi muda yang merupakan periode rawan kematian. Untuk menekan angka kematian diperlukan peningkatan pelayanan teknis secara optimal dan penerapan Good Farming Practices (GFP) sehingga dapat menekan angka kematian pedet dan sapi muda menjadi 3% - 5%, dan akan dapat meningkatkan populasi 10% - 15%; (3) peningkatan berat hidup sapi siap potong melalui : a. Peningkatan performans/potensi genetik

(9)

dan pencegahan in-breeding dengan menerapkan Good Breeding Practices (GBP). b. Optimalisasi penerapan Good Farming Practices (GFP) melalui optimalisasi potensi pakan yang berkualitas dan penerapan manajemen kesehatan hewan yang baik sehingga diperoleh peningkatan berat hidup per hari secara optimal. c. Optimalisasi dan fasilitasi usaha penggemukan/fattening, termasuk pola tunda potong sehingga berat hidup sapi siap potong menjadi optimal. Kontribusi dari strategi ini akan meningkatkan berat sapi siap potong yang relatif muda dengan berat hidup yang sudah optimal dengan peningkatan sebesar 20% – 30% (Permentan, 2006).

2.3 Potensi Pakan Ternak di Sulawesi Selatan

Sulawesi Selatan memiliki lahan kering dataran rendah seluas 2.523.762 ha (Kanwil Pertanian Sulawesi Selatan, 1999) yang pada umumnya cocok untuk pertanian tanaman pangan, perkebunan, hortikultura dan peternakan. Dalam mengoptimalkan usahatani pada lahan tersebut maka pemanfaatan limbah pertanian sangat potensial sebagai pakan sapi potong. Disamping pemanfaatan sisa hasil pertanian dan industri pertanian juga perlu diupayakan penanaman hijauan pakan yang berkualitas dengan memanfaatkan lahan yang diperuntukkannnya tidak bersaing dengan tanaman pangan, bahkan dapat bersinergis antara tanaman pakan dan pangan. Hal ini sangat penting mengingat penyediaan sisa hasil pertanian dan industri juga mengalami fluktuasi, sedangkan kita ketahui bahwa kebutuhan pakan untuk ternak ruminansia mencapai 60-70% dari hijauan.

Pakan sangat penting untuk diperhatikan, karena pakan sangat besar pengaruhnya terhadap pertambahan bobot badan sapi. Pakan diperlukan untuk hidup pokok, pertumbuhan, reproduksi dan produksi daging. Zat gizi utama yang dibutuhkan sapi adalah protein dan energi (Tilman et al., 1998). Limbah pertanian merupakan sisa tanaman pertanian setelah

(10)

diambil hasil utamanya dan dalam sistem pakan digolongkan sebagai pakan non konvensional. Beberapa limbah pertanian penting di Jawa dan Bali adalah jerami padi, jerami jagung, jerami sorghum, pucuk tebu, jerami kacang tanah, jerami kedelai, jerami ketela rambat dan pucuk ketela pohon. Jika dipilah-pilah maka ada kelompok limbah pertanian yang mempunyai kadar protein rendah (<7%) yang juga mempunyai kecernaan rendah yaitu jerami padi (4,5%), jerami jagung (6,1%), jerami sorghum (4,4%) dan pucuk tebu (5,6 %) (Lebdosukoyo, 1983). Penggunaan limbah yang mempunyai kandungan protein rendah dapat dilakukan dengan menambah suplemen protein dari limbah pertanian lain atau leguminosa (daun gamal/lamtoro) yang kemudian disusun menjadi ransum yang serasi. Beberapa perlakuan awal (pre treatment) dapat dipilih untuk dilakukan guna meningkatkan kualitas jerami. Umumnya perlakuan yang dilakukan digolongkan kepada perlakuan fisik, kimiawi dan biologis. Perlakuan fisik tidak mempengaruhi kandungan gizi jerami (Diwyanto dan Handiwirawan, 2004).

(11)

III. METODOLOGI

3.1. Ruang Lingkup Pengkajian

Kegiatan ini terbagi menjadi 2 sub kegiatan pengkajian yaitu :

Kegiatan 1 : Kajian peningkatan produktivitas induk sapi melalui teknologi inseminasi buatan dan perbaikan pakan

Kegiatan 2 : Kajian Teknologi pakan murah yang mampu meningkatan efisiensi pakan dan peningkatan berat badan pedet umur 4 – 10 bulan

3.2. Waktu dan Lokasi Pengkajian

Kegiatan pengkajian ini dilaksanakan di Desa Lau, Kecamatan Duampanua, Kabupaten Pinrang, mulai bulan Januari – Desember 2011.

3.3. Rancangan Pengkajian

Rancangan pengkajian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) 3.4. Pengamatan/Pengolahan dan Analisis Data

Parameter yang diamati adalah service per conseption ratio (S/C), % kebuntingan, laju kelahiran (calving rate), produktivitas pedet (Bobot Badan dan Pertambahan Bobot Badan Harian/PBBH), B/C rasio pembibitan, pembesaran pedet

Kegiatan I : Kajian Peningkatan Produktivitas Induk Sapi melalui Teknologi Inseminasi Buatan dan Perbaikan Pakan

Pendekatan (Kerangka Pemikiran)

Selang beranak merupakan kunci sukses dalam usaha peternakan sapi (pembibitan), semakin panjang selang beranak, semakin turun pendapatan petani peternak, karena jumlah

(12)

anak yang dihasilkan akan berkurang selama masa produktif. Meningkatkan produksi dan reproduktifitas ternak dengan memperpendek selang beranak (calving interval) dengan mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh dan seleksi bibit ternak (sapi pengafkiran memiliki selang beranak yang panjang) (Sudono, 1983).

a. Bahan dan Metode Pelaksanaan 1. Bahan dan Alat

Bahan dan alat yang digunakan sapi induk yang pernah melahirkan, semen beku dari pejantan unggul Sapi Bali, Limousin dan Simmental, Hormon GnRH, pakan konsentrat (jagung, dedak padi, bungkil kelapa, mineral mix), pakan hijauan, tempat pakan dan minum, sekop, chopper, tali, timbangan pakan dan timbangan sapi

2. Skala Kegiatan

Kegiatan ini akan menggunakan 12 ekor induk sapi bali terbagi dalam 4 perlakuan masing-masing perlakuan 3 ekor, ternak dipelihara secara kolektif pada suatu kandang komunal/kelompok

3. Rancangan Percobaan

Kajian ini akan menggunakan induk sapi potong yang masih produktif berumur 5 tahun sampai 8 tahun sebanyak 12 ekor yang dibagi dalam 4 perlakuan yaitu : (A) ransum yang digunakan peternak (pola peternak sebagai kontrol), (B) ransum yang disusun dari bahan pakal lokal, (C) ransum yang disusun dari bahan pakal lokal + probiotik (jerami fermentasi) (D) ransum konsentrat komersial. Jerami dan hijauan diberikan secara ad libitum. Kandungan protein kasar pakan lokal 14 % dan pakan komersial sebesar 17 %. Pemberian pakan lokal sebesar 2 kg/ekor/hari, sedangkan pakan komersial sebesar 1 kg/ekor/hari. Dilakukan penyerentakan birahi dengan penyuntikan hormon Prostaglandin (PGF2 ) sebanyak 3 ml dengan prosedur sebagai berikut :

(13)

– Hari -1 dan hari ke -11 disuntik hormon Prostaglandin(PGF2a) sebanyak 3 ml – Hari ke-14 di IB pada pagi dan Sore hari

– Langsung dicampur dengan pejantan

Analisis data dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap dan analisis ekonomi dengan B/C ratio.

4. Pengumpulan Data a. % Not Return Rate (NRR)

Merupakan jumlah betina yang tidak birahi lagi dibagi jumlah betina yang di IB b. Service per conseption ratio (S/C)

Service per conception (S/C) merupakan jumlah perkawinan atau pelayanan inseminasi yang dilakukan untuk menghasilkan kebuntingan.

c. % kebuntingan (CR)

Persen kebuntingan merupakan jumlah kebuntingan yang terjadi dari hasil perkawinan atau pelayanan inseminasi yang dilakukan

Tabel 1. Susunan Ransum Pakan Lokal pada Induk

No Nama Bahan Persentase (%)

1 Tumpi jagung 20 2 Tongkol Jagung 8 3 Dedak 55 4 Tepung Ikan 8 5 Bungkil kelapa 7 6 Mineral Mix 0,5 7 Garam 0,5 8 Kapur 1 Jumlah 100

Kegiatan II : Kajian teknologi pakan murah yang mampu meningkatan efisiensi pakan dan peningkatkan berat badan pedet umur 4-10 bulan

(14)

a. Pendekatan (Kerangka Pemikiran)

Pakan merupakan faktor penting pada penampilan produksi dan reproduksi sapi terutama anak sapi/pedet, pakan yang kurang baik dalam jumlah maupun kualitasnya menyebabkan terganggunya fungsi fisologis reproduksi ternak. Pemberian pakan dasar, pakan konsentrat, dan pakan aditif dengan kandungan nutrisi yang tidak seimbang dan tidak kontinyu akan menimbulkan stres dan akan menyebabkan sapi rentan terhadap penyakit dan terjadi gangguan pertumbuhan dan gangguan fungsi fisiologi reproduksi ternak. Selain itu, pakan merupakan biaya produksi terbesar dalam usaha peternakan (60-70%) sehingga diperlukan teknologi pakan murah yang mampu meningkatkan efisiensi pakan dan berat badan pedet umur 4 – 10 bulan.

b. Bahan dan Metode Pelaksanaan 1. Bahan dan Alat

Bahan dan alat yang digunakan sapi pedet, pakan konsentrat (jagung, dedak padi, bungkil kelapa, mineral mix), pakan hijauan, tempat pakan dan minum, sekop, chopper, tali, timbangan pakan dan timbangan sapi.

2. Skala Kegiatan

Kegiatan ini akan menggunakan 12 ekor pedet terbagi dalam 3 perlakuan masing-masing perlakuan 4 ekor, ternak dipelihara secara kolektif pada suatu kandang komunal/kelompok 3. Rancangan Percobaan

Kajian ini akan menggunakan pedet sebanyak 12 ekor yang dibagi dalam 3 perlakuan yaitu : (A) Ransum yang digunakan peternak (pola peternak sebagai kontrol); (B) Ransum yang disusun dari bahan pakan lokal; (C) Ransum pakan komersil. Pemberian pakan lokal (B) sebesar

(15)

3 kg/ekor/hari, sedangkan pakan komersil (C) 1,5 kg/ekor/hari. Hijauan diberikan secara ad

libitum. Kandungan protein pada ransum bahan pakan lokal sebesar 17,22 % sedangkan pakan

komersil sebesar 18%. Analisis data dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dan analisis ekonomi dengan B/C ratio.

4. Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan adalah meliputi : Bobot Badan, Pertambahan Bobot Badan Harian/PBBH, Efisiensi Pakan (Feed Conversion Ratio/FCR =(Jumlah pakan yang dikonsumsi : Pertambahan Bobot Badan Harian), Produktifitas Pedet = Total Bobot pedet/tahun, dan B/C rasio pembesaran pedet

Tabel 2. Susunan Ransum Pakan Lokal pada Pedet

No Nama Bahan Persentase (%)

1 Tumpi jagung 10 2 Dedak 66 3 Tepung Ikan 10 4 Bungkil kelapa 12 5 Mineral Mix 0,5 6 Garam 0,5 7 Kapur 1 Jumlah 100

(16)

IV. HASIL DANPEMBAHASAN

4.1. Kajian Peningkatan Produktivitas Induk Sapi melalui Teknologi Inseminasi Buatan dan Perbaikan Pakan

Pada kajian ini ada perlakuan yang dilakukan yaitu teknologi inseminasi buatan (IB) dan perbaikan pakan pada induk yang telah di IB. Sebelum pelaksanaan IB, terlebih dahulu dilakukan penyerentakan berahi dengan tujuan agar supaya waktu berahi dapat bersamaan dan pelaksanaa IB pada waktu yang sama. Penyuntikan hormon (PGF2 ) sebanyak 3 ml dengan dua kali penyuntikan selang 11 atau 12 hari, metode ini dilakuka karena biasanya lebih cocok diterapkan pada kondisi lapangan dimana siklus berahi ternak sulit untuk dikontrol atau diamati. Hasil penyuntikan hormon (PGF2 ) dapat dihasilnya pada Tabel 3 berikut ini.

Tabel 3. Rata-rata tampilan reproduksi dari penyuntikan hormon (PGF2 )

Parameter Rata-rata

Respon estrus (%) 100

Onset estrus (jam) 65

Lama estrus (jam) 30

Penyuntikan hormon (PGF2 ) pada induk sapi memberikan respon sebesar 100%, ini berarti dari 12 ekor yang disinkroniasikan kesemuanya mengalami berahi (estrus). Penelitian Sariubang, et.al., (2010) dengan metode yang sama juga mengalami respon berahi sebesar 100%. . Hal yang sama dilaporkan oleh Stephens dan Rajamahendran (1998) bahwa penyuntikan PGF-2α sebanyak dua kali pada sapi potong mampu menyerentakan berahi (90%) dengan angka kebuntingan yang lebih tinggi (62%) dibandingkan penyuntikan satu kali.

(17)

Tabel 4. Kinerja reproduksi sapi potong induk di Desa Lau, Kec, Duampanua, Kab. Pinrang Parameter PERLAKUAN A B C D NRR (%) 90 90 100 100 S/C 1,66 1,66 1,33 1 % kebuntingan 60 60 75 100

Lama kebuntingan (hari) 148,5 148,5 155,5 155,5

Not Return Rate (NRR) pata Tabel 4 memperlihatkan bahwa perlakuan A dan B, NRR nya sebesar 90% sedangkan perlakuan C dan D sebesar 100%. Ini berarti bahwa pada penyerentakan berahi pada perlakuan A dan B, hanya ada 1 ekor induk yang menunjukkan berahi kembali.

Banyaknya pelayanan perkawinan (IB) hingga terjadi kebuntingan (Service per Conception) pada perlakuan A dan B sebesar 1,66 sedangkan perlakuan C dan D masing 1,33 dan 1. Angka ini cukup baik karena tidak terlalu jauh berbeda bahkan lebih rendah dari target yang dicanangkan oleh pemerintah. Program PSDS yang dicanangkan oleh pemerintah yang ditargetkan sebesar < S/C 1,55.

Persentase kebuntingan (conception rate) berdasarkan hasil palpasi bulan ke 4 setelah IB menunjukkan hasil pada perlakuan A dan B sebesar 60 %, perlakuan C 75% dan D 100%. Angka ini memberi indikasi tercapainya keberhasilan IB. Dimana keberhasilan menurut Ditjenak (2010) dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain : kualitas semen beku yang digunakan, inseminator yang terampil dan berpengalaman, dan faktor peternak yaitu orang yang berinteraksi langsung dengan ternak betina, merawat, memberi makan dan juga melakukan deteksi berahi dan melaporkannya pada petugas IB (inseminator).

(18)

Calving rate pada kajian ini belum dapat ditampilkan oleh karena umur kebuntingan baru mencapai + 148,5 – 155,5 hari.

Tabel 5. Kinerja produksi sapi potong induk di Desa Lau, Kec, Duampanua, Kab. Pinrang Parameter PERLAKUAN A B C D Bobot Awal (kg) 254 215,33 224,33 244,66 Bobot Akhir (kg) 268,54 258,33 268 287,33 PBBH (kg/ekor/) 0,266ns 0,358 ns 0,363 ns 0,355 ns Pertambahan Panjang badan (cm/ekor/hari) 0,008 ns 0,003 ns 0,025 ns 0,028 ns Pertambahan lingkar dada

(cm/ekor/hari) 0,036

ns 0,021 ns 0,034 ns 0,040 ns

Pertambahan tinggi pundak (cm/ekor/hari)

0,058 ns 0,069 ns 0,041 ns 0,047 ns

Berdasarkan Tabel 5, menunjukkan pertambahan bobot badan pada perlakuan C (ransum yang disusun dari bahan pakal lokal + jerami fermentasi) lebih tinggi dibanding perlakuan A, B, D, namun tidak terlalu jauh berbeda dengan perlakuan B (ransum yang disusun dari bahan pakal lokal) dan D (ransum konsentrat komersial). Masing-masing perlakuan C,B dan D sebesar 0,363 kg/ekor/hari, 0,358 kg/ekor/hari dan 0,355 kg/ekor/hari. Sedangkan perlakuan A (sesuai kebiasaan petani) lebih rendah dibanding perlakuan B, C dan D yaitu sebesar 0,266 kg/ekor/hari. Perbedaan ini disebabkan oleh kandungan zat-zat gizi yang terdapat dalam pakan seperti karbohidrat, protein, vitamin dan mineral. Sejalan yang dikemukakan Soenarjo dkk., (1991) bahwa pemberian pakan yang berkualitas berpengaruh pada pertambahan bobot badan Pertambahan bobot badan pada perlakuan B, C, D yang tidak jauh berbeda oleh karena kandungan protein yang tidak jauh berbeda. Namun, pada perlakuan C, pemberian jerami yang

(19)

difermentasi memberikan pertambahan bobot badan sedikit lebih tinggi oleh karena jerami yang difermentasi dengan menggunakan probiotik akan lebih mudah dicerna oleh ternak. Hal ini sesuai yang dikemukakan oleh Haryanto (2000) bahwa jerami padi bila diperlakukan fermentasi dengan probiotik, nilainya sebagai pakan akan meningkat sehingga mampu meningkatkan produksi ternak.

Pemberian pakan lokal yang disusun berdasarkan bahan-bahan lokal yang mudah diperoleh di sekitar lokasi pengkajian pada perlakuan B dan C ternyata memberikan pertambahan bobot badan yang hampir sama bahkan sedikit lebih tinggi dibanding dengan pakan komersil (perlakuan D) yang dibeli dari industri pakan ternak dengan harga yang lebih tinggi dibanding dengan pakan lokal.

Berdasarkan hasil analisis statistik pada pertambahan bobot badan maupun pada pengukuran tubuh lainnya tidak menunjukkan pengaruh nyata terhadap perlakuan pakan.

(20)

Tabel 6. Konsumsi bahan kering konsentrat, hijauan, induk sapi potong di Desa Lau, Kec, Duampanua, Kab. Pinrang

Parameter PERLAKUAN A B C D PBB h (kg/ekor/hari) 0,266ns 0,358 ns 0,363 ns 0,355 ns Konsumsi (kg/ekor/hari) - Konsentrat - Hijauan - Jerami fermentasi - 7,12 1,9 2,1 - 1,95 1,2 1,1 0,9 3,5 - Konversi pakan 26,76 11,17 11,70 12,39 Efisiensi Pakan (%) 3,73 8,95 8,54 8,06

Pertambahan bobot badan harian (PBBH) pada kajian ini dipengaruhi oleh perlakuan suplementasi konsentrat. Konversi pakan pada perlakuan B lebih rendah dibanding perlakuan B, C dan D yaitu masing-masing 26,69;11,17;11,70. dan 12, 39. Sedangkan efisiensi pakan perlakuan C lebih tinggi dibanding perlakuan A, B dan D yaitu masing-masing 3,73; 8,95; 8,54 dan 8,06. Pakan yang diberikan dikatakan efisien apabila pakan tersebut dapat dikonsumsi sepenuhnya oleh ternak dan tercerna dengan baik pula. Pakan yang berkualitas yang kita berikan diusahakan tidak terbuang percuma (tumpah atau tidak termakan). Di dalam manajemen atau tatalaksana pemeliharaan masalah tumpah dan tidak termakan banyak terjadi dan ini harus dihindari sebisa mungkin. Sebagai tolak ukur efisien pakan yang kita berikan dapat diukur dengan konversi pakan atau yang biasa terkenal dengan sebutan Feed

Consumtion rate (FCR). Konversi pakan adalah perbandingan jumlah pakan yang dikonsumsi

dengan pertambahan berat badan dalam waktu tertentu. Makin kecil angka konversi pakan tersebut berarti makin efisien pakan yang kita berikan (Admin, 2010).

Pemberikan pakan pada kajian ini dilakukan dua minggu sebelum pelaksanaan IB, dan menunjukkan hasil bahwa, perlakuan D memberikan kebuntingan 100%, perlakuan C 75%,

(21)

perlakuan A dan B 60%. Pengaruh perbaikan mutu pakan menjelang perkawinan dapat meningkatkan kesuburan, sesuai yang dikemukakan oleh Ismudiono (1988) bahwa, pengaruh perbaikan mutu pakan “flushing” (meningkatkan kualitas dan kuantitas pakan) menjelang perkawinan dapat meningkatkan kesuburan. Respon terhadap angka konsepsi (conception

rate) tergantung pada kualitas pakan dan kandungan karbohidratnya (Cole dan Cupps, 1978).

Namun, keberhasilan IB bukan hanya ditentukan pakan, namun oleh beberapa faktor antara lain; keterampilan inseminator, semen beku yang digunakan, ketepatan inseminasi. Tingginya angka kebuntingan pada kajian ini selain perbaikan pakan, juga karena keterampilan inseminator yang baik dan sudah perpengalaman. Selain itu semen beku yang digunakan juga mempunyai kualitas yang baik karena baru diambil dari Dinas Peternakan Propinsi dan juga baru diisi dengan N2 cair.

Selama kebuntingan sapi, perbaikan pakan terus dilakukan selama 3,5 bulan, sehingga terjadi peningkatan pertambahan bobot badan yang tinggi. Seperti yang dikemukakan oleh Edey (1976) bahwa pemberian pakan yang sangat tinggi (200% maintenance) pada periode sebelum implantasi dapat mempengaruhi daya hidup embryo. Pengaruh pemberian pakan tersebut dapat mengubah imbangan yang negative antara konsentrasi progresteron di dalam darah induk pada permulaan kebuntingan dengan tingkat pemberian pakan. Pakan 25 % lebih tinggi dari maintenance lebih baik dibanding pakan 200% maintenance. Sedangkan kekurangan pakan juga mengakibatkan kematian embryo.

4.2. Kajian teknologi pakan murah yang mampu meningkatan efisiensi pakan dan peningkatkan berat badan pedet umur 4-10 bulan

Permasalahan yang terjadi di lapangan adalah kematian pedet yang cukup tinggi pada penggembalaan tradisional, dalam arti ternak digembalakan pada sawah yang baru panen, tanpa diberi pakan tambahan waktu dikandangkan. Kematian pedet pada pola ini hampir

(22)

mencapai 100%. Otomatis mortalitas yang demikian tinggi tersebut menyebabkan kerugian yang tinggi bagi peternak.

Cara yang paling tepat mengatasi kematian yang cukup tingggi tersebut adalah dengan mengandangkan pedet dan induknya minimal 40 hari setelah sapi induk beranak (Lolitsapo, 2010). Pakan yang cukup berkualitas wajib disediakan pada kandang. Pakan yang berkualitas adalah pakan yang mempunyai nilai nutrisi yang cukup tinggi seperti rumput-rumputan dan dedak/konsentrat.

Tabel 7. Rata-rata kinerja produksi sapi potong pedet di Desa Lau, Kec, Duampanua, Kab. Pinrang Parameter PERLAKUAN A B C Bobot Awal (kg) 56,6 56,3 57,8 Bobot Akhir (kg) 98,6 110,2 113,4 PBBH (kg/ekor/hr) 0,29 ns 0,45 ns 0,46 ns Pertambahan Panjang badan (cm/ekor/hari) 0,15 ns 0,16 ns 0,18 ns

Pertambahan lingkar dada

(cm/ekor/hari) 0,21

ns 0,23 ns 0,24 ns

Pertambahan tinggi pundak (cm/ekor/hari)

0,22 ns 0,18 ns 0,19 ns

(23)

Gambar 2. Grafik Pertambahan bobot badan harian (PBBH) pedet (kg/ekor/hari) selama 4 bulan

Pada Tabel 7, menunjukkan rata-rata pertambahan bobot badan pedet pada perlakuan C (pakan komersil) lebih besar dibanding perlakuan B (pakan lokal) dan perlakuan A (kontrol). Namun, tidak terlalu jauh antara perlakuan C dan B, yaitu masing-masing 0,46 kg/ekor/hari; 0,45 kg/ekor/hari dan 0,29 kg/ekor/hari. Hal ini juga disebabkan kandungan protein perlakuan C (18%) sedikit lebih tinggi dibanding perlakuan B (17,22%). Ini berarti bahwa, fungsi pakan lokal tidak jauh berbeda dengan pakan komersil adalah untuk meningkatkan produktivitas pedet. Hal ini sesuai yang dikemukakan oleh Maryono, et.al., (2007), bahwa limbah pertanian dan agroindustri pertanian memiliki potensi yang besar sebagai sumber pakan ternak ruminansia. Limbah memiliki nilai nutrisi tinggi digunakan sebagai bahan pakan sumber energi atau protein. Pertambahan bobot badan harian (PBBH) yang diperoleh pada perlakuan B dan C, rata-rata 0, kg/ekor/hari sampai 0,46 kg/ekor/hari telah sesuai yang dikemukakan oleh Maryono, et.al., (2007), pakan murah untuk usaha pembibitan sapi potong dapat meningkatkan laju pertambahan bobot badan harian (PBBH)

(24)

pedet s.d disapih umur 7 bulan sekurang-kurangnya 0,4 kg. Pakan murah yang berasal bahan pakan lokal juga dapat menekan kematian pedet pra-sapih kurang dari 3%.

Tabel 8. Konsumsi bahan kering konsentrat, hijauan, pedet sapi potong di Desa Lau, Kec, Duampanua, Kab. Pinrang

Parameter PERLAKUAN A B C PBB h (kg/ekor/hari) 0,29 ns 0,45 ns 0,46 ns Konsumsi (kg/ekor/hari) - Konsentrat - Hijauan 0 4,5 2,9 0,9 1,4 1,1 Konversi pakan 15,51 8,4 5,43 Efisiensi Pakan (%) 6,44 11,84 18,4

Pertambahan bobot badan harian (PBBH) pada kajian ini dipengaruhi oleh perlakuan suplementasi konsentrat. Konversi pakan pada perlakuan C lebih rendah dibanding perlakuan A dan B yaitu masing-masing 15,51; 8,4 dan 5,43. Sedangkan efisiensi pakan perlakuan C lebih tinggi dibanding perlakuan A, dan B yaitu masing-masing 6,44%; 11,84% dan 18,4%. Perlakuan C merupakan pakan yang paling efisien dipergunakan oleh ternak untuk laju pertumbuhan bobot badan pedet sebab tolak ukur efisien pakan yang diberikan dapat diukur dengan konversi pakan. Makin kecil angka konversi pakan tersebut berarti makin efisien pakan yang kita berikan.

Analisis Ekonomi

Dari tampilan reproduktivitas, data yang digunakan sebagai dasar untuk menghitung nilai ekonomi pemeliharaan adalah PBBH untuk induk pre-partus. Nilai input yang dihitung

(25)

adalah harga pakan sedangkan nilai output adalah nilai harga PBBH. Secara rinci analisis ekonomi ditampilkan pada Tabel 9.

Tabel 9. Analisis Ekonomi Induk pre-partus (bunting) di Desa Lau, Kec, Duampanua, Kab. Pinrang

Uraian PERLAKUAN A B C D Input - Hijauan (Rp/ek/hr) - Pakan Lokal - Jerami fermentasi - Pakan komersil - Obat-obatan 1.424 - - - 7.000 420 2502,77 - - 7.000 240 2568,63 550 - 7.000 700 - - 3.375 7.000 Jumlah (Rp/ek/hr) 8.424 9.923 10.539 11.075 Output - PBBH - Penjualan PBBH (ek/hr) - Kotoran 7.980 3.650 10.740 4.250 10.890 4.350 10.650 4.200 Jumlah Output (Rp/ek/hr) 11.630 14.990 15.240 14.850 Keuntungan (Rp)ek/hr) 3.206 5.067 4.881 3.775 Keuntungan (Rp/ek/120 hr) 384.720 608.067 585.764 453.000 B/C Ratio 1,6 2,14 2,17 2,12

Ket : Hijauan (Rp. 200/kg), Pakan lokal (Rp.131.725/kg), Jerami fermentasi (Rp.500/kg), Pakan komersil (Rp. 3.750/kg), Daging (Rp.30.000/kg), Kompos (Rp.500.kg)

Perhitungan analisis ekonomi pada induk, belum menampilkan biaya maupun hasil IB, karena induk masih dalam keadaan pre partus (bunting). Dari Tabel 9, menunjukkan bahwa perlakuan B (pakan lokal) memberikan keuntungan yang paling besar yaitu Rp. 608.067/ekor selama 120 hari, kemudian perlakuan C (pakan lokal ditambah jerami fermentasi) sebesar Rp. 585.764, perlakuan D (pakan komersil) Rp. 453.000 dan yang paling rendah adalah perlakuan

(26)

A (control) sebesar Rp. 383.720. Dari analisis B/C ratio, semua perlakuan layak untuk dilanjutkan karena nilainya diatas 1. Namun yang paling layak adalah perlakuan C, B dan D dengan nilai masing-masing 2,17; 2,14 dan 2,12 karena nilai B/C rationya diatas 2.

Tabel 10. Analisis Ekonomi sapi pedet di Desa Lau, Kec, Duampanua, Kab. Pinrang

Parameter PERLAKUAN A B C Input - Hijauan (Rp/ek/hr) - Pakan Lokal - Pakan komersil - Obat-obatan 900 - - 7.000 180 4.292,72 - 7.000 200 - 5.950 7.000 Jumlah (Rp/ek/hr) 7.900 11.472.72 13.170 Output - Penjualan PBBH (ek/hr) - Kotoran 8.700 1.750 13.500 2.000 13.800 1.950 Jumlah (Rp/ek/hr) 10.450 15.500 15.750 Keuntungan (Rp/ek/hr) 2.550 4.027 2.580 Keuntungan (Rp/ek/120 hr) 306.000 483.273 309.600 B/C Ratio 1,32 1,35 1,20

Ket : Hijauan (Rp. 200/kg), Pakan lokal (Rp.148.025/kg), Pakan komersil (Rp. 4.750/kg), Daging (Rp.30.000/kg), Kompos (Rp.500.kg)

Dari Tabel 10, menunjukkan hasil analisis ekonomi untuk pedet yang paling menguntungkan adalah perlakuan B (pakan lokal) sebesar Rp. 483.273/ekor selama 120 hari. Kemudian perlakuan C (pakan komersil) Rp. 309.600/ekor dan yang paling rendah adalah control sebesar Rp. 306.000. Dari analisis B/C ratio, semua perlakuan pakan layak untuk dikembangkan karena bernilai diatas 1, namun yang paling layak adalah perlakuan B karena nilai B/C rationya paling tinggi dibanding perlakuan A dan C.

(27)

V. KESIMPULAN

Dari hasil pembahasan, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut

Perbaikan pakan sebelum pelaksanaan IB memberikan persentase kebuntingan (conception rate) yang cukup tinggi

Pemberian pakan lokal ditambah jerami fermentasi pada perlakuan C dan pakan lokal pada perlakuan B pada saat kebuntingan memberikan pertambahan bobot badan lebih tinggi dibanding pakan komersil (perlakuan D) dan kontrol (perlakuan A)

Hasil analisis ekonomi, menunjukkan bahwa pemberian pakan lokal pada perlakuan B dan C memberikan keuntungan yang lebih besar dibandingkan perlakuan D (pakan komersil) dan perlakuan A (control)

Perbaikan pakan pada pedet, memberikan pertambahan bobot badan harian pada perlakuan B (pakan lokal) lebih tinggi dibanding perlakuan C (pakan komersil) dan perlakuan D (kontrol)

Hasil analisis ekonomi, menunjukkan bahwa perlakuan B (pakan lokal) memberikan keuntungan yang lebih besar dibanding perlakuan C (pakan komersil) dan perlakuan A (control)

Pakan lokal dengan harga murah dapat meningkatkan laju pertumbuhan pada induk bunting maupun pedet lebih baik dibanding pakan komersil dan kontrol

DAFTAR PUSTAKA

Admin. 2010. Evaluasi Keberhasilan Usaha Peternakan Anda. www.sentralternak.com

Anonimous. 2008. Bisnis Sapi Potong Tetap Menguntungkan. (http//Infogue.com, diakses 1 Juni 2010).

Cole, H.H. and P.T. Cupps. 1978. Reproduction in Domestic Animals. 3rd Ed. Academic Press. New York and London; 445-447.

(28)

Direktorat Jenderal Peternakan, 2008. Populasi Sapi Potong Menurut Propinsi. (http://www.deptan.go.id/infoeksekutif/nak/nak06/populasi, diakses 7 Juli 2010). Direktorat Jenderal Peternakan. 2010. Pedoman Teknis Alat Mesin dan ULIB Budidaya

Ternak Ruminansia. Direktorat Budidaya Ternak Ruminansia. Direktorat Jenderal Peternakan. Kementerian Pertanian, Jakarta.

Direktorat Jenderal Peternakan. 2010. Laporan RAPIM Maret. Direktorat Jenderal Peternakan. Departemen Pertanian. Jakarta.

Devendra, C., Lee Cok Choo and M. Pathmasingan. 1973. The productivity of Bali Cattle in Malaysia. Malaysia Agric. J. 49 : 183

Edey, T.N. 1976. Nutrition and Embryo Survival in the Ewe. Proc. N.Z. Soc. Anim. Prod. 36:231-239.

Hadi, P. U. dan N. Ilham. 2000. Peluang pengembangan usaha pembibitan ternak sapi potong di Indonesia dalam rangka swasembada daging 2005. Makalah dipresentasikan dalam Pertemuan Teknis Penyediaan Bibit Nasional dan Revitalisasi UPT T.A. 2000. Direktorat Pembibitan, Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan, Jakarta, 11-12 Juli 2000. 22 hlm.

Hall, J.B., W.W. Seay, S. M. Baker.2001. Nutrition and Feeding of the Cow-Calf Herd: Production Cycle Nutrition and Nutrient Requirements of Cows, Pregnant Heifers and Bulls. Extension Agent, Animal Science,Virginia Tech. Publication Number 400-412. Haryanto, B. 2000. Pemanfaatan Jerami Padi untuk Pakan Ternak dan Strategi Pemberian

Pakan Sapi Perah. Bahan Pelatihan Revitalisasi Keterpaduan Usaha Ternak dalam Sistem Usahatani tanggal 21 Pebruari – 6 Maret 2000. 20 hal.

Ilham, N. 1995. Strategi pengembangan ternak ruminansia di Indonesia ditinjau dari segi potensi sumber daya pakan dan lahan. Forum Agro Ekonomi 13 (12) : 33-34

Ismudiono. 1988. Pengaruh Status Gizi yang Digambarkan oleh Beberapa Komponen Darah terhadap Reproduksi dan Produksi Sapi Perah. Disertasi Fakultas Pascasarjana IPB. Bogor.

Kantor Wilayah Departemen Pertanian Sulawesi Selatan. 1999. Statistik Pertanian Sulawesi Selatan.

Lolitsapo. 2007. Petunjuk Teknis Ransum Seimbang Strategi Pakan pada Sapi Potong. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Grati.

(29)

Mariyono dan E. Romjali. 2007. Petunjuk Teknis Teknologi Inovasi ”Pakan Murah” Untuk Usaha Pembibitan Sapi Potong. Puslitbang Peternakan, Badan Litbang Pertanian. Deptan. (20 halaman).

NRC. 1984. Nutrient Requirements of Domestic Animals. Sixth Revised Ed. National Academy Press. Whasington D.C. 2-3.

Peraturan Menteri Pertanian. 2006. Pedoman Pembibitan Sapi Potong yang Baik (Good Breeding Practice). Departemen Pertanian. Jakarta.

Pratiwi, W.C., L. Affandhy dan D. Ratnawati. 2008. Pengaruh umur penyapihan terhadap performans induk dan pertumbuhan pedet sapi potong di kandang kelompok. Pros. Sem.. Nas. Sapi Potong. Kerjasama antara Univ. Tadolako dan Sub Dinas Peternakan Distanbunak, Sulteng: Palu, 24 November 2008:115-122.

Roy, J.H.B. 1959. The Calf:Its Management, Feeding and Health. 2nd. Farmers and Stock- Breeder Publication, London. 126 p.

Short, R. E., E. E. Grings, M. D. MacNeil, R. K. Heitschmidt, M.R. Haferkamp, and D. C. Adams. 1996. Effect of time of weaning, supplement, and sire breed of calf during the fall grazing period on cow and calf performance. J. Anim. Sci. 74:1701-1710.

Sudono., 1983. Produksi Sapi Perah. Departemen Ilmu Produksi Ternak. Fakultas Peternakan Insititut Pertanian Bogor. Bogor

Sugeng, Y.B. 1998. Sapi Potong : Pemeliharaan, Perbaikan Produksi, Prospek Bisnis,Analisis Penggemukan. Penebar Swadaya. Jakarta. 32 Hlm.

Talib, C. 1990. Produktivitas pedet peranakan Ongole dan silangannya dengan Brahman dan Limousin, pertumbuhan pada umur 120 hari sampai umur 205 hari. Ilmu dan Peternakan 4 (3) : 315 - 318.

Talib, C. 1991. Produktivitas pedet peranakan Ongole dan silangannya dengan Brahman dan Limousin, pertumbuhan pada umur 205 hari sampai umur 365 hari. Ilmu dan Peternakan 4 (4) : 384 - 388.

Tilman, A.D., H. Hartadi, S. Reksohadiprodo, S. Prawirokusumo dan S. Lebdosoekojo. 1989. Makanan Ternak Dasar. Gajah Mada University Press, Yogyakarta.

Toelihere, M.R., T.L. Yusuf dan M.B. Taurin. 1980. Inseminasi Buatan. Ed. 6. Departemen Reproduksi. Institut Pertanian Bogor. 81 Hlm.

Wiguna, M.A., Soeharto P.R., dan Soekoharto. 1982. Pengaruh hasil keturunan sapi inseminasi buatan (IB) terhadap perkembangan peternakan sapi dan pendapatan petani. Dalam Proseding Seminar “Penelitian Peternakan”. Cisarua 8-11 Februari.

(30)

Wirdahayati, R.B., P.T. Fernandez, C. Liem and A. Bamualim. 1998. Strategies to improve beef cattle productivity in Nusa Tenggara region Indonesia. Bull. Anim. Sci. Suool. Ed. : 316 - 322

Wiryosuhanto,S. 1999. Hal yang perlu diwaspadai dalam impor daging. Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner 1999. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Ciawi, Bogor

(31)

Gambar

Tabel 2. Susunan Ransum Pakan Lokal pada Pedet
Tabel 3. Rata-rata tampilan reproduksi dari penyuntikan hormon  (PGF2 )
Tabel 4.   Kinerja reproduksi sapi potong induk di Desa Lau, Kec, Duampanua, Kab.  Pinrang Parameter   PERLAKUAN  A  B  C  D  NRR (%)   90  90   100  100  S/C   1,66  1,66  1,33  1  % kebuntingan  60  60  75  100
Tabel 5.   Kinerja produksi sapi potong induk di  Desa Lau, Kec, Duampanua, Kab.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Sindrom nefrotik (SN) merupakan sekumpulan gejala yang terdiri dari proteinuria massif  Sindrom nefrotik (SN) merupakan sekumpulan gejala yang terdiri dari proteinuria massif 

Bagi seorang pelajar pula, ianya berkaitan dengan penerimaan oleh orang lain terhadap diri seseorang pula, ianya berkaitan dengan penerimaan oleh orang lain terhadap diri

Secara umum berdasarkan jenis lamun, nisbah biomassa di bawah substrat terhadap biomassa di atas substrat terbesar ditemukan pada E.. Biomassa di bawah substrat

Fokus masalah pada penelitian ini adalah menerapkan metode Simple Additive Weighting ( SAW) pada evaluasi kerentanan untuk melihat nilai kerentanan dari website yang

Sebagian besar lainnya (68,78 persen) belum pernah mengikuti pelatihan/kursus/magang. Secara keseluruhan, sifat kewirausahaan pengusaha industri kreatif UMKM di Kota

Adapun variabel yang lebih dominan mempengaruhi penyerapan tenaga kerja pada usaha mikro di kota Jambi tahun 1993 sampai 2010 adalah upah ril dibandingkan

Pengukuran dilakukan dengan dua cara: (1). Penguburan dalam tanah sampah, dengan interval waktu pengamatan setiap 4 hari untuk melihat perubahan yang terjadi pada sampel film

Surat perama kali turun di Madinah dan surat terpanjang dalam Al-Qur`an mempunyai 286 ayat atau 6121 kata, dinamakan al- Baqarah berkaitan cerita seekor.. sapi pada