• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II HAK DAN KEWAJIBAN PARA PIHAK DALAM PERJANJIAN KERJASAMA ANTARA APOTEKER DENGAN PEMILIK SARANA APOTEK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II HAK DAN KEWAJIBAN PARA PIHAK DALAM PERJANJIAN KERJASAMA ANTARA APOTEKER DENGAN PEMILIK SARANA APOTEK"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

HAK DAN KEWAJIBAN PARA PIHAK DALAM PERJANJIAN KERJASAMA ANTARA APOTEKER DENGAN

PEMILIK SARANA APOTEK

1. Dasar Hukum Hak Dan Kewajiban Para Pihak Dalam Perjanjian Kerjasama Antara Apoteker Dengan Pemilik Sarana Apotek.

Hukum, hak dan kewajiban mempunyai hubungan yang sangat erat dalam lalu lintas kegiatan ekonomi. Hukum itu memberikan perlindungan pada kepentingan manusia dan membagi hak dan kewajiban. Hak merupakan kenikmatan dan keleluasaan, sementara itu kewajiban merupakan beban.

Hak dan kewajiban dapat timbul dari adanya suatu perjanjian yang dibuat para pihak ataupun yang telah ditentukan oleh undang-undang. Suatu perjanjian yang dibuat oleh para pihak, akan menimbulkan suatu perikatan, yang mana perikatan merupakan isi dari suatu perjanjian. Jadi, perikatan yang telah dilaksanakan para pihak dalan suatu perjanjian, memberikan tuntutan pemenuhan hak dan kewajiban terhadap pelaksanakan isi dari perjanjian, khususnya perjanjian kerjasama antara apoteker dengan pemilik sarana apotek.

Hak-hak pemilik sarana apotek sebagai pelaku usaha adalah diatur dalam Pasal 6 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, yaitu:

a. Menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/ atau jasa yang dipergunakan;

(2)

b. Mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beriktikad tidak baik;

c. Melakukan pembelaan diri yang sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;

d. Rehabilitasi nama baik apabila tidak terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/ atau jasa yang diperdagangkan;

e. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Kewajiban-kewajiban pemilik sarana apoteker sebagai pelaku usaha adalah diatur dalam Pasal 7 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, yaitu:

a. Beriktikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;

b. Memberi kompensasi, ganti rugi barang dan/ atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

Kewajiban-kewajiban pelaku usaha yang diatur dalam Pasal 7 Undang- undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, tidak semuanya dapat diterapkan kepada pemilik sarana apotek karena kewajiban lainnya yang terdapat dalam undang-undang tersebut lebih diterapkan kepada apoteker. Apoteker mempunyai kewajiban sebagai pelaku usaha pelayanan kefarmasian yang berhubungan dengan konsumen.

Selain itu, kewajiban-kewajiban pemilik sarana apotek diatur melalui perjanjian kerjasama antara apoteker dengan pemilik sarana apotek yaitu

(3)

melaksanakan pendirian usaha apotek serta menyediakan sarana dan prasarana pendirian apotek.

Adapun hak-hak apoteker sebagai pelaku usaha pelayanan kefarmasian diatur dalam Pasal 6 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, yaitu:

a. Mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beriktikad tidak baik;

b. Melakukan pembelaan diri yang sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;

c. Rehabilitasi nama baik apabila tidak terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/ atau jasa yang diperdagangkan;

d. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Kewajiban-kewajiban apoteker sebagai pelaku usaha pelayanan kefarmasian diatur dalam Pasal 7 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, yaitu:

a. Beriktikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya.

b. Memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/ atau jasa serta memberikan penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;

c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

(4)

d. Menjamin mutu barang dan/ atau jasa yang diproduksi dan diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/ atau jasa yang berlaku;

e. Memberikan kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan mencoba barang dan/ atau jasa tertentu serta memberikan jaminan atas barang yang dibuat dan/

atau diperdagangkan;

f. Memberikan kompensasi, ganti rugi dan/ atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/ atau jasa yang diperdagangkan;

Selain itu, sebagai pelayanan kefarmasian kewajiban apoteker juga diatur dalam Pasal 15 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 922/Menkes/SK/X/2002 Tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek dinyatakan bahwa:

a. Apoteker wajib melayani resep sesuai dengan tanggung jawab dan keahlian profesinya yang dilandasi pada kepentingan masyarakat.

b. Apoteker tidak diizinkan untuk mengganti obat generic yang ditulis dalam resep dengan obat paten.

c. Dalam hal pasien tidak mampu menebus obat yang tertulis dalam resep, apoteker wajib berkonsultasi dengan dokter untuk pemilihan obat yang lebih tepat.

d. Apoteker wajib memberikan informasi:

(1). Berkaitan dengan penggunaan obat yang diserahkan kepada konsumen.

(2). Penggunaan obat secara tepat, aman, rasional atas permintaan masyarakat.

Dalam melaksanakan hak dan kewajibannya, apoteker harus memenuhinya dengan iktikad baik dan penuh tanggung jawab. Jika apoteker bersalah tidak

(5)

memenuhi kewajiban itu, menjadi alasan baginya untuk dituntut secara hukum untuk mengganti segala kerugian yang timbul sehubungan dengan tidak dipenuhinya kewajiban itu, artinya apoteker harus bertanggung jawab secara hukum atas kesalahan atau kelalaiannya dalam menjalankan kewajibannya.

Pemilik sarana apotek atau pemilik modal tidak memiliki hak dan kewajiban sebagaimana hak dan kewajiban apoteker. Hal ini dikarenakan pemilik sarana apotek dalam suatu perjanjian kerjasama hanya berkewajiban menyediakan sarana dan prasana suatu bentuk usaha. Pemilik sarana apotek juga harus melaksanakan hak dan kewajibannya dengan iktikad baik. Berbeda dengan apoteker karena memiliki kewajiban sebagai pengelola apotek, kewajiban apoteker juga harus ditentukan oleh undang-undang, karena hal itu berhubungan dengan pihak ketiga, dalam hal ini konsumen.

2. Anatomi Klausul Perjanjian Kerjasama Antara Apoteker Dengan Pemilik Sarana Apotek

Suatu perjanjian merupakan hasil kesepakatan antara para pihak yang berkepentingan untuk melakukan suatu hubungan hukum. Hubungan hukum dalam suatu perjanjian tercermin dari klausul-klausul atau pasal-pasal yang tertuang dalam suatu perjanjian yang dibuat secara sah, dengan memenuhi pasal 1320 KUH Perdata.23

Perjanjian yang dibuat berdasarkan kesepakatan para pihak, khususnya perjanjian kerjasama antara apoteker dengan pemilik sarana apotek, menempatkan

23 Budi Harry Prima, Op. Cit, 2008, h. 23.

(6)

posisi para pihak dalam posisi seimbang. Artinya, para pihak mempunyai hak dan kewajiban sesuai kesepakatan yang telah ada.

Secara umum, perjanjian kerjasama antara apoteker dengan pemilik sarana apotek terdiri dari beberapa pasal, yaitu:

Pasal 1 (satu) berisi mengenai para pihak bersepakat untuk mematuhi ketentuan dan persyaratan mengenai pendirian sebuah apotik sebagaimana terdapat dalam Undang-Undang Nomor 23 Taahun 1992 Tentang Kesehatan, Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1980 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 1965 Tentang Apotik, Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1332/Menkes/Kep/X/2002 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 922/Menkes/Per/X/1993 Tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotik, Surat Keputusan Direktur Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan Nomor 02401/A/SK/X/90, serta peraturan perundang-undangan lain yang berlaku.

Pasal 2 (dua) berisi mengenai pihak kedua (pemilik sarana apotek) menyediakan sarana-sarana apotek yang terdiri dari bangunan, perlengkapan apotek, perbekalan kesehatan dibidang farmasi sebagaimana terdapat dalam daftar perincian sarana yang akan diperbuat kedua belah pihak yang menjadi milik dan/atau berada dalam penguasaan pihak kedua.

Dalam upaya membuka sebuah apotek yang baru berdiri, sering kali tertunda disebabkan oleh hal-hal kecil, baik yang terdapat dalam proses pemeriksaan kelengkapan sarana pendukung operasional ataupun berkas-berkas dalam mengajukan

(7)

permohonan pendirian apotek. Untuk menghindari kekurangan yang ada, maka sebaiknya pemilik sarana apotek melakukan dua hal, yaitu menginventarisasi semua kebutuhan perlengkapan sarana pendirian apotek dan membeli sesuai dengan kebutuhan, menginventarisasi dan mengurus semua berkas-berkas yang dibutuhkan dalam pendirian dan pengelolaan apotek.

Secara umum sarana dan prasana yang dimiliki oleh sebuah apotek yang dapat disediakan oleh pemilik sarana apotek adalah:

a. Papan nama apotek

b. Ruang tunggu yang nyaman

c. Tersedianya tempat untuk mendisplay obat bebas dan obat bebas terbatas serta informasi bagi konsumen

d. Ruang racikan

e. Ruang penyimpanan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan lainnya f. Ruang/ tempat penyerahan obat

g. Tempat pencucian alat24

Pasal 3 (tiga) berisi mengenai pihak pertama (apoteker) berkewajiban melakukan pengelolaan apotek sesuai dengan fungsi dan profesinya sebagai seorang apoteker dan berpedoman pada Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1980 Tentang Apotek serta peraturan-peraturan pelaksanaannya.

24 Wawancara dengan Sarman, Ketua Ikatan Apoteker Indonesia Kota Medan, tanggal 10 Mei 2010.

(8)

Pemahaman pasal ini dimana apotek merupakan tempat pengabdian profesi seorang apoteker, sarana farmasi yang melaksanakan peracikan, pengubahan bentuk, penyerahan obat dan pelayanan informasi kefarmasian yang dibutuhkan konsumen.

Kewajiban pengelolaan apotek tidak mungkin dapat dilakukan oleh seseorang yang tidak mempunyai pendidikan (keahlian) kefarmasian, oleh karena apoteker yang hanya dapat mengelola apotek dan kegiatan apoteker harus didasaarkan pada kode etik profesi dan standar pelayanan profesi apoteker.

Pasal 4 (empat) berisi mengenai pihak pertama adalah pimpinan apotik yang berhak dan berkewajiban serta bertanggung jawab sepenuhnya untuk pengelolaan apotek, pengelolaan apotek mana meliputi bidang pelayanan kefarmasian, bidang material, bidang ketenagakerjaaan, bidang lainnya yang berkaitan dengan tugas dan fungsi apotek, satu dan lainnya sesuai dengan undang-undang, peraturan pemerintah dan peraturan menteri kesehatan.

Dalam pasal tersebut, seorang apoteker dalam melaksanakan tugasnya harus berdasarkan sistem prosedur operasional. Pengertian sistem ini meliputi cara-cara untuk mengawasi pelaksanaan tugas, wewenang dan tanggung jawab suatu fungsi kegiatan yang ada di apotek. Struktur sistem yang umum terdapat di apotek terdiri dari fungsi-fungsi sebagai pusat pertanggungjawaban, antara lain sistem pembelian, sistem penjualan, sistem pelayanan, sistem pembukuan.25

Pasal 5 (lima) berisi mengenai honorarium atas kewajibannya, pihak pertama berhak untuk mendapatkan honorarium setiap bulan yang jumlahnya diketahui dan

25 Muhammad Umar, Op. Cit, h.22.

(9)

disepakati bersama dan dapat ditinjau kembali berdasarkan perkembangan apotek, pembayaran honorarium mulai berlaku pada saat apotek sudah berjalan (operasional).

Apoteker sebagai pihak yang memiliki keahlian tertentu, berhak mendapatkan honorarium apabila melaksanakan pekerjaanya dengan pihak lain (pemilik sarana apotek). Hal ini karena pihak pemilik sarana apotek tidak akan dapat mendirikan usaha apotek, yang mana dalam pengelolaan apotek membutuhkan suatu keahlian tertentu yang hanya dimiliki oleh apoteker. Honorarium ini dapat ditinjau ulang berdasarkan perkembangan usaha apotek ini nantinya apakah memproleh laba atau rugi.

Pasal 6 (enam) berisi mengenai apabila timbul perbedaan pendapat atau perselisihan diantara kedua belah pihak, sedapat mungkin diusahakan penyelesaiannya secara kekeluargaan dan musyawarah untuk mufakat, akan tetapi bila masih juga tidak terdapat persesuaian maka dapat ditempuh penyelesaiannya melalui badan arbitrase yang dibentuk bersama, badan arbitrase tersebut dibentuk dan terdiri dari tiga orang anggota, dimana masing-masing pihak memilih seorang anggota dan kedua orang yang terpilih tersebut memilih anggota ketiga.

Dalam prakteknya, sengketa yang terjadi antara apoteker dengan pemilik sarana apotek secara umum dilakukan melalui musyawarah dan mediasi.

Penyelesaian sengketa melalui lembaga peradilan sangat jarang dilakukan oleh pihak-

(10)

pihak yang bersengketa dikarenakan beracara melalui pengadilan proses penyelesaiannya lambat dan biaya cukup mahal.26

Pasal 7 (tujuh) berisi mengenai perjanjian kerja sama berlaku untuk jangka waktu misalnya 3 (tiga) tahun, terhitung sejak ditandatanganinya akta ini. Pasal 8 (delapan) berisi mengenai dalam segala hal yang tidak cukup diatur dalam akta ini akan diputuskan oleh kedua belah pihak dengan perjanjian tersendiri. Pasal 9 (sembilan) berisi mengenai segala ongkos dan biaya pembuatan akta ini dipikul oleh pihak kedua. Dan pasal 10 (sepuluh) berisi mengenai para pihak memilih tempat tinggal yang tetap dan umum-mengenai perjanjian ini dan segala akibatnya di Kantor Kepaniteraan Pengadilan Negeri di Medan.

Evaluasi jangka waktu lamanya perjanjian kerjasama biasanya dilihat berdasarkan laporan keuangan apotek. Apabila apotek tetap mendapatkan laba, maka perjanjian kerjasama dapat diperpanjang untuk jangka waktu berikutnya dan apabila apotek mengalami kerugian maka perjanjian kerjasama dapat dibatalkan.27 Hal-hal yang tidak diatur dalam perjanjian kerjasama dapat disepakati tersendiri oleh apoteker dengan pemilik sarana apotek, misalnya dalam pemberian honorarium dapat berubah sesuai kesepakatan bersama antara apoteker dengan pemilik sarana apotek dan segala resiko dan akibat pelaksanaan perjanjian kerjasama tersebut menjadi tanggung jawab para pihak.

26 Wawancara dengan Ketua Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia Cabang Medan, tanggal 12 Mei 2010.

27 Wawancara Apoteker Aminah Dalimunthe, tanggal 10 Mei 2010.

Referensi

Dokumen terkait

(1) Perjanjian ini memberi manfaat bagi APOTEKER karena dapat memperoleh modal berupa dana dan/atau bentuk modal lain dari PEMILIK MODAL secara sah yang akan

Soerjono Seto, Apt., MM., selaku Pemilik Sarana Apotek dan sebagai Apoteker Penanggungjawab Apotek serta sebagai pembimbing I yang telah memberikan ijin,

selaku Pemilik Sarana Apotek sekaligus Apoteker Pengelola Apotek dari Apotek Pandugo juga selaku Pembimbing I yang.. telah memberikan kami izin untuk melaksanakan Praktek

Pernyataan yang menjadi topik penelitian adalah untuk Apoteker Pengelola Apotek diharapkan melakukan kerjasama yang baik dengan apotek sekitarnya dalam rangka meningkatkan

Walaupun perjanjian kerjasama antara apoteker dengan pemilik sarana apotek adalah suatu perjanjian timbal balik, artinya para pihak hanya mengadakan hubungan hukum terhadap kedua

Spbu Pertamina Pasti Pas menurut Pasal 1 angka 17 Surat Perjanjian Kerjasama Pengusahaan SPBU adalah sebidang tanah dan fasilitas SPBU yang dimiliki atau dikuasai secara

TNC secara khusus diatur dalam perjanjian kerjasama yang disepakati bahwa apabila terjadi cidera janji atau wanprestasi yang dilakukan oleh pihak-pihak yang mengadakan

pengelolaan Farmasi -dan pelayanan kemasyarakat.- --- --- Pasal 8.- --- -Perjanjian kerjasama ini dimulai untuk jangka waktu 3 tiga Tahun ---lamanya, terhitung sejak tanggal 04 empat