• Tidak ada hasil yang ditemukan

Implementasi Tupoksi (Tugas Pokok dan Fungsi) Bappeda Dalam Proses Perencanaan. Pembangunan Partisipatif Di Kabupaten Tapanuli Utara SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Implementasi Tupoksi (Tugas Pokok dan Fungsi) Bappeda Dalam Proses Perencanaan. Pembangunan Partisipatif Di Kabupaten Tapanuli Utara SKRIPSI"

Copied!
73
0
0

Teks penuh

(1)

Implementasi Tupoksi (Tugas Pokok dan Fungsi) Bappeda Dalam Proses Perencanaan Pembangunan Partisipatif Di Kabupaten Tapanuli Utara

SKRIPSI

Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Menyelesaikan Pendidikan Strata 1 (S-1) Ilmu Administrasi Negara

Pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

OLEH:

150921035 RENNY S.

DEPARTEMEN ILMU ADMINISTRASI NEGARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2017

(2)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yesus Kristus yang telah memberkati penulis dengan kesehatan dan kebijaksanaan sehingga dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul

“Implementasi Tupoksi (Tugas Pokok dan Fungsi) Bappeda Dalam Proses Perencanaan Pembangunan Partisipatif Di Kabupaten Tapanuli Utara”. Adapun penulisan skripsi ini bertujuan untuk memenuhi persyaratan di Departemen Ilmu Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara dalam memperoleh gelar sarjana Ilmu Administrasi Negara. Semoga berkat dari Tuhan selalu mengalir kepada penulis dalam menyempurnakan karya ilmiah ini.

Sebagai suatu karya ilmiah, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan yang disebabkan oleh keterbatasan dan pengalaman penulis dalam menyusun karya ilmiah. Oleh karena itu, penulis mengaharapkan adanya kritik maupun saran yang bersifat membangun demi perbaikan skripsi ini. Dalam penyelesaian skripsi ini, penulis telah banyak mendapatkan dukungan, bantuan, bimbingan, dan semangat dari berbagai pihak. Untuk itu penulis mengucapkan terimakasih kepada kepada:

1. Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada kedua orang tua penulis, yakni Bapak Edward Sihotang dan Ibu Jojor Situmorang yang telah mendidik dan membesarkan penulis dengan penuh rasa kasih sayang dan kesabaran. Semoga doa dan restu bapak dan ibu selalu mengiringi dalam setiap langkah penulis.

2. Terima kasih kepada saudara penulis, Yanti Sihotang, Wina Sihotang, Fipin Sihotang, Jwandy Sihotang, dan Dinawaty Sihotang yang telah menjadi dan memberikan motivasi kepada penulis hingga dapat menyelesaikan skripsi ini.

(3)

3. Bapak Dr. Muryanto Amin, S.Sos., M.Si. selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Husni Thamrin, S.Sos., MSP selaku Wakil Dekan I Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Dr. Tunggul Sihombing, M.A. selaku Ketua Departemen Ilmu Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.

6. Bapak Dr. Tunggul Sihombing, M.A. selaku Dosen Pembimbing yang telah banyak memberikan sumbangan pemikiran, masukan dan meluangkan waktu untuk membimbing penulis sehingga sampai selesainya skripsi ini.

7. Bapak Drs. Robinson Sembiring, M.Si. dan Ibu Dra. Elita Dewi, M.S.P. selaku dosen penguji yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan kritik dan saran yang membangun dalam penyelesaian skripsi ini.

8. Kepada seluruh dosen-dosen dan staff pegawai Departemen Ilmu Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.

9. Terima kasih kepada Kak Dian dan Bang Rudi yang telah membantu penulis mulai dari awal perkuliahan hingga saat ini.

10. Terima kasih kepada Bapak Buha Mardongan Augus Sinaga, SP, MSi, Sekretaris Bappeda Tapanuli Utara.

11. Terima kasih kepada Bapak Roy Marganda Lumbantobing, SE MAP, Kepala Bidang Ekonomi dan Sosial Budaya di Bappeda Tapanuli Utara.

(4)

12. Terima kasih kepada Ibu Erlinda Juliarti Tobing, ST, Kepala Bidang Perencanaan Fisik, Prasarana, dan Tata Ruang Bappeda Tapanuli Utara.

13. Terima kasih kepada Ibu Cathirina Fitri Tampubolon, SE,M.Ec.Dev, Kepala Bidang Perencanaan Penelitian dan Pengembangan Statistik Bappeda Tapanuli Utara.

14. Terima kasih kepada staff atau pegawai Bappeda Kabupaten Tapanuli Utara, terkhusus kepada kakak sepupu penulis Lamtiur Hutabarat yang turut berpartisipasi dalam penelitian skripsi penulis ini.

15. Terima kasih kepada seluruh masyarakat Kabupaten Tapanuli Utara.

16. Terima kasih kepada seluruh teman-teman ekstensi S1 Ilmu Administrasi Negara stambuk 2015 terkhusus pada Dara Yolanda yang telah banyak membantu dan memberikan motivasi kepada penulis selama proses penyelesaian skripsi ini dan seluruh teman-teman stambuk 2015 yang tidak dapat disebutkan satu-persatu. Terima kasih karena kalian telah menjadi teman dan banyak membantu penulis selama perkuliahan.

17. Semua anggota keluarga, teman, sahabat, kenalan yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang juga berkontribusi dalam membantu perkuliahan penulis.

Akhir kata semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan berguna bagi kita semua.

Medan, 24 Juli 2017 Penulis,

RENNY S.

(5)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………. i

DAFTAR ISI……… iv

ABSTRAK……… vi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 6

1.3 Tujuan Penelitian ... 6

1.4 Manfaat Penelitian ... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Implementasi Kebijakan ... 7

2.1.1 Pengertian Implementasi ... 7

2.1.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi Implementasi Kebijakan ... 9

2.2 Peranan ... 13

2.3 Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) ... 14

2.4 Proses Perencanaan Pembangunan ... 18

2.5 Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan ... 25

2.6 Perencanaan Pembangunan Partisiatif ... 28

2.7 Defenisi Konseptual ... 31

2.8 Sistematika Penulisan ... 31

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Bentuk Penelitian ... 32

3.2 Lokasi Penelitian ... 32

3.3 Informan Penelitian ... 33

3.4 Teknik Pengumpulan Data ... 34

(6)

3.5Teknik Analisis Data ... 35

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Kabupaten Tapanuli Utara ... 38

4.1.1 Keadaan Geografi dan Iklim ... 38

4.1.2 Keadaan Topografi... 39

4.1.3 Keadaan Demografi/Kependudukan ... 39

4.1.4 Bappeda Kabupaten Tapanuli Utara ... 39

4.1.5 Visi dan Misi Bappeda Kabupaten Tapanuli Utara ... 41

4.1.6. Struktur, Tugas Pokok dan Fungsi (Tupoksi) ... 46

Bappeda Kabupaten Tapanuli Utara ... 4.2 Hasil Penelitian dan Pembahasan ... 43

4.2.1Komunikasi ... 43

4.2.2 Sumber Daya ... 47

4.2.3 Disposisi ... 50

4.2.4 Struktur Birokrasi... 51

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 59

5.2 Saran ... 60

DAFTAR PUSTAKA ... 61

(7)

ABSTRAK

Judul : Implementasi Tupoksi Dalam Proses Perencanaan Pembangunan Partisipatif di Kabupaten Tapanuli Utara

Nama : RENNY S.

NIM : 150921035

Program Studi : Ilmu Administrasi Negara S-1 Ekstensi Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Pembimbing : Dr. Tunggul Sihombing, M.A.

Penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam era otonomi daerah seperti sekarang ini lebih menekankan pada prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah. Hal ini merupakan perwujudan pelaksanaan azas desentralisasi dalam pelaksanaan pemerintahan di daerah. Partisipasi masyarakat (public participation) pada tatanan pemerintahan yang demokratis menghendaki adanya keterlibatan publik dalam proses perencanaan pembangunan yang semakin penting dalam penyelenggaraan otonomi daerah melalui musrenbang sesuai dengan Undang-Undang republik Indonesia No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Bappeda Kabupaten Tapanuli Utara sebagai bagian dari pemerintah, hanya mengatur jadwal pelaksanaan musrenbang, sebagai narasumber dalam pelaksanaan musrenbang kecamatan dan sebagai fasilitator dalam pelaksanaan forum SKPD dan Musrenbang Kabupaten. Akan tetapi, substansi dalam musrenbang itu sendiri diserahkan langsung kepada masyarakat

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektifitas dan efisiensi implementasi Tupoksi di Kabupaten Tapanuli Utara dan model implementasi kebijakan yang digunakan dalam penelitian ini dapat diukur dari komunikasi, sumber daya, disposisi, dan struktur birokrasi.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang didukung oleh data primer berupa hasil wawancara mendalam serta data sekunder berupa telaah dokumen. Teknik analisis data menggunakan teknik analisis konten. Penelitian ini dilakukan pada Maret-April 2017.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa implementasi tupoksi Bappeda dalam Proses Perencanaan Pembangunan Partisipatif di Kabupaten Tapanuli Utara sudah sesuai dengan Peraturan Bupati Nomor 12 tahun 2008. Perencanaan pembangunan yang dilaksanakan berbasis kepada masyarakat. Masyarakat dilibatkan aktif dalam musrenbang yang dilaksanakan baik tingkat desa, kecamatan, Forum SKPD dan Musrenbang Kabupaten.

Kata Kunci: Implementasi, Tupoksi, Bappeda, Perencanaan Pembangunan Partisipatif.

(8)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

Penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam era otonomi daerah seperti sekarang ini lebih menekankan pada prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah. Hal ini merupakan perwujudan pelaksanaan asas desentralisasi dalam pelaksanaan pemerintahan di daerah. Sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, pemerintah daerah berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi. Pemberian otonomi luas kepada daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat. Agar mampu menjalankan perannya tersebut, daerah diberikan kewenangan yang seluas-luasnya disertai dengan pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan otonomi daetah dalam kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan negara.

Partisipasi masyarakat (public participation) pada tatatanan pemerintahan yang demokratis menghendaki adanya keterlibatan public dalam proses perencanaan pembangunan yang semakin penting dalam penyelenggaraan otonomi daerah. Pelaksanaan otonomi daerah berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, telah membawa perubahan besar dalam setiap segmen penyelenggaraan pemerintahan daerah. Dengan diberlakukannya Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah tersebut, dapatlah ditarik benang merah bahwa setiap daerah memiliki kewenangan untuk

(9)

mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Penyelenggaraan otonomi daerah merupakan dasar perubahan paradigma dalam pelaksanaan pemerintahan, pengelolaan anggaran negara dan daerah serta sebagai perwujudan tuntutan agenda reformasi dalam upaya mencapai kesejahteraan masyarakat. Dalam era otonomi daerah yang menganut sistem pemerintahan yang demokratis, konsep partisipasi masyarakat merupakan salah satu konsep yang penting karena berkaitan langsung dengan hakekat demokrasi sebagai sistem pemerintahan yang berfokus pada rakyat sebagai pemegang kedaulatan. Salah satu ciri sistem pemerintahan yang baik (good governance) adalah pemerintahan yang bisa mengikut sertakan semua masyarakat, transparan dan bertanggungjawab, efektif dan adil, adanya supremasi hukum serta bisa menjamin bahwa prioritas-prioritas politik, sosial dan ekonomi didasarkan pada konsensus masyarakat. Disatu sisi, peningkatan kapasitas birokrat/aparat pemerintah diarahkan untuk merubah pola pikir, bahwa peranan birokrat/aparat pemerintah mengalami perubahan dari pelaku pembangunan menjadi fasilitator pembangunan.

Dengan demikian peran pemerintah lebih bersifat memfasilitasi dan mengkatalisasi melalui peningkatan peran serta masyarakat dalam otonomi daerah. Hal ini berarti perlu adanya komitmen terhadap penguatan keberadaan lembaga pemberdayaan masyarakat khususnya di tingkat bawah atau di tingkat kelurahan, sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, dimana salah satu fungsi pemerintah ditingkat Desa/Kelurahan serta Kecamatan adalah pemberdayaan masyarakat. Hal ini sangat penting dalam rangka merumuskan solusi dalam mengidentifikasi berbagai fungsi dari lintas pelaku pemberdayaan masyarakat, agar sadar akan arti pentingnya suatu harmonisasi penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan, yang ditandai dengan berjalannya peran serta

(10)

tugas pokok masing-masing. Keberhasilan Pemerintah Daerah dalam jangka panjang tidak hanya bergantung pada kepuasan masyarakat atas pelayanan yang diberikan, tetapi juga atas ketertarikan, keikutsertaan, dan dukungan dari masyarakat.

Munculnya perencanaan pembangunan pembangunan partisipatif diharapkan akan meghantarkan masyarakat untuk dapat memahami masalah-masalah yang dihadapi, menganalisa akar-akar masalah tersebut, mendesain kegiatan-kegiatan terpilih, serta memberikan kerangka untuk pemantauan dan evaluasi pelaksanaan pembangunan. Pengikutsertaan masyarakat dalam proses pembangunan merupakan salah satu cara yang efektif untuk menampung dan mengakomodasikan berbagai kebutuhan yang beragam. Dengan kata lain, upaya peneingkatan partisipasi masyarakat pada proses pembangunan dapat membawa keuntungan substansif, dimana pelaksanaan pembangunan akan lebih efektif dan efisien, disamping akan memberikan rasa kepuasan dan dukungan masyarakat yang kuat terhadap program-program pemerintah daerah itu sendiri. Akan tetapi dalam pelaksanaan otonomi daerah, pemerintahan daerah ditenggarai banyak melakukan penyimpangan dan kesalahan persepsi mengenai otonomi daerah.

Sebagian besar implementasi Undang-Undang pemerintahan daerah hanya mengedepankan orientasi keuangan dengan menciptakan berbagai Peraturan Daerah (PERDA) yang menekankan kepentingan ekonomi dari pada kepentingan pelayanan publik.

Keberhasilan pembangunan disuatu daerah tidak akan terlepas dari peran Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda). Bappeda adalah sebuah badan yang bertugas melakukan perencanaan pembangunan di daerah. Bappeda merupakan badan atau staf yang bertanggungjawab langsung kepada Walikota atau Bupati. Peran Bappeda pada pemerintahan yang telah lalu memang tidak terlalu signifikan didalam pembangunan. Namun hal ini lebih dikarenakan sistem pemerintahan yang terlampau sentralistik, sehingga ruang gerak Bappeda

(11)

menjadi terbatas karena begitu dominannya intervensi pemerintah pusat terhadap pembangunan di daerah. Akibatnya, perencanaan pembangunan yang disusun untuk suatu kesejahteraan rakyat.

Sehubungan dengan hal tersebut daerah, ketika diimplementasikan hasilnya sering tidak tepat sasaran karena tidak mampu merespon kebutuhan riil dari masyarakat. Hal ini membawa dampak dimana pembangunan yang telah ada tidak mampu mengangkat, maka peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik, baik pada proses perencanaan, perumusan, pelaksanaan dan evaluasi kebijakan sangat diperlukan. Oleh karena itu pemerintah perlu memberikan wadah bagi masyarakat agar masyarakat dapat terlibat aktif dalam setiap proses penyelenggaraan pelayanan publik. Dalam konteks hak asasi manusia, setiap hak pada masyarakat menimbulkan kewajiban pada pemerintah sehingga haruslah jelas pengaturan mengenai kewajiban pemerintahan daerahuntuk memenuhi hak atas partisipasi masyarakat dalam penyusunan program perencanaan pembangunan melalui konsultasi publik atau musyawarah perencanaan pembangunan (Musrenbang). Musrenbang merupakan forum konsultasi para pemangku kepentingan untuk menghasilkan kesepakatan perencanaan pembangunan di daerah yang bersangkutan sesuai tingkatan wilayahnya. Penyelenggaraan Musrenbang meliputi tahap persiapan, diskusi dalam perumusan rencana kegiatan pembangunan.

Musrenbang merupakan wahana utama konsultasi publik yang digunakan pemerintah dalam penyusunan rencana pembangunan nasional dan daerah di Indonesia. Musrenbang tahunan merupakan forum konsultasi para pemangku kepentingan untuk perencanaan pembangunan tahunan, yang dilakukan secara berjenjang melalui mekanisme “bottom-up planning”, dimulai dari Musrenbang desa/kelurahan, Musrenbang kecamatan, forum SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) dan Musrenbang kabupaten/kota, dan untuk jenjang berikutnya hasil Musrenbang kabupaten/ kota juga digunakan sebagai masukan untuk Musrenbang provinsi, Rakorpus (Rapat

(12)

Koordinasi Pusat) dan Musrenbang nasional. Proses Musrenbang pada dasarnya mendata aspirasi dan kebutuhan masyarakat yang dirumuskan melalui pembahasan di tingkat desa/kelurahan, dilanjutkan di tingkat kecamatan, dikumpulkan berdasarkan urusan wajib dan pilihan pemerintahan daerah, dan selanjutnya diolah dan dilakukan prioritisasi program/kegiatan di tingkat kabupaten/kota oleh Bappeda bersama para pemangku kepentingan disesuaikan dengan kemampuan pendanaan dan kewenangan daerah.

Pada tingkat desa/kelurahan, fungsi Musrenbang adalah menyepakati isu prioritas wilayah desa/kelurahan, program dan kegiatan yang dapat dibiayai dari Alokasi Dana Desa (ADD), diusulkan ke APBD, maupun yang akan dilaksanakan melalui swadaya masyarakat dan APBDesa, serta menetapkan wakil/delegasi yang akan mengikuti Musrenbang kecamatan. Pada tingkat kecamatan, fungsi Musrenbang adalah menyepakati isu dan permasalahan skala kecamatan, prioritas program dan kegiatan desa/kelurahan, menyepakati program dan kegiatan lintas desa/kelurahan di wilayah kecamatan yang bersangkutan, sebagai masukan bagi Forum SKPD yang dijadikan sebagai rujukan yang digunakan dalam Musrenbang tingkat kabupaten.

Namun dalam pelaksanaan kegiatan tersebut dalam implementasinya dinilai kurang aspiratif. Partisipasi masyarakat dalam penyusunan perencanaan pembangunan dirasakan sebagai hal yang kurang direalisasikan karena lebih banyak diwarnai dialog antar aparat yang diputuskan secara top down. Selanjutnya rencana pembangunan nasional tersebut disesuaikan dengan angka- angka sasaran daerah. Akan tetapi sering ditemukan bahwa angka-angka sasaran nasional tersebut dikutip begitu saja sebagai sasaran daerah tanpa menyadari kemampuan kemampuan dan sumber daya yang tersedia. Perencanaan daerah sering pula hanya merepresentasikan rencana sektoral dari instansi pemerintahan. Sehingga perencanaan pembangunan yang secara ideal diharapkan untuk dapat mewujudkan tujuan pembangunan daerah tidak terwujud dengan

(13)

baik. Perencanaan pembangunan ini tidak peka terhadap variasi daerah (mengesampingkan kenyataan akan heterogenitas kondisi dan tuntutan aspirasi daerah) sehingga solusi yang ditawarkan tidak mampu menjawab permasalahan daerah. Pada sisi lain mekanisme ini melemahkan kemampuan kreatif rakyat yang berkaitan dengan keberlangsungan pembangunan.

Kondisi yang demikian bias memunculkan sikap ketidak perdulian masyarakat pada pembangunan karena merasa bahwa proses pembangunan tidak menyentuh kebutuhan riil mereka dan masyarakat menjadi kurang dapat mengembangkan potensi yang terpendam sehingga cenderung pasif menunggu perintah, dan tergantung pada bantuan.

Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik Untuk memilih judul skripsi “Implementasi Tupoksi Bappeda dalam proses perencanaan pembangunan partisipatif di Kabupaten Tapanuli Utara.”

1.2. RUMUSAN MASALAH

Adapun yang menjadi rumusan masalah dari penelitian ini adalah:

“Bagaimana Implementasi Tugas Pokok dan Fungsi Badan Perencanaan Pembangunan Daerah dalam proses perencanaan pembangunan partisipatif di Kabupaten Tapanuli Utara?”

1.3. TUJUAN PENELITIAN

Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Menganalisis perilaku aktor politik terkait dengan Implementasi Tupoksi Bappeda.

2. Menganalisis institusi terkait dengan Implementasi Tupoksi Bappeda.

(14)

1.4. MANFAAT PENELITIAN

Adapun yang menjadi manfaat penelitian ini adalah :

a. Secara Subyektif, bermanfaat bagi peneliti dalam melatih dan mengembangkan kemampuan berfikir ilmiah, dan sistematis dalam mengembangkan kemampuan penulis dalam karya ilmiah.

b. Secara Praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan yang berguna bagi instansi terkait.

c. Secara Akademis, peneliti diharapkan dapat memberikan kontribusi dan sebagai bahan perbandingan bagi mahasiswa yang ingin melakukan penelitian dibidang yang sama.

(15)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Implementasi Kebijakan 2.1.1. Pengertian Implementasi

Dalam kamus Webster (Wahab, 1997:64) pengertian implementasi dirumuskan secara pendek, dimana “to implementation" (mengimplementasikan) berarti “to provide means for carrying out; to give practical effect to” (menyajikan alat bantu untuk melaksanakan;

menimbulkan dampak/berakibat sesuatu).

Selanjutnya Mazmanian dan Sabatier (dalam Wahab 1997:65) menjelaskan lebih lanjut tentang konsep implementasi kebijakan yakni memahami apa yang senyatanya terjadi sesudah program dinyatakan berlaku atau dirumuskan merupakan fokus perhatian implementasi kebijakan, yaitu kejadian-kejadian atau kegiatan yang timbul setelah disahkannya pedoman- pedoman kebijakan negara, yaitu mencakup baik usaha-usaha untuk mengadministrasikannya maupun untuk menimbulkan akibat/dampak nyata pada masyarakat atau kejadian- kejadian.Menurut Wahab (1991 : 45), implementasi kebijakan merupakan aspek penting dari keseluruhan proses kebijakan, implementasi kebijakan tidak hanya sekedar bersangkut paut dengan mekanisme penjabaran keputusan-keputusan politik ke dalam prosedur-prosedur rutin lewat saluran-saluran birokrasi melainkan lebih dari itu. Ini menyangkut masalah konflik, keputusan dari siapa dan memperoleh apa dari suatu kebijakan.

Ia juga mengatakan bahwa dalam implementasi, khususnya yang dilibatkan oleh banyak organisasi pemerintah, sebenarnya dapat dilihat dari 3 (tiga) sudut pandang yakni :

1. Pemrakarsa kebijakan/pembuat kebijakan (the center atau pusat) 2. Pejabat-pejabat pelaksana di lapangan (the periphery)

(16)

3. Aktor-aktor perorangan di luar badan-badan pemerintah kepada siapa program- program itu diwujudkan, yakni kelompok-kelompok sasaran (target group)" (Wahab, 1997 : 63).

Secara garis besar dapat dikatakan bahwa fungsi implementasi kebijakan adalah untuk membentuk suatu hubungan yang memungkinkan tujuan-tujuan atau sasaran kebijakan negara diwujudkan sebagai “Outcome“ (hasil akhir) kegiatan kegiatan yang dilakukan pemerintah.

Sebab itu, fungsi implementasi mencakup pula penciptaan apa yang dalam ilmu kebijakan negara disebut “Policy delivery system” (sistem penyampaian/penerusan kebijakan negara) yang biasanya terdiri dari cara-cara atau sarana tertentu yang dirancang/didesain secara khusus serta diarahkan menuju tercapainya tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran yang dikehendaki (Wahab;

1990 : 123-124).

Menurut Ripley &Franklin(1986:54) ada dua hal yang menjadi fokus perhatian dalam implementasi, yaitu compliance (kepatuhan) dan what”s happening (Apa yang terjadi).

Kepatuhan menunjuk pada apakah para implementor patuh terhadap prosedur atau standard aturan yang telah ditetapkan.Sementara untuk “what’s happening” mempertanyakan bagaimanaproses implementasi itu dilakukan, hambatan apa yang muncul, apa yang berhasil dicapai, mengapa dan sebagainya.

Sementara itu Cleaves (dalam Wahab 1991 : 125) menyatakan bahwa keberhasilan atau kegagalan implementasi dapat dievaluasi dari sudut kemampuannya secara nyata dalam meneruskan/mengoperasionalkan program-program yang telah dirancang sebelumnya.

Sebaliknya, keseluruhan proses implementasi kebijakan dapat dievaluasikan dengan cara mengukur atau membandingkan antara hasil akhir dari program-program tersebut dengan tujuan- tujuan kebijakan.

(17)

Berdasarkan pada pendapat tersebut di atas, tampak bahwa implementasi kebijakan tidak hanya terbatas pada tindakan atau perilaku badan alternatif atau unit birokrasi yang bertanggung jawab untuk melaksanakan program dan menimbulkan kepatuhan dari target grup, namun lebih dari itu juga berlanjut dengan jaringan kekuatan politik sosial ekonomi yang berpengaruh pada perilaku semua pihak yang terlibat dan pada akhirnya terdapat dampak yang diharapkan maupun yang tidak diharapkan.

2.1.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Implementasi Kebijakan

Menurut George C. Edward III, implementasi kebijakan adalah tahap pembuatan kebijakan antara pembentukan kebijakan dan konsekuensi-konsekuensi kebijakan bagi masyarakat yang dipengaruhinya. Jika suatu kebijakan tidak tepat atau tidak dapat mengurangi masalah yang merupakan sasaran dari kebijakan, maka kebijakan itu mungkin akan mengalami kegagalan sekalipun kebijakan itu diimplementasikan dengan sangat baik. Sementara itu, suatu kebijakan yang cemerlang mungkin juga akan mengalami kegagalan jika kebijakan tersebut kurang diimplementasikan dengan baik oleh pelaksanaan kebijakan (implementor).

Dalam pandangan Edward III, implementasi kebijakan dipengaruhi oleh empat faktor yang saling berhubungan satu sama lain, yakni:

a. Komunikasi

Implementasi akan berjalan efektif apabila ukuran-ukuran dan tujuan-tujuan kebijakan dipahami oleh individu-individu yang bertanggungjawab dalam pencapaian tujuan kebijakan.

Kejelasan ukuran dan tujuan kebijakan dengan demikian perlu dikomunikasikan secara tepat dengan para pelaksana. Konsistensi atau keseragaman dari ukuran dasar dan tujuan perlu dikomunikasikan sehingga implementors mengetahui secara tepat ukuran maupun tujuan kebijakan itu. Komunikasi dalam organisasi merupakan suatu proses yang amat kompleks dan

(18)

rumit. Seseorang bisa menahannya hanya untuk kepentingan tertentu, atau menyebarluaskannya.

Di samping itu sumber informasi yang berbeda juga akan melahirkan interpretasi yang berbeda pula. Agar implementasi berjalan efektif, siapa yang bertanggungjawab melaksanakan sebuah keputusan harus mengetahui apakah mereka dapat melakukannya.Sesungguhnya implementasi kebijakan harus diterima oleh semua personel dan harus mengerti secara jelas dan akurat mengenahi maksud dan tujuan kebijakan. Jika para aktor pembuat kebijakan telah melihat ketidakjelasan spesifikasi kebijakan sebenarnya mereka tidak mengerti apa sesunguhnya yang akan diarahkan. Para implemetor kebijakan bingung dengan apa yang akan mereka lakukan sehingga jika dipaksakan tidak akan mendapatkan hasil yang optimal. Tidak cukupnya komunikasi kepada para implementor secara serius mempengaruhi implementasi kebijakan.

b. Sumber daya

Tidak menjadi masalah bagaimana jelas dan konsisten implementasi program dan bagaimana akuratnya komunikasi dikirim.Jika personel yang bertanggungjawab untuk melaksanakan program kekurangan sumberdaya dalam melakukan tugasnya. Komponen sumberdaya ini meliputi jumlah staf, keahlian dari para pelaksana, informasi yang relevan dan cukup untuk mengimplementasikan kebijakan dan pemenuhan sumber-sumber terkait dalam pelaksanaan program, adanya kewenangan yang menjamin bahwa program dapat diarahkan kepada sebagaimana yamg diharapkan, serta adanya fasilitas-fasilitas pendukung yang dapat dipakai untuk melakukan kegiatan program seperti dana dan sarana prasarana.

Sumberdaya manusia yang tidak memadahi (jumlah dan kemampuan) berakibat tidak dapat dilaksanakannya program secara sempurna karena mereka tidak bisa melakukan pengawasan dengan baik.Jika jumlah staf pelaksana kebijakan terbatas maka hal yang harus dilakukan meningkatkan skill/kemampuan para pelaksana untuk melakukan program.Untuk itu

(19)

perlu adanya manajemen SDM yang baik agar dapat meningkatkan kinerja program.Ketidakmampuan pelaksana program ini disebabkan karena kebijakan konservasi energi merupakan hal yang baru bagi mereka dimana dalam melaksanakan program ini membutuhkan kemampuan yang khusus, paling tidak mereka harus menguasai teknik-teknik kelistrikan.

Informasi merupakan sumberdaya penting bagi pelaksanaan kebijakan. Ada dua bentuk informasi yaitu informasi mengenai bagaimana cara menyelesaikan kebijakan/program serta bagi pelaksana harus mengetahui tindakan apa yang harus dilakukan dan informasi tentang data pendukung kepetuhan kepada peraturan pemerintah dan undang-undang. Kenyataan dilapangan bahwa tingkat pusat tidak tahu kebutuhan yang diperlukan para pelaksana dilapangan.Kekurangan informasi/pengetahuan bagaimana melaksanakan kebijakan memiliki konsekuensi langsung seperti pelaksana tidak bertanggungjawab, atau pelaksana tidak ada di tempat kerja sehingga menimbulkan inefisien.Implementasi kebijakan membutuhkan kepatuhan organisasi dan individu terhadap peraturan pemerintah yang ada.

Sumberdaya lain yang juga penting adalah kewenangan untuk menentukan bagaimana program dilakukan, kewenangan untuk membelanjakan/mengatur keuangan, baik penyediaan uang, pengadaan staf, maupun pengadaan supervisor.

Fasilitas yang diperlukan untuk melaksanakan kebijakan/program harus terpenuhi seperti kantor, peralatan, serta dana yang mencukupi. Tanpa fasilitas ini mustahil program dapat berjalan.

c. Disposisi atau Sikap

Salah satu faktor yang mempengaruhi efektifitas implementasi kebijakan adalah sikap implementor. Jika implemetor setuju dengan bagian-bagian isi dari kebijakan maka mereka akan melaksanakan dengan senang hati tetapi jika pandangan mereka berbeda dengan pembuat

(20)

kebijakan maka proses implementasi akan mengalami banyak masalah.

Ada tiga bentuk sikap/respon implementor terhadap kebijakan ; kesadaran pelaksana, petunjuk/arahan pelaksana untuk merespon program kearah penerimaan atau penolakan, dan intensitas dari respon tersebut. Para pelaksana mungkin memahami maksud dan sasaran program namun seringkali mengalami kegagalan dalam melaksanakan program secara tepat karena mereka menolak tujuan yang ada didalamnya sehingga secara sembunyi mengalihkan dan menghindari implementasi program. Disamping itu dukungan para pejabat pelaksana sangat dibutuhkan dalam mencapai sasaran program.

Dukungan dari pimpinan sangat mempengaruhi pelaksanaan program dapat mencapai tujuan secara efektif dan efisien. Wujud dari dukungan pimpinan ini adalah Menempatkan kebijakan menjadi prioritas program, penempatan pelaksana dengan orang-orang yang mendukung program, memperhatikan keseimbangan daerah, agama, suku, jenis kelamin dan karakteristik demografi yang lain. Disamping itu penyediaan dana yang cukup guna memberikan insentif bagi para pelaksana program agar mereka mendukung dan bekerja secara total dalam melaksanakan kebijakan/program.

d. Struktur Birokrasi

Membahas badan pelaksana suatu kebijakan, tidak dapat dilepaskan dari struktur birokrasi. Struktur birokrasi adalah karakteristik, norma-norma, dan pola-pola hubungan yang terjadi berulang-ulang dalam badan-badan eksekutif yang mempunyai hubungan baik potensial maupun nyata dengan apa yang mereka miliki dalam menjalankan kebijakan. Van Horn dan Van Meter menunjukkan beberapa unsur yang mungkin berpengaruh terhadap suatu organisasi dalam implementasi kebijakan, yaitu:

1. Kompetensi dan ukuran staf suatu badan;

(21)

2. Tingkat pengawasan hirarkhis terhadap keputusan-keputusan sub unit dan proses- proses dalam badan pelaksana;

3. Sumber-sumber politik suatu organisasi (misalnya dukungan di antara anggota legislatif dan eksekutif);

4. Vitalitas suatu organisasi;

5. Tingkat komunikasi “terbuka”, yaitu jaringan kerja komunikasi horizontal maupun vertikal secara bebas serta tingkat kebebasan yang secara relatif tinggi dalam komunikasi dengan individu-individu di luar organisasi;

6. Kaitan formal dan informal suatu badan dengan badan pembuat keputusan atau pelaksana keputusan.

Bila sumberdaya cukup untuk melaksanakan suatu kebijakan dan para implementor mengetahui apa yang harus dilakukan , implementasi masih gagal apabila struktur birokrasi yang ada menghalangi koordinasi yang diperlukan dalam melaksanakan kebijakan. Kebijakan yang komplek membutuhkan kerjasama banyak orang, serta pemborosan sumberdaya akan mempengaruhi hasil implementasi. Perubahan yang dilakukan tentunya akan mempengaruhi individu dan secara umum akan mempengaruhi sistem dalam birokrasi.

2.2 Peranan

Peranan berasal dari kata peran, berarti sesuatu yang menjadi bagian atau pemegang pimpinan yang terutama (Poerwadarminta,1995:735). Secara umum, pengertian peranan adalah kehadiran didalam menentukan suatu proses keberlangsungan (Hari Soegiman,1990:2.

Sementara itu, Alvin I. Betrand, seperti dikutip oleh Soleman B. Taneko menyebutkan bahwa :

“Yang dimaksud dengan peran adalah pola tingkah laku yang diharapkan dari seseorang yang

(22)

memangku status atau kedudukan tertentu” (Soleman B. Taneko, 1986:23). Menurut Biddle dan Thomas, peran adalah serangkaian rumusan yang membatasi perilaku-perilaku yang diharapkan dari pemegang kedudukan tertentu.

Dengan berbagai penjelasan tentang pengertian dari sebuah peran, maka penjelasan secara sederhana mengenai Teori Peran dapat dikaji terhadap hubungan sosial antar manusia dalam kehidupan sehari-hari yang menerangkan adanya model dan kualitas dari hubungan antar manusia tersebut dan manusia menduduki fungsi yang bermacam-macam. Dalam hubungan antar manusia terdapat seorang pemimpin dan bawahan, pemerintah dan masyarakatnya, dan lain sebagainya.

Sehingga menurut Teori Peran dalam kajiannya terhadap hubungan antar manusia ini, sebenarnya dalam pergaulan sosial itu sudah ada skenario atau peran-peran yang telah disusun oleh masyarakat, yang mengatur apa dan bagaimana peran setiap orang dalam pergaulannya.

Kemudian sama halnya dengan kehidupan perpolitikan antar negara atau dalam dunia internasional, dapat kita lihat dari Teori Peran yang didasarkan pada analisis politik. Pemikiran John Wahlke, tentang Teori Peran memiliki dua kemampuan yang berguna bagi analisis politik.

Ia membedakan peran berdasarkan pada aktor yang memainkan peranan tersebut, yaitu peran yang dimainkan oleh aktor politik dan peran oleh suatu badan atau institusi (Mohtar,1999:115).

Ia menunjukkan bahwa aktor politik umumnya berusaha menyesuaikan tindakannya dengan norma-norma perilaku yang berlaku dalam peran yang dijalankannya. Sedangkan ia mendeskripsikan peranan institusi secara behavioral, dimana model teori peran menunjukkan segi-segi perilaku yang membuat suatu kegiatan sebagai institusi. Kerangka berpikir teori peranjuga memandang individu sebagai seorang yang bergantung dan bereaksi terhadap perilaku orang lain.

(23)

2.3 Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda)

Pada Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, telah mengukuhkan legitimasi formal bagi institusi perencanaan di daerah (BAPPEDA) yang merupakan salah satu sarana penting untuk mewujudkan sistem perencanaan yang efektif dan bertanggungjawab. Perencanaan hendaknya mampu menjamin bahwa pembangunan daerah menuju kearah yang tepat sesuai dengan tuntutan internal dan eksternal, ditunjang oleh potensi sumberdaya yang tersedia.

BAPPEDA merupakan singkatan dari Badan Perencanaan Pembangunan Daerah yang mana badan ini menurut PP RI No 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah pasal 6 dijelaskan bahwa:

a. Badan perencanaan pembangunan daerah merupakan unsur perencana penyelenggaraan pemerintahan daerah.

b. Badan perencanaan pembangunan daerah mempunyai tugas melaksanakan penyusunan dan pelaksanaan kebijakan daerah di bidang perencanaan pembangunan daerah.

c. Badan perencanaan pembangunan daerah dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menyelenggarakan fungsi:

1) Perumusan kebijakan teknis perencanaan;

2) Pengoordinasian penyusunan perencanaan pembangunan;

3) Pembinaan dan pelaksanaan tugas di bidang perencanaan pembangunan daerah; dan

4) Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh gubernur sesuai dengan tugas dan fungsinya.

(24)

d. Badan perencanaan pembangunan daerah dipimpin oleh kepala badan.

e. Kepala badan berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada gubernur melalui sekretaris daerah.

Menurut PP RI No. 41 tahun 2007 Bappeda merupakan suatu unsur perencana dalam proses penyelenggaraan pemerintahan daerah, dimana BAPPEDA bertanggung jawab terhadap kepala daerah melalui sekretaris daerah. Badan Perencanaan Pembangunan tidak berdiri sendiri diluardaripada tanggung jawab dari Kepala Daerah yang bersangkutan, tetapi Badan tersebut dibentuk adalah untuk bekerja dan membantu Kepala Daerah dalam melaksanakan pekerjaan sebagai kepala daerah yang bertugas untuk merencanakan pembangunan serta mengadakan penilaianatas pelaksanaannya.

Dibentuknya Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, maka tugas pembangunan, pengawasan dan penilaian menjadi tugas daripada Bappeda tersebut, artinya bahwa badan itu bukan hanya bertugas sebagai perencanaan saja tetapi harus turut serta aktif dalam mengadakan pengawasan dan pelaksanaan dari yang sudah direncanakan semula. Hanya saja perlu diingat bahwa melalui pengawasan, badan ini akan dapat menyusun perencanaan pembangunan berikutnya dengan mempelajari hal-hal yang telah dilihat melalui pelaksanaan yang sudah dilakukan.

Oleh sebab itu, Bappeda tidak boleh terlepas dari semua badan-badan maupun instansi- instansi yang ada di daerah itu dalam melakukan tugasnya sebagai Badan Perencanaan Pembangunan didaerah dalam pembangunan ditempuh sistem perencanaan dari bawah ke atas.

Inilah yang sebenarnya merupakan perencanaan partisipatif. Tahap yang paling bawah dalam

(25)

rapat koordinasi pembangunan daerah akan diusulkan pada tingkat yang lebih tinggi dimulai dengan:

a) Musyawarah Pembangunan (Musbang) Tingkat Desa/Kelurahan

Musyawarah pembangunan desa dipimpin oleh oleh kepala desa atau lurah yang dibimbing oleh camat dan di bantu oleh Kepala Urusan Pembangunan Desa. Musyawarah desa ini menginvetarisasi potensi desa, permasalahan desa, menyusun usulan program dan proyek yang dibiayai dari swadaya desa bantuan pembangunan Desa, APBD Kabupaten, APBD Provinsi, dan APBN.

b) Temu Karya Pembangunan Tingkat Kecamatan

Temu karya dipimpin oleh camat dan dibimbing oleh BAPPEDA kabupaten / kota yang bersangkutan. Tujuan temu karya ini adalah untuk membahas kembali rencana program yang telah dihasilkan Musbang Desa.

c) Rapat Koordinasi Pembangunan (Rakorbang) Kabupaten

Rapat Koordinasi ini membahas hasil Temu Karya Pembangunan Tingkat Kecamatan yang dipimpin oleh Ketua Bappeda Kabupaten. Dalam rapat ini usulan-usulan program dan proyek dilengkapi dengan sumber-sumber dana yang berasal dari APBD kabupaten, APBD propinsi, APBN, program bantuan pembangunan, maupun bantuan luar negeri, dan sumber dana dari perbankan. Usulan dari BAPPEDA kabupaten / kota disampaikan kepada gubernur, ketua BAPPENAS, dan mendagri.

d) Rapat Koordinasi Pembangunan (Rakorbang) Propinsi

(26)

Hasil rumusan dari Rakorbang Kabupaten / Kota dan usulan proyek pembangunan dibahas bersama –sama dengan Biro Pembangunan dan Biro Bina Keuangan, Sekretariat Wilayah atau Provinsi, serta Direktorat Pembangunan Desa Provinsi. Ketua BAPPEDA provinsi mengkoordinasikan usulan rencana program dan proyek untuk dibahas dalam Rakorbang provinsi yang dihadiri lembaga vertikal dan BAPPEDA kabupaten / kota.

e) Konsultasi Nasional Pembangunan

Hasil Rakorbang Provinsi kemudian diusulkan ke Pemerintah Pusat melalui forum Konsultasi Nasional. Forum ini dipimpin oleh BAPPENAS dan dihadiri oleh wakil –wakil BAPPEDA provinsi serta wakil Depdagri dan departemen teknis tertentu. Hasil dari forum ini dibahas BAPPENAS sebagai masukan untuk penyusunan proyek–proyek yang dibiayai APBN.

Daftar proyek yang telah dipadukan antara kebijakan sektoral dan keinginan daerah disusun dalam buku Satuan Tiga untuk disampaikan kepada DPR sebagai Lampiran Nota Keuangan.Kuncoro (2004), mengatakan perencanaan pembangunan daerah dari atas ke bawah (top down planning) diartikan perencanaan yang dibuat oleh pemerintah pusat atau sasaran- sasarannya ditetapkan dari tingkat daerah. Sedangkan perencanaan dari bawah ke atas (bottom up planning) dibuat oleh pemerintah tingkat mikro/proyek. Berdasarkan apa yang dikemukakan

Kunarto daerah/departemen dalam, dapat disimpulkan bahwa top down planning bersifat makro dan bottom up planning bersifat mikro.

Mengacu pada pendapat kedua ahli tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dikatakan perencanaan dari atas ke bawah (top down planning) itu adalah perencanaan pembangunan yang dibuat oleh lembaga atau institusi pemerintah di pusat atau tingkat atas yang sifatnya makro atau menyeluruh, sedangkan perencanaan dari bawah ke atas (bottom up

(27)

planning) adalah perencanaan yang dibuat oleh lembaga atau institusi pemerintah di tingkat

bawah yang sifatnya mikro. Hal ini sering terjadi salah pengertian dan penafsiran dibanyak kalangan terhadap istilah top down planning dan bottom up planning. Khususnya mengenai bottom up planning sering dimaksudkan perencanaan yang dibuat oleh masyarakat secara langsung.

Suatu pembangunan hendaknya dibuat secara terarah dan tepat sasaran, sehingga hasil pembangunan benar-benar dirasakan oleh masyarakat. Untuk mewujudkan hal tersebut dibutuhkan sebuah perencanaan pembangunan yang matang. Apabila pembangunan tersebutdilaksanakan pada skala nasional, maka tugas perencanaan pembangunan menjadi wewenang Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Seperti yang telah diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 54 tahun 2010 Pasal 1, yaitu : “Badan Perencanaan Pembangunan Daerah yang selanjutnya disingkat dengan Bappeda atau sebutan lain adalah unsur perencana penyelenggaraan pemerintahan yang melaksanakan tugas dan mengkoordinasikan penyusunan, pengendalian, dan evaluasi pelaksanaan rencana pembangunan daerah”.

2.4 Proses Perencanaan Pembangunan

Dalam pelaksanaan perencanaan pembangunan terdapat tahapan-tahapan yang tentunya sangat menunjang dan membantu kelancaran suatu perencanaan pembangunan agar dapat berjalan dengan baik dan lancar serta tepat sasaran. Seringkali terdapat kesalahpahaman seakan- akan perencanaan adalah suatu proses kegiatan usaha yang terus menerus dan menyeluruh dari penyusunan suatu rencana, penyusunan program rencana, pelaksanaan serta pengawasan dan evaluasi pelaksanaannya.

(28)

Adapun proses Perencanaan yang ada di Indonesia sesuai dengan UU No 25 tahun 2004 adalah :

a. Penyusunan Rencana

Tahap penyusunan rencana dilaksanakan untuk menghasilkan rancangan lengkap suatu rencana yang siap untuk ditetapkan yang terdiri dari empat langkah, yaitu:

1) Penyiapan rancangan rencana pembangunan yang bersifat teknokratif, menyeluruh, dan terukur.

2) Masing-masing instansi pemerintah menyiapkan rancangan rencana kerja dengan berpedoman pada rancangan rencana pembangunan yang telah disiapkan.

3) Melibatkan masyarakat (stakeholders) dan menyelaraskan rencana pembangunan yang dihasilkan masing-masing jenjang pemerintahan melalui musyawarah perencanaan pembangunan. Diawali dengan penyelenggaraan Musrenbang tingkat desa, Musrenbang tingkat kecamatan, Musrenbang tingkat kabupaten.

4) Penyusunan rancangan akhir rencana pembangunan, langkah ini berdasarkan hasil Musrenbang kabupaten.

b. Penetapan Rencana

Penetapan rencana menjadi produk hukum sehingga mengikat semua pihak untuk melaksanakannya. Menurut UU ini, rencana pembangunan jangka panjang nasional/daerah ditetapkan sebagai PERDA, rencana pembangunan jangka menengah daerah ditetapkan kepala daerah.

c. Pengendalian Pelaksanaan Rencana Pembangunan

(29)

Dimaksudkan untuk menjamin tercapainya tujuan dan sasaran pembangunan yang tertuang dalam rencana melalui kegiatan-kegiatan koreksi dan penyesuaian selama pelaksanaan rencana tersebut oleh pimpinan lembaga/satuan kerja perangkat daerah. Selanjutnya kepala Bappeda menghimpun dan menganalisis hasil pemantauan pelaksanaan rencana pembangunan dari masing-masing pimpinan lembaga/satuan kerja perangkat daerah sesuai dengan tugas dan kewenangannya.

d. Evaluasi Pelaksanaan rencana

Adalah bagian dari kegiatan perencanaan pembangunan secara sistematis mengumpulkan dan menganalisis data dan informasi untuk menilai pencapaian sasaran, tujuan dan kinerja pembangunan. Evaluasi ini dilaksanakan berdasarkan indikator dan sasaran kinerja yang tercantum dalam dokumen rencana pembangunan. Menurut Bintoro Tjokoroamidjojo (1997), tahap- tahap dalam suatu proses perencanaan adalah sebagai berikut:

1) Penyusunan rencana

Penyusunan rencana ini terdiri dari unsur-unsur:

a) Tinjauan keadaan. Tinjauan keadaan atau review ini dapat berupa tinjauan sebelum memulai suatu rencana (review before take off) atau suatu tinjauan tentang pelaksanaan rencana sebelumnya (review of performance). Dengan kegiatan ini diusahakan dapat dilakukan dan diidentifikasi masalah-masalah pokok yang (masih) dihadapi, seberapa jauh kemajuan teah dicapai untuk menjamin kontinuitas kegiatan-kegiatan usaha, hambatan- hambatan yang masih ada dan potensi serta prospek yang masih bias dikembangkan.

(30)

b) Perkiraan keadaan masa lalu yang akan dilalui rencana. Sering juga disebut dengan forecasting dalam hal ini diperlukan data-data statistik, berbagai hasil penelitian dan teknik-teknik proyeksi.Mekanisme informasi untuk mengetahui kecenderungan- kencenderungan perspektif masa depan.

c) Penetapan tujuan rencana (Plan Objectives) dan pemilihan cara-cara pencapaian tujuan rencana tersebut. Dalam hal ini seringkali nilai-nilai politik, sosial masyarakat, memainkan peranan yang cukup penting. Secara teknis hal ini didasarkan kepada tinjauan keadaan dan perkiraan tentng masa yang akan dilalui rencana. Dilihat dalam suatu kerangka yang lebih luas berdasar atas azas konsistensi dan prioritas. Pada umumnya hal ini sebaiknya dilakukan melalui penyusunan suatu kerangka menyeluruh atau kerangka makro. Dengan demikian dapat dilihat implikasi dari hubungan-hubungan antara berbagai variabel dan parameter dalam bidang ekonomi dan sosial secara menyeluruh.

d) Identifikasi kebijakan dan/atau kegiatan usaha yang perlu dilakukan dalam rencana. Suatu kebijakan atau policy mungkin perlu didukung oleh program-program pembangunan untuk bias lebih operasionalnya rencana kegiatan-kegiatan usaha ini perlu dilakukan berdasar alternatifnya yang terbaik. Hal ini dilakukan berdasarkan opportunity cost dan skala prioritas. Bagi proyek-proyek pembangunan identifikasinya didukung oleh feasibility studies dan survei-survei pendahuluan.

e) Tahap terakhir dari penyusunan rencana ini adalah tahap persetujuan rencana. Proses pengambilan keputusan di sini mungkin bertingkat-tingkat, dari putusan dibidang teknis kemudian memasuki wilayah proses politik. Di sini diusahakan pula penyerasian dengan

(31)

perencanaan pembiayaan secara umum daripada program-program perencanaan yang akan dilakukan.

2) Penyusunan Program Rencana

Dalam tahap ini dilakukan perumusan yang lebih terperinci mengenai tujuan atau sasaran dalam jangka waktu tertentu, suatu perincian jadwal kegiatan, jumlah dan jadwal pembiayaan serta penentuan lembaga atau kerjasama antar lembaga mana yang akan menentukan program- program pembangunan. Bahkan daripada masing-masing proyek-proyek pembangunan sebagai bagian ataupun tidak daripada program-program tersebut terdahulu. Seringkali dipakai disini suatu program kegiatan dan pembiayaan yang konkrit daripada program-program atau proyek- proyek pembangunan tersebut dalam project plan yang dituang dan project form. Bahkan ini menjadi alat rencana, alat pembiayaan, alat pelaksanaan dan alat evaluasi rencana yang penting.

Perlu disebutkan bahwa seringkali pengesahan rencana ini dilakukan sebagai penutup tahap ini.

Dengan demikian, rencana memiliki kedudukan legal untuk pelaksanaannya. Seringkali tahap ini perlu dibantu dengan penyusunan suatu flow chart, operation-plan atau network plan.

3) Tahap berikutnya adalah Pelaksanaan Rencana.

Dalam hal ini seringkali perlu dibedakan antara tahap konstruksi, dan tahap operasi. Hal ini perlu dipertimbangkan kerena sifat kegiatan usahanya berbeda. Dalam tahap pelaksanaan operasi perlu dipertimbangkan kegiatan-kegiatan pemeliharaan. Kebijaksanaan-kebijaksanaan pun perlu diikuti implikasi pelaksanaannya, bahkan secara terus-menerus memerlukan penyesuaian.

4) Tahap selanjutnya adalah tahap pengawasan atas pelaksanaan rencana.

(32)

Tujuan dari pengawasan adalah:

a) Mengusahakan supaya pelaksanaan rencana berjalan sesuai dengan rencananya.

b) Apabila terdapat penyimpangan maka perlu diketahui seberapa jauh penyimpangan maka perlu diketahui seberapa jauh penyimpangan tersebut dan apa penyebabnya.

c) Dilakukan tindakan korektif terhadap penyimpangan-penyimpangan. Untuk ini diperlukan suatu sistem monitoring dengan mengusahakan pelaporan dan feedback yang baik daripada pelaksanaan rencana.

5) Evaluasi juga penting dalam proses perencanaan guna membantu kegiatan pengawasan Dalam hal ini dilakukan suatu evaluasi atau tinjauan yang berjalan secara terus menerus, seringkali disebut sebagai concurrent review. Evaluasi juga dilakukan sebagai pendukung tahap penyusunan rencana, yaitu evaluasi tentang situasi sebelum rencana dimulai dan evaluasi tentang pelaksanaan rencana sebelumnya. Dari hasil-hasil evaluasi ini dapat dilakukan perbaikan terhadap perencanaan selanjutnya atau penyesuaian yang diperlukan dalam (pelaksanaan) perencanaan itu sendiri. Apabila disebutkan dalam penelahaan proses pembangunan ini, maka hal tersebut hanya menunjukkan urutannya saja, sebab didalam kegiatan sebenarnya tahap-tahap ini beberapa diantaranya mungkin dilakukan secara bersama-sama. Misalnya saja bersamaan dengan pelaksanaan rencana pembangunan sebelumnya sudah dimulai penyusunan rencana masa berikutnya. Identifikasi kebijaksanaan atau proyek pembangunan bisa dilakukan sembarang waktu biarpun pelaksanaannya perlu disesuaikan dengan siklus perencanaan pembiayaannya. Hal terakhir ini karena biasanya perencanaan pembiayaan terkait dengan siklus tahun anggaran yang berlaku. Demikian pula tinjauan yang berjalan juga dilakukan terus menerus atau periodik.

Bahkan hal ini dapat member pengaruh untuk penyusunan kembali rencana sebelum jadwal

(33)

waktu selesainya rencana seperti yang ditetapkan semula. Kunarjo (2002:23) berpendapat bahwa dalam sebuah perencanaan yang baik maka harus mempunyai persyaratan-persyaratan sebagai berikut: didasari dengan tujuan pembangunan, konsisten dan realistis, pengawasan yang kontinu, mencakup aspek fisik dan pembiayaan, memahami berbagai perilaku dan hubungan antar variabel ekonomi, mempunyai koordinasi yang baik.

Dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 54 tahun 2010, tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2008 tentang Tahapan, Tata cara penyusunan, Pengendalian, dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah terdapat prinsip-prinsip perencanaan pembangunan daerah yaitu :

(a) merupakan satu kesatuan dalam sistem perencanaan pembangunan nasional;

(b) dilakukan pemerintah daerah bersama para pemangku kepentingan berdasarkan peran dan kewenangan masing-masing;

(c) mengintegrasikan rencana tata ruang dengan rencana pembangunan daerah; dan

(d) dilaksanakan berdasarkan kondisi dan potensi yang dimiliki masing-masing daerah, sesuai dinamika perkembangan daerah dan nasional.

Dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 54 tahun 2010 tersebut juga diatur tentang perencanaan pembangunan daerah yang dirumuskan secara :

(1) Transparan, yaitu membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan, dan rahasia negara.

(34)

(2) Responsif, yaitu dapat mengantisipasi berbagai potensi, masalah dan perubahan yang terjadi di daerah.

(3) Efisien, yaitu pencapaian keluaran tertentu dengan masukan terendah atau masukan terendah dengan keluaran maksimal.

(4) Efektif, merupakan kemampuan mencapai target dengan sumber daya yang dimiliki, dengan cara atau proses yang paling optimal.

(5) Akuntabel, yaitu setiap kegiatan dan hasil akhir dari perencanaan pembangunan daerah harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara, sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.

(6) Partisipatif, merupakan hak masyarakat untuk terlibat dalam setiap proses tahapan perencanaan pembangunan daerah dan bersifat inklusif terhadap kelompok masyarakat rentan termarginalkan, melalui jalur khusus komunikasi untuk mengakomodasi aspirasi kelompok masyarakat yang tidak memiliki akses dalam pengambilan kebijakan.

(7) Terukur, adalah penetapan target kinerja yang akan dicapai dan cara-cara untuk mencapainya.

(8) Berkeadilan, adalah prinsip keseimbangan antar wilayah, sektor, pendapatan, gender dan usia.

(9) Berwawasan lingkungan, yaitu untuk mewujudkan kehidupan adil dan makmur tanpa harus menimbulkan kerusakan lingkungan yang berkelanjutan dalam mengoptimalkan manfaat sumber daya alam dan sumber daya manusia, dengan cara menserasikan aktivitas manusia dengan kemampuan sumber daya alam yang menopangnya.

(35)

2.5 Partisipasi masyarakat dalam pembangunan

Keberhasilan pembangunan nasional pada umumnya dan pembangunan desa pada khususnya tidak hanya ditentukan oleh pemerintah dan aparatnya melainkan juga oleh besarnya pengertian, kesadaran dan pertisipasi seluruh lapisan masyarakat. Partisipasi yang dimaksud seperti apa yang dirumuskan oleh Buya Hamka (aktivis dan sastrawan Indonesia) mengemukakan bahwa: Partisipasi adalah mengambil bagian atau turut menyusun, turut melaksanakan dan turut bertanggung jawab. Mencermati kutipan tersebut, maka dapat kita ketahui ada enam hal yang pokok yang perlu kita kembangkan bila ingin memperoleh partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Adapun keena

m hal tersebut adalah kesadaran, minat, kreatifitas, merencanakan atau menyusun dan melaksana kan.

Dewasa ini diharapkan partisipasi masyarakat akan muncul dan tumbuh dari bawah sebagai inisiatif dan aktifitas yang lahir dari rasa tanggung jawab warga masyarakat dalam pembangunan pedesaan /kelurahan yang pada partisipasinya dilakukan oleh masyarakat itu sendiri. Seperti yang dikemukakan dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 54 tahun 2010, pendekatan partisipatif dilaksanakan dengan melibatkan semua pemangku kepentingan (stakeholders) dengan mempertimbangkan:

a. relevansi pemangku kepentingan yang dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan, di setiap tahapan penyusunan dokumen perencanaan pembangunan daerah;

b. kesetaraan antara para pemangku kepentingan dari unsur pemerintahan dan non pemerintahan dalam pengambilan keputusan;

(36)

c. adanya transparasi dan akuntabilitas dalam proses perencanaan serta melibatkan media massa;

d. keterwakilan seluruh segmen masyarakat, termasuk kelompok masyarakat rentan termarjinalkan dan pengarusutamaan gender;

e. terciptanya rasa memiliki terhadap dokumen perencanaan pembangunan daerah; dan

f. terciptanya konsensus atau kesepakatan pada semua tahapan penting pengambilan keputusan, seperti perumusan prioritas isu dan permasalahan, perumusan tujuan, strategi, kebijakan dan prioritas program.

Dari penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa pembangunan yang dilaksanakan selama ini mengarah pada peningkatan kesejahteraan hidup di masa yang akan datang terutama bagi generasi penerus. Tanggapan, pengertian dan partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan akan mempercepat terelisasi suatu tujuan. Hal itu dikarenakan potensi besar dalam pembangunan tergantung banyak pada potensi sumber daya manusia dan memiliki kemampuan yang besar. Untuk mendapatkan partisipasi masyarakat, terutama pada tingkatdesa harus diusahakan adanya perubahan sikap mental kearah perbaikan yang tanpa adanya tekanan- tekanan. Masyarakat juga harus merasa bahwa dalam pembangunan itu terdapat kebutuhan- kebutuhan mereka. Partisipasi dari segenap masyarakat merupakan syarat mutlak untuk terlaksananya kegiatan-kegiatan dalam pembangunan. Partisipasi menyebabkan terjalinnya kerjasama dalam masyarakat dan kerjasama ini perlu pengkoordinasian yang baik dari pimpinan, dalam hal ini dimaksudkan agar partisipasi tersebut berdaya guna secara efektif. Koordinasi akan berjalan dengan baik apabila komunikasi dalam masyarakat berjalan seimbang. Komunikasi yang dimaksudkan adalah komunikasi antara masyarakat dan pemerintah.

(37)

Dalam masyarakat desa keadaan ini dapat terlaksana dengan baik apabila asas swadaya dan gotong-royong dilaksanakan secara massal dan menyeluruh dalam satu pola tertentu menggambarkan pencerminan kepentingan-kepentinganmasyarakat dan individu-individu yang mendukungnya. Dengan demikian apa yang dilaksanakan sebagai proses pembangunan adalah merupakan milik bersama yang harus di pelihara dan di pertanggung jawabkan demi kesejahteraan bersama. Tujuan-tujuan perencanaan pembangunan akan dicapai melalui perumusan dan pelaksanaan berbagai kebijakan dan program- program pembangunan yang konsisten berdasarkan sistem prioritas.

Namun demikian berhasilnya pencapaian tujuan-tujuan pembangunan memerlukan keterlibatan a ktif dari masyarakat pada umumnya. Tidak saja dari pengambil kebijakan tertinggi para perencan a, aparatur pelaksanaan operasional tetapi juga dari masyarakat. Partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan mempunyai sifat yang penting. Hal ini senada dengan pernyataan Diana Conyers (1994:154-155) yaitu:

1) Partisipasi masyarakat merupakan suatu alat guna memperoleh informasi mengenai kondisi,kebutuhan, dan sikap masyarakat setempat, yang tanpa kehadirannya program pembangunan serta proyek-proyek pembangunan akan gagal.

2) Masyarakat akan lebih mempercayai program pembangunan jika merasa dilibatkan dalam proses persiapan dan perencanaannya karena mereka akan mengetahui secara langsung dan mempunyai rasa memiliki sebab terlibat langsung didalamnya.

3) Merupakan suatu hak demokrasi bila masyarakat dilibatkan dalam pembangunan masyarakat mereka sendiri. Mereka pun mempunyai hak untuk memberikan saran dalam menentukan jenis pembangunan yang akan dilaksanakan di daerah mereka. Dan hal ini

(38)

sesuai dengan konsep man centered development, suatu pembangunan yang dipusatkan pada kepentingan manusia, jenis pembangunan yang diarahkan demi perbaikan nasib manusia dan tidak sekedar sebagai obyek pembangunan.

Dalam rangka meningkatkan keterlibatan atau partisipasi masyarakat, Bintoro Tjokroamidjojo (1997:207) berpendapat bahwa ada dua cara dalam perencanaan pembangunan:

a) Mobilisasi kegiatan-kegiatan masyarakat serasi untuk kepentingan-kepentingan pencapaian tujuan pembangunan dimana keterlibatan masyarakat lebih didasarkan atas hubungan satu arah dari atas kebawah.

b) Dengan meningkatkan aktivitas, swadaya dan swakarsa masyarakat itu sendiri.

2.6 Perencanaan Pembangunan Partisipatif

Prinsip partisipatif menunjukkan bahwa rakyat atau masyarakat yang akan diuntungkan atau yang memperoleh manfaat dari perencanaan harus turut serta dalam proses perencanaan.

Dengan kata lain masyarakat menikmati produk perencanaan bukan semata-mata dari hasil perencanaan tetapi dari keikutsertaan dalam proses perencanaan. Prinsip kesinambungan menunjukkan bahwa perencanaan tidak hanya berhenti pada satu tahap, tetapi harus berlanjut sehingga menjamin adanya kemajuan terus menerus dan kesejahteraan.

Prinsip holistic menunjukkan bahwa masalah dalam perencanaan dan pelaksanaan tidak dapat hanya dilihat dari satu sisi tetapi harus dilihat dari berbagai aspek dan dalam keutuhan konsep secara keseluruhan. Keputusan dan inisiatif untuk memenuhi kebutuhan rakyat dibuat ditingkat lokal yang didalamnya rakyat memiliki identitas dan peranan sebagai partisipan.

Pendekatan ini menyadari arti penting partisipasi warga dalam perencanaan pembangunan.

(39)

a. Partisipasi warga dapat memberi rasa kepemilikan yang kuat dikalangan warga terhadap hasil-hasil pembangunan.

b. Warga makin sadar dan dewasa sehingga dapat memahami kompleksitas dari berbagai isu pembangunan.

c. Pilihan alternatif jalan keluar yang dikaji bersama merupakan pilihan teruji dari pada hal tersebut hanya menjadi tugas rutin segelintir orang dalam birokrasi.

d. Partisipasi warga dapat membuat efisiensi dan harga menjadi murah karena ada kontribusi nyata yang diberikan warga terhadap gerakan atau proses pembangunan tertentu.

e. Partisipasi warga dapat memperkokoh solidaritas sosial dan memperkecil jurang pemisah antar kelompok masyarakat.

f. Dapat menghormati dan mengapresiasikan perbedaan pandangan dan pandapat yang hidup didalam masyarakat sehingga menjadi kekuatan kolektif yang menuju pada kedewasaan masyarakat.

Fokus utama perencanaan partisipatif adalah memperkuat kemampuan rakyat dalam melaksanakan pembangunan. Melalui perencanaan partisipatif masyarakat menjadi semakin aktif, peduli terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi dan semakin memahami kompleksitas isu pembangunan. Kesadaran ini akan menjadi modal sosial yang sangat penting dalam mewujudkan kreatifitas dan inovasi dalam mendesain pembangunan. Pendekatan ini mempunyai toleransi terhadap perbedaan dan karenanya mengakui arti penting pilihan individual dan pembuatan keputusan yang terdistribusi.

(40)

Pendekatan ini mencapai tujuan pembangunan melalui proses pembelajaran sosial yang didalamnya individu berinteraksi satu sama lain menembus batas-batas organisasi dan dituntun oleh kesadaran kritis individual. Disamping itu partisipasi masyarakat dalam pembangunan akan melahirkan solidaritas dan rasa kepemilikan masyarakat terhadap pembangunan yang telah mereka rencanakan sendiri sehingga keresahan dan ketidakpuasan warga dapat ditekan seminimal mungkin. Gejolak sosial sangat kecil muncul diwilayah dimana partisipasi warga telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam suatu komunitas.

Adanya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 merupakan wujud pelaksanaan pemerintahan daerah yang lebih otonom, demokratis dan partisipatif dalam pembangunan.

Undang-undang tersebut juga merupakan perwujudan pelaksanaan otonomi daerah, yaitu kewenangan daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai aspirasi masyarakat berdasarkan dengan peraturan perundang-undangan (Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014).

Pengembangan otonomi daerah tersebut merupakan pelaksanaan desentralisasi pembangunan yang bertujuan untuk menciptakan pemerataan hasil-hasil pembangunan yang bertumpu pada keterlibatan, kemampuan dan peran serta masyarakat di daerah. Adapun partisipasi masyarakat sekarang ini salah satunya diwujudkan dalam penyusunan rencana pembangunan di daerah. Sehingga dalam konsepnya, perencanaan pembangunan ini lebih terarah pada perencanaan dari bawah keatas (bottom up planning). Penjelasan diatas merupakan landasan munculnya sebuah model Perencanaan Pembangunan Partisipatif.

Model ini memiliki ciri-ciri bahwa pembangunan tersebut selalu berorientasi pada pemenuhan kebutuhan masyarakat (daerah atau kota) dan mendudukkan masyarakat sebagai

(41)

subyek dan obyek pembangunan. Dalam memahami pengertian Perencanaan Pembangunan Partisipatif ini, Agus Dody Sugiarto(2003:104) mengemukakan: “Perencanaan Pembangunan Partisipatif dapat diartikan sebagai suatu sistem perencanaan pembangunan yang dilakukan secara sadar dansistematis yang dilakukan oleh masyarakat dalam mencapai tujuan pembangunan.”

Berdasarkan pengertian diatas, Perencanaan Pembangunan Partisipatif merupakan sebuah konsep perencanaan pembangunan yang berpusat pada rakyat. Sumber-sumber lain yang ditempuh dengan mendorong partisipasi masyarakat yaitu kebijakan, program dan kegiatan pemerintah daerah yang didanai APBD dalam pencapaian sasarannya, melibatkan peran serta masyarakat baik dalam bentuk dana, material maupun sumber daya manusia dan teknologi.

2.7 Definisi Konseptual

Definisi konseptual dimaksudkan untuk menghindari terjadinya perbedaan pengertian atau persepsi antara maksud peneliti dan pemahaman pembaca. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa optimalisasi kinerja proses perencanaan pembangunan partisipatif adalah serangkaian upaya-upaya yang dilakukan untuk meningkatkan cara dan hasil kerja organisasi dengan menggunakan sumber daya yang dimiliki untuk mencapai kondisi yang terbaik dalam rangka usaha mewujudkan tujuan perencanaan pembangunan partisipatif itu sendiri.

2.8 Hipotesis Kerja

Implementasi Tupoksi Bappeda dalam proses prencanaan pembangunan partisipatif di Kabupaten Tapanuli Utara Perilaku aktor politik dan perilaku institusi.

(42)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 BENTUK PENELITIAN

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan penelitian deksriptif dengan pendekatan kualitatif. Penelitian kualitatif merupakan penelitian yang digunakan untuk menyelidiki, menemukan, menggambarkan dan menjelaskan kualitas atau keistimewaan dari pengaruh sosial yang tidak dapat dijelaskan, diukur atau digambarkan melalui pendekatan kuantitatif (Saryono, 2010). Menurut Suharsimi Arikunto (1999:243-244) penelitian deskriptif bertujuan untuk menggambarkan keadaan atau status fenomena. Sedangkan menurut Sugiyono (1997:5) penelitian deskriptif adalah penelitian yang dilakukan terhadap variabel mandiri, yaitu tanpa membuat perbandingan atau menghubungkan dengan variabel lain. Berdasarkan penjelasan tersebut, maka jenis atau tipe deskriptif kualitatif tepat dan sesuai dengan penelitian ini sebagai suatu studi awal yang tidak hanya menggambarkan sesuatu tetapi juga menafsirkan dan menganalisa data yang telah dikumpulkan,oleh karena itu penulis memilih jenis penelitian ini.

3.2 LOKASI PENELITIAN

Penulis memilih lokasi penelitian pada Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Tapanuli Utara. Alasan pemilihan lokasi tersebut berdasarkan fungsi Kabupaten Tapanuli Utara dalam hal analisis dan perencanaan pembangunan di Kabupaten Tapanuli Utara dan karena Bappeda Kabupaten Tapanuli Utara merupakan instansi yang mempunyai wewenang dan tanggung jawab dalam proses perencanaan pembangunan di Kabupaten Tapanuli Utara. Kantor Bappeda Kabupaten Tapanuli Utara berada di Jalan Letjend.

S. Parman No 1B, Hutagalung Sialumpou, Tarutung, Kabupaten Tapanuli Utara.

(43)

3.3 INFORMAN PENELITIAN

Dalam penelitian kualitatif subjek penelitian yang telah tercermin dalam fokus penelitian ditentukan dengan sengaja, subyek penelitian ini menjadi informan yang akan memberikan berbagai informasi yang akan diperlukan (Suyanto,2005). Adapun informan penelitian yang menjadi obyek penelitian ini yakni :

a. Informan kunci (key informan) yakni mereka yang mengetahui dan memiliki berbagai informasi pokok yang diperlukan dalam penelitian atau informan yang mengetahui secara mendalam permasalahan yang sedang di teliti. Adapun yang menjadi informan kunci dalam penelitian ini adalah Sekretaris Bappeda, Kepala bidang, dan Staf Bappeda.

b. Informan utama yakni mereka yang terlibat secara langsung dalam interaksi sosial yang sedang di teliti. Adapun yang menjadi informan utama dalam penelitian ini adalah Camat Tarutung, Kepala Desa Parbaju Julu, dan masyarakat yang menghadiri musrenbang.

Tabel 3.1 Informan Penelitian

No Informan Penelitian Informasi yang dibutuhkan 1. Informan kunci

(key informan)

Sekretaris

Bappeda, Kabid, Staf Bappeda

12 Hal-hal yang menjadi tupoksi dalam perencanaan pembangunan partisipatif

2 Informan Utama Camat Tarutung, Kepala Desa Parbaju Julu, dan masyarakat yang

8 Hal-hal mengenai implementor yang merencanakan tentang proses pembangunan

(44)

menghadiri musrenbang

Jumlah 20

3.4 TEKNIK PENGUMPULAN DATA

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan teknik pengumpulan data dengan dua cara yaitu:

1. Teknik pengumpulan data primer, yaitu teknik pengumpulan data yang diperoleh melalui kegiatan penelitian secara langsung ke lokasi penelitian untuk mencari data yang lengkap dan berkaitan dengan masalah yang diteliti.

Teknik pengumpulan data primer ini dilakukan dengan cara:

a. Wawancara, yaitu kegiatan yang dilakukan untuk memperoleh data yang lengkap dan mendalam dari para informan. Pengumpulan data dilakukan melalui pertanyaan secara lisan kepada informan secara sistematis dan teroganisasi, yang dilakukan oleh peneliti sehubung dengan masalah yang diteliti.

b. Pengamatan (Observasi)

Sering kali diartikan sebagai pengamatan dan pencatatan secara sistematik terhadap gejala yang tampak pada subyek penelitian. Teknik observasi sebagai pengamatan dan pencatatan secara sistematik hendaknya dilakukan pada subyek yang secara aktif mereaksi terhadap obyek.

2. Teknik pengumpulan data sekunder, yaitu teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan studi pustaka untuk mendukung data primer. Adapaun bentuk pengumpulan data sekunder yang dilakukan adalah

(45)

a. Studi Dokumentasi adalah teknik pengumpulan data dengan menggunakan catatan atau foto-foto dan rekaman video yang ada dilokasi penelitian serta sumber-sumber lain yang relevan dengan objek penelitian.

b. Studi kepustakaan adalah pengumpulan data yang diperoleh dengan menggunakan berbagai literatur seperti buku, majalah, dan berbagai bahan yang berhubungan dengan objek penelitian.

3.5 TEKNIK ANALISIS DATA

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis data kualitatif yaitu menguraikan serta menginterpretasikan data yang diperoleh dilapangan dari para kunci utama. Teknik analisis data ini didasarkan pada kemapuan nalar dalam menghubungkan fakta, data dan informasi, kemudian data yang diperoleh akan dianalisis sehungga diharapkan muncul gambaran yang dapat mengungkapkan permasalahan penelitian dan kemudian dapat menarik kesimpulan.

Metode Triangulasi pada hakikatnya merupakan pendekatan multimetode yang dilakukan peneliti pada saat mengumpulkan dan menganalisis data. Ide dasarnya adalah bahwa fenomena yang diteliti dapat dipahami dengan baik sehingga diperoleh kebenaran tingkat tinggi jika didekati dari berbagai sudut pandang. Memotret fenomena tunggal dari sudut pandang yang berbeda-beda akan memungkinkan diperoleh tingkat kebenaran yang handal. Karena itu, triangulasi ialah usaha mengecek kebenaran data atau informasi yang diperoleh peneliti dari berbagai sudut pandang yang berbeda dengan cara mengurangi sebanyak mungkin perbedaan yang terjadi pada saat pengumpulan dan analisis data.

Gambar

Tabel 3.1 Informan Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Tugas Akhir ini dengan judul “ SISTEM PENGAWASAN INTERN KAS PADA BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH (BAPPEDA) PROVINSI SUMATERA UTARA.” Tugas akhir ini merupakan

d. pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh bupati/walikota sesuai dengan tugas dan fungsinya. 4) Dinas daerah dipimpin oleh kepala dinas. 5) Kepala dinas berkedudukan di bawah

Fahrul Islam : Analisis Tentang Tugas Dan Fungsi Bappeda Dan Statistik Kabupaten Bone (Studi Tentang Pelaksanaan Koordinasi Perencanaan Pembangunan Daerah), 2012 Prog. Kerjasama

Sesuai dengan Peraturan Gubernur Sumatera Utara Nomor 54 Tahun 2011 tentang Tugas, Fungsi dan Uraian Tugas Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Sumatera

Dengan Penetapan Pembentukan, Kedudukan, Tugas, Fungsi, Struktur Organisasi dan Tata Kerja Badan Perencanaan Pembangunan Daerah dan Unit Pelaksana Teknis Badan Perencanaan

Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah adalah unsur pelaksana tugas tertentu Pemerintah Kabupaten dibidang Perencanaan Pembangunan Daerah yang dipimpin oleh seorang Kepala

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan: 1 Untuk mengetahui bagaimana kinerja badan perencanaan pembangunan daerah BAPPEDA dalam meningkatkan kualitas perencanaan pembangunan di Kota

Sesuai dengan Peraturan Gubernur Sumatera Utara Nomor 54 Tahun 2011 tentang Tugas, Fungsi dan Uraian Tugas Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Sumatera Utara maka Bappeda