vii
HUBUNGAN ANTARA INFERIORITAS DAN PERILAKU BULLYING REMAJA DI SMP PANGUDI LUHUR St. VINCENTIUS SEDAYU
Ariadne Noven Ginanjar Astuti
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada hubungan antara inferioritas dan perilaku bullying pada remaja awal di sekolah. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian adalah ada hubungan antara inferioritas dan perilaku
bullying pada remaja awal di sekolah. Subjek penelitian ini berjumlah 130 subjek
remaja awal dengan rentang usia 13 hingga 16 tahun. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teknik purposive sampling. Pengumpulan data dilakukan dengan memberikan skala inferioritas dan skala perilaku bullying. Validitas yang digunakan adalah validitas isi. Koefisien reliabilitas dari skala inferioritas adalah sebesar 0,930 dan koefisien reliabilitas dari skala perilaku bullying adalah sebesar 0,922. Untuk mengetahui hubungan antara inferioritas dan perilaku bullying pada remaja awal di sekolah digunakan teknik korelasi Spearman Rho. Koefisien korelasi (r) antara inferioritas dan perilaku bullying pada remaja awal di sekolah adalah sebesar -0,091 dengan nilai signifikansi (p) = 0,303 (p>0,05), maka dapat disimpulkan bahwa kedua variabel tersebut tidak berkorelasi.
viii
RELATIONSHIP OF INFERIORITY AND BULLYING IN ADOLESCENT AT SMP PANGUDI LUHUR St. VINCENTIUS SEDAYU
Ariadne Noven Ginanjar Astuti
ABSTRACT
This study aims to find out the relationship of inferiority and bullying in adolescent at school. The hypothesis in this study was there was a relationship between inferiority and bullying in early adolescent at school. There are 130 subjects as the sample of the study, aged 13 until 16 years old, who are in early adolescent. In this study, used purposive sampling technique. Data collection used by spreading inferiority scale and bullying scale. This study used content validity. The coefficient reliability of inferiority scale was 0,930 and the coefficient reliability of bullying scale was 0,922. To find out the relationship of inferiority and bullying in adolescent at school, used Spearman Rho Correlation. Coefficient correlation (r) between inferiority and bullying in adolescent at school was -0,091 with significant level (p) = 0,303 (p>0,05). It means there was a negative relationship between inferiority and bullying in adolescent at school.
i
HUBUNGAN ANTARA INFERIORITAS DAN PERILAKU
BULLYING REMAJA DI SMP PANGUDI LUHUR
St.VINCENTIUS SEDAYU
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Oleh :
Ariadne Noven Ginanjar Astuti
NIM : 109114036
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
iv
MOTTO HIDUP
Hidup ini bagai air yang mengalir, terus mengalir sekalipun ada kerikil
bahkan batu yang besar menghalangi
v
Karya sederhana ini saya persembahkan spesial kepada Tuhan Yesus
Kristus, Bapak (Petrus Boidi) dan Ibu (Barbara Budi Harsiwiyanti), kakak
saya Irene Noven Setyaningtyas, serta adik saya tercinta Natalia Noven
vii
HUBUNGAN ANTARA INFERIORITAS DAN PERILAKU BULLYING REMAJA DI SEKOLAH
Ariadne Noven Ginanjar Astuti
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada hubungan antara inferioritas dan perilaku bullying pada remaja awal di sekolah. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian adalah ada hubungan antara inferioritas dan perilaku
bullying pada remaja awal di sekolah. Subjek penelitian ini berjumlah 130 subjek
remaja awal dengan rentang usia 13 hingga 16 tahun. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teknik purposive sampling. Pengumpulan data dilakukan dengan memberikan skala inferioritas dan skala perilaku bullying. Validitas yang digunakan adalah validitas isi. Koefisien reliabilitas dari skala inferioritas adalah sebesar 0,930 dan koefisien reliabilitas dari skala perilaku bullying adalah sebesar 0,922. Untuk mengetahui hubungan antara inferioritas dan perilaku bullying pada remaja awal di sekolah digunakan teknik korelasi Spearman Rho. Koefisien korelasi (r) antara inferioritas dan perilaku bullying pada remaja awal di sekolah adalah sebesar -0,091 dengan nilai signifikansi (p) = 0,303 (p>0,05), maka dapat disimpulkan bahwa kedua variabel tersebut tidak berkorelasi.
viii
RELATIONSHIP OF INFERIORITY AND BULLYING IN ADOLESCENT AT SCHOOL
Ariadne Noven Ginanjar Astuti
ABSTRACT
This study aims to find out the relationship of inferiority and bullying in adolescent at school. The hypothesis in this study was there was a relationship between inferiority and bullying in early adolescent at school. There are 130 subjects as the sample of the study, aged 13 until 16 years old, who are in early adolescent. In this study, used purposive sampling technique. Data collection used by spreading inferiority scale and bullying scale. This study used content validity. The coefficient reliability of inferiority scale was 0,930 and the coefficient reliability of bullying scale was 0,922. To find out the relationship of inferiority and bullying in adolescent at school, used Spearman Rho Correlation. Coefficient correlation (r) between inferiority and bullying in adolescent at school was -0,091 with significant level (p) = 0,303 (p>0,05). It means there was a negative relationship between inferiority and bullying in adolescent at school.
x
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan
rahmatNya, proses penyusunan skripsi berjudul “Hubungan Antara Inferioritas
Dan Perilaku Bullying Di SMP Pangudi Luhur St. Vincentius Sedayu” dapat terselesaikan dengan baik. Proses penyusunan skripsi ini juga berkat dukungan
dan bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini, saya mengucapkan terima
kasih kepada :
1. Bapak T. Priyo Widiyanto selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas
Psikologi Universitas Sanata Dharma.
2. Ibu Sylvia Carolina M.Y.M selaku dosen pembimbing skripsi yang telah
sangat sabar, bersedia meluangkan waktu, tenaga serta pikiran untuk
membimbing, memberikan saran, motivasi, dan dukungan selama proses
penyusunan skripsi.
3. Para dosen penguji yang telah meluangkan waktu untuk menguji hasil
penelitian ini.
4. Ibu P. Henrietta P.D.A.D.S selaku dosen pembimbing akademis yang selama 4
tahun ini bersedia memberikan saran dan dukungan.
5. Dosen-dosen Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma yang dengan
ketulusan hati dan kesabaran bersedia berbagi ilmu pengetahuan, mendidik,
dan mananamkan nilai-nilai kehidupan selama bangku perkuliahan.
6. Seluruh staf Fakultas Psikologi : Mas Gandung, Bu Nanik, Pak Gie, Mas
Muji, dan Mas Doni yang telah memberikan bantuan dan kenyamanan selama
xi
7. Kepala SMP Pangudi Luhur St. Vincentius Sedayu yang telah memberikan
ijin kepada penulis untuk mengambil data penelitian.
8. Siswa dan siswi SMP Pangudi Luhur St. Vincentius Sedayu yang telah
bersedia berpartisipasi dalam proses pengambilan data.
9. Bapak Petrus Boidi dan ibu Barbara Budi Harsiwiyanti yang senantiasa selalu
memberikan dukungan, doa, dan kasih sayang yang tiada batas sehingga
penelitian ini dapat terselesaikan dengan baik.
10.Kakakku tersayang Irene Noven Setyaningtyas dan adikku tersayang Natalia
Noven Kurniajati yang bersedia membantu dan senantiasa memberikan
motivasi ketika saya sedang mengalami keputusasaan.
11.Christoporus Satryo Aji yang dengan setia menunggu, mengantar pada saat
bimbingan dan menemani selama mengerjakan penelitian, serta bersedia
mendengarkan keluh kesah saya dalam menyelesaikan penelitian ini.
12.Teman-teman satu bimbingan skripsi terutama Ninda, Riska, Maya, Hoyi,
Simbah, Yovidia, Yovi Koleta, Engger, Lucia Anindita, Tista, Daning, dan
Puji yang telah dengan senang hati membantu penelitian ini dengan
memberikan saran, membantu mengerjakan SPSS, dukungan moral, motivasi,
dan penghiburan lewat candaan-candaan di setiap pertemuan bimbingan
skripsi.
13.Teman-teman OMK St. Theresia Sedayu Jati, Krismas, Roni, Nindya, Tata,
Dita, Vina, Elep, Rian, Dinus, Hasto, Rindo, dll yang selalu memberikan
xii
beberapa bulan tidak berkumpul bersama di gereja agar saya dapat
menyelesaikan skripsi.
14.Serta seluruh pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini namun
tidak dapat disebutkan satu-persatu. Atas bantuan dan dukungan anda semua
saya ucapkan banyak terimakasih.
Penulis sungguh menyadari bahwa penelitian yang disusun oleh penulis ini
masih memiliki banyak kekurangan dan jauh dari sempurna. Oleh karena itu,
penulis meminta saran dan kritik mengenai penelitian ini dengan senang hati.
Penulis berharap penelitian ini dapat berguna bagi siapa saja yang membaca dan
membutuhkannya.
Yogyakarta,
Penulis
xiii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN MOTTO ... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ... v
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN ... vi
ABSTRAK ... vii
ABSTRACK ... viii
HALAMAN PERSETUJUAN DAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... ix
KATA PENGANTAR ... x
DAFTAR ISI ... xi
DAFTAR TABEL ... xv
DAFTAR SKEMA ... xvi
DAFTAR LAMPIRAN ... xvii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 7
C. Tujuan Penelitian ... 7
D. Manfaat Penelitian... 8
1. Manfaat Teoritis ... 8
2. Manfaat Praktis ... 8
xiv
A. Bullying ... 9
1. Pengertian Bullying ... 9
2. Bentuk Bullying ... 12
3. Faktor Penyebab Bullying ... 14
4. Dampak Bullying ... 16
B. Inferioritas ... 17
1. Pengertian Inferioritas ... 17
2. Faktor Penyebab Perasaan Inferioritas ... 18
3. Aspek Perasaan Inferior ... 20
C. Remaja ... 22
1. Pengertian Remaja ... 22
2. Aspek-aspek Perkembangan Remaja... 23
D. Hubungan Inferioritas dengan Perilaku Bullying ... 26
E. Hipotesis ... 28
BAB III METODE PENELITIAN ... 30
A. Jenis Penelitian ... 30
B. Identifikasi Variabel ... 30
C. Definisi Operasional ... 31
1. Perilaku Bullying ... 32
2. Inferioritas ... 32
D. Subjek Penelitian ... 33
E. Metode Pengumpulan Data ... 33
F. Validitas, Seleksi Item, dan Reliabilitas ... 38
1. Validitas Alat Tes ... 38
2. Seleksi Item ... 38
3. Reliabilitas ... 43
G. Metode Analisis Data ... 44
BAB IV PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 45
xv
B. Deskripsi Subjek dan Data Penelitian ... 45
1. Deskripsi Subjek... 45
2. Deskripsi Data Penelitian ... 46
C. Uji Asumsi Data Penelitian... 47
1. Uji Normalitas ... 47
2. Uji Linearitas ... 48
3. Uji Hipotesis... 49
D. Pembahasan ... 53
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 56
A. Kesimpulan ... 56
B. Saran ... 56
1. Bagi Remaja ... 56
2. Bagi Peneliti Selanjutnya ... 57
DAFTAR PUSTAKA ... 58
xvi
DAFTAR TABEL
1. Tabel Pemberian Skor Item Skala Bullying 2. Tabel Pemberian Skor Item Skala Inferioritas
3. Tabel Spesifikasi Skala Perilaku Bullying (Sebelum Uji Coba) 4. Tabel Spesifikasi Skala Perilaku Inferioritas (Sebelum Uji Coba) 5. Tabel Spesifikasi Skala Perilaku Bullying (Setelah Uji Coba)
6. Tabel Spesifikasi Skala Perilaku Bullying (Setelah Diratakan pada Setiap Aspek)
7. Tabel Spesifikasi Skala Perilaku Inferioritas (Setelah Uji Coba)
8. Tabel Spesifikasi Skala Perilaku Inferioritas (Setelah Diratakan pada Setiap Aspek)
9. Tabel Data Usia Subjek Penelitian
10.Tabel Data Jenis Kelamin Subjek Penelitian 11.Tabel Deskripsi Data Penelitian
12.Tabel Hasil Uji Normalitas 13.Tabel Hasil Uji Linearitas
14.Tabel Hasil Analisis Sperman Rho
xvii
DAFTAR SKEMA
xviii
DAFTAR LAMPIRAN
1. Lampiran 1 Skala Uji Coba
2. Lampiran 2 Analisis Data Uji Coba 3. Lampiran 3 Skala Penelitian
4. Lampiran 4 Analisis Data Penelitian A. Uji Normalitas
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar BelakangMasa remaja adalah masa transisi antara masa kanak-kanak dan masa
dewasa yang mengalami perubahan besar dalam perkembangan fisik,
kognitif, dan psikososial. Masa transisi ini memberikan peluang bagi para
remaja untuk tumbuh dan berkembang secara fisik, kognitif maupun sosial,
sehingga menjadi periode perkembangan yang amat berisiko (Papalia, 2008).
Dengan berkembangnya fisik, kognitif dan sosial tersebut menimbulkan suatu
kompetisi antar remaja dalam mendapatkan otonomi, harga diri, dan intimasi
yang dapat memunculkan dorongan agresi pada remaja. Pada tahun 1908,
Adler mengemukakan bahwa dorongan agresi adalah dorongan dasar dalam
kehidupan seseorang (Semium, 2013). Hal ini diperkuat dengan masa remaja
merupakan waktu meningkatnya perbedaan diantara remaja mayoritas dan
minoritas yang akan menghadapkan mereka pada masalah besar yaitu
persaingan (Offer & Schonert-Reichl, 1992).
Dewasa ini, tindak kekerasan di Indonesia semakin meningkat seiring
dengan berkembangnya jaman dan kemajuan teknologi. Tindak kekerasan
yang terjadi tidak hanya dilakukan oleh orang dewasa, namun para remaja
pun juga melakukannya. Tindak kekerasan yang dilakukan remaja juga dapat
terjadi di sekolah. Bentuk tindakan kekerasan yang sering terjadi di sekolah
adalah perilaku bullying. Belakangan ini, kasus bullying yang terjadi di
Indonesia, pada tahun 2008 terjadi 1.626 kasus bullying. Pada tahun 2009
meningkat hingga 1.891 kasus dan 891 kasus diantaranya merupakan kasus
yang terjadi di lingkungan sekolah. Berdasarkan daftar rekapitulasi Komisi
Nasional Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada tahun 2010 tercatat 139
kasus bullying terjadi di lingkungan sekolah dan pada tahun 2012 tercatat 36
kasus. Setelah mengalami penurunan kasus, pada tahun 2013 hingga pada
tahun 2014 kasus bullying kembali meningkat hingga 98%, berdasarkan data
yang masuk KPAI. Kasus bullying tersebut sebagian besar adalah kasus yang
terjadi di sekolah yang pada hakikatnya sekolah merupakan salah satu tempat
yang aman dan mendukung terutama bagi para remaja untuk mengembangkan
diri.
Bullying merupakan tindakan yang ditimbulkan akibat dari penyalahgunaan kekuatan atau kekuasaan secara fisik dan mental oleh
seseorang atau suatu kelompok (Sejiwa, 2008). Dalam hal ini, korban
bullying merupakan pihak yang lemah secara fisik dan mental, serta tidak
memiliki kekuasaan sehingga korban merasa terintimidasi. Apabila korban
tidak merasa terintimidasi, maka hal tersebut belum dapat dikatakan sebagai
sebuah tindakan bullying (Sejiwa, 2008). Menurut Rigby (dalam Anesty,
2009), bullying merupakan sebuah hasrat untuk menyakiti. Hasrat ini
diperlihatkan dalam aksi yang menyebabkan seseorang menderita. Aksi ini
dilakukan secara langsung oleh seseorang atau sekelompok orang yang lebih
kuat dan tidak bertanggung jawab secara berulang dan dilakukan dengan
Bullying memiliki tiga bentuk, yaitu bullying fisik, non-fisik, dan
mental/ psikologis. Bullying non-fisik adalah tindak kekerasan yang
dilakukan oleh seseorang terhadap orang lain yang dapat dilihat dengan kasat
mata. Contohnya seperti memukul, menolak, meludahi, hingga memalak.
Bullying non-fisik atau verbal adalah tindak kekerasan yang dilakukan
seseorang terhadap orang lain dan hanya dapat diketahui melalui indra
pendengaran (Sejiwa, 2008). Contohnya seperti memaki, membentak,
menuduh, dan meneriaki. Bullying mental/ psikologis adalah tindak kekerasan
yang dilakukan seseorang terhadap orang lain dan tidak terlihat oleh kasat
mata maupun melalui pendengaran. Contohnya adalah mendiamkan,
mengucilkan, dan memandang rendah orang lain (Sejiwa, 2008).
Perilaku bullying memiliki dampak negatif yang dapat menghambat
perkembangan anak di sekolah baik bagi korban maupun pelakunya. Dampak
negatif bagi korban perilaku bullying tersebut diantaranya adalah anak akan
sulit berkonsentrasi dalam belajar sehingga prestasi anak di sekolah akan
menurun, anak akan menjadi gelisah, tidak bersemangat, menjadi rendah diri,
sulit bersosialisasi dengan lingkungan sekitar dan cenderung hanya memiliki
sedikit teman (Sejiwa, 2008). Kesulitan ketika berkonsentrasi di kelas tidak
hanya dialami oleh korban bullying namun juga dialami oleh pelaku bullying
(Sejiwa, 2008). Hoover et. al (dalam Beane, 2003), mengatakan bahwa
perilaku bullying sedikit terjadi pada masa sekolah dasar, kemudian puncak
terjadinya perilaku bullying adalah pada masa sekolah menengah, dan
Remaja melakukan perilaku bullying sebagai salah satu bentuk
untuk mencari perhatian dari orang lain, ingin menunjukkan eksistensi diri,
dan ingin menutupi kekurangan diri (Sejiwa, 2008). Dalam teori psikologi
individual yang dikemukakan oleh Alfred Adler, menutupi kekurangan diri
merupakan salah satu bentuk perasaan inferioritas akibat dari aktualisasi diri
yang tidak terpenuhi (Boeree, 2010). Dengan demikian, remaja terlalu
mementingkan dirinya sendiri dan kemungkinan terlalu dikuasai oleh
perasaan inferioritas (Boeree, 2010). Berdasarkan teori Alfred Adler,
inferioritas terdiri dari dua macam yaitu inferioritas organik dan inferioritas
psikologis. Inferioritas organik terjadi akibat adanya kekurangan secara fisik
pada seseorang atau adanya kelebihan yang kurang wajar pada seseorang.
Sedangkan, inferioritas psikologis terjadi akibat dari labeling yang dilakukan
seseorang sehingga membuat individu tersebut membenci dirinya sendiri
(Boeree, 2010).
Menurut teori psikologi individual, perasaan-perasaan inferioritas
tersebut merupakan bentuk kompensasi atas ketidakberdayaan seseorang dan
merasa dirinya kecil dan lemah secara fisik pada masa kanak-kanak (Semium,
2013). Perasaan inferioritas ini akan mendorong seseorang pada dorongan
superioritas yang sangat kuat dan akan memotivasi individu untuk mencapai
keunggulan dan dominansi sosial (Semium, 2013).
Dalam sebuah penelitian mengenai Adlerian Art Therapy untuk
pencegahan agresi sosial pada siswa sekolah menengah, menyatakan bahwa
merupakan salah satu penyebab terjadinya perilaku bullying. Adlerian Art
Therapy merupakan sebuah kombinasi teori Adler yaitu Psikologi Individual
dengan seni (Froeschle & Riney, 2008).
Ada pun faktor yang dapat menimbulkan perilaku bullying sebagai
akibat dari perasaan inferioritas yaitu seperti dalam sebuah penelitian
mengenai identifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku bullying,
didapatkan hasil bahwa salah satu faktornya adalah adanya pengalaman masa
lalu subjek yang pernah menjadi korban bullying oleh kakak kelasnya
sehingga muncul keinginan untuk membalas dendam (Ardianti, 2009).
Di Indonesia, kasus inferioritas lebih banyak ditemukan pada anak
remaja yang memiliki kekurangan fisik atau difabelitas. Salah satunya pada
penelitian studi kasus yang dilakukan pada anak autis dalam perjuangannya
menuju ke arah superioritas di Semarang. Hasil dari penelitian ini adalah
perasaan inferior yang muncul akibat dari adanya labeling yang diberikan
pada anak oleh orang-orang di lingkungannya sehingga membuat anak
tersebut minder. Perasaan inferior yang dialami anak tersebut membuatnya
berjuang ke arah superioritas agar mendapat penerimaan dari lingkungannya
(Yuliana, 2013).
Ada pun kasus inferioritas juga terjadi pada remaja yang tidak
difabel di Indonesia. Seperti pada penelitian yang dilakukan oleh pada ketiga
remaja Panti Asuhan Jabal Bandung yang menghasilkan bahwa ketiga remaja
tersebut memiliki karakteristik inferioritas. Karakteristik tersebut adalah
melakukan tugas, diam dan menarik diri, mengalami kecemasan secara
berlebihan, dan kebutuhan akan perhatian dan persetujuan. Terdapat beberapa
faktor penting yang memunculkan perasaan inferioritas remaja, yaitu
penerimaan diri individu (internal), orang tua, teman sebaya, dan lingkungan
masyarakat sebagai faktor eksternal (Oktarina, 2013).
Seperti dalam teori Adler, kedua penelitian tersebut menunjukkan
bahwa perasaan inferior yang dialami para remaja difabel maupun remaja
normal mengarahkan mereka untuk berjuang meraih superioritas sebagai cara
untuk mengganti perasaan inferior atau lemah. Hal ini sesuai dengan prinsip
dari teori Adler bahwa kekuatan dinamis dibalik perilaku manusia adalah
berjuang untuk meraih keberhasilan atau superioritas (Friedman & Schustack,
2008). Individu yang tidak sehat secara psikologis akan berjuang untuk
superioritas pribadi, sedangkan individu yang sehat secara psikologis mencari
keberhasilan untuk semua umat manusia. Dalam teori psikologi individual
mengaitkan kecenderungan untuk melindungi hanya berkenaan dengan
konstruksi gejala-gejala neurotik. Seperti, membuat alasan untuk menutupi
kelemahannya, melakukan perilaku agresi yang diwujudkan dalam tindakan
bullying untuk melindungi harga diri yang rapuh, dan penarikan diri
(Friedman & Schustack, 2008).
Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa remaja yang sedang
mengalami masa transisi dari anak-anak menuju masa dewasa yang sedang
menghadapi perbedaan dan persaingan antara yang minoritas dan mayoritas
yang dilakukan peneliti dengan guru Bimbingan Konseling/ BK SMP
Pangudi Luhur St. Vincentius Sedayu pada bulan Februari 2014, didapatkan
bahwa sekolah menengah tersebut tercatat bahwa perilaku bullying menjadi
kasus terbanyak yang dilakukan oleh para siswa dan siswinya di sekolah.
Guru BK menyampaikan bahwa para siswa dan siswinya melakukan perilaku
bullying tersebut agar terlihat berkuasa, sebagian lainnya karena mereka ingin
balas dendam dahulu pernah menjadi korban bullying kakak kelas. Kasus
bullying di sekolah ini menjadi suatu keprihatinan karena mempengaruhi
prestasi akademik para siswa dan siswi di sekolah dan mempengaruhi
perkembangan para muridnya menjadi pribadi yang kurang percaya diri.
Berdasarkan kasus tersebut, maka peneliti tertarik untuk menjadikan sekolah
tersebut sebagai tempat untuk melakukan penelitian.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian
ini adalah sebagai berikut: apakah ada hubungan antara perasaan inferioritas
pada remaja dengan munculnya perilaku bullying di sekolah?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara perasaan
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah kajian ilmu
psikologi khususnya pada psikologi perkembangan remaja mengenai
keterkaitan perasaan inferioritas pada remaja terhadap munculnya
perilaku bullying di sekolah.
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi pengetahuan baru pada orang tua
dan pihak sekolah dalam mengenali penyebab terjadinya perilaku
bullying di sekolah. Selain itu, juga dapat menjadi suatu tindakan
9
BAB II
LANDASAN TEORI
A. BULLYING
1. Pengertian Bullying
Krahe (dalam Karina, 2013) menyebutkan bahwa bullying telah
dikenal sebagai masalah sosial, dimana ditemukan di kalangan anak-anak
sekolah. Tindak kekerasan bullying ini biasanya berawal dari kanak-kanak,
yang mana pada masa anak-anak dituntut untuk menyesuaikan diri dengan
teman sebayanya (Karina, 2003).
Bullying berasal dari bahasa Inggris dari kata bull yang berarti “banteng” yang suka menanduk. Pelaku bullying disebut bully (Sejiwa,
2008). Bullying merupakan tindakan yang ditimbulkan sebagai akibat dari
penyalahgunaan kekuatan secara fisik dan mental atau kekuasaan oleh
seseorang atau suatu kelompok (Sejiwa, 2008). Bullying melibatkan
kekuatan dan kekuasaan yang tidak seimbang, sehingga yang lemah akan
merasa tidak berdaya (Beane, 2003).
Olweus (2003) menyebutkan bahwa bullying merupakan tindakan
negatif yang disadari untuk menyakiti, mengancam, atau menakut-nakuti
orang lain dan terkadang menggunakan agresi. Bullying dilakukan
berulang secara psikologis maupun fisik oleh seseorang atau suatu
kelompok yang lebih kuat kepada seseorang yang lebih lemah (Rigby,
2007). Olweus (dalam Beane, 2003) menyebutkan bahwa perilaku
melecehkan teman yang dianggap berbeda, hingga menyerang secara
verbal maupun secara fisik kepada teman yang lain. Bullying ini menjadi
bahaya karena sifatnya yang terus menerus menyakiti atau menyelakai
orang lain, dilakukan secara berulang, dan melibatkan kekuatan dan
kekuasaan yang tidak seimbang (Beane, 2003).
Bullying terjadi ketika seseorang berada pada tempat yang
tersembunyi, yang mana tempat tersebut merupakan tempat yang kurang
adanya pengamatan dari orang yang lebih dewasa seperti orang tua atau
guru di sekolah dan para korban mengalami kesulitan untuk melarikan
diri, seperti lapangan; toilet; di jalan saat berangkat atau pulang sekolah;
dan bahkan dapat terjadi di dalam ruang kelas (Beane, 2003). Perilaku
bullying biasanya dilakukan pada saat awal pertama para siswa masuk
sekolah oleh para seniornya baik laki-laki maupun perempuan. Hoover et.
al (dalam Beane, 2003), mengatakan bahwa perilaku bullying sedikit
terjadi pada masa sekolah dasar, kemudian puncak terjadinya perilaku
bullying adalah pada masa sekolah menengah, dan mengalami penurunan
kembali pada masa sekolah menengah atas. Olweus (dalam Beane, 2003),
mengemukakan bahwa bullying lebih banyak ditemukan di sekolah
dibandingkan di tempat kerja.
Bullying sesungguhnya sebuah situasi yang tercipta ketika ketiga
aktor bullying berada di tempat yang sama. Ketiga aktor bullying ini
Pelaku bullying adalah seseorang yang besar, kuat, dan memiliki
dominasi psikologis yang besar di kalangan teman sebayanya. Pelaku
memiliki kekuatan dan kekuasaan untuk menjatuhkan atau menyakiti
korbannya (Sejiwa, 2008). Kecenderungan anak-anak menjadi bully
karena mereka pernah menjadi korban bullying, kemudian ingin
menunjukkan eksistensi diri dan ingin diakui, serta karena ingin menutupi
kekurangan diri dan mencari perhatian. Namun, ada pula yang melakukan
bullying karena iseng, ikut-ikutan teman yang lain, dan ingin terkenal.
Korban bullying merupakan orang yang tidak memiliki kekuatan
untuk membela diri atau melawan. Ada beberapa ciri korban bullying,
antara lain: memiliki fisik yang kecil dan lemah, berpenampilan lain atau
berbeda dari orang-orang biasanya, mengalami kesulitan dalam bergaul,
orang yang memiliki kepercayaan diri rendah, dan orang yang dianggap
menyebalkan dan menantang untuk dibully.
Saksi bullying adalah orang-orang yang menjadi penonton atas
perilaku bullying yang dilakukan. Biasanya para saksi ini aktif menyoraki
dan mendukung perilaku bullying tersebut karena ikut-ikutan teman
sekelompoknya, atau hanya diam dan acuh tak acuh atas perilaku bullying
yang dilakukan karena takut akan menjadi korban selanjutnya.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa bullying
merupakan tindakan yang ditimbulkan sebagai akibat dari penyalahgunaan
kekuatan secara fisik dan mental atau kekuasaan oleh seseorang atau suatu
seimbang, sehingga yang lemah akan merasa tidak berdaya. Seperti
menendang, memukul, mengejek, menuduh, dan mengucilkan seseorang.
Bullying biasanya dilakukan di dalam lingkungan sekolah dan dilakukan
pada saat tidak adanya pengawasan orang yang lebih dewasa.
1. Bentuk Bullying
Ada beberapa bentuk bullying secara umum, yaitu (Sejiwa, 2008) :
i. Bullying fisik
Perilaku bullying yang dapat dilihat dengan kasat mata, terjadi
sentuhan fisik antara pelaku dan korban bullying. Contoh bullying
fisik adalah menampar, menimpuk, menginjak kaki, meludahi,
memalak, melempar dengan barang, menghukum, dan menolak.
ii. Bullying verbal
Perilaku bullying yang dapat diketahui atau dideteksi yang dapat
ditangkap oleh alat indera pendengaran. Contohya adalah memaki,
menghina, menjuluki, meneriaki, menuduh, memfitnah, dan
menolak.
iii. Bullying mental/ psikologis
Perilaku bullying ini tidak dapat dilihat dengan kasat mata dan
indera pendengaran kita tidak cukup awas untuk mendeteksinya.
Contohnya adalah memandang sinis, mendiamkan, mengucilkan,
Beane (2003) mengklasifikasikan bullying ke dalam dua kategori
yaitu direct bullying dan indirect bullying. Kedua kategori saling
berhubungan dan dapat terjadi secara bersama-sama dalam satu waktu yang
sama.
i. Direct bullying meliputi physical bullying dan verbal bullying. Physical bullying adalah perilaku menyakiti yang dilakukan pada fisik
yang terlihat, seperti memukul, menampar, mendorong, menendang,
merampok dan merampas barang milik orang lain, bahkan melakukan
pelecehan seksual. Sedangkan, verbal bullying adalah perilaku
menyakiti orang lain yang dilakukan melalui kata-kata yang
diucapkan atau secara verbal seperti, mengata-ngatai, menghina dan
merendahkan orang lain, mengejek secara terus menerus, menghina
rasis, mengeluarkan lelucon seks yang kurang sopan, mengancam, dan
membicarakan keburukan orang lain.
ii. Indirect bullying adalah perilaku membully yang dilakukan secara
tidak langsung antara lain :
a. Menghancurkan relasi orang lain
b. Merusak reputasi orang lain
c. Membuat orang lain terlihat bodoh
d. Menyebarkan kejahatan dan sesuatu yang tidak benar
Perilaku bullying yang lainnya adalah :
a. Mengirim pesan singkat yang mengandung unsur negatif
seperti mengancam atau meneror
b. Bahasa tubuh yang negatif, seperti ekspresi wajah tidak
senang, dan mengacuhkan orang lain
c. Melotot dan menatap dengan tatapan kurang sopan sambil
mengeluarkan kata-kata jorok
Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa bullying
memiliki beberapa bentuk. Bentuk bullying secara keseluruhan antara lain
adalah bullying secara fisik, verbal, dan mental/ psikologis.
2. Faktor Penyebab Bullying
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi perilaku bullying, antara
lain : temperamen dan kepribadian dengan kontrol diri yang rendah.
Levianti (2008) menyebutkan ada 5 faktor mempengaruhi perilaku
bullying, yaitu :
i. Faktor individu
Setiap individu memiliki karakter yang berbeda-beda. Astuti
(2002) menyebutkan ada dua karakter anak yang dapat
memunculkan perilaku bullying, yaitu karakter anak yang selalu
berperilaku agresif dan karakater anak yang pendendam atau iri
hati. Anak yang demikian biasanya menjadi panutan teman
kesalahan orang lain, serta biasanya anak yang seperti ini adalah
anak yang ingin populer. Sedangkan, karakater anak yang
pendendam atau iri hati, biasanya sulit untuk diketahui
perilakunya karena belum tentu anak tersebut anak yang agresif.
Anak dengan karakter seperti ini biasanya akan menyimpan
dendam pada korbannya.
ii. Faktor keluarga
Kecenderungan hubungan yang tidak harmonis pada lingkungan
keluarga, komunikasi yang kurang baik antar anggota keluarga,
dan penggunaan kekerasan atau hukuman fisik dirumah akan
memunculkan perilaku agresif dan membuka peluang yang besar
munculnya perilaku bullying di sekolah.
iii. Faktor lingkungan sekolah
Lingkungan sekolah yang kurang baik yang dapat memunculkan
perilaku bullying adalah lingkungan sekolah yang masih terdapat
senioritas, tradisi balas dendam yang tidak pernah terselesaikan,
guru yang memberikan contoh kurang baik pada siswa, dan
karakter dari setiap individunya.
iv. Faktor sosial ekonomi
Salah satu penyebab perilaku agresi dan bullying yang sangat
tinggi adalah faktor ketidakmampuan sosial ekonomi keluarga.
dan dapat memicu anak untuk menjadi korban maupun pelaku
bullying.
v. Faktor media massa
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Anderson (dalam Rigby,
2002) mengatakan bahwa kekerasan melalui media seperti
televisi, film, video game dapat memicu terjadinya bullying
karena dengan melalui tayangan yang ada di televisi, film,
maupun video game secara tidak langsung akan ditiru oleh
anak-anak. Hal ini dapat memicu terjadinya perilaku bullying secara
cepat dan efeknya akan mudah terlihat.
3. Dampak Bullying
Perilaku bullying di sekolah dapat menyebabkan beberapa dampak
untuk anak. Darney, Howcroft, Stroud (2013) menemukan beberapa
dampak yang diakibatkan oleh perilaku bullying, antara lain adalah : anak
merasa terasingkan atau terisolasi dari dunianya, dan dikeluarkan dari
kelompok sepermainannya dan interaksi sosial lainnya. Anak akan
mengalami kesulitan dalam bergaul dan mengalami kegagalan dalam
membangun sebuah hubungan dengan orang lain karena merasa diri
ditolak.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Awake (dalam Darney et al,
mengalami kesulitan saat tidur, kecemasan, depresi, dan akan mengalami
sakit kepala.
Milsom, Gallo (2006) menemukan dampak bullying di sekolah
yaitu anak korban bullying akan mengalami depresi yang akan
mengakibatkan masalah akademik bagi anak, masalah interpersonal,
ketidakhadiran di sekolah karena kecemasan, mengalami kesendirian
karena kehilangan atau dijauhi teman, keluar dari sekolah, hingga
mengakibatkan bunuh diri.
A. INFERIORITAS
1. Pengertian Inferioritas
Adler dalam Boeree (2010), mengatakan bahwa perasaan
inferioritas muncul karena individu mengalami ketidaksempurnaan dan
tidak mampu mengaktualisasikan dirinya. Sedangkan, dalam Suryabrata
(2010), inferioritas merupakan rasa diri kurang atau rasa rendah diri yang
timbul karena perasaan kurang berharga atau kurang mampu dalam
kehidupan sehari-hari.
Menurut teori psikologi individual Adler, perasaan inferior muncul
ketika seseorang tenggelam dalam rasa ketidakberdayaan atau mengalami
suatu peristiwa yang membuat dirinya tidak mampu berbuat apa-apa
(Friedman & Schustack, 2008). Perasaan inferior ini yang mendorong
individu untuk berusaha memperjuangkan harga dirinya ke arah superior
(Feist & Feist, 2006). Ada pun orang yang dapat dikatakan memiliki
sifat-sifat kompensatori sebagai berikut (Semium, 2013) : kelancangan
sikap dan keberanian pada orang lain, sikap keras kepala, sikap suka
memberontak, kurang sopan dan kurang menghargai orang lain, dan
memiliki sikap menantang.
Dari sifat-sifat kompensatori tersebut dapat dilihat bahwa dalam
memperjuangkan harga dirinya ke arah superior atau kesuksesan, ada
dorongan agresi dalam diri individu (Feist & Feist, 2006). Dorongan
agresi ini dapat menjadi stimulus negatif maupun stimulus postitif bagi
individu. Dorongan agresi negatif akan menjadikan individu berperilaku
maladaptif, sedangkan dorongan agresi positif akan menjadikan individu
memiliki motivasi ke arah yang lebih baik yaitu kesuksesan dan
tercapainya tujuan hidup yaitu berjuang ke arah superior (Feist & Feist,
2006).
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa perasaan inferior
merupakan rasa rendah diri dan rasa kurang berharga yang muncul
karena adanya perasaan ketidak berdayaan dan ketidak mampuan untuk
mengaktualisasikan dirinya.
2. Faktor Penyebab Perasaan Inferior
Perasaan inferior yang dimiliki individu dapat disebabkan dari
berbagai faktor. Faktor-faktor yang menyebabkan perasaan inferior antara
i. Ketidaksempurnaan organ atau fisik individu
Perasaan inferior yang disebabkan dari individu yang lahir secara
tidak sempurna dan memiliki kecacatan fisik seperti badan yang
kecil, lemah, dan tidak berdaya seperti badan yang terlalu gemuk
atau terlalu kurus, ketidaksempurnaan organ tubuh seperti tidak
memiliki tangan atau kaki, dan memiliki kelemahan dalam
berpikir, dapat (Feist & Feist, 2006). Pada jaman sekarang,
perasaan inferior lebih disebabkan oleh adanya ketidakpuasan
fisik individu. Individu memiliki kelengkapan fisik namun masih
kurang merasa puas dengan tubuh yang dimilikinya.
ii. Pengalaman masa kanak-kanak
Individu yang pada masa kanak-kanaknya memiliki pengalaman
tidak menyenangkan seperti diejek oleh teman-temannya karena
dirinya memiliki kekurangan fisik dan memiliki prestasi yang
kurang, individu tersebut akan bertumbuh dengan perasaan
inferior (Semium, 2013).
iii. Pola asuh orang tua yang memanjakan dan mengabaikan
Pola asuh orang tua yang memanjakan dapat menjadikan anak
lemah dalam bersosialisasi dengan lingkungan sekitarnya. Hal ini
dikarenakan anak yang dimanjakan oleh orang tuanya segala
keinginan dan kebutuhan akan dipenuhi. Selain itu, anak yang
dimanjakan biasanya mendapatkan perlakukan overprotective dari
menjadi anak yang kurang memiliki semangat, terlalu sensitif,
tidak sabar, memiliki emosi yang buruk, dan menjadi pencemas.
Sedangkan, anak dengan pola asuh orang tua yang mengabaikan
akan cenderung bertindak menyakiti orang lain sebagai
kompensasi karena dirinya kurang mendapatkan kasih sayang
orang tua (Feist & Feist, 2006).
iv. Lingkungan sosial individu
Individu yang berada dalam lingkungan sosial yang kurang baik
seperti individu yang tinggal dalam keluarga yang kurang
harmonis, bertempat tinggal di kawasan pemukiman miskin dan
rawan akan tindak kekerasan akan memiliki kecenderungan
memiliki perasaan inferior (Huber, Widdifield & Johnson, 1989).
3. Aspek Perasaan Inferior
Menurut Semium (2003), orang dapat dikatakan merasa inferior
apabila memiliki karakteristik takut-takut, dan merasa diri tidak aman;
pemalu, dan memiliki kebutuhan akan dukungan dari orang lain; serta
memiliki kecenderungan sifat submisif yaitu menganggap diri lebih
rendah dari orang lain dan sering menghindari konflik, dan berpikiran
bahwa diri tidak pantas bergaul karena diri aneh dan jelek sehingga
cenderung menarik diri lingkungan.
Selain itu, menurut Kenchappanavar (2012) menyebutkan bahwa
perilakunya dianggap aneh atau tidak lazim. Hal ini disebabkan individu
tersebut memiliki ketidaksempurnaan fisik sehingga orang lain
memandang dirinya aneh dan tidak sama seperti orang-orang pada
umumnya. Orang yang inferior biasanya memiliki harga diri rendah dan
memiliki masalah sosial seperti kekerasan, agresi dan prestasi yang
kurang di sekolah. Hal tersebut dapat membuat individu tersebut frustasi
sebagai respon atas harga diri yang rendah. Frustasi ini dikarenakan oleh
kebingungan yang dialami individu, merasa jengkel dan marah atas
dirinya sendiri yang terlihat lemah. Frustasi ini dapat diwujudkan dengan
berbagai bentuk agresi, menarik diri dari lingkungan, fiksasi, dan regresi.
Berdasarkan penjelasan, beberapa aspek tersebut dapat
dikategorikan menjadi tiga aspek yaitu perasaan tidak aman (insecure),
aspek perasaan malu (shyness), dan aspek menarik diri dari lingkungan
(withdrawal).
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 2008), perasaan
aman adalah perasaan bebas dari bahaya atau gangguan, terlindung, tidak
mengandung resiko, tenteram, tidak merasa takut atau khawatir.
Sebaliknya, perasaan tidak aman adalah adanya perasaan yang
mengancam, berbahaya, tidak terlindung, mengandung risiko, dan
sesuatu yang menakutkan atau mengkawatirkan. Rasa malu (shyness)
didefinisikan sebagai kecenderungan untuk menghindari interaksi sosial
dan sebuah kegagalan untuk berpartisipasi secara tepat dalam situasi
berinteraksi dengan orang lain, enggan mengajukan pertanyaan, dan
memulai ide-ide baru. Anak yang pemalu biasanya sering diabaikan
meskipun tidak sengaja oleh guru maupun temannya. Menarik diri adalah
usaha untuk menghindari interaksi dengan lingkungan sosial atau orang
lain, merasa kehilangan kedekatan dan tidak bisa berbagi pikiran dan
perasaannya (Rawlins & Heacock, 1993).
B. REMAJA
1.
Pengertian RemajaSantrock (2007), mendefinisikan masa remaja sebagai periode
transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa,
yang melibatkan perubahan-perubahan biologis, kognitif, dan
sosioemosional. Masa perkembangan transisi antara masa kanak-kanak
dan masa dewasa yang dialami remaja ini dimulai kira-kira pada usia 10
sampai 13 tahun dan berakhir pada usia 18 dan 22 tahun. Masa remaja
dibagi menjadi dua masa yaitu masa remaja awal (early adolescence) dan
masa remaja akhir (late adolescence). Early adolescence adalah masa
saat remaja duduk dibangku sekolah menengah pertama dan masa ini
mencakup perubahan pubertas remaja. Sedangkan, late adolescence
adalah masa remaja kira-kira pada usia 15 tahun ke atas dan mencakup
minat pada karir, pacaran, dan eksploitasi identittas diri.
Definisi remaja yang didasarkan tujuan praktisnya, menurut WHO
yaitu biologis, psikologis, dan sosial ekonomi. Remaja adalah suatu masa
dimana individu mengalami perkembangan dari pertama kali
menunjukkan tanda-tanda seksual sekunder hingga mencapai
kematangan seksual. Remaja adalah individu yang mengalami
perkembangan psikologis dan pola identifikasi dari anak-anak menjadi
dewasa (Muangman 1980, dalam Sarwono).
Remaja menurut Hurlock (Gunarsa, 1981) adalah seseorang yang
mengalami kematangan seksual dengan ditandai oleh gejala-gejala
biologis. Sedangkan, menurut E. H. Erikson, remaja merupakan masa
terbentuknya suatu perasaan baru mengenai identitas atau pembentukan
ciri khas cara hidup yang berbeda dari yang lain dan sulit dikenali oleh
orang lain.
Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa remaja
merupakan masa peralihan seseorang dari anak-anak menuju kedewasaan
yang ditandai dengan adanya perubahan dan perkembangan
fisik-motorik, kognitif, dan sosio-emosional.
2.Aspek-aspek Perkembangan Remaja
Dalam perubahan dan perkembangannya remaja memiliki beberapa
aspek perkembangan (Santrock, 2003), diantaranya adalah:
1) Aspek fisik atau biologis (biological processes)
Aspek fisik atau biologis ini mencakup perubahan-perubahan fisik
dan biologis individu. Perkembangan fisik remaja meliputi
anak perempuan terjadi pada usia 10,5 tahun, sedangkan lonjakan
pertumbuhan pada anak laki-laki terjadi pada usia 12 tahun. Tampak
bahwa lonjakan pertumbuhan anak perempuan terjadi 2 tahun lebih
awal dari anak laki-laki. Lonjakan pertambahan berat badan terjadi
bersamaan seiring dengan pertumbuhan tinggi badan. Masa remaja
merupakan masa pubertas yang mana remaja mengalami kematangan
seksual. Pada remaja laki-laki tampak pada bertambah panjangnya
penis, membesarnya testis, tumbuh rambut di wajah maupun disekitar
daerah kemaluan, dan mengalami ‘mimpi basah’. Pada wanita
perubahan paling menonjol adalah perkembangan payudara yang
membesar, tumbuh rambut kemaluan, dan mengalami menstruasi.
Perkembangan seksual primer ini menjadikan remaja selalu
memperhatikan tubuh mereka dan membangun citra dirinya sendiri
bagaimana harus ditampilkan di depan orang lain. Pada saat pubertas,
remaja lebih tidak puas dengan keadaan tubuhnya dibandingkan
dengan akhir masa remaja.
2) Aspek kognitif (cognitive processes)
Aspek kognitif meliputi perubahan dalam cara berpikir, inteligensi
dan bahasa individu. Menurut Piaget, perkembangan kognitif remaja
adalah pemikiran operasional formal (formal operational stage) yang
muncul pada usia 11 sampai 15 tahun. Pemikiran operasional formal
ini bersifat lebih abstrak dan idealis. Semakin berkembangnya
pemikiran egosentrisme. Egosentrisme remaja menggambarkan
meningkatnya kesadaran diri remaja dalam wujud sebuah keyakinan
bahwa orang lain memiliki perhatian amat besar pada perasaan dan
keunikan dirinya, seperti perhatian mereka pada orang-orang di
sekitarnya.
Pemikiran egosentrisme remaja dibagi menjadi dua jenis, yaitu
imaginary audience (penonton imajiner) dan personal fable (dongeng
pribadi). Imaginary audience mencakup berbagai perilaku untuk
mendapatkan perhatian, keinginan agar kehadirannya diperhatikan,
disadari oleh orang lain dan menjadi pusat perhatian. Personal fable
merupakan perasaan remaja yang merasa memiliki keunikan pribadi.
Perasaan akan keunikan pribadi remaja ini membuat remaja merasa
bahwa tidak ada satu orang pun yang mampu memahami perasaannya.
3) Aspek sosial-emosional (socioemotional processes)
Aspek sosial-emosional ini mencakup perubahan ketika melakukan
hubungan antara individu dengan orang lain yang melibatkan emosi,
kepribadian, dan peran dari konteks sosial dalam perkembangan.
Seperti, membantah orang tua, berperilaku agresif terhadap teman
sebaya, berkembangnya sifat asertif, dan orientasi peran gender dalam
masyarakat.
Dapat disimpulkan, bahwa ketiga aspek tersebut yaitu fisik, kognitif,
dan sosial-emosional saling berkaitan satu dengan yang lain. Aspek sosial
menghambat aspek sosial, dan aspek fisik mempengaruhi aspek kognitif
(Santrock, 2003).
C. HUBUNGAN PERASAAN INFERIORITAS DENGAN PERILAKU
BULLYING
Masa remaja adalah masa transisi antara masa kanak-kanak dan masa
dewasa yang mengalami perubahan besar dalam perkembangan fisik,
kognitif, dan sosioemosi. Masa transisi ini memberikan peluang bagi para
remaja untuk tumbuh dan berkembang secara fisik, kognitif maupun sosial,
sehingga menjadi periode perkembangan yang amat berisiko (Papalia, 2008).
Dengan berkembangnya fisik, kognitif dan sosial tersebut menimbulkan suatu
kompetisi antar remaja dalam mendapatkan otonomi, harga diri, dan intimasi
yang dapat memunculkan dorongan agresi pada remaja. Dalam teori psikologi
individual Alfred Adler dikemukakan bahwa dorongan agresi adalah
dorongan dasar dalam kehidupan seseorang (Semium, 2013). Hal ini
diperkuat dengan masa remaja merupakan waktu meningkatnya perbedaan
diantara remaja mayoritas dan minoritas yang akan menghadapkan mereka
pada masalah besar yaitu persaingan (Offer & Schonert-Reichl, 1992).
Dalam teori psikologi individual, semua manusia memiliki kelemahan
fisik sejak lahir yang memicu perasaan inferior oleh karena sifat alami
manusia untuk meraih sesuatu yang utuh atau lengkap (Feist & Feist, 2010).
Manusia secara terus menerus didorong untuk mengatasi perasaan inferior
individu ini dapat menimbulkan perasaan inferior dan bahkan tidak berarti
sama sekali bagi individu tergantung pada perasaan subjektif tentang
inferioritas, yang berfungsi sebagai dorongan menuju kesempurnaan atau
keutuhan (Feist & Feist, 2010).
Beberapa orang menggunakan agresi untuk melindungi perasaan
inferior yang berlebihan (inferiority complex), untuk melindungi harga diri
mereka yang rapuh (Feist & Feist, 2010). Agresi merupakan reaksi seseorang
untuk merasakan ketidakberdayaan/ inferioritas atau dapat dikatakan pula
sebagai sebuah pemberontakan melawan ketidakmampuan untuk meraih atau
menguasai sesuatu (Friedman & Schustack, 2008).
Beberapa orang mengganti perasaan inferior dengan bergerak menuju
keadaan psikologis yang sehat dan gaya hidup yang bermanfaat. Namun, ada
pula orang yang menanggapi perasaan inferior dengan melakukan
kompensasi secara berlebihan dan termotivasi untuk menaklukkan diri dari
orang lain atau menarik diri dari orang lain (Feist & Feist, 2010). Usaha
untuk menaklukkan orang lain ini seiring dengan munculnya dorongan agresi
individu. Bullying merupakan salah satu wujud agresi yang paling
menggambarkan usaha individu untuk mengkompensasikan perasaan
inferiornya dengan menyakiti, mengancam, atau menakut-nakuti orang lain
(Rigby, 2007). Hal ini dilakukan agar korban bullying dapat merasakan lemah
dan tidak berdaya, sama halnya dengan yang dirasakan oleh pelaku bullying
sebelumnya. Perasaan inferior pelaku bullying ini yang mendorong individu
perasaan inferior yang dialaminya, sehingga pelaku mendapatkan perasaan
puas.
D. HIPOTESIS
Berdasarkan uraian landasan teoritik di atas maka hipotesis yang
diajukan dalam penelitian ini adalah adanya hubungan antara perasaan
Skema Hubungan Perasaan Inferior dengan Perilaku Bullying
Aspek Perkembangan Remaja baik fisik & biologis, kognitif, serta
sosioemosi
Perilaku bullying Keberhasilan mencapai
tujuan
Dorongan positif Dorongan agresi
Remaja memiliki motivasi untuk membuat
diri lebih baik
Remaja memiliki motivasi untuk menaklukkan orang
lain Remaja
mengkompensasikan secara positif
Remaja
mengkompensasikan secara berlebihan/ negatif Muncul perasaan inferior
30
BAB III
METODE PENELITIAN
A. JENIS PENELITIAN
Jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif korelasional. Penelitian
kuantitatif korelasional adalah penelitian yang digunakan untuk mengukur
hubungan antara dua variabel yang menunjukkan sifat sebab akibat (Susanti,
2010). Penelitian korelasional untuk mengetahui sejauh mana variasi dalam
satu variabel berhubungan dengan variasi dalam variabel lain (Noor, 2012).
Noor (2012), mengatakan bahwa penelitian korelasi bertujuan untuk menguji
hipotesis, dengan cara mengukur sejumlah variabel dan menghitung
koefisiensi korelasi antara variabel tersebut. Penelitian ini ingin mengetahui
apakah ada hubungan antara inferioritas dengan munculnya perilaku bullying.
B. IDENTIFIKASI VARIABEL
Variabel penelitian merupakan faktor-faktor yang berperan dalam
peristiwa atau gejala yang akan diteliti (Suryabrata, 2008). Variabel juga
diartikan sebagai segala sesuatu yang akan menjadi objek pengamatan
penelitian. menyebutkan bahwa variabel penelitian adalah suatu atribut atau
sifat atau nilai dari objek atau kegiatan yang mempunyai variasi tertentu yang
ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulan.
Dalam penelitian ini digunakan dua macam variabel yaitu variabel bebas
(independen) adalah variabel yang mempengaruhi atau yang menjadi sebab
perubahannya dan timbulnya variabel tergantung (Sugiyono, 2013).
Sedangkan, variabel tergantung (dependen) adalah variabel yang dipengaruhi
atau yang menjadi akibat, karena adanya variabel bebas (Sugiyono, 2013).
Berdasarkan pengertian tersebut, maka variabel dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut :
1. Variabel bebas : Inferioritas
2. Variabel tergantung : Perilaku Bullying
C. DEFINISI OPERASIONAL
Definisi operasional adalah definisi yang didasarkan atas sifat-sifat hal
yang didefinisikan yang dapat diamati atau diobservasi (Suryabrata, 2008).
Definisi operasional merupakan bagian yang mendefinisikan sebuah konsep/
variabel agar dapat diukur, dengan cara melihat pada dimensi (indikator) dari
suatu konsep/ variabel (Noor, 2012). Penyusunan definisi operasional ini
penting, karena definisi operasional akan mengarah pada alat pengambilan
data yang cocok untuk digunakan (Suryabrata, 2008). Definisi operasional
dalam penelitian ini sebagai berikut :
1. Perilaku Bullying
bullying merupakan tindakan yang ditimbulkan sebagai akibat dari
penyalahgunaan kekuatan secara fisik dan mental atau kekuasaan oleh
seseorang atau suatu kelompok. Bullying melibatkan kekuatan dan
berdaya. Seperti menendang, memukul, mengejek, menuduh, dan
mengucilkan seseorang. Bullying biasanya dilakukan di dalam lingkungan
sekolah dan dilakukan pada saat tidak adanya pengawasan orang yang
lebih dewasa. Semakin tinggi skor yang diperoleh, mengindikasikan
tingkat bullying pada siswa yang semakin tinggi. Sebaliknya, semakin
rendah skor yang diperoleh, mengindikasikan tingkat bullying pada siswa
yang semakin rendah.
2. Inferioritas
Perasaan inferior merupakan rasa rendah diri dan rasa kurang
berharga yang muncul karena adanya perasaan ketidakberdayaan dan
ketidakmampuan untuk mengaktualisasikan diri. Perasaan inferior tersebut
dapat digambarkan dengan adanya perasaan tidak aman, sikap malu-malu,
dan menarik diri dari lingkungan. Semakin tinggi skor inferioritas,
mengindikasikan tingkat inferioritas yang tinggi pada siswa. Sebaliknya,
semakin rendah skor inferioritas, mengindikasikan semakin rendah tingkat
inferioritas pada siswa.
D. SUBJEK PENELITIAN
Subjek penelitian ini adalah semua remaja awal (early adolescence) yaitu
remaja remaja yang masih duduk dibangku sekolah menengah pertama berusia
13-16 tahun. Subjek penelitian ditentukan dengan menggunakan metode
pertimbangan-pertimbangan tertentu (Sugiyono, 2008). Subjek dalam
penelitian ini adalah siswa-siswi SMP di sebuah sekolah swasta di Yogyakarta
sebanyak 130 siswa yang terdiri dari kelas VII B 3 siswa, VIII B 27 siswa, IX
A 33 siswa, IX B 32 siswa, dan IX C 35 siswa.
E. METODE PENGUMPULAN DATA
Metode atau teknik pengumpulan data menurut Noor (2012) merupakan
cara mengumpulkan data yang dibutuhkan untuk menjawab rumusan masalah
penelitian. Metode pengumpulan data pada penelitian ini adalah dengan
menggunakan skala perilaku bullying dan skala inferioritas. Skala tersebut
berisi pernyataan-pernyataan yang menggambarkan aspek dari perilaku
bullying dan inferioritas.
Jenis skala yang digunakan adalah skala Likert. Skala Likert merupakan
metode penskalaan berupa pernyataan sikap dengan menggunakan distribusi
respons sebagai dasar penentuan nilai skalanya (Azwar, 2011). Skala ini
digunakan untuk mengukur sikap dalam suatu penelitian (Sarwono, 2006).
Skala perilaku bullying berisi pernyataan favorable yang terdapat 4 alternatif
pilihan jawaban yaitu : Tidak Pernah (TP), Jarang (JR), Sering (SR), dan
Selalu (SL). Sedangkan, untuk skala inferioritas berisi pernyataan favorable
dan unfavorable. Skala inferioritas juga memiliki 4 alternatif pilihan jawaban
yaitu : Sangat Tidak Setuju (STS), Tidak Setuju (TS), Setuju (S), dan Sangat
Setuju (SS). Alternatif jawaban tengah dalam kedua skala ini dihilangkan
memberi jawaban (menurut konsep aslinya). Selain itu, alternatif jawaban
tengah menimbulkan kecenderungan menjawab ketengah (central tendency
effect) terutama bagi yang ragu-ragu atas arah kecenderungan jawabanya dan
juga jawaban tengah akan menghilangkan banyak data penelitian sehingga
mengurangi informasi yang didapat (Hadi, 2002).
Skor yang digunakan pada kedua skala untuk setiap item favorable dan
unfavorable dapat dilihat pada Tabel 1 dan Tabel 2.
Tabel 1
Pemberian Skor Item Skala
Plihan Jawaban Item Favorable
Tidak Pernah (TP) 1
Jarang (JR) 2
Sering (SR) 3
Selalu (SL) 4
Cara menjawab pernyataan pada skala perilaku bullying adalah dengan
memberikan tanda silang (X) pada pilihan jawaban yang ada, yaitu: Tidak
Pernah (TP), Jarang (JR), Sering (SR), dan Selalu (SL) sesuai dengan kondisi
Tabel 2
Pemberian Skor Item Skala
Plihan Jawaban Item Favorable Item Unfavorable
Sangat Tidak Setuju (STS) 1 4
Tidak Setuju (TS) 2 3
Setuju (S) 3 2
Sangat Setuju (SS) 4 1
Cara menjawab pernyataan pada skala inferioritas adalah dengan memberikan
tanda silang (X) pada pilihan jawaban yang ada, yaitu: Sangat Tidak Setuju
(STS), Tidak Setuju (TS), Setuju (S), dan Sangat Setuju (SS) sesuai dengan
kondisi responden.
Skala yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Skala Perilaku Bullying
Skala ini digunakan untuk mengukur perilaku bullying yang dilakukan
remaja di sekolah. Dalam skala ini tersusun atas 3 aspek, yaitu:
i. Bullying Fisik; dengan indikator memukul, menginjak, dan
meludahi
ii. Bullying Verbal; dengan indikator menghina, meneriaki, dan
memfitnah
iii. Bullying Mental/ Psikologis; dengan indikator memandang sinis,
Tabel 3
Skala ini digunakan untuk mengukur tingkat inferioritas yang sedang
dialami remaja di sekolah. Dalam skala ini tersusun atas 3 aspek, yaitu:
i. Perasaan Tidak Aman (Insecure); dengan indikator takut
ii. Malu-malu (Shyness); dengan indikator rendah diri
iii. Menarik Diri dari Lingkungan (Withdrawal); dengan indikator
F. Validitas, Seleksi Item, dan Reliabilitas
1. Validitas Alat Tes
Menurut Arikunto dalam Tukiran & Hidayati (2011), validitas
adalah suatu ukuran yang menunjukkan tingkat-tingkat kevalidan atau
kesahihan suatu instrumen. Secara mendasar, validasi adalah keadaan yang
menggambarkan tingkat instrumen yang digunakan mampu mengukur apa
yang akan diukur (Tukiran & Hidayati, 2011).
Jenis validitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah validitas
isi. Azwar (2003) menyebutkan bahwa validitas isi merupakan validitas
yang diestimasi lewat pengkajian terhadap isi tes dengan analisis rasional
atau lewat professional judgment, yaitu dengan cara meminta dosen
pembimbing untuk melihat apakah item-item dalam tes telah ditulis sesuai
dengan aspek yang akan diukur.
2. Seleksi Item
Seleksi item untuk menguji karakteristik masing-masing item yang
menjadi bagian dari skala yang digunakan. Item-item yang tidak
memenuhi syarat kualitas tidak boleh dimasukkan menjadi bagian dari
skala (Azwar, 2009). Item yang disusun yang tidak memiliki kualitas yang
baik akan digugurkan atau direvisi terlebih dahulu sebelum melakukan uji
coba item. Menurut Azwar (2009), pengujian keselarasan fungsi item
dengan fungsi tes dilakukan dengan menggunakan komputasi koefisiensi
skala. Komputasi koefisien korelasi item akan menghasilkan koefisiensi
korelasi item-total (rix) atau indeks daya beda item.
Syarat pemilihan item yang berkualitas berdasarkan koefisiensi
korelasi item-total adalah (rix) ≥ 0,3. Item yang memiliki koefisiensi
korelasi item-total (rix) ≥ 0,3 memiliki daya beda yang baik, sedangkan
item yang memiliki koefisiensi korelasi item-total (rix) < 0,3 memiliki daya
beda yang kurang baik.
Berdasarkan hasil uji coba skala penelitian ini pada 17 Oktober
2014 terhadap 50 subjek, prosedur seleksi item menggunakan koefisiensi
korelasi Pearson pada program komputer SPSS for windows versi 16.
Berikut adalah distribusi item skala setelah uji coba :
1) Skala Perilaku Bullying
Hasil pengujian terhadap 45 item skala perilaku bullying didapatkan 33
item lolos seleksi dan 12 item gugur. Item-item yang gugur dalam uji coba
ini adalah item nomor 1, 2, 3, 4, 5, 7, 9,11, 23, 31, 32, dan 38. Berikut
adalah table distribusi skala perilaku bullying setelah uji coba :
2. Bullying Verbal 16, 17, 18, 19, 20, 21,
Berdasarkan tabel distribusi skala perilaku bullying di atas, tampak
bahwa jumlah item pada setiap aspek tidak rata. Oleh karena itu,
beberapa item harus digugurkan kembali agar jumlah item pada setiap
aspek menjadi rata. Pada aspek bullying fisik terdapat item yang dapat
direvisi dengan menggunakan koefisien korelasi item-total ≥ 0,25.
Dengan demikian item nomor 9 dapat digunakan. Berikut adalah tabel
distribusi skala perilaku bullying setelah diratakan itemnya pada setiap
aspek :
Tabel 6
Spesifikasi Skala Perilaku Bullying
(Setelah Diratakan Pada Setiap Aspek)
2. Bullying Verbal 19, 20, 21, 22, 25, 28,
Hasil uji coba terhadap 60 item skala inferioritas, terdapat 48 item
yang lolos seleksi dan 12 item yang gugur. Item-item yang gugur
adalah item nomor 1, 2, 14, 16, 17, 18, 19, 31, 32, 49, 51, dan 52.
Berikut adalah tabel distribusi skala inferioritas setelah dilakukan uji
3. Menarik Diri
Berdasarkan tabel distribusi skala inferioritas tersebut, tampak bahwa
jumlah item pada setiap aspek tidak rata. Oleh karena itu, beberapa
item harus digugurkan kembali. agar jumlah item pada setiap aspek
menjadi rata. Pada aspek perasaan tidak aman (insecure) pada
pernyataan unfavorable terdapat beberapa item yang dapat direvisi
dengan menggunakan koefisien korelasi item-total ≥ 0,25. Dengan
demikian, item nomor 16 dan 19 dapat digunakan. Berikut adalah tabel
distribusi skala inferioritas setelah diratakan :
Tabel 8
Spesifikasi Skala Inferioritas
(Setelah Diratakan Pada Setiap Aspek)
(Shyness) 27,28, 29, 30 38, 39, 40
3. Reliabilitas
Reliabilitas / keterandalan adalah indeks yang menunjukkan sejauh
mana suatu alat ukur dapat dipercaya atau diandalkan (Noor, 2012).
Reliabilitas menunjukkan kemantapan / konsistensi hasil pengukuran.
Noor (2012) juga mengatakan bahwa suatu alat ukur dikatakan mantap
atau konsisten, apabila untuk mengukur sesuatu berulang kali, alat
pengukur tersebut tetap menunjukkan hasil yang sama dan dalam kondisi
yang sama.
Uji reliabilitas dalam penelitian ini menggunakan formula
koefisiens Alpha Cronbach dari program SPSS for windows versi 16. Nilai
reliabilitas skala dianggap reliabel apabila koefisien alpha lebih besar dari
0,90 karena berarti perbedaan atau variansi yang tampak pada skor tes
mampu mencerminkan 90% dari variansi yang terjadi pada skor murni
subjek, dan hanya 10% dari perbedaan skor yang tampak disebabkan oleh