• Tidak ada hasil yang ditemukan

Struktur dan fungsi mitos Rombiya dalam upacara Nopahtung Suku Dayak Uud Danum.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Struktur dan fungsi mitos Rombiya dalam upacara Nopahtung Suku Dayak Uud Danum."

Copied!
171
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

Sundari, Tursina Ayun. 2017, Struktur dan Fungsi Mitos Rombiya dalam Upacara Nopahtung Suku Dayak Uud Danum. Skripsi Strata 1 (S1). Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma.

Dalam skripsi ini dibahas struktur dan fungsi dari mitos Rombiya dalam upacara Nopahtung Suku Dayak Uud Danum. Penelitian ini memiliki tiga tujuan. 1. Menghimpun dan mendokumentasikan sastra lisan dalam upacara Nopahtung suku Dayak Uud Danum yang disertai dengan terjemahan dan catatan agar dapat dinikmati oleh kalangan yang lebih luas. 2. Menganalisis struktur mitos Rombiya dalam upacara Nopahtung. 3. Menganalisis fungsi mitos Rombiya dalam upacara Nopahtung.

Pendekatan yang digunakan dalam studi ini adalah pendekatan struktural. Landasan teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah kajian tradisi lisan, sastra lisan, struktur mitos, fungsi mitos, dan upacara Nopahtung. Penelitian ini menggunakan tiga teknik pengumpulan data, yaitu observasi, wawancara, dan dokumentasi.

Hasil penelitian mitos Rombiya dalam upacara Nopahtung suku Dayak Uud Danum ini menunjukan beberapa hal berikut. 1. Upacara Nopahtung merupakan upacara penyembuhan orang sakit yang dilakukan berdasarkan mitos Rombiya. 2. Ketiga mitos Rombiya memiliki tokoh utama yang sama yaitu Rombiya, namun ada perbedaan nama tokoh yang menjadi suami Rombiya maupun tokoh yang menolong Rombiya. 3. Ada enam fungsi mitos Rombiya, yaitu: a. fungsi pertama, sebagai sarana penyembuhan, b. Fungsi kedua sebagai proyeksi (projective system) yaitu sebagai alat pencermin angan-angan suatu kolektif, c. fungsi ketiga sebagai alat pengesahan pranata-pranata dan lembaga-lembaga kebudayaan, d. fungsi keempat sebagai alat pendidikan anak (pedagogical device), e. fungsi kelima sebagai alat pemaksa dan pengawas agar norma-norma masyarakat akan selalu dipatuhi anggota koletifnya, f. fungsi keenam sebagai penetapan contoh model bagi semua tindakan manusia.

(2)

ABSTRACT

Sundari, Tursina Ayun 2017, Structure and Function of Rombiya’s Myth in Nopahtung ceremony by Dayak ethnic Uud Danum. Undergraduate Thesis (S1). Indonesian Education and Literature Study Program, Department of Language Education and Art, Faculty of Teacher training and Education, Sanata Dharma University.

In this thesis, the researcher talked about the analysis of structure and function from Rombiya’s mythin Dayak Uud Danum. This study has three main purposes. 1. Collecting and documenting oral literature that located in Nopahtung ceremony from Dayak Uud Danum including the translation and also some notes to make it enjoyable for everyone. 2. Analyzing the structure of Rombiya’s myth in Nopahtung ceremony. 3. Analyzing the function of Rombiya’s myth in Nopahtung ceremony.

Structural approaching technique was the main tool for this research. Furthermore, theoretical framework that researcher used as theoretical references were oral tradition, oral literature, structure of myth, function of myth, and Nopahtung ceremony. Moreover, this research used three data collecting technique which were observation, interview, and documentation. Documentation technique used for describing the procedure of Nopahtung ceremony and also finding Rombiya itself.

There were three main results regard to the research. 1. Nopahtung ceremony was a healing ceremony for dying people based on Rombiya’s myth. 2. Three of Rombiya’s myth had main character named Rombiya, but there was a difference between Rombiya’s husband name and the one who helped Rombiya. 3. There were six functions of Rombiya’s myth; a. as a healing tool, b. as a validation tool in society and culture organization, c. as a pedagogical device to teach children, d. as a norm keeper among Dayak people especially Uud danum for being good people, e. as a foundation model for human action, f. and also as a projective system that showed collective imaginary.

(3)

STRUKTUR DAN FUNGSI MITOS ROMBIYA

DALAM UPACARA NOPAHTUNG SUKU DAYAK UUD DANUM

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia

Oleh

Tursina Ayun Sundari NIM: 131224005

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA SASTRA INDONESIA JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(4)

i

STRUKTUR DAN FUNGSI MITOS ROMBIYA

DALAM UPACARA NOPAHTUNG SUKU DAYAK UUD DANUM

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia

Oleh

Tursina Ayun Sundari NIM: 131224005

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA SASTRA INDONESIA JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(5)
(6)
(7)
(8)
(9)

vi MOTO

“Bersukacitalah dalam pengharapan, sabarlah dalam kesesakan, dan bertekunlah dalam doa”

(Roma 12 : 12)

(10)

vii

HALAMAN PERSEMBAHAN

Karya ini penulis persembahkan kepada: 1. Tuhan Yang Maha Esa.

2. Orang tua tercinta Stefanus Yelani dan Suryani Nonot yang selalu memberikan kasih sayang, dukungan, dan doa dalam menyelesaikan skripsi ini.

3. Kakak saya Roswita Yeni Sulastri dan adik saya Adria Wisanggeni yang selalu memberikan kasih sayang, dukungan, dan doa dalam menyelesaikan skripsi ini.

(11)

viii

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas berkat dan rahmat yang telah dilimpahkan atas diri penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulisan skripsi ini bertujuan memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma.

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna dan penyusunan skripsi ini dapat terselesaikan atas arahan, bantuan serta bimbingan dan juga dorongan dari berbagai pihak. Penulis dengan tulus mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu baik secara langsung maupun tidak langsung dalam penulisan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak sebagai berikut:

1. Rohandi, Ph.D., selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma.

2. Dr. Yuliana Setyaningsih, M.Pd., selaku Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia yang telah memberikan dukungan, pendampingan, saran, dan nasihat kepada peneliti dalam menyelesaikan skripsi ini.

(12)

ix

4. Drs. J. Prapta Diharja, S.J., M.Hum., selaku pembimbing I yang dengan sabar telah memberikan dukungan, pendampingan, saran, pengarahan, dan nasihat kepada peneliti dalam menyelesaikan skripsi ini.

5. Septina Krismawati, S.S., M.A., selaku pembimbing II yang dengan sabar telah memberikan dukungan, pendampingan, saran, pengarahan, dan nasihat kepada peneliti dalam menyelesaikan skripsi ini.

6. Segenap dosen Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia Universitas Sanata Dharma yang telah mendidik dan memotivasi peneliti.

7. Robertus Marsidiq, selaku staf sekretariat Prodi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia Universitas Sanata Dharma yang selalu memberikan informasi yang berkaitan dengan penyelesaian skripsi ini.

8. Kedua orang tua peneliti Stefanus Yelani dan Suryani Nonot yang selalu memberikan kasih sayang, dukungan, dan doa kepada peneliti dalam menyelesaikan skripsi ini.

9. Kedua kakak dan adik peneliti Roswita Yeni Sulastri dan Adria Wisanggeni yang selalu memberikan kasih sayang, dukungan, dan doa kepada peneliti dalam menyelesaikan skripsi ini.

10.Kepada Seto Hariyanto yang selalu membantu dan mendukung saya dalam menyelesaikan skripsi ini.

11.Paman dan bibi peneliti yang telah membantu kelancaran peneliti saat mengambil data untuk skripsi ini.

(13)

x

13.Sahabat seperjuangan dari semester satu sampai akhir Yohana Augusta Wokabelolo, Margareta Anggraini Taruk, Alexandra Taum, Clara Wahyu Kurnia Putri yang selalu memberikan memberikan kasih sayang, dukungan, dan doa kepada peneliti dalam menyelesaikan skripsi ini.

14.Seluruh teman-teman seperjuangan PBSI angkatan 2013 kelas A dan B yang selalu memberikan dukungan dan doa kepada peneliti dalam menyelesaikan skripsi ini.

15.H. Ismanto Koesturi, Alm. Hj. Marlianti Yulianti dan Farra Indrianti, S.sos. beserta “The Kos Kanjeng Mami” Maria Yunita Anggelina, Yohana Augusta

Wokabelolo, Brigitta Aisin Uba Arakian, Laras Mustikarani, Elisabeth Lusitana Endah Permatasari, Maria Isti Nugrahini, Kristina Simarilon Dania, Erica Valentina Siboro, dan Wulan Permatasari yang selalu memberikan dukungan dan doa kepada peneliti dalam menyelesaikan skripsi ini.

16.Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah memberikan dukungan dan doa kepada peneliti dalam menyelesaikan skripsi ini.

Dalam hal ini peneliti menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat diharapkan. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat secara khusus di bidang akademis dan dapat dipergunakan sebaik-baiknya.

Yogyakarta, 5 Mei 2017

(14)

xi DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL... i

HALAMAN PENGESAHAN...ii

HALAMAN PENGESAHAN...iii

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA...iv

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI...v

MOTO...vi

HALAMAN PERSEMBAHAN...vii

KATA PENGANTAR...viii

DAFTAR ISI...xi

ABSTRAK...xiv

ABSTRACT...xv

BAB I. PENDAHULUAN...1

A. Latar Belakang...1

B. Rumusan Masalah...3

C. Tujuan Penelitian...4

D. Manfaat Penelitian...4

E. Batasan Istilah...5

F. Sistematika Penyajian...6

BAB II. LANDASAN TEORI...8

(15)

xii

B. Kajian Teori...11

1. Tradisi Lisan...12

2. Sastra Lisan...12

3. Struktur Mitos...16

a. Tokoh...17

b. Alur...17

c. Latar...19

d. Tema...20

4. Fungsi Mitos...21

5. Upacara Nopahtung...22

BAB III. METODE PENELITIAN... 24

A. Jenis Penelitian...24

B. Sumber Data dan Data Penelitian ...24

C. Metode dan Teknik Pengumpulan Data...25

D. Instrumen Penelitian...26

E. Metode dan Teknik Analisis Data...26

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN...28

A. Tradisi Upacara Nopahtung...28

1. Upacara Nopahtung...28

2. Proses Upacara...35

(16)

xiii

b. Nopahtung Menggunakan Kayu Pahting Jorik...38

c. Nopahtung Menggunakan Rotan (Uoi Cohkok)...43

d. Nopahtung Menggunakan Batu...47

B. Struktur Mitos dalam Upacara Nopahtung...47

1. Struktur Mitos Rombiya Teks A...48

2. Struktur Mitos Rombiya Teks B...61

3. Struktur Mitos Rombiya Teks C...78

C. Fungsi Mitos...80

BAB V. PENUTUP...89

A. Kesimpulan...89

B. Saran...91

DAFTAR PUSTAKA...92

LAMPIRAN 1. Daftar Informan...95

2. Transkripsi dan Terjemahan Mitos...96

(17)

xiv ABSTRAK

Sundari, Tursina Ayun. 2017, Struktur dan Fungsi Mitos Rombiya dalam Upacara Nopahtung Suku Dayak Uud Danum. Skripsi Strata 1 (S1). Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma.

Dalam skripsi ini dibahas struktur dan fungsi dari mitos Rombiya dalam upacara Nopahtung Suku Dayak Uud Danum. Penelitian ini memiliki tiga tujuan. 1. Menghimpun dan mendokumentasikan sastra lisan dalam upacara Nopahtung suku Dayak Uud Danum yang disertai dengan terjemahan dan catatan agar dapat dinikmati oleh kalangan yang lebih luas. 2. Menganalisis struktur mitos Rombiya dalam upacara Nopahtung. 3. Menganalisis fungsi mitos Rombiya dalam upacara Nopahtung.

Pendekatan yang digunakan dalam studi ini adalah pendekatan struktural. Landasan teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah kajian tradisi lisan, sastra lisan, struktur mitos, fungsi mitos, dan upacara Nopahtung. Penelitian ini menggunakan tiga teknik pengumpulan data, yaitu observasi, wawancara, dan dokumentasi.

Hasil penelitian mitos Rombiya dalam upacara Nopahtung suku Dayak Uud Danum ini menunjukan beberapa hal berikut. 1. Upacara Nopahtung merupakan upacara penyembuhan orang sakit yang dilakukan berdasarkan mitos Rombiya. 2. Ketiga mitos Rombiya memiliki tokoh utama yang sama yaitu Rombiya, namun ada perbedaan nama tokoh yang menjadi suami Rombiya maupun tokoh yang menolong Rombiya. 3. Ada enam fungsi mitos Rombiya, yaitu: a. fungsi pertama, sebagai sarana penyembuhan, b. Fungsi kedua sebagai proyeksi (projective system) yaitu sebagai alat pencermin angan-angan suatu kolektif, c. fungsi ketiga sebagai alat pengesahan pranata-pranata dan lembaga-lembaga kebudayaan, d. fungsi keempat sebagai alat pendidikan anak (pedagogical device), e. fungsi kelima sebagai alat pemaksa dan pengawas agar norma-norma masyarakat akan selalu dipatuhi anggota koletifnya, f. fungsi keenam sebagai penetapan contoh model bagi semua tindakan manusia.

(18)

xv

ABSTRACT

Sundari, Tursina Ayun 2017, Structure and Function of Rombiya’s Myth in Nopahtung ceremony by Dayak ethnic Uud Danum. Undergraduate Thesis (S1). Indonesian Education and Literature Study Program, Department of Language Education and Art, Faculty of Teacher training and Education, Sanata Dharma University.

In this thesis, the researcher talked about the analysis of structure and function from Rombiya’s mythin Dayak Uud Danum. This study has three main purposes. 1. Collecting and documenting oral literature that located in Nopahtung ceremony from Dayak Uud Danum including the translation and also some notes to make it enjoyable for everyone. 2. Analyzing the structure of Rombiya’s myth in Nopahtung ceremony. 3. Analyzing the function of Rombiya’s myth in Nopahtung ceremony.

Structural approaching technique was the main tool for this research. Furthermore, theoretical framework that researcher used as theoretical references were oral tradition, oral literature, structure of myth, function of myth, and Nopahtung ceremony. Moreover, this research used three data collecting technique which were observation, interview, and documentation. Documentation technique used for describing the procedure of Nopahtung ceremony and also finding Rombiya itself.

There were three main results regard to the research. 1. Nopahtung ceremony was a healing ceremony for dying people based on Rombiya’s myth. 2. Three of Rombiya’s myth had main character named Rombiya, but there was a difference between Rombiya’s husband name and the one who helped Rombiya. 3. There were six functions of Rombiya’s myth; a. as a healing tool, b. as a validation tool in society and culture organization, c. as a pedagogical device to teach children, d. as a norm keeper among Dayak people especially Uud danum for being good people, e. as a foundation model for human action, f. and also as a projective system that showed collective imaginary.

(19)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang

Sastra memiliki hubungan yang erat dengan kesusastraan daerah, khususnya sastra lisan yang merupakan warisan budaya yang kaya akan nilai-nilai luhur seperti nilai moral dan nilai sosial. Sastra lisan ini kemudian menjadi alat kontrol masyarakat. Adapun sastra lisan adalah karya yang penyebarannya disampaikan dari mulut ke mulut secara turun-temurun (Endraswara 2013: 150). Orang-orang yang menguasai sastra lisan biasanya sudah tua dan berusia lanjut. Penyebarannya secara lisan itulah yang kemudian menimbulkan perubahan-perubahan sastra lisan dari versi aslinya dan memunculkan beberapa versi lain.

(20)

Vansina (via Taum, 2011: 10), menjelaskan bahwa sastra lisan (oral literature) adalah bagian tradisi lisan (oral tradition) atau yang biasanya

dikembangkan dalam kebudayaan lisan (oral culture) berupa pesan-pesan, cerita-cerita, atau kesaksian-kesaksian ataupun yang diwariskan secara lisan dari satu generasi ke generasi lainnya. Endraswara (2013: 150) membagi sastra lisan menjadi dua, yaitu sastra lisan murni yang berupa dongeng, legenda, cerita yang tersebar secara lisan di masyarakat dan ada pula sastra lisan tak murni, biasanya sastra ini berbaur dengan tradisi lisan. Sastra lisan yang berbaur ini kadang-kadang hanya berupa penggalan cerita sakral.

Menurut Hutomo (via Endraswara, 2013: 151), bahan sastra lisan dapat dibedakan menjadi tiga bagian. Pertama, bahan yang bercorak cerita: (a) cerita-cerita biasa (tales), (b) mitos (myths), (c) legenda (legends), (d) epik (epics), (e) cerita tutur (ballads), (f) memori (memorates). Kedua, bahan yang bercorak bukan cerita: (a) ungkapan (folk speech), (b) nyanyian (songs), (c) peribahasa

(proverbs), (d) teka-teki (riddles), (e) puisi lisan (rhymes), (f) nyanyian sedih pemakaman (dirge), (g) undang-undang atau peraturan adat (law). Ketiga, bahan yang bercorak tingkah laku (drama): (a) drama panggung dan (b) drama arena.

(21)

Tradisi ini bertujuan mengembalikan roh manusia yang diyakini sedang tersesat atau diambil oleh roh orang-orang yang sudah meninggal.

Dalam tradisi ini terdapat sebuah mitos tentang seorang gadis cantik bernama Rombiya yang konon menikah dengan makluk halus. Mitos Rombiya inilah yang dituturkan oleh dukun saat melakukan upacara menyembuhkan orang sakit atau Nopahtung. Sastra lisan ini dikhawatirkan akan menghilang karena cerita ini belum pernah ditulis, didokumentasikan, dan dipublikasikan kepada masyarakat di luar suku Dayak Uud Danum oleh siapapun.

Permasalahan inilah yang mendorong peneliti untuk melakukan penelitian terhadap sastra lisan suku Dayak Uud Danum. Agar warisan nenek moyang dapat digunakan dan dimanfaatkan oleh generasi selanjutnya, sastra lisan perlu ditulis, didokumentasikan, dipublikasikan, dan dilestarikan. Selain itu agar sastra lisan itu tetap ada dan dikenal banyak orang sebagai kekayaan budaya yang patut dibanggakan.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini sebagai berikut.

1. Bagaimana deskripsi proses upacara Nopahtung (penyembuhan orang sakit) suku Dayak Uud Danum?

2. Bagaimana struktur mitos Rombiya dalam upacara Nopahtung?

(22)

C. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah di atas, tujuan yang akan dicapai oleh peneliti dalam penelitian ini, sebagai berikut.

1. Menghimpun dan mendokumentasikan sastra lisan dalam upacara Nopahtung suku Dayak Uud Danum yang disertai dengan terjemahan dan

catatan agar dapat dinikmati oleh kalangan yang lebih luas.

2. Menganalisis struktur mitos Rombiya dalam upacara Nopahtung.

3. Menganalisis fungsi mitos Rombiya dalam upacara Nopahtung.

D. Manfaat Hasil Penelitian

Penelitian ini adalah studi sastra yang pertama dilakukan terhadap sastra lisan suku Dayak Uud Danum. Peneliti berharap penelitian ini memberikan manfaat teoretis dan praktis. Adapun manfaatnya sebagai berikut.

1. Manfaat Teroretis

(23)

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pengajaran sastra di sekolah, khususnya sastra daerah. Dari penelitian ini juga, siswa dapat belajar mengenai sastra sekaligus budaya suku Dayak Uud Danum.

E. Batasan Istilah

Peneliti membatasi beberapa istilah yang digunakan dalam penelitian ini. Istilah-istilah tersebut sebagai berikut.

1. Tradisi Lisan

Tradisi lisan diartikan sebagai “segala wacana yang diucapkan meliputi

yang lisan dan yang beraksara” atau dikatakan juga sebagai “sistem wacana yang

bukan aksara” (Pudentia 2015: 3).

2. Upacara Nopahtung

Upacara Nopahtung merupakan tradisi yang dilakukan untuk menyembuhkan orang sakit dengan menuturkan mitos Rombiya (Yelani, 2016).

3. Sastra Lisan

(24)

4. Mitos

Bascom (via Taum, 2011: 67), mengatakan bahwa mitos (myth) adalah sejenis cerita prosa yang dipercaya kebenarannya oleh masyarakat pendukung cerita itu.

5. Mitos Rombiya

Mitos Rombiya adalah mitos yang mengisahkan tentang seorang gadis yang menikah dengan roh halus. Mitos ini dituturkan ketika melakukan upacara Nopahtung (Yelani, 2016).

6. Prosa

Waluyo (2011: 1), mengatakan prosa berasal dari kata “orate provorsa” yang berarti ‘uraian langsung’, ‘cerita langsung’, atau ‘karya sastra yang menggunakan bahasa terurai.’

7. Struktur

Struktur adalah cara sesuatu disusun atau dibangun (Depdiknas, 2008: 1341).

8. Fungsi

Fungsi adalah kegunaan suatu hal bagi hidup suatu masyarakat (Depdiknas, 2008: 401).

F. Sistematika Penyajian

(25)
(26)

8

BAB II

LANDASAN TEORI

Dalam landasan teori ini ada dua bagian yang akan dijelaskan yaitu penelitian relevan dan kajian teori. Penelitian yang relevan dengan penelitian ini yaitu penelitian yang dilakukan oleh Liman (2013) dan penelitian yang dilakukan oleh Karolus (2013). Selanjutnya pada bagian kajian teori, dipaparkan teori tradisi lisan, sastra lisan, struktur mitos, fungsi mitos, dan upacara Nopahtung. Berikut ini disajikan uraian mengenai kedua bagian tersebut.

A. Penelitian Relevan

Penelitian yang relevan dengan penelitian peneliti adalah penelitian yang berjudul Sastra Lisan Lamabaka Kecamatan Wulandoni Kabupaten Lembata; Klasifikasi dan Analisis Fungsi bagi Masyarakat. Penelitian itu diteliti oleh

Liman (2013). Penelitian Liman tersebut dilakukan dengan tujuan (1) mendeskripsikan konteks sastra dan budaya masyarakat Lamabaka, (2) mendeskripsikan klasifikasi sastra lisan masyarakat Lambaka, (3) mendeskripsikan fungsi sastra lisan Lamabaka bagi masyarakat.

(27)

observasi dan metode wawancara. Dari hasil penelitian Liman dapat disimpulkan bahwa masyarakat kampung Lamabaka Kecamatan Wulandoni Kabupaten Lembata, Provinsi Nusa Tenggara Timur memiliki lima jenis sastra lisan yang tersebar di daerahnya yaitu (1) peribahasa, (2) teka-teki, (3) puisi rakyat, (4) cerita rakyat, dan (5) nyanyian rakyat. Fungsi yang terkandung dalam peribahasa Lamabaka adalah fungsi didaktis, fungsi pengungkapan emosional, dan fungsi menyindir. Fungsi yang terkandung dalam teka-teki Lamabaka adalah fungsi didaktis, fungsi menggoda, fungsi kontemplasi dan fungsi rekreatif, fungsi informasi, fungsi sosial, dan fungsi religius. Fungsi yang terkandung dalam nyanyian rakyat Lamabaka adalah fungsi pengiring kerja, fungsi pengungkapan emosional, fungsi komunikasi dan infromasi, fungsi ritual, fungsi pengesah pranata sosial, dan fungsi sosial.

(28)

Penelitian selanjutnya yang relevan dengan penelitian peneliti adalah penelitian yang berjudul Tradisi Reba: Mitos Genealogis, Proses Ritual, Makna dan Fungsi Reba bagi Masyarakat Ngadha di Flores, NTT. Penelitian itu diteliti

oleh Karolus (2013). Penelitian Karolus tersebut dilakukan dengan tujuan (1) mendeskripsikan asal-usul tradisi Reba dalam konteks sejarah dan budaya Masyarakat Ngadha, (2) mendeskripsikan proses ritual pelaksanaan upacara Reba di daerah Kabupaten Ngadha, dan (3) mendeskripsikan makna dan fungsi ritual Reba bagi masyarakat Ngadha.

Pendekatan yang digunakan Karolus adalah pendekatan folklor. Landasan teori yang digunakan sebagai referensi adalah mitos genealogis, ritual, makna dan fungsi mitos. Karolus kemudian menggunakan metode etnografi dengan empat teknik pengumpulan data yaitu pengamatan (obresvasi), wawancara, pencatatan, dan dokumentasi.

(29)

bermusuhan kepada sesama. Sementara itu, fungsi dalam upacara Reba meliputi fungsi sosial, fungsi magis, dan fungsi ajaran hidup.

Penelitian Karolus relevan dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti karena sama-sama meneliti tradisi yang ada di masyarakat. Namun dalam penelitian ini, peneliti menganalisis mitos yang terdapat dalam upacara Nopahtung. Perbedaan penelitian peneliti dengan penelitian Karolus juga terdapat

pada pendekatan dan metode yang digunakan. Karolus menggunakan pendekatan folklor dan metode etnografi sedangkan peneliti dalam penelitian ini akan menggunakan pendekatan struktural untuk menganalisis struktur instrinsik mitos yang ada dalam upacara Nopahtung. Harapan peneliti dengan menggunakan pendekatan struktural ini, dapat merumuskan fungsi dari mitos tersebut. Berdasarkan paparan di atas, peneliti mengatakan bahwa penelitian yang dilakukan oleh peneliti ini adalah sesuatu yang baru dan belum pernah diteliti oleh peneliti sebelumnya.

B. Kajian Teori

(30)

1. Tradisi Lisan

Tradisi lisan diartikan sebagai “segala wacana yang diucapkan meliputi

yang lisan dan yang beraksara” atau dikatakan juga sebagai “sistem wacana yang

bukan aksara” (Pudentia 2015: 3). Tradisi lisan atau dikenal dengan sastra rakyat

mencakup suatu bidang yang cukup luas, cerita-cerita, ungkapan, peribahasa, nyanyian, tarian, adat resam, undang-undang, teka-teki, permainan (games), kepercayaan dan perayaan (beliefs and festival) semuanya termasuk dalam sastra rakyat (Sarumpaet, 2011: 2). Ratna (2011: 104), kemudian mengatakan tradisi lisan secara definitif adalah berbagai kebiasaan dalam masyarakat yang hidup secara lisan. UNESCO (United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization) memasukan sastra lisan sebagai bagian tradisi lisan (via Ratna,

2011: 105).

Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa tradisi lisan adalah segala wacana yang diucapkan meliputi yang lisan dan beraksara (tidak lisan). Tradisi lisan berupa cerita-cerita, ungkapan, peribahasa, nyanyian, tarian, adat resam, undang-undang, teka-teki, permainan (games), kepercayaan dan perayaan (beliefs and festival). Sastra lisan juga disimpulkan sebagai bagian dari tradisi lisan.

2. Sastra Lisan

(31)

kaitannya dengan konteks moral maupun kultural dari sekelompok masyarakat tertentu. Pandangan Taum mengungkapkan bahwa sastra lisan mengandung sarana-sarana kesusastraan dan efek estetika sekelompok masyarakat tempat sastra itu berada.

Sastra lisan (oral literature) adalah bagian dari tradisi lisan (oral tradition) atau yang biasanya dikembangkan dalam kebudayaan lisan (oral culture). Sastra lisan berupa pesan-pesan, cerita-cerita, atau kesaksian-kesaksian ataupun yang diwariskan secara lisan dari satu generasi ke generasi lainnya (Vansina via Taum, 2011: 10). Sastra jenis ini kemudian dikenal sebagai folklore, cerita rakyat yang telah mentradisi yang hidup dan dipertahankan oleh masyarakat pemiliknya (Nurgiyantoro, 2005: 17).

Zaimar dalam Pudentia (2015: 374), mengatakan bahwa sastra lisan adalah semua cerita yang sejak awalnya disampaikan secara lisan, tidak ada naskah tertulis yang dapat dijadikan pegangan. Zaimar melanjutkan bahwa bentuk dari sastra lisan berupa puisi, drama maupun prosa. Sastra lisan bersifat naratif namun, sastra lisan juga tidak selalu bersifat naratif misalnya lagu-lagu, teka –teki, teks humor, jampi-jampi dukun pada waktu mengobati orang sakit dan yang lainnya.

(32)

lama (paling sedikit dua generasi). Ketiga, berada dalam versi-versi bahkan varian-varian yang berbeda. Keempat, bersifat anonim. Kelima, mempunyai kegunaan dalam kehidupan bersama suatu kolektif. Ketujuh, bersifat pralogis, yaitu mempunyai logika sendiri yang tidak sesuai dengan logika umum. Kedelapan, menjadi milik bersama kolektif tertentu, setiap anggota kolektif yang bersangkutan merasa memilikinya. Kesembilan, pada umumnya bersifat polos dan lugu sehingga seringkali tampak kasar, dan terlalu spontan.

Berdasarkan pada pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa sastra lisan adalah sastra yang disebarkan turun-temurun dari mulut ke mulut. Sastra lisan ada yang bersifat naratif dan ada pula yang tidak bersifat naratif. Sastra lisan berupa pesan-pesan, cerita-cerita, atau kesaksian-kesaksian, lagu-lagu, teka-teki, teks humor, jampi-jampi dukun pada waktu mengobati orang sakit dan yang lainnya. Sastra lisan dapat dikenali dengan ciri sebagai berikut: disebarkan dan diwariskan secara lisan, bersifat tradisional, memiliki beberapa versi, bersifat anonim, memiliki kegunaan dalam kehidupan bersama suatu kolektif, bersifat pralogis, milik kolektif bersama tertentu, dan bersifat polos dan lugu. Dari pandangan di atas juga dapat disimpulkan bahwa mitos merupakan bagian dari sastra lisan.

(33)

manusia tetapi memiliki sifat-sifat manusia (misalnya binatang, dewa, ataupun pahlawan budaya). Kejadiannya ditempatkan pada zaman purbakala, pada awal mula dunia ketika dunia belum dimengerti seperti keadaannya yang sekarang, atau dapat terjadi di sebuah dunia lain. Mitos biasanya mengungkapkan awal mula dunia, awal mula manusia, kematian, atau menjelaskan etimologis binatang, kekhasan geografis, dan fenomenan-fenomena alam lainnya.

Selain itu, Nurgiyantoro (2005: 172), menjelaskan bahwa mitos (myths) adalah salah satu jenis cerita lama yang sering dikaitkan dengan dewa-dewa atau kekuatan-kekuatan supranatural yang lain yang melebihi batas-batas kemampuan manusia. Mitos berkisah tentang persoalan kehidupan yang di dalamnya terdapat kehebatan-kehebatan tertentu yang di luar jangkauan nalar manusia, misalnya bagaimana seorang tokoh mampu menunjukan kekuatannya untuk menundukkan alam.

(34)

Waluyo (2011: 1), mengatakan prosa berasal dari kata “orate provorsa” yang berarti uraian langsung, cerita langsung, atau karya sastra yang menggunakan bahasa terurai. Dikatakan menggunakan bahasa terurai, artinya tidak sama dengan puisi (menggunakan bahasa yang dipadatkan), dan tidak sama dengan drama (menggunakan bahasa dialog).

Dari padangan di atas dapat disimpulkan bahwa mitos Rombiya yang terkadung dalam upacara Nopahtung merupakan sastra lisan yang berbentuk cerita prosa. Artinya, mitos Rombiya adalah karya sastra yang menggunakan bahasa terurai. Mitos Rombiya bukanlah puisi dan tidak sama dengan drama.

3. Struktur Mitos

Struktur adalah cara sesuatu disusun atau dibangun (Depdiknas, 2008: 1341). Karya sastra kemudian disusun oleh dua unsur yang menyusunnya. Dua unsur yang dimaksud ialah unsur instrinsik dan ekstrinsik. Unsur instrinsik ialah unsur yang menyusun sebuah karya sastra dari dalam yang mewujudkan struktur karya sastra, seperti: tema, tokoh dan penokohan, alur dan pengaluran, latar dan pelataran, serta pusat pengisahan (Mihardja, 2012: 4).

(35)

a. Tokoh

Tokoh ialah pelaku dalam karya sastra (Mihardja, 2012: 5). Secara garis besar, tokoh yang menyebabkan konflik disebut tokoh protagonis dan antagonis. Tokoh protagonis adalah tokoh yang mendukung jalannya cerita sebagai tokoh yang mendatangkan simpati atau tokoh baik. Tokoh antagonis merupakan kebalikan dari tokoh protagonis, tokoh antagonis adalah tokoh yang menentang arus cerita atau yang menimbulkan perasaan antipati atau benci pada diri pembaca (Waluyo, 2014: 19).

Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa tokoh adalah pelaku dalam karya sasta. Tokoh kemudian dibagi menjadi dua, yaitu tokoh antagonis dan protagonis. Kedua tokoh inilah yang nantinya akan menyebabkan konflik.

b. Alur

Alur disebut juga plot, yaitu rangkaian peristiwa yang memiliki hubungan sebab akibat sehingga menjadi satu kesatuan yang padu, bulat dan utuh (Mihardja, 2012: 6). Alur atau plot juga sering disebut kerangka cerita, yaitu jalinan cerita yang disusun dalam urutan waktu yang menunjukan hubungan sebab dan akibat dan memiliki kemungkinan agar pembaca menebak-nebak peristiwa yang akan datang (Waluyo, 2014: 9).

(36)

menunjukan hubungan sebab akibat sehinga pembaca akan menebak-nebak peristiwa yang akan datang. Sudjiman (1988: 30), menggambarkan struktur alur secara umum sebagai berikut.

1. paparan (exposition)

Awal 2. rangsangan (inciting moment)

3. gawatan (rising action)

4. tikaian (conflick)

Tengah 5. rumitan (complication)

6. klimaks

7. leraian (falling action)

Akhir 8. selesaian (denouement)

Berikut ini adalah struktur alur menurut Sudjiman (1988: 31). Paparan adalah penyampaian informasi kepada pembaca. Informasi yang dimaksud yaitu keterangan sekadarnya untuk memudahkan pembaca mengikuti kisah selanjutnya. Situasi yang digambarkan pada bagian awal harus membuka kemungkinan cerita itu berkembang.

(37)

pengarang memasukkan butir-butir cerita yang membayangkan akan terjadinya sesuatu, atau seolah-olah mempersiapkan peristiwa yang akan datang.

Tikaian ialah perselisihan yang timbul sebagai akibat adanya dua kekuatan yang bertentangan dalam (Sudjiman 1986:34). Rumitan adalah perkembangan dari gejala mula tikaian menuju ke klimaks cerita dalam (Sudjiman, 1986: 35). Selanjutnya, klimaks tercapai apabila rumitan mencapai puncak kehebatannya. Bagian struktur alur sesudah klimaks meliputi leraian yang menunjukan perkembangan peristiwa ke arah selesaian. Selesaian yang dimaksud bukan penyelesaian yang dihadapi tokoh cerita. Selesaian adalah bagian akhir atau penutup cerita.

c. Latar

Latar disebut juga setting, yaitu tempat atau waktu terjadinya peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam sebuah karya sastra (Mihardja, 2012: 7). Waluyo (2014: 23) kemudian mengatakan bahwa setting adalah tempat kejadian cerita. Tempat kejadian cerita dapat berkaitan dengan aspek fisik, aspek sosiologis, dan aspek psikis.

Setting juga dapat dikaitkan dengan tempat dan waktu. Jika dikaitkan

(38)

disampaikan; (4) metafora bagi situasi psikis pelaku; (5) sebagai pemberi atmosfir (kesan); (6) memperkuat posisi plot.

Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan latar atau setting adalah tempat atau waktu terjadinya peristiwa yang terjadi dalam karya sastra. Tempat kejadian cerita dapat berkaitan dengan aspek fisik, sosiologis maupun aspek psikis namun dapat juga berkaitan dengan tempat dan waktu. Adapun fungsi latar atau setting adalah untuk mempertegas watak pelaku, memberikan tekanan pada tema

cerita, mempertegas tema yang disampaikan, metafora bagi situasi psikis pelaku, sebagai pemberi atmosfir (kesan) dan untuk memperkuat posisi plot.

d. Tema

Mihardja (2012: 5) mengatakan tema ialah persoalan yang menduduki tempat utama dalam karya sastra. Waluyo (2014:7), mengatakan tema adalah gagasan pokok dalam cerita fiksi. Waluyo (2014:8), kemudian mengklasifikasi tema cerita menjadi lima jenis, yaitu: (1) tema yang bersifat fisik; (2) tema organik; (3) tema sosial; (4) tema egoik (reaksi pribadi); dan (5) tema divine

(ketuhanan). Tema yang bersifat fisik menyangkut inti cerita yang bersangkut

paut dengan kebutuhan fisik manusia, misalnya tentang cinta, perjuangan mencari nafkah, hubungan perdagangan, dan sebagainya; tema yang bersifat organik atau moral, menyangkut soal hubungan antara manusia, misalnya penipuan, masalah

keluarga, problem politik, ekonomi, adat, tatacara, dan sebagainya. Tema yang bersifat sosial berkaitan dengan problem kemasyarakatan. Tema egoik atau reaksi

(39)

berlebihan, dan pertentangan individu. Tema divine (ketuhanan) menyangkut renungan yang bersifat religius hubungan manusia dengan Sang Khalik.

Berdasarkan pandangan Mihardja dan Waluyo mengenai tema dapat disimpulkan bahwa tema adalah gagasan pokok atau persoalan yang menduduki tempat utama dalam karya sastra. Ada lima jenis tema, yaitu tema yang bersifat fisik, tema organik, tema sosial, tema egoik, dan tema divine.

4. Fungsi Mitos

Fungsi adalah kegunaan suatu hal bagi hidup suatu masyarakat (Depdiknas, 2008: 401). Bascom (Danandjaja, 1997: 19) mengatakan ada empat fungsi mitos. Fungsi pertama, sebagai proyeksi (projective system) yaitu sebagai alat pencermin angan-angan suatu kolektif. Fungsi kedua sebagai alat pengesahan pranata-pranata dan lembaga-lembaga kebudayaan. Fungsi ketiga sebagai alat pendidikan anak (pedagogical device). Fungsi keempat sebagai alat pemaksa dan pengawas agar norma-norma masyarakat akan selalu dipatuhi anggota koletifnya.

Menurut pandangan Mircea Eliade (via Susanto, 1987: 92), fungsi mitos yang utama ialah menetapkan contoh model bagi semua tindakan manusia, baik dalam upacara-upacara maupun dalam kegiatan sehari-hari yang bermakna, misalnya makan, seksualitas, pekerjaan, pendidikan, dsb. Selain itu, mitos juga berperan sebagai sarana penyembuhan.

(40)

kebudayaan, sebagai alat pendidik anak, sebagai alat pemaksa dan pengawas agar noma-norma masyarakat akan selalu dipatuhi anggota kolektifnya, sebagai contoh model bagi semua tindakan manusia, baik dalam upacara-upacara maupun dalam kegiatan sehari-hari yang bermakna, dan sebagai sarana penyembuhan. Selanjutnya, fungsi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kegunaan mitos Rombiya yang berbentuk prosa cerita bagi kehidupan masyarakat suku Dayak Uud Danum.

5. Upacara Nopahtung

Upacara adalah rangkaian tindakan atau perbuatan yang terikat pada aturan tertentu menurut adat atau agama (Depdiknas, 2008: 1533). Nopahtung berasal dari kata pahtung dalam bahasa Indonesia yang berarti patung. Nopahtung adalah tradisi menyembuhkan orang sakit dengan menggunakan kayu, abu, batu, rotan sebagai patung untuk menggantikan roh orang yang sakit di dunia roh. Patung ini berguna sebagai alat untuk menebus dan menggantikan roh orang yang sakit. Media itulah yang kemudian disebut sebagai pahtung.

Dari pengertian di atas, upacara Nopahtung dapat disimpulkan sebagai rangkaian tindakan yang dilakukan oleh suku Dayak Uud Danum untuk menyembuhkan orang sakit. Media yang digunakan sebagai pengganti roh orang yang sakit di dunia roh berupa kayu, abu, batu dan rotan. Dalam proses upacara Nopahtung ini terdapat mitos Rombiya. Mitos Rombiya adalah mitos yang

(41)

upacara Nopahtung. Suku Dayak Uud Danum percaya bahwa mitos Rombiya benar-benar pernah terjadi pada zaman dahulu. Mitos ini kemudian menjadi asal-mula dilakukannya tradisi penyembuhan orang sakit yang disebut dengan upacara Nopahtung.

Mitos Rombiya dapat disimpulkan sebagai kisah yang dipercaya benar-benar pernah terjadi oleh masyarakat suku Dayak Uud Danum. Mitos ini mengisahkan tentang seorang gadis yang terbebas dari suaminya yang merupakan roh halus. Mitos inilah yang kemudian menjadi awal-mula dilakukannya upacara Nopahtung untuk menyembuhkan orang sakit di suku Dayak Uud Danum hingga

(42)

24

BAB III

METODE PENELITIAN

Pada bagian metode penelitian ini disajikan: jenis penelitian, sumber data dan data penelitian, metode dan teknik pengumpulan data, instrumen penelitian, metode dan teknik analisis data. Berikut ini disajikan kelima butir yaitu.

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini berawal dari tradisi suku Dayak Uud Danum yang tersebar di Kecamatan Serawai dan Kecamatan Ambalau, Kabupaten Sintang. Suku Dayak Uud Danum memiliki upacara untuk menyembuhkan orang sakit. Upacara ini dilakukan berdasarkan dari kepercayaan masyarakat akan roh halus.

Oleh karena itu, upacara tersebut cocok untuk diteliti secara kualitatif. Metode penelitian ini adalah kualitatif deskriptif dengan menggunakan pendekatan struktural. Adapun metode kualitatif deskriptif adalah penelitian yang melibatkan kegiatan ontologis. Data yang dikumpulkan terutama berupa kata-kata, kalimat atau gambar yang memiliki arti lebih bermakna dan mampu memacu timbulnya pemahaman yang lebih nyata daripada sekedar sajian angka atau frekuensi (Sutopo, 2006: 40).

B. Sumber Data dan Data Penelitian

(43)

Siswantoro (2014: 72), mengatakan sumber data terkait dengan subjek penelitian dari mana data diperoleh. Subjek penelitian sastra adalah teks-teks novel, novela, cerita pendek, drama dan puisi.

Adapun wujud data dalam penelitian ini berupa mitos yang terdapat dalam upacara Nopahtung di suku Dayak Uud Danum. Selanjutnya, sumber data yang dimaksud dalam penelitian ini adalah orang-orang yang menguasai mitos Rombiya. Dari orang-orang yang menguasai mitos Rombiya ini peneliti akan memperoleh data.

C. Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Metode yang digunakan dalam kegiatan pengumpulan data adalah dengan cara observasi, wawancara, dan dokumetasi. Metode observasi adalah metode pengumpulan data yang digunakan untuk menghimpun data penelitian melalui pengamatan dan penginderaan (Bugin, 2011: 118). Peneliti turun langsung ke lapangan guna menghimpun data penelitian.

(44)

informan akan terlibat dalam kehidupan sosial yang relatif lama (Bugin, 2011: 111). Sehubungan dengan itu, peneliti melakukan wawancara tidak terarah terhadap informan yang telah ditentukan untuk melengkapi informasi yang dirasa kurang oleh penelliti.

D. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian ini adalah peneliti itu sendiri. Peneliti kualitatif sebagai human instrument, berfungsi menetapkan fokus penelitian, memilih informan sebagai sumber data, melakukan pengumpulkan data, menilai kualitas data, analisis data, menafsirkan data dan membuat kesimpulan atas temuannya (Sugiyono, 2012: 222). Siswantoro (2014: 73) mengatakan bahwa posisi peneliti sebagai instrumen terkait dengan ciri penelitian sastra yang berorientasi kepada teks, bukan kepada sekelompok individu yang menerima perlakukan tertentu (treatment).

Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa peneliti berfungsi menetapkan fokus penelitian, memilih informan, mengumpulkan data, menilai kualitas data, menganalisis dan menafsirkan data, serta membuat kesimpulan. Posisi peneliti sebagai instrumen terkait dengan ciri penelitian sastra yang berorientasi kepada teks. Dalam hal ini, kualitas data yang diperoleh tergantung pada peneliti itu sendiri.

E. Metode dan Teknik Analisis Data

(45)

dan video untuk memperoleh tata upacara Nopahtung dan juga mitos dalam upacara tersebut. Hasil wawancara digunakan jika ada informasi yang dirasa kurang oleh peneliti. Data yang terkumpul ditranskripsikan kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

(46)

28

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian yang diperoleh yaitu upacara Nopahtung merupakan upacara yang masih ada hingga kini di masyarakat suku Dayak Uud Danum. Upacara Nopahtung mengandung sastra lisan yang berupa cerita mitos dan mantra. Dalam penelitian ini, peneliti akan mengkaji dan mengalisis cerita prosa rakyat yang berupa mitos dalam upacara Nopahtung.

Hasil analisis dan pembahasan akan diuraikan menjadi beberapa bagian. Bagian pertama yaitu deskripsi upacara Nopahtung masyarakat suku Dayak Uud Danum. Bagian kedua adalah analisis struktur mitos Rombiya. Bagian ketiga adalah fungsi mitos dalam upacara Nopahtung.

A. Tradisi Upacara Nopahtung

Upacara adalah rangkaian tindakan atau perbuatan yang terikat pada aturan tertentu menurut adat atau agama (Depdiknas, 2008: 1533). Upacara Nopahtung dilakukan untuk menyembuhkan orang sakit. Berikut ini adalah deskripsi upacara Nopahtung dan proses upacara Nopahtung.

1. Upacara Nopahtung

(47)

upacara. Nopahtung secara sederhana disimpulkan sebagai upacara penyembuhan orang sakit yang dilakukan oleh masyarakat suku Dayak Uud Danum untuk mengembalikan roh manusia. Masyarakat suku Dayak Uud Danum percaya bahwa ketika seseorang bermimpi buruk, sakit atau tubuh yang tampak tidak sehat serta ketika ada anggota keluarga yang meninggal, roh manusia sedang tersesat. Maka dari itu, untuk mengembalikan roh tersebut dilakukannya upacara Nopahtung.

Upacara Nopahtung ini berawal dari mitos seorang gadis yang bernama Rombiya, yang menikah dengan roh halus karena perkataannya sendiri. Namun, Rombiya selamat karena melakukan upacara Nopahtung. Masyarakat suku Dayak Uud Danum kemudian hingga kini terus melakukan upacara Nopahtung dengan menuturkan kembali kisah yang dialami oleh Rombiya dengan harapan pembebasan roh Rombiya dari roh halus dapat terjadi pula pada orang-orang masa kini.

(48)

Upacara Nopahtung sendiri merupakan wujud kepercayaan masyarakat suku Dayak Uud Danum akan roh leluhur. Pemujaan terhadap roh leluhur ini merupakan identitas dari masyarakat itu sendiri. Masyarakat suku Dayak Uud Danum percaya akan adanya rewuk rio (dunia orang yang sudah meninggal). Dunia orang yang sudah meninggal ini diyakini berada di sekitar mereka, hanya saja tak kasat mata.

Pemujaan terhadap roh leluhur dilakukan dengan memberikan sesajian pada saat-saat tertentu. Pemberian sesajian itu dilakukan misalnya saat mengadakan pesta ataupun saat hari raya keagamaan seperti Natal, tahun baru dan Paskah karena pada hari-hari raya itulah seluruh anggota keluarga bisa berkumpul bersama-sama. Pemberian sesajian tersebut berupa makanan atau minuman. Tujuan pemberian sesajian ini agar roh leluhur dapat melindungi suku Dayak Uud Danum dari segala sesuatu yang jahat atau buruk. Pemujaan terhadap roh leluhur biasanya dilakukan di makam anggota keluarga yang sudah meninggal dunia.

(49)

Wujud dari kepercayaan akan makhluk halus ini dilakukan dengan mendirikan tojahan (bangunan berupa pondok kecil untuk menyimpan sesajian). Tojahan biasanya didirikan di tempat-tempat yang dianggap dihuni oleh mahkluk

halus. Tujuan dilakukannya pemujaan terhadap mahkluk halus ini untuk meminta kekayaan dan kesuksesan dalam segala macam usaha yang dilakukan.

Selain itu, masyarakat suku Dayak Uud Danum juga percaya akan Tuhan. Tuhan dari suku Dayak Uud Danum ini disebut Ta’ala. Ta’ala di sini diyakini sebagai penguasa langit dan bumi beserta seluruh isinya. Oleh karena itu, suku Dayak Uud Danum sangat menjaga tingkah laku dan juga cara hidup agar dapat hidup berdampingan dengan damai dan tenteram.

Upacara Nopahtung berawal dari mitos tentang seorang gadis bernama Rombiya. Mitos ini berkaitan dengan kepercayaan masyarakat suku Dayak Uud Danum akan roh atau makhluk halus. Peneliti memperoleh tiga teks mitos di lokasi penelitian dari tiga narasumber yang berbeda. Berikut ini adalah cerita singkat dari mitos Rombiya.

Teks A

(50)

Awak Kesanduk kemudian datang ke rumah Rombiya pada malam itu juga bersama dengan para roh yang lainnya untuk melamar Rombiya. Awak Kesanduk melamar Rombiya sesuai dengan adat tradisi yang berlaku di masyarakat Dayak Uud Danum. Lamaran Awak Kesanduk pun diterima. Orangtua Rombiya segera mengadakan pesta pernikahan mereka pada malam itu juga. Namun, setelah pesta berakhir, Awak Kesanduk tidak seperti mempelai pada umumnya yang biasanya akan tinggal menetap beberapa hari di rumah mertuanya setelah pesta pernikahan berlangsung.

Awak Kesanduk berpamitan untuk segera pulang pada malam hari ketika ia melamar dan menikahi Rombiya. Tentu saja Rombiya harus ikut karena sesuai adat, pihak perempuan harus ikut serta pihak laki-laki. Rombiya pun pergi dengan berbekalkan makanan dan juga ditemani oleh adiknya atas permintaan ibunya karena khawatir akan Rombiya.

Berangkatlah mereka malam itu menuju rumah Awak Kesanduk. Sesampainya di sana, Awak meminta Rombiya untuk tinggal di rumahnya yang paling besar, di antara rumah yang lain dan nyala api pelitanya lebih terang. Awak kemudian mengatakan bahwa ia akan membuat sampannya di hilir kampung sehingga Rombiya dan adiknya akan tinggal sendirian di rumah.

Masuklah Rombiya ke dalam rumah suaminya, betapa bahagiannya ia melihat rumah yang besar dan luas. Ia tak henti-hentinya bersyukur akan tetapi berbeda halnya dengan adiknya. Adiknya hanya duduk termenung. Malampun semakin larut dan mereka pun tertidur.

Pada pagi harinya, Rombiya terbangun dan tanpa sadar kepalanya membentur atap rumah. Ia terkejut ketika melihat rumahnya telah berubah menjadi kecil dan sempit. Ia berjalan ke sana-kemari untuk mencari dapur dan pintu untuk keluar namun nihil.

(51)

adiknya. Saat Rombiya akan pulang ke rumah ibunya, tikus itu berpesan agar Rombiya melakukan ritual Nopahtung untuk mengembalikan rohnya yang masih ada di Rewuk rio. Rombiya pun akhirnya pulang dengan keadaan yang sangat memprihatinkan, ia memberitahukan ibunya lalu ibunya melakukan seperti yang dikatakan oleh tikus jelmaan nenek moyangnya. Rombiya pun berangsur-angsur pulih seperti sedia kala.

Teks B

Rombiya adalah anak tunggal yang sangat cantik, orang tuanya sangatlah kaya raya. Oleh karena kecantikkannya, banyak pria yang datang ke rumahnya untuk melamar. Akan tetapi, di antara lamaran itu tidak ada satu pun yang diterima. Jika orangtuanya setuju, Rombiyalah yang tidak setuju. Begitu pula sebaliknya.

Orang-orang pun tak henti-hentinya datang untuk melamar Rombiya. Orang tua Rombiya kemudian memutuskan untuk tinggal di ladang karena sudah tidak sanggup menghadapi orang-orang yang datang silih berganti. Rombiya pun meminta ibunya untuk tidak perlu khawatir karena dia akan menikah jika dilamar oleh orang bernama Romamang Sandung. Orangtuanya pun pergi ke ladang dan tinggallah Rombiya sendirian di rumah.

Ucapan Rombiya ternyata terdengar juga oleh Romamang. Romamang pun datang dengan menaiki rumbang urak (tempat makanan babi yang terbuat dari kayu bulat yang dilubangi) sebagai perahunya. Anehnya, saat akan berangkat Romamang mendayung perahunya sekuat tenaga ke arah hilir dan kemudian perahu tersebut bergerak ke hulu dengan sendirinya. Ia pun sampai di lanting (seperti rakit tetapi lebih besar) Rombiya dan naik ke rumah untuk melamar dan meminta Rombiya turut bersamanya pulang ke rumah Romamang.

Awalnya Rombiya ragu karena mengingat orangtuanya masih di ladang. Namun, Romamang terus mendesak. Akhirnya Rombiya bersedia untuk turut bersama Romamang. Ia pun akhirnya menitip pesan pada tetangga sebelah rumahnya dan kemudian berangkat dengan membawa pakaian, beras, parang dan juga seekor anak anjingnya.

(52)

kampung itu. Rombiya pun melakukan seperti yang dikatakan oleh suaminya.

Setelah beberapa hari tinggal di rumah suaminya, aktivitas di rumah tersebut tidak seperti manusia pada umumnya. Jika siang hari Rombiya masak, mencuci dan sebagainya, keluarga dari pihak suaminya tidur nyenyak. Akan tetapi saat malam hari, Rombiya tidak dapat tidur karena keluarga suaminya sibuk memberi makan ternak, menumbuk padi, dan memasak. Rombiya pun mulai merasa tidak tahan tinggal di situ.

Pada suatu hari ia pergi mencari rebung bersama dengan anak anjingnya. Banyak sekali rebung yang ia peroleh. Saat tengah mengambil rebung tiba-tiba melompatlah seekor kancil. Rombiya berteriak menyuruh anjingnya untuk menangkap kancil tersebut. Namun, kancil tersebut ternyata bisa berbicara dan memintanya untuk tidak menangkapnya. Kancil itu juga mengatakan bahwa tidak seharusnya Rombiya berada di tempat tersebut dan meminta Rombiya untuk pulang ke rumah orangtua Rombiya. Ia juga berjanji akan menunjukan jalan untuk Rombiya. Rombiya pun pulang ke rumah Romamang untuk mengambil barang-barangnya dan segera mengikuti kancil. Di tengah perjalanan, kancil berpesan agar Rombiya melakukan ritual nopahtung pada saat senja. Kancil mengatakan bahwa patung tersebut nantinya yang akan menjadi pengganti Rombiya di Rewuk rio sebagai istri Romamang.

Setelah berjalan beberapa lama, Rombiya pun sampai di halaman rumah orangtuanya. Ia menceritakan semuanya kepada orangtuanya bahwa ia ditolong oleh kancil. Tidak lupa juga untuk meminta ibunya melakukan upacara Nopahtung seperti pesan si kancil.

Teks C

Anak Rombiya sedang sakit dan tidak memiliki selera untuk makan. Rombiya kemudian mengajak suaminya yang bernama Romamang untuk menemaninya mencari ikan. Mereka berdua pun berangkat. Saat mencari ikan, Rombiya sibuk menangkap ikan sehingga tidak menghiraukan cuaca yang mendung dan ajakan suaminya untuk pulang.

(53)

berpesan agar Rombiya segera pulang ke rumah. Suaminya meminta Rombiya untuk mengambil rotan dan melakukan upacara Nopahtung jika ada anak cucu Rombiya yang sakit, kurus atau bermimpi buruk. Akhirnya ia pulang ke rumah dan melakukan seperti yang dikatakan oleh suaminya.

Dari mitos asal-usul tersebut, tokoh utamanya adalah Rombiya. Rombiya adalah gadis yang menikah dengan Awak Kesanduk atau Romamang Sandung. Pernikahan Rombiya tidak berakhir bahagia seperti kebanyakan orang. Hal tersebut karena suaminya bukanlah manusia seperti halnya Rombiya. Suami Rombiya pada teks A merupakan makhluk halus yang mendiami kodiring, sedangkan pada teks B merupakan makhluk halus yang mendiami kuburan. Pernikahan Rombiya itu ternyata nyaris merenggut nyawanya karena Rombiya tidak bisa hidup seperti halnya yang dilakukan oleh suaminya. Berbeda dengan teks C, suami Rombiya pada teks tersebut berubah menjadi rotan.

Dari ketiga teks di atas, yaitu teks A, B, dan C dapat disimpulkan bahwa tradisi penyembuhan orang sakit (Nopahtung) merupakan wujud pengulangan dari pengalaman seorang gadis pada zaman dahulu yang dianggap memang pernah terjadi. Tradisi ini kemudian dilakukan agar orang yang sakit dapat sembuh seperti halnya Rombiya yang terbebas dari roh halus yang menjadi suaminya pada teks A dan teks B.

2. Proses Upacara

(54)

Ada empat media yang biasa digunakan sebagai patung pengganti roh manusia yang sakit yaitu berupa abu dapur, kayu, rotan dan batu. Berikut adalah deskripsi upacara Nopahtung menggunakan abu dapur, kayu, rotan dan batu.

a. Nopahtung Menggunakan Abu Dapur

Nopahtung abu dilakukan jika ada salah satu anggota keluarga yang baru

saja meninggal dunia. Anggota keluarga tersebut akan meminta dukun untuk melakukan upacara Nopahtung dengan tujuan agar roh yang sudah meninggal tidak terus tinggal bersama orang-orang yang masih hidup. Sebelum melakukan ritual, terlebih dahulu harus menyiapkan beberapa persyaratan, yaitu garam, abu, manik, sirih pinang, telur ayam kampung yang sudah direbus, beras, dan parang.

Setelah persyaratannya lengkap, dukun akan membentuk abu menyerupai tubuh manusia di atas sebuah alat penampi. Garam sebagai otaknya, manik-manik sebagai matanya, sirih dan pinang sebagai makanannya, dan telur ayam kampung (makanan) untuk menghidupkan patung di dunia roh. Abu itu nantinya yang akan menggantikan keluarga yang masih hidup dan kemudian tinggal dan hidup bersama dengan orang yang sudah meninggal dunia di rewuk rio (dunia roh).

(55)

di tangannya agar rohnya tidak tersesat di alam orang yang sudah meninggal dunia saat menuturkan.

Setelah selesai menuturkan mitos Rombiya, dukun akan berjalan keluar rumah untuk membuang abu ke tanah atau menaburkannya ke sungai sambil menuturkan mantra sebagai berikut.

Ahkuk permisik umbak ihkok cok jagak tanak danum hik

Hik ahkuk ngohaman topahtung korawuk

Ahkan koro bering tangak iyok hik nokuk rowuk tuhpik tapak nah

Dalam bahasa Indonesia artinya:

Aku meminta izin kepada kamu yang menjaga tanah air ini Ini aku menghanyutkan patung abu

Supaya seperti wajahnya ini menuju rumah mimpi

Setelah itu ia akan kembali ke rumah dan meminta orang yang di dalam rumah untuk menggigit parang sambil mengucapkan mantra sebagai berikut.

Mahang umat, mahang semenget

Mahang umat, mahang semenget

Mahang umat, mahang semenget

Dalam bahasa Indonesia artinya: Keras parang, keras juga rohmu Keras parang, keras juga rohmu Keras parang, keras juga rohmu

(56)

ke kepala sebanyak tiga kali pula. Selanjutnya, dukun akan mengambil sedikit beras yang ada di piring kemudian ditaburkan di kepala orang yang sakit sambil berkata”kruss semenget” (kembalilah/pulanglah roh).

b. Nopahtung Menggunakan Kayu Pahting Jorik

Nopahtung menggunakan kayu pahting jorik dilakukan jika demam atau

bermimpi buruk. Adapun kayu pahting jorik adalah jenis kayu yang sering digunakan sebagai kayu api karena ketika dibakar akan mudah terbakar namun juga dapat bertahan lama. Persyaratan upacara Nopahtung menggunakan kayu pahting jorik ini yaitu, kayu pahting jorik yang ujungnya sudah terbakar, beras

yang ditaruh di dalam piring, sebilah parang, siro, sirih pinang, dan rokok.

Sebelum upacara dimulai, dukun akan menata persyaratan itu terlebih dahulu. Dukun akan menaruh siro untuk orang yang sakit di atas beras bersamaan dengan sirih pinang dan rokok. Orang yang menguasai Nopahtung kemudian meletakan parang di samping piring yang berisi beras serta persyaratan lainnya dan memasangkan siro di kayu pahting jorik. Setelah semuanya siap, orang yang menguasai Nopahtung akan menuturkan mitos Rombiya teks B sambil duduk menghadap ke arah matahari terbit. Setelah mitos tersebut dituturkan, dukun akan mengambil kayu pahting jorik dan membenturkan kebagian tubuh orang yang diobati sambil mengucapkan mantra sebagai berikut.

Icok duok toruk, huh.. ihik nah ahkan topahtung muk.

Ihkok hik ah topahtung, koro bering tangak iyok hik kak

(57)

Ihok ah katik semenget moruan ah

Ihik nah cok ahkan nokuk rowuk tuhpik tapak na’ah Poros pa’ak iyok jahkat nokuk ihkok topahtung

Poros kodaring iyok jahkat nokuk ihkok topahtung

Poros botih iyok jahkat nokuk ihkok topahtung

Poros karop iyok jahkat nokuk ihkok topahtung

Poros Cahpak iyok jahkat nokuk ihkok topahtung

Poros Kahang iyok jahkat nokuk ihkok topahtung

Poros beteng iyok jahkat nokuk ihkok topahtung

Poros berihkat iyok jahkat nokuk ihkok topahtung

Poros bahai iyok jahkat nokuk ihkok topahtung

Poros ujat iyok jahkat nokuk ihkok topahtung

Kijok kak poros kuhung iyok jahkat nokuk ihkok topahtung

Dalam bahasa Indonesia artinya: Satu dua tiga, inilah sebagai patungmu Kamu patung, akan seperti wajahnya Suara dan perkataanmu sepertinya Kamu adalah pengganti rohnya

(58)

Sakit lehernya akan berpindah kepadamu Sakit kepalanya akan berpindah kepadamu

Dukun kemudian meminta orang yang melakukan topahtung untuk meludah kemudian menolak topahtung dengan tangan kiri sambil mengucapkan.

Ijok nah ihkok hik ah hik nah ahkuk

Dalam bahasa Indonesia artinya: Inilah yang akan menjadi penggantiku

Setelah selesai, dukun akan membawa kayu, beras, rokok, dan tembakau dalam sebuah kain yang tidak koyak. Dukun pergi ke sungai sambil membawa sebilah parang. Sesampainya di tanah atau di sungai, dukun akan mengayunkan parang ke dalam air atau ke tanah sebanyak tiga kali sambil mengucapkan mantra sebagai berikut.

Ahkuk permisik umbak ihkok cok jagak tanak danum hik

Hik ahkuk ngohaman topahtung pahting jorik

Ahkan koro bering tangak iyok hik nokuk rowuk tuhpik tapak nah

Dalam bahasa Indonesia artinya:

Aku meminta izin kepada kamu yang menjaga tanah air ini Ini aku menghanyutkan patung pahting jorik

Supaya seperti wajahnya ini menuju rumah mimpi

(59)

Beh koro ah nah nih?

Dalam bahasa Indonesia artinya: Bagaimana keadaannya sekarang?

Saat dukun bertanya seperti itu, tuan rumah harus menjawab:

Oo.. uas nomarang sokai nah, marok inun nguan iyok nah

Dalam bahasa Indonesia artinya:

Oo.. sudah melompat sekarang, sudah sehat kembali

Mendengar jawaban seperti itu, dukun akan masuk ke dalam rumah. Melepaskan kain yang digunakan untuk menyimpan beras. Dukun kemudian masangkan siro ke tangan orang yang sakit sambil mengucapkan mantra sebagai berikut.

Mahtok sarak mbak nusak monasak

Sarak mbak ja’ang karop

Sarak mbak tuhpik tapak

Sarak mbak ondam oros

Mahtok sorung, sorung nah ihkok nguan pomorum muk

Iyam ihkok nusak monasak

Iyam ihkok nuhpik ngapak

Iyam ihkok mondam poros

Dalam bahasa Indonesia artinya: Masang salah dari sakit yang diderita Salah dari rahang dan lutut

(60)

Masang jadi, berhasillah kamu dalam hidupmu Kamu tidak sakit demam

Kamu tidak bermimpi buruk Kamu tidak sakit

Dukun mengambil beras dan menaruhnya di kepala orang yang sakit sambil mengucapkan mantra sebagai berikut.

Cok..duo..toruk..ohpat..rimok..onom..pihtuk..

Kruss.. semenget muk..

Pihtuk semenget muk burik uras

Burik nokuk uwang behtim muk nai

Koro manuk burik nokuk kosarah ah

Koro urak burik nokuk pahkok ah

Kijok nah semenget muk burik nokuk usim behtim muk nai

Iyam nah mondam poros

Dalam bahasa Indonesia artinya:

Satu.. dua.. tiga.. empat.. lima.. enam.. tujuh.. Kruss.. roh mu

Tujuh rohmu kembali semua Kembali ke dalam tubuhmu

Seperti ayam pulang ke sangkarnya Seperti babi pulang ke kandangnya

Seperti itulah rohmu kembali ke dalam darah dagingmu Sehingga tidak lagi sakit

(61)

kemudian ditaruh di atas kepala sebanyak tiga kali sambil mengucapkan mantra sebagai berikut.

Mahang iso, kak mahang semenget muk

Mahang iso, kak mahang semenget muk

Mahang iso, kak mahang semenget muk

Dalam bahasa Indonesia artinya: Keras parang, keras juga rohmu Keras parang, keras juga rohmu Keras parang, keras juga rohmu

Setelah upacara selesai, diharapkan orang yang sakit dapat terbebas dari roh halus serta penyakitnya. Orang yang sakit akan menjadi sehat kembali sama seperti Rombiya.

c. Nopahtung Menggunakan Rotan (Uoi Cohkok)

Upacara Nopahtung menggunakan rotan dilakukan jika orang bermimpi tersesat atau sakit. Adapun persyaratannya, yaitu rotan serta beras dimasukan ke dalam piring, sirih pinang, siro dan parang. Dukun dan orang yang sakit akan melakukan upacara saat petang dengan menghadap ke arah matahari terbit. Dukun kemudian mulai menuturkan mitos Rombiya teks C.

(62)

Icok duok toruk, huh.. ihik nah ahkan topahtung muk.

Ihkok hik ah topahtung, koro bering tangak iyok hik kak

Aoh ngeing ah koro iyok hik nah

Ihok ah katik semenget moruan ah

Ihik nah cok ahkan nokuk rowuk tuhpik tapak na’ah Poros pa’ak iyok jahkat nokuk ihkok topahtung

Poros kodaring iyok jahkat nokuk ihkok topahtung

Poros botih iyok jahkat nokuk ihkok topahtung

Poros karop iyok jahkat nokuk ihkok topahtung

Poros Cahpak iyok jahkat nokuk ihkok topahtung

Poros Kahang iyok jahkat nokuk ihkok topahtung

Poros beteng iyok jahkat nokuk ihkok topahtung

Poros berihkat iyok jahkat nokuk ihkok topahtung

Poros bahai iyok jahkat nokuk ihkok topahtung

Poros ujat iyok jahkat nokuk ihkok topahtung

Kijok kak poros kuhung iyok jahkat nokuk ihkok topahtung

Dalam bahasa Indonesia artinya: Satu dua tiga, inilah sebagai patungmu Kamu patung, akan seperti wajahnya Suara dan perkataanmu sepertinya Kamu adalah pengganti rohnya

(63)

Sakit pinggangnya akan berpindah kepadamu Sakit rusuknya akan berpindah kepadamu Sakit bahunya akan berpindah kepadamu Sakit lehernya akan berpindah kepadamu Sakit kepalanya akan berpindah kepadamu

Setelah membenturkan rotan ke tubuh orang yang sakit, dukun akan menggendong rotan, beras, sirih pinang, dan rokok ke dalam kain yang tidak sobek. Dukun berjalan ke depan pintu sambil menggenggam sebilah parang. Dukun akan membuang rotan, sirih pinang, dan rokok ke tanah. Dukun kemudian akan meminta tuan rumah untuk mencuci kakinya sebelum masuk ke dalam rumah kembali. Saat berada di depan pintu, dukun bertanya tentang keadaan orang yang sakit dan tuan rumah harus menjawab bahwa orang yang sakit sudah sembuh dan sehat.

Dukun kembali melanjutkan proses upacara dengan mengambil siro dan memasangkan ke tangan kanan orang yang sakit sambil mengucapkan mantra sebagai berikut.

Mahtok sarak mbak nusak monasak

Sarak mbak ja’ang karop

Sarak mbak tuhpik tapak

Sarak mbak ondam oros

Mahtok sorung, sorung nah ihkok nguan pomorum muk

Iyam ihkok nusak monasak

Iyam ihkok nuhpik ngapak

(64)

Dalam bahasa Indonesia artinya: Masang salah dari sakit yang diderita Salah dari rahang dan lutut

Salah dari mimpi-mimpi Salah dari sakit derita

Masang jadi, berhasillah kamu dalam hidupmu Kamu tidak sakit demam

Kamu tidak bermimpi buruk Kamu tidak sakit

Setelah itu, dukun mengambil sedikit beras dan menaburkan ke ubun-ubun orang yang sakit sambil mengucapkan mantra sebagai berikut.

Cok..duo..toruk..ohpat..rimok..onom..pihtuk..

Kruss.. semenget muk..

Pihtuk semenget muk burik uras

Burik nokuk uwang behtim muk nai

Koro manuk burik nokuk kosarah ah

Koro urak burik nokuk pahkok ah

Kijok nah semenget muk burik nokuk usim behtim muk nai

Iyam nah mondam poros

Dalam bahasa Indonesia artinya:

Satu.. dua.. tiga.. empat.. lima.. enam.. tujuh.. Kruss.. roh mu

Tujuh rohmu kembali semua Kembali ke dalam tubuhmu

Gambar

Gambar : Beras dan Siro (gelang)

Referensi

Dokumen terkait

33 Disajikan pernyataan sederhana tentang Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah, siswa mampu menjelaskan tentang dakwah kepada seseorang baik yang sudah islam maupun tidak.

Gambar 10: (a) Sinyal bentuk sinusoida yang diukur waktu tunda-nya, (b) hasil korelasi dengan CCF, (c) CCF dengan skala horizontal yang diperbesar. Gambar 11: (a) Data laboratorium

Penelitian ini dilakukan untuk mengkonfirmasi adanya pengaruh motif hedonis terhadap kepuasan konsumen yang membuat pelanggan Domicile Kitchen and Lounge menjadi

negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.” Pada pasal 28 D ayat (1) “Setiap orang

Dari gambar 4.12 sampai dengan 4.15 dapat dilihat bahwa saat tidak dihubungkan dengan jala-jala listrik sistem mampu mengirim dan menerima data dengan baik pada kecepatan

Punoh mideuen agam inong Han peue tanyong tuba muda Sulaiman yang bri mupeuti Geupumandi yang mulia Lhee lapeh kafan di Nabi U kubu le nyan geubawa Lheueh geukubu Nabi Daud

Kesimpulan lain dari penelitian ini menunjukkan bahwa siswa dengan kemampuan komunikasi matematis tinggi mempunyai prestasi belajar matematika lebih baik daripada siswa dengan

Fungsi koordinasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf a, merupakan fungsi koordinasi Unsur Pelaksana BPBD dilaksanakan melalui koordinasi dengan SKPK,