• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Antara Tingkat Spiritualitas Dengan Tingkat Kualitas Hidup Pada Pasien HIV/AIDS Di Yayasan Spirit Paramacitta Denpasar.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan Antara Tingkat Spiritualitas Dengan Tingkat Kualitas Hidup Pada Pasien HIV/AIDS Di Yayasan Spirit Paramacitta Denpasar."

Copied!
42
0
0

Teks penuh

(1)

i

SKRIPSI

HUBUNGAN ANTARA TINGKAT SPIRITUALITAS DENGAN

TINGKAT KUALITAS HIDUP PADA PASIEN HIV/AIDS

DI YAYASAN SPIRIT PARAMACITTA DENPASAR

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Keperawatan

OLEH:

I GEDE MEYANTARA EKA SUPERKERTIA NIM. 1102105065

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS UDAYANA

(2)
(3)
(4)

iv

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat-Nya skripsi yang berjudul “Hubungan Antara Tingkat Spiritualitas Dengan Tingkat Kualitas Hidup Pada Pasien HIV/AIDS di Yayasan Spirit

Paramacitta Denpasar” ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya.

Dalam penyusunan skripsi ini, berbagai bantuan, petunjuk, saran, serta masukan penulis dapatkan dari banyak pihak. Untuk itu, dalam kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar besarnya kepada berbagai pihak, diantaranya :

1. Prof. Dr. dr. I Putu Astawa, SpOT (K). M.Kes. , sebagai Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

2. Prof. dr. Ketut Tirtayasa, MS, AIF. , sebagai Ketua Program Studi Ilmu Keperawatan, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana yang telah memberikan penulis kesempatan menuntut ilmu di Program Studi Ilmu Keperawatan, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana serta memberikan pengarahan dalam proses pendidikan

3. Ns. Ika Widi Astuti, M.Kep, Sp.Kep.Mat., sebagai pembimbing utama yang telah memberikan bantuan dan bimbingan sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini tepat waktu.

(5)

v

5. Kepala Yayasan Spirit Paramacitta Denpasar, yang memberikan data awal dan izin melakukan studi pendahuluan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

6. Seluruh dosen Program Studi Ilmu Keperawatan, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana yang telah memberikan bimbingan dalam proses penyusunan skripsi ini.

7. Orang tua dan keluarga yang selalu memberikan dukungan dan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi.

8. Rekan-rekan mahasiswa Program Studi Ilmu Keperawatan, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana Program A Angkatan Tahun 2011 atas dukungan yang telah ditunjukkan selama menyelesaikan skripsi ini.

9. Seluruh pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat diharapkan penulis. Akhir kata, semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi perkembangan dunia keperawatan dan pengetahuan secara luas.

Denpasar, Juni 2015

(6)

vi

ABSTRAK

Superkertia, I Gede Meyantara Eka. 2015. Hubungan Antara Tingkat Spiritualitas Dengan Tingkat Kualitas Hidup Pada Pasien HIV/AIDS Di Yayasan Spirit Paramacitta Denpasar. Skripsi, Program Studi Ilmu Keperawatan , Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana, Denpasar. Pembimbing (1) Ns. Ika Widi Astuti, M.Kep, Sp.Kep.Mat; (2) Ns. Made Pande Lilik Lestari, S.Kep.

Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency Syndrome (HIV/AIDS) merupakan salah satu penyakit infeksi menular seksual yang bersifat kronis. HIV selain menyebabkan gangguan fisik, juga dapat menyebabkan gangguan sosial yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan pasien. Salah satu pendekatan yang sering digunakan dalam pendampingan pasien yang telah lama mengidap HIV/AIDS adalah melalui terapi spiritual. Terapi spiritual yang dilakukan secara tidak langsung dapat meningkatkan makna spiritualitas pasien tentang penyakitnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara tingkat spiritualitas dengan tingkat kualitas hidup pasien dengan HIV/AIDS di Yayasan Spirit Paramacitta Denpasar. Penelitian ini merupakan studi pendekatan cross sectional yang dilakukan selama satu minggu. Sampel terdiri dari 45 orang yang dipilih dengan cara Purposive sampling. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan lembar kuesioner spiritual dan kualitas hidup untuk mengetahui tingkat spiritualitas dan tingkat kualitas hidup responden. Berdasarkan uji Rank Spearman didapatkan hasil p=0,000 artinya ada hubungan antara tingkat spritualitas dengan tingkat kualitas hidup pasien HIV/AIDS. Dengan nilai r=0,829. Berdasarkan hal tersebut disarankan kepada yayasan atau LSM agar lebih intensif dalam menyediakan pelayanan spiritual bagi para penderita HIV sehingga kualitas hidup mereka akan lebih baik.

(7)

vii

ABSTRACT

Superkertia, I Gede Eka Meyantara. 2015. Relationship Between Spirituality Level With Level Quality of Life in Patients HIV/AIDS In Spirit Foundation Paramacitta Denpasar. Thesis, Department of Nursing, Faculty of Medicine, University of Udayana, Denpasar. Supervisor (1) Ns. Ika Widi Astuti, M.Kep, Sp.Kep.Mat; (2) Ns. Made Pande Lili Lestari, S.Kep.

Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency Syndrome (HIV/AIDS) is a chronic sexually transmitted infection. HIV in addition to causing physical disorders, also can cause social disruption affects the patient's life. One approach that is often used in assisting patients who have long suffered from HIV/AIDS is through spiritual therapy. Spiritual therapies that do may indirectly increase the significance of spirituality patient about his illness. This study aims to determine the relationship between the level of spirituality with the level of quality of life in patients with HIV/AIDS in Yayasan Spirit Paramacitta Denpasar. This research was a cross sectional study conducted during one week. The sample consisted of 45 people were selected by purposive sampling. Data collected by using a questionnaire of spiritual and quality of life to determine the level of spirituality and level of quality of life of respondents. Based on Spearman Rank test showed p=0,000 means that there were a correlation between the level of spirituality with the level of quality of life of patients with HIV/AIDS. With the r value = 0,829. Based on these, foundation or LSM suggested to be more intensive in providing spiritual care for people with HIV so that their quality of life will be better.

(8)

viii

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

LEMBAR PERSETUJUAN SKRIPSI ... ii

HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

2.1.4 Respon Perubahan terhadap Penyakit HIV/AIDS ... 10

2.1.5 Cara Penularan ... 13

2.1.6 Manifestasi Klinis ... 14

2.1.7 Penatalaksanaan ... 15

2.2 Spiritualitas ... 16

2.2.1 Definisi ... 16

2.2.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesehatan Spiritual ... 18

2.2.3 Cakupan Kebutuhan Asuhan Spiritual ... 19

2.2.4 Spiritual Menjelang Ajal ... 24

2.2.5 Alat Ukur Spiritual ... 24

2.3 Kualitas Hidup ... 25

2.3.1 Definisi ... 25

2.3.2 Ruang Lingkup ... 26

(9)

ix

2.4 Hubungan antara Tingkat Spiritualitas dengan Kualitas Hidup... 27

BAB III KERANGKA KONSEP ... 29

4.4 Populasi, Sampel, dan Teknik Sampling ... 33

4.4.1 Populasi ... 33

4.5.3 Instrumen Pengumpulan Data ... 36

4.6 Pengolahan dan Analisa Data ... 39

4.6.1 Teknik Pengolahan Data ... 39

4.6.2 Teknik Analisa Data ... 40

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 42

5.1 Hasil Penelitian ... 42

5.1.1 Kondisi Lokasi Tempat Penelitian ... 42

5.1.2 Karakteristik Responden ... 43

(10)

x

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1. Klasifikasi infeksi HIV yang didasarkan pada patofisiologis

penyakit seiring memburuknya secara progresif fungsi imun ... 9

Tabel 2. Respon Psikologis Pasien HIV ... 12

Tabel 3. Tingkat Pencegahan HIV/AIDS ... 16

Tabel 4. Definisi Operasional Variabel Penelitian... 30

Tabel 5. Keterangan Koefisien Korelasi ... 40

Tabel 6. Uji Rank Spearman ... 48

(11)

xi

DAFTAR BAGAN

Halaman Bagan 1. Patofisiologi HIV/AIDS ... 9 Bagan 2. Kerangka Konsep Hubungan antara Tingkat Spiritualitas dengan

Kualitas Hidup pada Pasien HIV/AIDS di Yayasan Spirit

(12)

xii

DAFAR GAMBAR

Halaman Gambar 1. Karakteristik Responden Berdasarkan Umur………. 42 Gambar 2. Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin………… 43 Gambar 3. Karakteristik Responden Berdasarkan Agama ……….. 43 Gambar 4. Karakteristik Responden Berdasarkan Status Perkawinan……. 44 Gambar 5. Karakteristik Responden Berdasarkan Pendidikan Terakhir …. 45

Gambar 6. Karakteristik Responden Berdasarkan Pekerjaan ……….. 45 Gambar 7. Gambaran Tingkat Spiritualitas Responden di Yayasan Spirit

Paramacitta Denpasar ……….. 46

Gambar 8. Gambaran Tingkat Kualitas Hidup Responden di Yayasan

(13)

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Penjelasan Penelitian

Lampiran 2. Lembar Permintaan Menjadi Responden Lampiran 3. Surat Persetujuan Menjadi Responden Lampiran 4. Lembar Kuesioner

Lampiran 5. Jadwal Pelaksanaan Penelitian Lampiran 6. Biaya Penelitian

(14)

xiv

DAFTAR SINGKATAN

HIV : Human Immunodeficiency Virus

AIDS : Acquired Immune Deficiency Syndrome

ODHA : Orang Dengan HIV/AIDS

ARV : Antiretroviral

SWB : Spiritual Well Being EWB : Existensial Well Being RWB : Religious Well Being DNA : Deoxyribonucleic Acid

RNA : Ribonucleic Acid

(15)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency Syndrome

(HIV/AIDS) merupakan salah satu penyakit infeksi menular seksual yang bersifat

kronis. Menurut Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan

Lingkungan RI (2014), sejak tahun 1987 sampai bulan Juni 2014 jumlah total

penderita HIV di Indonesia mencapai 142.950 orang dan AIDS sebanyak 56.623

orang. Jumlah penderita HIV di Bali pada tahun 2014 mencapai 9.051 orang dan

menempati peringkat ke-5 setelah Papua, Jawa Timur, Jawa Barat dan Jakarta.

Bali merupakan provinsi peringkat ketiga dengan nilai prevalensi tertinggi setelah

Papua dan Papua Barat yaitu sebesar 109,52 per 100.000 jumlah penduduk.

Wilayah Denpasar merupakan Kota dengan jumlah penderita HIV paling banyak

di Bali pada tahun 2014 yaitu mencapai 39,9% (4.264 orang) (Yayasan Spirit

Paramacitta Denpasar, 2015).

Penderita HIV atau AIDS di wilayah Denpasar sebagain besar melakukan

dampingan di Yayasan Spirit Paramacitta Denpasar. Yayasan ini berdiri sejak

tahun 2001 yang memiliki fokus dan konsentrasi terhadap gerakan

penanggulangan HIV dan AIDS di Bali dengan melakukan pemberdayaan

terhadap orang dengan HIV/AIDS (ODHA) untuk melakukan aktivitas sebagai

(16)

2

Kabupaten di Bali. Dari tahun 2002 hingga 2014 jumlah dampingan ODHA

mencapai 2.500 orang dengan pemberian dukungan berupa dukungan psikologis

melalui konseling, dukungan informasi tentang infeksi oportunistik, kepatuhan

terapi antiretroviral (ARV), pemberian dukungan sosial dan pendidikan pada

anak-anak yang orang tuanya terinfeksi HIV/AIDS. Setiap harinya, terdapat dua

hingga tiga pasien dengan ODHA melakukan konsultasi di Yayasan Spirit

Paramacitta Denpasar (Yayasan Spirit Paramacitta Denpasar, 2015)

HIV selain menyebabkan gangguan fisik, juga dapat menyebabkan gangguan

sosial yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan pasien. Stigma negatif dan

diskriminatif yang beredar di masyarakat tentang HIV sebagai penyakit yang

memalukan dan kotor akan menghambat proses penanganan penyakit HIV dan

penyebaran epidemik HIV/AIDS. Stigma tersebut secara tidak langsung dapat

menurunkan kualitas hidup seorang pasien dengan HIV (Malcolm et al. 1998

dalam Brown, Trujillo, & Macintyre, 2001).

Menurut Maisarah (dalam Monks dan Andini, 2013) dalam penelitiannya

menyebutkan bahwa mayoritas kualitas hidup pasien HIV tergolong buruk

sebanyak 70,58% dan baik sebanyak 29,42%. Rendahnya kualitas hidup pasien

HIV akan mempengaruhi kesehatan dari pasien itu sendiri. Peningkatan kualitas

hidup tidak hanya dapat dilakukan melalui proses penyembuhan secara fisik, hal

yang paling utama adalah meningkatkan pemahaman pasien tentang penyakitnya

dan merubah orientasi pemikiran pasien dari kesembuhan menjadi kearah

(17)

3

Salah satu pendekatan yang sering digunakan dalam pendampingan pasien yang

telah lama mengidap HIV/AIDS adalah melalui terapi spiritual.

Terapi spiritual yang dilakukan secara tidak langsung dapat meningkatkan makna

spiritualitas pasien tentang penyakitnya. Spiritualitas merupakan bagian dari

kualitas hidup berada dalam domain kapasitas diri atau being yang terdiri dari

nilai-nilai personal, standar personal dan kepercayaan (Univesity of Toronto,

2010). Penelitian tentang pentingnya spiritualitas pada penyakit kronis termasuk

HIV/AIDS telah banyak dilakukan diantaranya Nokes et al. (1995 dalam Tuck &

Thinganjana, 2001) mengatakan bahwa 100% dari sampel sebanyak 145 orang

dengan penyakit HIV menyatakan nyaman dengan terapi komplementer yang

dilakukan yang didalamnya terdapat komponen rohani. Pasien melaporkan bahwa

praktek-praktek spiritual membantu meringankan gejala/symptom dan dalam

beberapa kasus dapat merubah prognosis penyakit.

Terdapat empat hal yang diakui sebagai kebutuhan spiritual yaitu proses mencari

makna baru dalam kehidupan, pengampunan, kebutuhan untuk dicintai, dan

pengharapan (Fish & Shelly dalam Potter & Perry, 2005). Penemuan makna baru

dalam kehidupan ini akan memfasilitasi pasien HIV/AIDS untuk pengampunan

terhadap dirinya sendiri. Pemenuhan kebutuhan spiritual bisa merupakan hal yang

sangat sulit pada pasien-pasien HIV/AIDS oleh karena itu perawat dapat

mengambil peran penting.

Penelitian lain yang dilakukan oleh Tuck, McCain & Elswick (2001) bahwa

(18)

4

memberikan gambaran yang positif terhadap social support, strategi koping yang

efektif dan mempunyai hubungan negatif terhadap stress, ketidakpastian, stress

psikologi dan koping emosional. Penelitian serupa juga dilakukan oleh Dalmida,

Holdstad, Dilorio & Laderman (2009) yang menyatakan semakin tinggi spiritual

well being (SWB) didalamnya ada dua komponen yaitu existensial well-being

(EWB) dan religious well-being (RWB) maka semakin rendah depresi yang

dialami oleh responden, hasil lainnya adalah semakin tinggi komponen EWB

maka akan semakin tinggi pula nilai CD4 pada pasien HIV/AIDS yang

menandakan status imunnya dalam keadaan baik.

Berdasarkan studi pendahuluan terhadap sepuluh orang responden yang

berkunjung ke Yayasan Spirit Paramacitta diperoleh bahwa tingkat spiritualitas

pasien HIV/AIDS sebagian besar sedang yaitu sebanyak enam orang dan tiga

orang memiliki tingkat spiritualitas yang rendah, dilihat dari kualitas hidup

sebagian besar pasien memiliki kualitas hidup yang sedang sebanyak lima orang

dan tiga orang memiliki kualitas hidup yang rendah. Masih terdapat pasien orang

dengan HIV/AIDS (ODHA) yang memiliki kualitas hidup yang rendah dan

tingkat spiritualitas yang rendah.

Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian

tentang hubungan antara tingkat spiritualitas dengan tingkat kualitas hidup pasien

(19)

5

1.2Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan suatu masalah penelitian

yaitu :

“Adakah hubungan antara tingkat spiritualitas dengan tingkat kualitas hidup pada

pasien dengan HIV/AIDS di Yayasan Spirit Paramacitta Denpasar.

1.3Tujuan Penelitian

1.3.1Tujuan Umum

Diketahuinya hubungan antara tingkat spiritualitas dengan tingkat kualitas hidup

pasien dengan HIV/AIDS di Yayasan Spirit Paramacitta Denpasar.

1.3.2Tujuan Khusus

a. Mengidentifikasi karakteristik responden HIV/AIDS di Yayasan Spirit

Paramacitta Denpasar

b. Mengidentifikasi tingkat spiritualitas pasien dengan HIV/AIDS di Yayasan

Spirit Paramacitta Denpasar.

c. Mengidentifikasi tingkat kualitas hidup pasien dengan HIV/AIDS di Yayasan

Spirit Paramacitta Denpasar.

d. Menganalisis hubungan antara tingkat spiritualitas dengan tingkat kualitas

(20)

6

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1Manfaat Teoritis

a. Penelitian ini dapat digunakan sebagai tambahan referensi dalam peningkatan

kualitas hidup pada pasien dengan HIV/AIDS .

b. Penelitian ini dapat digunakan sebagai dasar acuan dalam memberikan

pembinaan dan himbauan bagi petugas kesehatan akan pentingnya pendidikan

spiritual dan kebutuhan spiritual bagi pasien dengan HIV/AIDS

c. Penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi dalam membuat penelitian

lanjutan yang lebih spesifik mengenai makna spiritualitas dari masyarakat

dengan budaya khusus yang mengalami HIV/AIDS (misalnya masyarakat Bali

dengan kebudayaan Balinya).

1.4.2Manfaat Praktis

a. Bagi Tenaga Kesehatan

Penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan edukasi yang mendukung dalam

upaya meningkatkan kualitas hidup pasien dengan HIV/AIDS melalui

pendidikan spiritual yang efektif dan berkesinambungan.

b. Bagi ODHA

Penelitian ini dapat mengetahui hubungan antara tingkat spiritual dengan

kualitas hidup, maka dapat dilakukan intervensi khusus dalam upaya

(21)

7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. HIV/AIDS

2.1.1 Definisi

Acquired Immunodeficiency Sindrom (AIDS) adalah suatu kumpulan gejala yang

didapat akibat dari penurunan respon sistem kekebalan tubuh akibat infeksi virus Human Immunodeficiency Virus (HIV). Human Immunodeficiency Virus (HIV)

adalah virus yang bereplikasi didalam sistem imun tubuh dan merupakan salah satu retrovirus karena dapat mengubah urutan sistem rantai Deoxyribonucleic Acid

(DNA)

menjadi Ribonucleic Acid (RNA) setelah masuk ke dalam sel inang (Price & Wilson, 2006; Corwin, 2008; Pinsky & Douglas, 2009).

2.1.2 Etiologi

(22)

8

2.1.3 Patofisiologi

Virus HIV masuk ke dalam tubuh manusia melalui perantara darah, semen dan sekret vagina. Human Immunodeficiency Virus (HIV) tergolong retrovirus yang mempunyai materi genetik RNA yang mampu menginfeksi limfosit CD4 (Cluster Differential Four), dengan melakukan perubahan sesuai dengan DNA inangnya

(Price & Wilson, 2006; Pasek, dkk., 2008; Wijaya, 2010). Virus HIV cenderung menyerang jenis sel tertentu, yaitu sel-sel yang mempunyai antigen CD4 terutama limfosit T4 yang memegang peranan penting dalam mengatur dan mempertahankan sistem kekebalan tubuh. Virus juga dapat menginfeksi sel monosit makrofag, sel Langerhans pada kulit, sel dendrit folikuler pada kelenjar limfe, makrofag pada alveoli paru, sel retina, sel serviks uteri dan sel-sel mikroglia otak. Virus yang masuk kedalam limfosit T4 selanjutnya mengadakan replikasi sehingga menjadi banyak dan akhirnya menghancurkan sel limfosit itu sendiri (Price & Wilson, 2006; Departemen Kesehatan RI, 2003).

(23)

9

bertahan setelah CD4 turun < 200/mm3 adalah 3,7 tahun (Pinsky & Douglas, 2009; Corwin, 2008). Secara ringkas, perjalanan virus HIV dapat dilihat di bagan berikut:

Bagan 1. Patofisiologi HIV/AIDS

(24)

10

Berikut ini merupakan klasifikasi infeksi HIV menurut Centers for Disease Control and Prevention (2011) berdasarkan patofisiologi penyakit:

Tabel 1. Klasifikasi infeksi HIV yang didasarkan pada patofisiologi penyakit seiring memburuknya secara progresif fungsi imun

Kelas Kriteria

Grup I 1. Infeksi akut HIV

2. Gejala mirip influensa, mereda sempurna 3. Antibodi HIV negatif

HIV asimtomatik Grup II

1. Antibodi HIV positif

2. Tidak ada indikator klinis atau laboratorium adanya imunodefisiensi

HIV simtomatik Grup III

1. Antibodi HIV positif

2. Limfadenopati generalisata persisten Grup IV-A 1. Antibodi HIV positif

2. Penyakit konstitusional (demam atau diare menetap, menurunnya BB > 10% dibandingkan berat normal Grup IV-B 1. Sama seperti grup IV-A

2. Penyakit neurologik (demensia, neuropati, mielopati)

Grup IV-C 1. Sama seperti grup IV-B

2. Hitung limfosit CD4+ kurang daripada 200/µl Grup IV-D 1. Sama seperti grup IV-C

2. Tuberkolosis paru, kanker serviks, atau keganasan lain

Sumber: Centers for Disease Control and Prevention, 2011

2.1.4 Respon Perubahan terhadap Penyakit HIV/AIDS

Penderita HIV/AIDS umumnya memiliki respons yang spesifik, yaitu:

a. Respon Biologis (Imunitas)

(25)

11

melekat melalui reseptor CD4+ dan co-reseptornya bagian sampul tersebut melakukan fusi dengan membran sel dan bagian intinya masuk ke dalam sel membran. Pada bagian inti terdapat enzim reverse transcripatase yang terdiri dari DNA polimerase dan ribonuclease. Pada inti yang mengandung RNA, dengan enzim DNA polimerase menyusun kopi DNA dari RNA tersebut. Enzim ribonuclease memusnahkan RNA asli. Enzim polimerase kemudian membentuk kopi DNA kedua dari DNA pertama yang tersusun sebagai cetakan (Stewart, 1997; Baratawidjaja, 2000).

Kode genetik DNA berupa untai ganda setelah terbentuk, maka akan masuk ke nti sel. Kemudian oleh enzim integrase, DNA copi dari virus disisipkan dalam DNA pasien. HIV provirus yang berada pada limfosit CD4+, kemudian bereplikasi yang menyebabkan sel limfosit CD4 mengalami sitolisis (Stewart, 1997).

Virus HIV yang telah berhasil masuk dalam tubuh pasien, juga menginfeksi berbagai macam sel, terutama monosit, makrofag, sel mikroglia di otak, sel-sel hobfour plasenta, sel-sel-sel-sel dendrit pada kelenjar limfe, sel-sel- sel-sel epitel pada usus, dan sel langerhans di kulit. Efek dari infeksi pada sel mikroglia di otak adalah encepalopati dan pada sel epitel usus adalah diare yang kronis (Stewart, 1997).

(26)

12

mengalami penurunan jumlahnya dari 1000/ul sebelum terinfeksi menjadi sekitar 200 – 300/ul setelah terinfeksi 2 – 10 tahun (Stewart, 1997).

b. Respon Psikologis

Tahapan respon psikologis pasien HIV (Stewart, 1997) adalah seperti terlihat pada tabel berikut:

Tabel 2. Respon Psikologis Pasien HIV

Respon Proses psikologis Hal-hal yang biasa di jumpai

c. Respons Adaptif Sosial

Aspek psikososial menurut Stewart (1997) dibedakan menjadi 3 aspek (interaksi sosial, cemas, dan emosi), yaitu:

(27)

13

2) Diskriminasi terhadap orang yang terinfeksi HIV, misalnya penolakan bekerja dan hidup serumah juga akan berpengaruh terhadap kondisi kesehatan. Bagi pasien homoseksual, penggunaan obat-obat narkotika akan berakibat terhadap kurungnya dukungan sosial. Hal ini akan memperparah stres pasien HIV.

3) Terjadinya waktu yang lama terhadap respons psikologis mulai penolakan, marah-marah, tawar menawar, dan depresi berakibat terhadap keterlambatan upaya pencegahan dan pengobatan. Pasien HIV akhirnya mengkonsumsi obat-obat terlarang untuk menghilangkan stres yang dialami.

d. Respons Adaptif Spiritual

Respon adaptif spiritual pasien HIV, yaitu distress spiritual. Distres spiritual adalah gangguan kemampuan untuk mengalami dan mengintegrasikan makna dan tujuan hidup melalui hubungan dengan diri sendiri, orang lain, seni, musik, literatur, alam dan/atau kekuatan yang lebih besar daripada diri sendiri. Contoh distress spiritual, yaitu: pasien HIV merasa terbuang oleh atau karena kemarahan Tuhan, pasien HIV merasa hidup tanpa harapan dan menderita (NANDA, 2011)

2.1.5 Cara Penularan

(28)

14

nonseksual dibedakan menjadi parenteral dan transplasental. Transmisi parenteral yaitu akibat penggunaan jarum suntik dan alat tusuk lainnya (alat tindik dan alat tato) yang telah terkontaminasi darah yang terinfeksi virus HIV. Transmisi transplasental yakni penularan dari ibu yang mengandung HIV positif ke anak yang dapat terjadi sewaktu hamil, melahirkan dan sewaktu menyusui (Siregar, 2004; Wijaya, 2010).

2.1.6 Manifestasi Klinis

Klien HIV/AIDS akan mengalami perubahan, diantaranya perubahan fisik, perubahan psikologis, perubahan spiritual, dan perubahan hubungan sosial. Acquired Immunodeficiency Sindrom (AIDS) memiliki beragam manifestasi klinis

dalam bentuk keganasan dan infeksi opurtunistik. Jenis keganasan yang paling sering dijumpai pada keganasan lain yang pernah dilaporkan terjadi pada pasien yang terinfeksi HIV adalah myeloma multipel, leukemia limfositik akut sel B, limfoma limfoblastik T, penyakit Hodgkin, karsinoma anus, karsinoma sel skuamosa di lidah, karsinoma adenoskuamosa paru, adenokarsinoma kolon dan pankreas, kanker serviks, dan kanker testis (Price & Wilson, 2006; Smeltzer & Bare, 2010).

(29)

15

opurtunistik yang disebabkan oleh virus sangat beragam dan merupakan penyebab semakin parahnya patologi yang terjadi (Price & Wilson, 2006; Smeltzer & Bare, 2014).

2.1.7 Penatalaksanaan

(30)

16

Tabel 3. Tingkat Pencegahan HIV/AIDS

Tingkat pencegahan

Jenis intervensi Tujuan intervensi Bentuk intervensi pada HIV/AIDS

(31)

17

yaitu melayani individu baik sakit maupun sehat dengan berbagai aktifitas yang memberikan sumbangan terhadap kesehatan dan upaya penyembuhan (maupun upaya mengantar kematian yang tenang) sehingga klien dapat beraktifitas mandiri dengan menggunakan kekuatan, kemauan dan pengetahuan yang dimilikinya. Jadi, tugas utama perawat yaitu membantu klien menjadi lebih mandiri secepatnya. Henderson memandang manusia secara holistik atau keseluruhan. Terdiri dari unsur fisik, biologi, sosiologi dan spiritual.

Neuman memandang manusia secara keseluruhan (holistik), yaitu terdiri dari faktor fisiologis, psikologis, sosial budaya, faktor perkembangan, dan faktor spiritual yang berhubungan secara dinamis dan tidak dapat dipisah-pisahkan, yaitu: 1) Faktor fisiologis meliputi struktur dan fungsi tubuh, 2) Faktor psikologis terdiri dari proses dan hubungan mental, 3) Faktor sosial budaya meliputi fungsi sistem yang menghubungkan sosial dan ekspektasi kultural dan aktivasi, 4) Faktor perkembangan sepanjang hidup, 5) Faktor spiritual meliputi pengaruh kepercayaan spiritual (Tomey & Alligood, 2006)

(32)

18

kekuatan yang terbatas, menjadi lebih fokus ketika individu menghadapi stress emosional, sakit fisik atau menghadapi kematian.

Karakteristik mayor dari spiritualitas menurut Craven & Hirnle (2007) adalah perasaan yang menyeluruh dan harmonisasi dengan diri sendiri, dengan orang lain dan dengan Tuhan yang lebih besar yang dipengaruhi oleh status perkembangan, identitas yang kuat, dan harapan.

2.2.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesehatan Spiritual

Faktor-faktor yang mempengaruhi kesehatan spiritual menurut Craven & Hirnle, (2007) adalah:

a. Kebudayaan, termasuk didalamnya adalah tingkah laku, kepercayaan dan nilai-nilai yang bersumber dari latar belakang sosial budaya.

b. Jenis kelamin: Spiritual biasanya bergantung pada kelompok sosial dan nilai-nilai agama dan transgender. Misalnya yang menjadi pemimpin kelompok spiritual adalah laki-laki, dsb

c. Pengalaman sebelumnya. Pengalaman hidup baik yang positif atau negative dapat mempengaruhi spiritualitas dan pada akhirnya akan mempengaruhi makna dari nilai-nilai spiritual seseorang. Misalnya: orang yang sangat menyayangi anaknya kemudian anaknya meninggal karena kecelakaan pada akhirnya mungkin akan menolak eksisitensi Tuhan dan mungkin akan berhenti untuk beribadah, demikian juga misalnya seseorang yang sukses di pernikahan, karir, pendidikan mungkin akan beranggapan bahwa dia tidak membutuhkan Tuhan (Taylor, Lilis & Lemone, 1997).

(33)

19

proses kematian atau sakitnya orang yang dicintai dapat menyebabkan perubahan atau distress status spiritual. Situasi krisis atau perubahan yang terjadi dalam kehidupan dapat memberikan makna meningkatnya kepercayaan, bahkan dapat juga melemahkan kepercayaannya. Intervensi utamanya adalah memperkuat hal yang kurang dan memperkokoh hal-hal yang lebih kuat untuk menimbulkan harapan yang baru (Kemp 1999).

e. Terpisah dari ikatan spiritual, Pengalaman selama dirawat di rumah sakit atau menjalani perawatan di rumah akan menyebabkan seseorang terisolasi berada pada lingkungan yang baru dan asing mungkin akan menyebabkan perasaan tidak nyaman, kehilangan support sistem dan daya juang.

2.2.3 Cakupan Kebutuhan Asuhan Spiritual

Baylor University School of Nursing (BUSN) (1991 dalam Kemp (1999) Kebutuhan Asuhan Spiritual mencakup:

a. Makna

1) Pengertian

Yaitu alasan terjadinya suatu peristiwa atau berbagai peristiwa, tujuan hidup, dan keyakinan akan kekuatan dalam hidup. Makna dapat ditemukan saat meninjau prestasi eksternal, pencarian ini berupa pencarian moral atau spiritual, memikirkan kesalahan atau ketidakcukupan. Pencarian makna juga mencakup makna menjelang ajal, keberadaan manusia, penderitaan, dan usia hidup yang tersisa Speck (1998 dalam Kemp, 1999).

(34)

20

berbagai cara melalui kehilangan harapan dan keputusasaan.

2) Pengkajian dan intervensi

Pengkajian sebaiknya dilakukan secara langsung:

Pertanyaan yang diajukan berkaitan dengan isu yang ada saat ini, komunikasi secara umum dan hubungan perawat klien. Selain itu pertanyaan yang diajukan dapat berupa makna menjelang ajal dan penderitaan yang dialami. Intervensi yang diberikan adalah memberikan kesempatan pada individu untuk mencari makna hidup dan tidak begitu saja diberikan oleh orang lain. Perawat dapat membantu memberi makna hidup dengan bertindak secara konsisten untuk memberikan perawatan yang penuh cinta. Walaupun makna dan harapan itu tidak dapat dipenuhi oleh klien. Klien dapat berdoa bila tidak dapat mencapai kesempurnaan spiritual.

b. Harapan

1) Pengertian

(35)

21

2) Pengkajian dan intervensi

Tujuannya adalah memberikan panduan dalam membantu klien dan keluarga menemukan harapan yang ada dalam penyakit terminal. Intervensi utamanya adalah memperkuat hal yang kurang dan memperkokoh dimensi yang lebih kuat untuk menimbulkan harapan (Kemp 1999).

Saat menjelang ajal adalah waktu yang terbaik untuk melihat keimanan, karena kebanyakan orang tidak menyadari apa yang ia rindukan sepanjang perjalanan kehidupannya. Jika pergi ke tempat ibadah tidak mungkin dilakukan secara fisik, kunjungan dari rohaniawan dapat sangat membantu. Lagu dan ritual agama klien bahkan dapat lebih menyenangkan dibandingkan dengan konseling.

Dinamika harapan dibangun dari tiga unsur utama: harapan, putus asa, dan hubungan timbal balik antara harapan dan putus asa. Keseimbangan yang bergantian antara harapan, putus asa, dan keputusasaan berdasarkan pada faktor yang berkontribusi terhadap harapan dan putus asa yang muncul sebagai sentral dalam dinamika harapan. Dinamika harapan berhubungan erat dengan proses dasar untuk mencari cara sendiri dengan HIV/AIDS, mendalami menjadi HIV-positif, dan hidup dengan HIV/ AIDS. Hal signifikan lainnya, dinamika harapan berhubungan erat dengan HIV, berubah dari abstrak ke konkret dalam hubungan dengan klien dengan HIV/Aids (Kylma, Julkunen & Lahdevirta, 2003).

c. Keterkaitan dengan Tuhan

(36)

22

sangat penting dalam kenyamanan yang berasal dari keterkaitan dengan Tuhan: Ada Yang maha dari penderitaan ini, Yang Maha dari ketakutan ini, Yang Maha dari ketidakmampuan kita.

Pengkajian diawali dengan melihat apakah kehidupan individu ditandai dengan harapan, makna, hubungan terbuka, dan penerimaan diri atau dengan keputusasaan, kesia-siaan, isolasi dan rasa bersalah.

Pertanyaan yang spesifik: menelusuri mengenai keyakinan individu tentang Tuhan atau agama, hubungan individu dengan Tuhan, kehidupan agama dan spiritual individu saat ia masih muda dan sudah tua, serta aspek kehidupan spiritual atau agama yang hilang. Pertanyaan yang sangat baik adalah:

”menurut anda apa yang ingin disampaikan Tuhan pada anda saat ini?”

Inti dari asuhan spiritual adalah asuhan itu sendiri bukan upaya untuk meyakinkan klien untuk meyakini kepercayaan orang lain.

d. Pengampunan atau penerimaan

(37)

23

Intervensi yang diberikan oleh petugas kesehatan adalah menunjukkan pengampunan dan penerimaan dengan cara memberikan perawatan yang penuh perhatian secara terus menerus sehingga dapat menunjukkan kepada klien kemungkinan bahwa pengampunan dan penerimaan dapat dilakukan.

Tidak membeda-bedakan agama dan kepercayaan, tugas utamanya adalah melaksanakan kemurahan hati. Intervensi yang dilakukan oleh perawat adalah intervensi pasif.

Martokoesoemo, (2007) mengatakan hal-hal positif yang harus dimiliki oleh manusia adalah yakin bahwa dunia ini hanya tipuan. Setiap manusia harus mempunyai kekuatan untuk membuat hal-hal yang negative menjadi positif, juga membuat hal-hal yang menyedihkan menjadi sesuatu yang menggembirakan. Karena didunia ini tidak ada yang abadi, yang sejati daN abadi hanyalah Tuhan.

e. Transedensi

Transedensi adalah kualitas iman atau spiritualitas yang memungkinkan individu bergerak maju, untuk melampaui, apa yang diberikan atau tersaji dalam pengalaman kesendirian atau keputusasaan yang sering menyertai menjelang ajal.

(38)

24

2.2.4 Spiritual Menjelang Ajal

Zerwekh (1991 dalam Kemp 1999) mengatakan tanggung jawab dalam memberikan asuhan yang efektif dalam proses spiritual menjelang ajal adalah: 1. Mendengarkan

2. Mendiagnosis distress semangat manusia

3. Menegaskan sangat pentingnya masalah spiritual pada akhir kehidupan.

Tindakan mendampingi, atau berjaga-jaga, bahkan saat penderitaan atau penurunan semangat akan menjadikan perawat sebagai simbol kuat dari Tuhan yang berada didalam setiap individu dan pada klien.

2.2.5 Alat Ukur Spiritual

(39)

25

2.3Kualitas Hidup

2.3.1 Definisi

Tidak mudah untuk mendefinisikan kualitas hidup secara tepat. Pengertian mengenai kualitas hidup telah banyak dikemukakan oleh para ahli, namun semua pengertian tersebut tergantung dari siapa yang membuatnya. Seperti halnya definisi sehat, yaitu tidak hanya berarti tidak ada kelemahan atau penyakit, demikian juga mengenai kualitas hidup, kualitas hidup bukan berarti hanya tidak ada keluhan saja, akan tetapi masih ada hal-hal lain yang dirasakan oleh penderita, bagaimana perasaan penderita sebenarnya dan apa yang sebenarnya menjadi keinginannya (Cramer JA, 1993).

Definisi kualitas hidup masih belum berlaku secara umum. Selain itu terdapat istilah lain, seperti kesejahteraan sosial dan pembangunan manusia sering digunakan sebagai istilah yang setara atau analog dengan quality of life. Secara umum, kualitas hidup merupakan suatu produk yang dihasilkan dari interaksi sejumlah faktor-faktor yang berbeda, seperti sosial, fisik, kesehatan, ekonomi, dan kondisi lingkungan, yang secara kumulatif, juga dengan cara-cara yang belum diketahui, berinteraksi untuk mempengaruhi pembangunan manusia dan sosial di tingkat individu dan masyarakat. Ini merupakan “gagasan tentang kesejahteraan manusia yang diukur dengan indicator sosial bukan secara pengukuran

“kuantitatif” terhadap pendapatan dan produksi.” (United Nations Glossary 2009).

(40)

26

terhadap aktivitas sosial, emosional, pekerjaan dan hubungan antar keluarga, rasa senang atau bahagia, adanya kesesuaian antara harapan dan kenyataan yang ada, adanya kepuasan dalam melakukan fungsi fisik, sosial dan emosional serta kemampuan mengadakan sosialisasi dengan orang lain (Hermann BP, 1993).

2.3.2 Ruang Lingkup

Secara umum terdapat enam domain yang dipakai untuk mengukur kualitas hidup berdasarkan kuesioner yang dikembangkan oleh WHO (World Health Organization), bidang tersebut adalah kesehatan fisik, kesehatan psikologik,

keleluasaan aktivitas, hubungan sosial dan lingkungan, sedangkan secara rinci domain-domian yang termasuk kualitas hidup adalah sbb :

a. Kesehatan fisik (physical health): Kesehatan umum, nyeri, energi dan vitalitas, aktivitas seksual, tidur dan istirahat.

b. Kesehatan psikologis (psychological health): Cara berpikir, belajar, memori dan konsentrasi.

c. Tingkat aktivitas (level of independence): mobilitas, aktivitas seharihari, komunikasi, kemampuan kerja.

d. Hubungan social (social relationship): hubungan sosial, dukungan sosial. e. Lingkungan (environment), keamanan, lingkungan rumah, kepuasan kerja. f. Kepercayaan rohani atau religius (spirituality/religion beliefs)

2.3.3 Pengukuran Kualitas Hidup

(41)

27

hidup seperti World Health Organization Quality of Life (WHOQOL)-Bref, 100, dan HIV BREF. BREF dan 100 merupakan kuesioner umum mengenai kualitas hidup sedangkan WHOQOL-HIV BREF merupakan instrumen pengukuran kualitas hidup khusus untuk orang dengan HIV/AIDS, oleh karena itu dalam penelitian ini menggunakan WHOQOL-HIV BREF untuk mengukur kualitas hidup orang dengan WHOQOL-HIV/AIDS yang dinilai dengan skala likert sehingga akan didapat skor yang dibagi dalam lima kategori 31 (Sangat Buruk), 32-62 (Buruk), 63-93 (Biasa-biasa saja), 94-124 (Baik), 125-155 (Sangat Baik).

2.4 Hubungan antara Tingkat Spiritualitas dengan Kualitas Hidup

Menurut Hasnani (2012) dalam penelitiannya tentang spiritualitas dan kualitas hidup pada pasien kanker serviks menunjukkan dimensi psikologis merupakan dimensi kualitas hidup yang paling dipengaruhi oleh spiritualitas. Artinya penderita kanker serviks yang memiliki tingkat spiritualitas rendah cenderung lebih depresif daripada penderita dengan tingkat spiritualitas yang baik. Kemampuan spiritualitas yang buruk akan mempengaruhi kejiwaan (psikologis) seseorang. Keadaan ini bisa juga sebaliknya.

(42)

28

sebaliknya jika individu tidak memiliki kemampuan untuk itu maka tidak akan mendapatkan jawaban tentang arti dan tujuan hidupnya (Hasnani, 2007).

Pemahaman akan kebutuhan spiritualitas akan mempengaruhi kualitas hidup individu secara psikologis, dengan kata lain spiritualitas adalah sesuatu yang menghidupkan semangat bagi penderita penyakit kronis untuk mencapai kesehatan yang lebih baik (Hasnani, 2012).

Gambar

Tabel 1. Klasifikasi infeksi HIV yang didasarkan pada patofisiologi penyakit seiring memburuknya secara progresif fungsi imun
Tabel 2. Respon Psikologis Pasien HIV
Tabel 3. Tingkat Pencegahan HIV/AIDS

Referensi

Dokumen terkait

Koreksi radiometrik dilakukan untuk mengoreksi kesalahan yang diakibatkan oleh pengaruh atmosfer pada saat perekaman citra.. • Kondisi atmosfer yang mempengaruhi perkaman citra :

Fenomena munculnya permasalahan anak jalanan di Ibu kota yang menjadi latar belakang penulis dalam membuat kampanye sosial ini merupakan hasil penelitian yang penulis dapatkan

Sehingga dapat disimpulkan bahwa luas Ruang Terbuka Hijau eksisting belum memenuhi jumlah yang ditentukan dalam RTRW Kota Salatiga sebesar 30% dari total luas wilayah

Hasil penelitiannya menemukan bahwa (1) risiko saham yang diukur dengan menggunakan beta saham berpengaruh pada tingkat return (2) baik pada portfolio saham aktif atau non

Mutfakta geçen günler, bu tapınağa gelinceye kadar geçen günlerden daha hızlı aktı. Rahat ve güven içinde, zaman hızla üç günün sonuna ulaştırmıştı beni. Mutfakta

Pelaksanaan perda K3 tidak diimbangi dengan penataan aspek pendukung lain seperti kebijakan yang dapat menyelesaikan permasalahan K3, belum cukup aparat pelaksana dalam

Pengukuran capaian kinerja yang mencakup pencapaian indikator kinerja dan kelompok sasaran yang menggambarkan keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan kegiatan dan program

Tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan komposisi senyawa dalam ekstrak flavor daun salam yang dihasilkan dengan metode distilasi uap dengan menggunakan