43
BAB III METODOLOGI
3.
3.
3.
3.1. Metodologi Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang dipakai dalam perancangan ini adalah metode hybrid antara kualitatif dan kuantitatif, dengan data primer berupa wawancara, kuisioner, studi referensi, dan studi eksiting.
3.1.1. Wawancara
Wawancara dilakukan dengan tujuan untuk mendapat pengetahuan dari ahli yang sudah berpengalaman di bidangnya, wawancara yang dilakukan dalam proses penelitian ini adalah dengan narasumber-narasumber berikut:
3.1.1.1. Mahawira Singh Dillon, Desainer Board Game
Wawancara dilakukan pada narasumber Mahawira Singh Dillon, seorang desainer board game independen, di sebuah kedai di komplek kediamannya di komplek Apartemen Flamboyan, Kalibata City, pada hari Rabu tanggal 1 Mei 2019, pukul 09.00 WIB – 09.45 WIB.
Dalam wawancara, Dillon membahas mengenai bagaimana jalannya proses pembuatan dari board game dari awal hingga akhir, hal-hal yang harus diperhatikan selama proses development, suka duka menjadi seorang board game designer independen, feedback mengenai ide board game penulis, diakhiri diskusi berbagi-bagi cerita.
44
Gambar 3.1. Wawancara dengan Narasumber Dillon, M.S., 2019
Setelah wawancara selesai, narasumber dan penulis beranjak ke kediaman narasumber, kemudian melanjutkan hari dengan memainkan board games koleksi narasumber, termasuk hasil karyanya. Sesi bermain ini tidak hanya sekedar untuk bersenang-senang, tetapi sekaligus untuk melihat contoh nyata pengaplikasian pengetahuan narasumber terhadap produk jadi.
Gambar 3.2. “Emisi”, Board Game Karya Narasumber Dillon, 2019
45
Saat memainkan salah satu board game karyanya, “Emisi”, Dillon menambahkan, saat membuat board game yang terfokus untuk mencapai tujuan tertentu, dalam kasus ini, edukasi dan kesadaran mengenai sebuah isu di Indonesia yaitu polusi emisi karbon. Sebuah board game harus mempertimbangkan mengenai proporsi fokus antara fun, kemampuan menghiburnya sebagai suatu bentuk entertainment, dan message, yaitu fungsinya sebagai bentuk media untuk membawa sebuah pesan/moral kepada pemakainya. Di mana saat membuat sebuah board game yang memiliki tujuan tertentu, hal terberat yang akan ditempuh game designer adalah bagaimana membuat board game tersebut tetap fun sebanyak mungkin tanpa menghalangi disampaikannya pesan yang ingin disampaikan.
3.1.1.2. Isro Ayu, Advokat BISINDO
Wawancara dilakukan pada narasumber Isro Ayu, seorang advokat BISINDO, di kafe Workroom Coffee, Cikini, pada hari Minggu, 25 Agustus 2019, pukul 13.00 WIB – 14.30 WIB.
Mulai wawancara, Ayu dan penulis bersama rekan-rekan saling memperkenalkan diri. Ayu menjelaskan, ia adalah seorang Tuli dari lahir, dan telah menggunakan Bahasa Isyarat sejak kecil guna berkomunikasi lebih efektif. Namun, Ayu tidak langsung diajari Bahasa Isyarat dari kecil, melainkan diharuskan oleh orangtuanya untuk bisa membaca gerakan
46
mulut/bahasa bibir terlebih dahulu, guna membantu dalam komunikasi sehari-hari dengan orang biasa/bukan Tuli. Setelah Ayu dapat membaca bahasa bibir, barulah ia diajarkan Bahasa Isyarat oleh orangtuanya dan di Sekolah Luar Biasa (SLB).
Gambar 3.3. Wawancara dengan Narasumber Ayu, I., 2019
Lanjut wawancara, Ayu menuturkan bahwa, berkomunikasi dengan Tuli dapat menggunakan sarana komunikasi alternatif yang dipakai orang setiap hari, diantaranya: Menggunakan tulisan tangan, ketikan teks telepon genggam, dan berbicara pelan-pelan (membaca bibir). Mempelajari Bahasa Isyarat bukanlah sebuah keharusan untuk siapapun, tetapi akan sangat memudahkan antar sesama pengguna Bahasa Isyarat apabila ada pihak yang Tuli ataupun orang biasa yang menemukan dirinya dalam situasi dan keadaan sulit atau bahkan tidak bisa mendengar.
Soal komunikasi, Ayu membagikan pengalamannya sendiri memiliki masalah komunikasi di kehidupan yang masih belum terlalu
47
mengakomodasikan Tuli. Suatu saat sedang sakit parah hingga memerlukan pertolongan medis ke rumah sakit, Ayu mengalami kesulitan, bahkan, tidak dapat berkomunikasi dengan para perawat dan dokter yang menanganinya, karena karena para perawat dan dokter tidak mengerti Bahasa Isyarat sama sekali, ditambah lagi mengenakan masker sehingga Ayu pun juga tidak dapat membaca bahasa bibir mereka. Ini menunjukkan masih kurangnya akomodasi terhadap kaum Tuli bahkan di instansi-instansi yang seharusnya sudah siap untuk menerima dan menangani segala jenis orang.
Di Indonesia, terdapat 2 jenis Bahasa Isyarat yang digunakan, SIBI dan BISINDO, penggunaan kedua bahasa tersebut tidaklah ekslusif, melainkan, dalam penggunaan sehari-harinya, kedua bahasa ini digunakan bersama-sama dan saling mendukung satu sama lain, tutur Ayu. Di antara kedua bahasa tersebut, Ayu sendiri mengaku bahwa BISINDO lebih nyaman, lebih intuitif, dan mudah digunakan, karena BISINDO menggunakan konsep aksi nyata sebagai dasarnya, membuatnya mudah dimengerti dan diingat bahkan oleh orang yang masih belum tahu-menahu mengenai Bahasa Isyarat karena merupakan bentuk gambaran langsung dari aktivitas yang dilakukan sehari-hari. Berbanding dengan SIBI yang pada dasarnya adalah translasi kata-kata bahasa Indonesia yang sudah terstruktur sendiri sehingga mustahil mengetahui arti dari gestur SIBI tanpa diberitahu terlebih dahulu. Menariknya, jelas Ayu, walaupun BISINDO telah lahir terlebih dahulu, sekitar tahun 1960-1970. Kurikulum di SLB tidak
48
mengajarkan BISINDO, melainkan SIBI, walaupun SIBI baru muncul sekitar tahun 1990-2000.
Ayu berpesan kepada penulis, dan juga orang dengar lainnya yang ingin belajar Bahasa Isyarat guna/atau ingin berkomunikasi dengan teman tuli. Untuk belajar bukanlah karena rasa kasihan kepada teman tuli, tetapi berdasarkan keinginan dan kebutuhan untuk berkomunikasi dengan tuli, juga sebagai rasa toleransi dan inklusivitas kepada teman tuli. Ayu menambahkan lagi, tidak perlu takut untuk salah berkomunikasi kepada teman tuli, baik karena belum ataupun tidak bisa Bahasa Isyarat, termasuk menggunakan media komunikasi alternatif seperti yang disebut sebelumnya. Tuli jugalah manusia yang sama dan sederajat dengan orang- orang lainnya yang bisa mendengar, tidak ingin ada perlakuan khusus berlebihan, apalagi yang terkesan dan terdorong oleh rasa kasihan.
3.1.2. Kuisioner
Metode pengumpulan data kuisioner digunakan dalam rangka mendapatkan data kuantitatif yang akan digunakan dalam proses perancangan. Untuk menentukan jumlah minimum target responden pada kuisioner, digunakanlah rumus Slovin, yang berbunyi:
𝑛 = 𝑁
1 + 𝑁 ∗ 𝑒2
𝑛 = Besar sampel minimal 𝑁 = Jumlah populasi sampel
49
𝑒 = 𝑀𝑎𝑟𝑔𝑖𝑛 𝑜𝑓 𝑒𝑟𝑟𝑜𝑟
Penggunaan kuisioner dalam perancangan ini digunakan untuk mengumpulkan dan menarik kesimpulan dari data-data sebagai berikut:
3.1.2.1. Pengetahuan & Kesadaran masyarakat Indonesia mengenai Bahasa Isyarat
Kuisioner ini dilakukan guna mengetahui tingkat pengetahuan dan kesadaran penduduk Indonesia mengenai Bahasa Isyarat. Untuk kuisioner ini, sampel yang digunakan adalah penduduk Kota Tangerang Selatan yang berjumlah 1.644.899 jiwa (Badan Pusat Statistik Kota Tangerang Selatan [BPSKTS], 2017). Berikut penetapan target minimum responden kuisioner ini menggunakan rumus Slovin dengan margin of error 10%
𝑛 = 1.644.899
(1 + 1.644.899 ∗ ((1 10)
2
))
= 99.9939209689 ≈ 100
Diperolehlah hasil target minimun responden yaitu 100 responden.
Setelah kuisioner disebarkan dan telah mendapat 111 responden saat kuisioner ditutup, ditariklah kesimpulan sebagai berikut dari hasil olahan data yang telah dikumpulkan:
Tabel 3.1. Analisa Hasil Kuisioner “Pengetahuan & Kesadaran Masyarakat Indonesia Mengenai Bahasa Isyarat” dengan 111 Responden.
No. Pertanyaan Jawaban Responden
50 1
Apakah anda tahu apa itu
Bahasa Isyarat?
96.4% mengetahui 3.6% tidak mengetahui
2
Ada beberapa Bahasa Isyarat
yang digunakan di Indonesia. Di antara berikut ini, manakah
yang anda tahu?
59.2%
mengetahui ASL
39.5%
mengetahui BISINDO
28.9%
mengetahui SIBI
1.3% tidak mengetahui sama sekali
3
Apakah anda atau orang di sekitar anda menggunakan
Bahasa Isyarat?
0.9% adalah pemerguna Bahasa Isyarat
sendiri
19.8%
mengenal pengguna Bahasa Isyarat
79.3% bukan pemakai dan tidak mengenal
pengguna
4
Jika ya, Bahasa Isyarat
apa yang digunakan?
15.6%
menjawab ASL
15.6%
menjawab BISINDO
13.3%
menjawab SIBI
57.8%
tidak mengetahui
jenis Bahasa
Isyarat yang digunakan Walaupun hampir semua responden, yang berkewarganegaraan Indonesia mengetahui eksistensi dari Bahasa Isyarat, dari mereka yang mengetahui (bukan menguasai) Bahasa Isyarat, mengetahui ASL, lebih dari setengah dari total
51
responden tidak mengetahui Bahasa Isyarat lokal (SIBI & BISINDO). Penemuan ini menunjukkan bahwa SIBI maupun BISINDO dapat dinilai masih kurang populer di Indonesia.
Data lain yang diperoleh menunjukkan, tingkat penggunaan Bahasa Isyarat jauh lebih rendah lagi dibandingkan dengan tingkat pengetahuan mengenai Bahasa Isyarat, menunjukkan masih kurangnya pendidikan dan/atau setidaknya pensosialisasian mengenai Bahasa Isyarat.
Di sisi lain, respon-respon dari para responden menunjukkan bahwa, saat berkomunikasi dengan mereka yang kesulitan pendengaran, baik mereka sendiri juga memiliki gangguan pendengaran maupun tidak, sudah menggunakan sarana komunikasi alternatif untuk berkomunikasi selain via auditorial verbal, walaupun masih belum terlalu efektif dan masih merepotkan kedua-belah pihak.
Terakhir, mayoritas responden menunjukkan ketertarikan, baik hanya karena penasaran maupun dengan niatan penuh untuk berkomunikasi dengan mereka yang kesulitan pendengaran, untuk mempelajari Bahasa Isyarat. Bersamaan dengan kesimpulan lain di atas, maka dapat ditarik kesimpulan secara keseluruhan bahwa masyarakat Indonesia masih membutuhkan dan juga tertarik pada pembelajaran dan penyebarluasan Bahasa Isyarat.
3.1.3. Studi Eksisting
Studi eksisting dilakukan untuk mendapat kerangka acuan mengenai bagaimanakah karya-karya sejenis yang sudah ada terlebih dahulu, yang menggunakan medium
52
yang sama atau serupa, dan juga mengangkat subyek pembahasan yang sama, mencapai tujuan perancangannya. Karya-karya yang menjadi bahan studi eksisting dalam perancangan ini adalah:
3.1.3.1. “Signlence”
Gambar 3.4. Board Game “Signlence”
(https://ifworlddesignguide.com/entry/265822-sign-lence)
“Signlence” adalah sebuah board game edukasional karya Artipon Deewongkij dari Chulalongkorn University yang bertujuan untuk mengenalkan & mengajarkan Thai Sign Language atau Bahasa Isyarat Thailand kepada masyarakat awam Thailand yang membutuhkan Bahasa Isyarat untuk berkomunikasi dengan kerabat Tuli, juga kepada yang sekedar tertarik terhadap Bahasa Isyarat Thailand.
53
Penulis mengambil karya ini sebagai studi eksisting dengan alasan bahwa “Signlence” adalah sebuah karya yang sangat mendekati visi penulis sendiri saat mengagaskan perancangan, baik dari segi subjek/tema, cakupan materi dan tujuan.
Dalam “Signlence” para pemain akan saling berlomba baik untuk memperagakan isyarat yang benar dari kata-kata yang diberikan dengan pemain lain sebagai “hakim” benar salahnya jawaban pemain terhadap soal kata yang didapatnya. Juga berlomba dalam real-time untuk menepok dan mengklaim kartu isyarat yang sesuai dengan kata yang diberikan sebagai target semua pemain.
Penulis kemudian melakukan analisis SWOT (Strenghts, Weaknesses, Opportunities & Threats) terhadap karya ini:
1. Strengths:
a. Visual yang simpel namun menarik, informatif dan membantu gameplay.
b. Implementasi theme/subject tidak sekedar “hiasan”, tetapi juga menyatu erat dengan gameplay permainan.
2. Weaknesses:
a. Dokumentasi dan publikasi yang kurang baik.
54
b. Walaupun di poin strength, disebutkan bahwa theme nya ter- implementasi baik dengan gameplay, namun masih ada bagian gameplay yang tidak terintegrasi baik dengan theme- nya, membuat fokus dan pembawaan subjek menjadi kurang baik.
3. Opportunities:
a. Subjek yang masih jarang ada diangkat dalam pasaran mediumnya (Board Game), membuatnya memiliki nilai keunikan lebih.
b. Terbuka peluang untuk membuat karya dengan subjek bahasan serupa (Bahasa Isyarat lainnya) menggunakan framework gameplay dari game ini.
4. Threats:
a. Tidak ada.
Untuk kepentingan perancangan, penulis sendiri mendapatkan poin- poin utama sebagaimana berikut:
1. Edutainment tidak dapat berat sebelah, diperlukan keseimbangan antara fun untuk menjalankan fungsinya sebagai entertainment dengan education untuk menjalankan fungsinya sebagai educational.
55
2. Unsur kompetitif antar pemain dalam permainan agar permainan semakin engaging dan memiliki replayability karena unsur sosialnya, yakni bermain berlawan dengan pemain lain.
3. Sistem mekanik permainan pengecekan jawaban pemain oleh pemain-pemain lainnya. Inkorporasi sistim mekanik permainan seperti ini memiliki 2 fungsi sekaligus. Pertama yakni membuat permainan menjadi engaging dengan memberikan ketegangan saat pemain harus menjawab soal yang diberikan, juga saat pemain lain mengecek jawaban akan membuat para pemain lain tetap engaged walaupun bukan gilirannya. Kedua, yakni mendukung retensi materi yakni Bahasa Isyarat kepada para pemainnya, baik yang menjawab maupun mengecek, karena tidak hanya pemain yang menjawab harus mengetahui Isyarat yang benar untuk mendekati kemenangan, tetapi pemain lainnya yang mengecek juga harus mengecek jawaban Isyarat dengan artinya tersebut dengan benar.
56
3.1.3.2. “Kartu Membaca & Belajar Bahasa Isyarat”
Gambar 3.5. “Kartu Membaca & Belajar Bahasa Isyarat”
(https://ecs7.tokopedia.net/img/cache/700/product-1/2017/5/31/15561688/15561688_ab203d66- 0646-44f1-87f0-7410cfc483c1_2048_0.jpg)
“Kartu Membaca & Belajar Bahasa Isyarat” adalah sebuah alat bantu pembelajaran berupa flash cards yang dibuat oleh Fabian Jenahara dan dipublikasikan oleh Loveable Media. Alat bantu pembelajaran ini diperuntukkan kepada bayi usia 2 bulan keatas guna mengajarkan mereka fasih menggunakan Bahasa Isyarat dasar yang umum digunakan sehari-hari dari usia dini.
Penggunaan media flash cards yaitu dengan mengajarkan kata-kata baru setiap harinya untuk memperluas vokabulari anak. Bahasa Isyarat yang digunakan diklasifikasikan ke dalam kategori-kategori untuk mempermudah proses pembelajaran. Orangtua sebagai pengajar juga dianjurkan untuk membiasakan berkomunikasi dengan anak-anak
57
menggunakan Bahasa Isyarat yang sudah dipelajari untuk menguatkan vokabulari anak dalam kehidupan sehari-hari.
Sayangnya, setelah penulis berkonsultasi kepada narasumber advokat Bahasa Isyarat, ditemukanlah kekurangan besar pada karya ini, yaitu bahwa kosakata yang digunakan di dalamnya masihlah kacau, dimana kata-kata yang digunakan masih tercampur antara berbagai Bahasa Isyarat, di antaranya BISINDO, SIBI & ASL.
Penulis juga melakukan analisis SWOT terhadap karya ini:
1. Strengths:
a. Penggunaan media flash cards yang terbukti efektif sebagai metode pembelajaran terhadap usia dini.
b. Kategorisasi per-jenis materi, memudahkan pengguna dengan membuat pembelajaran lebih mudah ter-fokus dan membuat alur pembelajaran implisit yang bisa dipilih sesuai keinginan pengguna.
2. Weaknesses:
a. Setelah konsultasi dengan pengguna & advokat BISINDO (narasumber Isro Ayu). Ditemukan bahwa materi yang dibawakan dalam produk ini memiliki banyak kesalahan.
Yakni bahasa isyarat yang digunakan bercampur-campur,
58
pada kasus ini ditemukan SIBI, BISINDO & ASL. Juga terdapat beberapa isyarat dan arti yang salah sama sekali.
b. Tidak terlihat pertimbangan dari sisi visual sama sekali, baik dari ilustrasi maupun pemilihan warna yang tidak menarik dan tidak konsisten. Maupun dari
3. Opportunities:
a. Perbaikan kesalahan materi, baik dari cakupan (tidak mencampurkan Bahasa Isyarat yang berbeda-beda), maupun kesalahan antara Isyarat dengan artinya.
b. Pengembangan karya dengan penambahan kategori subjek berserta isinya.
4. Threats:
a. Mudah disingkirkan oleh kompetitor karena kualitas produk yang secara keseluruhan rendah.
Penulis mengambil inspirasi dari media ini berupa:
1. Tampilan fisik flash cards, di mana di sisi depan diberikan diagram gerakan dan/atau bentuk tangan yang digunakan untuk mengatakan suatu kata, kemudian di sisi belakang kartu tertera gambar serta kata apa yang diucapkan saat itu. Hal tersebut guna memperkuat koneksi antara kata yang dipergunakan dengan pesan yang dimaksud.
59
2. Pengklasifikasian kartu berdasarkan jenis-jenis kata, yang juga diurutkan berdasarkan anjuran urutan dipelajari.
3.1.4. Bagan Skema Perancangan
Tabel 3.2. Bagan Skema Perancangan
3.2. Metodologi Perancangan
Metodologi perancangan yang digunakan dalam perancangan ini adalah metode Game Design oleh Selinker (2011) dalam bukunya “The Kobold Guide to Board Game Design” dengan tahapan-tahapan berikut ini:
60 3.2.1. Concepting
Tahapan ideasi sebuah game adalah untuk mendapatkan idea yang mencakup gambaran: Seperti apa game yang ingin dan akan kita buat, untuk siapa game ini dibuat, dan kesan apa yang ingin ditimbulkan dari game tersebut. Idea adalah tulang punggung dari sebuah game. Tanpa Idea, sebuah game tidak akan punya fokus dan tujuan, yang akan mengakibatkan ketidakjelasan fungsi dan tujuannya.
3.2.1.1. Mind Mapping
Penulis memulai tahapan proses desain dari menganalisa lebih mendalam subjek dari game, yakni BISINDO dengan metode mind mapping. Dari analisa ulang mind mapping tersebut penulis mendapatkan poin-poin berikut:
61
Gambar 3.6. Mind Mapping Perancangan
1. Subjek berupa bahasa, maka diperlukan belajar kosa kata di dalamnya terlebih dahulu sebelum individu dapat menyusun kata-kata.
a. Mempelajari kosa kata berarti menghafal kata-kata di dalamnya dan arti dari kata-kata tersebut. Berarti diperlukan penguatan penghubungan antara kata-kata dengan artinya masing-masing.
2. Dibutuhkan sistem “ujian” yang menguji retensi materi dalam game.
3. Walaupun perancangan game ini memiliki tujuan sebagai media pengenalan dan menarik pemain terhadap BISINDO, tidak dapat melupakan intinya sebagai game, harus tetap memerhatikan unsur fun.
Karena itu untuk menggabungkan fun dengan pemenuhan tujuan maka:
a. Memberikan unsur kompetitif antar pemain, agar pemain merasakan dorongan untuk bermain (dan belajar) dengan lebih baik.
b. Implementasi risk-reward, untuk menaikkan ketegangan dalam diri pemain, membuat pemain tidak berbuat sembarangan/membabi- buta karena akan menyebabkan kekalahan.
i. Positive reinforcement, melanjutkan dari di atas, game harus bisa membuat pemain “ketagihan” dengan reward yang didapat dari usahanya, sehingga tidak selalu bermain aman karena menghindari risk.
62
c. Membuat game replayable, karena materi yang ingin diberikan dalam game tidak sedikit, sangat mungkin tidak cukup hanya dalam satu kali permainan. Dibutuhkan game yang tidak hanya bisa tetapi juga menarik untuk dimainkan berulang-ulang.
i. Berhubungan erat dengan replayability, randomness &
variability dalam game menjaga agar permainan tidak selalu sama dan akhirnya monoton saat dimainkan berulang-ulang, sehingga akhirnya tetap menarik untuk dimainkan kembali.
d. Karena salah satu titik fokus utama game ini adalah sebagai media pembelajaran awal. Sebaiknya dibuat difficulty curve yang “lembut”
agar tidak “menakuti” pemain.
e. Perlu ditetapkan balance antara mekanik serta tema. Dengan memikirkan tujuan serta “keinginan” dari ide awal maka ditetapkan untuk fokus kepada mekanik-mekaniknya, dengan integrasi unsur tematis minimal atau bahkan non-eksisten, guna menjalankan fungsi yang dimaksud yakni sebagai media pengenalan serta pembelajaran subjek.
Sehubungan dengan itu, sebagai tulang punggung perancangan.
Ditetapkan Big Idea berupa: Komunikatif, inklusif & edukatif. Kemudian sesuai latar belakang dari perancangan ini, yaitu bahwa dibutuhkannya sarana penyebarluasan dan edukasi mengenai Bahasa Isyarat BISINDO kepada masyarakat awam, muncullah ide perancangan yakni membuat
63
sarana edukatif & menyenangkan untuk mengenalkan masyarakat kepada BISINDO. Kemudian dengan brainstorming lebih jauh, ditetapkan konsep perancangan yakni mengenalkan BISINDO lewat medium board game melalui experiential learning & mnemonics.
3.2.2. Design
Tahapan di mana idea dari game dirancang untuk menjadi sebuah rancangan produk nyata, alias membuat blueprint dari game. Dalam tahapan design poin-poin penting yang harus diperhatikan adalah:
1. Themes vs. Mechanics. Setelah idea untuk sebuah board game ditetapkan.
Perlu ditentukan apakah sebuah game akan memiliki fokus terhadap themes-nya, di mana mechanics dibuat sebagai pengandaian dari theme yang diangkat. Atau fokus kepada mechanics-nya, di mana themes dalam game adalah alat justifikasi mechanics di dalamnya.
2. Pacing. Alur jalannya sebuah game. Sama seperti film, game juga memiliki alur pengalaman ketegangan dan drama yang dialami pemainnya, yang akan menentukan secara garis besar pengalaman yang diberikan kepada pemainnya. Pacing dari game dapat disimplikasikan menjadi 3 babak, yaitu:
a. Setup, babak pengenalan pemain terhadap game, dimana pemain belajar aturan serta mekanik di dalamnya, serta mulai terjun ke dalam dunia dalam game.
b. Gameplay, setelah pemain telah mengenal game dan immersed dalam game serta dapat memainkan dengan lancar, maka fokus akan beralih
64
kepada konflik pemain terhadap baik mekanik-mekanik dalam game tersebut maupun dengan pemain lain..
c. Endgame. Babak akhir permainan, dimana game memasuki titik puncak dan pada akhirnya pemenang ditentukan.
3. Reality check, alias mengevaluasi kembali secara pragmatis. Apakah cakupan projek realistis untuk dikerjakan dengan waktu dan sumber daya yang dimiliki?
3.2.2.1. Perancangan
Dengan memerhatikan poin-poin hasil mind mapping dan brainstorming di atas, penulis kemudian membangun rancangan awal game. Rancangan awal game tersebut adalah sebagaimana berikut:
1. Aturan & Mekanik Game
a. Overview & goal: Permainan ini dapat dimainkan hingga 4 pemain. Setiap giliran, pemain akan mendapatkan kartu petunjuk yang berisikan Bahasa Isyarat dan petunjuk mengenai artinya yang harus dimengerti dan dihafalkan pemain. Para pemain akan berusaha mencapai goal di board terlebih dahulu dengan cara menjawab soal yang muncul dengan benar untuk maju.
b. Mekanik & komponen utama adalah “Kartu Petunjuk” (hint system) yang akan di ambil pemain setiap kali memulai gilirannya, berupa kartu-kartu yang berisikan Bahasa Isyarat
65
untuk pemain mengerti dan hafalkan agar dapat menjawab soal yang muncul nantinya.
c. Dalam tiap kartu petunjuk akan dimasukkan mekanik riddle atau teka-teki di kartu petunjuk, terinspirasi dari konsep mnemonic learning. Dimana pemain saat mendapatkan kartu petunjuk tidak akan langsung mengetahui artinya tetapi akan mendapatkan petunjuk berupa asal-muasal terbentuknya Bahasa Isyarat tersebut.
d. Mekanik dan komponen utama lainnya adalah sistim challenge yang terdapat di komponen “Kartu Tantangan”, dimana pemain akan diberikan soal dari dek tantangan berupa sejumlah kartu tantangan, dan pemain yang mendapat tantangan tersebut memiliki kesempatan untuk menjawab.
i. Jika pemain menjawab dengan benar maka pemain tersebut akan maju dan semakin dekat dengan kemenangan. Jika salah maka pemain tidak akan maju dan tidak mendekati
kemenangan pula. Untuk mekanik pengecekan jawaban ini, pemain yang giliran sebelumnya pemain yang sedang
mendapatkan soal, bertindak sebagai penguji untuk mengecek jawaban.
ii. Tantangan dibuat memiliki 3 tingkat kesulitan, yang semakin berjalannya permainan tingkat kesulitan yang lebih tinggi akan semakin sering muncul:
66
1. Kesulitan mudah, 1 soal/kartu tantangan.
2. Kesulitan menengah, 2 soal/kartu tantangan.
3. Kesulitan tinggi, 3 soal/kartu tantangan.
e. Dua tingkat kesulitan permainan yang bisa dipilih tergantung kemampuan atau keinginan pemain:
i. Tingkat 1 : Huruf.
ii. Tingkat 2 : Kata.
f. Diberikan kamus berisikan semua Bahasa Isyarat di dalam game sebagai referensi untuk pemain sekaligus bonus untuk pemain yang ingin belajar sendiri.
g. Memiliki theme melalui latar belakang yang yang tidak krusial untuk berlangsungnya permainan tetapi berfungsi memberikan pemain-pemain motivasi dan rasa imersifitas tambahan kepada permainan. Latar belakang tersebut disampaikan lewat cerita sebagaimana berikut:
“Kamu dan teman-temanmu, sekelompok petualang, mendengar gosip bahwa ada harta karun di sebuah hutan di Batavia. Dalam risetmu mengenai harta karun tersebut kamu mendapatkan lokasinya tetapi harta itu dijaga oleh seekor harimau galak yang selalu tertidur tetapi akan memakanmu dalam sekejap jika keberadaanmu menganggunya, legenda mengatakan
67
majikannya terdahulu dapat menenangkan sang harimau galak dengan menggunakan sebuah bahasa tanpa suara. Dengan bekal keberanian dan semangat belajar, apakah kamu bisa menjinakkan si harimau galak dan mendapatkan harta tersebut!?”
2. Game Flow
Tabel 3.3. Flowchart Gameplay 3. Komponen-Komponen
68
Setelah mekanik dan aturan permainan ditetapkan, dirancanglah komponen-komponen yang diperlukan untuk memainkan permainan.
Komponen-komponen tersebut adalah:
1. Kartu Petunjuk.
Kartu petunjuk adalah kartu berisikan ilustrasi Bahasa Isyarat (berupa gambaran pose jari-jari dan posisi serta bentuk tangan dan pergerakannya.). Kartu didesain menggunakan acuan ukuran kartu remi/poker dengan ukuran lebar 64mm dan tinggi 89mm, agar mudah digenggam di tangan dalam jumlah banyak.
Gambar 3.7. Visualisasi Kartu Petunjuk Dengan Ilustrasi Bahasa Isyarat dengan Teka- Tekinya
(Diadaptasi dari “Bahasa Isyarat Jakarta”)
Selain ilustrasi Bahasa Isyarat, kartu petunjuk juga mempunyai teks berisikan teka-teki yang harus dipecahkan pemain untuk mendapatkan arti dari Bahasa Isyarat yang tergambarkan. Teka- teki teka-teki tersebut, dimana dapat dilakukan, dibuat berdasarkan asal muasal terbentuknya Bahasa Isyarat tersebut dan/atau bentuk dari isyarat itu sendiri.
69
Teka-teki teka-teki tersebut terinspirasi oleh konsep mnemonic learning yaitu penggunaan mnemonik atau alat bantu pengingat berupa pembentukan koneksi tambahan suatu konsep dan/atau objek di dalam ingatan, sehingga terbuka lebih banyak jalur darimana seorang individu dapat mengambil ingatan yang diperlukan, yang secara konsekuen membuat kemampuan mengingat dan retensi materi yang dipelajari meningkat.
Kartu petunjuk dibagi ke dalam 2 kategori besar sesuai tingkat kesulitan yang ada dalam permainan, yaitu “Huruf” dan “Kata”, setelah pemilihan dan penyortiran kembali menggunakan kamus BISINDO, berikut adalah 26 isyarat “Huruf” dan 36 isyarat “Kata”
yang dimasukkan ke dalam cakupan permainan beserta teka-tekinya masing-masing:
Tabel 3.4. Daftar Bahasa Isyarat BISINDO yang Terdapat Dalam Permainan
HURUF
Teka-teki Isyarat
Segitiga dengan dua kaki A
Huruf dengan dua kantung B
Lingkaran terbuka C
Setengah lingkaran D
Ujung garpu E
70
Tiang dengan dua bender F
Simbol hitungan berat G
Dua menara dengan jembatan di tengahnya
H
Berdiri tegak I
Kait ikan J
Huruf dengan 2 ranting K
Huruf seperti ujung kotak L
Huruf dengan 3 kaki M
Setelah 3 kaki, 2 kaki N
Huruf berbentuk lingkaran sempurna O
Huruf dengan satu kantung P
Huruf dengan ekor kecil Q
Huruf yang bergetar R
Huruf seperti ular S
Tiang listrik T
Mangkuk U
Ujung Jarum V
Huruf berbentuk kumis W
Lawannya lingkaran X
71
Antena Y
Leher angsa Z
Tabel 3.5. Daftar Bahasa Isyarat BISINDO yang Terdapat Dalam Permainan
KATA
Teka-teki Isyarat
Bahasa tanpa suara dengan tangan Isyarat Menggunakan bahasa tanpa suara
dengan tangan
Berisyarat
Diri sendiri secara formal Saya
Tiada suara dapat masuk Tuli
Memberi apresiasi menerima kasih Terima kasih Balasan setelah diberi terima kasih Sama-sama
Memberi pertanyaan Bertanya
Menerima pertanyaan dan membalasnya
Menjawab
Menanyakan proses Bagaimana
Menanyakan tempat Dimana
Menanyakan sebab Mengapa
Menanyakan orang Siapa
Menanyakan waktu Kapan
72
Menanyakan jumlah Berapa
Menanyakan nama sesuatu Apa
Menanyakan arah Kemana
Senang hati, - - - - pada sesuatu Suka
Tidak sakit Sehat
Tidak sehat Sakit
Rasa gembira/ - - - hati Senang
Tidak gembira, hati - - - Sedih
Emosi meluap Marah
Merasa bersalah, memohon - - - - Maaf
Memohon maaf, meminta - - - Ampun
Sampai di sini, telah - - - Datang
Hari sekarang Hari ini
Hari sebelum hari ini Kemarin
Hari setelah hari ini Besok
Di waktu yang akan datang Masa depan
Di waktu yang sudah lewat Masa lalu
Saat matahari terbit Pagi
Saat matahari bersinar terik Siang
Saat matahari mulai redup Sore
73
Saat matahari telah tiada Malam
Saat ini juga Sekarang
Tidak tuli, bisa dengar, orang - - - Normal
2. Kartu Tantangan.
Kartu tantangan adalah tantangan utama yang akan dihadapi para pemain selama jalannya permainan, dimana saat pemain mendarat di zona tantangan di board permainan, pemain akan mendapatkan soal sebanyak kesulitan zona dimana pemain mendarat. Kartu didesain berbentuk dan berukuran sama dengan kartu petunjuk, sesuai standar kartu remi (64mm*89mm)
Gambar 3.8. Visualisasi Kartu Tantangan “Huruf” dengan Sisi Soal/Depan (Kiri) & Sisi Jawaban/Belakang (Kanan)
(Diadaptasi dari “Bahasa Isyarat Jakarta”)
Kartu tantangan didesain dengan 2 sisi. Sisi depan kartu adalah sisi soal berisi arti dari Bahasa Isyarat yang harus pemain isyaratkan
74
untuk menjawab. Sisi belakang kartu sebalikya kartu adalah sisi jawaban berisikan ilustrasi Bahasa Isyarat jawaban dari soal, sama seperti ilustrasi yang terdapat di kartu petunjuk. Karena kartu tantangan menanyakan arti dari Bahasa Isyarat yang diberikan, kartu harus ditumpuk & diletakkan saat mula permainan dengan posisi sisi soal menghadap ke atas, dengan sisi jawaban menghadap ke bawah.
Saat fase pemain mendapatkan tantangan dan harus menjawab soal, pemain yang mendapat giliran tepat sebelum pemain yang mendapatkan soal, bertindak sebagai pengecek benar-tidaknya, pemain yang mengecek tersebut tentu akan mengetahui lengkap isyarat dan artinya. Hal tersebut memang disengaja untuk mempercepat penyerapan semua pemain terhadap materi permainan.
3. Board area permainan.
Area dimana pemain memainkan permainan, board didesain untuk mengikuti tema dari game yang berlatar belakang hutan. Untuk mockup pertama. Untuk level design dari board sendiri didesain seperti berikut:
75
Gambar 3.9. Visualisasi Board Area Bermain Beserta Level Design-nya
Karena setiap memulai giliran, pemain akan mengambil kartu, dibuatlah langkah kosong di awal sebanyak 3 langkah dimana tidak terjadi apa-apa sebagai fase pemanasan, kemudian dilanjutkan tantangan tingkat kesulitan 1/mudah, dan seterusnya berlanjut berseling antara langkah kosong pengumpulan kartu petunjuk.
Difficulty curve didesain menanjak dari mudah hingga sulit dan sangat sulit di akhir dengan ekspetasi pemain dapat menjawab dengan bantuan petunjuk yang didapatkan selama bermain, atau kalah karena tidak dapat mencerna informasi yang didapat selama bermain dengan baik.
4. Pion pemain.
Pion pemain digunakan sebagai pengindikator posisi pemain relatif terhadap penyelesaian game dan pencapaian pemain lainnya. Juga diberikan penanda berupa potret karakter yang diletakkan di depan pemain sebagai pengingat pion mana dimiliki pemain mana.
Gambar 3.10. Visualisasi 4 Pion Pemain yang Berkorespondensi dengan Potret Penanda Identitas Pemain
76
(Diadaptasi dari Ferrin, K. (2018). Ilustrasi karakter Root)
Gambar 3.11. Visualisasi 4 Potret Karakter yang Berkorespondesi dengan Pion-Pion Pemain
(Diadaptasi dari Ferrin, K. (2018). Ilustrasi karakter Root)
5. Kamus pendek BISINDO.
Diberikan kamus berisikan semua Bahasa Isyarat di dalam game berserta artinya sebagai referensi untuk pemain sekaligus bonus untuk pemain yang ingin belajar sendiri.
6. RuleBook
Berisikan introduksi singkat kepada permainan, panduan untuk memainkan game secara detil, juga daftar kelengkapan komponen- komponen yang terdapat dalam game.
3.2.2.2. Mockup
Desain yang telah disusun dari proses brainstorming kemudian dibuat mockup-nya, untuk mengujicobakan rancangan game melalui playtest dan juga mendapatkan feedback mengenainya. Mengingat mockup memiliki fungsi hanya sebagai proof-of-concept, penulis memilih menggunakan
77
media cetak kertas hvs sederhana sebagai bahan fisik game. Berikut adalah dokumentasi dari mockup yang dibuat dan kemudian digunakan:
Gambar 3.12. Mockup Board dari Game
Gambar 3.13. Mockup Kartu Petunjuk “Huruf & Angka” Berisikan Bahasa Isyarat berserta Contoh Teka-Tekinya
78
Gambar 3.14. Mockup Kartu Tantangan “Huruf & Angka” Berisi Soal Bahasa Isyarat di Muka Kartu (Kiri) Berserta Jawaban Berupa Artinya di Belakang Kartu (Kanan)
Gambar 3.15. Mockup Kartu Petunjuk “Kata-kata”
Gambar 3.16. Mockup Kartu Tantangan “Kata-kata”
79 3.2.3. Development
Dalam tahapan ini hasil desain yang dibuat dalam proses design disempurnakan.
Langkah dan poin penting dalam proses development adalah:
1. Balancing. Semua game pasti memiliki unsur kompetitif, bahkan dalam permainan untuk satu pemain sekalipun (di mana pemain justru berkompetisi langsung dengan mechanics dari game.). Tanpa unsur kompetitif, sebuah game tidak akan terasa menyenangkan karena tidak menawarkan tantangan yang dapat dimenangkan dalam jangka singkat/gratifikasi instan. Karena itulah dibutuhkan balancing untuk menjaga dan menyesuaikan balance dari game tetap kompetitif tanpa menjadi terlalu mudah maupun terlalu sulit.
2. Playtesting. Suatu game, fungsi utamanya adalah untuk dimainkan khalayak orang. Karena itu, dibutuhkanlah input data hasil feedback dari ujicoba dimainkannya game untuk menyempurnakan sebuah game: Menemukan kekurangan yang terlewatkan oleh developer, menguji efektivitas dan pemenuhan tujuan dari game, dll.
3. Iteration. Setelah didapatkan data mengenai kekurangan dari sebuah game, apa saja yang kurang sempurna, dan apa saja yang dapat dibuat lebih baik lagi. Proses iteration terjadi, di mana data tersebut digunakan untuk membuat versi baru dari game yang kekurangannya sudah diperbaiki dan kelebihannya, diperkuat.
4. Redesign/Rewrite. Berbeda dari iteration, di mana idea yang sudah ada disempurnakan. Tahap ini justru mengganti total, tidak hanya sekedar
80
menghapus ketidaksempurnaan, sebuah idea. Tahap ini hanya perlu dilakukan apabila setelah tahap iteration, suatu idea tetap gagal memuaskan standar minimal yang diinginkan dan/atau dibutuhkan sebuah proyek game.
3.2.3.1. Changes
Dengan memerhatikan poin-poin di atas, maka proses perancangan dilanjutkan dengan melakukan ujicoba playtest, penyeimbangan balancing, penyesuaian, pengiterasian iterations dan desain ulang redesigns dari game ini. Perubahan-perubahan yang dilakukan kemudian berdasarkan feedback yang didapat adalah sebagai berikut secara urut kronologis dimulai dari perubahan pertama yang dilakukan:
1. Membuat sistem dikejar dari belakang sebagai mekanik time limit, mencegah permainan menjadi terlalu lama, dan mendorong pemain untuk meningkatkan performa bermainnya, yang secara konsekuen juga meningkatkan performa pembelajaran pemain tersebut.
2. Memasukkan sistem pertukaran kartu petunjuk (mekanik information sharing & exchange) sebagai satu lagi sarana akselerasi pacing permainan. Dimana pemain dapat memilih untuk menawarkan saling bertukar salah satu kartu petunjuk miliknya kepada pemain lain setelah mengambil kartu petunjuk dari tumpukan.
3. Pemilihan kata dari arti beberapa bahasa isyarat di dalam permainan beserta beberapa teka-teki petunjuknya juga diperbaiki lagi. Dilakukan
81
karena dirasakan ada pemilihan kata dari arti bahasa isyarat dianggap melenceng dari sebenarnya.
4. Level design dirasa kurang variatif, kompleks & engaging. Dibuatlah level design yang baru. Dibanding dengan level design yang lama, level design ini dibuat memiliki beragam jalur yang dapat ditempuh pemain, sehingga permainan tidak terasa terlalu statis lagi.
Gambar 3.17. Mockup Layout Level Design yang Telah Didesain Ulang
5. Penggantian setting latar belakang dari permainan. Desain karakter diubah menjadi tidak antromorphic tetapi manusia walaupun stylized, karena dianggap penggunaan karakter antromorphic akan membuat terjadi disconnect antara pemain dan materi pembelajaran bahasa isyarat yang menggunakan tangan manusia.
82
6. Walaupun sudah lebih baik dari iterasi sebelumnnya, level design yang telah didesain ulang masih dirasa kurang baik. Dilakukan sekali lagi desain ulang level design permainan. Desain kali ini memfokuskan pemerbaikan terhadap aspek risk-reward dan decision making.
Gambar 3.18. Mockup Layout Level Design yang Didesain Ulang Kembali 7. Pengubahan interaksi antara mekanik tukar kartu dengan sistem
pengambilan kartu. Dimana sebelumnya pemain dapat melakukan pertukaran kartu setelah mengambil kartu dari tumpukan. Sekarang pemain tidak bisa melakukan kedua aksi tersebut dalam satu giliran yang sama. Pemain harus memilih salah satu antara mengambil kartu dari tumpukan atau melakukan pertukaran kartu. Perubahan ini
83
ditujukan untuk meningkatkan aspek decision making dari permainan, juga mempercepat jangka waktu permainan walaupun insignifikan.
8. Mengambil ide dari diskusi dengan rekan-rekan penulis, diadakan perombakan total bagian besar dari permainan; yakni dibuangnya board area bermain berserta level design-nya (dengannya juga mekanik time limit). Digantikan dengan sistim rolet. Bersamaan dengan masuknya sistim rolet, goal permainan juga diganti menjadi akumulasi 15 poin, dimana pemain akan mendapatkan poin sesuai tingkat kesulitan tantangan yang didapat.
Perubahan-perubahan dibuat dengan dasar penilaian sistim board area bermain kurang efektif dalam mendukung tujuan edukasi permainan, dimana kebutuhan untuk memikirkan langkah berikutnya kemana pemain melangkah, dianggap berpotensi mengalihkan perhatian pemain terlalu fokus kepada situasi permainan, bukan terhadap pembelajaran bahasa isyarat. Alasan lain adalah sistim rolet dirasa lebih efektif dalam memberikan variasi & engagement saat permainan berlangsung, dikarenakan sistim rolet secara intrinsik membawa unsur randomness dan ketidakpastian.
Bersamaan dengan masuknya sistim rolet, juga dimasukkan mekanik event, yaitu kejadian dalam game yang berbeda dari alur gameplay utama permainan, dengan maksud membuat permainan lebih
84
variatif. Perincian inkorporasi mekanik sistim rolet ke dalam permainan adalah sebagaimana berikut:
a. Rolet didesain distribusi zonanya dengan menghitung rasio peluang yang diinginkan untuk pemain mendarat di masing-masing zona, yang kemudian disesuaikan dan dihitung kembali menjadi rasio derajat lingkaran yang ditempati masing-masing zona. Berikut perincian distribusi 6 jenis zona dalam rolet dengan informasi rasio peluang yang diinginkan:
Tabel 3.6. Perhitungan Rasio Distribusi Zona Rolet & Peluangnya Tipe Zona Derajat Lingkaran Rasio Peluang
Mudah 96° 4/15 (26.67%)
Sedang 64° 8/45 (17.78%)
Sulit 32° 4/45 (8.89%)
Bantuan 56° 7/45 (15.56%)
Curi! 56° 7/45 (15.56%)
Belajar 56° 7/45 (15.56%)
b. Setelah pemain melakukan pengambilan kartu dari tumpukan atau melakukan penukaran kartu. Pemain akan memutar rolet, dimana aksi berikutnya akan ditentukan dari zona apa tempat pemain mendarat. Setiap kali mendarat di zona selain zona tantangan (Zona
“Mudah”, “Sedang” & “Sulit”.) pemain memutar kembali rolet setelah melaksanakan perintah zona tersebut:
85
i. Zona “Mudah” – Pemain mendapat tantangan 1 soal. Jika jawaban benar maka pemain mendapatkan 1 poin. Jika salah giliran berganti ke pemain selanjutnya.
ii. Zona “Sedang” – Pemain mendapat tantangan 2 soal. Jika jawaban benar maka pemain mendapatkan 2 poin. Jika salah giliran berganti ke pemain selanjutnya.
iii. Zona “Sulit” – Pemain mendapat tantangan 3 soal. Jika jawaban benar maka pemain mendapatkan 3 poin. Jika salah giliran berganti ke pemain selanjutnya.
iv. Zona “Bantuan” – Pemain dapat mengurangi 1 kartu dari total soal yang didapat pada giliran ini setiap kali mendarat di zona ini. Jika pemain mendarat di zona jenis ini 3 kali dalam 1 giliran, pemain mendapatkan 3 poin dan permainan berlanjut ke giliran pemain selanjutnya.
v. Zona “ Curi!” – Pemain mengambil 1x poin dari salah satu pemain lain pilihannya.
vi. Zona “Belajar” – Semua pemain mendapatkan kesempatan untuk melihat kamus secara bersamaan dengan waktu 5 detik per pemain yang bermain.
c. Balancing kepada distribusi zona rolet untuk lebih menyempurnakan sistim rolet. Pada revisi ini, zona-zona dalam rolet
86
dipecah menjadi bagian-bagian yang lebih kecil dan disebarkan di sekujur rolet, sehingga menaikkan rasa ketegangan pada pemain, yang akan menaikkan unsur engagement permainan.
Gambar 3.19. Wireframe Rancangan Distribusi Zona Rolet
Total terdapat 20 zona dimana pemain dapat mendarat.
Untuk mengkompensasikan penyebaran tersebut, rasio distribusi tiap jenis zona diatur kembali namun tetap dengan rasio peluang yang mendekati rasio peluang di iterasi sebelumnya. Berikut perincian distribusi zona dalam rolet berserta rasio peluangnya:
Tabel 3.7. Perhitungan Rasio Distribusi Zona Rolet & Peluangnya Setelah Balancing
87 Tipe
Zona
Derajat per-Zona
Jumlah Zona yang ditempati
Total Derajat Lingkaran yang
ditempati
Rasio Peluang
Mudah 18° 6 108° 3/10 (30%)
Sedang 18° 4 72° 1/5 (20%)
Sulit 18° 2 36° 1/10 (10%)
Bantuan 18° 3 54° 3/20 (15%)
Curi! 18° 3 54° 3/20 (15%)
Belajar 18° 2 36° 1/10 (10%)
Setelah semua perubahan dan perbaikan tersebut, perancangan akhirnya dilanjutkan dengan membuat purwarupa game untuk diujicobakan di tahap alpha test.
88
Gambar 3.20. Game Flow Setelah Revisi
89 3.2.4. Presentation
Di mana hasil desain yang telah dibuat dari proses concepting dan design dan juga telah disempurnakan dalam proses development, akhirnya dibuatlah bentuk akhir yang siap pakai dan siap rilis kepada klien dan masyarakat luas. Untuk membuat hasil nyata dari perancangan gameplay maka dibuatlah rulebook yang merupakan bentuk fisik yang dapat dibaca berisikan penjelasan dan perincian dari gameplay itu sendiri.
Sebelum memulai pengerjaan dari rulebook sendiri, penulis melakukan perincian bagian-bagian yang diperlukan dalam suatu rulebook. Untuk itu penulis melakukan studi terhadap 8 rulebook board game. Dari situ didapatkanlah bagian- bagian umum yang selalu dimiliki sebuah rulebook, yakni:
1. Introduksi permainan, berisikan backstory, setting, serta summary singkat dari permainan.
2. Perincian jumlah, wujud, dan nama-nama komponen-komponen yang terdapat dalam permainan.
3. Penjelasan komponen-komponen yang memiliki detail-detail tersendiri didalamnya dan membutuhkan penjelasan lebih (contohnya bagian-bagian dari sebuah kartu dan cara membacanya).
4. Panduan mempersiapkan permainan, termasuk persiapan area permainan dan pembagian peran serta komponen-komponen kepada setiap pemain.
90
5. Cara memainkan permainan, dengan penjelasan step-by-step, termasuk kondisi kemenangan dan/atau kekalahan dari permainan.
6. Bagian penjelasan lebih, dapat berbentuk Frequently Asked Questions (FAQ), atau Glossary, penjelasan istilah-istilah tersendiri dari permainan, juga dapat berbentuk Detailed Explanations, yakni penjelasan langsung terhadap mekanik permainan yang terlalu kompleks untuk langsung dimasukkan ke dalam bagian cara bermain utama. Bagian ini dapat dipakai ataupun tidak tergantung kebutuhan dari rulebook dan game tersebut sendiri.
Dengan melihat bagian-bagian penting dari sebuah rulebook tersebut, penulis kemudian memilih untuk menyusun rulebook permainan menjadi bagian- bagian berikut:
1. Introduksi.
2. Perincian komponen dalam permainan.
3. Penjelasan lebih terhadap komponen yang membutuhkan.
4. Panduan mempersiapkan permainan.
5. Cara memainkan permainan.
Proses desain rulebook kemudian dilanjutkan dengan menentukan format fisiknya, agar rulebook dapat mudah disimpan di dalam packaging produk nantinya, tetapi nyaman dibaca dan dipergunakan, ditetapkanlah ukuran rulebook
91
seukuran kertas A5 landscape, yakni dengan tinggi 14.85cm dan lebar 21cm, juga karena harus memuat informasi yang banyak, tidak memungkinkan dimuat hanya dalam satu halaman, rulebook dibuat dalam format booklet.
Setelah format fisik kemudian perlu ditentukan desain keseluruhan dari rulebook agar konsisten. Sebagai salah satu bagian dari sebuah produk utuh maka diperlukan keselarasan dan konsistensi gaya visual dengan bagian-bagian lainnya dari produknya. Untuk itu penulis mengambil langsung color scheme dari artstyle pada Kartu Petunjuk, dengan warna utama yakni biru terang (cyan) dan oranye kekuningan. Untuk font, karena harus memuat informasi yang lebih banyak dan padat dibandingkan pada kartu, untuk body text maka dipilih menggunakan font
“Helvetica Rounded” karena memiliki readability & legibility yang lebih tinggi tetapi masih menyatu dan tidak melawan gaya visual dari produk utuh. Untuk ukuran point dari body text ditetapkan yakni 12pt.
Penulis kemudian mulai mendesain rulebook. Proses desain dimulai dari cover booklet rulebook. Desain cover dibuat simpel dan fungsional dengan hanya logo dari game dan tulisan “Cara Bermain” agar pengguna tidak kebingungan untuk mencari tahu kemana harus mencari penjelasan mengenai permainan. Di balik cover kemudian diselipkan nama pembuatnya yakni penulis dan juga rekan penulis.
92
Gambar 3.21. Halaman cover depan (kiri) dan cover belakang (kanan) rulebook Setelah cover kemudian dibuat halaman berisikan pengenalan singkat terhadap permainan agar pemain lebih mengerti mengenai permainan dan juga menjadi lebih engaged. Pada halaman ini karena tidak mengandung informasi yang terlalu penting maka penulis menaruh ilustrasi-ilustrasi untuk menambahkan visual interest.
Gambar 3.22. Halaman introduksi
Rulebook dilanjutkan dengan halaman perincian komponen-komponen dalam permainan, agar lebih enak & mudah terbaca, Penulisan macam-macam dan jumlah komponen dibagi-bagi berdasarkan kategori fungsi masing-masing, dengan komponen-komponen yang memiliki fungsi atau isi konten serupa, ditaruh
93
berdekatan, sedangkan antara masing-masing kategori komponen diberikan spasi lebih agar terlihat jelas pengelompokan dan pemisahannya.
Gambar 3.23. Halaman perincian komponen-komponen permainan
Setelah perincian komponen kemudian dilanjutkan dengan halaman penjelasan lebih komponen, pada halaman ini dijelaskan anatomi dari komponen yang membutuhkan penjelasan lebih yakni Kartu Petunjuk & Kartu Tantangan.
Halaman ini menjelaskan nama dan fungsi dari bagian-bagian pada komponen- komponen tersebut.
Gambar 3.24. Halaman penjelasan lebih komponen
Proses desain rulebook kemudian dilanjutkan dengan penjelasan set-up (persiapan). Selain perintah langkah-langkah yang harus dijalankan sebelum
94
bermain agar permainan bisa berjalan. Disini juga memuat diagram peletakan (yang direkomendasikan) masing-masing komponen permainan di atas bidang tempat bermain.
Gambar 3.25. Halaman panduan persiapan bermain
Setelah itu, barulah bagian utama dan terpenting dari rulebook yakni penjelasan cara bermain dibuat. Bagian ini memuat text yang sangat banyak, yang menjelaskan langkah-langkah yang ditempuh dalam permainan secara rinci.
Sehingga tidak ditaruh visual selain background untuk memaksimalkan space.
Untuk teks tersebut sendiri dibuat serinci mungkin dengan keyword-keyword penting dalam permainan, yang biasanya merujuk pada kondisi tertentu atau komponen tertentu dalam permaian, di-highlight dengan warna yang merepresentasikan komponen atau kondisi tersebut.
95
Gambar 3.26. Halaman panduan memainkan permainan
Setelah Alpha Test, dengan menganalisa hasil respon feedback yang didapat, penulis kemudian melakukan perbaikan dan desain ulang terhadap rulebook untuk membuatnya menjadi lebih menarik dan mudah dipergunakan, juga untuk memasukkan kembali desain komponen-komponen yang telah diperbaharui.
Perbaikan-perbaikan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Penyusunan ulang susunan halaman-halaman rulebook agar menjadi lebih efisien.
2. Menambahkan gambar-gambar komponen pada bagian perincian komponen untuk memudahkan identifikasi komponen.
96
Gambar 3.27. Desain Final Halaman Perincian Komponen
3. Menggabungkan bagian penjelasan lebih komponen menjadi satu halaman, serta perombakan ulang penjelasan-penjelasan komponen tersebut.
Gambar 3.28. Desain Final Halaman Penjelasan Lebih Komponen
4. Mengganti diagram persiapan area bermain dan peletakan komponen-komponen menjadi menggunakan aset-aset dari permainan agar lebih mudah dibaca pemain.
Gambar 3.29. Desain Final Halaman Persiapan Permainan
97
5. Penulisan dan penyusunan ulang panduan cara memainkan permainan untuk meningkatkan kemudahan pembaca.
Gambar 3.30. Desain Final Halaman Panduan Memainkan Permainan
6. Menambahkan bagian Frequently Asked Questions untuk memberikan penjelasan lebih terhadap peraturan permainan yang mungkin menimbulkan pertanyaan.
Gambar 3.31. Desain Final Halaman FAQs