• Tidak ada hasil yang ditemukan

KENDALA-KENDALA MORFOFONEMIK LEVEL AFIKSASI BAHASA INDONESIA: SEBUAH KAJIAN MORFOLOGI STRUKTURAL - Repository UNRAM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "KENDALA-KENDALA MORFOFONEMIK LEVEL AFIKSASI BAHASA INDONESIA: SEBUAH KAJIAN MORFOLOGI STRUKTURAL - Repository UNRAM"

Copied!
101
0
0

Teks penuh

(1)

i KENDALA-KENDALA MORFOFONEMIK LEVEL AFIKSASI BAHASA

INDONESIA: SEBUAH KAJIAN MORFOLOGI STRUKTURAL

SKRIPSI

Diajukan sebagai Persyaratan dalam Penyelesaian Program Sarjana (S-1) PendidikanBahasa, Sastra Indonesia, dan Daerah

Oleh

RATNATUL FAIZAH E1C 010 027

UNIVERSITAS MATARAM

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA,SASTRA INDONESIA, DAN DAERAH

(2)

ii DEPARTEMEN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

UNIVERSITAS MATARAM

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN Jl. Majapahit No. 62 Telp.(0370) 623873 Fax. 634918 Mataram

NTB. 83125

HALAMAN PERSETUJUAN

Judul

KENDALA-KENDALA MORFOFONEMIK LEVEL AFIKSASI BAHASA INDONESIA: SEBUAH KAJIAN MORFOLOGI

STRUKTURAL

Telah disetujui pada tanggal November 2014

Pembimbing I,

Dr.H.Muhammad Sukri,M.Hum NIP.197512312002121001

Pembimbing II,

RatnaYulidaAshary, M.Hum NIP.198108012009122002

Mengetahui, Ketua Jurusan PBSID

(3)

iii DEPARTEMEN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

UNIVERSITAS MATARAM

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN Jl. Majapahit No. 62 Telp.(0370) 623873 Fax. 634918 Mataram

NTB. 83125

HALAMAN PENGESAHAN

Skripsiberjudul :KENDALA-KENDALA MORFOFONEMIK LEVEL AFIKSASI BAHASA INDONESIA: SEBUAH KAJIAN MORFOLOGI STRUKTURAL

Telah diuji dan dipertahankan di depan Panitia Ujian Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

Universitas Mataram Pada tanggal, November 2014 Ketua : Dr.H.Muhammad Sukri,M.Hum

NIP.197512312002121001 (………)

Anggota : RatnaYulidaAshary, M.Hum

NIP.198108012009122002 (………)

Anggota : Dra. SyamsinasJafar, M.Hum

NIP. 195912311986093001 (………)

Mengetahui,

Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Mataram

Dr. H. Wildan, M.Pd

(4)

iv MOTTO DAN PERSEMBAHAN

MOTTO : “be my self” and “never give up”. Sesungguhnya Allah SWT lebih mengerti dari siapapun dengan memberikan apa yang kita butuhkan bukan yang kita inginkan

PERSEMBAHAN :

Skripsi ini merupakan bentuk apresiasi terhadap pihak-pihak yang telah banyak memotivasi selama ini. Oleh karena itu dengan segala ketulusan hati skripsi ini kuperseembahkan untuk :

1. Ibu dan Bapakku tercinta (Ripdah dan Ripa’ah) terimakasih yang tak terhingga telah menjadi motivasi terbesar dalam hidupku, dan atas segala pengorbanan serta kasih sayang kalian yang tiada henti,

2. Kakakku Fahrurozy dan adikku Triyatmi terimakasih telah memberikan dukungan dan bantuan kalian dalam menyelesaikan skripsi ini,

3. Keluraga besarku terima kasih masih menungguku sampai sekarang. Paman dan bibiku sekeluarga, sepupu-sepupuku dan kelurga-keluargaku yang lain yang tidak bisa aku sebut satu persatu (Aku bangga bisa lahir dan besar di tengah-tengah kalian),

4. Sahabat ‘RISU’ ( Ratna, Irni, Santi, Us) yang selalu menemaniku dengan tingkah aneh kalian,

(5)

v 6. Seseorang yang telah menjadi sahabat terbaik yang selalu setia di sampingku, yang selalu sabar menghadapi ego-egoku, selalu perhatian dan mau mengalah demi aku,

7. Rekan-rekan UKMF Olahraga FKIP UNRAM yang telah memberikanku pengetahuan berorganisasi serta makna kebersamaan dalam perbedaan yang membuat kita selalu bahagia,

8. Teman-teman Bastrindo 2010, PPL SMAN 1 Narmada, dan KKN Toya Aikmel yang telah mengajariku perbedaan dalam persatuan,

(6)

vi KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur dipanjatkan kehadirat ALLAH SWT yang telah memberikan rahmat, taufiq, dan hidayah-Nya sehingga mampu menyelesaikan skripsi yang berjudul “Kendala-kendala Morfofonemik Level Afiksasi: Sebuah Kajian Morfologi Struktural”. Skripsi ini diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan perolehan gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.) pada program studi Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Mataram.

Disadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini banyak mendapatkan hambatan dan kendala. Berkat bantuan, dukungan serta doa dari berbagai pihak, akhirnya skripsi ini dapat diselesaikan. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih dan rasa hormat kepada :

1. Bapak Prof. Ir. H. Sunarpi, Ph.D. selaku Rektor Universitas Mataram;

2. Bapak Dr. H. Wildan, M.Pd. selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Mataram;

3. Ibu Dra. Siti Rohana Hariana Intiana, M.Pd. selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni FKIP Unram;

(7)

vii 5. Bapak Dr.H.Muhammad Sukri,M.Hum selaku Dosen Pembimbing I (terima kasih atas arahan dan telah menjadi orang yang selalu menginspirasi serta memotivasi saya untuk belajar lebih giat);

6. Ibu Ratna Yulida Ashriany, M.Hum.selaku Dosen pembimbing II (terima kasih atas kesabarannya dan pengertiannya dalam mengajarkan ilmu dan memberikan bimbingannya);

7. Bapak dan ibu Dosen Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia, dan Daerah yang telah mengajar, mendidik, dan membimbing kami selama bangku perkuliahan di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Mataram;

8. Staf dan pegawai FKIP yang telah membantu mahasiswa dalam pengurusan administrasi dan lainnya;

Disadari bahwa segala keterbatasan dalam penyusunan skripsi ini, sehingga di dalamnya masih terdapat banyak kekurangan baik dari segi isi maupun penulisan. Oleh karena itu, masukan berupa saran dan kritik yang konstruktif sangat diharapkan demi perbaikan dan penyempurnaan serta sebagai acuan pada penulisan selanjutnya. Semoga skripsi ini dapat memberi manfaat bagi kita semua dan dapat dipergunakan sebagaimana mestinya, khususnya sebagai pengembangan ilmu kebahasaan.

Mataram, November 2014

(8)

viii DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG

BI : Bahasa Indonesia BD : Bentuk Dasar MB : Morfem Bebas

KPK : Kaidah Pembentukan Kata N : Nomina

Adj : Adjektiva V : Verba Num : Numeralia

’…’ : Tanda petik dua menunjukkan bahwa bentuk yang diapitnya merupakan makna dari suatu bentuk.

* : Astris digunakan untuk menunjukkan suatu bentuk lingual yang tidak gramatikal dan diletakkan sebelum tuturan itu.

( ) : Kurung Biasa digunakan untuk menyatakan bahwa formatik yang berada didalamnya memiliki alternasi sejumlah format yang berbeda di dalamnya.

{} : Kurung Kurawal untuk menyatakan bahwa beberapa satuan lingual yang ada di dalamnya yang disusun secara terlajur dapat dan perlu dipilih salah satu apabila digunakan bersama satuan-satuan lain yang ada di depan atau dibelakangnya. Biasanya digunakan dalam bidang morfologi untuk menandai satuan yang didalamnya adalah morfem.

[ ] : Menunjukkan satuan di dalamnya adalah satuan fonetis dan biasanya digunakan dalm bidang fonologi untuk melambangkan bunyi tertentu yang tidak berstatus fonem.

(9)

ix DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL……….. i

HALAMAN PERSETUJUAN ………. ii

HALAMAN PENGESAHAN ……….. iii

MOTTO DAN PERSEMBAHAN……… iv

KATA PENGANTAR ……….. vi

DAFTAR SINGKATAN………... viii

DAFTAR ISI ……….. ix

ABSTRAK ……… xi

BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang ... 1

1. 2 Rumusan Masalah ... 4

1. 3 Tujuan Penelitian ... 4

1. 4 Manfaat Penelitian ... 4

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 PenelitianRelevan ... 6

2.2 LandasanTeori ... 8

2.2.1 Fonologi ………. 8

2.2.2 Morfologi………... 12

2.2.3 Afiksasi ………. 15

2.2.4 Morfofonemik ………19

2.2.5 Idiosinkresi Linguistik……… 24

2.2.6 Pengertian Kendala ……… 24

(10)

x BAB III METODE PENELITIAN

3.1 Deskripsi Penelitian ... 27

3.2 Populasi dan Sampel Penelitian ... 28

3.3 Metode Pengumpulan Data ... 29

3.4 Metode Penganalisisan Data ... 33

3.5 Metode Penyajian Data ... 34

BAB IV PEMBAHASAN 4.1 Morfofonemik Level Afiksasi Bahasa Indonesia ... 36

4.2 Kendala-kendala Morfofonemik Level Afiksasi ... 52

BAB V PENUTUP 5.1 Simpulan ... 87

5.2 Saran ... 88 DAFTAR PUSTAKA

(11)

xi KENDALA-KENDALA MORFOFONEMIK LEVEL AFIKASI BAHASA

INDONESIA SEBUAH KAJIAN MORFOLOGI STRUKTURAL ABSTRAK

Fenomena kebahasaan yang memunculkan varian baru dalam pembentukan kata pada bahasa Indonesia menjadi hal yang menarik untuk diteliti karena terdapat pada bahasa yang kita gunakan. Penelitian ini mengkaji permasalahan mengenai kendala-kendala morfofonemik level afiksasi bahasa Indonesia. Teori yang digunakan adalah teori morfologi struktural. Metode pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode simak, cakap, introspeksi, dan studi pustaka. Metode pengananalisisan data menggunakan metode padan intralingual. Penyajian data dari hasil penganalisisan data dalam penelitian ini menggunakan kata-kata, dan lambang-lambang atau tanda-tanda. Berdasarkan analisis data, temuan yang diperoleh berupa : 1) perubahan fonem pada proses prefiksasi terjadi pada morfem afiks {məŋ-}, {pəŋ-}dan {bər-}. Penambahan fonem terjadi pada morfem afiks {məŋ-} dan {pəŋ-} berupa penambahan fonem /e/ sehingga membentuk morf {məŋə-} dan{pəŋə-}. Penghilangan fonem terjadi pada morfem afiks {məŋ-}, {pəŋ-}dan {bər-}. Terdapat juga morfem afiks yang tidak mengalami proses morfofonemik, seperti morfem afiks {bər-}, {tər-}, {di-}, {kə-} dan {sə-}. Infiksasi bahasa Indonesia berupa {-ər-}, {-əl-}, dan {-əm}. Sufiksasi bahasa Indonesia memiliki morfem afiks berupa {-kan}, {-i}, dan {-an}. Konfiks pada bahasa Indonesia berupa {məŋ-kan}, {məŋ-i}, {kə-an}, {pəŋ-an}, {pər-an}, dan {bər-an}. 2) Kendala-kendala morfofonemik level afiksasi bahasa Indonesia berupa perubahan dan penambahan fonem. Perubahan dan penambahan terjadi pada morfem afiks {ŋ-} ’məŋ-’ dengan alomorf {ŋ-}, {m-}, {n-}, {ñ-}, { ŋe-} dalam prefiksasi dan morfem afiks {ŋ- + -in} ‘ məŋ-kan’ dalam konfiksasi. Selain mengalami proses morfofonemik terdapat juga morfem afiks yang tidak mengalami proses morfofonemik, yaitu morfem afiks {məŋ-}, {kə-} ’ter-’ pada afiksasi, sufiksasi terdapat morfem afiks {i-}, {-in} ‘-kan’, {-an} ‘ber-‘ dan {-isir} ‘-isasi’. konfiksasi terdapat morfem afiks berupa {kə- + -an}.

(12)

1 BAB I

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Manusia disebut makhluk yang sangat kompleks karena memiliki akal pikiran yang tidak dimiliki oleh makhluk lainnya. Akal pikiran tersebut digunakan dalam kehidupan sehari-sehari baik untuk diri sendiri maupun hubungan sosial dengan manusia yang lainnya. Dalam melakukan hubungan sosial tentunya manusia membutuhkan alat komunikasi berupa bahasa. Bahasa manusia sangat berbeda antara satu dengan yang lain, namun disisi lain semua bahasa-bahasa tersebut memiliki ciri-ciri kesemestaan. Kenyataannya di Indonesia terdapat berbagai suku bangsa yang memiliki keanekaragaman baik dari adat istiadat maupun bahasanya, yang biasa disebut sebagai bahasa daerah yang merupakan ciri khas dari setiap daerah tersebut. Selain memiliki bahasa daerah dengan beragam bahasa maupun dialek-dialek disetiap daerah, Indonesia juga memiliki bahasa persatuan yaitu bahasa Indonesia (selanjutnya disingkat BI) sebagai bahasa pemersatu dan bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi dengan masyarakat dari daerah lain. Setiap warga negara harus menguasai atau harus mengerti dan bisa menggunakan bahasa Indonesia agar dapat berkomunikasi dengan lawan bicara dari daerah lain, karena tidak semua bahasa atau dialek memiliki tingkat kekerabatan yang sama.

(13)

2 sekarang ini hanya untuk berkomunikasi dalam keadaan sangat formal. Pada dasarnya semua masyarakat Indonesia dituntut harus dapat menguasai BI agar mampu berkomunikasi dengan lawan bicara yang memiliki varian bahasa yang berbeda baik dalam kondisi formal maupun nonformal. Tidak hanya sampai penggunaan bahasa tersebut, namun sebaiknya penutur juga mampu mengetahui struktur internal bahasa atau kata yang digunakan dalam berkomunikasi agar memiliki pengetahuan asal-usul kebahasaaan yang digunakannya. Bagi kebanyakan orang mempelajari struktur internal kata yang dipergunakan dalam berkomunikasi dianggap tidak perlu, karena mampu berkomunikasi menggunakan BI dirasakan sudah cukup. Selain itu penutur tidak tertarik mempelajari bahasa yang mereka gunakan karena ada anggapan terhadap pandangan historis pada bahasa menjadi berlebihan ketika ia ingin memahami bagaimana bahasa bekerja. Hal ini sebenarya tidak benar, yakni: perubahan bahasa merupakan ranah empirik yang releven bagi ahli-ahli bahasa yang ingin mengembangkan pemikiran yang memadai atas sistem-sistem bahasa dan penggunaannya (Sukri dan Nuriadi, 2010:249).

(14)

3 dengan bentuk dasar (yang selanjutnya disingkat BD) /kalah/ atau dalam kaidah pembentukan kata berupa ({ŋ-} + [kalah] → [ŋalah] ngalah ’mengalah’). Morfem afiks {ŋ-} memiliki padanan dalam pembentukan kata BI baku dengan morem afiks {məŋ-}. Adapun dalam sufiksasi, misalnya kata ambilin yang terbentuk gabungan morfem afiks {-in} dengan BD /ambil/ jika dalam proses pembentukan kata berupa ({-in} + [ambil] → [ambilIn] ambilin ’ambilkan’). Morfem afiks in} memiliki padanan dalam pembentukan kata BI baku dengan morem afiks {-kan}dan terdapat beberapa data yang lainnya.

Permasalahan di atas yang memotivasi peneliti mengambil wilayah kajian pada kata-kata yang terdapat dalam BI. Selain karena BI merupakan bahasa yang memiliki banyak proses kebahasaan yang perlu diketahui, khusunya dalam afiksasi karena kalimat lebih banyak ditentukan oleh afiksasi. Afiksasi merupakan proses pembentukan kata yang paling sering digunakan dalam berkomunkasi sehingga menyebabkan banyak permasalahan yang harus diusahakan penyelesaianya. Afiksasi tidak lepas kaitannya dengan morfofonemik karena disetiap proses afiks terdapat proses morfofonemik yang membentuk kata.

(15)

4 dianalisis terutama oleh mahasiswa yang menyelesaikan tugas akhirnya karena anggapan yang telah dijelaskan tersebut. Oleh karena itu peneliti mengambil objek penelitian mengenai kendala-kendala morfofonemik dalam afiksasi dalam BI dengan menggunakan kajian morfologi struktural. Morfologi struktural ini digunakan untuk menentukan kendala-kendala morfofonemik level afiksasi pada data yang akan dianalisis.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang dijelaskan pada bagian sebelumnya, terdapat permasalahan pada bagian ini berupa :

1) Bagaimanakah proses morfofonemik level afiksasi bahasa Indonesia? 2) Kendala-kendala apa sajakah yang menyebabkan proses morfofonemik

level afiksasi? 1.3 Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah di atas berikut dipaparkan tujuan yang ingin dicapai pada penelitian ini adalah :

1) Mendeskripsikan proses morfofonemik level afiksasi bahasa Indonesia. 2) Mendeskripsikan kendala-kendala yang menyebabkan morfofonemik

level afiksasi. 1.4 Manfaat Penelitian

(16)

5 1.4.1Manfaat Teoritis

Peneliti berharap hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan seoptimal mungkin oleh masayarakat, pada umumnya masyarakat yang tidak mengetahui tentang kebahasaan, serta dapat pengetahuan baru mengenai kendala-kendala morfofonemik level afiksasi bahasa Indonesia. Selain itu penelitian ini dapat dijadikan sebagai pembanding dalam penelitian kebahasaan bentuk lain.

1.4.2 Manfaat Praktis

(17)

6 BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1Penelitian Relevan

Dari penelitian sebelumnya telah banyak yang meneliti tantang morfofonemik bahasa daerah yang bisa dijadikan bahan perbandingan untuk penelitian yang akan dilakukan peneliti sekarang ini, namun terdapat juga penlitian tentang bahasa Indonesia yang dilakukan mahasiswa sebagai peneliti sebelumnya, antara lainnya :

“Morfofonemik Bahasa Sasak Sedau” penelitian yang dilakukan B. Nurul Husna tentang Morfofonemik Bahasa Sasak Sedau terdapat tiga perubahan fonem salah satunya yaitu, apabila ada prefiks {N-} melekat pada morfem- morfem yang memiliki fonem awal {t, p, k, s, dan c} sehingga fonem awal morfem tersebut berubah menjadi alomorf {N-} yaitu {n, m, ŋ, n}.

Pada penelitian tersebut memiliki persamaan dari segi teori dengan penelitian yang dilakukan peneliti pada saat ini, tetapi dari bahasa yang dikaji memiliki perbedaan, pada penelitian yang dilakukan Husna mengkaji bahasa daerah sedangkan peneliti mengkaji bahasa Indonesia.

(18)

7 atau diksi, tehnik penyisipan atau intrupsi, serta pembalikan urutan dan permutasi. Sedangkan dalam penyajian data Muammar menggunakan metode formal ( metode menggunakan lambang dan tanda) dan informal (menggunakan kata-kata biasa). Meskipun penelitian tersebut mengkaji klitika, penelitian tersebut relevan karena menggunakan teori yang sama dengan penelitian peneliti yaitu menggunakan teori morfofonemik.

Selain itu dua penelitian di atas juga penelitian terhadap bahasa Indonesia mengenai morfofonemik yaitu, “Proses Morfofonemik Prefiks {Men-} dengan Bentuk Dasar yang Berfonem Awal (k, t, s, p) dalam Bahasa Indonesia dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa Indonesia” yang dilakukan oleh Fitriani mengambil kesimpulan fonem {k, t, s, p} mengalami perubahan dengan proses peluluhan tetapi ada data yang tidak mengalami peluluhan fonem. Ketidakluluhan fonem {k, t, s, p} ketika dilekati oleh morfem {meŋ-} disebabkan oleh :

a. adanya urutan struktur fonem yang tidak dimungkinkan muncul dalam kaidah fonotaktik bahasa Indonesia ketika bentuk dasar yang berfonem awal (k, t, s, p) mengalami peluluhan.

b. adanya bentuk perubahan struktur fonologis morfem {meŋ-} dengan bentuk dasar yang berfonem awal (k, t, s, p) mengalami peluluhan.

c. Adanya kesulitan dalam pelafalan kata jadian yang terdiri atas empat silabe atau lebih.

(19)

8 Penelitian tersebut sangat relevan dengan peneletian yang akan dilakukan karena sama-sama membahas morfofonemik, sebenarnya penelitian yang dilakukan oleh Fitriani salah satu kendala morfofonemik namun hanya saja Fitriani hanya mengkaji prefiks {meŋ-}.

2.2Landasan Teori 2.2.1 Fonologi

Istilah fonologi berasal dari bahasa Yunani yaitu phone = ‘bunyi’, logos = ‘ilmu’. Secara harfiah, fonologi adalah ilmu bunyi. Fonologi merupakan bagian dari ilmu bahasa yang mengkaji bunyi. Objek kajian fonologi yang pertama bunyi bahasa (fon) yang disebut tata bunyi (fonetik) dan yang kedua mengkaji fonem yang disebut tata fonem (fonemik). Bahasa terdiri atas beberapa perangkat, mulai dari perangkat yang terkecil hingga yang lebih besar. Perangkat bahasa yang terkecil disebut bunyi. Bunyi inilah yang menjadi bahan kajian dari fonologi. Para ahli berpendapat mengenai pengertian fonologi antara lain; menurut Verhaar

(2008) fonologi merupakan cabang linguistik yang mengidentifikasikan satuan-satuan dasar bahasa sebagai bunyi. Bidang linguistik yang mempelajari, menganalisis, dan membicarakan runtutan bunyi-bunyi bahasa ini disebut fonologi, yang secara etimologi terbentuk dari kata fon yaitu bunyi, dan logi yaitu ilmu (Chaer, 2012:102).

(20)

9 1) Fonetik

Fonetik adalah bidang linguistik yang mempelajari bunyi bahasa tanpa memperhatikan bunyi tersebut berfungsi membedakan makna atau tidak (Chaer, 2012). Sedangkan menurut Verhaar Fonetik adalah cabang ilmu lingistik yang meneliti dasar “fisik” bunyi-bunyi bahasa. Ada dua segi “ fisik” tersebut, yaitu: segi alat-alat bicara serta penggunaannya dalam menghasilkan bunyi-bunyi bahasa; dan sifat-sifat akustik bunyi yang telah dihasilkan. Dasar yang pertama disebut “fonetik artikulatoris” karena menyangkut alat-alat bicara. Menurut dasar yang kedua, fonetik disebut “fonetik akustik” karena karena menyangkut bunyi bahasa dari sudut bunyi sebagai getaran udara.

Sedangkan menurut Chaer terdapat satu lagi jenis fonetik selain dua jenis fonetik yang dikemukakan Verhaar yaitu fonetik auditoris.

a. Fonetik Artikulatoris

Fonetik artikulatoris disebut juga fonetik organis yang mempelajari atau meneliti mekanisme alat-alat bicara manusia bekerja dalam menghasilakn bunyi bahasa serta bagaimana bunyi, bunyi itu diklasifikasikan.

b. Fonetik Akustik

(21)

10 partikel yang lain itu mendesak partikel udara yang lain lagi, dan begitu terus sampai membentuk gelombang yang akan diselidiki frekuensi getarannya, amplitudonya, intensitasnya dan timbrenya. c. Fonetik Auditoris

Fonetik auditoris mempelajari bagaimana mekanisme penerimaan bunyi bahasa itu oleh alat pendengaran kita.

Jenis-jenis fonetik yang telah dijelaskan tersebut tidak semuanya menjadi kajian dari ilmu linguistik. Yang menjadi kajian dari ilmu linguistik yaitu fonetik artikulatoris karena berkaitan dengan penghasilan bunyi. Fonetik akustik dikaji oleh ilmu fisika atau ilmu alam, dan fonetik auditoris lebih berkenaan dengan bidang kedokteran atau neorologi.

2) Fonemik

Berbeda dengan fonetik, fonemik memiliki objek kajian fonem yang berfungsi membedakan makna kata. Misalnya pada dua kata yang berbeda seperti kata iba dan ibu. Dari dua kata tersebut hampir sama, masing-masing terdiri dari tiga buah bunyi.

iba → [i], [b], [a] ibu→ [i], [b], [u]

(22)

11 Ucapan sebuah fonem dapat berbea-beda sebab sangat tergantung pada lingkungannya, atau fonem-fonem lain yang ada disekitarnya.mDalam bahasa-bahasa tertentu dijumpai perubahan fonem yang mengubah identitas fonem itu menjadi fonem yang lain. Terdapat beberapa jenis perubahan fonem menurut Chaer , antara lain :

a. Asimilasi dan Disimilasi b. Netralisasi dan Arkifonem

c. Umlaut, Ablaut, dan Harmoni Vokal d. Kontraksi

e. Metatesis dan Epentesis f. Fonem dan Grafem

Dalam bahasa Indonesia terdapat tiga jenis fonem yaitu fonem vokal, fonem konsonan dan fonem semi konsonan (Nazir, 1987:105) :

1) Fonem Vokal

(23)

12 2) Fonem Konsonan

Dalam bahasa Indonesia terdapat 16 fonem konsonan yaitu : /p/, /b/, /t/, /d/, /c/, /j/, /m/, / ñ /, /ŋ/, /n/, /s/, /r/, /l/, /k/, /g/, dan /h/.

3) Fonem Semi Konsonan

Bunyi maupun fonem semi konsonan sama-sama memiliki distribusi yang tidak lengkap. Hal ini disebabkan karena baik bunyi maupun fonem semi konsonan hanya ditemukan diawal dan tengah kata. Fonem semi konsonan terdiri dari fonem /w/ dan /y/ saja.

2.2.2 Morfologi

Istilah ‘morfologi’ telah diambil alih oleh biologi yang digunakan untuk merujuk pada studi terhadap bentuk-bentuk tanaman dan binatang. Penggunaan pertama yang terekam adalah dalam tulisan dari penyair-penyair dan penulis Jerman Goethe pada tahun 1796. Lantas pertama kali digunakan untuk tujuan linguistik pada tahun 1859 oleh seorang ahli bahasa berkebangsaan Jerman bernama August Schleicher (lihat Sukri, 2010) guna mengacu pada studi terhadap bentuk kata-kata. Dalam ilmu bahasa dewasa ini, istilah ‘morfologi’ mengacu pada kajian atau studi tentang struktur internal kata-kata, dan tentang korespodensi bentuk arti sistematis antar kata (Sukri, 2010:5).

(24)

13 sistematis. Sedangkan menurut Kridalaksana (dalam Rohmadi,dkk. 2010) morfologi adalah bidang ilmu linguistik yang mempelajari morfem dan kombinasi-kombinasinya.

Berdasarkan beberapa pengertian para ahli mengenai morfologi di atas pada prinsipnya memang sama meskipun cara penyampaiannya berbeda. Semuanya sependapat bahwa morfologi merupakan cabang ilmu linguistik yang membicarakan masalah bentuk-bentuk dan pembentukan kata baik itu morfem terikat maupun morfem bebas dan segala bentuk dan jenisnya. Jadi, morfologi menjadi sangat erat hubungannya dengan afiksasi.

(25)

14 Bentukan kata-kata yang terjadi pada morfem bebas dan morfem terikat dibentuk dari proses morfologis. Proses morfologis adalah proses pembentukan kata-kata melalui mekanisme penggabungan satuan/bentuk dengan bentuk lain yang menjadi dasarnya (Sukri, 2008: 53).

Terdapat beberapa pendapat mengenai pembagian dari proses morfologis, menurut Chaer (2012) proses morfologis terdiri dari:

1. Afiksasi 2. Reduplikasi 3. Komposisi

4. Konversi, Modifikasi Internal, dan Suplesi 5. Pemendekan.

Menurut Muslich proses morfologis dibagi menjadi tiga yaitu:

1. Pembentukan kata dengan menambahkan morfem afiks pada bentuk dasar, 2. Pembentukan kata dengan mengulang bentuk dasar, dan

3. Pembentukan kata dengan menggabungkan dua atau lebih bentuk dasar. Selain itu pendapat yang hampir sama dikemukakan oleh Sukri tentang

pembagian proses morfologis hanya perebedaan istilah saja yaitu : 1.Proses Afiksasi

2.Proses Reduplikasi 3.Proses Pemajemukkan

(26)

15 morfologis dibagi menjadi tiga yaitu afiksasi, reduplikasi dan pemajemukkan. Reduplikasi atau pengulangan adalah pengulangan satuan gramatik, baik unsur yang diduplikasi itu sebagian baik disertai variasi fonem/segmen maupun tanpa disertaivariasi fonem atau segmen. Contoh dari reduplikasi rumah, rumah-rumahan. Sedangkan pemajemukkan adalah hasil proses penggabungan morfem dasar dengan morfem dasar, baik yang bebas maupun terikat, sehingga terbentuk sebuah konstruksi yang memiliki identitas leksikal yang berbeda atau baru. Misalnya meja hijau, rumah sakit.

2.2.3 Afiksasi

Berdasarkan tiga proses morfologis yang berupa afiksasi, reduplikasi, dan pemajemukan peneliti memfokuskan kajian terhadap Afiksasi. Afiks menurut Verhaar (2008) adalah morfem terikat yang dapat ditambahkan di awal kata (prefiks) di dalam proses yang disebut prefiksasi, di akhir kata (sufiks) yang disebut sufiksasi, sebagian di awal kata sebagian di akhir kata (konfiks) di dalam proses yang disebut konfiksasi, atau di dalam kata itu sendiri sebagai suatu sisipan (infiks) di dalam proses yang disebut infiksasi.

(27)

16 morfem dasar dapat menghasilkan kata meski dilekatkan dengan bentuk/ morfem dasar tertentu. Dalam bahasa Indonesia misalnya, morfem afiks {per-}, {-kan}, dan {-i} yang dilekatkan dengan bentuk dasar yang menghasilkan pokok kata: perbesar, perkecil, perhias, perindah, perkaya, perdua, perempat. Perjelas, persempit, ambilkan, bacakan, bangunkan, tuliskan, duduki, tanami, pukuli, tiduri, dan seterusnya (Sukri, 2008:54-55).

Selain itu pengertian yang diungkapkan oleh Putrayasa (2008:5) yang menerangkan bahwa afiksasi atau pengimbuhan adalah proses pembentukan kata dengan membubuhkan afiks (imbuhan) pada bentuk dasar tunggal maupun kompleks. Misalnya, pembubuhan afiks meN- pada bentuk dasar jual menjadi menjual, benci menjadi membenci, tari menjadi menari, peluk menjadi memeluk, masak menjadi memasak, baca menjadi membaca, bolak-balik menjadi membolak-balik, pertanggungjawabkan menjadi mempertanggungjawabkan. Pembubuhan afiks ber- pada dasar main menjadi bermain, sekolah menjadi bersekolah, sepeda motor menjadi bersepeda motor, main peran menjadi bermain

peran. Berdasarkan contoh-contoh tersebut dapat dilihat bahwa pembubuhan afiks dapat terjadi pada bentuk linguistik berupa bentuk tunggal seperti jual, benci, masak, tari, baca, main, dan sekolah serta bentuk kompleks seperti bolak-balik, pertanggungjawabkan, sepeda motor, dan main peran.

(28)

17 a) Prefiksasi

Prefiks ialah imbuhan yang melekat di depan bentuk dasar (kata dasar). Prefiks juga disebut awalan atau yang lebih lazim disebut awalan (Rohmadi,dkk. 2010).

Contoh :

{məŋ} [[məŋ- + [gendoŋ]V→[meŋgendoŋ] ‘menggendong’ {məŋ} [[məŋ- + roko?]N→ [məroko?]V ‘merokok’

Berdasarkan data di atas, dapat dikatakan bahwa morfem {məŋ-} bergabung dengan morfem dasar gendong [gendoŋ] ‘gendong’ sehingga berbentuk kata /menggendong/ [meŋgendoŋ] ‘menggendong’. Demikian pula hanya dengan morfem dasar rokok [roko?] ‘rokok’ setelah bergabung dengan morfem afiks {məŋ-} menjadi /merokok/ [məroko?] ‘merokok’.Dari kedua contoh diatas mengalami penghilagan fonem. Namun bagaimana dengan contoh berikut ini :

{məŋ-} + [ukUr] → [məŋukUr] ‘mengukur’ {məŋ-} + [aku] → [məŋaku] ‘ mengaku’ {pəŋ-}+ [ukUr] → [pəŋukUr] ‘pengukur’ {pəŋ-} + [aku] → [pəŋaku] ‘pengaku’

(29)

18 b) Infiksasi

Infiks ialah imbuhan yang melekat di tengah bentuk dasar. Karena melekatnya menyisip ditengah kata dasar maka disebut sisipan saja (Rohmadi,dkk. 2010).

{-ər-} + [ kudUŋ] ‘tutup’ → [kərudUŋ] ‘penutup kepala’ {-əm-} + [kunIŋ] ‘kuning’ → [kəmunIŋ] ‘pohon kemuning’ {-əl-} + [unjU?] ‘tunjuk’ → [təlUnjU?] ‘telunjuk’

Dalam kajian morfofonemik/morfofonologi, pembentukan kata melalui mekanisme penyisipan infiks berada di tengah morfem dasar.Artinya, infiks yang disisispkan pada morfem dasar hanya diperoleh menyela segmen konsonan (K) pertama dari morfem dasar yang disisipinya.

c) Sufiksasi

Sufiks ialah imbuhan yang melekat dibelakang bentuk dasar (kata dasar). Sufiks disebut juga imbuhan akhir atau lebih lazim disebut akhiran saja (Rohmadi,dkk. 2010).

{-kan}+ /ambil/ ‘ambil’ [[ambIl]V + -[-kan]V ‘ambilkan’ {-i} + /tidur/ ‘tidur’ [[tidUr + -[-i]V ‘tiduri’

{-an} + /jemur/ ‘jemur’ [[jəmUr + -[-an]]N ‘tempat menjemur’ {-an} + /duduk/ ‘duduk’ [[dudU? + -[-an]]N ‘tempat duduk’

(30)

19 pakaian’ terdiri atas morfem dasar /jemur/ ‘jemur’ dan sufiks /-an/ begitu pula halnya dengan /dudukan/ [dudU?an] ‘tempat duduk’ (Sukri.2008).

d) Konfiksasi

Konfiks ialah imbuhan gabungan antara prefiks dan sufiks. Kedua macama afiks tersebut melekat secara bersamaan pada suatu bentuk dasar pada bagian depan dan belakangnya

[pəŋ-/-an/ + mandi/ [[pəŋ + [mandi]V + -[-an]]N ‘tempat mandi’ [kə-/-an/ + tahu/ [[kə + [tahu] + -[-an]]N ‘ketahuan’

Kata bentukan /pemandian/ [pəmandiyan] ‘tempat mandi’ terbentuk dari morfem dasar /mandi/ ‘mandi’ dan konfiks [pəŋ-/-an]. Dalam bahasa indonesia, bentukan /pemandi/ tidak berterima serta tidak memiliki makna, ataupun /mandian/juga tidak berterima. Dengan demikian, morfem afiks [pəŋ-] dan sufiks /-an/ haruslah dilekatkan secara bersamaan. Demikian pula halnya dengan bentukan /ketahuan/ [kətahuwan] ‘ketahuan’ terdiri atas morfem dasar /tahu/ ‘tahu’ dan konfiks [kə-/-an/] (Sukri. 2008) .

2.2.4 Morfofonemik

(31)

20 Morfofonemik adalah proses berubahnya suatu fonem menjadi fonem yang lain sesuai fonem awal atau fonem yang mendahuluinya (Alwi,2003). Hal serupa juga dikemukakan oleh Zainal Arifin (2007:8) Proses morfofonemik adalah proses berubahnya suatu fonem menjadi fonem lain sesuai dengan fonem awal kata yang bersangkutan. Sukri (2008) dalam buku Morfologi Sebuah Kajian Antara Bentuk dan Makna, morfofonemik mengkaji fenomena-fenomena yang melibatkan kajian antara morfologi dan fonologi. Hampir sama dengan Sukri, Chaer (2012) mengemukakan morfofonemik, disebut juga morfonemik, morfofonologi, atau morfonologi, atau peristiwa berubahnya wujud morfemis dalam suatu proses morfologis, baik afiksasi, reduplikasi, maupun komposisi. Morfofonemik adalah subsistem yang menghubungkan morfologi dan fonologi. Di dalamnya dipelajari bagaimana morfem direalisasikan dalam tingkat fonologi (Kridalaksana, 2007:183). Selain itu Mahsun (2007:90) menyebutkan proses morfofonemik merupakan peristiwa fonologi yang terjadi karena pertemuan morfem dengan morfem dalam rangka membentuk kata.

Berdasarkan beberapa pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan morfofonemik adalah proses perubahan wujud fonem karena pertemuan morfem-morfem yang menyebabkan terjadinya proses morfologis. Selain memberikan penjelasan mengenai pengertian dari morfofonemik para ahli juga membagi proses morfofonemik menurut pendapat mereka masing-masing.

Chaer dalam buku Linguistik Umum (2012) membagi proses morfofonemik menjadi lima, yaitu :

(32)

21 2) Pelesapan fonem

3) Peluluhan fonem 4) Perubahan fonem 5) Pergeseran fonem

Mahsun dalam buku Morfologi (2007) proses morfologis terdiri dari : 1) Proses pemunculan fonem

2) Proses perubahan fonem 3) Proses pelepasan fonem

4) Proses perubahan dan pelepasan fonem.

Jos Daniel Parera dalam bukunya yang berjudul Morfologi tahun 1988 membagi proses morfofonemik menjadi beberapa proses yaitu:

1. Asimilasi

Asimilasi adalah perubahan morfofonemik tempat sebuah fonem yang cenderung lebih banyak menyerupai fonem lingkungannya. Contoh dalam bahasa Indonesia, misalnya pada kata imperfek terdapat dua morfem yakni /im/ dan /perfek/. Morfem im- adalah alomorf dari prefiks in- yang mengalami perubahan bentuk untuk mempermudah pengucapan. Perubahan /n/, sebuah bunyi sengau dental yang bersuara, menjadi /m/, sebuah bunyi sengau bilabial yang bersuara, menyebabkan ia lebih mendekati dan menyerupai /p/, sebuah bunyi hambatan yang juga bilabial. 2. Disimilasi

(33)

22 misalnya proses ber + ajar – belajar. Bunyi /r/ yang berdekatan cenderung untuk menjadi tidak sama.

3. Elipsis

Proses morfofonemik elipsis terjadi bila dua bunyi yang sama dalam proses pembentukan kata salah satu bunyi itu tanggal atau hilang. Contoh dalam bahasa indonesia, misalnya ber- + kerja > bekerja. Disini terjadi penghilangan bunyi /r/.

4. Metatesis

Perubahan morfofonemik metatesis adalah perubahan dalam urutan fonem-fonem. Metatesis secara sinkronis jarang terdapat pada suatu bahasa. Dalam bahasa Indonesia kita jumpai /lemari/ yang berasal dari bahasa Portugis > /almari/.

5. Sandi

Proses morfofonemik sandi merupakan proses peleburan atau sintesis dua fonem vokal atau lebih menjadi satu fonem vokal. Contoh dalam bahasa Indonesia, misalnya bentuk Bhineka diturunkan dari bhina + ika. Disini bunyi vokal /a/ bertemu /i/ dan kemudian lebur menjadi /e/.

(34)

23 1) Proses perubahan fonem

Contoh peruban fonem dalam bahasa Indonesia yaitu ketika morfem {meŋ-} atau morfem yang lainnya dilekatkan pada bentuk dasar.

{meŋ-} + /pilih/ → memilih

Dari contoh tersebut terjadi perubahan fonem {ŋ} menjadi {m}, yang tadinya terbentuk dari morfem {meŋ-}namun setelah dilekatkan dengan kata dasar, morfemnya berubah menjadi {mem-}. Begitu pula dengan contoh {peŋ-} + / bantu/ → pembantu, perubahan fonem juga terjadi pada contoh tersebut sehingga membentuk kata pembantu.

2) Proses penambahan fonem

Proses morfofonemik berupa penambahan fonem akibat morfem satu dilekatkan dengan morfem yang lain .

Contohnya dalam bahasa Indonesia yaitu : {meŋ-} + /cat/ → mengecat

{peŋ-} + / bom/ → pengebom

(35)

24 3) Proses penghilangan fonem

Contoh dalam bahasa Indonesia : {meŋ-} + / lemah/ → melemah {peŋ-} + /lari/ → pelari

Berdasarkan contoh di atas terjadi penghilangan fonem pada morfem {meŋ-}, karena dilekatkan dengan bentuk dasar sehingga terjadi penghilangan fonem menjadi {me-} pada kata melemah. Sama halnya dengan morfem {peŋ-}menjadi {pe-} pada kata pelari karena terjadi penghilangan fonem.

2.2.5 Idiosinkresi Linguistik

Idiosinkresi merupakan sifat, keadaan, atau hal yang menyebabkan sesuatu menjadi berlainan. Adapun Linguistik merupakan ilmu yang mempelajari tentang tata bahasa. Jadi idiosinkresi linguistik adalah penyimpangan kaidah gramatika pada ragam bahasa seseorang atau sekelompok orang sebagaimana terjadi (KBBI. 2012).

(36)

25 2.2.6 Definisi Kendala

Kendala merupakan halangan, rintangan, hambatan, atau factor yang membatasi untuk mencapai sasaran (KBBI.2012) kendala yang dimaksudkan dalam penelitian ini yaitu, keanehan yang berupa idiosinkresi linguistik yang membatasi kata yang terbentuk dari pelekatan morfem afiks dengan bentuk dasar sehingga kata tersebut terhenti pada komponen penyaring setelah mengalami proses pembentukan kata pada Kaidah Pembentukan Kata (KPK).

2.2.7 Morfologi Struktural

Menurut Halle, (1973) (lihat Sukri. 2008) terdapat empat komponen tersebut yaitu :

1) List of Morfhemes (Daftar Morfem, selanjutnya disingkat DM) 2) Word Formation Rules (Kaidah Pembentukan Kata, selanjutnya

disingkat KPK) 3) Filter (Saringan) 4) Dictionary (kamus)

Adapun penggunaan empat komponen tersebut sebagai berikut.

(37)
(38)

27 BAB III

METODE PENELITIAN 3.1Deskripsi Penelitian

Penelitian tidak lain adalah ikhtiar manusia yang dilakukan dalam upaya pemecahan masalah yang dihadapi. Namun tidak semua kegiatan yang dilakukan untuk memecahkan masalah disebut penelitian.Hal ini tergantung pada jenis masalah yang ingn dicari jawabannya serta prosedur yang digunakan dalam penelitian tersebut (Mahsun, 2012). Penelitian yang dimaksudkan dalam hal ini yaitu penelitian ilmiah. Penelitian ilmiah menurut Kerlinger (1993, dalam Mahsun, 2012) adalah penelitian yang sistematis, terkontrol, empiris, dan kritis terhadap proposisi-proposisi hipotesis tentang hubungan yang diperkirakan terdapat antargejala alam.

(39)

28 3.2 Populasi dan Sampel Penelitian

3.2.1 Populasi Penelitian

Dalam penelitian linguistik, populasi pada umumnya ialah keseluruhan individu dari segi-segi tertentu bahasa (Edi Subroto, 2007:36). Misalnya, dalam penelitian ini, peneliti akan meneliti bahasa Indonesia. Maka yang menjadi populasinya adalah bahasa Indonesia yang dihasilkan/dipakai oleh penutur-penutur asli bahasa Indonesia baik yang diungkapkan secara tertulis maupun lisan.

Sementara itu, Mahsun berpendapat bahwa dalam hubungannya dengan penelitian bahasa, populasi terkait dengan dua hal, yaitu satuan penutur dan satuan teritorial. Dalam kaitannya dengan satuan penutur, populasi dapat dipahami sebagai keseluruhan individu yang menjadi anggota masyarakat tutur bahasa yang akan diteliti dan menjadi sasaran penarikan generalisasi tentang seluk beluk bahasa tersebut. Sedangkan bila terkait dengan satuan teritorial, populasi merupakan keseluruhan wilayah yang menjadi tempat pemukiman keseluruhan individu anggota masyarakat tutur bahasa yang menjadi sasaran generalisasi (Mahsun, 2012).

3.2.2 Sampel Penelitian

(40)

29 bahasa secara tulisan yaitu kesusastraan (cerpen dan novel modern) dan media cetak (majalah dan Koran).

3.3Metode Pengumpulan Data

Dalam mengumpulkan data terdapat faktor penentu wujud metode dan teknik yang dapat digunakan pada tahapan penyediaan data sebagai berikut:

(a) Pandangan peneliti terhadap dirinya dalam berhadapan dengan objek ilmiahnya (bahasa);

(b) Jenis bahasa (objek ilmiah) yang diteliti; dan

(c) Watak objek dan tujuan penelitian (Sudaryanto,1933:153 dalam Mahsun, 2012)

(41)

30 Berbeda dengan faktor pertama, faktor kedua yang menentukan wujud metode dan teknik penyediaan data adalah jenis bahasa (objek ilmiah) yang diteliti lebih bersifat objektif. Dalam faktor ini setidak-tidaknya terdapat tiga jenis bahasa yang diteliti ditinjau dari aspek kadar distansi tersebut,yaitu (a)bahasa yang kadar distansinya dengan peneliti cukup dekat,artinya bahasa yang bersangkutan sudah dikuasai secara aktif oleh si peneliti; (b)bahasa yang kadar distansinya cukup jauh,artinya bahasa itu belum dikuasai oleh peneliti,tetapi kemungkinan untuk dikuasainya; dan (c)bahasa yang kadar distansinya sangat jauh,dalam arti bahasa itu tidak mungkin untuk dikuasai secara aktif oleh si peneliti.

Dari ketiga faktor tersebut peneliti meneliti bahasa yang kadar distansinya cukup dekat sengan menguasai bahasa secara aktif, sehingga dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode introspeksi disamping menggunakan metode cakap dalam proses pengumpulan atau penyediaan data.

3.3.1 Metode Simak

Metode simak yaitu metode yang digunakan untuk memperoleh data dengan menyimak penggunaan bahasa (Mahsun, 2011:92). Metode ini memiliki teknik dasar berupa tehnik sadap. Tehnik sadap pada hakikatnya penyimakan dilakukan dengan cara menyadap bahasa seseorang baik berupa bahasa lisan maupun bahasa tertulis. Teknik sadap memiliki beberapa teknik lanjutan berupa teknik simak libat cakap, simak bebas libat cakap, catat, dan tehnik rekam.

(42)

31 pengamat penggunaan bahasa, seperti mendengarkan percakapan dari media elektronik (tv dan radio) jika datanya berupa lisan dan membaca sumber data berupa data tulisan. Selanjutnya untuk mendampingi teknik lanjutan tersebut digunakan teknik catat untuk mencatat kata yang menjadi data si peneliti.

3.3.2 Metode Cakap

Penamaan metode penyediaan data dengan metode cakap disebabkan cara yang ditempuh dalam pengumpulan data itu adalah berupa percakapan antara peneliti dengan informan. Adanya percakapan antara peneliti dngan informan mngandung arti terdapat kontak antar mereka. Metode cakap memiliki teknik dasar berupa teknik pancing, karena percakapan yang diharapkan sebagai pelaksanaan metode tersebut hanya dimungkinkan muncul jika peneliti memberi stimulasi (pancingan) pada informan untuk memunculkan gejala kebahasaan yang diharapkan oleh peneliti (Mahsun,2012).

Oleh karena itu peneliti menggunakan metode Cakap karena dalam penelitian kali ini peneliti langsung bertatap semuka dengan pengguna bahasa sebagai informan untuk menanyakan data yang ingin diperoleh peneliti dengan pancingan atau stimulasi yang berkaitann dengan data penelitian.

Ada beberapa teknik yang dapat digunakan dalam memancing data yang diharapkan dari informan oleh seorang peneliti dengan menggunakan teknik cakap semuka sebagai teknik bawahan.

(43)

32 d. Teknik Lanjutan Bawahan: Sisip

e. Teknik Lanjutan Bawahan: Balik

Dari kelima tehnik di atas, pada penelitian ini, peneliti mengunakan salah satu tehnik tersebut, yaitu tehnik lanjut bawahan; ganti. Teknik bawahan ganti juga dimaksudkan sebagai salah satu teknik penyediaan data yang dilakukan dengan cara memancingkan kreativitas informan dalam memunculkan data baru berdasarkan data yang telah ada sebelumnya. Keberadaan data baru dimaksud baik sebagai hasil penciptaan informan secara tidak sadar maupun karena pancingan peneliti. Data baru sebagai data sandingan itu benar-benar bentuk transformasi dari data sebelumnya dengan cara penggantian unsur yang menjadi objek penelitian itu dalam deretan struktur dengan unsur lain. Hasilnya berupa menjadi dasar aktivitas pada tahapan selanjutnya (tahapan analis data).

Dalam data yang akan dianalisis peneliti menyediakan data berupa data yang berterima, kemudian diganti unsurnya. Apakah setelah data tersebut diganti salah satu unsurnya tetap berterima atau menjadi data yang tidak berterima. Hal inilah yang menyebabkan peneliti memilih tehnik tersebut. Sedangkan untuk penyediaan data, peneliti juga memperoleh data dari informan yang mengerti tentang kebahasaan.

3.2.3 Metode Introspeksi

(44)

33 dan Kibric (1977) yaitu data introspektif dan data informan. Data introspektif adalah data yang berupa putusan linguistik yang berasal dari penutur asli yang sudah terlatih secara linguistis. Penutur asli yang dimaksud tidak lain adalah peneiti itu sendiri yang memiliki kompetensi linguistik bahasa sasaran sedangkan data informan merupakan data yang berupa putusan linguistik dan diperoleh dari penutur asli tidak terlatih (Mahsun, 2012).

Selain menngunakan metode simak dan cakap peneliti juga menggunakan metode introspektif dalam penelitian ini karena bahasa yang diteliti merupakan bahasa peneliti sendiri, yaitu bahasa Indonesia.

3.2.4 Studi Pustaka

Studi pustaka merupakan metode yang digunakan untuk menemukan data-data atau referensi yang relevan dan efekif. Studi pustaka dilakukan di perpustakaan yang ada di sekitar daerah Mataram, baik yang berupa buku-buku teori mapun hasil-hasil penelitian terdahulu yang berupa skripsi maupun tesis. 3.4Metode Penganalisisan Data

(45)

34 3.4.1 Metode Padan Intra Lingual

Padan merupakan kata yang bersinonim denga kata banding dan sesuatu yang dibandingkan mengandung makna adanya keterhubungan sehingga padan disini diartikan sebagai hal menghubungbandingkan. Sedangkan Intralingual mengacu pada makna unsur-unsur yang berada dalam bahasa yang dibedakan dengan unsur yang berada diluar bahasa(extra lingual). Jadi metode Padan Intra Lingual adalah metode analisi data dengan cara menghubungbandingkan unsur-unsur yang bersifat lingual,baik terdapat dalam satu bahasa maupun dalam beberapa bahasa yang berbeda.Dalam metode ini,analisis data hanya dimungkinkan jika data akan dihubungbandingkan telah tersedia.

3.5Metode Penyajian Data

Menurut Sudaryanto,1993b (dalam Mahsun,2012) mengemukakan hasil analisis yang berupa kaidah-kaidah dapat disajikan dengan dua cara,yaitu perumusan dengan menggunakan kata-kata biasa termasuk penggunaan terminologi yang bersifat teknis, dan perumusan menggunakan tanda-tanda atau lambang-lambang.

Dalam penelitian ini, penyajian data menggunakan kedua cara tersebut yang tergabung dalam tehnik hasil penjabaran metode penyajian (sudaryanto. 1993 dalam Muhammad.2011). Tehnik tersebut merupakan tehnik penyajian menggunakan kata-kata serta menggunakan tanda-tanda atau lambing-lambang. Adapun beberapa tanda atau lambang yang digunakan antara lain:

(46)

35 2. Tanda asteris (*) digunakan untuk menunjukkan suatu bentuk

lingual yang tidak gramatikal dan diletakkan sebelum tuturan itu. 3. Kurung Biasa (( )) digunakan untuk menyatakan bahwa formatik

yang berada didalamnya memiliki alternasi sejumlah format yang berbeda didalamnya.

4. Kurung Kurawal ({}) untuk menyatakan bahwa beberapa satuan lingual yang ada didalamnya yang disusun secara terlajur dapat dan perlu dipilih salah satu apabila digunakan bersama satuan-satuan lain yang ada didepan atau dibelakangnya.Biasanya digunakan dalam bidang morfologi untuk menandai satuan yang didalamnya adalah morfem.

5. Tanda kurung siku ([]) menunjukkan satuan didalamnya adalah satuan fonetis dan biasanya digunakan dalm bidang fonologi untuk melambangkan bunyi tertentu yang tidak berstatus fonem.

6. Tanda garis miring (//) digunakan untuk menunjukkan satuan didalamnya adalah fonem.

(47)

36 BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian yang dimaksudkan dalam bab ini adalah sejumlah temuan penelitian yang berwujud kendala-kendala morfofonemik dalam level afiksasi. Hasil penelitian ini dapat dikelompokkan menjadi dua, yakni : 1) Proses Morfofonemik dalam Level Afiksasi Bahasa Indonesia, dan 2) Kendala-Kendala Morfofonemik dalam Level Afiksasi Bahasa Indonesia.

4.1. Morfofonemik Level Afiksasi Bahasa Indonesia

Morfofonemik adalah proses perubahan wujud fonem karena pertemuan morfem-morfem yang menyebabkan terjadinya proses morfologis berupa perubahan, penambahan, dan penghilangan fonem. Adapun afiksasi merupakan proses pengimbuhan yang terdiri atas beberapa proses yang berupa proses prefiks (pelekatan morfem afiks di depan BD), infiksasi (pelekatan morfem afiks di tengah BD), sufiksasi (pelekatan morfem afiks di akhir BD), dan konfiks (pelekatan morfem afiks di awal dan di akhir BD).

4.1.1 Morfofonemik Level Prefiksasi 1. Perubahan Fonem pada Prefiksasi

1) Perubahan Fonem pada Morfem Afiks {Məŋ-}

(48)

37 mengalami perubahan fonem terjadi pada morf {mən-}, {məm-}, {məñ-}. Berikut akan dipaparkan data mengenai perubahan fonem.

(1){məŋ-} + [tari] → [mənari] ‘menari’ Morf-morfnya diidentifikasi berupa :

[tari] ‘tari’ {məŋ-} ‘mən-‘

(2){məŋ-} + [pilIh] → [məmilIh] ‘memilih’ Morf-morfnya diidentifikasi berupa :

[pilIh] ‘pilih’ {məŋ-} ‘məm-‘

(3){məŋ-} + [səntUh] → [məñəntUh] ‘menyentuh’ Morf-morfnya diidentifikasi berupa :

[səntUh] ‘sentuh’

{məŋ-} ‘məñ-‘

Proses morfofonemik berupa perubahan fonem terjadi pada data (1), (2), (3). Pada data (1), ketika morfem {məŋ-} dilekatkan dengan BD /tari/ yang mengakibatkan fonem {ŋ} pada morfem {məŋ-} berubah menjadi fonem /n/ sehingga kata yang terbentuk bukan menjadi *mengtari tetapi menjadi kata menari. Pada data (2), morfem {məŋ-} dilekatkan dengan BD /pilih/ yang mengakibatkan fonem {ŋ} pada morfem {məŋ-} berubah menjadi fonem /m/ sehingga kata yang terbentuk bukan menjadi *mengpilih tetapi menjadi kata memilih. Demikian juga dengan data (3), ketika morfem {məŋ-} dilekatkan dengan BD /sentuh/ yang mengakibatkan fonem {ŋ} pada morfem {məŋ-} berubah menjadi fonem /ñ/ sehingga kata yang terbentuk bukan menjadi *mengsentuh tetapi membentuk kata menyentuh.

(49)

38 merupakan varian baru yang digunakan masyarakat dalam pembentukan kata yang mengalami perubahan fonem.

(4) {ŋ-} + [tanam] → [nanam] *nanam Morf-morfnya diidentifikasi berupa :

[tanam] ‘tanam’

{n-} ‘mən’

(5) {ŋ-} + [pakai] → [makai] *makai Morf-morfnya diidentifikasi berupa :

[pakai] ‘pakai’

{m-} ‘məm’

(6) {ŋ-} + [sapu] → [ñapu] *nyapu Morf-morfnya diidentifikasi berupa :

[sapu] ‘sapu’

{ ñ-} ‘məñ-’

2)Perubahan Fonem pada Morfem Afiks {pəŋ-}

Sama halnya dengan morfem afiks {məŋ-}, morfem {pəŋ-} juga memiliki morf-morf berupa morf {pəŋ-}, {pən-}, {pə-}, {pəm}, {pəñ-}, dan {pəŋə-}. Berdasarkan alomorf tersebut, morf yang mengalami perubahan fonem yaitu morfem {pən-},{pəm}, {pəñ-}. Berikut akan dipaparkan data dengan kaidah pembentukan kata yang mengalami perubahan fonem

(7) {pəŋ-} + [tari] → [pənari] ‘penari’ Morf-morfnya diidentifikasi berupa : [tari] ‘tari’

{pəŋ-} ‘pən-‘

(8) {pəŋ-} + [bunUh] → [pəmbunUh] ‘pembunuh’ Morf-morfnya diidentifikasi berupa :

[bunUh] ‘bunuh’ {pəŋ-} ‘pəm-‘

(9) {pəŋ-} + [sakIt] → [pəñakit] ‘penyakit’ Morf-morfnya diidentifikasi berupa :

(50)

39 Perubahan fonem terjadi pada data (7) ketika morfem {pəŋ-} dilekatkan dengan BD /tari/ menghasilkan kata penari bukan *pengtari karena fonem /ŋ/ dari morfem {pəŋ-} berubah menjadi fonem /n/. sementara itu pada data (8) perubahan fonem pada morfem {pəŋ-} berupa perubahan fonem /ŋ/ sehingga kata yang terbentuk dari pelekatan morfem prefiks {pəŋ-} pada BD /bunuh/ adalah pembunuh. Perubahan fonem lainnya ditunjukkan pada data (9) ketika morfem {pəŋ-} dilekatkan dengan BD /sakit/ yang menghasilkan kata bentukan penyakit..

3)Perubahan fonem pada morfem Afiks {bər-}

Morfem afiks {bər-} memiliki morf-morf berupa morf {bəl-}, {bə-), dan {bər-}. Morf-morf tersebut akan muncul ketika morfem {bər-} dilekatkan dengan BD dalam proses pembentukan kata. Pada proses pembentukan kata morfem afiks {bər-} akan berubah menjadi {bəl-} ketika dilekatkan dengan BD. Berikut data morfem afiks {bər-}yang mengalami perubahan fonem.

(10) {bər-} +[ajar]→ [bəlajar] ‘belajar’ Morf-morfnya diidentifikasi berupa :

[ajar] ‘ajar’

{bər-} ‘bel-‘

(51)

40 2. Penambahan Fonem Pada Prefiksasi

1) Penambahan Fonem pada Morfem Afiks {məŋ-}

Pada pembentukan kata dengan pelekatan morfem afiks {məŋ-} dengan BD akan mengalami penambahan fonem /ŋ/ menjadi fonem /ŋə/ ketika BD tersebut memiliki satu suku kata.

(11) {məŋ-} + [tes] → [məŋətes] ‘mengetes’ Morf-morfnya diidentifikasi berupa:

[tes] ‘tes’

{məŋ-} ‘menge-’

(12) {məŋ-} + [pel] → [məŋəpel] ‘mengepel’ Morf-morfnya diidentifikasi berupa:

[tes] ‘tes’ {məŋ-} ‘menge-‘

Pada data (11) fonem {ŋ} pada morfem {məŋ-} bertambah menjadi fonem /ŋə/ sehingga kata yang terbentuk bukan menjadi *mengtes tetapi membentuk kata mengetes.Sama halnya dengan data (11), data (12) juga mengalami peambahan fonem pada proses pembentukan kata dengan fonem /ŋ/ pada morfem {məŋ-} bertambah menjadi fonem /ŋə/ sehingga kata yang terbentuk bukan menjadi *mengpel tetapi membentuk kata mengepel.

2) Penambahan Fonem pada Morfem Afiks {pəŋ-}

Penambahan fonem pada morfem afiks {pəŋ-}terjadi ketika morfem afiks {pəŋ-} dilekatkan dengan BD yang memiliki satu suku kata.

(13) {pəŋ-} + [cat] → [pəŋəcat] ‘pengecat’ Morf-morfnya diidentifikasi berupa :

[cat] ‘cat’

(52)

41 (14) {pəŋ-} + [tIk] → [pəŋətIk] ‘pengetik’

Morf-morfnya diidentifikasi berupa :

[tIk] ‘tik’

{pəŋ-} ‘penge-‘

Sementara itu, penambahan fonem terjadi pada data (13) ketika morfem afiks {pəŋ-} menghasilkan kata pengecat bukan *pengcat setelah dilekatkan dengan BD /cat/. Pada data (14), morfem afiks {pəŋ-} dilekatkan dengan BD /tik/ membentuk kata pengetiki. Kedua data tersebut mengalami penambahan fonem berupa penambahan fonem /ŋ/ pada morfem prefiks {pəŋ-} menjadi fonem /ŋe/.

3. Penghilangan Fonem Pada Prefiksasi

1) Penghilangan Fonem pada Morfem Afiks {məŋ-}

(15) {məŋ-} + [rayu] → [mərayu] ‘merayu’ Morf-morfnya diidentifikasi berupa :

[rayu] ‘rayu’

{məŋ-} ‘me-‘

Adapun proses morfofonemik berupa penghilangan fonem ditunjukkan pada data (15). Proses morfofonemik pada data (b) dengan morfem {məŋ-} dilekatkan dengan BD /rayu/. Pada pembentukan kata tersebut fonem {ŋ} dari morfem afiks {məŋ-} akan mengalami penghilangan fonem sehing morfem afiks {məŋ-} menjadi morf {mə-} sehingga kata yang dibentuk bukan kata *mengrayu tetapi kata merayu.

2) Penghilangan Fonem pada Morfem Afiks {pəŋ-} (16) {pəŋ-} + [lari] → [pəlari] ‘pelari’

Morf-morfnya diidentifikasi berupa : [lari] ‘lari’

(53)

42 Penghilangan fonem pada morfem afiks {pəŋ-} berupa penghilangan fonem /ŋ/ setelah morfem afiks {pəŋ-} dilekatkan BD /lari/ sehingga membentuk kata pelarisesuai dengan data (16). Morfem afiks {pəŋ-} setelah dilekatkan dengan BD sehingga mengalami penghilangan fonem akan membentuk kata yang berkategori nomina.

3) Penghilangan Fonem pada Morfem Afiks {bər-}

(17) {bər-} + [renaŋ] → [bərənaŋ] ‘berenang’ Morf-morfnya diidentifikasi berupa :

[renaŋ] ‘renang’ {bər-} ‘ber-‘

Penghilangan fonem pada morfem afiks {bər-} berupa penghilangan fonem /r/ sehingga menjadi morf {bə-}. Penghilangan fonem terjadi pada data (17) berupa penghilangan fonem /r/ pada morfem {ber-} setelah dilekatkan dengan BD /renang/ sehingga membentuk kata berenang bukan *berrenang.

Selain mengalami perubahan, penambahan dan penghilangan fonem morfem afiks {məŋ-}, {pəŋ-}, dan {bər-} tidak mengalami proses morfofonemik tersebut ketika dilekati dengan BD tertentu, seperti BD yang berawalan vokal dilekatkan dengan morfem afiks {məŋ-},. Pada morfem afiks {məŋ-}, morfem afiks tersebut akan menjadi morf {məŋ-}ketika dilekatkan dengan BD yang berawalan vokal. Berikut akan dipaparkan data mengenai pelekatan morfem afiks {məŋ-}dengan BD yang berawalan vokal.

(18) {məŋ-} + [antar] → [məŋantar] ‘mengantar’ Morf-morfnya diidentifikasi berupa :

(54)

43 (19) {məŋ-} + [elak] → [məŋelak] ‘mengelak’

Morf-morfnya diidentifikasi berupa :

[elak] ‘antar’

{məŋ-} ‘meng-‘

(20) {məŋ-} + [obrɔl]→ [məŋɔbrɔl] ‘mengobrol’ Morf-morfnya diidentifikasi berupa :

[obrɔl] ‘obrol’

{məŋ-} ‘meng-‘

(21) {məŋ-} + [intIp] → [məŋintIp] ‘mengintip’ Morf-morfnya diidentifikasi berupa :

[intIp] ‘intip’

{məŋ-} ‘meng-‘

(22) {məŋ-} + [ukUr] → [məŋukUrr] ‘mengukur’ Morf-morfnya diidentifikasi berupa :

[ukUr] ‘ukur’

{məŋ-} ‘meng-‘

Demikian pula dengan morfem afiks {pəŋ-} tidak akan mengalami perubahan, penambahan, ataupun penghilangan fonem ketika dilekatkan dengan BD tertentu. Berikut dipaparkan data dengan proses pembentukan kata. ketika dilekatkan dengan BD tertentu baik yang berawalan vokal maupun konsonan, seperti data berikut ini.

(55)

44 (25) {bər-} + [ayUn] → [bərayUn] ‘berayun’

Morf-morfnya diidentifikasi berupa : [ayUn] ‘ayun’

{bər-} ‘ber-‘

(26) {bər-} + [ibu] → [bəribu] ‘beribu’ Morf-morfnya diidentifikasi berupa :

[ibu] ‘ibu’ {bər-} ‘ber-‘

(27) {bər-} + [sahabat] → [bərsahabat] ‘bersahabat’ Morf-morfnya diidentifikasi berupa :

[sahabat] ‘sahabat’ {bər-} ‘ber-‘

(28) {bər-} + [təman] → [bərtəman] ‘berteman’ Morf-morfnya diidentifikasi berupa :

[təman] ‘teman’ {bər-} ‘ber-‘

Selain morfem afiks {məŋ-}, {pəŋ-}, dan {bər-} terdapat morfem afiks dalam prefiksasi BI berupa Morfem Afiks {tər-}, {di-}, {kə-} dan {sə-}. Morfem {tər-}, {di-}, {kə-} dan {sə-} tidaklah sama dengan tiga morfem sebelumnya karena tidak memiliki morf-morf sehingga tidak terjadinya proses morfofonemik. Namun dalam pembentukan kata keempat morfem-morfem ini memiliki ciri-ciri tersendiri.

(56)

45 kata bentukan yang menyatakan makna perfektif seperti terbagi, tergolong. Sedangkan morfem {ter-} yang menyatakan makna paling yaitu pada kata tertinggi, terendah.

(29) {tər-} + [bawa] → [tərbawa] ‘terbawa’ (ketidaksegajaan) Morf-morfnya diidentifikasi berupa :

[bawa] ‘bawa’ {tər-} ‘ter-‘

(30) {tər-} + [bagi]→ [tərbagi] ‘terbagi’ (telah terjadi) Morf-morfnya diidentifikasi berupa :

[bagi] ‘bagi’ {tər-} ‘ter-‘

(31) {tər-} + [tIŋgi] → [tər tIŋgi] ‘tertinggi’ (menyatakan paling) Morf-morfnya diidentifikasi berupa :

[tIŋgi] ‘tinggi’ {tər-} ‘ter-‘ 4.1.2 Morfofonemik Level Infiksasi

Dalam penggunaan BI untuk berkomunikasi infiks tidak produktif karena hanya kata-kata tertentu yang mampu dilekatkan dengan infiks. Selain tidak produktif infiks juga tidak mengalami perubahan bentuk atau tidak mengalami proses morfofonemik. Infiks dalam bahasa Indonesia berupa {-ər-}, {-əl-}, dan {-əm} yang berada di tengah bentuk dasar. Infiks hanya bisa disisipkan setelah konsonan pertama pada BD, seperti :

(32) {-ər-} + [gigi] → [gərigi] ‘gerigi’ Morf-morfnya diidentifikasi berupa :

[gigi] ‘gigi’ {-ər-} ‘-er-’

(33) {-əl-} + [tUnjU?] → [təlUnjU?] ‘telunjuk’ Morf-morfnya diidentifikasi berupa :

(57)

46 (34) {-əm} + [gurUh] → [gəmurUh] ‘gemuruh’

Morf-morfnya diidentifikasi berupa : [gurUh] ‘guruh’

{-əm-} ‘-em-’

Bandingkan data di atas dengan data berikut :

(35) {-ər-} + [gigi] → [giərgi] *giergi (36) {-əl-} + [tUnjU?] → [tUəlnjU?] *tuelnjuk

(37) {-əm} + [gurUh] → [guəmrUh] *guemruh

Berdasarkan perbandingan kata di atas yang terbentuk melalui proses pembentukan kata berupa penyisipan morfem afiks pada BD hanya diperbolehkan menyela konsonan pertama dari bentuk dasar, seperti BD /gigi/ disisipi oleh morfem afiks {-ər-} yang menyela konsonan /g/ yang merupakan konsonan pertama pada BD sehinnga membentuk kata gerigi. Namun jika morfem afiks {-ər-}, {-əl-}, {-əm} menyela rangkaian konsonan-vokal yang pertama akan

meghasilkan kata bentukan yang tidak berterima, seprti pada data (35), (36), (37). 4.1.3 Morfofonemik Level Sufiksasi

Sufiksasi yaitu pelekatan morfem afiks pada akhir BD. Sufiks dalam Proses pembentukan kata BI memiliki morfem afiks berupa kan}, i}, dan {-an}. Dari ketiga morfem tersebut tidak ada yang mengalami perubahan, penambahan dan penghilangan bentuk atau terjadi morfofonemik ketika dilekatkan dengan BD pada proses pembentukan kata.

(38) {-kan} + [lulUh] → [lulUhkan] ‘luluhkan’ Morf-morfnya diidentifikasi berupa :

[lulUh] ‘luluh’ {-kan} ‘-kan’

(39) {-i} + [jalan] → [jalani] ‘jalani’ Morf-morfnya diidentifikasi berupa :

[jalan] ‘jalan’

(58)

47 (40) {-an} + [awal] → [awalan] ‘awalan’

Morf-morfnya diidentifikasi berupa : [awal] ‘awal’

{-an} ‘-an’ 4.1.4 Morfofonemik Level Konfiksasi

Konfiks merupakan pembubuhan pada kata dasar yang dilakukan dengan bersamaan pada awal dan akhir kata dasar. Terdapat beberapa konfiks dalam BI yang mampu membentuk kategori baru pada kata dasar yang telah dibubuhi oleh konfiks tersebut. Adapun konfiks-konfiks tersebut adalah {məŋ-kan}, {məŋ-i}, {kə-an}, {pəŋ-an}, {pər-an}, dan {bər-an}. Pada pembubuhan konfiks ini terjadi terjadinya proses morfofonemik.

1.Perubahan Fonem pada Konfiksasi

1)Perubahan Fonem pada Morfem Afiks {məŋ-kan}

Pada morfem afiks {məŋ-kan} mengalami perubahan fonem ketika dilekatkan dengan bentuk dasar pada proses pembentukan kata menjadi {mən -kan}, {məm-kan}, {məñ-kan}.

(41) {məŋ-kan} + [taña] → [mənañakan]‘menanyakan’ Morf-morfnya diidentifikasikan berupa :

[taña] ‘tanya’ {məŋ-kan} ‘men-kan’

(42) {məŋ-kan} + [bayaŋ] → [məmbayaŋkan]‘membayangkan’ Morf-morfnya diidentifikasikan berupa :

[bayaŋ] ‘bayang’ {məŋ-kan} ‘mem-kan’

(43) {məŋ-kan} + [salah] → [məñalahkan]‘menyalahkan’ Morf-morfnya diidentifikasikan berupa :

(59)

48 2)Perubahan Fonem pada Morfem Afiks {məŋ-i}

Pada morfem afiks {məŋ-i} mengalami perubahan fonem ketika dilekatkan dengan bentuk dasar pada proses pembentukan kata menjadi {mən -i}, {məm-i}, {məñ-i}.

3)Perubahan Fonem pada Morfem Afiks {pəŋ-an}

(60)

49 2.Penambahan Fonem pada Konfiksasi

1) Penambahan Fonem pada Morfem Afiks {məŋ-kan}

Penambahan fonem pada morfem afiks {məŋ-kan} terjadi pada proses pembentukan kata ketika dilekatkan dengan BD akan terjadi penambahan fonem berupa fonem /e/ sehingga morfem afiks tersebut membentuk morf menjadi {məŋə-kan}.

(50) {məŋ-kan} + [dəpan] → [məŋədəpankan] ‘mengedepankan’ Morf-morfnya diidentifikasi berupa :

[dəpan] ‘depan’ {məŋ-kan} ‘menge-kan’ 2) Penambahan Fonem pada Morfem Afiks {məŋ-i}

Proses morfofonemik juga terjadi pada morfem afiks {məŋ-i} berupa penambahan fonem. Penambahan fonem ini terjadi pada proses pembentukan kata ketika morfem afiks {məŋ-i} dilekatkan dengan BD. Penambahan fonem tersebut yaitu berupa penambahan fonem /e/ pada morfem afiks {məŋ-i} sehingga menjadi morf {məŋə-i}.

(51) {məŋ-i} + [tahu] → [məŋətahui]‘mengetahui’ Morf-morfnya diidentifikasi berupa :

[dəpan] ‘depan’ {məŋ-kan} ‘menge-kan’

3)Penambahan Fonem pada Morfem Afiks {pəŋ-an}

Proses morfofonemik dapat terjadi pada konfiksasi seperti pada morfem afiks {pəŋ-an} yang mengalami penambahan fonem dalam proses pembentukan kata berupa penambahan fonem /e/ sehingga membentuk morf {pəŋə-an}. (52) {pəŋ-an} + [tes] → [məŋətesan] ‘pengetesan’

Morf-morfnya diidentifikasi berupa : [tes] ‘tes’

(61)

50 3.Penghilangan Fonem pada Konfiksasi

1) Penghilangan Fonem pada Morfem Afiks {məŋ-kan}

Selain mengalami perubahan dan penambahan fonem morfem afiks {məŋ-kan} juga mengalami penghiilangan fonem pada proses pembentukan kata. Penghilangan fonem tersebut berupa penghilangan fonem /ŋ/ sehingga morfem afiks {məŋ-kan} akan menjadi morf {mə-kan}.

(53) {məŋ-kan} +[rəbUt] →[mərəbUtkan]‘merebutkan’ Morf-morfnya diidentifikasi berupa :

[rəbUt] ‘rebut’ {məŋ-kan} ‘me-kan’

2) Penghilangan Fonem pada Morfem Afiks {məŋ-i}

Demikian pula morfem afiks {məŋ-i} yang mengalami penghilangan fonem /ŋ/ setelah dilekatkan dengan BD pada proses pembentukan kata. Penghilangan fonem tersebut menyebabkan morfem afiks {məŋ-i} mempunyai morf {mə-i}.

(54) {məŋ-i} + [lewat] → [məlewati] ‘melewati’ Morf-morfnya diidentifikasi berupa :

[lewat] ‘lewat’ {məŋ-i} ‘me-i’

3) Penghilangan Fonem pada Morfem Afiks {pəŋ-an}

(62)

51 (55) {pəŋ-an} + [lari] → [pəlarian] ‘pelarian’

Morf-morfnya diidentifikasi berupa : [lari] ‘lari’

{pəŋ-an} ‘me-an’

Seperti yang telah dijelaskan di atas proses morfofonemik level afiksasi, khususnya pada konfiksasi mengalami proses morfofonemik berupa perubahan, penambahan, dan penghilangan fonem. Proses morfofonemik tersebut terjadi pada morfem afiks yang dilekatkan dengan BD. Meskipun demikian terdapat beberapa morfem afiks BIyang tidak mengalami proses morfofonemik ketika dilekatkan dengan BD, seperti morfem afiks kan} (khusus morf {məŋ-kan} ), {kə-an}, {pər-an}, dan {bər-an}. Morfem-morfem tersebut tidak mengalami proses morfofonemik jika dilekatkan dengan BD pada proses pembentukan kata. Berikut dipaparkan data morfem afiks yang tidak mengalami proses morfofonemik.

(57) {məŋ-kan} + [gabUŋ]→ [məŋgabUŋkan] ‘menggabungkan’ Morf-morfnya diidentifikasi berupa:

[gabUŋ] ‘gabung’ {məŋ-kan} ‘meng-kan’

(56) {kə-an} + [cantIk → [kəcantikan] ‘kecantikan’ Morf-morfnya diidentifikasi berupa:

[cantIk] ‘cantik’ {kə-an} ‘ke-an’

(57) {pər-an} + [atUr] → [pəraturan] ‘peraturan’ Morf-morfnya diidentifikasi berupa:

[atUr] ‘atur’ {pər-an} ‘per-an’

(58) {bər-an} + [jatUh] → [bərjatuhan] ‘berjatuhan’ Morf-morfnya diidentifikasi berupa:

Gambar

Tabel 1. Bentuk kata yang nyelneh dari KPK ( morf {n-} )
Tabel 2. Bentuk kata yang nyelneh dari KPK ( morf {m-} )
Tabel 3. Bentuk kata yang nyelneh dari KPK ( morf {m-} )
Tabel 4. Bentuk kata yang nyelneh dari KPK ( morf {ŋə-} )
+7

Referensi

Dokumen terkait

Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Per.05/Men/2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No Per.02/Men/2011 tentang Jalur

Mengembangkan perangkat kegiatan Praktikum fisika Dasar yang dapat untuk mengembangkan keterampilan proses mahasiswa (berbasis inquiry) terdiri dari SAP, panduan

Alat yang digunakan untuk menganalisis laporan keuangan tersebut adalah dengan menggunakan rasio keuangan yang terdiri dari empat rasio, yaitu : rasio likuiditas, rasio

Model manajemen pelatihan IPA terpadu hasil pengembangan ini memiliki nilai keefektifan sebagai berikut: (1) terbukti dapat meningkatkan kemampuan kompetensi profesional IPA

Berdasarkan permasalahan diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang “Hubungan Jumlah Konsumsi Vitamin A Dengan Pengeluaran ASI pada ibu post partum

Kota Manado adalah Ibu Kota dari Provinsi Sulawesi Utara. Manado merupakan Ibukota provinsi Sulawesi Utara tak heran dikota Manado saat ini memiliki banyak fasilitas yang

Terhadap Keterampilan Berpikir Kreatif Dan Prestasi Belajar IPS”.. ini merupakan eksperimen semu dengan menggunakan rancangan The Posttest-Only Control Group Design dengan

Pada penelitian ini saya ingin mengetahui apakah pelayanan kesehatan yang diberikan pada pasien rawat inap di Pusat Pelayanan Jantung dan Pembuluh darah Rumah Sakit Umum