• Tidak ada hasil yang ditemukan

M. Subhi-Ibrahim TASAWUF. Pengantar Memahami Dimensi Batin Islam. YPI Al-Mumtaaz

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "M. Subhi-Ibrahim TASAWUF. Pengantar Memahami Dimensi Batin Islam. YPI Al-Mumtaaz"

Copied!
64
0
0

Teks penuh

(1)

M. Subhi-Ibrahim

TASAWUF

Pengantar Memahami Dimensi Batin Islam

YPI Al-Mumtaaz

(2)

TASAWUF

PENGANTAR MEMAHAMI DIMENSI BATIN ISLAM

© M. Subhi-Ibrahim

Hak cipta dilindungi undang-undang Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau keseluruhan isi buku ini dalam bentuk apa pun

tanpa seizin tertulis dari penulis

Cetakan pertama Januari 2020

Diterbitkan oleh Yayasan Pendidikan Islam

Al-Mumtaaz

Link. Pulorida RT 04 RW 01

Kelurahan Lebak Gede Kecamatan Pulo Merak Kota Cilegon Provinsi Banten

(3)

“WAHAI TUHANKU,

TUNJUKANLAH SEGALA SESUATU

SEBAGAIMANA ADANYA”

(4)

PENGANTAR

Alhamdulillah. Puja dan Puji Ilahi, syukur tak bertepi.

Shalawat dan salam untuk logos agung, Rasulullah Muhammad dan keluarganya yang suci.

Awalnya, buku Tasawuf: Dimensi Batin Islam adalah artikel yang saya siapkan, presentasikan dalam kursus Ilmu-Ilmu Islam yang diselenggarakan oleh Paramadina Institute of Ethics and Civilization (PIEC) Paramadina. Materi ini pun merupakan bahan ajar pada mata kuliah Tasawuf di Program Studi Falsafah dan Agama Universitas Paramadina.

Dalam sekujur teks buku ini, saya menjelaskan tasawuf dengan banyak mengutip tulisan-tulisan dari para Perennialis. Harapan saya, tasawuf bisa ditampilkan dengan wajah “kedalamannya.”

Secara sederhana, Islam punya dua dimensi: lahir dan batin.

Dimensi lahir diwakili syariah, dimensi batin direpresentasikan oleh thariqah, jalan spiritual, yang disebut juga tasawuf. Tasawuf itu seperti jantung. Tak terlihat, namun dialah bekerja, memompa darah yang memungkinan manusia hidup secara biologis. “Tasawuf adalah jantung Islam,”tulis Seyyed Hossein Nasr. Pengabaian atas dimensi batin akan mengakibat ketidakseimbangan dalam menghayati Yang Ilahi dalam hidup beragama. Karena itulah, kita temukan, sebagian orang beragama tetap merasakan ketakbermaknaan, tak bahagia meski telah menjalankan syariah.

Terimakasih untuk semua pihak yang mendukung penulisan, penerbitan buku ini. Persembahan untuk keluarga kecil, Ummah Rosani, Aa Haydar dan Dede Syahzanan. Akhir al-

(5)

kalam, semoga bermanfaat bagi pembaca, serta menjadi jariyah kebaikan bagi saya yang penuh alpa ini.

Cilegon, Januari 2020

M. Subhi-Ibrahim

(6)

DAFTAR ISI

PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vi

I. PENDAHULUAN Manusia Modern dan Dimensi Batin Islam ………. 2

II. APAKAH TASAWUF ITU ? Tasawuf, Mistisisme Islam dan Irfan ... 5

Para Pemakai Baju Wol ... 6

Tasawuf di Mata Sufi ... 8

Tasawuf dalam Islam……….. 10

Asal-Usul Tasawuf……….. 13

Relasi Tasawuf dan Syariah………... 16

Persoalan Mustaswif, Pura-Pura “nyufi”……… 18

II. DOKTRIN TASAWUF Doktrin sebagai Theoria ... 21

Urgensi Doktrin dalam Tasawuf ... 23

Syahadatain: Sumber Doktrin ... 24

Wahdah al-Wujud ... 32

Insan Kamil (Manusia Sempurna)………. 34

III. JALAN SPIRITUAL Ma’rifah, Mahabbah dan Makhafah ………... 39

IV. KEBAJIKAN SPIRITUAL Kebajikan Spiritual ………. 43

Kerendahan hati ……….. 43

Kemurahan Hati ... 44

(7)

Kejujuran ……….. 45

V. DZIKR Doa sebagi Ritus Utama ……… 47

Doa sebagai Subtansi ……… 47

Doa dari Hati ……….. 48

VI. PENUTUP ……….. 51

DAFTAR PUSTAKA ... 54

TENTANG PENULIS ... 56

(8)
(9)

PENDAHULUAN

(10)

Manusia Modern dan Dimensi Batin Islam

“Manusia Modern membakar tangannya dengan api yang dinyalakannya sendiri karena ia lupa siapakah ia sesungguhnya,”demikian deskripsi Nasr tentang nestapa manusia modern.1 Manusia modern mengalami krisis:

ketakseimbangan psikologis dan lingkungan hidup.

Penyebabnya penyakit amnesia, lupa jati diri karena hidup di pinggir lingkaran eksistensi sebagai akibat proses desakralisasi pengetahuan dan kosmos. Efeknya, manusia modern kehilangan perspektif sakralitas dan horizon spiritual, yang mengkristal dalam misosophia, membenci kebijaksanaan.

Agama bisa berkontribusi mengatasi krisis manusia modern dengan menghadirkan dimensi esotetik, batin agama sebagai jalan mengenal jati diri, mengembalikan

“Yang Sakral” dalam keseharian, sekaligus merevitalisasi perspektif integral holistik dalam memandang kosmos raya dan relasinya dengan manusia. Dimensi batin Islam disebut thariqah, atau tasawuf.

1 Lihat: Seyyed Hossein Nasr, Islam and the Plight of Modern Man, (Chicago: ABC International Group Inc., 2001), 4.

(11)

Buku ini bertujuan mengungkap kembali apa itu tasawuf, ajaran-ajaran dan praktek spiritual utamanya.

Sekujur pembahasan tentang sketsa tasawuf ini merujuk pada karya-karya para perenialis: Frithjof Schuon, Titus Burkchardt, Martin Lings, William C. Chittick, terutama Seyyed Hossein Nasr. Inilah titik beda buku ini dengan sejumlah tulisan-tulisan lain tentang tasawuf.

Pembahasan meliputi 3 pokok kajian: (1) Apa itu tasawuf

? (tasawuf, mistisisme, dan irfan; para pemakai baju wol, tasawuf di mata para sufi, tasawuf dalam Islam, beberapa persoalan yang mencakup kontroversi asal- usul tasawuf, relasi tasawuf dengan syariah, dan fenomena mustaswif); (2) Fondasi Tasawuf (doktrin wahdah al-wujud dan insan kamil; jalan spiritual yang menjelaskan tentang ma’rifah, mahabbah, dan makhafah; kebajikan-kebajikan spiritual: kerendahan hati, kemurahan hati, dan kejujuran); (3) Dzikr sebagai ritus utama.

(12)

APAKAH

TASAWUF ITU?

(13)

Tasawuf, Mistisisme Islam dan Irfan

Minimal, ada tiga istilah dimensi batin Islam: tasawuf atau sufisme, mistisisme Islam, dan Irfan. Tasawuf adalah partisipasi-aktif dalam jalan spiritual dan bersifat intelektual (dalam arti sebenarnya); integrasi kehidupan aktif dengan kontemplatif (aktivitas tertinggi). Tasawuf berpijak pada al-Quran dan Sunnah Nabi demi raih pengetahuan iluminatif (al-irfan).

Selanjutnya, mistisisme Islam. Istilah ini dipakai oleh Annemarie Schimmel. Dalam bahasa Eropa kontemporer, istilah mistisisme bernuansa pasif dan anti intelektual karena pengalaman pertentangan berabad-abad penganut Kristen dengan rasionalisme. Meskipun demikian, sebetulnya, istilah mistisisme, dalam arti generiknya, ialah yang berhubungan dengan “misteri agung”, dan mengakui para mistikus, seperti St.

Agustinus, Eckhart, Gregorius dari Palamas. Karena itu, bila tasawuf diistilahkan dengan mistisisme Islam, maka itu dalam arti generiknya, sebenarnya, bukan dalam arti modern. Sedangkan istilah terakhir , irfan, berarti aspek doktrin dari tasawuf.

(14)

Para Pemakai Baju Wol

Kata tasawuf untuk kali pertama diperkenalkan oleh Abu Hasyim al-Kufi (w. 150 H), seorang asketik (zahid). Mir Valiudin melacak ragam akar etimologis istilah sufi atau tasawuf dan memberi catatan kritis atasnya. 2

(1) Safa (kesucian). Bishr ibn al-Harits berkata,”sufi adalah orang yang hatinya tulus (safa) kepada Allah”

Namun, menurut Valiudin, bila istilah sufi berasal dari safa, maka bentuk yang tepat seharusnya safawi, bukan sufi.

(2) Saff (baris pertama shalat). “Karena mereka berada di baris pertama (saff) di depan Allah...” Lagi-lagi, Valiudin memberi catatan. Jika istilah sufi berasal dari saff, maka seharusnya saffi, bukan sufi.

(3) Suffa (bangku). Istilah suffa merujuk pada sahabat Nabi yang tinggal di emperan Masjid yang disebut ahl al-suffa. Mereka yang meninggalkan dunia, terpisah dari rumah, meninggalkan teman-teman mereka. Namun, bagi Valiudin, bila istilah sufi berasal dari kata suffah, maka seharusnya suffi, bukan sufi.

(4) Suf (wol). Mengapa ? Karena kebiasaan mereka memakai pakaian yang terbuat dari kain wol kasar.

Nah, seperti Ibn Khaldun, Valiudin berpandangan bahwa, secara etimologis, kata inilah yang tepat.

Tasawwafa, “dia memakai baju dari wol”, seperti taqammasa, “dia memakai kemeja”.

2 Mir Valiudin, Tasawuf dalam al-Quran, Terj. Tim Penerjemah Firdaus, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1987), 1-2

(15)

Ada satu istilah lagi yang kerap dikaitkan dengan akar istilah tasawuf, yakni kata sophos (arif), dari bahasa Yunani. Namun, menurut Annemarie Schimmel, secara filologis tak bisa diterima. Menurut Schimmel, yang umum diterima adalah bahwa, kata sufi berasal dari kata suf (wool).3 William C. Chittick mempertegas pendapat Nasr, Schimmel, Valiudin dan Ibn Khaldun.

Menurutnya, para sarjana modern menyimpulkan bahwa makna asal yang paling mungkin dari kata itu adalah

“orang yang mengenakan wol”. Secara historis, sejak abad ke-8 M/2 H, para asketis memang memakai pakaian kasar yang terbuat dari wol.4

3 Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik dalam Islam, Terj.

Sapardi Djoko Damono dkk, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), 15.

4 William C. Chittick, Sufism: Beginners Guides, (Oxford:

Oneworld Publications), 22.

(16)

Tasawuf di Mata Sufi5

Schimmel mengumpulkan berbagai pendapat para sufi tentang tasawuf sebagai berikut. “Tasawuf tak tercapai dengan banyak doa dan puasa, tapi merupakan keamanan hati dan kedermawanan jiwa,” kata Junaid.

Abu Nasr al-Sarraj menulis bahwa,”tasawuf berarti tak memiliki apa pun dan tak dimiliki apa pun.” Al-Sarraj melanjutkan bahwa,”tasawuf adalah kebebasan dan kedermawanan dan tiadanya paksaan diri.” Ruway menasihati Ibn Khafif,”tasawuf berarti mengorbankan jiwa—tetapi jangan merepotkan dirimu dengan celoteh kecil para sufi.” Maulana Abd al-Rahman al-Jami’

berpendapat bahwa, sufi berpendirian “setia pada janji dan bersikap tak lelah mencari dan tak kecewa karena kehilangan”. Dzun al-Misri mengemukakan bahwa,

“kaum sufi adalah orang-orang yang lebih suka kepada Tuhan daripada apa pun dan Tuhan lebih suka kepada mereka daripada apa pun”. Sahl al-Tustari membuat definisi sufi sebagai,”orang yang darahnya sah dan kekayaannya diperkenankan (yakni orang yang boleh dibunuh dan kekayaannya secara sah bisa dibagikan kepada orang-orang saleh), dan apa pun yang dilihatnya,

5 Schimmel, Dimensi Mistik dalam Islam, 15-20.

(17)

dilihatnya dari Tuhan, dan diketahuinya bahwa kasih sayang Tuhan merangkum semua ciptaannya”.

Ragam pengertian tasawuf lahir dari penekanan yang berbeda-beda dari para sufi. Contoh lain, misalnya Junaid dan Nuri yang menekankan pada akhlak. Bagi Junaid dan Nuri,”Tasawuf tak tersusun dari praktek dan ilmu tetapi merupakan akhlak,” dan “siapa pun yang melebihimu dalam nilai akhlak, berarti melebihimu dalam tasawuf”. Para sufi lain, seperti al-Hujwiri, Khaqqani dan Rumi lebih menekankan pemurnian jiwa.

“Ia yang dimurnikan cinta menjadi murni (safi), dan ia yang memurnikan Kekasih menjadi sufi,” tulis al-Hujwiri.

“Aku murni karena aku menjadi abdi kemurnian sufi,”

kata Khaqqani. “Apa itu tasawuf,”tanya seseorang pada Jalal al-Din Rumi. Rumi Menjawab, “menemukan kebahagiaan di hati apabila kesusahan tiba”.

(18)

Tasawuf dalam Islam6

Esensi tasawuf dalam dilacak dalam teks-teks suci Islam, al-Quran dan hadits. Dalam al-Quran disebut tentang manusia dekat sekali dengan Tuhan (QS. Al- Baqarah [2]: 186), bahkan lebih dekat dari pada pembulu darahnya (QS. Qaaf [50]:16), dan tindakan-Nya menyatu dalam tindakan manusia (QS. Al-Anfal [8]:17), dan manusia akan menatap-Nya di mana pun Dia berada (QS. Al-Baqarah [2]115).

Dalam al-Hadits, dapat pula kita temukan sejumlah perkataan Nabi yang mengisyaratkan ajaran tasawuf, hubungan manusia dengan Tuhan. Misalnya:

“Barangsiapa yang mengenal dirinya, maka mengenal Tuhannya.” Dalam hadits yang lain,”Aku pada mulanya adalah harta yang tersembunyi (kanzan makhfiyyan), kemudian Aku ingin dikenal, maka kuciptakanlah makhluk dan melalui Aku mereka pun kenal pada-Ku”.

Secara eksplisit, Nabi menyatakan juga,”syariah ialah kata-kataku (aqwali), thariqah ialah perbuatanku (a’mali) dan haqiqah ialah keadaan batinku (ahwali)”.

6 Penjelasan lebih detil tentang dasar dan posisi tasawuf dalam Islam, lihat bab “the way of the Sufis” dalam Jean Louis- Michon, Introduction to Traditional Islam: Foundations, Art, and Spirituality, (Bloomington: WorldWisdom, 2008), 123-126.

(19)

Dalam struktur keagamaan Islam, tasawuf dapat dipandang sebagai Ihsan. Agama (al-din) Islam terdiri dari tiga elemen: Iman (apa yang harus dipercaya), Islam (apa yang harus dilakukan, hukum atau syariat), ihsan (tindakan kebajikan, intensifikasi iman dan tindakan).

Dalam hadits Nabi, ihsan diartikan sebagai

“beribadahlah seolah-olah engkau melihat-Nya, dan pabila engkau tak melihat-Nya, Ia tetap melihatmu.”

Inilah batasan tasawuf, kata Seyyed Hossein Nasr.

Dalam Sufism: Veil and Quintessence, Schuon menjelaskan hakikat ihsan.7 Menurut Schuon, ihsan adalah ketulusan intelegensi dan kehendak; Keterikatan total (pikiran) pada kebenaran, sekaligus kepatuhan (tindakan) pada hukum. Ihsan inilah esoterisme Islam.

Ihsan merupakan kepercayaan dan tindakan yang benar, sekaligus inti dari keduanya. Inti kepercayaan yang benar ialah kebenaran metafisik, haqiqah. Inti tindakan yang benar adalah dzikr. Jadi, ihsan mengandung dua mode: haqiqah dan dzikr, atau tauhid dan ittihad.

Schuon menyimpulkan bahwa, secara eksoterik, ihsan adalah loyalitas iman, aktivitas ritual, bersifat kuantitatif dan horizontal. Secara esoterik, ihsan punya dua penekanan: gnosis (pengetahuan) bersifat intelektual,

7 Lihat: Frithjof Schuon, Sufism: Veil and Quintessence, (Bloomington: WorldWisdom, 2006), 101-102.

(20)

dan cinta yang menuntut totalitas kehendak dan rasa.

Karena itu, dalam tasawuf, pengetahuan dan cinta adalah jalan spiritual.

(21)

Asal-Usul Tasawuf

Massignon, Margoliouth, Corbin serta generasi baru, seperti Michel Chodkiewicz, William Chittick. Carl Ernst, Vincent Cornell, dan pastinya A. M. Schimmel, menyebut bahwa al-Quran adalah sumber thariqah, meskipun sebagian banyak sarjana Barat lain mengajukan sejumlah teori tentang asal-usul thariqah.

Teori-teori tersebut antara lain:

ASAL

PENGARUH POKOK PENGARUH

Kristen cara hidup para rahib: sederhana, mengasingkan diri, meninggalkan dunia.

Filsafat Pythagoras

roh manusia kekal; di dunia sebagai orang asing; badan penjarah roh;

kesenangan roh ada di alam samawi;

unmtuk itu, harus membersihkan roh, meninggalkan hidup materi., dengan berkomtemplasi.

Filsafat Plotinus

wujud memancar dari Yang Esa, roh berasal dari Tuhan dan kembali kepada- Nya. Roh jadi kotor karena jatuh ke dunia, karenanya perlu dibersihkan agar kembali ke tempat asalnya. Cara penyuciannya: meningalkan dunia, dekat atau bahkan menyatu dengan Tuhan.

Budhisme ajaran tentang nirwana, yaitu: untuk mengapai nirwana harus meninggalkan dunia, berkomtemplasi.

Hinduisme meninggalkan dunia, dekat dan persatuan Atman dengan Brahman.

(22)

Asumsi a priori di balik teori-teori tersebut adalah Islam bukan wahyu Tuhan dan tak punya dimensi spiritual asli. Di Barat, tertanam kuat bahwa, Islam agama kekerasan karena itu bentuk kontemplasi, metafisis pastilah merupakan peminjaman dari luar.

Seyyed Hossein Nasr menanggapi pandangan tersebut.

Pertama, sifat dasar jalan spiritual. Sebuah jalan spiritual merupakan petunjuk pelampauan batas-batas manusiawi, pendekatan pada Yang Ilahi. Karena itu, jalan spiritual bukan ciptaan manusia. Melampaui batas-batas manusiawi dengan ciptaan manusia adalah absurd. Percaya pada jalan spiritual berarti percaya bahwa jalan tersebut adalah anugerah Tuhan, bukan ciptaan manusia. Jadi, apakah thariqah bersumber dari

“dalam” atau pinjaman dari “luar” Islam?

Kedua, “barakah” tradisi. Thariqah melahirkan orang- orang suci dan kekuatan spiritual. Hal itu karena

“barakah” yang memungkinkan transformasi jiwa, yang berasal dari Yang Suci, wahyu Tuhan. Itulah al-barakah al-muhammadiyah. Tiap tradisi pohon spiritual berakar pada tradisi sendiri. Misalnya, pemeluk Kristen akan menganggap absurd pernyataan bahwa, spiritualitas St.

Agustinus berasal dari Yunani karena ia “pakar”

Platonisme dan Neoplatonisme, sebab mereka tahu, St.

Agustinus jadi santo bukan karena pembacaan atas karya-karya para filsuf melainkan melalui anugerah

(23)

Kristus. Plato dan Plotinus hanya memberi “bahasa yang tepat” untuk mengekpresikan kebenaran Kristus. Begitu pula, sangat absurd mengatakan bahwa, spiritualitas al- Hallaj , Ibn Arabi atau Rumi bersifat non-Islam karena mereka bicara cinta yang “menyerupai” ajaran Krissten, atau karena meminjam rumusan doktriner neo- platonisme atau hermeneutisisme. Yang membuat mereka suci bukan ide para bijak Kristen dan Yunani tetapi karena barakah Muhammad, kehadiran Ilahi dalam teknik thariqah. Mereka adalah “fruits of the spiritual tree of Islam” yang tumbuh di “lahan-tanah”

wahyu dan berakar pada ikatan-langsung manifestasi spiritual dengan sumbernya.

Sebagai perbandingan: kasus pengaruh thariqah pada gerakan bhakti dan sejumlah orang suci Hindu di India.

Mereka membuat sajak-sajak spiritual berdasar pada sajak-sajak sufi Persia, namun bila bersemadi, tetap menyebut nama “Rama” atau orang suci lainnya. Nah, yang membuat mereka suci adalah “barakah” para inkarnasi Tuhan dalam tradisi Hindu, bukan sajak-sajak sufi. Intinya, tiap tradisi punya norma spiritual sendiri yang tampak pada orang-orang suci mereka.

(24)

Relasi Syariah dengan Tasawuf

Syariah adalah hukum Tuhan. Penerimaan atasnya menentukan kemusliman. Hidup sesuai syariah, mencapai keseimbangan, sekaligus dasar dari thariqah.

Hanya orang yang dapat berjalan di tanah dasar yang dapat berharap mendaki gunung. Tanpa syariah, thariqah mustahil.

Hubungan syariah dan thariqoh digambarkan dengan lambang lingkaran. Dari tiap titik lingkaran dapat dibuat jari-jari tak berhingga yang menghubungkan titik-titik tersebut dengan pusat lingkaran. Lingkaran itu syariah, jari-jari turuq, thariqah. Tiap jari-jari adalah jalan menuju pusat. Jalan menuju pusat, Tuhan sebanyak keturunan Adam. Dengan berdiri di dalam lingkaran, menerima syariah kemungkinan terbuka pintu kehidupan spiritual bisa disadari.

Di pusat terletak hakikat, Kebenaran sumber thariqah syariah. Syariah dan thariqah diciptakan Tuhan menjadi Kebenaran. Keduanya cermin hakikat dengan cara yang berbeda. Menjalani syariah adalah hidup dalam pencerminan hakikat sebab lingkaran adalah refleksi Pusat. Sebagian orang yang tak hanya ingin hidup dalam refleksi hakikat, tapi juga mencapainya, berjalan ke Pusat. Thariqah adalah cara yang diturunkan Tuhan

(25)

untuk mencapai tujuan akhir, hakikat segalanya di mana tradisi dan cara atau lingkaran dan jari-jari berasal.

Dalam sejarah, keseimbangan aspek esoteris dan eksoterik dipertahankan. Ada ancaman dari dua kelompok: Pertama, ulama al-zahir, ahli-ahli hukum, menolak tariqah atas nama menjaga syariah. Mereka ulama palsu (qishri) yang merusak keseimbangan dimensi Islam. Kedua, orang-orang yang memberi pekanan berlebihan pada tariqah seolah tariqah dapat bertahan tanpa syariah. Ekteriorisasi batin tanpa syariah melahirkan sekte-sekte, penyimpangan ortodoksi, agama semu.

Jadi Islam adalah totalitas esoterik dan eksoterik, seperti buah kenari. Kulitnya adalah syariah, isinya ialah tariqah, dan minyaknya yang tak tampak tapi ada di mana-mana adalah hakikat. Kenari tak dapat tumbuh tanpa kulit, tanpa isi tak berarti. Syariah tanpa thariqah adalah tubuh tanpa jiwa, dan thariqah tanpa syariah tak akan mampu bertahan, tak bisa memanifestasikan diri di dunia. Bagaimana dengan ucapan sejumlah sufi seolah- olah menolak syariah? Ucapan tersebut ditujukan pada orang-orang yang hanya menjalankan syariah, ajakan untuk mereka melampaui bentuk, menembus batin syariah.

(26)

Persoalan Mustaswif, Pura-Pura “Nyufi”8

Faqir, orang-orang miskin, itulah sebutan bagi orang yang menjalani tasawuf. “Tuhan itu serba kecukupan dan kamu serba kekurangan”. (QS. Muhammad [47]:38)

“Berbahagialah mereka yang berjiwa miskin,” kata Isa al- Masih. Faqir berarti menyadari “kefakiran” Muhammad (al-faqr al-muhammadi), yakni sadar bahwa, ia tidak punya apa-apa, semua adalah milik Tuhan; sadar bahwa, secara metafisis ia tak memiliki apa pun; hanya Tuhan yang ada.

Seorang faqir tak pernah dipanggil sufi. Mengapa?

Karena seorang sufi adalah seseorang yang telah mencapai akhir jalan, yakni: ketunggalan tertinggi.

Karena itu, ia disebut mutasawwif: pengikut tasawuf.

Nah, ada istilah lain, mustaswif yaitu orang yang pura- pura jadi sufi, bermain-main dengan ajaran tasawuf tanpa menjalankannya, yang diibaratkan laksana lalat yang beterbangan di sekitar gula-gula.

Panggilan lain: ahl al-thariqah (pengikut thariqah), ahl- isyarah (pembelajar melalui perumpamaan), ahl i-dil (bahasa Persia, berarti: yang menggunakan hati) dan

8 Seyyed Hossein Nasr, Ideals and Realities of Islam, (Chicago:

ABC International Groups, Inc., 2000), 126.

(27)

panggilannya lainnya yang berhubungan dengan aspek tertentu dari tasawuf.

Faqir dapat disebut juga darvish (bahasa Persia), yang lazim digunakan d Dunia Islam Timur, atau juga murid (ia yang ingin menjalankan thariqah). Sedangkan guru spiritual sebagai pedoman sepanjang perjalanan ke arah kesadaran spiritual disebut syaikh (yang lebih tua atau master), mursyid (dia yang membimbing), atau Pir (yang lebih tua), atau juga murad ( dia yang dicari).

(28)

DOKTRIN

TASAWUF

(29)

Doktrin sebagai Theoria

Tasawuf terdiri dari doktrin dan metode, pembedaan dan penyatuan. Doktrin berisi ajaran tentang asal-usul realitas (metafisika). Hanya Allah yang Nyata, yang mutlak, selain-Nya adalah ilusi, nisbi. Inilah pembedaan (al-furqan). Metode mengandung cara-praktis menyatu dengan Yang Nyata. Doktrin dan metode bersifat esensial, berasal dari kalimat syahadat, yang tampak dalam kebajikan (ihsan, ketulusan). Karena itu jalan spiritual (tariqah) memiliki tiga elemen: doktrin, kebajikan batin, dan alkemi spiritual yang berasal dari Nabi.

Doktrin tak sama dengan filsafat tapi dengan hikmah, kebijaksanaan, atau theoria (dalam arti generiknya), pandangan intelektual tentang Kebenaran, anatomi kosmos-raya serta manusia, dan Nama, Sifat dan kualitas-kualitas Allah. Instrumen doktrin adalah akal (intelek).9 Dalam tradisi Islam, intellectus bukan ratio, akal bukan pikiran. Pikiran adalah bayangan mental dari akal. Pikiran melahirkan filsafat, sedangkan metafisika produk intelek. Memahami doktrin bukanlah pencocokan

9 Manusia memiliki tiga elemen: jism (soma, corpus, tubuh), nafs (psyche, anima, jiwa), dan ruh (pneuma/nous, spiritus, intellectus). Lihat: William Stoddart, Remembering in a World of Forgetting: Thoughts on Tradition and Postmodernism, (Bloomington: WorldWisdom, 2008), 78.

(30)

ide dalam suatu pola logis, bermain-main dengan ide, atau akrobat mental, tapi pandangan-kontemplatif tentang asal-asul segala sesuatu dengan intelek. Doktrin mudah dipelajari dengan pikiran, tapi tak mudah dipahami sebab mensyaratkan penggunaan intelek.

(31)

Urgensi Doktrin dalam Tasawuf

Doktrin adalah awal dan akhir jalan spiritual. Mulanya, ia adalah pengetahuan “teoritis”, akhirnya ia disadari dan dijalani. Doktrin merupakan anak kunci pembuka pintu-pintu dalam “pengembaraan” agar bisa melanjutkan perjalanan hingga sampai di ujung jalan.

Memang, ada yang meremehkan urgensi doktrin.

Pengalaman dianggap lebih penting dari doktrin. Doktrin penting agar sang pejalan “tak tersesat.” Doktrin seperti sebuah lereng gunung yang “harus” didaki, dan pengetahuan yang dalam tentang gunung itu diraih melalui pengalaman dalam pendakian. Dalam Ideals and Realities of Islam, Nasr menyebut, ada dua doktrin sentral tasawuf: kesatuan wujud (wahdah al-wujud) dan manusia sempurna (insan kamil).

(32)

Syahadatain: Sumber Doktrin

Doktrin tasawuf merupakan turunan dari kredo persaksian Muslim, syahadatain. Sebelum membahas doktrin tasawuf, terlebih dahulu dikupas bagaimana penjelasan syahadatain perspektif metafisik dalam pemikiran para perenialis, dalam hal ini Schuon dan Nasr.

Secara metafisis, kesaksian Islam, “tidak ada tuhan selain Allah”, punya dua makna: Pertama, makna objektif, dalam arti, ada kejelasan, pemisahan antara Yang Nyata dan yang ilusi, antara Yang Mutlak dan yang relatif. Kedua, makna subjektif, yakni pembedaan ruhani antara yang lahir, keduniawian dengan Yang Batin, Ilahiyah, dimana Tuhan yang transenden muncul sebagai imanen, subjektif. Subjek di sini bukan ego manusia, tetapi akal murni, dengan ego yang disucikan sebagai jalan masuk. Agar menyeluruh, kesaksian pertama dilengkapi kesaksian kedua “Muhammad adalah utusan Allah”, yang merupakan dimensi penyatuan.

Maksudnya adalah, yang relatif selama mewujudkan Yang Mutlak tak lain adalah Yang Mutlak itu sendiri.

Maya tidak berbeda dengan atma dalam substansinya

(33)

yang “bukan-tak-nyata” nya. Secara subjektif, yang lahir, dunia tak lain adalah Yang Batin, yakni diri.10

Bagaimana detil struktur metafisis syahadatain? Frithjof Schuon, dalam Sufism: Veil and Quintessence,11 mengatomisasi syahadatain dari perspektif metafisis.

Karena itu, penjelasan tentang struktur metafisis syahadatain di bawah ini, saya kutip dari karya Schuon tersebut.

Kesaksian pertama terdiri dari la ilaha “tiada tuhan”, dan illa Allah “selain Tuhan. Bagian pertama adalah negasi(nafy), berhubungan dengan Manifestasi universal (ciptaan, alam semesta), yang merupakan ilusi terkait dengan Sang Prinsip. Sedangkan bagian kedua adalah konfirmasi (itbat), berhubungan dengan Prinsip, Realitas dalam kaitannya dengan Manifestasi adalah nyata dengan sendirinya.

Manifestasi memiliki realitas yang relatif, tanpa relasi dengan Prinsip, ia menjadi ketiadaan murni (pure nothingness). Oleh sebab itu, dalam Prinsip, secara komplementer, terdapat elemen relativitas sebab tanpa

10 Frithjof Schuon, Islam dan Filsafat Perenial, Terj. Rahmani Astuti, (Bandung: Mizan, 1998), 53.

11 Pembahasan tentang metafisika syahadatain ini diringkas dari: Schuon, Sufism: Veil and Quinessence, 104-108.

(34)

hal itu tidak ada penyebab dari manifestasi. Dengan kata lain, secara definitif, tak ada penyebab dari apa yang relatif. Simbol Taoisme, yin-yang, mengambarkan hubungan timbal-balik. Prinsip mengandung prefigurasi manifestasi yang lebih rendah dari esensi, dan membuat manifestasi menjadi mungkin. Manifestasi dalam pusatnya terdapat refleksi terhadap Prinsip, yang tanpanya ia menjadi independen, yang tidak mungkin, karena relativitas tidak memiliki konsistensi pada dirinya sendiri.

Prefigurasi manifestasi dalam Prinsip-Logos prinsip- direpresentasikan oleh kata illa (kecuali), sedang kata Allah menunjuk: Prinsip itu sendiri. Refleksi dari Prinsip (logos yang dimanifestasikan) direpresentasikan dengan kata : ilaha (tuhan, keilahiaan), sedangkan kata la (tidak ada atau tidak) berhubungan dengan manifestasi itu sendiri, bersifat ilusif dalam hubungannya dengan Prinsip, konsekuensinya, ia tak terbayangkan ada di luar atau terpisah dari Prinsip.

Kesaksian kedua, muhammad rasulullah, berhubungan dengan keesaan, tidak bersifat eksklusif, tapi inklusif;

bukan perbedaan, tapi kesamaan; bukan ketajaman, tapi kesatuan; bukan transendensi, tapi imanensi; bukan kontinuitas objektif dan makrokosmik dari tingkat-

(35)

tingkat realitas, tapi kontinuitas subjektif dan mikrokosmik dari kesadaran. Tidak seperti syahadah pertama, kesaksian kedua ini tidak statis dan terpisah, tapi dinamis dan unitif.

Pada kesaksian kedua, Prinsip ada dalam tiga aspek hypostatic: Muhammad (Prinsip yang dimanifestasikan/

the manifested Principle), Rasul (pemanifestasi Prinsip/

the manifesting Principle), dan Allah (Prinsip itu sendiri/

the Principle itself). Tekanan pada elemen tengah, Rasul, yang menghubungkan Prinsip yang termanifestasikan dengan Prinsip itu sendiri. Logos adalah spirit (ruh), tak tercipta atau diciptakan, dimanifestasikan dalam relasinya dengan Prinsip, bukan dalam relasinya dengan manifestasi.

Kata Rasul, utusan, menandakan “turunnya” Tuhan ke dunia (lailah al-qadr), dan sebaliknya, menyiratkan

“naiknya” manusia menuju Tuhan (lailah al-mi’raj).

Dalam mikrokosmos manusia, penurunan adalah inspirasi, kenaikan adalah aspirasi; penurunan adalah kasih Ilahi, dan kenaikan adalah ikhtiar manusia yang kandungannya: dzikrullah; sedangkan nama-nama dzikrullah diberikan pada Nabi. Dalam dzikir terdapat:

dzakir, dzikr, dan madzkur berhubungan dengan Muhammad, Rasul, Allah. Muhammad adalah hamba yang memohon, Rasul adalah permohonan atau doa, dan

(36)

Allah yang dimintai permohonan atau doa. Dalam doa, yang memohon dan yang dimintai permohonan bertemu, seperti Muhamad dan Allah bertemu dalam Rasul, atau risalah, pesan wahyu.

Aspek mikrokosmik rasul menjelaskan makna esoterik dari shalawat Nabi yang mengandung, di satu pihak, berkah atau shalawat, dan di pihak lain, kedamaian (salam). Kedamaian terkait dengan stabilisasi, penenangan dan kasih “horizontal”, sedangkan berkah berkait dengan mengubah, menghidupkan dan kasih

“vertikal”.

Sang nabi adalah intelek universal yang imanen, dan tujuan dari formula ini adalah pembangkitan intelek- hati, baik penerimaan maupun iluminasi. Kedamaian yang mematikan, dan kehidupan yang menghidupkan kembali, oleh dan dalam Tuhan.

Syahadah pertama berhubungan dengan transendensi, sesuai dengan imanensi. Kata illa mengimplikasikan:

semua kualitas positif, kesempurnaan, keindahan adalah milik Tuhan, bahkan Tuhan itu sendiri, seperti nama Tuhan al-Zahir dan al-Bathin. Syahadah kedua berhubungan dengan imanensi, sesuai dengan transendensi. Kata Rasul, utusan, berarti: Manifestasi—

Muhammad-- adalah jejak, pertanda dari Prinsip (Allah),

(37)

karena itu Manifestasi, bukan Prinsip. Terjadi timbal balik, yin-yang. Manifestasi bukan Prinsip tapi ia adalah Prinsip dengan partisipasinya dalam kebaikan dari eksistensi; manifestasi adalah Prinsip yang termanifestasikan, tanpa kemampuan menjadi Prinsip.

Kebenaran kedua tak bisa dipisahkan dari kesaksian yang pertama, sedangkan kebenaran yang terpisah dari yang pertama dapat dipisahkan dari yang kedua.

Puncak syahadah adalah dalam kata Allah yang meliputi dan mengatasi keberadaan. Allah Yang Absolut dan Tak Terhingga mengandung efek ekstrinsik dari kesempurnaan, yaitu manifestasi. Karena realitas absolut secara instrinsik itu Kebaikan, Keindahan, dan Rahmat, cenderung mengomunikasikan diri, karenanya ia memancar. Ini aspek tak terhingga Yang Absolut, aspek memproyeksikan kemungkinan, keberadaaan, yang darinya muncul dunia, benda dan makhluk hidup.

Nama Muhammad adalah logos yang ditempatkan antara Prinsip dan manifestasi, antara Tuhan dan dunia. Logos, di satu pihak, dimasukkan dalam Prinsip, dinyatakan dengan kata illa pada syahadat pertama, dan di pihak lain, memproyeksikan dirinya dalam manifestasi, yang diekspresikan pada kata ilaha. Pada nama Muhammad, seluruh penekanan dan kekuatan cahayanya ditempatkan di pusat, di antara dua suku kata, yang

(38)

satu inisial dan yang satu finalnya, tanpa itu semua aksentuasi itu akan tidak mungkin.

Struktur Metafisis Syahadatain

Syahadah Pertama (Transendensi)

La Ilaha Illa Allah

Nafi, manifestasi, bersifat relatif

Itsbat, Prinsip, bersifat absolut

Manifestasi Logos yang termanifestasi

Logos Prinsip

Syahadah Kedua (Imanensi)

Muhammad Rasul Allah

Prinsip yang termanifestasi

Pemanifestasi Prinsip (logos)

Prinsip

Dzakir Dzikr Madzkur

Muhammad sebagai Logos. Salahsatu penjelasan metafisis di atas menyebut Muhammad sebagai logos.

Untuk mengurai lebih lanjut, saya kutipkan pendapat Nasr, dalam Ideals and Realities of Islam.12 Nasr menjelaskan bahwa, pada tiap agama, sang penyebar

12 Nasr, Islam Ideals and Realities, 54.

(39)

diidentikan dengna logos, seperti dalam Gospel versi Johannes “in principio erat verbum”, segala sesuatu pada asalnya adalah Firman, Logos, identik dengan Kristus. Islam memandang semua Nabi adalah suatu aspek dari logos universal, hakikat Muhammad (al- haqiqat al-muhammadiyah), ciptaan pertama Tuhan, yang melaluinya Tuhan memandang segala hal. Sebagai hakikat, Muhammad datang sebelum nabi yang lain pada awal siklus kenabian, dan aspek batinnya sebagai logos disebut dalam hadits,”ia (Muhammad) telah menjadi nabi ketika Adam masih berupa air dan tanah.” Siklus kenabian dimulai dengan hakikat Muhammad, diakhiri dengan manifestasinya sebagai manusia. Secara batin, ia adalah awal siklus kenabian, secara lahir, ia adalah akhir siklus kenabian. Secara lahir, ia adalah manusia biasa, secara batin, ia adalah manusia universal (logos) yang menjadi norma segala ksempurnaan. Nabi menunjuk aspek batinnya dengan berkata,”akulah ahmad tanpa mim (yaitu ahad, yang tunggal), dan seorang arab tanpa ‘ain (rabb, Tuhan). Yang telah melihatku, telah melihat Kebenaran.”

(40)

Wahdah al-Wujud (Kesatuan Wujud)

Dalam tasawuf, Allah lebih disebut sebagai al-Haq.

Menurut Martin Lings, ajaran kesatuan wujud tersirat dalam nama Tuhan al-Haq tersebut.13 Nasr mengartikan al-Haq sebagai Kebenaran (The Truth) sekaligus Yang Nyata (The Real).

Sebuah doktrin adalah pembedaan antara Yang Nyata dengan yang ilusi, yang Mutlak dengan yang nisbi, substansi dengan aksiden. Intinya, hanya Tuhan yang nyata, yang selainnya “seolah-olah” nyata (ilusi). Ada sebuah hirarki realitas di mana Tuhan berada di puncak sebagai sumber dari tingkat-tingkat realitas di bawahnya. Semua realitas di bawah-Nya bergantung pada eksistensi Tuhan. Realitas-realitas itu ada, nyata sepanjang berhubungan dengan Tuhan (al-shamad).

Jadi, misalnya manusia itu nyata pada level eksistensinya, namun tak nyata bila dihadapkan pada Tuhan. Inilah makna bahwa, realitas selain-Nya adalah ilusi. Inilah yang disebut: kesatuan wujud, wahdah al- wujud. Point doktrin ini adalah, tak mungkin ada kenyataan Mutlak. Mutlak berarti tak terbatas. Bila ada lebih dari satu yang mutlak, maka ia akan kehilangan sifat kemutlakkannya. Karena itu, pribadi-pribadi suci

13 Martin Lings, Syaikh Ahmad al-Alawi: Wali Sufi Abad 20, Terj. Abdul Hadi WM, (Bandung: Mizan, 1989), 112.

(41)

yang telah sampai pada intelek-kontemplatif, sadar- penuh, mampu “melihat” Tuhan di mana-mana.

(42)

Insan Kamil (Manusia Sempurna/Universal)

Mengikuti pendapat Nasr yang merujuk pada Ibn Arabi, ada tiga aspek fundamental manusia universal, yaitu:

realitas pola dasar kosmos, instrumen penurunan wahyu, dan model sempurna kehidupan spiritual.

Artinya, seperti telah diuraikan di atas, manusia universal itu memiliki aspek kosmologis, profetik, dan inisiatik.

Dalam The Garden of Truth, Nasr menjelaskan pengertian manusia universal.14

(1) Manusia universal adalah kenyataan yang berisi semua tingkat eksistensi selain Allah. Termasuk semua kemungkinan terpendam di setiap tingkat itu—sebuah kenyataan yang, pada orang-orang yang telah mengaktualkannya di dalam diri mereka, baik laki-laki maupun perempuan, telah terwujud dengan sepenuhnya. Maksud dari “semua tingkat eksistensi selain Allah” yang dikandung manusia universal adalah semua manifestasi Allah yang bersifat hirarkis. Dalam doktrin wahdah al-wujud (kesatuan wujud), yang Nyata (the real) itu tunggal, yaitu Allah.

Lalu, Allah memanifestasikan diri-Nya dalam

14 Seyyed Hossein Nasr, The Garden of Truth: The Vision and Promise of Sufism, Islam’s Mystical Tradition, (New York:

HarperColiins Pub., 2007).

(43)

berbagai tingkatan wujud. Semua tingkatan wujud itu merupakan hadhirat (kehadiran) Allah. 15 Dalam terminologi Ibn Arabi, seperti dikemukakan oleh Chittick, manusia universal merupakan ekistensi yang meliputi segala sesuatu (al-kaun al-jami').

Menurut saya, alasan mengapa Nasr menggunakan istilah manusia universal untuk menerjemahkan insan kamil karena hal ini.

(2) Manusia universal adalah prototype androginik dari keadaan manusia, baik laki-laki maupun perempuan, dan juga prototipe dari kosmos.

Karenanya, ada korespondensi antara mikrokosmos dan makrokosmos. Manusia universal seperti cermin di hadapan Allah, memantulkan semua Nama dan Sifat-Nya, dan juga merenungkan Allah melalui mata yang dicerahkan oleh cahaya Allah. Dia mentafakuri ciptaan Allah melalui mata Allah.

15 Sebagaimana skema kosmologis Ibn Arabi, Nasr menyebut lima tingkatan wujud, yaitu: 1) hahut, tingkat zat tertinggi keilahiaan,, 2) lahut, tingkat Nama, Sifat Tuhan, dan wujud- wujud sebagai prinsip penciptaan (termasuk Logos atau intelek yang belum tercipta). 3) jabarut, tingkat jibril, alam-alam surgawi yang lebih tinggi, serta logos yang tercipta. 4) malakut, wilayah subtil, dunia imajinal yang terletak di atas dunia ini, namun merentang hingga alam surgawi. 5) alam nasut atau mulk, yakni alam manusiawi, material, dan kasat mata. Lihat:

Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam, (Chicago:

ABC International, 2001), 93.

(44)

Figur historis manusia universal adalah para nabi-nabi dan orang-orang suci. Semua nabi, orang suci, dan para aqthab (kutub), memiliki sebagian sifat manusia universal, karenanya memiliki fungsi kosmis. Pada dasarnya, manusia sendiri, berkat posisi sentralnya di kosmos, secara potensial mampu menyamai manusia universal, meskipun keadaan wujud yang lebih tinggi tetap laten pada kebanyakan orang, dan sepenuhnya nyata hanya pada seorang gnostik atau sufi sempurna, yang telah sampai di ujung jalan. Peranan ganda manusia universal, sebagai contoh kehidupan spiritual dan sebagai bentuk asli kosmos memberi aspek kosmis pada kehidupan rohani Islam. Nabi Islam, Muhammad dipandang sebagai manusia universal. Pada realitas batinnya, Muhammad adalah manusia universal dimana semua kualitas kosmik disatukan, sekaligus asal muasal, dan akhir dari manifestasi universal.

Fungsi Inisiasi. Karena itu, figur historis manusia universal, seperti nabi Muhammad, memiliki fungsi penyingkap dan inisiasi. Menjadi manusia yang sejati berarti mewujudkan, dengan bantuan orang-orang yang telah merealisasikan kesempurnaan, realitas manusia universal, yang secara potensial ada pada tiap individu.

Realisasi yang dimaksud adalah, mencapai keadaan manusia universal. Dengan kata lain, menjadi manusia universal berarti kembali ke keadaan primordial (fitrah),

(45)

dan ke realitas diri sendiri di dalam Allah dengan bimbingan orang-orang yang telah merealisasikan manusia universal. Nasr menambahkan pula bahwa, merealisasikan manusia universal sama dengan menjadi hamba Allah yang setia, sadar akan dirinya sebagai wakil Allah (khalifah), mewujudkan kefanaan, dan akhirnya, melalui peniadaan ego, bersama akal dalam diri, mencapai Zat Tertinggi, Sang Realitas.

Bagi Nasr, siapapun yang mampu merealisasikan secara sempurna potensi kemanusiaannya yang bersifat Ilahi adalah manusia universal. Dengan demikian, seperti dikemukakan Nasr dalam Knowledge and Sacred, manusia universal, pada dasarnya, adalah manusia pontifex (manusia suci) yang hidup di pusat lingkaran eksistensinya, dalam kesadaran akan Kesempurnaan primordialnya sebagai makhluk teomorfik.

(46)

JALAN

SPIRITUAL

(47)

Ma’rifah, Mahabbah dan Makahafah16

“Allah, Sang Kebenaran dan Keindahan Kebenaran melahirkan pengetahuan Keindahan melahirkan cinta

Dalam perbuatan, pengetahuan dan cinta bertemu Pengetahuan, cinta, dan perbuatan

Adalah Jalan kembali pada-Nya”

Tasawuf terekpresikan dalam harmoni pengetahuan dan cinta. Meskipun demikian, tak terelakkan bahwa, para sufi berbeda penekanan dalam ajaran-ajarannya.

Muhyiddin Ibn Arabi, Ahmad Ibn al-‘Arif, Suhrawardi dari Aleppo, al-Junaid, dan Abu al-Hasan al-Syadzili fokus pada dimensi pengetahuan, intelektual. Mereka yakin, Allah sebagai hakikat-universal dari segenap pengetahuan. Sedangkan Umar Ibn al-Farid, Manshur al-Hallaj, dan Jalal al-Din Rumi menitik-beratkan pada cinta, emosional. Bagi mereka, Allah adalah objek-tak terbatas dari keinginan.

Dalam kasus Hinduisme, metode-ruhani ditandai dengan perbedaan-tegas 3 jalan: pengetahuan (jnana), cinta (bhakti), dan perbuatan (karma). Dalam tasawuf, 3 jalan itu termanifestasi dalam pengetahuan (ma’rifah), cinta (mahabbah), dan takut (al-khauf, makhafah). Tasawuf

16 Penjelasan di bawah ini merupakan ringkasan dari chapter 4

“Knowledge and Love” dalam Tutis Burckhardt, Introduction to Sufi Doctrine, (Bloomington: World Wisdom, 2008), 21-24.

(48)

cenderung mensintesiskan ketiga jalan tersebut daripada membedakannya, seperti dalam Hinduisme.

Sekali lagi, tasawuf menegaskan keseimbangan intelektual dan emosional. Hal ini terkait dengan struktur umum ajaran Islam yang beralas pada tauhid yang memberi orientasi intelektual pada kehidupan spiritual. Sedangkan cinta lahir secara spontan karena perenungan atas Realitas Ilahi (Divine Reality), Allah.

Perbedaan, bukan pemisahan, antara jalan pengetahuan dengan jalan cinta bermuara pada soal keunggulan atas yang lain. Pengetahuan melahirkan cinta, cinta mensyaratkan pengetahuan objek yang dicintai. Objek cinta spiritual adalah Keindahan Ilahi (Divine Beuaty), suatu aspek dari ketakterbatasan-Nya, yang melalui objek itu rasa cinta jadi terang-benderang. Cinta total pada “satu-titik” memberi kesempurnaan subjektif.

Karena itu, para metafisikawan pun menggubah sajak- nan Indah, dan para penyair-cinta menulis narasi- intelektual yang menakjubkan.

Khauf (attitude of fear, sikap takut) berhubungan dengan cara-cara perbuatan meski tak tampak, tak terekpresikan. Rasa takut berada di ambang perenungan, namun ketika ia merohani, ia akan membawa manusia keluar dari mimpi-kolektif dunianya,

(49)

menyeret manusia ke hadapan Allah. Burkchard menulis,”cinta lebih tinggi dari rasa takut, seperti pengetahuan lebih tinggi dari cinta.” Walau demikian, cinta-rohani berperan merangkul semua fakultas individu, mencapnya dengan stempel “ke-esaan” (the seal of unity). “Cinta adalah awal dari lembah penghancuran diri (fana), bukit yang meluncurkannya kearah pengosongan diri (al-mahu),” tulis Ahmad ibn al-‘Arif. Ibn Arabi menyatakan, cinta merupakan stasiun tertinggi jiwa dan membawahi tiap kemungkinan kesempurnaan manusia. Bagi Ibn Arabi, pengetahuan bukan stasiun jiwa. Kesempurnaan pengetahuan diukur dari objeknya, yakni Allah sediri. Karena itu, pengetahuan tak dapat dikenakan pada manusia (jiwa), tapi pada Allah. Stasiun jiwa tertinggi bukan hubungan psikologis pengetahuan, seperti kebijaksaan atau kejujuran, tapi cinta-total, penyerapan-penuh kehendak manusia “dalam” Allah.

Inilah “lost in love”, lenyap dalam cinta, seperti Ibrahim, prototipe manusia.

(50)

KEBAJIKAN-

KEBAJIKAN

(51)

Kebajikan Spiritual17

Kebajikan spiritual (spiritual virtues), bersama doktrin, adalah elemen mutlak jalan spiritual, cara meraih kehidupan-suci. Kebajikan spiritual tak bersifat sentimentil. Ia merupakan cara “menjadi” Kebenaran (a manner of “being” the Truth), sebagaimana doktrin sebagai cara mengenal-Nya. Tanpa kebajikan spiritual mustahil disadari kebenaran dalam diri seseorang.

Manusia adalah makhluk berfikir sekaligus eksis. Karena itu, pengetahuan (fikiran) dan eksistensinya harus ditransformasi. Kebajikan spiritual bukan sikap moral bikinan manusia. Ia adalah cara “manners of being” yang mentransformasi eksistensi manusia ke dalam persesuaian dengan sikap batinnya. Ia adalah kebajikan apofatik yang mesti direalisasikan bila manusia ingin memperoleh keharuman spiritual.

Kebajikan Spiritual utama dalam tasawuf adalah:

1) Kerendahan hati (humanility) 2) Kemurahan hati (charity) 3) Kejujuran (truthfulness)

Kerendahan hati bukan berarti kelembutan-sentimentil yang menyembunyikan kebanggaan ego; bukan kebencian terhadap akal (intelegensi). Nah, ada sebagian

17 Seyyed Hossein Nasr, Ideals and Realities of Islam, h. 134- 137.

(52)

orang yang benci akal dengan dalih kerendahan hati, serta mengganggap seolah gnosis yang disebut “al-arif billah”, yang mengetahui melalui (pengetahuan) Allah, tak melalui pengetahuan manusia. Benci akal merupakan bentuk kebencian pada karunia Allah yang paling berharga. Ini bukan kerendahan hati ! Kerendahan hati adalah kesadaran bahwa Allah adalah segalanya, kita bukan apa-apa, dan semua makhluk Allah adalah “guru” di mana kita bisa belajar suatau

“kesempurnaan” yang tak kita miliki. Kita lemah, bukan apa-apa, bukan siapa-siapa di hadapan Allah. Di hadapan sesama makhluk, kita harus sadar, beatapa pun “sempurnanya” kita, yang lain tetap saja memiliki kesempurnaan yang tak kita miliki. Karena itu, rendah hatilah !

Kemurahan hati ini bukan bersifat materialistik dan kuantitatif; bukan hanya menyangkut tindakan-lahiriah, sikap-moral terhadapnya, atau motif altruistik, tapi karena manusia sendiri “merasa perlu” sebab kemurahan hati ada pada asal-usulnya (Allah).

Kemurahan hati itu menyadari bahwa semua yang baik berasal dari Allah. Hakikatnya, tiada yang (betul-betul) murah hati kecuali Dia ! Selain itu, kemurahan hati didasari bahwa, semua makhluk adalah satu. Peleburan jiwa ! Berkorban pada Allah diekspresikan dengan pengorbanan bagi makhluknya. Jadi, bila kerendahan

(53)

hati adalah mematikan, pengerutan ego, jiwa (inqibad), maka kemurahan hati merupakan pengembangan jiwa (inbisat). Dalam kemurahan hati, kita menyadari ketunggalan diri dengan semua makhluk.

Kejujuran adalah puncak dari kerendahan hati dan kemurahan hati. Jujur berarti melihat segala sesuatu seperti adanya, sebagaimana aslinya. Ini berarti, melihat Allah di mana pun. Nabi tak pernah melihat sesuatu tanpa melihat Allah sebelumnya, di dalamnya, dan sesudahnya. Begitu khabar suatu hadits. Inilah ketulusan (ikhlas), tauhid. Hidup dalam kehadiran Allah.

Seseorang dengan sifat ini akan meyadarinya sebagai pengalaman aktual doktrin yang ia kenal secara teoritis di awal perjalanan.

(54)

DZIKR

(55)

Dzikr Sebagai Ritus Utama18 Doa sebagai Substansi

Allah mencipta alam melalui kalam-Nya (QS. Yasin [36]:

82). Karena itu, kalam berfungsi: mencipta, dan menyampaikan kebenaran. Dunia diciptakan oleh kalam, wahyu disampaikan oleh Kalam (logos). Melalui kalam dan kemampuan bicara, manusia kembali kepada Tuhan. Kemampuan bicara digunakan untuk:

menyatakan kebenaran dan mentransformasi manusia.

Dalam sufisme, kemampuan bicara berfungsi untuk:

menyampaikan kebenaran, dan berdoa. Yang pertama terkait dengan fungsi kalam Tuhan sebagai wahyu, yang kedua terkait dengan kekuatan mencipta dunia.

Substansi dunia yang paling mutlak adalah doa. Bahkan eksistensi itu sendiri adalah doa. Dunia diwujudkan oleh Nafas Sang Pengasih (Nafs al-Rahman), karenanya substansi yang paling mutlak adalah nafas, yang pada tingkat manusia terkait dengan kemampuan berbicara.

Oleh sebab itu, teknik spiritual utama adalah doa yang melaluinya manusia kembali pada Tuhan.

Pada dasarnya, doa adalah mengingat (dzikr) Tuhan,

18 Sebagian banyak penjelasan dikutip dari bab “Knowledge of the Sacred as Deiverance” dalam Seyyed Hossein Nasr,

(56)

menyebut nama suci, bangun dari kealpaan. Doa dalam arti ini mentransformasi orang menjadi doa itu sendiri, terlebur dalam dzikr yang jadi sifat aslinya, sekaligus menemukan jati dirinya. Inilah cara taqarrub illa Allah.

“Ingatlah Aku, (pasti) Aku mengingatmu.” (QS. al- Baqarah [2]: 152). Dalam hadits qudsi disebutkan pula:

“Ia yang menyebut nama-Ku dalam dirinya, akan Kusebut dalam diri-Ku. Dan ia yang menyebut nama-Ku dalam kelompok, akan Kusebut dalam kelompok yang lebih baik (surga). ”

Dzikr: Doa dari Hati

Doa adalah tindakan yg melampaui yg wadag, penyatu tubuh, jiwa, dan ruh. Ada tiga modus doa, yaitu doa individual (individual supplications), doa kanonik (canonical prayer), dan doa dari hati (the prayer of the heart).

Doa individual adalah perbincangan, permohonan orang beriman kepada Tuhan dalam hening sekaligus membuka hati mereka pada-Nya. Doa kanonik adalah doa yang bentuknya ditentukan oleh Yang Ilahi, contohnya shalat (al-shalah). Format shalat, gerak tubuh dan ucapan, ditentukan dari Langit. Dalam shalat, ‘abid

Knowledge and the Sacred, (New York: State University of New York Press, 1989), 267-280.

(57)

menyelaraskan jiwa dengan bentuk, dengan realitas yang melampaui individu. Individu mentransendensi diri, memadukan diri dengan realitas arketipalnya. Dalam doa kanonik, tubuh memiliki peran penting, yakni mengintegrasi jiwa. Gerakan-gerakan laksana kendaraan pemandu tubuh, jiwa, dan ruh. Di sini, tubuh bukan penjara jiwa, tapi pelengkap, kuda tunggangan jiwa dalam perjalanan ke Yang Ilahi. Tindakan ritual itu dipadukan dengan bacaan-bacaan al-Quran. Inti shalat adalah mi’raj, pendakian spiritual bagi orang beriman.

Doa dari hati, itulah dzikr, mengingat Allah (nimbutsu dari jodo-shin Budhisme, japa yoga dalam Hinduisme).

Bentuknya: diawali penyebutan dengan lidah, lalu dengan pikiran, kemudian dengan fakultas imajinal, dan diakhiri dengan hati. Tampak, pada mulanya, dzikr adalah doa oleh tubuh (diwakili lidah), yang pada akhirnya, tubuh menjadi proyeksi hati. Dalam tubuh, ruh berdiam secara aktif. Pada hakikatnya, dzikr adalah perbuatan Allah dalam diri karena hanya Ia yang dapat menyebut nama-Nya. Jadi, dzikr adalah instrumen Allah mengucap nama suci-Nya sendiri. Sebagai perbandingan, dzikr dalam doa kristus “jadilah kehendak-Mu” (thy will be done), dilakukan dengan memohon: tunduk total pada kehendak, pikiran Allah, menempatkan diri pada tangan Allah. Seruan nama itu bersemayam dalam hati mengubah jiwa, psike, imajinasi, pikiran dan tubuh.

Akibat doa dari hati adalah perkawinan tindakan, cinta,

(58)

dan pengetahuan, serta integrasi tubuh, jiwa, dan ruh.

Mengapa dzikr, doa dari hati, demikian penting, jadi pusat semua tradisi spiritual? Dalam tradisi spiritual, nama Tuhan memiliki peran penting dalam realisasi pengetahuan suci. Dalam perjalanan spiritual, manusia tidak harus tidak melalui wahana bentuk. Bentuk digunakan untuk menuju Yang Tak Berbentuk. Nama Tuhan adalah bentuk suci tertinggi (supreme sacred form). Sistem bunyi (mantra), kombinasi huruf dalam bentuk-bentuk visual merupakan penghasil bentuk, berisi kehadiran yang mentransformasi wujud manusia, memiliki kekuatan yang membawa manusia melampaui tatanan bentuk. Tuhan mengaruniahi perahu di tengah gelombang semua lautan bentuk dan yang menjadi.

Esensi yang tak berbentuk “menjadi” bentuk agar bentuk

“menjadi” Esensi yang tak berbentuk. Pencapaian bentuk suci adalah pencapaian Yang Tak Berbentuk. Hidup selalu atas Nama Ilahi, berarti hidup atas nama Tuhan, melihat segala sesuatu di dalam-Nya. Karena itu, bentuk suci adalah wahana pendukung sekaligus tujuan. Ada penyatuan Nama dan Yang Dinamai. “Bentuk dari yang Tak Berbentuk” (form of the Formless) bukan hanya menuntun pada tempat yang melampaui bentuk-bentuk, tetap ia pun pada dirinya dalam ketidakterbatasan batinnya melampaui kini dan di sini. Di dalamnya

(59)

gnostik, ‘arif billah menemukan tempat asalnya.

PENUTUP

(60)

“Apa yang harus diberikan Islam kepada dunia modern,”tanya Nasr dalam Living Sufism.19 Nasr menegaskan kembali bahwa, dunia modern mengabaikan salah satu kebutuhan dasar manusia, yakni damba mistik, kerinduan akan Yang Mutlak yang berakibat hidup kehilangan makna. Selain itu, dunia modern mengalami sakit. Penyakit dunia modern adalah desakralisasi ekstrem, penjauhan benda-benda dari makna spiritualnya. Nasr pun selalu mengulang-ulang bahwa, manusia modern hidup di pinggir lingkaran eksistensi, kehilangan pusat hidupnya. Selanjutnya, ada ancaman besar yang dihadapi manusia modern, yakni perang dan kerusakan lingkungan hidup.

Nah, sebagaimana agama-agama lain, Islam bisa menawarkan kembali khazanah realisasi spiritual yang akan menginjeksikan perspektif sakral untuk memenuhi damba mistik; mengobati penyakit dunia modern dengan pengenalan jati diri; dan menghindari perang dan krisis lingkungan dengan menciptakan kedamaian batin terlebih dahulu dan sudut pandang kesatuan eksistensi

19 Buku Living Sufism telah dialihbahasakan Bahasa Indonesia dengan judul Tasawuf Dulu dan Sekarang. Paparan penutup ini merupakan ringkasan dari bab “ Apa yang Harus Diberikan Islam kepada Dunia Modern?” dalam Seyyed Hossein Nasr, Tasawuf Dulu dan Sekarang, Terj. Abdul Hadi WM, (Jakarta:

Pustaka Firdaus, 2000), 254-265.

(61)

dalam memandang relasi manusia dengan alam. Meski pun demikian, tasawuf, juga tradisi spiritual lain, tidak menawarkan solusi “cepat saji” atau satu obat untuk se,ua penyakit. Tawaran lebih sebagai, mengutip Nasr,”imbauan langsung dari Yang Mutlak kepada manusia, mengajaknya berhenti mengembara dalam labirin kenisbian dan kembali pada Yang Mutlak dan Esa; ia membujuk manusia agar berpaling kepada yang paling langgeng dan tetap dalam diri manusia”.20

20 Nasr, Tasawuf Dulu dan Sekarang, 255.

(62)

DAFTAR PUSTAKA

Burckhardt, Titus, Introduction to Sufi Doctrine, Bloomington: World Wisdom, 2008.

Chittick, William C. Chittick, Sufism: Beginners Guides, Oxford: Oneworld Publications.

Lings, Martin, Syaikh Ahmad al-Alawi: Wali Sufi Abad 20, Terj. Abdul Hadi WM, Bandung; Mizan, 1989.

Nasr, Seyyed Hossein, (Ed.), Islamic spirituality:

Manifestations, New York: Crossroad, 1991.

__________, The Garden of Truth: The Vision and Promise of Sufism, Islam’s Mystical Tradition, New York:

HarperColiins Pub., 2007.

__________, Ideals and Realities of Islam, Chicago: ABC International Groups, Inc., 2000.

__________, Science and Civilization in Islam, Chicago:

ABC International, 2001.

__________, Islam and the Plight of Modern Man, Chicago:

ABC International Group, Inc., 2001.

__________, Knowledge and the Sacred, New York: State University of New York, 1989.

(63)

__________, Tasawuf Dulu dan Sekarang, Terj. Abdul Hadi WM, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000.

Nasution, Harun, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 2008.

Schimmel, Annemarie Dimensi Mistik dalam Islam, Terj.

Sapardi Djoko Damono dkk, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000.

Schuon, Frithjof, Sufism: Veil and Quintessence, Bloomington: WorldWisdom, 2006.

Stoddart, William, Remembering in a World of Forgetting:

Thoughts on Tradition and Postmodernism, Bloomington:

WorldWisdom, 2008.

Valiudin, Mir, Tasawuf dalam al-Quran, Terj. Tim Penerjemah Firdaus, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1987.

(64)

TENTANG PENULIS

M. SUBHI-IBRAHIM, Adalah doktor bidang filsafat, dosen tetap Falsafah Agama di Universitas Paramadina, Jakarta. Di perguruan tinggi yang sama, ia pernah menjadi ketua Program Studi Falsafah dan Agama Universitas Paramadina (2011-2013), Direktur Eksekutif Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina (2008-2010). Kini menjadi Ketua YPI al- Mumtaaz, Pulorida, Cilegon. Pada 2011, ia berpartisipasi dalam International Program for Academic Development (IPAD) di Victoria University, New Zealand. Beberapa buku karyanya antara lain: Ali Shariati: Sang Ideolog Revolusi Islam (2012), Al-Farabi: Sang Perintis Logika Islam (2012), Demi Islam, Demi Indonesia (2013), Oase Rohani: Buku Saku Para Pencari Hikmah (2013), Asas- Asas Filsafat (2013), Tengoklah ke Dalam: Ziarah Diri Melalui Pengetahuan dan Cinta Demi Kebahagiaan Puncak (2017). Seni Hidup Meditatif (2018), Takwil Keseharian: Sebuah Hermeneutika Spiritual (2018). Seni Hidup Meditatif (2018) Literasi Batin: Menyelami Hakikat Keseharian (2019) Nalar Keumatan: Esai-Esai Keislaman (2019) Buku co-author: 30 Untaian Hikmah Ramadhan:

Berantas Kemiskinan dan Kelaparan (2006), Bayang- Bayang Fanatisme: Esai-Esai untuk Mengenang Nurcholish Madjid (2007), Doa Anak Kecil (2007), Negara Kesejahteraan dan Globalisasi: Pengembangan Kebijakan dan Perbandingan Pengalaman (2008), Korupsi Mengorupsi Indonesia: Sebab, Akibat, dan Prospek Pemberantasan (2009), Mengenal Islam Jalan Tengah: Buku Daras Pendidikan Agama Islam untuk Perguruan Tinggi (2012). Modul Pendidikan Integritas dalam Islam (2013), Hikmah Abadi Revolusi Imam Husain (2013). Perempuan, Ruang Publik dan Islam: Pengalaman Seminar dari Kota ke Kota (2014), Modul Pelatihan Pencegahan Perbudakan Modern, Kerja Paksa dan Perdagangan Orang (2017). Ia dapat dihubungi via email: subhicilegon@gmail.com, HP/WA: 085711337514.

Referensi

Dokumen terkait

Nilai-nilai humanisme di SMP Alternatif Qaryah Thayyibah dapat di lihat dalam bentuk bagaimana seorang pendidik disana memperlakukan siswa bukan hanya sebagai obyek didik

Perputaran persediaan dan Rasio Perputaran Aktiva berpengaruh signifikan terhadap Return on Invesment dengan diperoleh persamaan regresi Y = -9,262 + 0,267X1 + 0,073X2,

Hasil yang diperoleh ini dikarenakan pada waktu kontak 3 jam selulosa daun mahkota nanas sebagai adsorben sudah mendekati titik jenuh sehingga logam yang sudah

Dari hasil ini menunjukkan bahwa hipotesis ketiga yang menyatakan “Ada pengaruh minat belajar mahasiswa dan peran orangtua terhadap kesiapan menjadi guru pada

Untuk itu penulis mengemukakan bahwa langkah keempat dalam ringi seido — yakni sesuai dengan pernyataan Fukuda (2010: 43) yang menyatakan bahwa proses ringi , yang berarti sirkulasi

Hal tersebut menjadi dasar untuk memudahkan calon pelamar dalam melakukan pengiriman berkas lamaran dan mengikuti tes penerimaan masuk ke perusahaan secara

Pengaruh pemberian yoghurt koro pedang ( Canavalia ensiformis ) terhadap kadar kolesterol LDL dan HDL serum tikus Sprague dawley dislipidemia. Pengaruh Pemberian Serbuk

Dari rangkaian ayat 238-242 surat al-Baqarah di atas dapat disimpulkan bahwa untuk mencapai pemahaman, manusia harus melalui proses, dengan mendayagunakan akalnya,