IMPLEMENTASI PROGRAM PENANGGULANGAN GIZI BURUK DI WILAYAH KERJA
PUSKESMAS MEDAN DELI
TESIS
Oleh
GAYATRI TUNGGADEWI NIM. 167032090
PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2020
IMPLEMENTASI PROGRAM PENANGGULANGAN GIZI BURUK DI WILAYAH KERJA
PUSKESMAS MEDAN DELI
TESIS
Diajukan sebagai Salah Satu Syarat
untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan Masyarakat dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat
Peminatan Administrasi dan Kebijakan Kesehatan
pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara
Oleh
GAYATRI TUNGGADEWI NIM. 167032090
PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2020
i
ii Telah diuji dan dipertahankan
Pada tanggal: 10 Desember 2020
TIM PENGUJI TESIS
Ketua : Dr. Juanita, S.E., M.Kes.
Anggota : 1. Dr. Ir. Zulhaida Lubis, M.Kes.
2. Prof. Dr. Ir. Evawany Y. Aritonang, M.Si.
3. Destanul Aulia, S.K.M., M.B.A., M.Ec., Ph.D.
iii
Pernyataan Keaslian Tesis
Saya menyatakan dengan ini bahwa tesis saya yang berjudul
“Implementasi Program Penanggulangan Gizi Buruk di Wilayah Kerja Puskesmas Medan Deli” beserta seluruh isinya adalah benar karya saya sendiri dan tidak melakukan penjiplakan atau pengutipan dengan cara-cara tidak sesuai dengan etika keilmuan yang berlaku masyarakat keilmuan kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebut dalam daftar pustaka. Atas pernyataan ini, saya siap menanggung risiko atau sanksi yang dijatuhkan kepada saya apabila kemudian ditemukan adanya pelanggaran terhadap etika keilmuan dalam karya saya ini, atau klaim dari pihak lain terhadap keaslian karya saya ini.
Medan, Desember 2020
Gayatri Tunggadewi
iv Abstrak
Persoalan gizi pada bayi dan balita masih menjadi persoalan utama dalam tatanan kependudukan, salah satunya adalah masalah gizi buruk dan gizi kurang.
Puskesmas Medan Deli merupakan salah satu puskesmas dengan kasus gizi buruk terbanyak di Kota Medan. Berdasarkan laporan gizi Puskesmas Medan Deli Tahun 2019 diketahui jumlah balita gizi buruk sebanyak 8 orang. Program penanggulangan gizi buruk merupakan bentuk kegiatan untuk meminimalkan masalah gizi di masyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana implementasi program penanggulangan gizi buruk terdiri dari input, proses, output dan outcome di wilayah kerja Puskesmas Medan Deli. Jenis penelitian adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi terhadap sepuluh informan yang terdiri dari Kepala Puskesmas, Tenaga Pelaksana Gizi, Kader Posyandu, Ibu Balita Gizi Buruk dan Dinas Kesehatan Kota Medan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Tenaga Pelaksana Gizi (TPG) masih kurang. Dari segi sarana dan prasarana tergolong minim, sarana yang belum tersedia yaitu antropometri kit. Sarana PMT, MP-ASI, kapsul vitamin A, dan tablet Fe sudah tersedia. Prasarana gedung penyimpanan PMT dan MP-ASI sudah terpenuhi.
Biaya operasional terbatas, biaya operasional berasal dari BOK dalam bentuk insentif kader dan dana transportasi. Dinas Kesehatan mengalokasikan dana untuk program penanggulangan gizi buruk dalam bentuk PMT-P dan MP-ASI ke puskesmas. Pelaksanaan program gizi buruk melalui penimbangan BB dan pengukuran TB, konsultasi gizi kepada keluarga balita gizi buruk rutin dilakukan setiap bulan di Posyandu dan melalui kunjungan rumah. Pemberian vitamin A dua kali setahun pada balita gizi buruk, Pemberian tablet Fe pada ibu hamil selama 3 bulan berturut-turut dilakukan di posyandu dan puskesmas. Pelaksanaan PMT Pemulihan sudah diberikan tepat sasaran tetapi kekurangan tenaga kesehatan untuk pemantauan konsumsi. Pusat Pemulihan Gizi (PPG) sebagai wadah dalam penanganan gizi buruk pada balita melalui rawat inap belum dimanfaatkan sepenuhnya. Cakupan program penanggulangan balita gizi buruk belum mencapai target dalam pemberian vitamin A, tablet Fe dan, PPG. Pemberian PMT pemulihan mencapai target. Prevalensi balita gizi buruk mengalami penurunan tetapi tidak signifikan hanya satu orang balita gizi buruk mengalami peningkatkan berat badan menjadi normal. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa program penanggulangan gizi buruk di wilayah Puskesmas Medan Deli dinyatakan belum maksimal, maka diharapkan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kota Medan melengkapi sarana dan prasarana untuk mendukung pelaksanaan kegiatan program penanggulangan gizi buruk. Diharapkan Pihak Puskesmas dan Para Kader Posyandu serta Para Ibu Balita meningkatkan komitmen dalam upaya penurunan prevalensi gizi buruk.
Kata kunci :Implementasi, program penanggulangan, gizi buru
v Abstract
The issue of nutrition in infants and toddlers is still a major problem in the population structure, one of which is malnutrition and malnutrition. Medan Deli Puskesmas is one of the health centers with the most cases of malnutrition in Medan City. Based on the nutrition report at the Medan Deli Public Health Center in 2019, it is known that the number of malnourished children is 8 people.
The malnutrition prevention program is a form of activity to minimize nutrition problems in the community. The objective of the research was to find out the implementation of malnutrition improvement program of input, process, output and outcome in the working area of Deli Puskesmas. The research used qualitative research with a phenomenological approach for 10 informants that consisted of the Head of Puskesmas, Nutritionist, Cadre Leaders of Posyandu, Mom of malnourished toddlers and Health Service of Medan. The results showed that the Nutrition Implementers (TPG) were still lacking. In terms of facilities and infrastructure that are classified as minimal, the facilities that are not yet available are the anthropometric kit. The ingredients for PMT, MP-ASI, vitamin A capsules, and Fe tablets are readily available. The infrastructure for the storage building for PMT and MP-ASI has been fulfilled. Operational costs are limited, operational costs come from the BOK in the form of cadre incentives and transportation funds. Health Service of Medan allocates funds for malnutrition prevention programs in the form of PMT-P and MP-ASI to puskesmas.The results showed that the implementation of the malnutrition program through weighing weight and measuring TB, nutrition consultation to families of children with malnutrition was routinely carried out every month at Posyandu and through home visits. Giving vitamin A twice a year to malnourished toddlers, giving iron tablets to pregnant women for 3 consecutive months at the posyandu and puskesmas. Implementation of PMT Recovery has been given on target but there is a shortage of health workers to monitor. The Nutrition Recovery Center (PPG) as a forum for handling malnutrition in toddlers through inpatient care has not been fully utilized by the family. The coverage of malnutrition in toddlers to have not reached the target in providing vitamin A, Fe tablets and PPG. The provision of PMT for recovery had reached the target. The prevalence of malnourished toddlers has decreased but it is not significant, only one malnourished toddler has increased body weight to normal. The conclusion of the research was that malnutrition improvement program in the working area of Medan Deli Puskesmas was not maximal. It is recommended that the Head of the Health Service of Medan complete the facility and infrastructure in order to support the implementation of the activity of malnutrition improvement program. It is also recommended that the management of Puskesmas, Cadre Leaders of Posyandu, adn Mom of toddlers increase commitment in efforts to reduce the prevalence of malnutrition.
Keywords:Implementation, improvement program, malnutrition
vi Kata Pengantar
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Implementasi Program Penanggulangan Gizi Buruk di Wilayah Kerja Puskesmas Medan Deli”. Tesis ini adalah salah satu syarat yang ditetapkan untuk memperoleh gelar Magister Kesehatan Masyarakat dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
Penulis menyadari bahwa penyusunan tesis ini tidak dapat terlaksana dengan baik tanpa adanya bantuan dan kerja sama dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar- besarnya kepada:
1. Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum. selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.
2. Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M.Si. selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara .
3. Ir. Etti Sudaryati, M.K.M., Ph.D. selaku Ketua Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
4. Destanul Aulia, S.K.M., M.B.A., M.Ec., Ph.D. selaku Sekretaris Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara serta selaku Anggota Penguji III yang telah bersedia menguji dan memberikan masukan guna penyempurnaan tesis ini.
5. Dr. Juanita, S.E., M.Kes. selaku Ketua Komisi Penguji yang penuh perhatian, ketelitian dan kesabaran dalam memberikan bimbingan, arahan, dan petunjuk hingga selesainya tesis ini.
vii
6. Dr. Ir. Zulhaida Lubis, M.Kes. selaku Anggota Penguji I yang penuh perhatian dan kesabaran dalam memberikan bimbingan, arahan dam petunjuk hingga selesainya tesis ini.
7. Prof. Dr. Ir. Evawany Y. Aritonang, M.Si. selaku Anggota Penguji II yang telah bersedia menguji dan memberikan masukan guna penyempurnaan tesis ini.
8. Para dosen dan staf di Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat yang telah memberikan ilmu pengetahuan dan menyediakan fasilitas selama penulis mengikuti pendidikan.
9. Kepala Puskesmas Medan Deli beserta jajaran yang telah berkenan memberikan izin untuk melakukan penelitian sehingga tesis ini dapat selesai.
10. Teristimewa untuk orang tua saya (Alm. Arief Adityawarman dan Utami Savitri, S.H), abang (Satria Gautama, S.Ked, M.K.M), dan suami (Dendy Utama Purba, S.E.) yang telah memberikan kasih sayang yang begitu besar, dukungan, dan memanjatkan doa kepada penulis.
11. Rekan seperjuangan peminatan AKK 2016 dan semua pihak yang telah membantu yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa tesis ini masih terdapat banyak kekurangan.
Oleh sebab itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun. Penulis berharap tesis ini dapat memberikan kontribusi yang positif dan bermanfaat bagi pembaca.
Medan, Desember 2020
Gayatri Tunggadewi
viii Daftar Isi
Halaman
Halaman Persetujuan i
Halaman Penetapan Tim Penguji ii
Halaman Pernyataan Keaslian Tesis iii
Abstrak iv
Abstract v
Kata Pengantar vi
Daftar Isi viii
Daftar Tabel x
Daftar Gambar xi
Daftar Lampiran xii
Riwayat Hidup xii
Daftar Istilah xiv
Pendahuluan 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 7
Tujuan Penelitian 8
Manfaat Penelitian 8
Tinjauan Pustaka 9
Gizi Buruk 9
Definisi gizi buruk 9
Faktor penyebab gizi buruk 9
Klasifikasi gizi buruk 12
Program penanggulangan gizi buruk 13
Strategi penanggulangan gizi buruk 22
Implementasi Program 23
Landasan Teori 24
Kerangka Pikir 27
Metode Penelitian 29
Jenis Penelitian 29
Lokasi dan Waktu Penelitian 29
Informan Penelitian 29
Metode Pengumpulan Data 31
Instrumen Pengambilan Data 31
Triangulasi 32
Metode Analisis Data 32
ix
Hasil Penelitian dan Pembahasan 33
Gambaran Umum Puskesmas Medan Deli 33
Karakteristik Informan Penelitian 35
Input dalam Pelaksanaan Program Penanggulangan Gizi Buruk 37
Tenaga pelaksana program 37
Kerjasama 40
Biaya operasional 43
Sarana dan prasarana 44
Proses dalam Pelaksanaan Program Penanggulangan Gizi Buruk 48
Pemantauan pertumbuhan 48
Pemberian vitamin A 52
Pemberian tablet Fe 57
Pemberian PMT pemulihan 61
Pelaksanaan pusat pemulihan gizi 62
Pelayanan gizi saat pandemi 66
Output dalam Pelaksanaan Program Penanggulangan Gizi Buruk 68
Capaian penanggulangan gizi buruk 68
Prevalensi gizi buruk balita 69
Implikasi Penelitian 70
Keterbatasan Penelitian 70
Kesimpulan dan Saran 71
Kesimpulan 71
Saran 72
Daftar Pustaka 74
Lampiran 78
x Daftar Tabel
No Judul Halaman
1 Jumlah Tenaga Kesehatan Puskesmas Medan Deli 34 2 Fasilitas Kesehatan di Wilayah Kerja Puskesmas Medan Deli 34
3 Karakteristik Informan 36
xi Daftar Gambar
No Judul Halaman
1 Skema modifikasi landasan teori 26
2 Kerangka pikir 27
xii Daftar Lampiran
Lampiran Judul Halaman
1 Pedoman Wawancara 78
2 Dokumentasi 85
3 Surat Izin Penelitian dari Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat
USU 87
xiii Daftar Istilah
ADB Anemia Defisiensi Besi BB BeratBadan
BBLR Berat Badan Lahir Rendah BGM Bawah Garis Merah
IPM Indeks Pembangunan Manusia KIA Kesehatan Ibu dan Anak KMS Kartu Menuju Sehat
PMTP
Pemberian Makanan Tambahan Pemulihan PPG Pusat Pemulihan GiziPSG Pemantauan Status Gizi
SDGs Suistainable Development Goals SDM SumberDayaManusia
SPM Standar Pelayanan Minimal TB TinggiBadan
TFC
Therapeutic Feeding CenterUKBM Upaya Kesehatan Bersumberdaya Manusia
UPGK
Usaha Perbaikan Gizi Keluarga WHO World Health Organizationxiv Riwayat Hidup
Penulis bernama Gayatri Tunggadewi, lahir di Medan tanggal 07 Februari 1994, anak kedua dari dua bersaudara dari pasangan Alm. Arief Adityawarman dengan Utami Savitri, S.H. Menikah dengan Dendy Utama Purba, S.E.
Pendidikan formal penulis dimulai dari pendidikan Sekolah Dasar di SD Swasta Pertiwi Medan, tamat Tahun 2005, Sekolah Menengah Pertama di SMP Swasta Pertiwi Medan tamat Tahun 2008, Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri 3 Medan tamat tahun 2011. Penulis melanjutkan Pendidikan ke tingkat Sarjana di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara tamat Tahun 2015. Pendidikan lanjutan di Program Studi S-2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara, Peminatan Administrasi dan Kebijakan Kesehatan Sejak Tahun 2016 sampai sekarang.
Medan, Desember 2020
Gayatri Tunggadewi
1 Pendahuluan
Latar Belakang
Keberhasilan pembangunan di suatu negara dapat dilihat dari Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan Indeks Kemiskinan Manusia (IKM). Faktor gizi merupakan faktor utama yang berperan dalam peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM). Indonesia masih menghadapi permasalahan gizi yang berdampak serius terhadap SDM seperti kegagalan pertumbuhan, berat badan lahir rendah, pendek, kurus dan gemuk dimana perkembangan selanjutnya seorang anak yang kurang gizi mengalami hambatan kognitif.
Persoalan gizi pada bayi dan balita masih menjadi persoalan utama dalam tatanan kependudukan, salah satunya adalah masalah gizi kurang. Gizi merupakan salah satu pilar pembangunan sosial dan ekonomi, sehingga penurunan gizi kurang pada bayi dan anak sangatlah penting demi mendukung untuk terwujudnya Suistainable Development Goals (SDGs) yaitu mengakhiri kelaparan, mencapai
keamanan pangan dan perbaikan gizi, dan memajukan pertanian berkelanjutan (Osborn et al., 2015).
Status gizi anak dan balita diukur berdasarkan umur, Berat Badan (BB), Tinggi Badan (TB). Indikator status gizi berdasarkan indeks BB/U memberikan indikasi masalah gizi secara umum. Indikator status gizi berdasarkan indeks TB/U memberikan masalah gizi yang sifatnya kronis. Indikator status gizi berdasarkan indeks BB/TB memberikan indikasi masalah gizi yang sifatnya akut (Riskesdas, 2018).
Badan Kesehatan Duia atau World Health Organization (WHO) menstandarkan suatu wilayah dikatakan baik bila prevalensi balita gizi kurang yaitu <5 persen. Masalah gizi kategori akut jika prevalensi 5 persen atau lebih, kategori kronis jika prevalensi pendek 20 persen atau lebih, kategori akut-kronis jika prevalensi gizi kurang 5 persen atau lebih dan prevalensi pendek 20 persen atau lebih (Kementerian RI, 2018).
Target Sustainable Development Goals (SDGs) tahun 2030 adalah mengakhiri segala bentuk malnutrisi, termasuk mencapai target international 2025 yaitu: 1) Menurunkan proporsi anak balita yang pendek (stunting) sebesar 40 persen, 2) Menurunkan proporsi anak balita yang menderita kurus (wasting) < 5 persen, 3) Menurunkan anak Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) sebesar 30 persen, 4) Tidak ada kenaikan proporsi anak yang mengalami gizi lebih, 5) Menurunkan proposi ibu usia subur menderita anemia sebanyak 50 persen, 6) Meningkatkan presentasi ibu memberikan ASI eksklusif selama 6 bulan lebih kurang 50 persen (Kementerian RI, 2018).
Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018 menunjukkan bahwa Indonesia proporsi status gizi buruk yaitu sebesar 3,9 persen dan gizi kurang sebesar 13,8 persen. Masih tingginya kasus gizi buruk sehingga pemerintah Indonesia berupaya menerapkan berbagai program kesehatan ibu dan anak untuk menurunkan kejadian tersebut (Kementerian RI, 2018).
Pemerintah telah menyiapkan target perbaikan gizi masyarakat dengan menurunnya prevalensi kekurangan gizi pada anak balita dari 19,6 persen menjadi 17 persen padatahun 2019 dan menurunnya prevalensi stunting pada anak di
3
bawah 2 tahun, dari 33 persen menjadi 28 persen pada tahun 2019 (Kemenkes RI, 2018). Salah satu kebijakan nasional dalam upaya perbaikan gizi tertuang dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 23 Tahun 2014 pada Pasal 7 dikatakan bahwa pemerintah daerah kabupaten/kota bertugas dan bertanggung jawab dalam penyelenggaraan dan fasilitasi gizi, penyelenggaraan penanggulangan gizi buruk skala kabupaten/kota, perbaikan gizi keluarga dan masyarakat, menyelenggarakan pelayanan upaya perbaikan gizi di fasilitas pelayanan kesehatan di wilayah setempat dan melaksanakan fasilitasi, perizinan, koordinasi, monitoring dan evaluasi.
Mutu gizi akan tercapai antara lain melalui penyediaan pelayanan yang bermutu dan profesional di semua institusi pelayanan kesehatan. Salah satu pelayanan kesehatan yang penting adalah pelayanan gizi di puskesmas, baik puskesmas rawat inap maupun pada puskesmas non rawat inap. Tujuan perbaikan gizi adalah meningkatkan mutu gizi perorangan dan masyarakat. Kegiatan- kegiatan program yang akan dilakukan puskesmas untuk perbaikan gizi masyarakat adalah kegiatan harian, kegiatan bulanan atau semester dan kegiatan tahunan serta beberapa kegiatan investigasi dan intervensi yang dilakukan setiap saat jika ditemukan masalah gizi misalnya ditemukan adanya kasus gizi buruk.
Kegiatan program perbaikan gizi dapat dilakukan di dalam maupun di luar gedung puskesmas (Kemenkes RI, 2017).
Presiden RI saat Rakernas Provinsi Sumatera Utara tahun 2018 berpesan bahwa gizi adalah investasi suatu bangsa maka jangan sampai ada lagi kasus gizi buruk. Tindak lanjut memunculkan isu strategis kesehatan yaitu percepatan
eliminasi tuberkulosis, peningkatan cakupan dan mutu imunisasi, serta penurunan stunting (Rakerkesdas Sumut, 2018). Gizi buruk dan stuntingbalita dapat dicegah
dengan memastikan kesehatan yang baik dan gizi yang cukup pada 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) dengan gizi yang tepat dan pencegahan penyakir.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan menilai capaian hasil prevalensi gizi buruk dan kurang berdasarkan provinsi di Indonesia tahun 2018.
Provinsi Sumatera Utara memliki prevalensi gizi buruk dan gizi kurang (indeks BB/U) pada balita usia 0-59 bulan yaitu 5,40 persendan 14,30 persen. Provinsi Sumatera Utara termasuk dalam masalah gizi masyarakat kategori akut (Riskesdas, 2018).
Berdasarkan Profil Kesehatan Sumatera Utara memiliki jumlah kasus balita gizi buruk tahun 2018 sebanyak 835 kasus. Tahun 2019 jumlah kasus gizi buruk sebanyak 518 yang tersebar di 26 kabupaten/kota.
Kota Medan memiliki cakupan kasus gizi buruk sebanyak 85 kasus yang tersebar dari 21 kecamatan di Kota Medan pada tahun 2018. Kecamatan yang memiliki kasus terbanyak ± 10 kasus setiap kecamatan yaitu Kecamatan Medan Sunggal, Kecamatan Tembung, Kecamatan Medan Deli, Kecamatan Medan Belawan (Profil Kesehatan Kota Medan, 2019).
Puskesmas Medan Deli merupakan salah satu puskesmas dengan kasus gizi buruk terbanyak di Kota Medan. Berdasarkan Laporan Gizi Puskesmas Medan Deli Tahun 2018 diketahui jumlah balita gizi buruk sebanyak 11 orang Sedangkan Tahun 2019 diketahui jumlah balita gizi buruk sebanyak delapan orang. Adanya penurunan kasus balita gizi buruk. Dan tahun 2019 Gizi Buruk
5
mulai mengalami perbaikan status gizi yaitu enam orang menjadi status gizi kurang dan dua orang status gizi buruk. Pada Tahun 2019 ditemukan adanya kasus Balita Stunting sebanyak 32 orang. Kejadian stunting disebabkan kekurangan gizi kronis sejak bayi dalam kandungan.
Puskesmas Medan Deli mempunyai lima kelurahan terdiri dari Kelurahan Kota Bangun, Mabar, Mabar Hilir, Tanjung Mulia, T.M. Hilir dan 89 lingkungan serta di dukung 78 posyandu balita untuk memberikan pelayanan kesehatan masyarakat terutama balita. Puskesmas Medan Deli dalam menangani gizi buruk balita memiliki Pusat Pemulihan Gizi (PPG) ditangani oleh petugas kesehatan, dimana balita gizi buruk dapat mendapat perawatan selama 1 bulan. Pusat Pemulihan Gizi tersebut belum dirasakan manfaatnya disebabkan masyarakat lebih memilih merawat balita mengalami malnutri di rumah. Alasan penulis mengambil lokasi ini adalah kecamatan dengan kasus balita gizi buruk tertinggi di Kota Medan dan salah satu puskesmas yang memiliki Pusat Pemulihan Gizi di Kota Medan.
Berdasarkan hasil survei pendahuluan di Puskesmas Medan Deli diketahui petugas tenaga pelaksana gizi satu orang dan kader posyandu berjumlah 390 orang kader dengan penyebaran kader lima orang setiap posyandu. Alur pelaksanaan program gizi buruk dimulai dengan penjaringan ketika balita datang ke posyandu, kemudian dilakukan pengukuran dan penimbangan. Jika balita tersebut menderita gizi buruk,mengikuti program Pemberian Makanan Tambahan (PMT) dengan memberikan susu dan biskuit yang mengandung energi tinggi. Balita gizi buruk juga dapat dirawat di Pusat Pemulihan Gizi (PPG) apabila tidak ada penyakit penyerta.
Upaya perbaikan gizi yang pernah dilaksanakan Puskesmas Medan Deli dengan kegiatan di dalam gedung antara lain yaitu: penimbangan Berat Badan dan pengukuran Tinggi Badan (TB) pada bayi dan balita, konsultasi gizi, pemberian Vitamin A pada bayi, balita dan ibu nifas (bufas), pemberian beras jimpitan untuk anak gizi kurang dan gizi buruk.Kegiatan di luar gedungpuskesmas merupakankegiatan yang dilakukan di posyandu seperti penimbangan bayi dan balita, penyuluhan, pelacakan serta pemantauan kasus gizi buruk bekerjasama dengan kader.
Pelaksanaan program gizi buruk masih terkendala, terutama hambatan saat pemantauan balita gizi buruk, dimana kesadaran dan partisipasi masyarakat rendah membawa anaknya ke posyandu, mobilitas dan sarana prasana kurang memadai. Data Laporan Program Gizi Puskesmas Medan Deli, diketahui capaian program gizi tahun 2019 bahwa pemberian tablet Fe ibu hamil hanya 80 persen, belum mencapai target sesuai Rencana Strategis Program Dirjend Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) 2015-2019 sebesar 90 persen. Presentase balita kurus mendapat makanan tambahan hanya 65 persen, belum sesuai target 75 persen. Persentase bayi enam bulan mendapat ASI Ekslusif capaian hanya 31 persen sedangkan target program 50 persen.
Pelaksanaan program penanggulangan gizi buruk sangat diperlukan pengelolaan atau manajemen operasional yang baik. Tersedianya dana Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) untuk puskesmas dan dukungan adiministrasi manajemen pada pelaksanaan program sangat membantu pencapaian program tersebut. Ditambah lagi kegiatan penilaian evaluasi program merupakan bagian integral dari fungsi manajemen yang didasarkan pada sistem informasi
7
manajemen dan dilaksanakan untuk mengukur pencapaian hasil kerja (Permenkes RI, 2014)
Sementara hasil penelitian Perangin-angin (2014) mengkaji analisis pelaksanaan program gizi dalam upaya perbaikan gangguan pertumbuhan anak di Kabupaten Karo menunjukkan bahwa masih banyak ditemukan kekurangan pelaksanaan program gizi, baik dari segi komponen input yaitu minimnya tenaga gizi dan sarana prasarana, proses yaitu pelaksanaan program ASI eksklusif belum berjalan dengan semestinya sehingga keluaran (output) belum sesuai harapan.
Hasil penelitian Pratiwi (2015) mengkaji implementasi program penanggulangan gizi buruk balita dan ibu hamil di Kecamatan Mempawah Hilir Kabupaten Pontianak menunjukkan bahwa pogram penanggulangan gizi buruk pada balita dan ibu hamil terlihat belum maksimal. Penelitian Ridwan (2016) mengkaji tentang evaluasi program penanggulangan gizi kurang di wilayah kerja Puskesmas Bugangan Kota Semarang menjelaskan kekurangan sumber daya manusia, dana pada program penanggulangan gizi kurang hanya berupa PMT, sarana dan prasarana masih belum mendukung. Demikian juga pelaksanaan penyuluhan atau konseling gizi balita dinilai masih belum berjalan dengan baik.
Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai Implementasi Program Penanggulangan Gizi Buruk di Wilayah Kerja Puskesmas Medan Deli.
Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan di atas maka yang menjadi perumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana implementasi program penanggulanan gizi buruk di Wilayah Kerja Puskesmas Medan Deli.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui implementasi program penanggulanan gizi buruk terdiri dari input (masukan), proses (pelaksanaan program gizi buruk) output (target program gizi) dan outcome (capaian program gizi) di Wilayah Kerja Puskesmas Medan Deli .
Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian ini adalah:
1. Bagi institusi kesehatan terutama Dinas Kesehatan Kota Medan dan Puskesmas Medan Deli dapat menjadi bahan masukan dan kajian evaluasi bagi pemegang program gizi mengenai penanggulangan gizi buruk di Kota Medan.
2. Bahan informasi bagi masyarakat khususnya ibu dalam penanggulangan gizi buruk balita untuk meningkatkan status kesehatan keluarga.
9 Tinjauan Pustaka
Gizi Buruk
Definisi gizi buruk. Gizi burukmerupakan bentuk terparah (akut) dariproses terjadinya kekurangan gizi, merupakan keadaan kurang gizi tingkat berat yang disebabkan oleh rendahnya konsumsi energi dan protein dari makanan sehari-hari dan terjadi dalam waktu yang cukup lama (Marmi, 2013).
Gizi buruk adalah status gizi menurut berat badan (BB) dan tinggi badan (TB) dengan Z-score <-3 dan atau dengan tanda-tanda klinis (marasmus, kwasiorkor dan marasmus-kwasiorkor). Gizi buruk juga diartikan seseorang yang kurang gizi yang disebabkan oleh rendahnya konsumsi energi dan protein dalam makanan sehari-hari dan atau gangguan penyakit tertentu (Supariasa, 2016).
Seorang akan mengalami gizi buruk (malnutrisi) jika tidak mengkonsumsi jumlah atau kualitas nutrien yang mencukupi untuk diet sehat selama suatu jangka waktu yang cukup lama. Gizi buruk (malnutrisi) yang berlangsung lama dapat mengakibatkan kelaparan, penyakit, dan infeksi. Tanda-tanda dari banyak kasus malnutrisi yaitu ketika cadangan nutrisi dihabiskan dan nutrisi serta energi yang masuk tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari atau tidak memenuhi tanbahan metabolik yang meningkat (Hartriyanti, 2007). Gizi buruk (severe malnutrition) adalah suatu istilah teknis yang umumnya dipakai oleh kalangan gizi, kesehatan dan kedokteran (Susilowati, 2016).
Faktor penyebab gizi buruk. Menurut Susilowati (2016) menyebutkan bahwa banyak faktor-faktor yang dapat menyebabkan gizi buruk yaitu, sebagai berikut:
1. Penyebab Langsung a. Konsumsi zat gizi
Konsumsi zar gizi yang kurang dapat menyebabkan keterlambatan pertumbuhan badan dan keterlambatan perkembangan otak serta dapat pula terjadinya penurunan atau rendahnya daya tahan tubuh terhadap penyakit infeksi.
b. Penyakit infeksi
Infeksi dan kekurangan gizi selalu berhubungan erat. Infeksi pada anak- anak yang malnutrisi sebagian besar disebabkan kerusakan fungsi kekebalan tubuh, produksi kekebalan tubuh yang terbatas dan atau kapasitas fungsional berkurang dari semua komponen seluler dari sistem kekebalan tubuh pada penderita malnutrisi.
2. Penyebab tidak langsung
a. Pelayanan kesehehatan dan kesehatan lingkungan
Gizi buruk dan infeksi bermula dari kemiskinan dan lingkungan yang tidak sehat dengan sanitasi buruk. Upaya penurunan angka kejadian penyakit bayi dan balita dapat diusahakan dengan menciptakan sanitasi lingkungan yang sehat dan sarana pelayanan kesehatan yang memadai serta terjangkau , yang pada akhirnya akan memperbaiki status gizinya.
b. Ketersediaan pangan dan tingkat pendapatan
Masalah gizi yang muncul sering berkaitan dengan masalah kekurangan pangan, salah satunya timbul akibat masalah ketahanan pangan di tingkat rumah tangga, yaitu kemampuan rumah tangga memperoleh makanan untuk semua anggotanya.
11
Tingkat pendapatan keluarga merupakan faktor eksternal yang memengaruhi status gizi. Keluarga dengan status ekonomi menengah kebawah, memungkinkan konsumsi pangan dan gizi belum terpenuhi terutama pada balita dan hal ini memengaruhi status gizi pada anak balita.
c. Pola asuh anak
Pola asuh merupakan praktek pengasuhan yang diterapkan kepada anak balita dan pemeliharaan kesehatan. Pola asuh yang baik dari ibu akan memberikan kontribusi yang besar pada pertumbuhan dan perkembangan balita sehingga akan menurunkan angka kejadian gangguan gizi dan begitu sebaliknya(Susilowati, 2016).
Ketiga faktor penyebab tidak langsung tersebut berkaitan dengan tingkat pendidikan, pengetahuan dan keterampilan keluarga. Semakin tinggi tingkat pendidikan, pengetahuan dan keterampilan maka kemungkingan akan semakin baik tingkat ketahanan pangan dan pendapatan keluarga, maka semakin baik pula pola pengasuhan anak, dan makin banyak keluarga yang memanfaatkan pelayanan kesehatan yang ada dan demikian juga sebaliknya.
Ibu memiliki berat badan normal atau berlebih (obesitas) berdasarkan indeks massa tubuh, tempat tinggal di daerah dan indeks pendapatan kelas menengah kemungkinan penyebab kurang gizi buruk pada balita. Hasil temuan faktor-faktor yang memengaruhi gizi buruk pada balita antara lain: berat badan lahir rendah (<2,5 kg), keanekaragaman pola makan minimum, tingginya jarak anak kelahiran dengan anak lainnya (≥4 tahun). Tingkat pendidikan suami/istri dan domisili dapat memengaruhi gizi buruk pada balita di wilayah utara Ghana (Boah, 2019).
Anak-anak menderita malnutrisi (stunting, lebih dari setengah (57%) disebabkan memiliki riwayat berat badan lahir rendah dan frekuensi konsumsi makan keluarga dua kali sehari (57%). Malnutrisi tidak dipengaruhi oleh status perkawinan, pengambilan keputusan dalam rumah tangga, pendapatan, ukuran, agama, status pendidikan dan skor konsumsi di Kabupaten Insiza Matabeleland Selatan Zimbabwe (Ncube, 2020). Penelitian Gebru (2019) menyatakan anak berusia 12 bulan, jenis kelamin laki-laki, berat badan lahir rendah, keluarga berpenghasilan rendah, pendidikan ibu rendah dan riwayat kelahir kembar dapat meningkatkan kemungkinan stunting anak pada masa kecil di Ethopia.
Klasifikasi gizi buruk. Gizi buruk berdasarkan gejala klinisnya dapatdibagi menjadi tiga, yaitu:
Marasmus. Marasmus terjadi disebabkan asupan kalori yang tidak cukup.
Marasmus sering sekali terjadi pada bayi di bawah 12 bulan. Pada kasus marasmus, anak terlihat kurus kering sehingga wajah seperti orangtua, kulit keriput, cengeng dan rewel meskipun setelah makan, perut cekung, rambut tipis, jarang dan kusam, tulang iga tampak jelas dan pantat kendur dan keriput (baggy pant).
Kwashiorkor. Kwashiorkor adalah salah satu bentuk malnutrisi protein
yang berat disebabkan oleh asupan karbohidrat yang normal atau tinggi namun asupanprotein yang inadekuat. Beberapa tanda khusus dari kwashiorkor adalah:
rambut berubah menjadi warna kemerahan atau abu-abu, menipis dan mudah rontok, apabila rambut keriting menjadi lurus, kulit tampak pucat dan biasanya disertai anemia, terjadi dispigmentasi dikarenakan habisnya cadangan energi atau protein. Pada kulit yang terdapat dispigmentasi akan tampak pucat, Sering terjadi
13
dermatitis (radang pada kulit), terjadi pembengkakan, terutama pada kaki dan tungkai bawah sehingga balita terlihat gemuk. Pembengkakan yang terjadi disebabkan oleh akumulasi cairan yang berlebihan. Balita memiliki selera yang berubah-ubah dan mudah terkena gangguan pencernaan.
Marasmus-Kwashiorkor. Memperlihatkan gejala campuran antara
marasmus dan kwashiorkor. Makanan sehari-hari tidak cukup mengandung protein dan energi untuk pertumbuhan normal. Pada penderita berat badan dibawah 60 persen dari normal memperlihatkan tanda-tanda kwashiorkor seperti edema, kelainan rambut, kelainan kulit serta kelainan biokimia (Fikawati, dkk, 2017).
Program penanggulangan gizi buruk. Program penanggulangan gizimerupakan hal kunci dalam upaya mencapai target indikator Standar Pelayanan Minimal (SPM) kesehatan. Indonesia terus menerus mengalami masalah gizi yang mendera dan memengaruhi berbagai kelompok populasi terutama remaja, ibu, dan anak. Hal ini tentu saja menghambat target pencapaian bidang kesehatan dan juga pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu aspek gizi dan kesehatan harus ditanggulangi secara bersamaan yang pada akhirnya akan mendorong Indonesia untuk mampu mencapai target nasional di kedua bidang tersebut.
Program penanggulangan gizi sesuai dengan Standar Pelayanan Minimal penyelenggaraan perbaikan gizi masyarakat yang dilaksanakan pada masing- masing puskesmas sebagai berikut:
Pemantauan pertumbuhan pada pelayanan kesehatan balita.
Pemantauan pertumbuhan (Growth Faltering) merupakan suatu kegiatan
penimbangan yang dilakukan secara terus menerus (berkesinambungan) dan teratur. Berat badan hasil penimbangan dibuat titik dalam Kartu Menuju Sehat (KMS) dan dihubungkan sehiingga membentuk garis pertumbuhan anak yang bertujuan untuk mengetahui secara dini anak tumbuh normal atau tidak, dan untuk melakukan tindak lanjut dengan cepat dan tepat.
Pelayanan kesehatan balita sesuai standar yaitu pelayanan kesehatan yang diberikan kepada anak berusia 0-59 bulan dan dilakukan oleh bidan dan atau perawat dan atau dokter dan atau dokter spesialis anak yang memiliki surat tanda register dan diberikan fasilitas kesehatan pemerintah maupun swasta, dan Upaya Kesehatan Bersumberdaya Manusia (UKBM). Penimbangan minimal delapan kali setahun, pengukutan panjang/tinggi badan minimal dua kali setahun.
Kartu Menuju Sehat (KMS) merupakan alat sederhana yang digunakan untuk mencatat dan memantau kesehatan dan pertumbuhan anak. Juga berisi catatan penting individu tentang identitas balita, imunisasi dan pemberian kapsul vitamin A. KMS juga berisi pesan penyuluhan kesehatan dan gizi seperti hal-hal yang berkaitan dengan imunisasi, pencegahan dan penanggulangan diare, pemberian ASI eksklusif dan makanan pendamping ASI.
Balita bawah garis merah (Under red line weight). Balita Bawah Garis
Merah (BGM) adalah balita yang ditimbang dengan berat badan berada pada garis merah atau berada di bawah garis merah pada KMS.BGM ini merupakan berbahaya sangat perlu untuk mengkonfirmasi dan menentukan penanganan lanjutan.
Cara perhitungan yaitu sebagai berikut : Balita Bawah Garis Merah (BGM) =
15
Balita naik berat badannya. Balita yang naik berat badannya (N) adalah
balita yang ditimbang di posyandu maupun luar posyandu selama dua bulan berturut-turut naik berat badannya dan mengikuti garis pertumbuhan pada KMS.
Cara perhitungan yaitu sebagai berikut: Balita naik berat badannya (N) =
Balita naik berat badannya (N) bila :
1) Garis pertumbuhannya naik mengikuti salah satu pita warna 2) Garis pertumbuhannya naik dan pindah ke pita warna di atasnya
Hal yang perlu diperhatikan dalam pemantauan pertumbuhan balita, yaitu::
1) Cara menimbang anak
Cara menimbang anak dengan benar merupakan salah satu syarat untuk menjamin kualitas pemantauan pertumbuhan.
2) Cara menghitung umur anak
Umur anak harus dihitung secara benar karena hal sebagai berikut:
a) Pertumbuhan anak dipengaruhi oleh umur anak.
b) Keceoatan tumbuh (“growth rate”) balita dari umur 0 bulan sampai 60 bulan berbeda-beda.
c) Mengetahui umur anak dengan tepat sangat penting untuk menilai apakah kecepatan tumbuh anak mengikuti kecepatan tumbuh normal pada umur tersebut.
1) Antara 0-1 bulan = 0,8 - 1,1 kg 2) Antara 8-9 bulan = 0,3 - 0,5 kg Kecepatan tumbuh anak perempuan:
1) Antara 0-1bulan = 0,6 – 0,9 kg 2) Antara 8-9 bulan =0,3 – 0,5 kg 2. Pelayanan gizi
a. Pemberian tablet Fepada ibu hamil
Ibu hamil adalah ibu yang mengandung mulai dari trisemester I s/d trisemester III. Tablet Fe merupakan tablet tambah darah yang diberikan untuk menanggulangi anemia gizi zat besi yang diberikan kepada ibu hamil. Salah satu efek Anemia Defisiensi Besi (ADB) adalah kelahiran bayi premature dimana hal ini berasosiasi dengan masalah baru seperti Berat Badan Lahir Rendah (BBLR), defisiensi respon imun dan cenderung mendapat masalah psikologik dan pertumbuhan.
Pemberian tablet besi pada ibu hamil sampai masa nifas secara rutin minimal 90 tablet Fe sehari 1 tablet berturut-turut selama masa kehamilan sampai 42 haru setelah melahirkan untuk meningkatkan kadar hemoglobin secara tepat.
Pemberian mulai pada waktu pertama kali ibu hamil memeriksakan kehamilannya (K1). Tablet besi untuk ibu hamil sudah tersedia dan telah didistribusikan ke seluruh provinsi dan pemberiannya melalui Puskesmas, Puskesmas Pembantu, Posyandu dan Bidan Desa. Dan secara teknis diberikan setiap bulan sebanyak 20 tablet.
Target dalam Renstra Program Dirjend Bina Gizi dan KIA tahun 2019 yaitu 98 persen.
17
b. Pemberian vitamin A pada balita
Pemberian kapsul vitamin A pada balita yang dimaksud dalam program adalah bayi yang berumur 6-11 bulan dan anak umur 12-59 bulan yang mendapat kapsul vitamin A yang tinggi.
Kapsul vitamin A dosis tinggi terdiri dari sebagai berikut :
1) Vitamin A berwarna biru dengan dosis 100.000 IU yang diberikan kepada bayi umur 6-11 bulan.
2) Vitamin A berwarna merah dengan dosis 200.000 IU yang diberikan kepada anak umur 12-59 bulan.
Jadwal pemberian dosis vitamin A dilakukan sebanyak 2 kali per tahun.
Pemberian ditujukan bagi anak-anak yang mengalami gizi kurang mempunyai resiko yang tinggi untuk mengalami kebutaan sehubungan dengan defisiensi vitamin A, karena alasan ini vitamin A dosis tinggi harus diberikan secara rutin untuk semua anak yang mengalami gizi kurang pada hari pertama, kecuali bila dosis yang sama telah diberikan pada bulan lalu.
c. Pemberian makanan pendamping ASI.
Sasaran berumur 6-11 bulan akan mendapat MP-ASI bubur sebanyak 100gr/hari yang diberikan dalam 3 kali penyajian selama 90 hari.
Setiap sasaran yang berumur 12-24 bulan akan mendapat MP-ASI yaitu biskuit sebanyak 120 gr/hari selama 90 hari. Biskuit dikemas dengan berat bersih 120 gr, setiap 7 kemasan berisi 120 gr. Apabila sasaran lebih banyak dari ketersediaan MP-ASI sebaiknya diseleksi berdasarkan status gizi.
d. Pemberian ASI eksklusif
Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyarankan ibu menyusui bayinya selama 6 bulan penuh untuk menghindari alergi dan menjamin kesehatan bayi yang optimal. ASIeksklusif perlu diberikan selama 6 bulan karena pada masa itu bayi belum memiliki enzim pencernaan yang sempurna untuk mencerna jenis nutrisi yang dibutuhkan oleh bayi sudah bisa dipenuhi dari ASI.
Tujuan pemberian ASI eksklusif yaitu melindungi bayi dari resiko infeksi akut seperti diare, pneumonia, infeksi telinga, haemophilus, influenza, meningitis, dan infeksi saluran kemih. ASI eksklusif juga melindungi bayi dari penyakit kronis di masa depan seperti diabetes mellitus tipe 1.
Menyusui bayi juga berhubugan dengan penurunan tekanan darah dan kolestrol serum total, penurunan prevalensi diabetes mellitus tipe 2 dan juga obesitas saat remaja dan dewasa.
ASI eksklusif diberikan selama 6 bulan pertama sejak lahir tanpa diberi tambahan makanan atau minuman apapun. Saat memasuki usia 6 bulan maka bayi baru diperkenalkan dengan Makanan Pendamping ASI (MP- ASI) sedangkan pemberian ASI tetap diteruskan hingga bayi berusia 2 tahun. Bila bayi diberi ASI eksklusif 6 bulan penuh, akan mengurangi kemungkinan ibu untuk hamil lebih dini. Ibu yang menyusui dengan ASI biasanya juga lebih cepat mengembalikan postur tubuhnya seperti sebelum hamil. Selain itu juga mengurangi kemungkinan kerapuhan pada tulang ibu.
19
e. Pemberian Makanan Tambahan Pemulihan (PMTP)
Pemberian makanan tambahan untuk pemulihan anak balita gizi buruk merupakan salah satu kegiatan dalam Usaha Perbaikan Gizi Keluarga (UPGK) dan sebagai intervensi langsung dalam menanggulangi masalah kurang gizi pada anak balita. Kriteria penerima PMTP tidak hanya untuk gizi buruk tetapi gizi kurang dan gizi sedang.
Menurut Persagi, pemberian tambahan makanan di samping makanan yang dimakan sehari-hari dengan tujuan memulihkan keadaan gizi dan kesehatan. PMT dapat berupa makanan local atau makan pabrik. Bahan makanan yang digunakan dalam PMT hendaknya bahan-bahan yang ada atau dapat dihasilan setempat, sehingga kemungkinan kelestarian program lebih besar. Diutamakan bahan makanan sumber kalori dan protein tanpa mengesampingkan sumber zat gizi lain seperti : padi-padian, umbi- umbian, kacang-kacangan, ikan, sayuran hijau, atau kelapa dan hasil olahannya.
f. Pusat pemulihan gizi
Pusat pemulihan gizi dalam bahasa inggris dikenal sebagai Therapeutic Feeding Center (TFC) yang berfungsi sebagai tempat perawatan
danpengobatan anak gizi buruk secara intensif di suatu tempat atau ruangan khusus dan ibu atau keluarga ikut aktif untuk terlibat dalam perawatan anak gizi buruk. Pusat Pemulihan Gizi (PPG) dapat dikembangkan dengan kegiatan pelayanan gizi lainnya yang tidak terbatas pada pelayanan anak gizi buruk. Penyelenggaraan PPG dapat
memanfaatkan fasilitas bangunan yang sudah ada di puskesmas perawatan atau rumah sakit atau membuat bangunan khusus atau baru.
Syarat pembentukan PPG dapat dibentuk bila dalam satu wilayah kecamatan memenuhi kriteria sebagai berikut :
1) Global Acute Malnutrition (GAM) atau Prevalensi gizi kurang akut ≥ 20 persen.
2) GAM / Prevalensi gizi kurang akut antara 10-19,9 persen dengan faktor penyulit seperti adanya bencana baik alam maupun non alam (Kemenkes, 2018).
Biasanya anak balita dengan gizi buruk dirawat ditempat ini antara 2-3 bulan. Waktu ini dimanfaatkan untuk wahana pendidikan bagi ibu balita.
Disini ibu balitapun menginap sambil bagaimana merawat anak balitanya, cara memasak dengan pemberian makanan tambahan mengandung kalori dan protein yang tinggi dengan aneka bahan makanan setempat sehingga kekurangan BB terpenuhi dan dapat meningkatkan tinggi badan. Dalam pemantauan bila balita dinyatakan sudah sembuh makan anak dikembalikan dalam keluarga untuk dilanjutkan pemulihan status gizinya sehinga tidak kembali jatuh ke keadaan semula.
Beberapa penelitian yang menjelaskan mengenai implementasi program penaggulangan gizi buruk belum maksimal. Penelitian Lisan (2017), mengkaji Implementasi Program Penaggulangan Gizi Buruk Anak Bawah Lima Tahun Pada Dinas Kesehatan Kabupaten Donggala, berdasarkan teori implementasi kebijakan yang dikemukakan oleh Edward III, yang meliputi komunikasi, sumber daya,
21
disposis dan strukutur birokrasi belum secara keseluruhan belum berjalan dengan baik. Keadaan ini terjadi karena dari keseluruhan faktor tersebut masih ada faktor sumber daya yang belum berjalan dengan baik, sedangkan faktor komunikasi, disposisi, dan strukutr birokrasi sudah baik terlaksana.
Penelitian Ismail (2016) menjelaskan implementasi program belum berjalan sesuai standar pelaksanaan dari Depkes, dikarenakan komunikasi yang dilakukan Dinas Kesehatan Kota Sorong melalui sosialisasi program belum optimal. Ketersediaan sumber daya yang meliputi sumber daya tenaga pelaksana belum memadai karena hanya petugas dengan latar belakang pendidikan gizi yang menjalankan program sedangkan tenaga lain tidak terlibat. Belum ada tim asuhan gizi di semua puskesmas, selain itu sebagian besar tenaga belum mendapatkan pelatihan. Pengelolaan dana program tidak sesuai dengan unit cost. Sarana dan prasarana tidak memadai dan masih ada puskesmas yang tidak layak. Petugas pelaksana sangat mendukung program namun kurangnya transparansi dan sosialisasi mengakibatkan kurangnya komitmen. Tidak ada kewenangan maupun SOP yang diberikan dari Dinas Kesehatan Kota Sorong kepada Puskesmas. Selain itu tidak ada supervisi terhadap pelaksana program gizi.
Berbeda penelitian Susanti (2017) menegaskan bahwa implementasi penatalaksanaan gizi buruk sudah cukup baik di Wilayah Kerja Puskesmas Cilacap Utara I. Hal ini terlihat dari komponen input (jumlah kader dan sarana prasarana sudah memenuhi, sedangkan jumlah tenaga gizi masih kurang dan tenaga kesehatan belum berperan optimal), komponen proses (tahap persiapan sudah baik, pengorganisasian belum terstruktur baik, pelaksanaan dan alur
pelayanan gizi buruk belum berjalan sesuai prosedur seharusnya), dan komponen output (balita gizi buruk sudah menjalani perawatan selama 3 bulan dan terjadi perubahan status gizi ke status gizi yang lebih baik).
Strategi penanggulangan gizi buruk. Strategi yang dilaksanakan untukpenanggulangan gizi buruk yaitu:
1. Pencegahan dan penanggulangan gizi buruk dilaksanakan di seluruh kabupaten/kota di Indonesia sesuai dengan kewenangan wajib dan Standar Pelayanan Minimal (SPM) dengan memperhatikan besaran dan luasnya masalah.
2. Meningkatkan kemampuan petugas dalam manajemen dan melakukan tata laksana gizi buruk untuk mendukung fungsi posyandu yang dikelola oleh masyarakat.
3. Mengembalikan fungsi posyandu dan meningkatkan kembali partisipasi masyarakat dan keluarga dalam memantau tumbuh kembang balita, mengenali dan menanggulangi secara dini balita yang mengalami gangguan pertumbuhan melalui revitalisasi posyandu.
4. Menanggulangi secara langsung masalah gizi yang terjadi pada kelompok rawan melalui pemberian intervensi gizi (suplementasi), seperti kapsul Vitamin A, MP-ASI dan makanan tambahan.
5. Mewujudkan keluarga sadar gizi melalui promosi kesehatan gizi, advokasi, dan sosialisasi tentang makanan sehat dan bergizi seimbang serta pola hidup bersih dan sehat.
6. Meningkatkan peran masyarakat dalam GERMAS dan pelaksanaan program pemenuhan gizi yang optimal selama periode 1000 Hari Pertama Kelahiran
23
(HPK).
7. Menggalang kerja sama antar lintas sektor dan kemitraan dengan pihak swasta atau dunia usaha dan masyarakat untuk dapat mobilisasi sumber daya.
Implementasi Program
Implementasi kebijakan dipandang dalampengertian yang luas,merupakan alat administrasi hukum di mana berbagai aktor, organisasi, prosedur,dan teknik yang bekerja bersama-sama untuk menjalankan kebijakan guna meraih dampak atau tujuan yang diinginkan. Van Meter dan Van Horn membatasi implementasi kebijakan sebagai tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individu-individu (kelompok-kelompok) pemerintah maupun swasta yang diarahkan untukmencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan-keputusankebijakan sebelumnya (Winarno, 2014).
Keberhasilan implementasi dipengaruhi oleh dua variabel besar, yakni isi kebijakan (content of policy) dan lingkungan implementasi (context of implementation). Variabel isi kebijakan ini mencangkup: 1) sejauh manakepentingan kelompok sasaran termuat dalam isi kebijakan; 2) jenis manfaat yang diterima oleh target group; 3) sejauhmana perubahan yang diinginkan dari sebuah kebijakan; 4) apakah letak sebuah program sudah tepat. Variabel lingkungan kebijakan mencakup : 1) seberapa besar kekuasaan, kepentingan, dan strategi yang dimiliki oleh para actor yang terlibat dalam implementasi kebijakan;
2) karakteristik institusi dan rejim yang sedang berkuasa; 3) tingkat kepatuhan dan responsivitas kelompok sasaran (Winarno, 2014).
Kebijakan tentang penanggulangan gizi buruk dapat dinilai berdasarkan elemen yaitu input (sumber daya), process (pelaksanaan manajemen gizi) dan
output atau outcome (hasil luaran). Menurut Donabedian (1988) ada
tigapendekatan penilaian mutu yaitu dari aspek, struktur/input, proses, dan outcome.
1. Input (Struktur), meliputi sarana fisik perlengkapan dan peralatan, organisasidan manajemen, keuangan, sumber daya manusia dan sumber daya lainnya di fasilitas pelayanan kesehatan.
2. Proses, adalah semua kegiatan yang dilaksankan secara profesional oleh tenaga kesehatan dan interaksinya dengan lingkungan sekitarnya. Asumsinya adalah bahwa semakin patuh semua tenaga kesehatan profesional kepada standar yang baik (standards of good practise) yang diakui oleh masing- masing profesi, akan semakin tinggi pula mutu pelayanan.
3. Outcome, adalah hasil akhir kegiatan dan tindakan tenaga kesehatan profesional terhadap layanan. Dapat berarti adanya perubahan derajat kesehatan dan kepuasan baik positif maupun negatif.
Implementasi suatu program kesehatan tidak terlepas dari manajemen sebagai kegiatan untuk meraih capaian yang di inginkan. Oleh karena itu pemerintah harus menerapkan fungsi manajemen kesehatan untuk mencapai target yang ditetapkan. Sesuai dengan GeorgeR. Terry (2006) mencetus teori POAC yaitu Planning Organizing Actuating, dan Controlling .
Landasan Teori
Pemerintah dalam mengatasi gizi buruk balita di Indonesia telah menetapkan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 23 tahun 2014 tentang Upaya Perbaikan Gizi, ditegaskan pada pasal tujuh bahwa pemerintah daerah kabupaten/kota bertugas dan bertanggung jawab dalam penyelenggaraan dan
25
fasilitasi gizi, penyelenggaraan penanggulangan gizi buruk skala kabupaten/kota, perbaikan gizi keluarga dan masyarakat, menyelenggarakan pelayanan upaya perbaikan gizi di fasilitas pelayanan kesehatan di wilayah setempat dan melaksanakan fasilitasi, perizinan, koordinasi, monitoring dan evaluasi.
Program penanggulangan gizi buruk yang berjalan merupakan suatu proses dalam suatu sistem kesehatan yang menyangkut perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, pengawasan, pengkordinasian dan penilaian terhadao sumber, tata cara dan kesanggupan yang tersedia untuk memenuhi kebutuhan dan tuntutan terhadap suatu kesehatan.
Teori Donabedian (1988) bahwa mutu suatu pelayanan dapat dinilai berdasarkan input, process, dan output. Pelaksanaan program penanggulangan gizi tidak terlepas dari peran puskesmas sebagai organisasi pelayanan kesehatan fungsional terdepan. Kegiatan program penanggulangan gizi buruk dapat terlaksana dengan baik bila tersedia sumber daya yang cukup sesuai dengan kebutuhan.
Semua sumber daya ini merupakan masukan (input) sedangkan pelaksana kegiatan merupakan program yang dijalankan (process) yang bertujuan untuk menghasilkan sebuah keluaran (output) dalam bentuk cakupan pelayanan rogram.
Model keberhasilan implementasi kebijakan yang dikembangkan oleh George C.
Edward III menamakan model Direct and Indirect Impact on Implementation.
terdapat empat variabel, yaitu: 1) Komunikasi, 2) Sumberdaya, 3) Disposisi, dan 4) Struktur birokrasi (Edward III, 1990).
Teori George R. Terry (2006) menjelaskan peran fungsi manajemen diterapkan secara efektif dan efisien untuk mencapai tujuan organisasi meliputiplanning, organizing, actualing, dan controling.
Implementasi Program Donabedian (1988)
INPUT PROSES OUTPUT/
OUTCOME
OUTPUT
1. Sumber daya 1. Planning Target/Cakupan 2. Sarana/prasarana 2. Organizing pelayanan program 3. Keuangan 3. Actualing
4. Organisasi dan 4. Controling manajemen George R. Terry
(2006) 1. Komunikasi
2. Sumbe daya 3. Disposisi
4. Struktur birokrasi Edward III (1990)
Gambar 1. Skema modifikasi landasan teori
Sumber: Donabedian (1988), Edward III (1990), GeorgeR. Terry (2006)
27
Kerangka Pikir
Program penanggulangan gizi buruk mendapat prioritas dari pemerintah karena bersifat tidak dapat disembuhkan dan menyumbang angka kematian dan kesehatan. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 23 tahun 2014 tentang Upaya Perbaikan Gizi, dijelaskan bahwa setiap puskesmas diberikan tanggung jawab untuk menanggulangi kasus gizi buruk balita
Gambar 2. Kerangka pikir
Program Penanggulangan Gizi Buruk
INPUT:
Tenaga pelaksana program (Kepala Puskesmas, Tenaga
Pelaksana Gizi, Kader
Posyandu)
Biaya operasional
Sarana dan Prasarana
PROSES:
Kegiatan Program:
1. Pemantauan Pertumbuhan (Penimbangan BB dan Pengukuran TB )
2. Pelayanan gizi meliputi:
- Konsultasi gizi - Pemberian Vitamin A
pada bayi dan balita - Pemberian Tablet Fe
pada ibu hamil - PemberiankPMT
Pemulihan
- Pusat Pemulihan Gizi (PPG)
3. Pencatatan dan pelaporan program
OUTPUT:
Target program gizi
OUTCOME:
Capaian program Gizi
Berdasarkan kerangka konsep penelitian, dapat dijabarkan definisi konsep sebagai berikut:
1. Input (masukan) adalah segala sesuatu yang dibutuhkan untuk dapat melaksanakan suatu kegiatan program penanggulangan gizi buruk.
a. Tenaga pelaksana program penanggulangan gizi buruk meliputi: kepala puskesmas, Tenaga Pelaksana Gizi (TPG), dan kader posyandu
b. Biaya operasional merupakan sumber dana yang dibutuhkan untuk menyelenggarakan dan atau memanfaatkan pelayanan kesehatan masyarakat yang tujuan utamanya untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan serta untuk mencegah penyakit (Azwar, 2010).
c. Sarana dan prasarana
Program penanggulangan gizi buruk harus ditunjang dengan sarana yang minimal dapat menunjang pelaksanaan prevensi primer dan peralatan pemantauan pertumbuhan. Untuk kegiatan promotif harus tersedia alat peraga, untuk kegiatan preventif harus tersedia peralatan dan obat-obatan serta juga diperlukan sarana transportasi dalam surveilans gizi.
2. Proses adalah seluruh kegiatan dari program penanggulangan gizi yang dijalankan di puskesmas maupun diluar puskesmas yaitu posyandu yang meliputi kegiatan pemantauan pertumbuhan dan kegiatan pelayanan gizi
3. Output (keluaran) adalah target kegiatan program gizi yaitu ketetapan pelaksanaan program gizi pada wilayah kerja Puskesmas Medan Deli.
4. Outcome (hasil) adalah hasil akhir kegiatan program gizi dari proses dan penurunan prevalensi gizi buruk pada wilayah kerja Puskesmas Medan Deli.
29 Metode Penelitian
Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi deskriptif yaitu pengalaman yang secara sadar dialami oleh partisipan dan hal-hal termasuk mendengar, melihat, percaya, merasa, mengingat, memutuskan, mengevaluasi, dan bertindak (Creswell, 2016). Penelitian ini dimaksud untuk dapat mengeksplorasi pengalaman – pengalaman yang telah terjadi pada partisipan yang terkait sehingga terungkap suatu informasi yang dapat menggambarkan pengimplementasian program penanggulangan gizi buruk di wilayah kerja Puskesmas Medan Deli.
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian akan dilaksanakan di wilayah kerja Puskesmas Medan Deli.
Alasan pemilihan lokasi penelitian karena Puskesmas Medan Deli merupakan puskesmas dengan kasus tertinggi balita gizi buruk di Kota Medan dan salah satu puskesmas yang memiliki Pusat Pemulihan Gizi (PPG). Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan Maret 2020 sampai dengan selesai.
Informan Penelitian
Informan adalah orang yang diwawancarai dan dimintai informasi oleh pewawancara yang diperkirakan menguasai masalah penelitian dan memahami data informasi ataupun fakta dari suatu objek penelitian (Kumorotomo dan Margono, 2011).
Informan ditetapkan secara purposive berdasarkan pertimbangan bahwa mereka dianggap dapat memberikan data dan informasi tentang
penanggulangan gizi buruk. Informasi dalam penelitian terdiri dari tim pelaksana program penanggulangan gizi buruk dan masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Medan Deli yaitu:
a) Satu orang kepala puskesmas b) Satu orang tenaga pelaksana gizi
c) Lima orang kader posyandu dari lima kelurahan
d) Satu orang petugas Bidang Gizi Dinas Kesehatan Kota Medan e) Dua orang ibu balita gizi buruk
Metode Pengumpulan Data
Data dikumpulkan dalam penelitian menggunakan data primer dan data sekunder.
1. Data primer diperoleh dengan melakukan wawancara mendalam (indepth interview) terstruktur yang artinya peneliti melakukan wawancara berdasarkan
pedoman wawancara yang berisi butir-butir pertanyaan yang telah dipersiapkan untuk diajukan kepada informan. Kegiatan wawancara dilakukan dengan cara bertatap muka dengan informan dan melalui media komunikasi.
2. Data sekunder diperoleh dari Profil Dinas Kesehatan Kota Medan dan Profil Puskesmas Medan Deli 2019, serta catatan laporan puskesmas mengenai program penanggulangan gizi buruk di Puskesmas Medan Deli.
Instrumen Pengambilan Data
Instrumen dalam penelitian ini adalah peneliti sendiri yang menggunakan pedoman dokumentasi dan wawancara mendalam serta alat bantu berupa alat tulis, buku catatan, dan alat perekam.
32
Triangulasi
Kredibilitas data atau ketepatan dan keakuratan suatu data yang dihasilkan dari studi kualititaf menjelaskan derajat atau nilai kebenaran dari data yang dihasilkan termasuk proses analisis data tersebut dari penelitian yang dilakukan.
Macam-macam cara pengujian kredibilitas antara lain perpanjangan pengamatan, peningkatan ketekunan, triangulasi, diskusi dengan teman, analisa kasus negatif dan member check. Triangulasi yang dilakukan dalam penelitian ini adalah triangulasi sumber, yaitu dengan memilih informan yang dapat memberikan jawaban sesuai dengan pertanyaan yang diajukan dan teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain dalam membandingkan hasil wawancara terhadap objek penelitian (Moleong, 2012).
Metode Analisis Data
Analisis data kualitatif dilakukan secara simultan dengan proses pengumpulan data, interpretasi data dan dibuat matriks untuk mempermudah dalam melihat data secara lebih sistematis. Metode analisis yang digunakan adalah interaktif. Miles mengungkapkan bahwa aktivitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus-menerus sampai tuntas, sehingga datanya sudah jenuh (Miles dan Huberman dalam Herdiansyah, 2012).
Metode analisis data dilakukan dengan memilih hal yang penting dan merangkum hasil wawancara, kemudian data disajikan dalam bentuk narasi dengan uraian tabel mengenai hubungan antar setiap kategori.
33
Puskesmas Medan Deli terletak di Jalan K.L Yos Sudarso KM. 11 Medan, terdiri dari 1 Lingkungan III Kelurahan Kota Bangun Kecamatan Medan Deli.
Puskesmas Medan Deli dibangun pada tahun 1975 di areal tanah seluas 397,75 m2 ( 18,5 x 21,5 m2). Pada tahun 2004 Puskesmas Medan Deli mendapat perbaikan dan menjadi puskesmas rawat inap sejak tahun 2005 dan sampai sekarang kondisinya dalam keadaan baik. Batas wilayah kerja Puskesmas Medan Deli adalah:
a. Sebelah Utara : Kecamatan Medan Labuhan.
b. Sebelah Selatan : Kecamatan Medan Timur dan Medan Barat.
c. Sebelah Barat : Kecamatan Labuhan Deli Kabupaten Deli Serdang.
d. Sebelah Timur : Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang.
Jumlah penduduk pada tahun 2019 di wilayah kerja Puskesmas Medan Deli adalah sebanyak 153.851 jiwa. Komposisi mata pencaharian penduduk di wilayah kerja Puskesmas Medan Deli yaitu pegawai, petani, nelayan, pedagang.
Upaya – upaya pelayanan kesehatan yang diselenggarakan oleh Puskesmas Medan Deli didukung oleh sumber daya manusia (tenaga) sesuai dengan kualifikasi dan keahlian masing-masing. Distribusi tenaga kesehatan di Puskesmas Medan Deli digambarkan sebagai berikut:
34
Tabel 1
Jumlah Tenaga Kesehatan Puskesmas Medan Deli
Tenaga Jumlah (Orang)
Dokter Umum 9
Dokter Gigi 3
Sarjana Kesehatan Masyarakat 1
Perawat 14
Bidan 17
Analis 2
Apoteker 1
Asisten Apoteker 2
Gizi 1
Perawat Gigi 2
Administrasi 1
Promkes 1
Total 54
Jumlah tenaga kesehatandi Puskesmas Medan Deli berjumlah 54 orang.
Jumlah tenaga kesehatan terbanyak adalah bidan berjumlah 17 orang, diikuti perawat 14 orang. Jumlah sarjana kesehatan masyarakat, apoteker, gizi, administrasi dan promkes hanya 1 orang saja. Petugas kesehatan lingkungan tidak ada.
Tabel 2
Fasilitas Kesehatan di Wilayah Kerja Puskesmas Medan Deli
Fasilitas Kesehatan Jumlah (unit)
Rumah Sakit Swasta 2
Klinik Pratama 14
Laboratorium 1
Apotik 15
Puskesmas 1
Puskesmas Pembantu 4
Praktek Dokter Umum 1
Praktek Bidan Mandiri 31
Praktek Dokter Gigi Swasta 1
Total 54
Fasilitas administrasi yang dimiliki Puskesmas Medan Deli dalam menjalankan perannya agar terlaksana fungsi administrasi puskesmas antara lain:
meja, kursi, lemari arsip, rak arsip, komputer, printer, kartu berobat, famili folder, buku laporan, formulir kegiatan, format rekam medik, buku bendahara, buku catatan arsip, papan tulis, dan lain – lain.
Karakteristik Informan Penelitian
Informan dalam penelitian ini berjumlah 10 orang, terdiri dari satu orang petugas gizi, satu orang pimpinan puskesmas dan lima orang kader posyandu, satu orang Kepala Seksi Kesehatan Keluarga dan Gizi Dinas Kesehatan Kota Medan dan dua orang ibu memiliki balita gizi kurang.
Dari karakteristik informan diketahui interval umur antara 33 sampai dengan 55 tahun dan semua adalah perempuan. Informan yang pertama adalah kepala puskesmas berlatar pendidikan Strata Pertama dan sudah bekerja selama 10 tahun bertanggung jawab dalam pelaksanaan seluruh program kesehatan di wilayah kerjanya. Kepala puskesmas sering mengikuti pelatihan misalnya pelatihan tentang Manajemen Puskesmas, JKN, Program Gizi, dan lainnya.
Informan yang kedua adalah petugas gizi di Puskesmas Medan Deli berlatar pendidikan Diploma IV Gizi dengan pengalaman kerja enam tahun.
Informan yang kedua sering mengikuti pelatihan atau seminar tentang gizi, E-PPBGM, Kesehatan Ibu dan Anak, PIS-PK dan lain-lain.
Informan ke tiga, empat, lima, enam dan tujuh adalah kader. Setiap Posyandu terdiri dari lima orang kader yang kesemuanya adalah perempuan. Dari lima orang kader tersebut yang aktif mengikuti kegiatan posyandu hanya tiga
36
orang saja dan dua orang lainnya kurang aktif. Latar belakang pendidikan informan, dari lima orang diantaranya dua tamatan SMP dan tiga tamatan SMA.
Kemudian informan ke delapan bertugas sebagai penanggung jawab implementasi program gizi buruk di Kota Medan yaitu Kepala Seksi Kesehatan Keluarga dan Gizi Dinas Kesehatan Kota Medan, telah bekerja selama tiga tahun dengan tamatan Stratra pertama.
Informan ke sembilan dan sepuluh adalah ibu memiliki balita gizi buruk dengan tamatan SMP dan tidak memiliki pekerjaan atau sebagai ibu rumah tangga. Suami memiliki pekerjaan tukang becak dan tidak memiliki pekerjaan tetap.
Tabel 3
Karakteristik Informan
Informan Umur (thn)
Jenis kelamin
Pendi Dikan
Lama bekerja
(thn)
Alamat Ket.
Kepala Puskesmas 55 Perempuan S 1 10 Medan
Petugas gizi 45 Perempuan D IV 6 Medan
Kader posyandu 1 50 Perempuan SMA 8 Medan Kader posyandu 2 37 Perempuan SMA 8 Medan Kader posyandu 3 39 Perempuan SMP 9 Medan Kader posyandu 4 40 Perempuan SMA 5 Medan Kader posyandu 5 35 Perempuan SMP 7 Medan Kepala Seksi
Kesehatan Keluarga dan Gizi
42 Perempuan S 1 3 Medan
Ibu Balita I 33 Perempuan SMP - Medan
Ibu Balita II 36 Perempuan SMP - Medan
Selanjutnya penulis akan menguraikan hasil wawancara dan menganalisis pelaksana program penanggulangan gizi buruk secara mendalam mulai dari input meliputi, biaya operasional, sarana/prasarana, dan proses meliputi pemantauan pertumbuhan, pelayanan gizi (konsultasi gizi, pemberian vitamin A, pemberian