• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pernikahan Dalam Perspektif Buddhis Mahayana

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Pernikahan Dalam Perspektif Buddhis Mahayana"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

Vol. 3, No. 1, Mei 2022 e-ISSN: 2774-3632

Halaman 15

Prosiding Ilmu Agama dan Pendidikan Agama Buddha licensed under CC BY 4.0 Copyright © 2022 pada penulis

Pernikahan Dalam Perspektif Buddhis Mahayana

1Lindawaty Mulyadi

1STAB Bodhi Dharma Medan Alamat Surat

Email: [email protected] Article History:

Received: 30-Maret-2021; Received in Revised: 14-April-2021; Accepted: 28-April-2021 ABSTRAK

Secara umum pernikahan merupakan suatu hal yang sebagian besar dihadapi oleh setiap manusia, baik bagi kalangan yang muda maupun yang tua. Bagi yang baru menikah, hal tersebut merupakan sebuah titik awal dari jalan kehidupan yang harus ditempuh bersama dengan pasangannya, bersama-sama melewati dan menghadapi segala suka duka hingga ke depannya. Kebahagiaan, keharmonisan, kedamaian, kesejahteraan, kecemasan, keragu-raguan, kekhawatiran, kegelisahan di dalam kehidupan berumah tangga itu akan menjadi sebuah proses bagi setiap orang.

Pernikahan merupakan pintu gerbang bagi semua yang ingin membangun sebuah rumah tangga yang disebut sebagai keluarga. Agar tercipatanya sebuah keluarga yang harmonis, maka orang tersebut sebaiknya mempunyai tujuan yang jelas dan memiliki pengetahuan serta pemahaman terhadap makna pernikahan. Keberhasilan seseorang dalam pernikahan hingga membentuk sebuah keluarga akan menjadi sebuah perantara atau jembatan bagi kedua belah pihak untuk memupuk kebersamaan, keharmonisan, kebahagiaan untuk seluruh anggota keluarganya dalam kehidupan saat ini hingga ke depannya.

Kata kunci: Pernikahan, Agama Buddha, Buddhis Mahayana

ABSTRACT

In general, marriage is something that is mostly faced by every human being, both for the young and the old. For those who are newly married, this is the starting point of the path of life that must be taken together with their partner, together to go through and face all the ups and downs in the future. Happiness, harmony, peace, prosperity, anxiety, doubt, worry, anxiety in married life will be a process for everyone.

Marriage is the gateway for all who want to build a household which is called a family. In order to create a harmonious family, the person should have clear goals and have knowledge and understanding of the meaning of marriage. A person's success in marriage to forming a family will be an intermediary or bridge for both parties to foster

(2)

Halaman 16

togetherness, harmony, happiness for all family members in this life and in the future.

Keywords: Marriage, Buddhism, Mahayana Buddhism 1. PENDAHULUAN

Perkembangan zaman dan kemajuan dunia Pendidikan menuntun Pendidikan kearah perubahan tingkah laku. Semua prestasi dan hasil tingkah laku manusia tidak lain adalah hasil dari belajar.Belajar bukan hanya sekedar pengalaman atau pun suatu hasil tetapi belajar adalah proses.

Secara umum pernikahan merupakan suatu hal yang sebagian besar dihadapi oleh setiap manusia, baik bagi kalangan yang muda maupun yang tua. Bagi yang baru menikah, hal tersebut merupakan sebuah titik awal dari jalan kehidupan yang harus ditempuh bersama dengan pasangannya, bersama-sama melewati dan menghadapi segala suka duka hingga ke depannya. Kebahagiaan, keharmonisan, kedamaian, kesejahteraan, kecemasan, keragu-raguan, kekhawatiran, kegelisahan di dalam kehidupan berumah tangga itu akan menjadi sebuah proses bagi setiap orang.

Pernikahan merupakan pintu gerbang bagi semua yang ingin membangun sebuah rumah tangga yang disebut sebagai keluarga. Agar tercipatanya sebuah keluarga yang harmonis, maka orang tersebut sebaiknya mempunyai tujuan yang jelas dan memiliki pengetahuan serta pemahaman terhadap makna pernikahan.

Keberhasilan seseorang dalam pernikahan hingga membentuk sebuah keluarga akan menjadi sebuah perantara atau jembatan bagi kedua belah pihak untuk memupuk kebersamaan, keharmonisan, kebahagiaan untuk seluruh anggota keluarganya dalam kehidupan saat ini hingga ke depannya.

Menurut Duvall (1976) dalam Wulansari (2019:1), menyatakan bahwa Keluarga adalah sejumlah orang yang memiliki hubungan, seperti hubungan dalam perkawinan, adopsi maupun kelahiran yang bertujuan untuk menciptakan dan mempertahankan budaya umum, sosial dan emosional anggota, serta meningkatkan perkembangan mental dan fisik. Sedangkan menurut WHO (1969) dalam Wulansari (2019:1) memiliki definisi sebagai berikut: Keluarga adalah sejumlah anggota keluarga yang memiliki hubungan pertalian darah, pernikahan, adopsi.

Dilihat dari berbagai definisi Keluarga, dapat disimpulkan bahwa untuk membina sebuah hubungan keluarga tidak akan terlepas dari sebuah pernikahan.

Pernikahan merupakan sebuah fondasi awal dalam pembentukan sebuah keluarga.

Menurut Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974, pernikahan dapat diartikan sebagai sebuah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita yang telah disahkan sebagai pasangan suami istri yang mempunyai satu tujuan yaitu membentuk sebuah rumah tangga untuk terciptanya keluarga yang bahagia dan kokoh berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Sesuai dengan ajaran Sang Buddha, menyatakan bahwa setiap manusia berhak dan memiliki kebebasan dalam memilih cara atau pola hidupnya masing-masing.

Sang Buddha tidak mengharuskan ataupun mewajibkan setiap orang harus mencari dan memiliki pasangan hidup sebagai pendampingnya. Demikian pula Sang Buddha juga tidak melarang bagi mereka yang ingin hidup tanpa pasangan baik dia adalah seorang pria maupun wanita. Jadi dapat dikatakan bahwa kewajiban seseorang untuk membangun rumah tangga baik sebagai suami maupun istri bukanlah merupakan kewajiban beragama yang harus dipatuhi atau dituruti. Demikian pula mereka yang ingin hidup tanpa pasangan juga tidak melanggar ketentuan dalam Agama Buddha. Tujuan hidup adalah untuk mendapatkan kebahagiaan lahiriah dan

(3)

Halaman 17

batiniah, baik di dunia ini maupun di alam-alam kehidupan lainnya hingga tercapainya kebahagiaan tertinggi yaitu Nibbana. Maka dengan demikian pernikahan menurut Agama Buddha tidak dianggap sebagai sesuatu yang bersifat suci maupun tidak suci.

Menurut Y.M. Bhikkhu Khantidaro (2010 : 2), menyatakan bahwa sesuai dengan ajaran Sang Buddha pengertian pernikahan adalah sebuah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai pasangan suami istri yang mempunyai satu tujuan yaitu membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan sesuai dengan Dharma.

Berdasarkan Anguttara Nikaya 11:57, tertulis bahwa pernikahan yang dipuji oleh Sang Buddha adalah pernikahan yang terdiri dari seorang pria yang memiliki sifat dasar yang baik (Dewa) dengan seorang wanita yang memiliki sifat dasar yang baik (Dewi). Atas dasar pernyataan tersebut, Agama Buddha sampai saat ini tetap mendukung azas pernikahan yang dimana pernikahan itu seorang pria hanya memperistri seorang wanita yang dicintainya sebagai istri dan seorang wanita hanya memiliki seorang pria yang dicintainya sebagai suaminya.

Untuk membentuk sebuah Keluarga yang bahagia, kita sebagai umat Buddha harus mempraktekkan praktik kehidupan yang benar sesuai dengan ajaran Sang Buddha. Terdapat dalam Samajivi Sutta, Sang Buddha telah menunjukkan dasar- dasar ataupun faktor-faktor untuk terciptanya pernikahan yang harmonis, serasi, selaras, dan seimbang, yaitu, pasangan suami dan istri terdapat persamaan atau persesuaian dalam Saddha (keyakinan), Sila (kesusilaan), Caga (kemurahan hati), dan Panna (Kebijaksanaan) (Anguttara Nikaya II, 62).

Dengan pandangan yang sama serta mengingat dan memiliki 4 faktor yang mendasar, maka suami istri akan dengan mudah untuk memperoleh bahtera rumah tangga dengan suasana kehidupan yang penuh harmoni. Di dalam kehidupan nyata, masih terdapat banyak sekali pasangan suami istri yang memiliki tujuan atau pandangan yang sama, tetapi sebaliknya tidak memiliki sifat atau perangai yang sama. Dengan kata lain, masih terdapat jumlah yang sedikit menjumpai pasangan suami istri yang hidup dalam keadaan harmonis seperti yang dicita-citakan atau yang diharapkan oleh semua orang.

Sehubungan dengan pernyataan di atas, ada beberapa jenis pasangan suami istri beserta sifatnya yang disebutkan oleh Sang Buddha, yakni:

1. Seorang pria yang jahat (raksasa / chavo) dengan wanita jahat (raksasi / chava), ini merupakan pasangan yang tidak bermoral.

2. Seorang pria jahat (raksasa / chavo) dengan seorang wanita yang baik (Devi), ini merupakan pasangan yang tidak seimbang.

3. Seorang pria baik (Deva) dengan seorang wanita jahat (raksasa / chava), ini juga merupakan pasangan yang tidak seimbang.

4. Seorang pria baik (Deva) dengan seorang wanita baik (Devi), ini merupakan pasangan yang paling harmoni. Pasangan inilah yang dipuji oleh Sang Buddha. (Anguttara Nikaya II, 57)

Di dalam Sigalovada Sutta, Sang Buddha menguraikan bagaimana layaknya kewajiban sebagai seorang suami maupun sebagai seorang istri agar terjalin hubungan rumah tangga yang harmoni.

Kewajiban seorang pria sebagai suami dalam memperlakukan istrinya:

1. Menghormatinya

2. Bersikap ramah tamah serta tidak membenci

(4)

Halaman 18 3. Setia terhadap istri

4. Menyerahkan dan memberikan kekuasaan rumah tangga kepada sang istri 5. Memberikan hadiah / perhiasan untuk istri

Kewajiban seorang wanita sebagai istri dalam memperlakukan suaminya : 1. Menjalankan kewajiban secara baik dan bertanggung jawab

2. Bersikap ramah tamah terhadap seluruh sanak keluarga dari kedua belah pihak

3. Setia terhadap suami

4. Dapat melindungi penghasilan suaminya dan tidak boros 5. Pandai dan rajin dalam melaksanakan tugasnya

Tetapi untuk menjalani proses pernikahan dengan tujuan untuk memulai sebuah rumah tangga, pada kenyataanya masih terdapat problematika dalam hal tersebut. Istilah problema / problematika berasal dari Bahasa Inngris yaitu

“problematic” yang artinya persoalan atau masalah. Sedangkan dalam Bahasa Indonesia, problema berarti hal yang belum mendapatkan solusinya dengan kata lain belum dapat dipecahkan permasalahannya.

Penelitian ini memfokuskan pada problematika dalam Pernikahan Buddhis Mahayana.

2. METODE PENELITIAN

Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif.

Menurut Lestari (2015:472) deskriptif kualitatif adalah jenis penelitian yang berusaha menggambarkan objek atau subjek yang diteliti sesuai dengan apa adanya dengan tujuan menggambarkan secara sistematika fakta dan karakteristik objek yang diteliti secara tepat. Sedangkan menurut Manulang dan Pakpahan (2014:17- 26), penelitian kualitatif merupakan jenis penelitian yang menghasilkan temuan tidak berdasarkan prosedur statistik atau cara kuantifikasi tertentu seperti halnya dalam penelitian kuantitatif, dan penelitian deskriptif adalah penelitian yang disusun untuk memberikan gambaran secara sistematis tentang informasi ilmiah yang berasal dari subjek atau objek penelitian.

3. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil pembahasan dari penelitian yang telah dilakukan, kesimpulan yang didapat dari penelitian ini menyatakan bahwa masih terdapat problematika dalam pernikahan bagi umat Buddhis Mahayana. Problematika tersebut ada yang bersumber dari ketidaksepahaman hidup antara suami dan istri, dan ada juga yang dikarenakan mengalami kesusahan dalam membuat surat pernikahan.

4. DAFTAR PUSTAKA

Lestari, E. R. 2015. Implementasi Kebijakan Otonomi Desa di Desa Pilanjau Kecamatan Sambaliung Kabupaten Berau. Jurnal Administrasi Negara, 3 (2):

472-473.http://ejournal.an.fisip-unmul.ac.id/site/wp-content/uploads/

2015/04/9_E-jurnal%20(04-08-15-05-10-18).pdf

(5)

Halaman 19

Manullang, M., dan Pakpahan, M. 2014. Metodologi Penelitian. Bandung: Citapustaka Media.

Tanhadi 2010. Pandangan Buddhis Mengenai Perkawinan dan Perceraian. Pustaka Dharma

http://tanhadi.blogspot.com/2010/05/pandangan-buddhis-mengenai- perkawinan.html

Wulansari 2019. Pengaruh Fungsi Keluarga Terhadap Stres Keluarga Penderita keluarga Skizofrenia. Universitas Muhammadiyah Ponorogo.

http://eprints.umpo.ac.id/5438/3/BAB_2.pdf

Y.M. Bhikkhu Khantidharo. 2010. Pandangan Agama Buddha Tentang Pernikahan.

https://www.academia.edu/9324598/pernikahan_dalam_agama_buddha https://jurnalharmoni.kemenag.go.id/index.php/harmoni/article/view/107/91

https://samaggi-phala.or.id/naskah-dhamma/tuntunan-perkawinan-dan- hidup-berkeluarga-dalam-agama-buddha/

https://buddhazine.com/pernikahan-menurut-agama-buddha/

http://alfarabi1706.blogspot.com/2013/01/perkawinan-agama-budha-hukum- perdata.html

https://bimbinganperkawinan.kemenag.go.id/syarat-daftar-nikah-buddha/

Perkawinan menurut Agama Buddha Maitreya di Maha Vihara Buddha Maitreya di Surabaya

http://digilib.uinsby.ac.id/899/2/Bab%201.pdf

http://artikelbuddhist.com/2011/05/perkawinan-dalam-agama-buddha.html http://repository.uin-suska.ac.id/5165/3/BAB%20II.pdf

Referensi

Dokumen terkait

Momen kapasitas balok dapat diperhitungkan sebagai momen rencana yang bekerja pada kolom jika daerah sendi plastis sudah direncanakan penulangannya. Ukuran kolom

Puji syukur dan terima kasih kepada Tuhan Yesus Kristus, atas segala tuntutan dan penyertaan-Nya kepada penulis, sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi yang berjudul

Pada dasarnya tidak ada dampaknya karena 2 kurikulum itu merupakan perencanaan yang berbasis kompetensi yang memiliki latar belakang masing- masing sehingga SKL

secara ekonomi, realitik secara organisasional, terkoordinasi dengan aliran kerja organisasi, fleksibel, bersifat sebagai petunjuk dan operasional, dan diterima para

( involuntar) drunkeness !, yakni mabuk yang disebabkan karena paksaan atau karena perbuatan rang lain, menjadi alasapn penghapus pidana apabila dalam keadaan mabuknya

Tanaman ini telah diteliti sebelumnya dan menunjukkan bahwa fraksi n -heksan dari ekstrak metanol yang diperoleh melalui metode kromatografi telah dilakukan uji aktivitas

Dengan mengucap puji dan syukur ke hadirat Allah SWT, karena atas ridho dan segala nikmat kemudahan serta petunjukNya yang telah diberikan sehingga dapat

adalah menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang jangka panjang dengan cara strategi diversifikasi (produk/pasar). 3) Kuadran 3: Perusahaan menghadapi peluang pasar