• Tidak ada hasil yang ditemukan

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "4 HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Keadaan Umum Daerah Penelitian

Kabupaten Maluku Tenggara, menurut geografis terletak pada koordinat 131°-133,5°Bujur Timur dan 5°-6,5° Lintang Selatan, dan menurut administrasi Kabupaten Maluku Tenggara berbatasan dengan :

a. Sebelah utara berbatasan dengan Kota Tual dan Provinsi Papua Bagian Selatan;

b. Sebelah selatan berbatasan dengan laut arafura;

c. Sebelah barat berbatasan dengan Kota Tual, Laut Banda dan bagian Utara Kepulauan Tanimbar;

d. Sebelah timur berbatasan dengan Kepulauan Aru.

Luas wilayah Kabupaten Maluku Tenggara kurang lebih 7,856.70 km² yang terdiri atas luas lautnya kurang lebih 3,180.70 d km²an luas daratannya 4,676.00 km². Wilayah Kabupaten Maluku Tenggara terdiri atas satu gugusan kepulauan yaitu gugusan Kepulauan Kei yang terdiri atas Kepulauan Kei Kecil dan Pulau Kei Besar. Kecamatan yang paling luas wilayahnya adalah Kecamatan Kei Besar 1,272.05 km², sedangkan Kecamatan Kei Kecil Barat yang paling kecil wilayahnya yaitu 426.70 km². Tabel 7 menyajikan luas Kabupaten Maluku Tenggara menurut kecamatan.

Tabel 7 Luas Kabupaten Maluku Tenggara menurut kecamatan

Kecamatan Luas Daratan (km²)

Luas Perairan (km²)

Luas Total (km²)

Persentase (%)

Kei Kecil 1,167.69 492.52 1,660.21 21.13

Kei Kecil Barat 426.70 629.30 1,056.00 13.36

Kei Kecil Timur 547.04 497.35 1,044.39 13.29

Kei Besar 1,272.05 523.78 1,795.83 22.85

Kei Besar Utara Timur 721.86 328.42 1,050.28 13.36

Kei Besar Selatan 540.67 709.32 1,249.99 15.90

Jumlah 4,676.00 3,180.70 7,856.70 99.89

Sumber : Bappeda Kabupaten Maluku Tenggara (2010)

Secara administrasi Kabupaten Maluku Tenggara terbagi menjadi 6 kecamatan yang meliputi 1 kelurahan, 87 desa induk dan 104 anak Desa/Dusun.

Lebih terinci telihat pada Tabel 8.

Tabel 8 Ibukota Kecamatan, Banyaknya Desa Induk Anak Desa dan Kelurahan menurut Kecamatan

Kecamatan Ibu Kota Jumlah (unit)

Desa Induk Anak Desa Kelurahan

Kei Kecil Langgur 21 15 1

Kei Kecil Barat Ohoira 8 2 -

Kei Kecil Timur Rumat 13 16 -

Kei Besar Elat 21 41 -

Kei Besar Utara Timur Holat 9 21 -

Kei Besar Selatan Weduar 14 9 -

Jumlah 87 104 1

Sumber : Bappeda Maluku Tenggara (2010)

(2)

1 Topografi

Kondisi topografi di Kabupaten Maluku Tenggara cukup beragam, mulai dari kondisi yang relatif datar, berbukit ataupun dataran tinggi. Secara umum kepulauan Kei Kecil relatif datar di mana kondisi berbukit hanya ditemukan dibagian utara pulau ters ebut. Puncak tertinggi adalah bukit masbait dimana ketinggian ±115 m diatas permukaan laut (di Desa Kelanit). Berbeda dengan kepulauan Kei Kecil, Pulau Kei Besar merupakan pulau yang berbukit dan bergunung yang membujur sepanjang pulau dari ujung Utara ke Selatan, ketinggian rata-rata 500 m dengan puncak tertinggi gunung dab, yang memiliki ketinggian 800 m dari permukaan laut.

Sebaran rata-rata kedalaman perairan laut (4 mil dari garis pantai) di Kei Kecil (Nuhu Roe) adalah ≤ 100 m atau rata-rata slop ≤ 1,5 persen yaitu di Pulau Kei Kecil Bagian Barat. Sebaran rata-rata kedalaman di Pulau Kei Besar (Nuhu Yut), ≤ 100 m berada di bagian barat laut, sedangkan bagian barat daya dan bigian timur kedalaman rata-rata lebih dari 300 m. Kemiringan daratan pulau (Island Flat) di Pulau Kei Kecil berkisar antara 0 % - 40 %, sedangkan untuk Pulau Kei Besar kemiringan daratan pulau adalah curam (15 % – 40 %) sampai dengan sangat curam (> 40 %).

1.1 Kondisi musim, curah hujan, suhu dan kelembaban

Berdasarkan data BPS Maluku Tenggara tahun 2010, musim kering (musim timur) berlangsung dari bulan juli sampai dengan oktober dimana angin bertiup dari Timur Tenggara ke utara barat laut. Musim hujan (musim barat) berlangsung dari desember sampai dengan maret, dimana angin bertiup dari utara barat laut ke timur tenggara. Pola angin lokal juga berpengaruh memodifikasi pola umum tersebut. Selama periode transisi, april sampai dengan juli dan nopember, komponen angin tidak menentu. Curah hujan tertinggi 597 mm maupun hari hujan terbanyak 24 hari terjadi pada bulan april. Suhu udara tertinggi terjadi pada bulan Nopember 29°C sedangkan oktober merupakan bulan yang mengalami penyinaran matahari terpanjang. Tabel 9 menyajikan kondisi musim, curah hujan, suhu dan kelembaban sebagai berikut.

Tabel 9 Kondisi musim, curah hujan, suhu dan kelembaban di Kabupaten Maluku Tenggara

Musim Keadaan Angin Curah Hujan Suhu Kelembaban a. Timur pada

Bulan:

April – Oktober (Musim Kemarau) b. Barat pada Bulan:

Oktober – Februari

c. Hujan pada bulan:

Desember - Februari

a. Angin Barat Laut:

Oktober-Maret b. Pancaroba:

Maret, April dan Oktober, November c. Angin Timur

Tenggara pada Bulan:

April-Oktober d. Angin kencang dan

hujan deras pada bulan:Januari- Februari e. Angin Timur

tenggara dan Selatan pada bulan: April- September

f. Angin Barat Laut pada bulan: Oktober

a. Kei Kecil:

2.000 - 3.000 mm per tahun.

b. Kei Besar:

3.000 mm per tahun.

a. Suhu Rata- Rata: 7,50 ºC b. Suhu

Minumum:

22,20 ºC c. Suhu

Maksimum:

32,50 ºC.

a. Kelembaban rata-rata 83,30%, b. Penyinaran

Matahari rata- rata 66,30%, c. Tekanan Udara

rata-rata 1.010,20 milibar

(3)

1.2 Sebaran dan Kepadatan Penduduk

Penyebaran penduduk tidak merata pada setiap wilayah di Kabupaten Maluku Tenggara yang berpengaruh terhadap jalannya pembangunan pada wilayah tersebut. Hal ini terjadi karena tidak memperhatikan „faktor kebutuhan‟ maka dampaknya bisa menimbulkan kesenjangan pembangunan antar wilayah di Kabupaten Maluku Tenggara dan ujung-ujungnya mengarah kepada/keterisolasian. Umumnya di suatu daerah pada pusat kota, sebaran penduduk yang lebih banyak dibandingkan wilayah lain. Hal ini terjadi pula di wilayah Kei Kecil sebagai pusat kota di Kabupaten Maluku Tenggara. Tabel 10 menyajikan Sebaran dan kepadatan penduduk di Kabupaten Maluku Tenggara.

Tabel 10 Luas Wilayah, Jumlah dan Kepadatan Penduduk

Kecamatan Luas

(km²)

Jumlah Penduduk (orang)

Kepadatan Penduduk (org/ km²) Kei Kecil

Kei Kecil Barat Kei Kecil Timur Kei Besar

Kei Besar Utara Timur Kei Besar Selatan

1,167.69 426.70 547.04 1,272.05

721.86 540.67

39.400 6.280 11.137 26.896 11.905 9.463

34 15 20 21 16 18

Jumlah 4,676.00 105.081 20.66

Sumber: Bappeda Kabupaten Maluku Tenggara (2010)

Pada Tabel 10 terlihat bahwa sebaran penduduk terbesar ada di kecamatan Kei Kecil. Tingginya sebaran penduduk di kecamatan Kei Kecil merupakan konsekuensi dari keberadaannya sebagai pusat pemerintahan, politik, sosial budaya, pendidikan dan perekonomian, sehingga dijadikan daerah tujuan berbagai lapisan masyarakat. Sementara itu, jika jumlah penduduk dikaitkan dengan luas wilayah, maka akan terlihat kepadatan penduduk pada wilayah tersebut.

Kepadatan penduduk berhubungan erat dengan daya dukung (carrying capacity) wilayah.

Wilayah kecamatan yang kepadatan penduduknya tinggi adalah kecamatan Kei Kecil yang mencapai 34 jiwa per km² yang berarti setiap 1 (satu) km²didiami sekitar 34 jiwa. Kepadatan penduduk berikutnya yaitu kecamatan Kei Besar dengan tingkat kepadatan 21 per km². Sebaran kepadatan penduduk pada daerah Penelitian, Desa Sathean dan Desa Letvuan Kecamatan Kei Kecil, Kabupaten Maluku Tenggara dapat di sajikan dalam Tabel 10.

Adapun distribusi penduduk menurut jenis kelamin di desa sathean sebesar 1,798 jiwa dan pada desa letvuan sebesar 1.190 orang dengan rincian untuk desa sathean jumlah laki lebih banyak dari jumlah perempuan pada desa tersebut sedangkan pada desa letvuan hanya terdapat perbedaan yang kecil untuk jumlah laki-laki dan perempuan. Tabel 11 menyajikan distribusi penduduk menurut jenis kelamin.

(4)

Tabel 11 Distribusi penduduk menurut jenis kelamin

Nama Desa Laki-Laki

(orang)

Perempuan (orang )

Jumlah (orang)

Rasio

Sathean 906 892 1.798 109

Letvuan 599 591 1.190 105

Kantor Kecamatan Kei Kecil, Proyeksi Tahun (2011), Kabupaten Maluku Tenggara

Untuk jumlah penduduk menurut tingkat pendidikan di desa sathean dan desa letvuan banyak yang telah lulus sekolah menengah atas, bahkan ada di desa sathean yang lulus pada tingkat pasca sarjana, tabel 12 akan menyajikan jumlah penduduk menurut tingkat pendidikan.

Tabel 12 Jumlah penduduk menurut tingkat pendidikan Nama

Desa

Belum tamat

SD (orang)

SD (orang)

SMP (orang)

SMA (orang)

DII (orang)

DIII (orang)

STARA- 1 (orang)

STRATA- 2 (orang)

Jumlah (orang) Sathean 325 423 341 579 45 40 45 1 1.798

Letvuan 147 339 320 350 4 10 20 0 1.190

Kantor Kecamatan Kei Kecil, Proyeksi Tahun (2011), Kabupaten Maluku Tenggara

1.3 Nelayan Pembudidaya

Nelayan di Kabupaten Maluku Tenggara menurut kategori nelayan, terdiri atas nelayan perorangan dan kelompok nelayan yang tersebar di 6 kecamatan.

Kecamatan Kei Besar memiliki jumlah nelayan terbesar yaitu 882 orang dan Kecamatan Kei Kecil Barat memiliki jumlah nelayan terkecil yaitu 291 orang.

Pada tahun 2007 secara keseluruhan jumlah nelayan perorangan mengalami peningkatan dari 257 orang namun terjadi peningkatan di tahun 2008 menjadi 735 orang dan terus mengalami peningkatan tahun 2009 menjadi 2.773 orang (Tabel 13). Sebagian besar nelayan perorangan memilih membentuk kelompok nelayan untuk dapat meningkatkan volume hasil budidaya dan memperluas lahan budidaya rumput laut

Tabel 13 Jumlah nelayan di Kabupaten Maluku Tenggara

Kecamatan Jumlah RumahTangga

Nelayan

Nelayan (Orang)

Jumlah Kelompok Nelayan

Rata-Rata (Nelayan/Klmpk)

Kei Kecil Kei Kecil Barat Kei Kecil Timur Kei Besar

Kei Besar Utara Timur Kei Besar Selatan

594 350 414 1.007

544 465

980 291 220 882 100 300

258 163 182 293 165 177

610.67 268 272 727.33 269.67 314 2009

2008 2007 2006

3.374 3.125 3.979

-

2773 735 257

1.265 764 625 575

2470.67 1541.33 1620.33

- Sumber : DKP Kabupaten Maluku Tenggara ( 2010)

(5)

Berbeda dengan kelompok nelayan di mana terjadi peningkatan yang signifikan dari tahun 2006 sampai 2009. Berdasarkan hasil survei dapat dikatakan bahwa salah satu penyebab penurunan nelayan perorangan ini dipengaruhi oleh nelayan sambilan tambahan yang sudah beralih profesi. Sementara penyebab dari kelompok nelayan yang mengalami peningkatan adalah bantuan dari pemerintah daerah lebih ditujukan kepada kelompok nelayan dan bukan pada nelayan perorangan.

Peningkatan Pendapatan dalam pengembangan budidaya rumput laut per orang per tahun dimulai dari Tahun 2007 dengan luas lahan pemanfaatan 3.68 Ha dengan jumlah pembudidaya 257 orang menghasilkan Rp. 857.900 per orang.

Pada Tahun 2008 Nelayan pembudidaya bertambah menjadi 735 orang dan menghasilkan 7,777.950 per orang atau bertambah Rp. 6,437.700 dengan pemanfaatan lahan seluas 72 Ha. Tahun 2009 juga mengalami peningkatan pendapatan sebesar 14,215.650 seiring dengan bertambahnya jumlah nelayan pembudidaya sebanyak 2.773 orang. Tahun 2010 dengan jumlah nelayan pembudidaya menjadi 3.558 dengan perluasan pemanfaatan lahan sebesar 2,373.62 menghasilkan pendapatan per tahun senilai 13,695.641. Tabel 14 menyajikan tingkat pendapatan nelayan selama 4 tahun terakhir.

Tabel 14 Pendapatan masyarakat pembudidaya rumput laut

Sumber : Data DKP Kabupaten Maluku Tenggara tahun (2011)

1.4 Keadaan Ekonomi

Perkembangan keadaan ekonomi Kabupaten Maluku Tenggara yang terus meningkat, belum menjamin pencapaian tujuan pembangunan yakni mewujudkan perekonomian tangguh dan berdaya saing demi terciptanya kesejahteraan rakyat.

Perlu adanya peningkatan dari beberapa sektor penting yang dibarengi dengan berbagai kebijakan perekonomian penting sehingga diharapkan pertumbuhan ekonomi daerah akan berada dalam kisaran 10% di tahun 2025.

Laju pertumbuhan PDRB Kabupaten Maluku Tenggara tahun 2010 atas dasar harga konstan 2000 adalah sebesar 5,71%, stabil jika dibandingkan dengan pertumbuhan tahun 2009 sebesar 5.06% dan tahun 2008 sebesar 4.61% (Gambar 6) meskipun ada kecenderungan mengalami perlambatan. Agregasi dari laju pertumbuhan ekonomi tiap-tiap sektor menggambarkan laju pertumbuhan ekonomi daerah/ region secara keseluruhan. Laju pertumbuhan ekonomi Kabupaten Maluku Tenggara Tahun 2010 yang sebesar 5.71% tersebut, memiliki pertumbuhan sektoral dengan kisaran antara 3.69% - 15.82% dan secara rata-rata laju pertumbuhannnya cukup stabil dibandingkan dengan keadaan tahun 2009 dan tidak ada sektor mengalami perubahan signifikan.

No. Tahun Pendapatan pembudidaya/Tahun (Rp) Luas Lahan (Ha)

1. 2007 857.900 3.68

2. 2008 7,777.950 32

3. 2009 1,215.650 785.66

4. 2010 13,695.641 2,373.62

(6)

Gambar 7 Laju pertumbuhan ekonomi Kabupaten Maluku Tenggara (%) ( Bappeda Kabupaten Maluku Tenggara 2011)

Kisaran pertumbuhan yang cukup besar tersebut menunjukkan bahwa ada beberapa sektor yang tumbuh cukup pesat sementara ada sektor lain yang pertumbuhannya lambat meskipun secara agregat pertumbuhan ekonominya relatif stabil. struktur ekonomi Kabupaten Maluku Tenggara yang ditunjukan oleh distribusi persentase PDRB menurut lapangan usaha atas dasar harga berlaku tahun 2010 tidak mengalami perubahan yang signifikan. Sedangkan secara sektoral, sektor pertanian adalah penyumbang terbesar dalam perekonomian daerah ini dengan sub sektor andalannya yakni perikanan.

Perekonomian Maluku Tenggara secara garis besar merupakan perekonomian yang berbasiskan pada Sektor-sektor Jasa (Sektor Tertier) , yang memberikan kontibusi sebesar 57.03% (246.151.7 juta rupiah), dengan ditumpu oleh sektor primer sebesar 39.84% (166.269.5 Juta rupiah) sementara kontribusi sektor sekuder kecil hanya sebesar 3.12% (13,039.47 Juta rupiah)

Secara sektoral, sektor pertanian adalah penyumbang terbesar dalam perekonomian daerah ini dengan sub sektor andalannya yakni perikanan. Pada tahun 2010 kontribusi sektor pertanian sebesar 39.39% dengan kontribusi terbesar dari sub sektor Perikanan yakni 23.66%. Sektor perdagangan, hotel dan restoran mempunyai kontribusi sebesar 33.63% dan didominasi oleh sub sektor perdagangan besar dan eceran sebesar 33.45%. Kontribusi sebesar 16.72% yang merupakan kontribusi terbesar ketiga diperoleh dari sektor jasa-jasa dan 15.16%

diantaranya berasal dari sub sektor pemerintahan umum.

(7)

Tabel 15 Pertumbuhan sektoral di Kabupaten Maluku Tenggara.

Sektoral Kontribusi (%)

1. Pertanian 2. Perdagangan:

o Hotel dan Restoran

o Perdagangan besar dan eceran 3. Jasa:

4. Subsektor pemerintahan umum 5. Angkutan dan komunikasi

39.39 33.63 33.45 16.72 3.80 6. Keuangan, Persewaan dan Jasa

perusahaan.

7. Sektor lainnya

8. Sektor industri pengolahan

2.88 3.57 0.24 Sumber : Bappeda Kabupaten Maluku Tenggara (2011)

1.5 Lokasi pengembangan dan komoditi budidaya rumput laut di Kabupaten Maluku Tenggara

Potensi sektor kelautan dan perikanan Maluku Tenggara yang besar jika dikelola dengan sebaik-baiknya diperkirakan di masa datang akan memberikan kontribusi yang sangat besar bagi pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan rakyat. Secara umum di Kabupaten Maluku Tenggara memiliki penentuan kompetensi inti industri tahun 2010 yang diuraikan dalam lima komoditas unggulan yakni: Umbi-umbian, kelapa, ikan laut, rumput laut dan mutiara dengan dua produk unggulan diantaranya: rumput laut dan mutiara yang difokuskan kepada produk rumput laut.

Rumput laut sebagai salah satu komoditas ekspor merupakan bagian dari sumber devisa bagi daerah dan budidayanya sebagai sumber pendapatan nelayan, dapat menyerap tenaga kerja, serta mampu memanfaatkan lahan perairan pantai di Kabupaten Maluku Tenggara yang sangat potensial.

Perkembangan industri rumput laut di Kabupaten Maluku Tenggara sangat pesat ditandai dengan meningkatnya suplai bahan baku, yang saat ini mencapai 1200-1500 Ton. Budidaya rumput laut hasil produksi nelayan desa Sathean permusim panen (setiap 45 hari tambah penjemuran/ dua bulan) sekali panen rata- rata adalah: 100 – 150 Ton dan terdapat 6-7 kali panen, sementara harga rumput laut kering di jual dengan harga: Rp. 7000 – 10.000 perkilogram. Untuk Desa Letvuan rata-rata 80 Ton permusim tanam. Daerah pengembangan dan komoditi budidaya di Kabupaten Maluku Tenggara yang potensial untuk dikembangkan disajikan pada Tabel 16.

Secara umum daerah yang paling potensial untuk dikembangkan sebagai kawasan budidaya adalah kecamatan Kei Kecil, karena perairan di wilayah ini memenuhi persyaratan budidaya laut. Sedang kecamatan Kei Besar, luasan daerah terlindung dari pengaruh perubahan iklim terbatas sehingga kawasan yang cocok untuk budidaya hanya di sekitar Teluk Elat, Teluk Ngafan dan Teluk Wairat.

(8)

Tabel 16 Lokasi pengembangan komoditi budidaya yang dikembangkan di Kabupaten Maluku Tenggara.

No. Nama Desa/

Kecamatan

Luas Lahan (Ha)

Jumlah nelayan (org)

Peruntukan Pemanfaatan (Ha)

Keterangan

1. Kec. Kei Kecil:

Sathean Letvuan Kelanit Letman P. Nai Rewav

343.500 300

66 383.3 573.5 375

139 150 53 101 100 50

1, 2, 3, 4 1 1, 3 1, 2, 3

1, 3 1

288.21 225 18.78 383.3 229.4 130

1. Long Line Rumput Laut 2. Long Line

Mutiara 3. Keramba

Apung/

Kakap/

Kerapu 4. Keramba

Tancap/

Molusca/

Teripang.

2. Kec. Kei Kecil Timur:

Wain 225.6 60 1, 2, 3 78, 01

1. Long Line Rumput Laut 2. Long Line

Mutiara 3. Keramba

Apung/ Kakap/

Kerapu 4. Keramba

Tancap/

Molusca/

Teripang 3. Kec. Kei Kecil

Barat:

Warbal

P. Tanimbar Kei Wab

Ur Pulau

725.250 125 575 600

120 90 150 170

1, 2 1, 2 1, 2 1, 2

218 75 250 450 4. Kec. Kei Besar:

Elat Waer P. Ohoiwa P. Manir P. Tarwa

50 211.36 929.300 306.300

377

100 50 350 107 100

1, 2, 3 1, 2, 3 1, 2, 3 1, 2, 3 1, 2, 3

10 1 668.67

80 140

5. Kec. Kei Besar Selatan:

Ohoiraut Rahareng Sungai Ngafan

129.8 144.23

58.4

80 130 200

1, 2, 3 1, 2, 3 1, 2, 3

0.5 15 20 6. Kec. Kei Besar

Utara Timur:

Nerong 40 130 1, 2 12.3

Sumber :DKP Kabupaten Maluku Tenggara (2010)

1.6 Produksi rumput laut

Peningkatan yang relatif ditunjukan oleh hasil produksi rumput laut secara umum di Kabupaten Maluku Tenggara. Beberapa aspek pendukung produksi rumput laut masih belum memadai sehingga belum mencapai tingkat optimal pada tujuan pengembangan kesejahteraan masyarakat. Dalam Tabel 15 dapat dilihat hasil produksi rumput laut di Kabupaten Maluku Tenggara pada kondisi 4 tahun

(9)

terakhir. Upaya pemanfaatan secara terpadu berarti dengan mempertimbangkan berbagai keselarasan dengan aktivitas ekonomi lainnya yang sudah ada.

Optimal berarti pemanfaatan potensi lahan yang ada harus sesuai dengan daya dukung lingkungan, sehingga usaha budidaya laut yang dikembangkan dapat dikembangkan dalam jangka panjang (berkelanjutan). Kondisi parameter lingkungan merupakan kriteria utama dalam penilaian kesesuaian lahan budidaya ikan kerapu dan budidaya rumput laut, disamping aspek lainnya seperti aspek sosial dan ekonomi masyarakat.

Tabel 17 Produksi komoditas budidaya Kabupaten Maluku Tenggara

Komoditi Tahun Produksi

Volume (ton) Nilai (Rp)

Rumput Laut 2007 44.1 220,500.000,-

2008 381.12 3,811.200.000,-

2009 3,285 32,850.000.000,-

2010 4,872.9 48,729.091.250,-

Kerapu 2007 12.940 1,682.200.000,-

2008 10.265 1,334.450.000,-

2009 8.4 1,444.800.000,-

2010 11.695 1,520.350.000,-

Siput Mutiara 2007 445.662 4,456.620.000,-

2008 528.700 5,287.000.000,-

2009 473.04 4,730.400.000,-

2010 41.116 411,160.000,-

Mutiara 2007 0.112 4,456.620.000,-

2008 0.11804 5,287.000.000,-

2009 0.10036 2,500.000.000,-

2010 - -

Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Maluku Tenggara tahun (2010)

2 Pemetaan pelaku dalam value chain system budidaya rumput laut

2.1 Nelayan budidaya rumput laut di Maluku Tenggara

Potensi lahan budidaya Kabupaten Maluku Tenggara seluas 10.900,76 Ha, saat ini telah banyak dimanfaatkan untuk kegiatan budidaya oleh masyarakat yakni budidaya rumput laut, kerapu dan teripang. Di Kabupaten Maluku Tenggara, seiring dengan upaya peningkatan kontribusi perikanan budidaya bagi peningkatan produksi dan kesejahteraan masyarakat maka perkembangan jumlah pembudidaya, rumah tangga produksi budidaya dan kelompok budidaya terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.

(10)

Pada tahun 2010, keragaan aktivitas budidaya mengalami peningkatan yang signifikan dengan tingkat pemanfaatan lahan yang semakin tinggi. Pada dua desa percontohan diantaranya Sathean dan Letvuan, nelayan merupakan unsur penting yang ada dalam aktifitas budidaya rumput laut. Dari hasil pengumpulan data melalui kuesioner menjelaskan bahwa sebagaian besar penduduk mempunyai mata pencaharian utama sebagai nelayan. Desa Letvuan mencapai 820 orang dan Desa Sathean 485 orang yang tergabung dalam usaha perorangan atau kelompok.

Rata-rata nelayan rumput laut memiliki tingkat pendidikan maksimal adalah sekolah menengah atas, sedangkan paling minimal adalah sekolah dasar. Dalam pembudidayaan rumput laut pada desa percontohan, nelayan budidaya rumput laut dapat terdiri dari penyedia bibit, nelayan pembudidaya rumput laut dan pengolah rumput laut yang juga biasanya menjadi tenaga kerja juga pada saat pasca panen.

Ketiga jenis pekerjaan nelayan tersebut dapat juga ditemukan dalam satu orang nelayan karena dapat menghasilkan bibit, membudidayakan rumput laut dan mengolah rumput laut sekaligus. Tindakan ini diambil apabila nelayan ingin melakukan penghematan biaya modal kerja yang minim.

2.2 Pedagang pengumpul lokal budidaya rumput laut

Berdasarkan hasil wawancara dengan 6 orang pedagang pengumpul lokal dalam dua desa percontohan, terdapat dua bentuk pedagang pengumpul lokal diantaranya pedagang pegumpul skala kecil dan pedangang pengumpul skala besar. Yang dimaksud dengan pedagang pengumpul skala kecil adalah pedagang pengumpul yang berada satu lokasi (satu desa) dengan para nelayan rumput laut, dengan fungsi sebagai penjual hasil budidaya rumput laut kering kepada pedagang pengumpul lokal skala besar dengan kisaran harga Rp. 6.500,- sampai dengan Rp.

7.500,-.

Sedangkan pada pedagang pengumpul lokal besar merupakan pedagang pengumpul yang memiliki badan usaha dalam bentuk CV maupun koperasi.

Selain memiliki akses yang setingkat lebih cepat dari pedangan pengumpul skala kecil, lokasi yang berada di daerah perkotaan memudahkan proses pengiriman terhadap eksportir. Ada juga beberapa pedagang pengumpul kecil yang merupakan perpanjangan tangan dari pedagang pengumpul skala besar. Penelitian yang dilakukan pada masing-masing desa terdapat pedagang pengumpul skala besar yang cukup dikenal dalam bentuk badan usaha diantaranya CV. Sumber Rejeki dan KUD Elomel.

2.3 Pengekspor hasil budidaya rumput laut

Berdasarkan pengambilan data dalam satu tahun terakhir ini di Kabupaten Maluku Tenggara belum terdapat pengekspor hasil budidaya rumput laut ke luar negeri karena adanya beberapa hambatan yang menjadi kekurangan untuk akses eksport. Salah satunya masalah transportasi untuk sampai ke luar negeri serta pengurusan hal-hal administrasi pengiriman. Namun bukan hal tersebut yang menjadi perhatian utama melainkan permintaan dari Negara eksportir yang menginginkan hasil budidaya rumput laut yang telah menjadi bahan baku obat- obatan, alat kosmetik dan lain-lain. Setelah dilakukan observasi lapangan pada dua desa percontohan ini maka ditemukan adanya satu industri rumahan yang memiliki alat teknologi untuk mengolah hasil budidaya rumput laut menjadi tepung karangenan di Desa Letvuan, namun kegiatan pengolahan tersebut tidak

(11)

maksimal karena ada faktor-faktor penghambat. Sedangkan pada desa Sathean pernah dilakukan ekspor langsung ke Negara China pada Tahun 2000 dengan jumlah 1000 ton rumput laut kering dalam 1 bulan, namun saat ini tidak lagi melakukan ekspor langsung karena kurangnya biaya serta transportasi dan harga pasar yang tidak tetap dengan kurangnya dukungan dari pemerintah.

2.4 Pemerintah daerah dan dinas terkait

Dengan melihat peluang usaha serta income yang dihasilkan oleh budidaya rumput laut di Kabupaten Maluku Tenggara, maka pemerintah daerah mengupayakan program-program pembudidayaan rumput laut dalam hal ini instansi terkait seperti Dinas Kelautan dan Perikanan yang bekerja sama dengan Dinas Perindustrian dan Perdagangan dalam rencana pembangunan jangka menengah diantaranya rencana pengembangan rumput laut 3 zona di Kabupaten Maluku Tenggara.

Adanya rencana kerja seperti ini maka secara langsung dapat membantu pembudidaya rumput laut untuk lebih meningkatkan pengolahan produk unggulan. Pemerintah juga telah memberikan bantuan dana dalam bentuk KUR atau kredit usaha rakyat yang telah memudahkan proses usaha budidaya yang ada pada desa percontohan maupun desa-desa pengembangan rumput laut di daerah ini. Dari hasil penelitian ini ditemukan juga ada beberapa kegiatan dalam rangka mengembangkan produksi rumput laut yang berasal dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Maluku Tenggara dirangkai dalam beberapa rencana aksi yang telah dikerjakan dalam betuk kegiatan dan pelaksanaan kegiatan.

3 Struktur Value Chain System Budidaya Rumput Laut

3.1 Aktivitas Utama

Aktifitas utama dari struktur value chain system budidaya rumput laut diantaranya:

A.Logistik kedalam

Pemerintah daerah telah memberikan bibit unggul yang berasal dari kebun bibit untuk meningkatkan produksi dan produktivitas usaha budidaya namun jumlahnya masih terbatas, namum dari hasil wawancara serta pengisian questioner kepada 6 orang pembibit yang di bagi 3 untuk tiap desa, 5 dari 6 orang menyatakan bahwa bibit yang didapat berasal dari nelayan budidaya itu sendiri.

benih rumput laut yang berasal dari hasil pembibitan sendiri ini juga secara langsung telah menekan biaya pengeluaran dari modal usaha nelayan pembudidaya untuk membeli bibit dengan harga per kg sebesar Rp 1000,-.

B.Operasi 1. Pengolahan

Proses awal dari pengolahan budidaya rumput laut ini menggunakan metode long line system yaitu metode lepas dasar dengan menggunakan tali rawai, dilakukan dengan menanam bibit rumput laut pada bentangan tali yang terendam dan terletak disekitar permukaan air laut. Dengan perlengkapan yang telah disediakan maka, rata-rata lahan yang diolah sekitar ½ hektar mulai dibentangkan dengan tali utama dibentangkan sepanjang 25 m x 25 m dengan

(12)

setiap ujungnya dipasangkan pelampung besar. Tali ini berfungsi sebagai tempat mengikat tali-tali ris, dan juga sebagai batas kepemilikan lahan budidaya seorang petani. Tali-tali ris dibentangkan tegak lurus pada tali utama serta padanya diikatkan pelampung-pelampung kecil berjarak antara 1 – 2 m agar tanaman dapat berada disekitar permukaan air dengan jarak minimal 30 cm dari dari permukaan laut. Pada tali ris tersebut diikatkan bibit rumput laut oleh tali rafia dengan jarak antara simpul ikatan 25 cm.

2.Pemeliharaan

Tanaman budidaya rumput laut dipelihara selama 30 – 60 hari tergantung beberapa faktor yaitu: (1) umur benih; untuk umur benih berumur sekitar 20 hari diperlukan waktu pemeliharaan antara 40 – 60 hari, sedangkan benih berumur sekitar 30 hari umumnya memerlukan waktu antara 30 – 40 hari, (2) kebutuhan nelayan akan uang dan harga jual rumput laut (3) musim yang diperkirakan akan berganti sehingga dikhawatirkan adanya serangan penyakit pada musim kemarau atau hasil panen dikhawatirkan tidak sempat dijemur pada saat musim hujan tiba, serta, (4) sarana pengangkutan dan penjemuran yang terbatas sehingga panen tidak dapat dilakukan seluruhnya. Selama masa pemeliharaan, nelayan melakukan kegiatan-kegiatan pengontrolan dengan menggunakan perahu sampan bertenaga manusia (perahu dayung) atau bertenaga motor. Kegiatan pemeliharaan rata-rata dilakukan 2 – 3 kali dalam seminggu, umumnya dapat dikerjakan oleh nelayan serta tenaga kerja secara bergantian. Masa pemeliharaan rumput laut dari awal tanam sampai panen selama 2 bulan.

3.Pemanenan dan pasca panen

Pemanenan hasil cara lama memang lebih memudahkan nelayan dalam pengadaan bibit sehngga mengurangi biaya yang seharusnya dikeluarkan bagi pekerjaan pengikatan atau penanaman benih ke tali ris yang bagi nelayan cukup berarti besarnya. Produktivitas usaha budidaya rumput laut seorang nelayan selain ditentukan oleh biologis dan alam, secara praktis dapat ditentukan berdasarkan panjang tali ris yang dipergunakannya.

4.Pengawasan dan pengendalian mutu

Dari hasil observasi daerah penelitian ditemukan adanya teknologi pengeringan atau pengolahan relatif tradisional sehingga mempengaruhi mutu produk rumput laut kering. Pengukuran kadar air yang belum tepat karena belum adanya fasilitas yang memadai.

C. Logistik keluar

Dari hasil pengeringan hasil budidaya rumput laut selama 30-60 hari, maka dilakukan pengumpulan hasil dan penggudangan oleh nelayan pengolah rumput laut. Biasanya nelayan langsung menghubungi pedagang pengumpul skala kecil yang berada satu desa untuk menjual hasil budidaya dan karena jarak yang ditempuh tidak terlalu jauh maka biaya untuk transportasi tidak diperlukan karena hanya menggunakan tenaga manusia untuk memindahkan rumput laut dari penggudangan ke pembeli yang dalam hal ini pedagang pengumpul skala kecil.

Rata-rata hasil yang dijual berkisar antara 5- 10 ton per nelayan pembudidaya.

(13)

D. Pemasaran dan Penjualan 1. Penetapan harga

Dari data kuestioner yang dibagikan pada nelayan pengolah rumput laut di dua Desa percontohan ditemukan bahwa rendahnya posisi tawar pembudidaya dalam penentuan harga mempengaruhi pengembangan budidaya rumput laut. Dari perbandingan harga per kg pada tahun 2007 – 2009 sebesar Rp. 8.000-15.000 kini mengalami penurunan pada tahun 2010 – 2011 sebesar Rp. 6.500 - 7.500,-.

Harga terendah dengan nilai Rp. 6.500,- per kg yang diberikan dari pedagang pengumpul skala kecil ke nelayan pembudidaya, setelah itu dijual dengan harga yang sama ke pedagang pengumpul Skala besar dengan harga 7.500,-. Dengan harga demikian, tentunya pedagang pengumpul skala besar ini harus menjual lagi dengan harga Rp. 9.000,- per kg kepada pengecer di Surabaya

Bagian dari aktifitas utama dalam proses pasca panen, terlihat bahwa proses pengeringan yang dilakukan masih menggunakan cara tradisional, rumput laut dijemur di atas ayakan yang dibuat sendiri oleh nelayan pembudidaya, dapat disajikan pada Gambar 7.

Gambar 8 Pemanenan rumput laut di Desa Letvuan

Hasil panenan rumput laut di Desa Sathean memiliki kualitas yang cukup baik, karena ukuran yang dihasilkan cukup besar walaupun proses pengeringan pasca panen masih menggunakan cara yang sama yakni mengandalkan tenaga matahari (Gambar 8).

Gambar 9 Penjemuran rumput laut dengan tenaga matahari

(14)

3.2 Aktivitas pendukung

Bagian dari struktur value chain system pada aktifitas penunjang yang telah ditelaah antara lain diijelaskan sebagai berikut:

a. Infrastruktur

Pada lokasi penelitian, sarana infrastruktur seperti akses jalan yang dilalui cukup memadai sehingga proses pengangkutan cukup hasil budidaya rumput laut tidak mengalami hambatan, namun yang menjadi masalah adalah sarana transportasi baik dari pedagang pengumpul kecil ke pedagang pengumpul besar, dan pedagang pengumpul besar ke eksportir dimana mobil yang digunakan masih disewa dengan harga yang cukup tinggi mengakibatkan pengeluaran ekstra setiap kali pengiriman.

Pemerintah dalam mendukung budidaya rumput laut di Kabupaten Maluku Tenggara dalam hal pembangunan pabrik pengolahan rumput laut serta infrastruktur, telah menjalankan program pengembangan sarana unit pengolahan dan pemasaran dengan peningkatan kualitas, nilai jual dan diversifikasi produk rumput laut dengan kegiatan : pengadaan alat pengering rumput laut, pembangunan depo penyimpanan, lantai penjemuran, dan pengembangan kawasan minapolitan rumput laut. Pengembangan budidaya rumput laut melalui pemberian paket sarana budidaya rumput laut kepada kelompok masyarakat pembudidaya.

Pembangunan pabrik yang dimaksudkan untuk mengoptimalkan pengolahan produksi budidaya rumput laut sedang dalam penyelesaian pembangunan fisik yang disertakan dengan pengadaan dan pemasangan alat-alat pabrik (Gambar 9).

Gambar 10 Pabrik rumahan dan pembangunan pabrik yang terdapat di Desa Letvuan

Ada 3 Zona pengembangan rumput laut di Maluku Tenggara : 1. Pengembangan kebun benih/bibit

Untuk menjamin tersedianya benih / bibit yang bekualitas yang dapat dijangkau dengan mudah dan murah maka pemerintah daerah akan mengembangkan kebun benih di (Zona I).

(15)

2. Pengembangan produksi budidaya

Penggunaan teknologi modern melalui metode budidaya tepat guna dapat meningkatkan produksi budidaya rumput laut. Zona pengemban produksi di Maluku Tenggara (Zona II).

3. Pengembangan industri pengolahan rumput laut

Kedepan perlu dibangun industri pengolahan rumput laut untuk menghasilkan produk seperti chip dan tepung rumput laut melalui pengembangan industri pengolahan rumput laut pada (Zona III).

Pola alur rantai nilai komoditas rumput laut di Kabupaten Maluku Tenggara

Gambar 11 Pola alur rantai nilai Keterangan:

I : Nelayan

II.k : Pedagang Pengumpul Kecil II.b : Pedagang Pengumpul Besar

Tabel 18 Kondisi pembudidaya dan kelompok budidaya rumput laut di Kabupaten Maluku Tenggara

Sumber : DKP Kabupaten Maluku Tenggara (2011)

Pada Tabel 18 terlihat kondisi pembudidaya per orang dan per kelompok pada jumlah kelompok di tahun 2009 ada yang sudah mendapat bantuan sebanyak 45% sedangkan yang belum mendapat bantuan sebesar 37.71% dari jumlah kelompok sebesar 40.55%. Gambar 12 menyajikan peta pengembangan budidaya rumput laut di Kabupaten Maluku Tenggara:

Tahun Jumlah Pembudidaya

(orang)

Jumlah (Klmpk)

Jumlah Yang Sudah Menerima

Bantuan (Klmpk)

Jumlah Yang Belum Menerima

Bantuan (Klmpk)

2009 2.773 589 253 336

2010 3.558 864 309 555

II.k

II.b I

AKTIFITAS UTAMA

(16)

Sathean

Luas Lahan : 343,5 Ha Pemanfaatan: 118,21 Ha

Rata-rata Produksi : 50,99 Ton/45 Hari Letvuan

Luas Lahan : 165 Ha Pemanfaatan : 48,14 Ha

Rata-rata Produksi : 25,67 Ton/45 hari

Kelanit

Luas Lahan : 66 Ha Pemanfaatan : 18,78 Ha

Rata-rata Produksi : 5,22 Ton/45 hari

Warbal

Luas Lahan : 725,25 Ha Pemanfaatan : 28 Ha

Rata-rata Produksi : 14 Ton/45 hari Ibra

Luas Lahan : 52,3 Ha Pemanfaatan : 21,83 Ha

Rata-rata Produksi: 14 Ton/45 hari Elat

Luas Lahan : 28 Ha Pemanfaatan : 15,25 Ha

Rata-rata Produksi : 14 Ton/45 hari

Sungai Ngafan Luas Lahan : 58,4 Ha Pemanfaatan : 1,6 Ha

Rata-rata Produksi : 0,81 Ton/45 hari PETA CLASTER PENGEMBANGAN RUMPUT LAUT

DI KAB. MALUKU TENGGARA

Gambar 12 Peta pengembangan budidaya rumput laut di Kabupaten Maluku Tenggara

Terlihat pada Gambar 12 rata-rata produksi sangat berbeda secara signifikan pada tiap-tiap daerah di sebabkan karena luas lahan dan pemanfaatan dari tiap-tiap daerah yang berbeda sehingga rata-rata produksi masing-masing daerah berbeda-beda.

b. Manajemen sumber daya manusia

Peran serta masyarakat dan pemerintah maupun lembaga-lembaga terkait demi mendukung pengembangan usaha budidaya rumput laut di Kabupaten Maluku Tenggara sangat penting. Realitas SDM suatu bangsa tidak bisa dilepaskan dari realitas pendidikan sebagai system fundamental pengelolaan dan penghasil pengetahuan itu sendiri. Pada dasarnya, konsep SDM, setidak-tidaknya mengandung 3 pengertian yang maknanya tercemin pada kata awal yang mendahului istilah SDM tersebut (Tamin, 1998), yaitu : Pertama, Peningkatan SDM yaitu upaya menambah kemampuan SDM yang ada, agar lebih produktif hal ini terkait dalam dunia tenaga kerja; Kedua, Pengembangan SDM, yaitu upaya membina dan mengembangkan kemampuan dasar SDM agar dapat tumbuh dan berkembang secara optimal; Ketiga, Pembangunan SDM, yaitu menciptakan SDM secara berkesinambungan, yang meliputi seluruh aspek hidup manusia untuk dapat memenuhi ciri-ciri hidup manusia seutuhnya.

Dalam keterkaitan dengan penjelasan tersebut maka pemerintah daerah Kabupaten Maluku Tenggara telah memberikan perhatiannya terhadap apa yang menjadi kebutuhan nelayan pembudidaya rumput laut dengan adanya program peningkatan kapasitas SDM dan kelembagaan melalui pelatihan dan magang pembudidaya yang telah dilaksanakan saat ini bekerjasama dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan serta Perindustrian dan Perdagangan dengan melakukan ekstensifikasi areal budidaya, yang telah dilaksanakan dalam bentuk training / pelatihan kelompok-kelompok. Berikut ini adalah Tabel 19 pemanfaatan lahan untuk budidaya rumput laut dan peningkatan jumlah pembudidaya Tahun 2007- 2010.

PETA PENGEMBANGAN RUMPUT LAUT DI KAB.MALUKU TENGGARA

(17)

Tabel 19 Pemanfaatan lahan untuk budidaya rumput laut dan peningkatan jumlah pembudidaya

No. Tahun Luas Lahan yang Dimanfaatkan

(Ha)

Persentase (%)

Jumlah Pembudidaya (Orang)

1. 2007 3.68 88.5 257

2. 2008 32 95.92 735

3. 2009 785.66 66.90 2.773

4. 2010 2,373.62 - 3.558

Sumber : DKP Kabupaten Maluku Tenggara (2011)

Berdasarkan Tabel dapat dilihat perkembangan yang sangat pesat pada jumlah pembudidaya sehingga lahan yang dibutuhkan semakin besar. Hal ini menunjukan bahwa keinginan serta minat yang ditunjukkan oleh masyarakat di Kabupaten Maluku Tenggara sangat tinggi, sehingga perlu dilakukan pendampingan serta dukungan dari Pemerintah dalam mengarahkan tujuan pengembangan budidaya rumput laut di daerah ini.

c. Pengembangan teknologi

Dalam penelitian ini dan berdasarkan observasi lapangan, selain pembangunan pabrik, bentuk dari pengembangan teknologi belum begitu terlihat untuk proses budidaya rumput laut secara keseluruhan, sehingga pengolahan budidaya rumput laut masih lebih cenderung menggunakan sistem tradisonal, sehingga belum mampu untuk bersaing dalam pasar global yang secara keseluruhan telah menggunakan sistem kerja yang modern dengan menggunakan teknologi yang setiap saat mengalami perkembangan pesat. Dibandingkan dengan wilayah yang telah menggunakan pengembangan teknologi yang sudah bisa mengekspor langsung hasil olahan rumput laut langsung ke Negara-negara konsumen.

d.Pembelian

Hasil penelitian yang dilakukan membuktikan bahwa sistem tata niaga yang belum terkoordinir dengan baik yang mengacu pada norma-norma industrialitas mempengaruhi laba yang dihasilkan dari penjualan. Koefisienan pasar yang belum maksimal sehingga pelaku rantai nilai belum menikmati prinsip win-win solution yang seharusnya ada dalam setiap kegiatan pasar. Dalam hal keefisienan pasar, diperlukan perhatian khusus dari pemerintah guna melakukan promosi investasi sampai kepada memfasilitasi kemitraan antara pembudidaya dengan investor terhadap akses teknologi, pasar dan modal usaha sehingga pemerataan fluktuasi harga dapat teratasi.

Bagian dari struktur value chain system pada aktifitas pendukung yang telah ditelaah antara lain dijelaskan dalam Tabel 20.

(18)

Tabel 20 Aktivitas pendukung

AKTIFITAS PENUDUKUNG

INFRASTRUKTUR a. Sarana transportasi yang cukup memadai untuk mengoptimalkan proses pengangkutan hasil budidaya rumput laut antar pedagang pengumpul.

b. Ketersediaan sarana jalan yang cukup memadai karena sebagian jalan yang ada telah di hotmix

c. Pembagunan fisik pabrik pengolahan rumput laut yang sudah mencapai 90%.

SUMBERDAYA MANUSIA

a. Adanya program peningkatan kapasitas SDM dan kelembagaan melalui pelatihan dan magang pembudidaya yang bekerjasama dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan.

b. Pembimbingan oleh tenaga professional untuk pekerjaan dalam pabrik pengolahan rumput laut yang didatangkan dari kementerian perindustrian dan perdagangan.

PENGEMBANGAN TEKNOLOGI

1. Selain pembangunan pabrik, pengadaan alat-alat pabrik juga telah didatangkan didukung dengan pembangunan Depo, Penyimpanan dan Lantai Penjemuran, serta pengembangan kawasan minapolitan.

PEMBELIAN 1. Sistem tata niaga yang belum terkoordinir dengan baik yang seharusnya mengacu pada norma industrialitas.

2. Kegiatan pasar belun maksimal pelaku rantai nilai belum menerapkan prinsip win-win solution.

3. Kurangnya promosi investasi sampai memfasilitasi kemitraan antara pembudidaya dengan investor terhadap akses teknologi, pasar dan modal usaha sehingga pemerataan fluktuasi harga dapat teratasi.

Sumber : Data diolah (2012)

3.3 Value chain system dalam budidaya rumput laut di Kabupaten Maluku Tenggara

Hasil uraian penelitian dalam aktifitas utama: (1) logistik kedalam yang dimulai dari persediaan pembibitan yang memiliki nilai tambah karena bibit dihasilkan secara pribadi dan tidak dibeli, pembibitan ini pun secara terus- menerus dapat dihasilkan dengan demikian maka tidak ada biaya tambahan untuk pembelian bibit oleh nelayan pembudidaya sehingga persiapan untuk pengolahan dapat dimaksimalkan sesuai dengan modal yang cukup. (2) Operasi merupakan bagian yang memiliki banyak proses dengan persiapan modal yang harus cukup karena kurangnya infrastruktur yang memadai baik dalam proses pengolahan budidaya, maupun transportasi serta keadaan alam yang dapat mengakibatkan kerugian. Perlunya biaya-biaya tambahan bahkan modal yang tidak cukup untuk pengembangan usaha budidaya.

Dalam hal ini, pemerintah seyogyanya mempunyai andil yang besar untuk melakukan kegiatan yang telah diprogramkan untuk pengembangan usaha ini secara berkesinambungan. Dimulai dari proses pengolahan dengan perlengkapan yang terbatas, pengawasan mutu produksi yang tidak ada, pemeliharaan budidaya rumput laut saat terserang hama dan penyakit yang hanya dengan tindakan seadanya karena minimnya sumber daya manusia sehingga dapat mengakibatkan gagal panen dan mengalami kerugian dan kurangnnya tenaga professional untuk tindakan pendampingan. (3). Logistik Keluar, nelayan pengolah budidaya rumput laut lebih berperan aktif dan lebih membutuhkan tenaga kerja ekstra pada saat pengumpulan maupun penyimpanan atau penggudangan hasil panen dikarenakan luas lahan yang mencapai 25 hingga 50 meter, dengan adanya penambahan tenaga kerja maka ada biaya sewa tambahan yang dihitung perbulan

(19)

dengan nilai Rp. 1,000.000 – 1,500.000,- jika dibayar perhari maka nilainya Rp.

100.000,- sampai dengan Rp.150.000,-. Begitu pula dengan pedagang pengumpul skala kecil maupun pedagang pengumpul skala besar yang seyogyanya telah menyiapkan modal yang cukup untuk melakukan penjualan maupun pengiriman ke daerah pengecer (Surabaya), namun kadang modal yang disediakan pun tidak cukup untuk mendapatkan keuntungan yang seharusnya karena fluktuasi harga yang sering terjadi serta biaya-biaya tambahan yang tidak terduga lainnya.

4). Pemasaran dan penjualan berdasarkan hasil penelitian belum mencapai tingkat optimal karena sistem tata niaga yang belum terkoordinir dengan baik, sehingga penetapan harga sering dilakukan secara sepihak tanpa melihat keefisienan pasar, menyebabkan kurangnya penghasilan yang diterima dari produsen utama yang dalam hal ini adalah nelayan pembudidaya rumput laut.

Keuntungan yang dirasakan hanya ada pada sebagian pihak, minimnya informasi harga pasar oleh nelayan serta modal yang terbatas untuk langsung melakukan transaksi dengan pedagang pengumpul skala besar, menjadikan tidak tersedianya pilihan lain untuk penjualan. Begitu pula dengan permintaan pasar yang tidak dapat dilayani karena keterbatasan produksi dan pengolahan hasil budidaya rumput laut.

4 Analisis nilai tambah

4.1 Analisis nilai tambah nelayan

Analisis nilai tambah pada nelayan menggunakan beberapa asumsi:

a. Produksi rumput laut dalam 45 hari mencapai 1.000 Kg.

b. Perhitungan Biaya Penyusutan menggunakan Matode garis lurus.

c. Jumlah Output yang dihitung sebanyak jumlah siap panen yang dihasilkan dalam 45 hari.

Tabel 21 Analisis nilai tambah rumput laut ditingkat nelayan

Komponen Total Biaya

(Rp)

Biaya rata-rata (Rp/Kg)

Presentase (%) Biaya bahan baku

Tali ris polietilen 8mm 2,000.000 2000 32.19

Tali polietilen 10mm 2,250.000 2.250 34.61

Tali raffia 15.000 15 0.23

Jangkar 200.000 200 3.07

Bibit 600.000 600 9.23

Pelampung utama 400.000 400 6.15

Pelampung kecil 40.000 40 0.61

Total biaya bahan baku (1) 5,505.000 5505 86.09

Biaya operasional

Bbm 1,170.000 39 0.6

Upah tenaga kerja 100.000 3.33 0.05

(20)

Lanjutan Tabel 21

Komponen Total Biaya

(Rp)

Biaya rata-rata (Rp/Kg)

Presentase (%)

Total biaya operasional (2) 1,270.000 42.33 0.65

Total biaya produksi (Rp) = (1)+(2)

6,775.000 5547.33 86.74

Biaya penyusutan peralatan dan kendaraan

Sampan 125.000 125 1.92

Katinting 400.000 400 6.15

Terpal 60.000 60 0.92

Timbangan 75.000 50 0.76

Keranjang 5.000 5 0.07

Total biaya penyusutan (3) 665.000 665 9.82

Perhitungan nilai tambah

Nilai input (1)+(2)+(3) 6212.33 95.57

Nilai output 6500 100

Nilai tambah 287.67 4.43

Sumber : Data diolah (2013)

Perhitungan nilai tambah pada nelayan dilihat berdasarkan kondisi rumput laut dari komponen-komponen pembentuk biaya bahan baku, operasional serta biaya penyusutan. Nilai input nelayan rumput laut adalah biaya-biaya hingga rumput laut siap di panen sedangkan outputnya rumput laut yang di jual ke pedagang pengumpul. Kondisi ini bertujuan untuk membandingkan nilai tambah yang diperoleh oleh masing-masing pihak disepanjang rantai tersebut.

Tabel 21 menunjukan nilai input nelayan adalah 6212 per kg. sedangkan perolehan nilai tambah pada nelayan dari 1 kg rumput laut sebesar Rp. 287.67.

4.2 Analisis nilai tambah pedagang pengumpul skala kecil

Pada Tabel 22 menunjukan bahwa nilai tambah oleh pedagang pengumpul skala kecil sebesar 550 per kg. nilai input didapat dari harga beli dari nelayan di tambah dengan biaya operasional dan penyusutan. Sedangkan output yang di terima dari pedagang pengumpul besar. Tabel 22 menyajikan analisis nilai tambah rumput laut di tingkat pedagang pengumpul skala kecil.

Tabel 22 Analisis nilai tambah rumput laut di tingkat pedagang pengumpul skala kecil

Komponen Total

Biaya (Rp)

Biaya Rata-rata ( Rp/Kg)

Presentase (%)

Biaya bahan baku

Rumput laut kering 9,750.000 6.500 86.67

Total biaya bahan baku (1)

9,750.000 6.500 86.67

Biaya operasional

Tempat penyimpanan 120.000 80 1.06

(21)

Lanjutan Tabel 22

Komponen Total

Biaya (Rp)

Biaya Rata-rata ( Rp/Kg)

Presentase (%)

Karung 30.000 20 0.26

Upah tenaga kerja 150.000 100 1.33

Transportasi 300.000 200 2.67

Total biaya operasional (2)

600.000 400 5.32

Biaya penyusutan

Timbangan 75.000 50 0.66

Total biaya penyusutan (3)

75.000 50 0.66

Perhitungan nilai tambah

Nilai input (1)+(2)+(3) 6.950 92.65

Nilai output 7.500 100

Nilai tambah 550 7.35

Sumber : Data diolah (2013)

4.3 Analisis nilai tambah pedagang pengumpul skala besar

Pada Tabel 23 menunjukan bahwa nilai tambah oleh pedagang pengumpul skala besar sebesar 550 per kg. nilai input didapat dari harga beli dari pedagang pengumpul kecil di tambah dengan biaya operasional dan penyusutan. Sedangkan output yang di terima dari pengecer. Tabel 23 menyajikan analisis nilai tambah rumput laut di tingkat pedagang pengumpul skala besar.

Tabel 23 Analisis nilai tambah rumput laut di tingkat pedagang pengumpul skala besar

Komponen Total Biaya (Rp) Biaya Rata-rata (Rp/Kg)

Persentase (%)

Biaya bahan baku

Rumput laut kering 11,250.000 7.500 83.33

Total biaya bahan baku (1) 11,250.000 7.500 83.33

Biaya operasional

Upah tenaga kerja 300.000 200 2.22

Packing 300.000 200 2.22

Transportasi 300.000 200 2.22

Total biaya operasional (2) 900.000 600 6.66

Biaya penyusutan

Timbangan 75.000 50 0.55

Total biaya penyusutan (3) 75.000 50 0.55

Perhitungan nilai tambah

Nilai input (1)+(2)+(3) 8150 90.54

Nilai output 9000 100

Nilai tambah 850 9.46

Sumber : Data diolah (2013)

4.4 Analisis rantai nilai

Organisasi rantai nilai merupakan sebuah hubungan manajemen atau system kerja yang terorganisir diantara anggota masing-masing sepanjang rantai nilai. Tabel 24 menyajikan perbandingan analisis nilai tambah pada nelayan, pedagang pengumpul skala kecil, dan pedagang pengumpul skala besar.

(22)

Tabel 24 Perbandingan analisis nilai tambah nelayan, pedagang pengumpul kecil, pedagang pengumpul skala besar

Analisis Rantai Nilai Rumput Laut Jenis

Kegiatan Nelayan Pengumpul

Kecil

Pengumpul Besar Biaya

(Rp/kg)

Persentase (%)

Biaya (Rp/kg)

Persentase (%)

Biaya (Rp/kg)

Persentase (%)

Produksi 5505 86.09 6500 86.67 7500 83.33

Operasi 42.33 0.65 400 5.32 600 6.66

Biaya penyusutan

665 9.82 50 0.66 50 0.55

Total Biaya 6212.33 95.57 6950 92.65 8150 90.54

Harga jual 6.500 100 7500 100 9.000 100

Margin 287.67 4.43 550 7.35 850 9.46

Dapat dilihat pada Tabel 24 di sini dari nelayan sampai dengan pedagang pengumpul skala besar mempunyai perbandingan yang berbeda-beda dari hasil produksi sampai dengan memperoleh nilai tambah.

5 Hasil analisis SWOT

Untuk memperoleh strategi pengembangan pemasaran yang baik, maka perlu dilakukan analisis SWOT. Analisis SWOT merupakan suatu alternatif dari pendekatan faktor internal meliputi kekuatan (strength) dan kelemahan (weaknesses) serta faktor eksternal yang meliputi peluang (opportunities) dan ancaman (threats).

5.1 Internal 1. Kekuatan

a. Pemanfaatan lahan potensial

b. Memiliki lahan yang potensial dengan luas sebesar: 5.103 Ha, lahan yang dimanfaatkan : 2,373.62 Ha atau 46.51% dan lahan yang belum dimanfaatkan sebesar : 2,729.38 Ha atau 53.49%.

c. Kondisi perairan yang subur

Kondisi perairan Kabupaten Maluku Tenggara yang subur dan semi tertutup (selat dan teluk) serta relative dangkal, bebas polutan, jernih dan kondisi hidrografi perariran yang mendukung usaha budidaya rumput laut.

d. Program pemerintah yang mendukung pengembangan usaha budidaya rumput laut

Program-program pemerintah berupa kemudahan pengurusan perijinan usaha, ketersediaan sarana prasarana jalan ke sentra–sentra produksi, bantuan sarana prasarana bagi pembudidaya dan peningkatan kualitas SDM melalui Pelatihan, Magang dan Pembinaan.

(23)

e. Nelayan memiliki motivasi yang tinggi masyarakat khususnya nelayan di Kabupaten Maluku tenggara memilki motivasi diri yang tinggi untuk berkembang dalam usaha budidaya rumput laut

2. Kelemahan

a. Pengetahuan SDM masih rendah

Sumber daya manusia yang belum memadai untuk pengembangan usaha budidaya rumput laut di Kabupaten Maluku Tenggara

b. Keadaan alam

Keadaan alam yang tidak mendukung proses pengolahan budidaya rumput laut pada musim pancaroba sehingga timbul biaya-biaya tambahan dari setiap pelaku rantai nilai dan juga tidak adanya kesadaran optimal dari masyarakat sekitar untuk menjaga dan melestarikan kebersihan lingkungan laut.

c. Kurangnya sarana infrastruktur

Kurangnya sarana infrastruktur dalam proses pembudidayaan rumput laut terutama dalam proses produksi dan tenaga professional.

d. Keterbatasan modal

Modal memiliki peranan yang sangat penting dalam menjalankan suatu usaha dan modal yang dimiliki seringkali tidak mencukupi untuk mengoptimalkan budidaya rumput laut

e. Kurangnya kegiatan promosi

Promosi merupakan strategi yang sangat penting untuk membuat produk dapat di pasarkan dengan baik dan optimal, jika promosi yang dilakukan tidak sampai ke konsumen maka produk yang akan di jual tidak akan bertahan, kurangnya kegiatanpromosi juga menjadi kendala dalam memasuki pasar dn mencari pemasok baru karena untuk memasuki suatu pasar baru tidak semudah yang di harapkan.

f. Belum adanya arsip pembukuan

Dalam urusan keuangan nelayan tidak ada pembukuan karena belum ada SDM yang dapat menangani secara khusus masalah keuangan dan administrasi sehingga sulit untuk melakukan penilaian kinerja keuangan.

5.2 Eksternal 1. Peluang

a. Pasar rumput laut yang masih terbuka lebar

Hal ini merupakan peluang untuk menarik minat masyarakat terhadap pasar rumput laut sehingga tidak menutup kemungkinan nelayan dapat memenuhi kebutuhan konsumen-konsumen di sekitarnya.

b. Dukungan pemerintah

Meskipun dukungan pemerintah masih kecil di rasakan oleh nelayan tetapi perlahan-lahan dukungan pemerintah sedikit demi sedikit diperlihatkan dengan mengadakan pelatihan-pelatihan yang berhubungan dengan proses produksi rumput laut, pemerintah juga membantu dengan tersedianya sarana produksi, dukungan pemerintah daerah berupa kemudahan pengurusan ijin usaha, ketersediaan sarana prasarana jalan ke sentra-sentra produksi, bantuan sarana prasarana bagi pembudidaya dan peningkatan kualitas SDM melalui pelatihan, magang dan pembinaan.

Gambar

Tabel 8  Ibukota Kecamatan, Banyaknya Desa Induk Anak Desa dan Kelurahan    menurut Kecamatan
Tabel 11  Distribusi penduduk menurut jenis kelamin
Tabel 14 Pendapatan masyarakat pembudidaya rumput laut
Gambar 7 Laju pertumbuhan ekonomi  Kabupaten Maluku Tenggara (%)      ( Bappeda Kabupaten Maluku Tenggara 2011)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pada umumnya lokasi tambak garam di Sulawesi Selatan berada di pesisir pantai di mana di lokasi itu juga berkembang uasaha budidaya rumput laut, usaha budidaya rumput

Lokasi budidaya rumput laut yang baik adalah lokasi yang memiliki pergerakan air yang cukup yaitu 20cm-30cm/detik, tidak memiliki gelombang yang kuat, bebas

tinggi gelombang yang didapat kurang layak untuk dilakukan budidaya rumput laut, teripang, dan ikan kerapu dengan sistem KJA karena menurut Ariyanti (2007) dalam Fatah

Untuk lokasi budidaya rumput laut jenis Eucheuma cottonii pada stasiun 6.1 dan 6.2 dimasukkan pada kategori cukup sesuai, dikarenakan terdapat beberapa faktor

Penempatan lokasi penelitian di sekitar lokasi pengembangan budidaya rumput laut dan didasarkan pada hasil survey bersama dengan Dinas Kelautan dan Perikanan Kab Bolaang

Hasil identifikasi komponen utama untuk kegiatan wisata, penangkapan ikan karang, dan budidaya rumput laut di kawasan ini diperoleh bahwa daerah bagian Utara, Barat dan Selatan

Dengan tercapainya tujuan-tujuan pada level 2, akan mempengaruhi pula terhadap pencapaian tujuan pada level 1, yaitu tujuan peningkatan luas areal panen budidaya rumput laut

Berdasarkan penelitian yang dilakukan nilai laju pertumbuhan rumput laut lebih tinggi di lokasi kontrol dibandingkan dengan di lokasi budidaya IMTA, sehingga pertumbuhan