• Tidak ada hasil yang ditemukan

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "5 HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
95
0
0

Teks penuh

(1)

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Analisis Kesesuaian Pemanfaatan

5.1.1 Karakteristik Lingkungan Perairan Gugus Pulau Batudaka

Identifikasi kesesuaian kegiatan wisata dan perikanan menggunakan analisis komponen utama (Principal Component Analysis/PCA). Melalui analisis tersebut (Lampiran 2) diperoleh informasi yang lebih lengkap mengenai gambaran setiap lokasi pengamatan memiliki karateristik fisika-kimia yang dianggap memenuhi syarat untuk kegiatan pemanfaatan tersebut antara lain kecerahan, salinitas, suhu, pH, dan DO yaitu diperoleh ragam sumbu utama hingga kedua mencapai 77.18%. Hal ini berarti 77.18% dari data hasil analisis dapat diterangkan hingga sumbu kedua dan memiliki akar ciri (eigenvalue) secara berurutan adalah 2.8002, dan 1.0587 (Tabel 35).

Tabel 35 Akar ciri dan persentase ragam pada kedua komponen utama untuk pengamatan di 15 Stasiun Biofisik

Hasil analisis kontribusi variabel diperoleh total ragam sebesar 77% pada dua sumbu utama yaitu sumbu 1 dan sumbu 2, dengan ragam masing-masing sebesar 56%, dan 21% (Gambar 30). Korelasi antara variabel dengan sumbu utama dapat dilihat pada lingkaran korelasi, yaitu dengan koordinat variabel atau representasi dari variabel pada sumbu utama yang ditunjukkan dengan jauh dekatnya variabel tersebut terhadap sumbu utama. Semakin dekat variabel dengan sumbu utama semakin besar pula korelasi dan interpretasi dari setiap variabel tersebut dengan melihat sebaran individu pada sumbu utama. Pada sumbu 1 memperlihatkan adanya korelasi kuat positif terhadap variabel suhu, pH, dan dan DO, sedangkan variabel kecerahan, salinitas berkorelasi negatif terhadap sumbu utama. Keterkaitan hubungan antara variabel pada ke-15 stasiun pengamatan dapat tertera pada Tabel 36.

Eigenvalues Sumbu 1 Sumbu 2 Komponen Utama

Nilai Eigen (akar ciri) 2.8002 1.0587

Ragam 0.5600 0.2117

(2)

(a)

(b)

Gambar 30 (a) Korelasi antara variabel dan sumbu faktorial utama (b) Sebaran titik stasiun pada sumbu faktorial utama . Kecerahan S T pH DO -1,5 -1 -0,5 0 0,5 1 1,5 -1,5 -1 -0,5 0 0,5 1 1,5 --ax is 2 (2 1% ) --> -- axis 1 (56% ) -->

Correlations circle on axes 1 and 2 (77% )

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Kecerahan S T pH DO ‐2 ‐1,5 ‐1 ‐0,5 0 0,5 1 1,5 2 2,5 3 ‐4 ‐2 0 2 4 ‐‐ axe  2  (21%  )  ‐‐ > ‐‐ axe 1 (56% ) ‐‐> Biplot on axes 1 and 2 (77% )

(3)

Tabel 36 Kontribusi variabel terhadap sumbu utama karakteristik perairan Gugus Pulau Batudaka

Variabel Faktor Utama ke-i Faktor Kedua ke-i

Kecerahan -0.6931 0.6016

Salinitas -0.7229 -0.4572

Temperatur (suhu) 0.8657 0.1371

pH 0.7130 0.4689

DO 0.7346 -0.4990

Tabel 36 memperlihatkan bahwa suhu, pH dan DO berkorelasi positif dengan faktor utama (karakteristik lingkungan perairan) dan berkurangnya kecerahan (69.31%) dan salinitas (72.29%) akan mempengaruhi kualitas perairan bagi kegiatan wisata dan perikanan di kawasan Gugus Pulau Batudaka. Hasil analisis ini menunjukkan basis faktor karakteristik lingkungan perairan yang mempengaruhi kesesuaian pemanfaatan ruang untuk kegiatan wisata dan perikanan.

Hasil pengukuran kualitas air pada 15 stasiun pengamatan, menunjukkan bahwa tingkat kecerahan berfluktuatif berkisar 2.04-16.05m, salinitas berkisar 33.88-31.38 ppt, suhu antara 30.49-31.26ºC, pH berada pada kisaran 7.51-7.70, dan pada oksigen terlarut berkisar 6.82-7.31 ppm. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa tingkat kecerahan tinggi pada stasiun 4, 6, 7 dan 15. Ini disebabkan substratnya umumnya berpasir sehingga padatan terlarut dan tersuspensi mudah mengendap, Tingginya tingkat salinitas pada 15 stasiun ini disebabkan lokasi penelitian umumnya hanya memiliki sungai-sungai dengan debit air yang kecil dan curah hujan yang minimal sehingga kurang pengenceran air laut dan terjadi penguapan yang tinggi. Suhu dan pH tidak berfluktuasi disebabkan pada umumnya perairan ini memiliki intensitas cahaya matahari yang tinggi, dengan laut yang rata-rata dalam maka hanya lapisan permukaan saja yang lebih banyak terkena sinar matahari. Oksigen terlarut menunjukkan nilai yang relatif hampir sama dan dalam kisaran yang layak. Secara keseluruhan menunjukkan kisaran parameter kualitas air pada lokasi penelitian adalah optimal.

Variabel suhu dengan salinitas dan kecerahan memiliki korelasi negatif, hal ini disebabkan kenaikan salinitas perairan tidak mempengaruhi suhu perairan. Pada lokasi penelitian rata-rata nilai suhu tertinggi 31oC terdapat pada Stasiun

(4)

1-6, 9-13 dan 15, sedangkan terendah 30oC terletak pada Stasiun 7, 8 dan 14. Kecenderungan lokasi yang memiliki suhu yang lebih tinggi disebabkan kondisi cuaca pada saat pengukuran lebih terik dan sebaliknya pada lokasi dengan kecenderungan nilai suhu yang rendah. Kondisi cuaca pada daerah Gugus Pulau Batudaka sangat fluktuatif, khususnya pada saat memasuki musim pancaroba. Bengen dan Retraubun (2006) menyebutkan bahwa perubahan suhu perairan dipengaruhi oleh perubahan cuaca atau iklim, sedangkan perubahan salinitas dipengaruhi oleh angin muson yaitu musim hujan dan musim kemarau. Hasil identifikasi komponen utama untuk kegiatan wisata, penangkapan ikan karang, dan budidaya rumput laut di kawasan ini diperoleh bahwa daerah bagian Utara, Barat dan Selatan Pulau Batudaka lebih dicirikan dengan salinitas yang lebih tinggi, bagian terlindungi pulau lain dicirikan salinitas yang rendah, dan parameter fisik-kimia lainnya (pH, oksigen terlarut, suhu dan kecerahan) tidak menjadi faktor pembatas tersebut, kecuali kegiatan perikanan dimana variabel kecerahan dan suhu dipengaruhi oleh cuaca dapat mempengaruhi budidaya tersebut terutama pada musim hujan. Suhu dapat mempengaruhi fotosintesa di laut baik secara langsung maupun tidak langsung. Pengaruh secara langsung yakni suhu berperan untuk mengontrol reaksi kimia enzimatik dalam proses fotosintesa. Tinggi suhu dapat menaikkan laju maksimum fotosintesa, sedangkan pengaruh secara tidak langsung yakni dalam mengubah struktur hidrologi kolom perairan yang dapat mempengaruhi distribusi fitoplankton (Tomascik et al., 1997). Di Indonesia, suhu udara rata-rata pada siang hari di berbagai tempat berkisar antara 28.2-34.60C dan pada malam hari suhu berkisar antara 12.8-30.00C. Keadaan suhu tersebut

tergantung pada ketinggian tempat dari atas permukaan laut. Suhu air umumnya beberapa derajat lebih rendah dibanding suhu udara di sekitarnya. Secara umum, suhu air di perairan Indonesia sangat mendukung bagi pengembangan budidaya perikanan (Cholik et al, 2005).

Kisaran nilai rata-rata salinitas tertinggi 32-34 ppm terdapat pada Stasiun 2, 4, 7, 8, 9, 14 dan 15, sebaliknya kisaran nilai terendah 29-31 ppm terdapat di Stasiun 1, 3, 5, 6, 10, 11, 12 dan 13. Daerah dengan kisaran salinitas yang tinggi umumnya terdapat pada daerah yang terletak jauh dari daratan induk dan berada pada daerah yang tidak terlindung dari pengaruh gelombang dan arus yang masuk

(5)

ke Teluk Tomini, sebaliknya kisaran salinitas yang rendah cenderung lebih dekat dengan daratan Pulau Batudaka. Hal ini disebabkan daerah tersebut masih mendapat pengaruh dari aliran Sungai Taningkola dan Sungai Malintang terutama pada musim hujan, serta lokasi tersebut lebih terlindung dengan adanya pulau sebagai penghalang (khususnya stasiun 10, 11 dan 12).

Kedalaman perairan dimana proses fotosintesis sama dengan proses respirasi disebut kedalaman kompensasi. Kedalaman kompensasi biasanya terjadi pada saat cahaya di dalam kolom air hanya tinggal 1% dari seluruh intensitas cahaya yang mengalami penetrasi di permukaan air. Kedalaman kompensasi sangat dipengaruhi oleh kekeruhan dan keberadaan awan sehingga berfluktuasi secara harian dan musiman (Effendie 2003). Kecerahan merupakan ukuran transparansi perairan, yang ditemukan secara visual dengan menggunakan secchi disk. Nilai kecerahan dinyatakan dalam satuan meter, nilai ini sangat dipengaruhi oleh keadaan cuaca, waktu pengukuran, kekeruhan dan padatan tersuspensi serta ketelitian seseorang yang melakukan pengukuran. Pengukuran kecerahan sebaiknya dilakukan pada saat cuaca cerah (Effendie 2003). Untuk budidaya perikanan laut, kecerahan air yang dipersyaratkan adalah > 3 m (KMLH 2004).

5.1.2 Analisis Kesesuaian Pemanfaatan Spasial Gugus Pulau Kecil

Analisis kesesuaian lahan diarahkan pada peruntukan kawasan wisata bahari (selam dan snorkeling), perikanan tangkap yang dominan (ikan karang), pengembangan budidaya rumput laut. Selain karakteristik lingkungan perairan (suhu, pH, DO, kecerahan, salinitas) juga kedalaman, arus, kemiringan pantai dan substrak dasar perairan menjadi pembatas dalam penentuan kesesuaian berdasarkan matrik kesesuaian kegiatan wisata-perikanan di Gugus Pulau Batudaka.

5.1.2.1 Wisata Selam

Berdasarkan analisis spasial dengan menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG) dengan cara tumpang susun (overlay) diperoleh hasil analisis kesesuaian lokasi untuk wisata selam berdasarkan pengamatan pada empat titik waktu (Gambar 31) yakni peralihan musim barat (Oktober 2008), musim barat (Desember 2008), peralihan musim timur (Mei 2009) dan musim timur (Agustus

(6)
(7)

2009). Hasil overlay tersebut diperoleh luas wilayah perairan Gugus Pulau Batudaka berdasarkan kesesuaian lokasi untuk wisata selam, yaitu dari total luas sebesar 61 038 ha, maka 62-78 ha (sekitar 0.11%) digolongkan sangat sesuai, 893-927 ha (1.49%) dikategorikan sesuai, dan 60 047-60 067 ha (98.39%) dikategorikan tidak sesuai (Tabel 37). Rendahnya luasan kategori kelas sesuai (S1) karena adanya faktor pembatas yang tidak memenuhi sebagai kategori tersebut. Pembatas ini terutama adalah kecepatan arus yang memenuhi syarat wisata selam di perairan kawasan ini sehingga memberikan luasan yang berbeda tiap musimnya.

Tabel 37 Luasan perairan untuk kategori kesesuaian wisata selam

Bulan Sangat Sesuai Sesuai Luasan (ha) Tidak Sesuai

Oktober 63 927 60 048

Desember 63 916 60 059

Mei 77 894 60 067

Agustus 78 911 60 049

Sumber : Analisis Data (2010)

Analisis temporal pemanfaatan wisata selam menghasilkan luasan dengan kategori sesuai yang tidak jauh berbeda selama setahun. Hal ini berarti kawasan Gugus Pulau Batudaka untuk kegiatan wisata selam dapat dilakukan sepanjang tahun. Hasil analisis spasial (Gambar 32) diperoleh ruang yang sesuai untuk wisata selam, dicirikan dengan karakteristik sebagai berikut : kecerahan cukup optimal yaitu lebih dari 10 m. Tutupan komunitas karang diatas 75%, life form lebih dari 12 jenis ikan karang lebih dari 100 jenis, kecepatan arus cukup bagus yaitu berkisar antara 0–15 cm/dtk dan kedalaman cukup memadai yakni berkisar yakni berkisar 6–15 m. Lokasi penyelaman dengan kategori baik di Barrier Reef (Barat P. Batudaka), moderat antara lain di Atol Pasir Tengah, Goa-Goa, Taufan, Tj. Capatana, Bambu, Lindo dan kategori jelek di Donut Reef/ Sebelah selatan Selat Batudaka (Yusuf dan Allen 2001). Secara rinci kondisi karakteristik spot penyelaman tersebut tertera pada Lampiran 3.

(8)
(9)

5.1.2.2 Wisata Snorkeling

Hasil overlay untuk wisata snorkeling berdasarkan pengamatan pada empat titik waktu (Gambar 33) yakni peralihan musim barat (Oktober 2008), musim barat (Desember 2008), peralihan musim timur (Mei 2009) dan musim timur (Agustus 2009) diperoleh luas wilayah perairan berdasarkan kesesuaian lokasi untuk Wisata tersebut, yaitu dari total luas sebesar 61 038 ha, maka 73-627 ha (sekitar 0.42%) digolongkan sangat sesuai, 983-1516 ha (2.22%) sesuai, dan 59 384-59 479 ha (97.36%) dikategorikan tidak sesuai (Tabel 38). Rendahnya luasan kategori kelas sangat sesuai (S1) karena adanya faktor pembatas yang tidak memenuhi sebagai kategori tersebut. Pembatas ini antara lain adalah faktor kondisi kedalaman yang memenuhi syarat wisata snorkeling, lebar hamparan datar dan kondisi terumbu karang, di perairan Gugus Pulau Batudaka.

Tabel 38 Luasan perairan untuk kategori kesesuaian wisata snorkeling

Bulan Luasan (ha)

Sangat Sesuai Sesuai Tidak sesuai

Oktober 627 983 59 427

Desember 180 1 448 59 409

Mei 74 1 485 59 479

Agustus 137 1 516 59 385

Sumber : Analisis Data (2010)

Analisis temporal terhadap kegiatan wisata snorkeling menunjukkan bahwa luasan dengan kategori sesuai pada musim peralihan timur (Bulan Mei) paling rendah dibandingkan musim lainnya dan cenderung mulai musim barat sampai musim timur (Nopember-Agustus) luasannya lebih rendah dibanding musim peralihan barat (September-Oktober). Rendahnya luasan kategori sesuai pada Bulan Mei, selain dipengaruhi oleh arus, yakni arus pada kedalaman 5 m pada bulan Mei (Stasiun 6, 8 dan 10) sebesar 0.53-0.76 m/detik, ditunjang dengan curah hujan yang tinggi pada bulan April-Mei (BPS 2009). Hal ini berarti perlu pengaturan jumlah wisatawan yang melakukan kegiatan snorkeling untuk kenyamanan dan keamanan dalam beraktivitas wisata tersebut, disamping alternatif lain yang dapat ditawarkan yakni menikmati atraksi-atraksi lain seperti rekreasi pantai, berjemur, olah raga pantai, berjalan ke hutan sambil melihat burung khas Sulawesi.

(10)
(11)

Hasil analisis spasial diperoleh ruang yang sesuai untuk snorkeling, dicirikan dengan kecerahan cukup optimal yaitu lebih dari 10 m, tutupan komunitas karang di atas 75%, life form lebih dari 12 jenis, ikan karang lebih dari 100 jenis, kecepatan arus cukup bagus yaitu berkisar antara 0-15 cm/dtk, kedalaman cukup memadai yaitu berkisar antara 0-5 m dan lebar hamparan datar karang diatas 500 m. Luasan yang berbeda untuk kegiatan snorkeling kategori sesuai pada masing-masing musim sangat dipengaruhi oleh kecepatan arus yaitu pada musim timur sampai musim barat memiliki arus yang cukup kuat. Pola arus di perairan Gugus Pulau Batudaka selain dipengaruhi oleh pasut, juga dipengaruhi oleh arus utama di perairan Teluk Tomini. Pada musim timur, arus permukaan datang dari arah timur/tenggara (laut Seram) mengalir ke arah barat (bagian dalam teluk), sebaliknya pada musim barat, dari barat ke timur. Hasil pengukuran kecepatan arus permukaan pada stasiun biofisik di Gugus Pulau Batudaka sebesar 0-0.3 m/detik. Pola arah arus di Pulau Batudaka cenderung bergerak ke arah Barat Daya dengan kisaran sudut 85o-350o. Arus ini bergerak

dengan kecepatan rata-rata 0.654 m/detik (Bapedda Touna 2007). Menurut Wong (1991) parameter arus dalam kegiatan wisata bahari sangat penting karena pergerakan air laut secara kontinyu dapat membawa material dan membahayakan bagi penyelam dan perenang.

Kecerahan perairan merupakan syarat utama yang harus dipenuhi dalam kegiatan wisata snorkeling. Perairan yang jernih mengundang rasa keingintahuan yang tinggi untuk melihat keindahan bawah laut sehingga semakin cerah suatu perairan maka keindahan yang dapat dinikmati wisatawan juga akan semakin tinggi. Persentase penutupan komunitas karang, jenis life form, jenis ikan karang, kedalaman dan lebar hamparan dasar karang juga menjadi hal penting karena merupakan daya tarik tersendiri bagi wisatawan. Secara umum, kondisi karang, ikan laut hias di dasar laut sangat indah dan masih alami, hanya beberapa lokasi (seperti di Sebelah Timur P. Taufan) yang karangnya rusak akibat pengeboman oleh manusia. Kesesuaian kawasan untuk kegiatan snorkeling terdapat hampir di semua pesisir Pulau Batudaka (Gambar 34) dan sebaran kondisi penutupan terumbu karang tertera pada Gambar 35.

(12)
(13)

Gambar 35 Sebaran terumbu karang di Gugus Pulau Batudaka

Lokasi Snorkeling dengan kategori sangat baik di Barrier Reef (Barat P. Batudaka), P. Tambangoni, Taufan Selatan, kategori baik pada Taufan Barat, Taufan Timut, Atoll Pasir Tengah, Atoll Goa-Goa, Karangan Barat, Karangan Timur, kategori sedang antara lain di P. Taufan, Tj. Capatana, Bambu, Lindo dan Donut Reef (sebelah timur P. Batudaka).

5.1.2.3 Kesesuaian Penangkapan Ikan Karang

Hasil overlay untuk penangkapan ikan karang yang tertangkap di Gugus Pulau Batudaka sama berdasarkan pengamatan pada empat titik waktu yakni peralihan musim barat (Oktober 2008), musim barat (Desember 2008), peralihan musim timur (Mei 2009) dan musim timur (Agustus 2009). Kesesuaian lokasi untuk penangkapan ikan karang di wilayah Gugus Pulau Batudaka dari total luas perairan sebesar 61 038 ha, maka 407 ha (sekitar 0.67%) digolongkan sangat

-10,00 20,00 30,00 40,00 50,00 60,00 70,00 80,00 90,00 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 Persentase Tutupan Stasiun HC SC SP R DC S

(14)

sesuai, 40 493 ha (66.34%) dikategorikan sesuai, dan 20 138 ha (32.99%) dikategorikan tidak sesuai (Tabel 39).

Tabel 39 Luasan perairan untuk kategori kesesuaian penangkapan ikan karang

No. Kelas Kesesuaian Luas (ha)

1 Sangat Sesuai 407

2 Sesuai 40 493

3 Tidak Sesuai 20 138

Sumber : Analisis Data (2010)

Analisis temporal terhadap penangkapan ikan karang menunjukkan tidak ada perbedaan waktu untuk kegiatan tersebut, dengan kata lain dapat melakukan penangkapan sepanjang tahun (Gambar 36). Luasan kategori kelas sangat sesuai (S1) dipengaruhi oleh adanya faktor pembatas yang tidak memenuhi sebagai kategori tersebut. Pembatas ini antara lain adalah faktor kedalaman >5 m, topografi dasar perairan landai, kecerahan perairan >10 m, Jarang terjadi perubahan cuaca, kondisi terumbu karang baik, tidak ada pencemaran dan kelimpakan ikan target >200 individu/350 m2. Lokasi penangkapan ikan karang dengan kategori baik terdapat di reef yang mengelilingi Gugus Pulau Batudaka.

Terumbu karang merupakan ekosistem yang khas di suatu wilayah pesisir dan termasuk ekosistem dominan yang terdapat sebuah pulau kecil. Semakin rusaknya kondisi terumbu karang di perairan Indonesia dapat berdampak kemerosotan terhadap produksi ikan karang. Keberadaan ekosistem terumbu karang dapat menunjang berbagai kehidupan komponen organisme, salah satunya adalah komunitas ikan karang yang merupakan organisme target tangkapan bagi nelayan. Penurunan nilai tutupan karang menyebabkan suatu pengurangan yang drastis pada ikan karang yaitu menurunkan keanekaragaman ikan sekitar 15% baik di area tertutup maupun terbuka bagi penangkapan ikan (open to fishing) sehingga diindikasikan bahwa terumbu karang yang sehat dapat meningkatkan persentasi tutupan karang yang menjamin keberadaan ikan karang dan mendukung keanekaragaman ikan karang (Jones et al. 2004).

(15)
(16)

5.1.2.4 Kesesuaian Budidaya Rumput Laut

Hasil overlay untuk budidaya rumput laut berdasarkan pengamatan pada empat titik waktu (Gambar 37) yakni peralihan musim barat (Oktober 2008), musim barat (Desember 2008), peralihan musim timur (Mei 2009) dan musim timur (Agustus 2009) diperoleh luas wilayah perairan Gugus Pulau Batudaka berdasarkan kesesuaian lokasi untuk budidaya rumput laut, yaitu dari total luas sebesar 61 038 ha, maka tidak ada ruang yang digolongkan sangat sesuai (0%), 9 537-16 013 ha (9.42%) dikategorikan sesuai, dan 45 024-51 500 ha (90.58%) dikategorikan tidak sesuai (Tabel 40). Luasan kategori kelas sangat sesuai (S1) dipengaruhi oleh adanya faktor pembatas yang tidak memenuhi sebagai kategori tersebut. Pembatas ini antara lain adalah faktor kedalaman 3-15 m, arus 21-30 cm/detik, rumput laut dapat hidup baik pada dasar perairan yang stabil yang terdiri dari potongan karang mati bercampur dengan pasir karang, kecerahan 80-100%, suhu perairan berkisar 28-300C, salinitas 30-32 ‰ dan pH 8.2-8.7.

Tabel 40 Luasan perairan untuk kategori kesesuaian rumput laut

Bulan Luasan (ha)

Sangat Sesuai Sesuai Tidak sesuai

Oktober - 7 499 53 538

Desember - 4 513 56 524

Mei - - 61 038

Agustus - 5 242 55 796

Sumber : Analisis Data (2010)

Analisis temporal untuk kesesuaian pemanfaatan budidaya rumput laut menunjukkan kawasan Gugus Pulau Batudaka tidak ada yang sangat sesuai untuk kegiatan ini, namun kegiatan budidaya rumput laut dapat dilakukan mulai musim timur sampai musim barat, pada peralihan musim timur (Maret-Mei) dapat melakukan penanaman rumput laut untuk bibit saja. Budidaya rumput laut tidak dilakukan jika kondisi cuaca dan lingkungan yang tidak mendukung misalnya pada musim barat di mana curah hujan tinggi dan angin yang bergerak kencang sehingga mengakibatkan gelombang yang tinggi. Gelombang yang tinggi akan menyebabkan tempat budidaya rumput laut menjadi tidak aman karena tali-tali pengikat rumput laut putus dan thallus rumput laut patah .

Iklim di kawasan ini dipengaruhi oleh musim (Barat, Timur dan peralihan kedua musim tersebut), yakni perubahan cuaca setiap tahunnya yang dipengaruhi

(17)
(18)

oleh angin. Pada musim angin, menyebabkan gelombang besar sehingga membantasi pergerakan masyarakat dalam beraktivitas. Kondisi arus yang cukup kuat kurang menguntungkan secara teknis bagi kegiatan budidaya rumput laut.

Kemiringan pantai dari sisi Timur-Selatan Pulau Batudaka lebih curam dibandingkan dengan bagian utara pulau tersebut bagian barat dimana tidak ada pulau-pulau penghalang. Hal ini mempengaruhi besarnya arus dan gelombang yang masuk ke Teluk Tomini, yang penting dalam menentukan zona kesesuaian untuk rumput laut. Lokasi budidaya rumput laut harus terlindung dari arus (pergerakan air) dan hempasan ombak yang terlalu kuat, apabila hal ini terjadi maka arus dan ombak akan merusak dan menghanyutkan tanaman ini. Lokasi budidaya rumput laut dengan kategori baik terdapat di reef yang mengelilingi Gugus Pulau Batudaka. Pemilihan lokasi merupakan hal yang sangat menentukan berhasil tidaknya suatu usaha budidaya, yakni yang sesuai dengan ekobiologi (persyaratan tumbuh) rumput laut.

Kawasan sesuai (S2) dapat dilakukan kegiatan budidaya rumput laut di kawasan ini dicirikan dengan dijumpainya faktor pembatas yang cukup berarti untuk mempertahankan pengelolaan rumput laut secara berkelanjutan. Faktor pembatas tersebut adalah : (i) lokasi pada perairan dengan kondisi pergerakan arus dan gelombang pada musim tertentu (barat, timur maupun peralihan kedua musim tersebut) bersifat ekstrim, sehingga pada peralihan musim timur tidak dapat dilakukan usaha budidaya tersebut, (ii) kualitas/kesuburan perairan tidak cukup mendukung pertumbuhan rumput laut, sehingga pertumbuhan lebih lambat, (iii) lokasi yang cukup jauh dari pemukiman, sehingga memerlukan tambahan biaya untuk pengangkutan.

Faktor ekologi lainnya yang berpengaruh terhadap budidaya rumput laut, adalah: (1) Kedalaman air, pada surut terendah lahan budidaya masih terendam air minimal 50 cm, supaya rumput laut tidak mengalami kekeringan karena terkena sinar matahari secara langsung dan sekitar 210 cm saat pasang tinggi; (2) Salinitas perairan yang tinggi dengan kisaran 28-34‰ dengan nilai optimum 32‰ untuk itu

(19)

(20)

hindari lokasi dari sekitar muara sungai (Zatnika 1985); rumput laut dapat mentolerir salinitas antara 25.5-34.5 ‰ (De Castro dan Guanzon, 1993); (3) Suhu air yang sesuai untuk budidaya rumput laut berkisar 27-30°C (Zatnika 1985); (4) Kecerahan yang ideal dengan angka transparansi sekitar 1.5 m (Zatnika 1985); (7) Keasaman (pH), Kisaran pH antara 7-9; (6) Aman dari predator dan competitor, lokasi budidaya bukan merupakan tempat berkumpulnya predator rumput laut, seperti ikan, penyu, bulu babi, dan herbivor lainnya, sehingga kerusakan tanaman dapat ditekan, di samping juga dapat menghemat biaya pemeliharaan dan perlindungan terhadap hama tanaman; dan (7) Untuk keamanan dan keberlanjutan budidaya maka lokasi yang dipilih bukan merupakan tempat yang menjadi jalur pelayaran (Anggadiredja 2006).

Lokasi budidaya rumput laut di Gugus Pulau Batudaka (Gambar 38) berdasarkan empat waktu (musim barat, peralihan timur, timur dan peralihan barat) dengan kategori sesuai bersyarat, sehingga dalam pengusahaan budidaya rumput laut harus diperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan rumput laut dan pemanfaatan ruang laut untuk kegiatan lainnya agar usaha ini berhasil. Namun demikian, pembatas utama dalam usaha rumput laut di Gugus Pulau Batudaka adalah kecepatan arus. Rumput laut membutuhkan kecepatan arus yang tinggi (20-30 cm/detik), sedangkan kecepatan arus aktual di kawasan ini sebesar 0-30 cm/detik sehingga mempengaruhi lokasi yang sesuai untuk kegiatan tersebut.

5.1.2.5 Kawasan Wisata

Hasil overlay kegiatan wisata (selam dan snorkling) di Gugus Pulau Batudaka tertera pada Tabel 41 dan Gambar 39.

Tabel 41 Luasan untuk kegiatan wisata

No Kegiatan Wisata Luas (ha)

1 Selam 539

2 Snorkeling 3 892

3 Selam-Snorkeling 688

Sumber : Analisis Data (2010)

Analisis spasial pemanfataan ruang untuk kegiatan wisata snorkeling menempati ruang yang lebih besar dibanding selam dan sekitar 688 ha yang dapat

(21)

dilakukan untuk kedua kegiatan tersebut. Besarnya luasan tersebut sangat dipengaruhi kondisi sumberdaya alam terutama tutupan karang, jenis life form karang, jenis ikan karang dan parameter fisik seperti kecerahan, kedalaman, kecepatan arus.

Berdasarkan analisis temporal untuk kegiatan wisata di Gugus pulau Batudaka dapat dilakukan sepanjang tahun, dan tentu saja perlu memperhatikan kondisi cuaca untuk kenyamanan dan keamanan dalam beraktivitas wisata. Hal yang perlu dilakukan adalah meningkatkan atraksi yang ditawarkan pada wisatawan seperti menikmati atraksi-atraksi lain seperti rekreasi pantai, berjemur, olah raga pantai, berjalan ke hutan sambil melihat burung khas Sulawesi.

5.1.2.6 Kawasan Perikanan

Hasil overlay kegiatan perikanan (penangkapan ikan karang dan budidaya rumput laut) untuk Gugus Pulau Batudaka tertera pada Tabel 42 dan Gambar 40. Tabel 42 Luasan untuk kegiatan perikanan

No Kegiatan Perikanan Luas (ha)

1 Penangkapan ikan karang 3209

2 Budidaya rumput laut 38

3 Penangkapan ikan karang-Budidaya rumput laut 2824 Sumber : Analisis Data (2010)

Analisis spasial pemanfataan ruang untuk kegiatan penangkapan ikan karang menempati ruang yang lebih besar dibanding rumput laut dan sekitar 2 824 ha yang dapat dilakukan untuk kedua kegiatan tersebut. Besarnya luasan tersebut sangat dipengaruhi kondisi terumbu karang, kelimpahan ikan target, pencemaran dan parameter fisik lainnya. Berdasarkan analisis temporal untuk kegiatan penangkapan ikan karang di Gugus pulau Batudaka dapat dilakukan sepanjang tahun, dan tentu saja perlu memperhatikan kondisi cuaca untuk kenyamanan dan keamanan dalam kegiatan penangkapan. Pada musim peralihan timur tidak direkomendasian untuk melakukan kegiatan produksi budidaya rumput laut mengingat besarnya faktor pembatas dalam usaha tersebut.

(22)
(23)
(24)

5.1.2.7 Kawasan Wisata-Perikanan

Hasil overlay kegiatan wisata-perikanan untuk Gugus Pulau Batudaka tertera pada Tabel 43 dan Gambar 41.

Tabel 43 Luasan untuk kegiatan wisata-perikanan

No Kegiatan Luas (ha)

1 Selam 30

2 Snorkeling 196

3 Wisata-ikan karang 688

4 Ikan karang 2 021

5 Rumput laut 38

6 Perikanan (ikan karang-rumput laut) 2 173

7 Selam-ikan karang 509

8 Snorkeling ikan karang 753

9 Snorkeling-rumput laut 2

10 Snorkeling-perikanan 2 942

Sumber : Analisis Data (2010)

Analisis spasial seperti tabel diatas, terlihat bahwa pemanfataan ruang bersama untuk kegiatan wisata-perikanan terutama untuk selam-snorkeling-penangkapan ikan karang. Hal tersebut karena ketiga kegiatan tersebut memanfaatkan ekosistem terumbu karang yang ada di Gugus Pulau Batudaka. Pemanfaatan ruang tersebut sangat penting berkaitan dengan penataan lokasi pemanfaatan kawasan berdasarkan daya dukung dan kapasitas kawasan sehingga diharapkan kegiatan yang ada baik wisata dan perikanan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

5.1.3 Analisis Eksisting Zonasi Kawasan Konservasi Gugus Pulau Batudaka

Gugus Pulau Batudaka masuk dalam kawasan Taman Nasional Kepulauan Togean (TNKT) dan berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan No. P.56/Menhut-II/2006 disebutkan bahwa zona taman nasional adalah wilayah di dalam kawasan taman nasional yang dibedakan menurut fungsi dan kondisi ekologis, sosial, ekonomi dan budaya masyarakat, terdiri atas : Zona Inti, Zona Rimba, Zona Perlindungan Bahari untuk wilayah perairan; Zona Pemanfaatan; Zona lain, antara lain : Zona Tradisional, Zona Rehabilitasi, Zona Religi, budaya dan sejarah serta Zona Khusus.

(25)
(26)

Arahan zonasi kawasan konservasi Gugus Pulau Batudaka yang terdapat dalam Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kepulauan Togean (Bappeda Touna 2007 (Gambar 42) dan secara rinci untuk Gugus Pulau Batudaka tertera pada Gambar 43 dengan peruntukkan zonasi tersebut, meliputi :

a Zona Inti untuk perlindungan ekosistem, pengawetan flora dan fauna khas beserta habitatnya yang peka terhadap gangguan dan perubahan, sumber plasma nutfah dari jenis tumbuhan dan satwa liar, untuk kepentingan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan, penunjang budidaya. Zona ini memiliki luas sebesar 489 ha di daratan dan 639 ha di perairan laut.

b Zona Rimba dan Perlindungan Bahari untuk kegiatan pengawetan dan pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan alam bagi kepentingan penelitian, pendidikan konservasi, wisata terbatas, habitat satwa migran dan menunjang budidaya serta mendukung zona inti. Luasan Zona Rimba sebesar 6 900 ha dan Zona Perlindungan Bahari sebesar 8 679 ha

c Zona Pemanfaatan untuk pengembangan pariwisata alam dan rekreasi, jasa lingkungan, pendidikan, penelitian dan pengembangan yang menunjang pemanfaatan, kegiatan penunjang budidaya. Zona ini memiliki luas sebesar 177 ha di daratan dan 1 074 ha di perairan laut.

d Zona Tradisional untuk pemanfaatan potensi tertentu taman nasional oleh masyarakat setempat secara lestari melalui pengaturan pemanfaatan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Zona ini memiliki luas sebesar 15 558 ha di daratan dan 4 058 ha di perairan laut.

e Zona Rehabilitasi untuk mengembalikan ekosistem kawasan yang rusak menjadi atau mendekati kondisi ekosistem alamiahnya. Zona ini memiliki luas sebesar 637 ha di daratan dan 4 454 ha di perairan laut.

f Zona Khusus untuk kepentingan aktivitas kelompok masyarakat yang tinggal di wilayah tersebut sebelum ditunjuk/ditetapkan sebagai taman nasional dan sarana penunjang kehidupannya, serta kepentingan yang tidak dapat dihindari berupa sarana telekomunikasi, fasilitas transportasi dan listrik. Zona ini memiliki luas sebesar 370 ha (Tabel 44).

(27)

Tabel 44 Luasan rencana zonasi Gugus Pulau Batudaka berdasarkan RDTR Kepulauan Togean Tahun 2007

Zona Luasan (ha) Luasan di Darat (ha) Luasan di Perairan (ha)

Zona Inti 1 128 489 639

Zona Khusus 370 370 0

Zona Pemanfaatan 1 251 177 1 074

Zona Perlindungan Bahari 8 679 0 8 679

Zona Rehabilitasi 5 091 637 4 454

Zona Rimba 6 900 6 830 70

Zona Tradisional 19 616 15 558 4 058

Total 43 036 24 061 18 975

Sumber : Analisis Data (2010)

Pengelolaan zonasi dilakukan dengan memperhatikan berbagai pemanfaatan berdasarkan tujuan dan sasaran perlindungan seperti yang dirumuskan dalam Rencana Detail Tata Ruang Kepulauan Togean/RDTRKP Tahun 2007 yakni kegiatan-kegiatan apa saja yang dapat dikembangkan di kawasan tersebut. Berdasarkan analiss kesesuaian pemanfaatan spasial di Gugus Pulau Batudaka maka dilakukan rezonasi pemanfaatan wisata dan perikanan (overlay pemanfatan wisata (Selam dan Snorkeling), kegiatan perikanan (penangkapan ikan karang dan budidaya rumput laut), wisata-perikanan dengan rencana zonasi RDTRKP) tertera pada Tabel 45 dan Gambar 44-46.

Tabel 45 Luasan kesesuaian kegiatan wisata-perikanan dalam zonasi RDTR Kepulauan Togean

No Zona Luas (ha) Kesesuaian Wisata

Luas (ha)

Kesesuaian

Perikanan Luas (ha)

1 Zona Inti 639 -- - - -

-- - - -

2 Zona Pemanfaatan

1 051

Selam 0.2 Ikan Karang 855.7 Snorkeling 20.4 Rumput Laut 0.0 Selam-Snorkeling 2.0 I Karang-Rumput L 44.7 3

Zona Perlindungan

Bahari 8 679

Selam - Ikan Karang -

Snorkeling - Rumput Laut -

Selam-Snorkeling - I Karang-Rumput L - 4 Zona Rehabilitasi

4 454

Selam - Ikan Karang -

Snorkeling - Rumput Laut -

Selam-Snorkeling - I Karang-Rumput L - 5 Zona Tradisional

4 058

Selam - Ikan Karang 758.1 Snorkeling - Rumput Laut 0.0 Selam-Snorkeling - I Karang-Rumput L 862.4 Kesesuaian

Pemanfaatan

Selam 102.5 Ikan Karang 460.2 Snorkeling 276.0 Rumput Laut 19.0 Selam-Snorkeling 91.3 I Karang-Rumput L -

Total 18 881 492.5 3,000.3

(28)
(29)
(30)

Zona inti Gugus Pulau Batudaka untuk perairannya seluas 639 ha dengan kegiatan yang boleh dilakukan di dalam Zona Inti hanyalah kegiatan penelitian, pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan dan menunjang budidaya (Peraturan Menteri Kehutanan No. P 56/Menhut-II /2006). Berdasarkan PP No.60/Tahun 2007) untuk mencegah kehilangan sumberdaya laut yang lebih parah, maka ditempuh upaya perlindungan (konservasi) yaitu dengan menyisihkan lokasi-lokasi yang memiliki potensi keanekaragaman jenis hewan maupun tumbuhan, keunikan dan gejala alam, beserta ekosistemnya menjadi beberapa zona antara lain zona inti (daerah larang ambil), yakni zona dengan lokasi tersebut tidak dapat lagi dimanfaatkan secara umum, karena zona ini menjadi lokasi ekologis yang mensuplai energi dan plasma nutfah ke wilayah sekitarnya. Upaya ini selain melindungi sumberdaya yang masih tersisa, juga memberikan kesempatan bagi ekosistem untuk pulih dari kerusakan.

Luasan Zona Pemanfaatan sebesar 1 051 ha dengan kegiatan wisata seluas 22.6 ha (2.15% Zona Pemanfaatan) dan kegiatan perikanan seluas 900.4 ha (85.67% Zona Pemanfaatan). Kegiatan yang dapat dilakukan di zona ini yakni pengusahaan pariwisata alam, pembangunan sarana dan prasarana pengelolaan, penelitian, pendidikan, wisata alam dan kegiatan dengan memanfaatkan zona ini secara optimal dengan cara-cara yang legal, misalnya untuk kegiatan budidaya laut, kegiatan penangkapan ikan, dan pemanfatan kondisi/jasa lingkungan.

Luasan Zona Perlindungan Bahari sebesar 8679 ha. Kegiatan yang dapat dilakukan yaitu pembangunan sarana dan prasarana sepanjang untuk kepentingan penelitian, pendidikan, dan wisata alam terbatas. Luasan Zona Rehabilitasi sebesar 4 454 ha. Zona ini berfungsi untuk mengembalikan ekosistem kawasan yang rusak menjadi atau mendekati kondisi ekosistem alamiahnya. Alokasi penentuan Zona Rehabilitasi selain mempertimbangkan ekosistem yang direhabilitasi, juga melibatkan partisipasi masyarakat.

Luasan Zona Tradisional sebesar 4 058 ha yang sesuai dengan kegiatan perikanan seluas 1 621 ha (39.93% Zona Tradisional). Kegiatan pemanfaatan potensi dan kondisi sumberdaya alam sesuai dengan kesepakatan dan ketentuan yang berlaku. Hasil overlay kesesuaian pemanfaatan wisata-perikanan dengan zonasi RDTR Kepulauan Togean untuk kegiatan perikanan (penangkapan ikan

(31)
(32)

karang dan budidaya rumput laut) mempunyai proporsi paling besar dibanding wisata dalam pemanfaatan ruang perairan di Gugus Pulau Batudaka (Tabel 46 dan Gambar 48). Tabel 46 Persentase kesesuaian kegiatan wisata-perikanan dalam zonasi RDTR

Kepulauan Togean

Zona Luasan Zona (%) Wisata (%) Perikanan (%)

Inti 100.00 0 0

Pemanfaatan 12.18 2.15 85.67

Perlindungan Bahari 100.00 0 0

Rehabilitasi 100.00 0 0

Tradisional 60.07 0 39.93

Sumber : Analisis Data (2011)

Rencana zonasi RDTRKP kurang tersosialisasi dengan baik, sehingga umumnya masyarakat Gugus Pulau Batudaka tidak mengetahui adanya pembagian zona-zona tersebut khususnya di kawasan perairannya. Bedasarkan hasil analisis diatas, zonasi dalam RDTRKP perlu dilakukan kajian ulang, khususnya untuk zona rehabilitasi sesuai fungsinya untuk mengembalikan fungsi ekosistem secara alami, namun sebagian besar merupakan wilayah yang dekat pemukiman, alur pelayaran, daerah penangkapan tradisional, dan dimanfaatkan untuk kegiatan wisata. Arahan Rencana pengelolaan zonasi wilayah pesisir Kepulauan Togean mencakup tahapan kebijakan pengaturan (Bappeda Touna 2007) sebagai berikut :

1 Pemanfaatan dan pengusahaan zonasi wilayah perairan pesisir dilaksanakan melalui pemberian izin pemanfaatan dan Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3). Izin pemanfaatan diberikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan kewenangan masing-masing instansi terkait.

2 Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3) diberikan di kawasan perairan budidaya atau zona perairan pemanfaatan umum kecuali yang telah diatur secara tersendiri.

3 Pengaturan pengelolaan wilayah pesisir dimulai dari perencanaan, pemanfaatan, pelaksanaan, pengendalian, pengawasan, pengakuan hak dan pemberdayaan masyarakat, kewenangan, kelembagaan, sampai pencegahan dan penyelesaian konflik.

Pengelolaan wilayah pesisir dilakukan dengan memperhatikan keterkaitan ekologi, keterkaitan ekonomi, dan keterkaitan sosial budaya dalam satu bioekoregion dengan pulau

(33)
(34)

induk atau pulau lain sebagai pusat pertumbuhan ekonomi sehingga zonasi ini dapat diakomodir pemerintah daerah Kabupaten Tojo Una-Una.

Terumbu karang merupakan daya tarik utama bagi wisatawan dalam melakukan aktivitas wisata bahari, terutama menyelam dan snorkeling, serta merupakan lokasi penangkapan ikan bagi masyarakat setempat. Berdasarkan analisis kesesuaian maupun secara aktual, kegiatan wisata dan perikanan maka harus menjadi perhatian dalam rangka pengelolaaan zonasi wilayah pesisir Gugus Pulau Batudaka. Melalui peta hasil zonasi ini dapat diperkirakan kegiatan apa saja yang dapat dilakukan pada zona-zona tersebut terutama dalam rangka mengembangkan wilayah Gugus Pulau Batudaka. Pemanfaatan yang ada saat ini belum mengakomodasi bentuk pengendalian pemanfaatan ruang sesuai zonasi, yakni pada zona-zona yang seharusnya membutuhkan pengendalian justru dimanfaatkan untuk kegiatan wisata, perikanan, dan beberapa areal mangrove yang terkonversi menjadi pemukiman, dan tambak. Hal tersebut sangat berbahaya untuk waktu mendatang apabila tidak segera dilakukan pengendalian pemanfaatan ruang terutama untuk zona-zona yang seharusnya menjadi daerah konservasi/ perlindungan laut. Jika merujuk pada hasil analisis, perlu dilakukan upaya pengendalian pemanfaatan ruang sehingga bahaya yang mungkin terjadi di waktu yang akan datang dapat diatasi sedini mungkin. Selanjutnya untuk lebih memperdalam materi zonasi perlu dilakukan konsultasi publik, yakni masyarakat berperan dalam melakukan evaluasi terhadap hasil zonasi dari analisis yang telah dilakukan pada daerah yang bermasalah dengan pemanfaatan ruang pesisir PPK.

Penggunaan ruang/wilayah yang multiuse menimbulkan kompetisi, konflik, dan perbedaan kepentingan, sehingga dengan penzonasian yang berfungsi untuk menclusterkan kegiatan yang sesuai dan memisahkan yang tidak sesuai. Pengalokasian ruang laut belum menjadi kebijakan dalam perencanaan pembangunan, dan penzonaan ini didasarkan aktivitas dan fungsi-fungsinya. Pemanfaatan yang direkomendasikan oleh RDTR Kepulauan Togean kurang memperhatikan kesesuaian lahan dalam pemanfaatan ruang wilayah pesisir di Gugus Pulau Batudaka. Dengan melihat hasil komparasi ini sebaiknya perlu dilakukan revisi RDTR Kepulauan Togean dengan beberapa pertimbangan terutama terkait dengan perlindungan dan daya dukung lingkungan di pesisir Gugus Pulau Batudaka.

(35)
(36)

5.2 Analisis Daya Dukung Pemanfaatan Gugus Pulau Kecil

Analisis daya dukung ini menggunakan Ecological Footprint Analysis, ditujukan untuk pengembangan wisata dan perikanan dengan memanfaatkan sumberdaya pesisir dan laut Gugus Pulau Batudaka secara lestari berdasarkan luas total kawasan yang sesuai untuk kegiatan tersebut. Analisis Tapak Ekologis merupakan konsep untuk mencermati pengaruh (impact) manusia terhadap cadangan kekayaan dan kemampuan dukung bumi (terutama SDA yang terbarukan) yang masih tersisa, dan seberapa besar pengaruh konsumsi manusia terhadap ketersediaannya (Wackernagel 2001). Biocapaciy/BC digunakan untuk melihat seberapa besar pengaruh manusia maupun sekelompok manusia terhadap kapasitas kekayaan sumberdaya alam terbarukan di bumi atau disebut juga areal potensial secara ekologis di Gugus Pulau Batudaka.

.

5.2.1 Daya Dukung Wisata

Total ecological footprint/EF tiap wisatawan yang mengunjungi Gugus Pulau Batudaka terdiri dari jumlah agregat komponen built-up land, fosil energy land, food dan fibre consumption (meliputi pasture land, arable land, forest land dan sea space) dengan rata-rata waktu tinggal selama 5 hari. Asal wisatawan terbesar yang berkunjung di Gugus Pulau Batudaka pada Tahun 2008 berasal dari Indonesia, Perancis dan Belanda. Komponen dari EF tersebut tertera pada tabel di bawah ini. Tabel 47 Built-up land footprint (EF lahan buatan)

Kategori ha/cap/tahun Persentase (%)

Jalan 0.00122 6.18

Pelabuhan 0.00003 0.14

Akomodasi 0.00008 0.39 Aktivitas 0.01847 93.29

Total Footprint 0.01980 100.00

Sumber : Analisis Data (2011)

Berdasarkan tabel diatas, diperoleh bahwa rata-rata pemanfaatan lahan untuk wisata sebesar 185 m2 tiap wisatawan/tahun. Hal ini berarti built-up land yang dihasilkan oleh aktivitas wisata sebesar 93.29%, artinya sumberdaya dan ruang untuk

(37)

aktivitas wisatawan yang sedikit tiap tahunnya sehingga permintaan built-up perkapita menjadi besar. Footprint dari komponen food and fibre consumption sebesar 3 007 m2 yang dimanfaatkan setiap wisatawan untuk konsumsi sandang dan pangan selama berwisata di Gugus Pulau Batudaka (Tabel 48).

Tabel 48 Footprint konsumsi sandang dan pangan

Asal Wisatawan Cropland Pasture Forest Fishing Ground (ha/cap/th) (ha/cap/th) (ha/cap/th) (ha/cap/th)

Indonesia 0.0379 0.0000 0.0182 0.0800

Perancis 0.0970 0.1280 0.0591 0.0850

Belanda 0.0924 -0.0120 0.0583 0.0000

Rata – rata 0.0758 0.0387 0.0452 0.0550

Area dalam satuan global 0.1992 0.0193 0.0601 0.022

Total EF sandang dan pangan 0.3007

Sumber : Analisis Data (2011)

Footprint konsumsi sandang dan pangan dengan rata-rata kunjungan wisatawan selama 5 hari adalah 0.3007 ha atau 3 007 m2 lahan yang dimanfaatkan untuk konsumsi sandang dan pangan selama berwisata di Gugus Pulau Batudaka. Secara ringkas keenam komponen utama ruang produktif dalam perhitungan EF tertera pada Tabel 49.

Tabel 49 Total ecological footprint (EF) dan biocapacity (BC) Gugus Pulau Batudaka

Tipe Komponen

Eqivalen Faktor

(gha/ha) Footprint (ha/cap/th)

Area dalam Ruang global

(gha/cap/th) Existing area (ha) YF Biocapacity (ha) Biocapacity (gha)

Energy Land 1.33 0.0001 0.0001 2.38 1.30 3.09 4.11 Built-up land 2.64 0.0198 0.0523 19.54 1.00 19.54 51.60 Cropland 2.64 0.0758 0.2000 453.28 1.70 770.58 2034.34 pasture land 0.50 0.0387 0.0193 173.30 2.20 381.26 190.63 forest land 1.33 0.0452 0.0601 1839.60 1.30 2391.47 3180.66 Seaspace 0.40 0.0550 0.0220 2610.00 0.60 1566.00 626.40

Total EF tiap wisatawan 0.2345 0.3538 5098.10 5131.96 6087.74 Total EF semua wisatawan 2 498.38 3 769.63 0.48 0.57

Daya Dukung 21 887

Sumber : Analisis Data (2011)

Hasil perhitungan EF menunjukkan bahwa rata-rata perjalanan wisatawan ke Gugus Pulau Batudaka memerlukan 0.23 ha lahan atau sekitar 2 345 m2 untuk

(38)

keperluan sumberdaya bagi wisatawan ke daerah tersebut dan dilihat dari sudut pandang global, maka perjalanan ke Gugus Pulau Batudaka memerlukan lebih dari 0.48 ha rata-rata ruang dunia untuk keperluan sumberdaya. Perhitungan Biocapacity menunjukkan bahwa komponen forest land memberikan kontribusi yang sangat besar bagi ketersediaan lahan produktif Gugus Pulau Batudaka sebesar 2 391 ha, sedangkan komponen energy land memberikan kontribusi yang sangat kecil 3.09 ha. Hal ini disebabkan wilayah daratan lebih luas dibandingkan terumbu karangnya dan kecilnya ketersediaan energi berhubungan dengan jumlah penduduk yang relatif sedikit di wilayah tersebut. BC untuk tiap wisatawan secara lokal 0.48 ha/kapita dan 0.57 gha/kapita, berdasarkan laporan WWF (2009) BC yang tersedia untuk Indonesia sebesar 1.4 gha/kapita dan secara global 2.1 gha/kapita,dengan demikian kondisi BC Gugus Pulau Batudaka sekitar sepertiga kali BC nasional dan global, kondisi kegiatan wisata di Gugus Pulau Batudaka mengalami yang disebut sebagai ecological reserve artinya area produktif secara biologi atau area potensial secara ekologis masih cukup untuk menampung jumlah wisatawan yang datang berwisata.

Pendekatan TEF ini menghasilkan jumlah wisatawan minimal berdasarkan perhitungan input-output sumberdaya (kebutuhan akan sumberdaya di pulau) baik di lahan daratan dan perairan per tahun dengan dengan rata – rata lama kunjungan wisata 5 hari, dan bila penyebaran wisatawan berdasarkan musim puncak kedatangan wisatawan (Disbudpar 2008) maka Gugus Pulau Batudaka pada bulan Agustus dapat menampung sekitar 1 933 orang/bulan, namun fasilitas akomodasi yang ada hanya dapat menampung sekitar 200 orang/bulan. Jika menggunakan pendekatan kehati-hatian (precautionary approach) dalam pengelolaan sumberdaya, maka pendekatan TEF yang digunakan untuk menghitung daya dukung wisata di Gugus Pulau Batudaka dikaitkan dengan penentuan kebijakan pengelolaan, banyaknya wisatawan yang diperkenankan mengunjungi kawasan Gugus Pulau Batudaka setiap tahun harus mengacu pada hasil pendekatan TEF.

Daya dukung (CC) pada tourism dapat dibedakan dua cara yaitu (1) melihat kemampuan fisik wilayah tujuan wisata untuk menerima kunjungan sebelum dampak negatif timbul (biophysical component) dan (2) menemukan level dimana arus turis

(39)

m ( 4 a 0 T h s y E d f C t s mengalami p (behaviour) 47, disajikan analisis GIS Tota 0.2345 ha/k Tahun 2009 ha. Bila di selam, snork yakni sebesa EF wisata le dimana sum fungsi eko Capacity/TC tanpa menim saat yang sam

penurunan a turis itu sen n gambaran (KS). Gambar 4 l Ef tiap wi apita. Jika j 9 sebanyak 6 ibandingkan keling dan r ar 277 ha ma ebih kecil da mberdaya me ologisnya. D CC) didefini mbulkan dam ma dan tidak akibat keterb ndiri (behavio luasan EF w 47 Perbandi isatawan ya jumlah turis 628 orang (D dengan lua rekreasi pant aka kondisi i ari luasan wis emiliki kesem Daya duku sikan sebag mpak tidak k mengurang batasan kapa oral compon wisatawan d ingan EF wi ang mengunj s yang meng Disbudpar 2 asan wisata tai di Gugus ini disebut u sata kategori mpatan untu ung di da ai maksimum dapat pulih gi kepuasan asitas yang nent) (Savari dengan luasa isatawan dan jungi Gugus gunjungi Gu 2010) maka dengan kate s Pulau Batu undershoot a i sesuai sehi uk memperb alam wisata m jumlah tu dari ekosis kunjungan ( muncul dar iades 2000). an kesesuaia n KS wisata s Pulau Bat ugus Pulau B luasan EF s egori sesuai udaka (hasil artinya pema ingga ada rua aiki dan me a (Touri uris yang da stem/lingkun (Davis and T ri tingkah la . Pada Gamb an wisata ha tudaka sebes Batudaka pa sebesar 138. i untuk wisa l analisis GI anfaatan rua ang dan wak empertahank ism Carryi apat ditoleran ngan dan pa Tisdell 1996) aku bar asil sar ada 95 ata IS) ang ktu kan ing nsi ada ).

(40)

5.2.2 Daya Dukung Perikanan

Kegiatan pemanfaatan sumberdaya harus selalu memperhatikan daya dukung lingkungan untuk keberlanjutannya. Penilaian keberlanjutan dari kegiatan pemanfaatan sumberdaya alam dapat digunakan Analisis Ruang Ekologis (Ecological Footprint Analysis/EFA), merupakan suatu konsep daya dukung yang menjelaskan hubungan didasarkan pada tingkat pemanfaatan terhadap suatu sumberdaya dan luas lahan yang tersedia/biocapacity (Adrianto dan Matsuda 2004). Pendekatan ini dapat diketahui berapa maksimal penggunaan sumberdaya dengan luas lahan yang tersedia sehingga keberadaan ekosistem tetap lestari (Adrianto 2006).

Analisis footprint di suatu wilayah penangkapan ikan dapat dihitung berdasarkan hasil tangkapan maksimum berbagai jenis ikan (Gulland 1991). Hasil tangkapan tersebut dikonversi dengan produktivitas primer berdasarkan trophic level berbagai jenis ikan yang tertangkap (Ewing et al. 2008; WWF 2008). Indikator Ecological footprint disebut juga indikator ecospace didefinisikan untuk menjawab seberapa besar area produktif dari daratan dan perairan (sebagai sumberdaya) bagi keberlajutan hidup manusia secara langsung untuk standar kehidupan dan dengan teknologi (Wackernegel 1996). Hal tersebut diasumsikan bahwa terdapat suatu ukuran populasi yang optimal yang dapat didukung oleh sumberdaya tersebut (Adrianto dan Matsuda 2004).

Produksi biomassa ikan di Gugus Batudaka Kecamatan Una-Una di dominasi oleh ikan tongkol, ikan lolosi dan ikan kakap (Tabel 14), sementara di Kabupaten Tojo Una-Una didominasi ikan tongkol, ikan kembung, ikan layar, ikan selar dan ikan teri (Lampiran 1) Hasil perhitungan untuk indikator EF sistem perikanan di Gugus Pulau Batudaka Kecamatan Una (EF Lokal) dan Kabupaten Tojo Una-Una (EF Regional) untuk periode 2005-2008 (Tabel 50) dan dan pehitungannya dapat dilihat pada Lampiran 4 dan 5.

(41)

Tabel 50 Kebutuhan ruang ekologis sistem akuatik lokal dan regional

Karakteristik 2005 2006 2007 2008

Kecamatan Una-Una

PPR Coastal and Coral

System (kg)) 1 794 782 1 419 475 1 513 960 1 726 988 PPR Tropical Shelves (kg 132 131 131 672 101 287 109 591

Jumlah Penduduk (jiwa) 12 287 12476 12811 13 106

EF (km2/kapita)

0.05 0.04 0.04 0.04

Kebutuhan ruang (km2)

5 938 4 727 4 998 5 694

Cakupan (kali) 20 16 17 19

Kabupaten Tojo Una-Una

PPR Coastal and Coral

System (ton) 116 196 108 625 148 920 155 573 PPR Tropical Shelves (ton) 20 706 19 406 117 74.0 17 665 Jumlah Penduduk (jiwa) 125 691 126 918 129 708 131 283 EF (km2/kapita)

0.3 0.3 0.4 0.4

Kebutuhan ruang (km2)

3 981 3 722 4 936 5 217

Cakupan (kali) 70 65 86 91

Keterangan : Luas Kecamatan Una-Una 298 km2, Kabupaten Una-Una 5 722 km2

Sumber : Analisis data (2010)

EF lokal rata-rata sebesar 0.04 ha/kapita atau membutuhkan area seluas 53.39 ha atau sekitar 19 kali luas daratan Kecamatan Una-Una, sementara EF regional sebesar 0.3 ha/kapita atau membutuhkan area seluas 4 464.02 ha atau sekitar 78 kali luas daratan Kabupaten Tojo Una-Una. Rendahnya kebutuhan ruang lokal disebabkan kecilnya jumlah produksi perikanan Kecamatan Una-Una, hal ini berhubunan erat dengan alat tangkap yang digunakan hanya berupa pancing, jarring ingsang, bubu dan bagan, sedangkan untuk alat tangkap yang digunakan di Kabupaten Tojo Una-Una lebih beragam.

Produksi perikanan/jumlah tangkapan, populasi penduduk sangat mempengaruhi besarnya kebutuhan ruang ekologis bagi kegiatan perikanan. Berdasarkan analisis ruang ekologis pemanfaatan sumberdaya pesisir untuk perikanan di Gugus Pulau Batudaka, dapat disimpulkan bahwa kebutuhan ruang perairan sekitar 53.39 ha dengan pemanfaatan wilayah perairan untuk perikanan yang rendah yaitu sebesar 0.04 ha/kapita (skala lokal) dan 4 464.02 ha dengan pemanfaatan wilayah

(42)

perairan untuk perikanan sekitar 0.3 ha/kapita untuk skala regional. Hal ini menunjukkan bahwa masih terdapat ruang ekologis yang dapat dilakukan untuk kegiatan pemanfaatan perikanan dan merupakan indikator keberlanjutan bagi kegiatan perikanan di kawasan tersebut.

Tabel 51 Perbandingan kebutuhan ruang ekologis untuk perikanan antara Gugus Pulau Batudaka dengan daerah lain

Negara/Daerah/Pulau EF untuk Perikanan Kebutuhan Area

Sumberdaya Global(a) 0.30 2.3 x 106

Hongkong (b) 0.20 14 220 km2

Guernsey UK(c) 1.41 84 000 km2

Japan (d) 1.90 -

Yoron Islands Japan (e) 0.014 87 168 km2

Gugus Pulau Batudaka 0.0004 5 339 km2

Kabupaten Tojo Una-Una 0.003 446 402 km2

sumber : a) WWF (2002) ; b) Warren-Rhodes and Koenig (2001); c) Chambers et al. (2000); d) Wada (1999); e) Adrianto and Matsuda (2004)

Dibandingkan dengan daerah lain, EF perikanan Gugus Pulau Batudaka Kecamatan Una-Una maupun Kabupaten Tojo Una-Una lebih kecil dibanding Hongkong (0.2 km2/kapita), Guernsey UK (1.41 km2/kapita) maupun Yoron Island Japan (0.014 km2/kapita). Tabel 49 mempresentasikan perbandingan EE untuk perikanan lokal mapun regional dengan beberapa daerah lain di dunia. EF merupakan penilaian total wilayah bioproduktif yang dibutuhkan untuk keberlanjutan di bumi yang menggambarkan aktivitas manusia dengan menghitung tiga fungsi ekosistem meliputi suplai sumberdaya, absorbs limbah dan ruang untuk infrastruktur (Haberl et al. 2004). Pada Gambar 48, disajikan gambaran luasan EF perikanan dengan luasan kesesuaian penangkapan ikan karang hasil analisis GIS (KS)

(43)

P 2 d ( p p m P b o l d e l EF p Pulau Batud 2009) maka dengan kate (hasil analisi pemanfaatan penangkapan memiliki ke Pengelolaan beberapa fa oseanografi, lainnya. Hal dalam mene ekosistem s lahan. Gambar 48 perikanan lo daka Kecama luasan EF p egori sesuai is GIS) yakn n ruang EF n ikan kar esempatan un n wilayah pe aktor antara , memiliki k l tersebut me entukan prio setempat dan 8 Perbandin okal sebesar atan Una-Un perikanan s untuk pena ni sebesar 84 F perikanan ang sehingg ntuk mempe esisir dan pu a lain kon arateristik su erupakan ba oritas peman n kemampu ngan EF peri r 0.04 ha/ka na pada Tah sebesar 5.5 h angkapan ik 45 ha maka k lebih keci ga ada rua erbaiki dan ulau-pulau k ndisi wilaya umberdaya y ahan pertimb nfaatan sum uan daya du ikanan dan K apita. Jika hun 2009 seb ha. Bila dib kan karang d kondisi ini d l dari luasa ang dan wa mempertaha kecil sangat ah yang d yang berbed bangan bagi mberdaya yan ukung lingk KS perikanan jumlah pen banyak 1310 bandingkan di Gugus Pu disebut under an kategori aktu dimana ankan fungs penting, dis dipengaruhi da antara satu para pengam ng sesuai d kungan serta n nduduk Gug 06 orang (BP dengan luas ulau Batuda rshoot artin sesuai unt a sumberda si ekologisny sebabkan ol oleh kond u dengan ya mbil kebijak dengan kond a kemampu gus PS san aka nya tuk aya ya. leh disi ang kan disi uan

(44)

5.3 Analisis HANPP (Human Appropriation of Net Primary Production) 5.3.1 Profil Metabolik

Profil metabolik masyarakat lokal dan regional dapat digambarkan secara statistik melalui pertambahan dan kepadatan penduduk (Tabel 52).

Tabel 52 Parameter demografi Kecamatan Una-Una dan Kabupaten Tojo Una-Una

Parameter Lokal Regional Unit

Jumlah Penduduk 2008 13 106 131 283 Jiwa

Kepadatan Penduduk 2008 42 23 Jiwa/km2

Rumah Tangga (RT) 2008 3 547 33 872 RT

Sebaran rata-rata Rumah Tangga 4 4 Jiwa/RT

Sex Rasio Laki-laki/Perempuan 104 104

Tingkat Ketergantungan penduduk (Usia Non Produktif terhadap Usia Produktif)

67.60 70.24 %

Pertumbuhan Penduduk Tahun 2001-2008 2.0 2.39 %/Tahun

Tingkat Kelahiran penduduk Tahun 2008 0.013 0.0086

Tingkat Kematian Penduduk Tahun 2008 0.005 0.0034

Sumber : BPS (2002-2009)

Hasil registrasi penduduk tahun 2001-2008, penduduk Kecamatan Una-Una peningkatan 2%/tahun, sedangkan Kabupaten Tojo Una -Una mengalami peningkatan 2.39% setiap tahunnya, dengan tingkat kelahiran dan kematian yang lebih rendah dibanding tingkat pertumbuhan penduduk. Salah satu pendorong tingginya pertumbuhan penduduk adalah arus migrasi masuk yang cukup signifikan, sebagian besar adalah pendatang yang mencari nafkah di daerah ini.

Produksi hasil tangkapan nelayan di laut tidak terlepas daripada keadaan alam, yang berkaitan dengan musim penangkapan ikan. Hasil tangkapan melimpah pada musim puncak dan pada musim panceklik, dimana keadaan alam ditandai dengan angin kencang (musim timur dan barat) hasil tangkapan menurun bahkan tidak sedikit nelayan tidak mendapatkan hasil. Laju tangkap dan estimasi produksi beberapa alat tangkap yang beroperasi di perairan Kecamatan Una-Una (Tabel 53). Berdasarkan jumlah alat tangkap yang ada di kecamatan Una-Una maka estimasi produksi perikanan pada Tahun 2009 sebesar 1 698.67 ton (DKP Kecamatan Una-Una 2010).

(45)

Produksi perikanan laut Kecamatan Una-Una pada Tahun 2008 sebesar 1 123 ton (BPS Touna 2009), sedangkan menurut Bappeda Touna (2009) sebesar 1 759.68 ton. Tabel 53 Laju tangkap dan estimasi produksi beberapa alat tangkap yang beroperasi di perairan Kecamatan Una-Una Tahun 2009

No Alat Tangkap Jumlah

(unit)

Trip/tahun Laju Tangkap rata-rata (kg/trip) Estimasi Produksi rata-rata (ton/tahun) 1 Pancing 317 96 10 304.32 2 Jaring Ingsang 211 120 50 1266.00 3 Bagan 11 96 100 105.60 4 Bubu 158 48 3 22.75

Sumber : DKP UPTD Kecamatan Una-Una (2010)

Hal ini menunjukkan bahwa teknologi yang digunakan masih tergolong sederhana dan didominasi penggunaan perahu tanpa motor sehingga berdampak pada hasil penangkapan yang tidak maksimal. Pada tingkat regional dimana hasil tangkapan nelayan tidak semua didaratkan ke TPI-TPI Kabupaten Tojo Una-Una namun lebih banyak didaratkan ke TPI di Gorontalo, Poso maupun Pagimana Kabupaten Luwuk. Jumlah TPI di Kabupaten Tojo Una-Una sebanyak 3 buah yang bertempat di Kecamatan Ampana Kota, Kecamatan Tojo dan Kecamatan Walea Kepulauan tetapi dari ketiga TPI tersebut belum ada yang difungsikan secara maksimal. Luas area dan produksi perikanan menurut kecamatan di Kabupaten Tojo Una-Una tertera pada Tabel 54.

Tabel 54 Luas area dan produksi perikanan menurut kecamatan di Kabupaten Tojo Una-Una Tahun 2008

NO Kecamatan

Perairan Umum Perairan Kolam Budidaya Tambak Perikanan Laut

Luas

(Ha) Produksi (Ton) Luas (Ha) Produksi (Ton) Luas (Ha) Produksi (Kg) Produksi (Ton)

1 Tojo Barat 0 0 0 0 4.10 400 6 383 2 Tojo 5.10 0 7.50 0.60 120.00 1 300 1 901 3 Ulubongka 0 0 13.02 0.40 0 0 953 4 Ampana Tete 0.70 0 3 0.30 0 0 2 817 5 Ampana Kota 0 0 19.15 1.20 0 0 55 099 6 Una-una 10.40 1.40 0 0 20.90 2 800 1 123 7 Togean 0 0 0 0 0 0 2 083 8 Walea Kepulauan 0 0 0 0 0 0 852 9 Walea Besar 0 0 0 0 0 0 558

Kab. Tojo Unauna 16.20 1.40 42.67 2.50 145.00 4 500 71 773

(46)

Produksi perikanan laut terbesar terdapat di Kecamatan Ampana Kota yaitu sebesar 55 099 ton, yang disusul oleh Kecamatan Tojo Barat yaitu sebesar 6 383 ton, artinya sebagian besar hasil tangkapan nelayan dari kecamatan kepulauan di Teluk Tomini didaratkan di kecamatan tersebut. Kecamatan Una-Una memberikan kontribusi sebesar 1.56% dari seluruh produksi perikanan laut di Kabupaten Tojo Una-Una.

Jenis ikan dominan yang dtangkap nelayan pada kedalaman kurang dari atau sama dengan 10 m adalah kelompok ikan demersal dan ikan karang, sedangkan pada kedalaman lebih dari 10 m, jenis ikan dominan yang ditangkap adalah kelompok pelagis dan beberapa jenis ikan pada kelompok ikan demersal dan Karang. Berdasarkan jumlah hasil tangkapan ikan, jumlah tangkapan tertinggi per tahun diperoleh nelayan di wilayah pulau yang mengoperasikan alat tangkap purse seine dan bagan yakni untuk jenis ikan pelagis kecil, sedangkan jumlah tangkapan terendah diperoleh nelayan yang mengoperasikan alat tangkap bubu dan pancing ulur untuk ikan karang dan demersal. Produksi ikan yang tertangkap di Kabupaten Tojo Una-Una tertera pada Lampiran 2. Jumlah hasil tangkapan ikan demersal tersebut tertera pada Tabel 55.

Tabel 55 Hasil tangkapan ikan demersal di perairan Kabupaten Tojo Una-Una (ton)

NO JENIS IKAN TAHUN

2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 1 Bawal Hitam 1.36 1.20 1.20 1.80 8.00 10.00 1.28 2 Bawal Putih 1.20 1.00 1.00 2.80 13.50 11.50 0.92 3 Kakap 56.80 49.50 52.50 15.10 26.70 23.60 48.24 4 Kakap merah 53.76 46.80 49.80 16.10 34.70 41.00 44.73 5 Kerapu Sunu 73.44 63.90 67.90 101.60 464.20 507.00 62.54 6 Kurisi 8.40 7.30 8.30 5.80 22.10 15.60 7.50 7 Sunglir 18.56 16.20 17.20 7.90 24.00 15.00 15.46 8 Tenggiri 23.36 20.30 21.30 22.40 96.00 50.00 19.14 9 Tenggiri Papan 20.24 17.60 18.60 8.90 28.20 15.00 16.66

Sumber : DKP Prov Sulteng (2010)

Data hasil perikanan tangkap ikan demersal menunjukkan bahwa kerapu sunu dan kakap merupakan jenis yang dominan penting dengan kecenderungan yang fluktuatif dari tahun ke tahun.

(47)

Upaya pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap pada perairan Kabupaten Tojo Una-Una meliputi total jam dan hari kerja melaut, jumlah trip per bulan dan per tahun, jumlah hasil tangkapan per trip dan dalam tahun. Jumlah jam kerja melaut pada setiap trip melaut berkisar antara 7-24 jam kerja, sedangkan hari kerja melaut yang diperlukan pada setiap trip penangkapan ikan berkisar 1.0-2 hari. Trip penangkapan ikan sepanjang tahun selalu berbeda di setiap musim, namun antara nelayan di pesisir dengan pulau hampir tidak ada perbedaan dalam jumlah jam dan hari melaut. Musim penangkapan ikan di wilayah penelitian terbagi atas dua musim yakni musim puncak dan paceklik. Musim puncak (surplus ikan) umumnya berlangsung selama 8-10 bulan (September/Oktober sampai April/Mei). Jumlah trip penangkapan ikan tertinggi pada musim puncak dilakukan oleh unit usaha purse seine yakni 25 trip per bulan. Musim paceklik (kekurangan ikan) umumnya berlangsung selama 2-4 bulan (Mei/Juni sampai Agustus/September). Jumlah trip penangkapan ikan pada musim paceklik pada setiap unit usaha penangkapan yakni berkisar antara 2-12 trip per bulan. Trip terendah terjadi pada unit usaha Bagan antara 2 - 5 trip per bulan (Laapo et al. 2006). Tinggi rendahnya jumlah trip penangkapan ikan, selain dipengaruhi oleh keadaan musim (perubahan iklim dan cuaca), juga dipengaruhi oleh harga ikan, hari kerja melaut, sarana penangkapan dan ketersediaan tenaga kerja melaut. Jam dan hari kerja melaut yang lebih lama menyebabkan jumlah trip per bulan dan tahun menjadi lebih kecil jumlahnya.

Pada kondisi iklim dan cuaca yang tidak kondusif dan tidak menentu, hasil tangkapan menurun, nelayan lebih memilih untuk tidak melaut oleh karena biaya yang dikeluarkan akan lebih besar daripada hasil penjualan ikan. Pada kondisi yang sama, harga ikan mengalami peningkatan, sehingga ada insentif bagi nelayan untuk melaut terutama bagi nelayan yang mengusahakan alat tangkap dengan wilayah perairan maksimum 4 mil. Ketersediaan sarana penangkapan, tenaga kerja melaut dan sarana penunjang berpengaruh pada peningkatan aktivitas dan mobilitas melaut secara intensif.

(48)

5.3.2 HANPP (Human Appropriation of Net Primary Productvity)

Tiga langkah dalam menghitung HANPP perikanan atau disebut pula sebagai Exosomatic energy di Gugus Pulau Batudaka Kecamatan Una-Una (tingkat lokal) dan Kabupaten Una-Una (tingkat regional) yaitu (1) menghitung potensi kebutuhan produktivitas primer (2) Produktivitas aktual (produksi tiap spesies ikan (volume of landing) (DKP Prov. Sulteng 2005-2008); (3) kandungan energi tiap spesies ikan (Adrianto 2004), perhitungannya secara lengkap tertera pada Lampiran 5. Hasil analisis HANPP tersebut tertera pada Tabel 56 dan Gambar 50.

Tabel 56 Perhitungan exosomatic energy lokal dan regional Tahun Produksi Aktual/NPP PPR (kJ) HANPP (kJ) Colonizing Efficiency Rasio HANPP NPP Lokal (kJ) (kJ) (kJ) (%) 2005 159 367 245 9 010 184 221 8 850 816 976 1.80 55.54 2006 141 073 720 7 146 220 211 7 005 146 491 2.01 49.66 2007 132 943 895 7 570 285 074 7 437 341 179 1.79 55.94 2008 138 459 890 8 559 664 732 8 421 204 842 1.64 60.82 Rata-rata 142 961 188 8 071 588 559 7 928 627 372 1.81 55.49 Regional (MJ) (MJ) (MJ) (%) 2005 31 623 085 1 164 740 859 1 133 117 774 2.79 35.83 2006 33 942 042 1 251 164 735 1 217 222 693 2.79 35.86 2007 31 815 755 1 338 174 994 1 306 359 239 2.44 41.06 2008 36 261 576 2 183 193 633 2 146 932 057 1.69 59.21 Rata-rata 33 410 614 1 484 318 555 1 450 907 941 2.43 42.99

Sumber : Data Primer Terolah (2010)

Hasil perhitungan exosomatic energy pada tingkat lokal (kecamatan) bahwa rata-rata exosomatic energy perikanan dari Tahun 2005-2008 sebesar 7.93x109 kJ dengan efisiensi koloni ikan yang tertangkap sebesar 1.81 dan rasio HANPP-NPP sebesar 55.50, sedangkan tingkat regional sebesar 1.45x1012 kJ dengan efisiensi

koloni ikan yang tertangkap sebesar 2.43 dan rasio HANPP-NPP sebesar 42.99. Hasil ini menunjukkan bahwa dalam memenuhi kebutuhan produktivitas primer yang merupakan sebuah proses energi dari luar pelaku sebagai penggabungan faktor manusia dan alam untuk nelayan lokal mempunyai nilai efisiensi yang rendah, artinya

(49)

mereka memerlukan energi yang lebih besar dalam memenuhi kebutuhan produktivitas primernya dibandingkan nelayan regional. Pada ekosistem global, rasio HANPP dengan NPP potensial sekitar 40 di seluruh dunia (Martines-Alier 2005); HANPP menghitung secara luas dominasi manusia atau kolonisasi sosial ekonomi dari suatu ekosistem, tingginya rasio tersebut menggambarkan dominasi manusia terhadap ekosistem dimana pengurangan produktivitas aktual (NPP) yang besar sebagai indikasi kurang efisiennya dalam pengelolaan sumberdaya perikanan (Haberl et al. 2004). Perbandingan HANPP lokal dan regional tertera pada Gambar 49.

Gambar 49 HANPP perikanan lokal dan regional

HANPP perikanan besarnya tergantung dari banyak hasil tangkapan tiap jenis ikan dan kandungan energi tiap energi ikan. Gambar diatas mengindikasikan secara proporsional bila dibandingkan kebutuhan produktivitas primer potensial (NPPo)

dengan HANPP maka untuk tingkat regional lebih tinggi dibandingkan tingkat lokal, sehingga pengaturan pengelolaan pemanfaatan sumberdaya lebih ditekankan pada penentuan alokasi sumberdaya, peningkatan SDM perikanan, peningkatan teknologi, pengaturan yang mengendalikan kegiatan perikanan dengan tujuan untuk menjamin keberlanjutan produksi dari sumberdaya dan tercapainya tujuan perikanan yang lainnya sesuai yang diamanatkan dalam CCRF atau Kode Etik Perikanan yang Bertanggung (FAO 1995).

(50)

5.4 Analisis Keberkelanjutan Mata Pencaharian (Coastal Livelihood System Analysis-CLSA)

Analisis keberlanjutan Mata Pencaharian bagi masyarakat Pesisir dikenal pula sebagai Mata Pencaharian Alternatif (MPA) merupakan usaha pengganti yang mempunyai potensi untuk dikembangkan dalam meningkatkan pendapatan masyarakat. Pengembangan MPA berkelanjutan memegang peranan penting dalam menjamin kesejahteraan dan ekonomi masyarakat Pesisir Gugus Pulau Batudaka. Ada lima sumber kehidupan yang dimiliki oleh setiap individu atau unit sosial di

dalam upayanya mengembangkan kehidupannya disebut sebagai aset kapital yakni:

modal alam, manusia, keuangan, fisik, dan sosial. Keberhasilan penghidupan masyarakat bertumpu pada nilai pelayanan yang mengalir dari stok modal total tersebut. Lima bentuk modal ini tidak memiliki karakteristik yang sama. Modal alami merupakan elemen-elemen biofisik seperti air, udara, tanah, sinar matahari, hutan, mineral, dan lain-lain. Aset-aset yang terjadi secara alami ini bisa diperbaharui. Modal manusia merupakan faktor yang sangat penting, karena manusia sekaligus merupakan objek dan subjek pembangunan. Modal keuangan adalah media pertukaran dan dengan demikian ini merupakan fungsi sentral ekonomi pasar. Modal fisik adalah aset buatan manusia seperti perumahan, jalan, dan bentuk modal fisik lainnya atau modal keras yang membentuk lingkungan. Modal sosial adalah produktif yang memungkinkan pencapaian tujuan

tertentu yang tidak mungkin dicapai tanpa itu. Dalam kerangka Sustainable Livelihood,

modal sosial memerlukan jaringan-jaringan sosial dan hubungan-hubungan dengan manusia (Coleman 1990).

5.4.1 Kondisi Sumberdaya Alam dan Mata Pencaharian Masyarakat

Sumberdaya alam pesisir dan laut yang terkandung di kawasan Gugus Pulau Batudaka cukup beragam sehingga wilayah ini menjadi sumber penciptaan usaha wisata dan perikanan yang dapat dikembangkan. Potensi tersebut, secara garis besar di bagi menjadi tiga kelompok, yaitu (a) sumberdaya yang dapat pulih (renewable recources) seperti sumberdaya perikanan baik tangkap maupun budidaya, (b) sumberdaya tidak dapat pulih (unrenewable recources) seperti tambang, (c) jasa-jasa lingkungan seperti wisata dan transportasi.

(51)

(1) Perikanan Tangkap

Perikanan tangkap merupakan kegiatan yang menggunakan teknologi untuk mendapatkan sumberdaya ikan laut. Berdasarkan tujuan penangkapannya maka perikanan tangkap dapat dibagi menjadi kegiatan penangkapan sumberdaya ikan pelagis dan ikan demersal (termasuk ikan karang). Perikanan laut baik tangkap maupun budidaya di pesisir dan laut adalah jenis pengusahaan sumberdaya dan mejadi sumber penghidupan masyarakat. Permintaan sumberdaya ikan hidup, terutama ikan demersal dari pasar internasional memicu meningkatkan aktivitas pemanfaatan melalui teknologi budidaya. Selain aspek ekonomi, kegiatan ini juga bermanfaat untuk melestarikan sumberdaya perikanan.

Kawasan ini merupakan salah satu wilayah sumber penangkapan yang kaya akan keanekaragaman hayati (biodiversity) ikan-ikan karang, karena kawasan ini merupakan wilayah coral reef triangle dengan biodiversity terumbu karang terbesar di dunia. Potensi perairan kawasan ini masih cukup besar utuk penyediaan bahan baku industri perikanan, baik yang dikonsumsi di dalam negeri maupun yang diekspor ke luar negeri. Potensi perikanan terdiri dari berbagai jenis produk penangkapan ikan laut, budidaya pantai dan ikan tambak. Penangkapan ikan laut sebagian besar berupa ikan cakalang, tongkol, kakap, lolosi, kerapu, teri, teripang, gurita, dan beberapa jenis ikan kering.

Penduduk Gugus Pulau Batudaka Kecamatan Una-Una sebanyak 82% merupakan keluarga pertanian dan keluarga yang bekerja di subsektor perikanan laut (nelayan pengusaha dan buruh) sebanyak 95.23% (Bappeda 2009), secara rinci dapat dilihat pada Gambar 50.

(2) Perikanan Budidaya

Luas daratan Gugus Pulau Batudaka sekiar 300.75 km2 dan luas perairannya 61.038 ha, dimana pantai-pantainya (termasuk perairan pesisir) dapat digunakan untuk kegiatan dapat digunakan untuk berbagai macam kegiatan seperti budidaya perikanan di perairan dangkal/marikultur (budidaya alga : rumput laut, budidaya kerang-kerangan, teripang, sistem karamba baik jarring tancap (KJT), Jaring Apung

Gambar

Tabel 36  Kontribusi variabel terhadap sumbu utama karakteristik perairan                     Gugus Pulau Batudaka
Gambar 33   Analisis temporal kesesuaian wisata snorkeling berdasarkan empat waktu
Gambar 34   Hasil overlay wisata snorkeling di Gugus Pulau Batudaka
Gambar 36   Hasil overlay kesesuaian penangkapan ikan karang di Gugus Pulau Batudaka
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kegiatan pembelajaran Indikator Pencapaian Kompetensi Penilaian Alokasi Waktu Sumber Belajar Teknik Bentuk Instrumen Contoh Instrumen 2.1 Mengelompok- kan sifat larutan asam,

Bahkan, dengan peran pemerintah yang sangat dominan, badan perwakilan rakyat dan partai politik tidak berfungsi dengan baik dan lebih merupakan alat

 Jumlah wisatawan mancanegara (wisman) yang datang ke Sumatera Barat melalui Bandara Internasional Minangkabau (BIM) dan Pelabuhan Teluk Bayur bulan Maret 2014

Menetapkan : KEPUTUSAN PRESIDEN TENTANG RENCANA AKSI NASIONAL PENGHAPUSAN EKSPLOITASI SEKSUAL KOMERSIAL ANAK.

uttama selama beberapa hari saat peneliti datang ke rumah dari partisipan. Segala infonnasi yang diperoleh dalam penelitian ini, terlebih identitas

Setelah mempelajari dan mengerti alur dari database yang diberikan, penulis memulai untuk membuat query untuk menggabungkan beberapa table dalam database

Perbedaan respon genotipe padi beras merah yang diujikan dapat disebabkan karena perbedaan gen ketahanan yang terdapat pada tanaman dan diakibatkan oleh

• Sumber daya perusahaan mengubah aliran informasi di dalam dan antara organisasi bisnis , karena sebuah sistem informasi antarorganisasi (IOS) menggunakan teknologi jaringan