BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anak Usia Dini
2.1.1 Definisi Anak Usia Dini
Anak usia dini adalah anak yang belum memasuki lembaga pendidikan formal dan cenderung tinggal dirumah atau mengikuti kegiatan pra-sekolah, kelompok bermain, atau taman penitipan anak. Anak usia dini berumur 0-8 tahun (Nurmalitasari, 2015). Menurut Nurjannah (2017) anak usia dini adalah anak yang berada pada rentang 0-6 tahun berdasarkan Undang-Undang (2003) dan menurut pakar pendidikan ialah 0- 8 tahun. Sedangkan, berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (2014) anak usia dini adalah saat dimana anak sebagian besar menghabiskan waktunya untuk bermain.
Anak pada usia ini mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang sangat pesat, merupakan individu yang unik, memiliki karakteristik tersendiri sesuai tahapan usianya dan stimulasi yang diberikan memiliki peran penting untuk masa perkembangan berikutnya (Khairi, 2018). Anak pada usia dini termasuk dalam kategori The Golden Age atau masa keemasan karena fase atau tahap pada usia dini bersifat fundamental bagi perkembangan anak dan terjadi peluang yang cukup besar bagi pembentukan dan pengemban pribadi anak (Masdudi, 2016). Pada masa usia keemasan ini, anak menjadi lebih aktif, kreatif, dan mempunyai keingintahuan yang tinggi. Orang disekitarnya pun perlu memberikan perhatian yang lebih karena akan membentuk karakter yang unggul, sehingga ketika anak kelak menjadi dewasa maka hidupnya akan lebih terarah, terbentuk jiwa yang tangguh, dan jiwa yang mulia (Hermoyo, 2014).
2.1.2 Karakteristik Perkembangan Anak Usia Dini
Secara umum, karakteristik anak usia dini kelompokkan menjadi usia 0-1 tahun, usia 2-3 tahun, dan usia 4-6 tahun, menurut Mulyasa (2012, dalam Khairi, 2018) adalah sebagai berikut :
1. Usia 0-1 tahun memiliki perkembangan fisik yang sangat cepat dibandingkan usia selanjutnya. Anak mempelajari keterampilan motorik seperti berguling, duduk, merangkak, berjalan, dan berdiri.
Anak mempelajari keterampilan menggunakan panca indra dan mempelajari komunikasi sosial.
2. Usia 2-3 tahun anak sangat aktif dalam mengeksplorasi sesuatu yang ada disekitarnya. Anak mulai mengembangkan kemampuan berbahasa, dan mulai mengembangkan emosi.
3. Usia 4-6 tahun anak mulai aktif dalam melakukan berbagai kegiatan seperti memanjat, berlari, dan melompat. Anak mulai mampu memahami pembicaraan orang lain dan mengungkapkan isi pikiranyya dalam batas tertentu, seperti meniru dan mengulangi perkataan orang lain. Kognitif atau daya pikir anak berkembang pesat dan terlihat ketika anak sering menanyakan segala sesuatu. Bentuk permainan berubah menjadi individu walaupun masih bermain bersama dengan teman sebayanya.
Selain dalam pengelompokkan usia, karakteristik perkembangan anak usia dini juga dapat dilihat dari ciri-ciri sebagai berikut :
1. Perkembangan Jasmani (Fisik dan Motorik). Perkembangan motorik anak tergantung pada kematangan otot dan saraf. Jika perkembangan motorik anak sudah baik, anak akan cenderung melakukan gerakan-
gerakan yang gesit, lincah, atau kelebihan gerak. Otot-otot tubuh pada anak mulai berkembang dan mampu melakukan berbagai jenis keterampilan. Semakin bertambah usia, maka bagian tubuh pun akan semakin bertambah atau berubah.
2. Perkembangan Kognitif. Percepatan perkembangan kognitif pada anak terjadi di lima tahun awal, kemudian makin melambat, dan akhirnya konstan pada akhir remaja.
3. Perkembangan Bahasa. Semakin anak berkembang dan tumbuh besar, produksi bahasa juga akan meningkat. Anak yang awal mulanya hanya mampu melakukan ekspresi pada wajah atau gerak-geriknya, semakin usia bertambah maka ekspresi dilakukan dengan cara berkomunikasi dengan lingkungan lebih luas dengan ungkapan lebih kaya.
4. Perkembangan Berbicara. Kemampuan berbicara pada anak akan berkembang seiring bertambahnya usia.
Usia Kemampuan
Bayi Baru
Lahir Menangis
1 bulan Senyum dan bergumam
3 bulan Transisi antara bergumam dan mengoceh
5 bulan Menempatkan lidah diantara bibir untuk menghasilkan suara sesapan
7 bulan Mengoceh
9 bulan Kata “Dada” atau “Mama” digunakan secara kurang tepat
10 bulan Kata “Dada” atau “Mama” digunakan secara tepat 11 bulan Satu kata
12 bulan Dua kata 13 bulan Tiga kata
14 bulan Empat-enam kata
15 bulan Jargon yang kurang matang, seperti bergumam dan bukan kata-kata yang tepat
18 bulan 7-20 kata
19 bulan Jargon mulai matang 20 bulan Kombinasi dua kata 22 bulan 50 kata
24 bulan Kalimat dua kata dan kata ganti digunakan belum tepat
5. Perkembangan Emosi. Emosi orang dewasa dengan anak berbeda. Ciri khas dari emosi anak ialah tampak kuat, sering nampak, labil, bersifat sementara, dan diketahui dari perilaku sang anak.
6. Perkembangan Sosial. Perkembangan emosi anak diikuti dengan perkembangan sosialnya. Kelompok sosial akan memberikan pengaruh yang besar pada masa kanak-kanak dan remaja awal.
7. Perkembangan Moral. Anak mulai mengetahui aturan-aturan yang telah ditentukan dan mulai patuh terhadap aturan yang berlaku.
8. Perkembangan Spiritual. Perkembangan ini dipengaruhi oleh orang tua, pembiasaan dan lingkungan, serta makanan yang dimakan terutama bagi yang beragama Islam.
2.2 Konsep Perkembangan Sosial dan Emosi 2.2.1 Definisi Perkembangan
Perkembangan atau dalam bahasa Inggris disebut development memiliki makna yakni perubahan yang terjadi dari masa konsepsi dan terus berlangsung di sepanjang kehidupan manusia yang berorientasi pada proses mental, fisik, emosi, kognitif, dan sosial (Siti, 2017). Menurut Yusuf (2009, dalam Haryadi dan Muslikah, 2012) perkembangan adalah suatu proses yang dialami setiap individu secara bertahap
menuju kematangan atau kedewasaan yang berlangsung secara teratur, progresif, dan berkesinambungan dengan baik terhadap psikis maupun fisik.
Perkembangan yang terjadi tidak dapat diukur dengan mudah karena bersifat kompleks, tetapi perkembangan dapat dilihat dari gejala perubahan yang terjadi (Haryadi & Muslikah, 2012). Setiap tahapan perkembangan yang dilalui manusia terutama pada masa anak-anak akan sangat mempengaruhi fisik maupun psikologis karena pada masa anak-anak merupakan pondasi menurut Halimah dan Kawuryan (2010, dalam Wulandari, Ichsan, dan Romadhon, 2016).
Maka dari itu, dapat disimpulkan bahwa perkembangan merupakan perubahan yang terjadi pada psikis maupun psikologis yang tidak dapat diukur melainkan hanya dapat dilihat gejalanya pada setiap individu dan akan tetap terus berlanjut di sepanjang kehidupan manusia.
2.2.2 Definisi Perkembangan Sosial
Perkembangan sosial merupakan perkembangan untuk menyesuaikan diri dengan keadaan dan aturan yang berlaku di lingkungan masyarakat atau dengan kata lain perkembangan sosial adalah proses penyesuaian diri terhadap moral, norma, dan tradisi pada suatu kelompok menurut Yahro (2009, dalam Nurmalitasari, 2015).
Sedangkan, perkembangan sosial pada anak adalah bagaimana cara anak usia dini dapat berinteraksi terhadap orang tua, teman sebaya, serta lingkungan masyarakat agar dapat menyesuaikan dirinya dengan baik sesuai yang diharapkan (Mayar, 2013).
Awal mula perkembangan sosial pada anak tumbuh dari hubungannya dengan orang tua, anggota keluarga yang lain, atau pengasuh dirumah ketika anak sedang berinteraksi seperti bermain dan tanpa disadari anak sudah mulai belajar bersosialisasi dengan orang lain selain dirinya sendiri. Kemudian, interaksi akan semakin luas dengan tetangga dan lanjut ke lingkungan sekolah. Perkembangan sosial yang terjadi sangat
dipengaruhi oleh perlakuan maupun bimbingan orang tua terhadap anak (Nurmalitasari, 2015).
Dapat disimpulkan bahwa perkembangan sosial adalah suatu proses menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar, dilakukan dengan cara berinteraksi kepada orang lain selain dirinya sendiri.
2.2.3 Definisi Perkembangan Emosi
Menurut Rahman (2002, dalam Mulyani 2014) emosi merupakan letupan- letupan dari perasaan yang muncul di dalam diri seseorang. Sedangkan, menurut Shapiro (dalam Suryadi, 2010) emosi adalah kejiwaan manusia dan hanya dapat dikaji melalui letupan, gejala, dan fenomena seperti sedih, benci, gembira, dan gelisah. Emosi juga merupakan suatu perasaan yang ada di dalam diri kita, dapat berupa perasaan senang atau tidak senang, perasaan buruk atau baik (Suryani, 2019).
Fakhrudin (2010, dalam Mulyani, 2014) menjelaskan bahwa perkembangan emosi adalah suatu proses yang berjalan secara perlahan dan anak mempelajarinya secara bertahap. Kemampuan anak dalam memahami, mengatur, atau mengontrol perasaan adalah hal yang penting dalam perkembangan di masa awal anak-anak menurut Dennis (2006, dalam Papalia & Feldman, 2013). Menurut Laible dan Thompson (1998, dalam Papalia & Feldman, 2013) anak yang dapat mengatur perasaannya maka dapat mengarahkan perilakunya dan mampu memberikan kemampuan mereka ketika berteman menurut Denham, et al. (2003, dalam Papalia &
Feldman, 2013).
Maka dari itu, dapat disimpulkan bahwa perkembangan emosi adalah suatu proses anak mempelajari, memahami, mengatur, serta mengontrol perasaan yang ada di dalam dirinya.
2.2.4 Definisi Perkembangan Sosial Emosional
Perkembangan sosial emosional adalah kemampuan seorang anak untuk mengalami, mengelola, dan mengungkapkan berbagai macam emosi positif dan negatif, mengembangkan hubungan yang dekat dengan teman-temannya dan orang yang lebih dewasa darinya, dan secara aktif menjelajahi dan mempelajari lingkungan sekitar (Pantoppidan, Niss, Pejtersen, Julian, & Væver, 2017). Sedangkan menurut Yates, et al. (2008, dalam Halle & Churchill, 2016) perkembangan sosial emosional adalah berkembangnya anak dalam membangun hubungan aman dan dekat dengan orang dewasa dan teman sebaya, mengalami, mengatur, dan mengekspresikan emosi sesuai dengan sosial dan budaya, serta menjelajahi dan mempelajari komunitas, kehidupan keluarga, dan budaya sekitarnya. Perkembangan sosial emosional juga dapat diartikan sebagai proses yang dialami anak untuk merespon lingkungannya (Suryani, 2019). Akan tetapi menurut Nurjannah (2017) perkembangan sosial emosional tidak dapat dipisahkan, jika membahas emosi maka akan berkesinambungan dengan perkembangan sosial anak. Sebab perkembangan sosial emosional merupakan kemampuan anak dalam membina hubungan dengan orang lain sehingga menciptakan pengalaman baru dalam lingkungan sosial yang akan mereka hadapi.
Maka dari penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa perkembangan sosial emosional merupakan kemampuan yang berkembang dan berkesinambungan antara sosial dan emosi seorang anak dalam hal mengungkapkan dan mengelola perasaan mereka sesuai dengan lingkungan sosial dan kebudayaan sekitar yang didapatkan dari pengalaman yang dipelajari dilingkungannya.
2.2.5 Karakteristik Perilaku Sosial
Karakteristik perilaku sosial menurut Hurlock (1978, dalam Rohayati, 2013) terbagi menjadi dua, yakni perilaku sosial dan perilaku tidak sosial. Perilaku yang termasuk dalam perilaku sosial adalah :
1. Kerjasama. Seorang anak bermain, kerjakan tugas, dan atau belajar bersama dengan anak yang lain.
2. Persaingan. Persaingan akan mendorong anak agar berusaha sebaik- baiknya. Hal tersebut akan menambah pengalaman bersosialisasi bagi mereka.
3. Kemurahan hati. Kemurahan hati pada anak akan terlihat ketika anak bersedia untuk berbagi kepada orang lain.
4. Hasrat akan penerimaan sosial. Ketika hasrat seorang diri pada anak untuk diterima kuat, maka akan mendorong anak agar dapat menyesuaikan dirinya dengan tuntutan sosial disekitarnya.
5. Simpati. Anak akan mengerti rasa simpati saat sudah pernah mengalami dan memahami kehilangan dan akan menunjukkan rasa tersebut kepada orang lain yang berada di keadaan yang sama.
6. Empati. Melekatkan diri sendiri kedalam posisi sebagai orang lain dan menghayati posisi serta pengalaman orang tersebut.
7. Ramah. Sikap ramah akan ditunjukkan ketika anak mampu melakukan sesuatu dengan menunjukkan kasih sayangnya.
8. Tidak mementingkan diri sendiri. Anak akan menunjukkan sikap suka berbagi apa yang dimiliki kepada orang lain.
9. Meniru hal positif lingkungan sekitarnya. Dengan meniru hal yang baik sesuai yang diterimanya, maka anak akan memperoleh kesempatan untuk
mengembangkan sifatnya agar dapat diterima di kelompok sosial sekitarnya.
10. Perilaku kelekatan yang ditunjukkan ke orang yang disayang. Anak yang selalu menerima kasih sayang dari orang terdekatnya akan melakukan hal yang sama kepada orang lain dan terciptanya persahabatan diantara mereka.
11. Ketergantungan pada orang lain dalam hal perhatian, meminta bantuan, dan kasih sayang agar dapat diterima di lingkungan sosialnya.
Adapun perilaku tidak sosial menurut Hurlock (1978, dalam Rohayati, 2013) adalah sebagai berikut :
1. Perlawanan tekanan dari pihak lain (negativisme). Ekspresi yang ditunjukkan ialah kemarahan, akan tetapi secara bertahap penolakan tersebut berganti menjadi penolakan secara lisan.
2. Agresif. Perbuatan bermusuhan yang nyata dan bersifat ancaman yang dapat merusak psikis atau fisik pihak lain.
3. Pertengkaran. Perselisihan yang terjadi dan mengandung kemarahan yang umumnya disebabkan oleh serangan yang tidak beralasan.
4. Mengejek dan menggertak. Mengejek adalah serangan lisan yang dikeluarkan untuk menyerang pihak lain. Menggertak merupakan penyerangan serangan yang dilakukan dan bersifat fisik.
5. Perilaku sok kuasa. Sikap yang ditunjukkan cenderung mendominasi terhadap orang lain dan atau kelompok sosial disekitarnya.
6. Sifat egosentrik. Anak akan cenderung berfikir tentang dirinya sendiri secara berlebihan.
7. Prasangka buruk. Prasangka muncul di awal masa anak-anak ketika mereka menyadari perilaku dan penampilan meraka berbeda. Akan tetapi bagi seorang anak tidaklah normal menunjukkan sikap membeda- bedakan orang-orang yang mereka kenal.
8. Antagonisme jenis kelamin. Antagonisme ini terjadi seperti anak laki-laki tidak mau bermain mainan yang biasanya dimainkan oleh lawan jenisnya, begitupun sebaliknya. Anak laki-laki cenderung bermain aktif dan eksplorasi, sedangkan anak perempuan suka bermain pura-pura dan bermain secara simbolis menurut Cote & Bornstein (2009, dalam Papalia
& Feldman, 2013).
Menurut Suryani (2019), pada masa awal anak-anak perilaku sosial belum sedemikian berkembang sehingga menyebabkan anak belum dapat menyesuaikan diri dalam bergaul dengan sekitarnya. Sujiono (2005, dalam Suryani, 2019) menjelaskan bahwa ada beberapa alasan bagi anak agar dapat mempelajari berbagai perilaku sosial, diantaranya ialah :
1. Agar anak belajar dalam bertingkahlaku yang dapat diterima oleh lingkungan sekitarnya.
2. Agar anak dapat memainkan peran sosial sehingga diterima oleh kelompok bermainnya, seperti bermain sebagai anak laki-laki dan perempuan.
3. Agar anak dapat mengembangkan sikap sosial yang positif bagi lingkungan sehinnga sukses dalam kehidupan sosialnya kelak.
4. Agar anak dapat menyesuaikan dirinya dengan sangat baik dan lingkungannya pun senang menerima keberadaannya.
2.2.6 Karakteristik Emosi pada Anak
Emosi pada anak berbeda dengan emosi yang dialami oleh orang dewasa, karakteristik emosi pada anak ialah berlangsung secara singkat dan dapat berakhir secara tiba-tiba, emosi yang dikeluarkan tampak kuat atau hebat, bersifat dangkal atapun sementara, sering terjadi luapan-luapan emosi, terlihat dengan jelas dari tingkah laku sang anak, dan reaksi yang ditunjukkan bersifat individualis (Nurmalitasari, 2015).
Ada beberapa pola emosi yang umum terdapat pada diri anak, yaitu : 1. Perasaan Takut.
Takut berpusat pada bahaya yang memiliki sifat seperti tidak dapat diterangkan secara akal sehat, samar-samar, dan fantastik. Anak cenderung takut pada kegelapan dan berimajinasi makhluk yang muncul di kegelapan, takut pada luka, kematian, kilat atau guntur, dan karakter yang menyeramkan. Namun, seiring berjalannya waktu dan bertambahnya usia, mereka dapat menyesuaikan diri dengan lngkungan.
2. Perasaan Marah.
Reaksi marah yang paling sering ditunjukkan oleh anak-anak yakni reaksi impulsif dengan menyalurkan kemarahannya ke orang lain, seperti memukul, menggigit, meludahi, dan atau meninju. Hanya sebagian kecil anak-anak menunjukkan reaksi yang mengarahkan amarahnya ke dirinya sendiri.
3. Perasaan Cemburu.
Reaksi cemburu merupakan reaksi takut kehilangan kasih sayang yang disebabkan oleh kemarahan dan menimbulkan sikap jengkel kepada orang lain. Rasa cemburu berasal dari rasa takut berkombinasi dengan
rasa marah. Cemburu pada anak biasanya timbul jika merasa diabaikan atau diduakan, saat dibandingkan dengan orang lain, atau orang lain memiliki barang yang diinginkannya.
4. Kesedihan atau Duka Cita.
Bagi anak-anak, perasaan sedih atau duka cita bukan merupakan perasaan yang umum karena terkadang orang yang lebih dewasa darinya berusaha mengamankan perasaan yang menyakitkan agar tidak merusak kebahagiaan di masa kanak-kanak yang akan berdampak saat mereka dewasa kelak. Ingatan pada anak-anak tidak bertahan terlalu lama saat perasaan sedih dialihkan ke sesuatu yang menyenangkan.
Seiring dengan bertambahnya usia, maka semakin tidak efektif untuk mengalihkan kesedihan dengan sesuatu yang membahagiakan. Namun, saat bersedih anak biasanya akan menangis, wajah murung, atau menyendiri di kamar.
5. Keingintahuan.
Perilaku keingintahuan ditunjukkan pada anak ketika ada hal yang baru, tidak layak, aneh, atau misterius yang kemudian membuat anak bergerak menuju hal tersebut kemudian memeriksa dengan tujuan untuk mengetahui seluk beluknya.
6. Kegembiraan.
Gembira merupakan luapan emosi yang menyenangkan dan bahagia.
Bentuk kegembiraan pada anak berbeda-beda, baik dari intensitas dan cara mengekspresikannya.
7. Kasih Sayang.
Reaksi emosional dengan menunjukkan perhatian dalam bentuk fisik maupun kata-kata.
Menurut Santrock (2007, dalam Nurmalitasari, 2015) perkembangan emosional pada masa awal kanak-kanak ditandai dengan munculnya rasa malu, bangga, dan bersalah. Kemunculan ketiga emosi ini menandakan anak sudah memahami dan menggunakan peraturan serta norma sosial untuk menilai perilaku mereka. Berikut adalah penjelasan dari ketiga emosi tersebut :
1. Perasaan malu muncul saat anak menganggap dirinya tidak dapat mencapai standar atau target tertentu. Akibat perasaan malu, sering kali muncul keinginan untuk bersembunyi atau menghilang dari situasi tersebut. Tampilan secara fisik akan terlihat seperti mengerut seolah- olah ingin menghindar dari tatapan orang lain.
2. Perasaan bangga akan muncul saat anak merasa senang setelah berhasil melakukan sesuatu. Rasa bangga sering kali diasosiasikan dengan tercapainya suatu tujuan yang ingin dicapai.
3. Rasa bersalah muncul saat anak merasa gagal. Anak akan berekspresi seperti melakukan gerakan-gerakan untuk memperbaiki kegagalan mereka.
Beberapa hal penting yang perlu diperhatikan dan dipahami dalam perkembangan emosional anak menurut Nurmalitasari (2015), yakni usia berpengaruh terhadap perbedaan perkembangan emosi karena kognitif anak makin berkembang, adanya perubahan ekspresi wajah terhadap emosi, menunjukkan emosi yang lebih kompleks dari sebelumnya, menggunakan bahasa tubuh dalam mengekspresikan emosi, mengekspresikan dengan suara dan kata-kata, semakin baik dalam
menggunakan simbol, permainan, gambar, atau memanipulasi material untuk mengungkapkan emosi (representasi simbolik), pengetahuan emosi makin baik, perubahan usia dalam regulasi emosi membuat anak mampu menyembunyikan atau menunjukkan emosi yang disesuaikan dengan keadaan sekitar, merespon perasaan lain seperti empati, dan memiliki ikatan emosional dengan yang lain.
2.2.7 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Sosial
Menurut Sunatro (2017, dalam Suryani 2019) perkembangan perilaku sosial anak dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yakni :
1. Keluarga.
Keluarga adalah lingkungan pertama yang akan memberikan banyak pengaruh, termasuk perkembangan sosial anak. Pendidikan yang bertujuan untuk mengembangkan kepribadian lebih banyak dipengaruhi oleh keluarga dan memberikan efek ketika anak bergaul dan etika ketika berinteraksi dengan orang lain.
2. Kematangan Diri.
Kematangan diri yang baik dari segi fisik dan psikis dalam bersosialisasi akan mampu dalam mempertimbangkan proses sosial, menerima, dan memberi nasehat ke orang lain.
3. Status Sosial Ekonomi.
Perilaku seorang anak akan banyak memperhatikan kondisi normatif yang telah ditanamkan oleh keluarga.
4. Pendidikan.
Pendidikan merupakan proses baik atau buruknya perilaku anak dan anak akan memberikan warna di kehidupan sosial di masyarakat.
5. Kapasitas Mental Emosi dan Intelegensi.
Kemampuan belajar, bahasa, dan memecahkan masalah dipengaruhi oleh kemampuan berfikir. Ketika ketiga kemampuan tersebut seimbang, maka perkembangan sosial anak akan sangat baik.
2.2.8 Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Sosial Emosional
Menurut Nurjannah (2017) ada tiga faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan sosial emosional anak, yakni :
1. Faktor Hereditas.
Faktor hereditas merupakan hal-hal yang diturunkan dari orang tua kepada anak cucunya yang diberikan secara biologis sejak lahir. Faktor ini akan mempengaruhi intelektual anak dalam perkembangan sosial dan emosinya.
2. Faktor Lingkungan.
Menurut Wiyani dan Barnawi (2012, dalam Nurjannah, 2017) diartikan sebagai kekuatan yang kompleks bagi fisik dan sosial anak dan mempengaruhi psikologisnya. Faktor lingkungan meliputi semua pengaruh yang didapatkan dari keluarga, sekolah, dan masyarakat.
3. Faktor Umum.
Faktor umum merupakan campuran dari faktor hereditas dan faktor lingkungan. Faktor umum yang mempengaruhi perkembangan anak yakni jenis kelamin dan kesehatan.
2.2.9 Problematika Perkembangan Sosial Emosional
Berdasarkan hasil penelitian Nugrahaningtyas (2014), menunjukkan bahwa perkembangan sosial emosional kurang baik, jika :
1. Anak menunjukkan sikap kurang kooperatif dalam melaksanakan tugas kelompok, menyelesaikan tugas, dan menjaga barang milik bersama.
2. Sikap toleran yang muncul belum sepenuhnya dari kesadaran diri, seperti harus diminta baru anak mau meminta maaf atau memaafkan.
3. Anak belum bisa memahami tata krama yang berlaku di lingkungan sekitarnya.
4. Anak masih merasa acuh dalam memahami peraturan yang berlaku.
5. Ketika anak menjadi tidak peduli lagi terhadap tugas yang diberikan saat anak merasa kesusahan.
6. Anak masih memiliki rasa takut saat bertemu dengan orang lain dan belum berani untuk tampil di depan kelas.
7. Cenderung memiliki sifat tempramental ketika mainannya dipinjam oleh temannya, anak langsung marah dan menangis.
8. Terdapat kecemburuan yang muncul saat pengasuh dekat dengan anak lain dan tidak memberikan perhatian seperti biasanya.
9. Kemampuan dalam meletakkan diri ke posisi orang lain belum seluruhnya berkembang dengan baik, seperti tidak mau berbagi mainan dengan temannya.
Menurut Nurjannah (2017) menjelaskan bahwa manusia merupakan makhluk sosial. Ketidakmampuan anak usia dini dalam bersosialisasi ialah anak yang memiliki gangguan perilaku antisosial. Perilaku antisosial biasanya ditemui di lingkungan keluarga ataupun sekolah. Ada tiga macam perilaku antisosial yang sering ditemukan, adalah :
1. Ketidakpatuhan.
Ketidakpatuhan adalah sikap tidak menurut atau tidak taat pada orang tua atau pendidik. Ada tiga tipe ketidakpatuhan, yaitu tipe penentang pasif (the passive resistant type), dimana tipe ini anak menghindari dan menjadi diam dalam menghindari perintah atau mengikuti perintah dengan setengah hati. Tipe penentang terang-terangan (the openly defiant type) ialah tipe anak langsung menolak perintah secara verbal. Tipe penentang dengan menunjukkan keburukan (the spiteful type of noncompliance) ialah ketika anak melakukan hal yang sebaliknya dari yang telah diperintahkan.
2. Temper Tantrum.
Temper tantrum merupakan perilaku mudah marah secara berlebihan pada anak karena anak belum mampu mengontrol emosinya. Ada tiga jenis tmper tantrum pada anak, yaitu manipulatif tantrum terjadi saat anak tidak memperoleh apa yang diinginkannya, verbal frustation tantrum terjadi ketika anak tahu apa yang diinginkan tetapi tidak tahu bagaimana cara menyampaikannya, dan tempramental tentrum terjadi saat tingkat frustasi anak sangat tinggi dan anak menjadi tidak terkontrol.
3. Perilaku Agresif.
Agresif merupakan sifat mudah menyerang sesuatu yang dianggap mengecewakan, menghalangi, atau menghambat. Perilaku ini muncul pada anak usia dua tahun dengan menunjukkan sikap seperti memukul dan menendang. Ketika berumur tiga sampai enak tahun, selain memukul dan menendang, ia akan menampakkan berupa verbal dan memfokuskan perilaku pada benda, seperti merusak, mencuri, dan
merebut benda anak lain dan anak cenderung tidak merasa bersalah serta sulit meminta maaf.
4. Penakut.
Menurut Saleh (2009, dalam Nurjannah, 2017) takut adalah emosi yang akan mendorong seseorang untuk menjauhi sesuatu atau menghindar dengan kontak tersebut. Adapun perkembangan rasa takut menurut Tandry (2011, dalam Nurjannah, 2017), anak setelah lahir takut pada suara nyaring atau keras, usia 6 bulan sampai 3 tahun takut pada orang asing, usia 9 bulan ke atas takut tempat tinggi, usia 2-4 tahun takut bintang, usia 4-6 tahun kegelapan, badai, monster khayalan, usia 6-12 tahun takut hal misterius atau hantu, dan usia 12-18 tahun memiliki rasa malu secara sosial, gagal dalam akademis, dan perang.
5. Pencemas.
Cemas adalah perasaan mudah khawatir, tidak tentram hati, dan gelisah. Hal-hal yang menyebabkan rasa cemas adalah perasaan tidak aman, perasaan bersalah, dan kegagalan berulang yang dilakukan oleh anak.
6. Rendah diri.
Rendah diri ialah perasaan kurang mampu yang dibandingkan dengan orang lain.
7. Pemalu.
Perasaan pemalu merupakan rasa tidak enak hati. Anak yang pemalu biasanya karena sering mendapat hinaan, julukan negatif, pilih kasih dari orang tua atau pendidik, memiliki cacat jasmani, dan atau faktor ekonomi orang tua.