• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Kondisi Umum dan Lokasi Penelitian

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Kondisi Umum dan Lokasi Penelitian"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kondisi Umum dan Lokasi Penelitian 1. Keadaan Geografi

Pamekasan adalah Kabupaten di Pulau Madura, Provinsi Jawa Timur, Indonesia.

Kabupaten ini berbatasan dengan:

Sebelah Utara : Laut Jawa

Sebelah Timur : Kabupaten Sumenep Sebelah Selatan : Selat Madura

Sebelah Barat : Kabupaten Sampang

Luas wilayah Kabupaten Pamekasan adalah 732,85km yang terdiri dari 178 desa dan 13 kecamatan. Berdasarkan koordinat garis bujur dan garis lintang, maka Kabupaten Pamekasan terletak antara 6°51-7°31 Lintang Selatan dan 113°19-113°58 Bujur Timur.

Ketinggian dari permukaan laut mencapai 350 m diatas permukaan laut. Curah hujan pada Bulan Desember dan Januari dengan rata-rata 4.965 mm (Badan Pusat Statistik Kabupaten Pamekasan, 2018).

Kecamatan Waru merupakan kecamatan yang ada di Kabupaten Pamekasan.

Kecamatan Waru dibagi menjadi 12 Desa. Kecamatan Waru Barat sebagai pemerintahanya. Batas wilayah Kecamatan Waru:

Sebelah Utara : Kecamatan Pasean

Sebelah Selatan : Kecamatan Pakong dan Kabupaten Sumenep

Sebelah Barat : Kecamatan Batumarmar dan Kecamatan Pegantenan Sebelah Timur : KecamatanPasean dan Kabupaten Sumenep

(2)

Gambar 3. (Badan Pusat Statistik Kabupaten Pamekasan, 2018)

Luas wilayah Kecamatan Waru adalah 70,03 yang terdiri dari luas tanah sawah 1.439 ha dan luas bukan tanah persawahan 5.735 ha (KCD Pertanian Kecamatan Waru 2018). Jumlah penduduk di Kecamatan Waru tahun 2018 sebanyak 64.683 jiwa yang terdiri dari laki-laki 31.235 jiwa dan perempuan 33.448 jiwa. Kondisi alam Kecamatan Warumerupakan wilayah maritim-agraris maka sebagian besar penduduknya mempunyai mata pencaharian disektor pertanian (petani, buruh tani dan peternak).

Keadaan umum geografis dan iklim di Kecamatan Waru beriklim tropis dengan temperatur 30-31 °C. Kelembaban udara mencapai 80% dan ketinggian dari permukaan laut mencapai 127 m.

Kecamatan Pasean merupakan kecamatan yang ada di Kabupaten Pamekasan.

Kecamatan Pasean dibagi menjadi 9 Desa. Kecamatan Pasean sebagai pemerintahanya.

Batas wilayah Kecamatan Pasean:

Sebelah Utara : Laut Jawa

Sebelah Selatan : Kecamatan Waru

Sebelah Barat : Kecamatan Batumarmar dan Kecamatan Waru Sebelah Timur :Kabupaten Sumenep

(3)

Gambar 4. (Badan Pusat Statistik Kabupaten Pamekasan, 2018)

Luas wilayah Kecamatan Pasean adalah 76,88 km² yang terdiri dari luas tanah sawah 1.152 ha dan luas bukan tanah persawahan 5.909ha (KCD Pertanian Kecamatan Pasean 2018). Jumlah penduduk di Kecamatan Pasean tahun 2018 sebanyak 51.163 jiwa yang terdiri dari laki-laki 24.245 jiwa dan perempuan 26.918 jiwa. Kondisi alam Kecamatan Waru merupakan wilayah maritim-agraris maka sebagian besar penduduknya mempunyai mata pencaharian di sektor perairan dan pertanian (nelayan, buruh tani dan peternak). Keadaan umum geografis dan iklim di Kecamatan Pasean beriklim tropis dengan temperatur 28°C. Kelembaban udara mencapai 70% dan ketinggian dari permukaan laut mencapai 80 m.

Kecamatan Batumarmar merupakan kecamatan yang ada di Kabupaten Pamekasan. Kecamatan Batumarmar dibagi menjadi 9 Desa. Kecamatan Pasean sebagai pemerintahanya. Batas wilayah Kecamatan Pasean:

Sebelah Utara : Laut Jawa

Sebelah Selatan : Kecamatan Pegantenan Sebelah Barat : Kabupaten Sampang

Sebelah Timur :Kecamatan Waru dan Kecamatan Pasean

(4)

Gambar 5. (Badan Pusat Statistik Kabupaten Pamekasan, 2018)

Luas wilayah Kecamatan Batumarmar adalah 97,05 km² yang terdiri dari luas tanah sawah 8,957 ha dan luas bukan tanah persawahan 6,550 ha (KCD Pertanian Kecamatan Batumarmar 2018). Jumlah penduduk di Kecamatan Batumarmar tahun 2018 sebanyak 90,572 jiwa yang terdiri dari laki-laki 44.532 jiwa dan perempuan 46,040 jiwa.

Kondisi alam Kecamatan Batumarmar merupakan wilayah maritim-agraris maka sebagian besar penduduknya mempunyai mata pencaharian di sektor perairan dan pertanian (nelayan, buruh tani dan peternak). Keadaan umum geografis dan iklim di Kecamatan Batumarmar beriklim tropis dengan temperatur 28°C-30°C. Kelembaban udara mencapai 70% dan ketinggian dari permukaan laut mencapai 90 m.

Menyadur dari mata kuliah Pengantar Peternakan di Daerah tropis (2003), daerah tropis bersuhu lebih tinggi pada siang hari dibandingkan pada malam hari, sedangkan suhu pemeliharaan ideal untuk sapi potong berkisar antara 17-27º C dengan kelembaban 60-80%. Tingginya suhu lingkungan di daerah tropis pada siang hari mencapai 34ºC yang dapat mengakibatkan terjadinya penimbunan panas dalam tubuh, sehingga ternak mengalami cekaman panas. Ternak yang mengalami cekaman panas akan mengalami stres dan penurunan konsumsi pakan (Ference et al., 2017). Konsumsi pakan yang rendah tentu berpengaruh terhadap produksi dan reproduksi induk sapi.

(5)

Usaha peternakan rakyat pada umumnya masih menggantungkan perolehan pakan asal limbah pertanian (Preston, 2007). Disisi lain produktifitas ternak diharapkan tetap optimal. Berbagai upaya meningkatkan produksi ternak telah dilakukan petani-peternak, salah satunya dengan pemberian jamu tradisional daerah kepada ternaknya. Menurut informasi peternak, dengan pemberian jamu tradisional bisa meningkatkan produktifitas ternak.

Informasi ilmiah yang bisa menjelaskan mekanisme peningkatan produktifitas ternak akibat pemberian jamu tradisional pada ternak sampai saat ini belum ada. Ramuan jamu tradisional yang tersusun lebih dari satu tanaman, sehingga kandungan senyawa kimianya juga sangat kompleks.

2. Potensi Pertanian dan Peternakan

Kecamatan Waru, Pasean dan Batumarmar memiliki luas area tanah sawah; 1.439 ha, 1.152 ha, 8,957. Luas tanah area persawahan dan perkebunan merupakan indikator penghasil limbah pertanian, sehingga dimanfaatkan sebagai bahan pakan ternak. Limbah pertanian dan perkebunan cukup potensial digunakan untuk pakan ternak karena tingkat ketersediaan yang tinggi serta mengandung zat-zat makanan yang diperlukan oleh ternak dan tidak bersaing dengan kebutuhan manusia. Pemanfaatan limbah sebagai bahan pakan ternak akan dapat mengurangi biaya produksi karena biaya pakan mencapai ±70% dari total biaya produksi (Bunyamin et al., 2013).

a. Pertanian

Pertanian tanaman pangan merupakan salah satu sektor yang menghasilkan produk menjadi kebutuhan pokok hidup rakyat. Potensi pertanian di Kecamatan Waru, Pasean dan Batumarmar yaitu tanaman agro-industri. Potensi pertanian di ketiga kecamatan (Waru, Pasean dan Batumarmar) menghasilkan limbah pertanian berupa; jerami dan bekatul dari tanaman padi, pohon jagung, ampas ubi kayu dan kulit kacang. Jerami dan bekatul sebagai serat kasar dan sumber protein, ampas ketela pohon sebagai sumber energi untuk induk sapi potong. Peternak di Kecamatan Waru sebagian besar memanfaatkan jerami padi sebagai pakan utama induk sapi, potensi dalam 1 ha sawah menghasilkan limbah jerami sekitar 8 ton (Karyaningsih, 2012).

b. Peternakan

Ketiga Kecamatan (Waru, Pasean, Batumarmar) memiliki potensi cukup tinggi untuk pengembangan di sektor peternakan. Ketiga Kecamatan tersebut memiliki potensi

(6)

pengembangan jenis ternak yang beranekaragam. Jenis ternak yang bisa dikembangkan yaitu; Sapi potong, Kambing, Domba, Kelinci, Ayam ras, Ayam buras dan Itik.

Potensi sapi potong di angka; 17.806 ekor, 22.239 ekor, 24.008 ekor. Populasi ternak akan terus meningkat seiring perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan dalam bidang peternakan. Seperti yang dilansir pada jurnal (Kutsiyah, 2012), pembibitan sapi potong di Madura sangat ditentukan oleh system seleksi kearah pemanfaatan sapi Madura unggul, dan sedikit banyak berbicara terkait kehati-hatian dalam melaksanakan program persilangan sapi Madura.

B. Karakteristik Responden

Perkembangan usaha petenakan dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya karakteristik peternak. Karakteristik peternak di ke-tiga Kecamatan (Waru, Pasean, Batumarmar) antara lain usia peternak, pengalaman beternak, tingkat pendidikan, pekerjaan dan manajemen pakan.

1. Umur Responden

Usia peternak induk Sapi Madura di Kecamatan Waru, Pasean dan Batumarmar dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Umur peternak di Kecamatan Waru, Pasean dan Batumarmar Umur

(tahun)

Rata2 di Kec.

Waru Rata2 di Kec. Pasean Rata2 di Kec.

Batumarmar

Orang (%) Orang (%) Orang (%)

<15 0 0 0 0 0 0

15-39 8 18,18 3 8,33 1 4,54

40-64 31 70,45 30 83,33 18 81,81

≥65 5 11,36 3 8,33 3 13,63

Jumlah 44 100% 36 100% 22 100%

Sumber: Data primer terolah, 2018.

Berdasarkan tabel 1 diatas umur responden peternak induk sapi potong di Kecamatan Waru tertinggi pada umur 40 tahun sampai 64 tahundan terendah umur ≥65.

Responden peternak induk sapi potong di Kecamatan Pasean tertinggi pada umur 40 sampai 64 dan terendah umur 15 tahun sampai 39 tahun dan ≥65, sedangkan responden di Kecamatan Batumarmar tertinggi pada umur 40 tahun sampai 64 tahun dan terendah pada umur 15 tahun sampai 39 tahun.

(7)

Hal ini menunjukkan usia peternak di tiga Kecamatan diatas sebagian besar masuk dalam usia kerja. Secara garis besar penduduk suatu negara dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu tenaga kerja dan bukan tenaga kerja. Penduduk tergolong tenaga kerja jika penduduk tersebut telah memasuki usia kerja. Batas usia kerja yang berlaku di Indonesia adalah berumur 15 sampai 64 tahun (Widjayanti, 2007). Peternak yang berumur diatas 65 tahun merupakan peternak usia non produktif, untuk memenuhi kebutuhan perawatan ternak biasanya oleh keluarga. Umur responden berpengaruh terhadap cara menerima informasi yang berkaitan dengan adopsi inovasi.

Dunia semakin maju dan perkembangan teknologi semakin pesat umur 40 tahun adalah peternak muda yang mampu mengoperasikan teknologi khususnya handphone, melalui media ini, peternak bisa mencari informasi yang berkaitan dengan kinerja reproduksi pada induk sapi. Pembangunan pertanian merupakan proses interaksi dari banyak pihak yang secara langsung maupun tidak langsung terkait dengan upaya peningkatan produktivitas usaha tani dan peningkatan pendapatan serta perbaikan mutu hidup, melalui penerapan teknologi yang terpilih (Handiwirawan, 2004).

Umur lebih dari atau sama dengan 65 tahun merupakan peternak tradisional yang sedikit mengikuti perkembangan teknologi. Cara menangani permasalahan mengenai kinerja reproduksi pada induk sapi, peternak mengandalkan pengalaman yang dimiliki.

Peternak umur 65 tahun lebih sulit menerima inovasi dibanding peternak muda. Umur merupakan salah satu faktor sosial yang mempengaruhi kinerja petani dan peternak dalam berusaha tani ternak. Semakin tua petani semakin menurun produktivitas dan kinerja.

(Tharukliling et al., 2014) mengemukakan bahwa umur petani dan peternak merupakan salah satu indikator keberhasilan usaha tani ternak, pada usia produktif petani lebih mudah dan bersedia menerima inovasi yang menentukan keberhasilan usaha tani ternak.

2. Pengalaman Beternak

Pengalaman beternak pada peternak induk sapi potong di Kecamatan Waru, Pasean dan Batumarmar dapat diukur dari lamanya peternak dalam memelihara sapi dilihat pada Tabel 2.

(8)

Tabel 2. Pengalaman beternak di Kecamatan Waru, Pasean dan Batumarmar Lama

beternak (tahun)

Rata2 di Kec.

Waru Rata2 di Kec. Pasean Rata2 di Kec.

Batumarmar

Orang (%) Orang (%) Orang (%)

< 10 0 0 1 2,77 0 0

15-20 13 29,54 12 33,33 3 13,63

>20 31 70,45 23 63,88 19 86,36

Jumlah 44 100% 36 100% 22 100%

Sumber: Data Primer Terolah, 2018.

Berdasarkan Tabel 2 pengalaman beternak responden di Kecamatan Waru terendah yaitu 15-20 tahun sebanyak 13 reponden dan tertinggi >20 tahun 31 responden.

Pengalaman beternak responden di Kecamatan Pasean terendah yaitu<10 tahun sebanyak 1 responden, dan tertinggi >20 tahun 23 responden. Sedangkan di Kecamatan Batumarmar, pengalaman responden beternak paling rendah yaitu 15-20 tahun sebanyak 3 responden, dan tertinggi >20 tahun dengan 19 responden.

Hasil penelitian tersebut menunjukkan peternak di Kecamatan Waru, Pasean dan Batumarmar sudah berpengalaman dalam beternak. Menurut (Maryam, 2016), semakin tinggi pengalaman beternak diharapkan pengetahuan yang didapat semakin banyak sehingga ketrampilan dalam menjalankan usaha peternakan semakin meningkat. Waktu pemeliharaan lebih dari 10 tahun memiliki pengalaman yang cukup banyak, dapat mengamati tingkah laku ternak mulai dari ternak sehat, ternak sakit, ternak mengalami masa birahi dan tanda ternak mau melahirkan. Pengalaman yang dimiliki oleh peternak merupakan modal yang dapat dijadikan pertimbangan dalam menambah populasi dan memperbaiki kualitas ternak.

3. Pendidikan Responden

Tingkat pendidikan merupakan pendidikan formal yang telah diikuti oleh peternak. Berdasarkan tabel 3 di bawah responden yang mengenyam dunia pendidikan Sekolah Dasar mendominasi dari masing-masing ke-tiga Kecamatan. Kecamatan Waru, Pasean dan Batumarmar responden yang memiliki tingkat pendidikan Sekolah Dasar masing-masing diatas 90%, dan paling sedikit yaitu lulusan Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas di Kecamatan Waru dan Pasean, yaitu 1 responden.

(9)

Tabel 3. Tingkat pendidikan di Kecamatan Waru, Pasean dan Batumarmar

Pendidikan

Rata2 di Kec.

Waru

Rata2 di Kec.

Pasean

Rata2 di Kec.

Batumarmar

Orang (%) Orang (%) Orang (%)

Tidak sekolah 0 0 0 0 0 0

SD/MA 42 95,45 36 94,73 22 100

SMP/MTsN 1 2,27 1 2,63 0 0

SMA/MAN 1 2,27 0 0 0 0

PT 0 0 0 0 0 0

Jumlah 44 100% 38 100% 22 100%

Sumber: Data Primer Terolah, 2018.

Keterangan: SD(Sekolah Dasar)/MA (Madrasah Aliyah), SMP (Sekolah Menengah Pertama)/MTsN (Madrasah Tsanawiyah), SMA (Sekolah Menengah Atas)/MAN (Madrasah Aliyah), PT (Perguruan Tinggi).

Hasil penelitian menunjukkan tingkat pendidikan peternak di Kecamatan Waru, Pasean dan Batumarmar tergolong masih rendah. Faktor pendidikan dan pengetahuan ini sangat berpengaruh sekali terhadap tingkat kesadaran. Peternak yang berpendidikan dan berpengetahuan tinggi cepat dan tepat dalam menerima serta melaksanakan inovasi baru (Maryam, 2016). Tingkat pendidikan berpengaruh terhadap cara berfikir peternak, peternak yang memiliki pendidikan tinggi mudah untuk diajak dalam pengembangan usaha pembibitan ternak dan lebih terbuka terhadap informasi.

Hasil penelitian mayoritas lulusan Sekolah Dasar sehingga dalam menyerap perkembangan ilmu pengetahuan yang berkaitan dalam reproduksi sangat rendah dapat dilihat dari tidak adanya inovasi dalam sistem pemeliharan yang mendukung reproduksi ternak. Namun, dengan adanya perkumpulan atau kelompok ternak, hal-hal yang berkaitan dengan pengetahuan dan inovasi pemeliharaan ternak, diupayakan dapat menjawab permasalahan yang ada.

C. Evaluasi Kinerja Reproduksi

Evaluasi kinerja reproduksi dipengaruhi oleh beberapa parameter, diantaranya yaitu; lama sapih, service per conception (S/C), days open (DO), post partum eshtrus (PPE), post partum mating (PPM), calving interval (CI) (Aji et al., 2017). Hasil penelitian dari parameter evaluasi kinerja reproduksi induk sapi Madura Kabupaten Pamekasan dapat dilihat pada table 4 berikut:

Tabel 4. Evaluasi kinerja reproduksi induk sapi Madura.

(10)

Parameter Reproduksi

Kelas Sapi

Sonok Taccek Komersil

Lama Sapih (bulan) 4,75 ± 0,58 ᵃ 4,61 ± 0,64 ᵃ 3,9 ± 0,77 ᵇ S/C (kali) 1,38 ± 0,45 ᵃ 1,49 ± 0,57 ᵃ 1,8 ± 0,43 ᵇ Days open (bulan) 4,56 ± 0,87 ᵃ 4,46 ± 1,26 ᵃ 3,4 ± 0,99 ᵇ PPE (bulan) 2,83 ± 0,71 ᵃ 2,74 ± 0,53 ᵃ 2,2 ± 0,76 ᵇ PPM (bulan) 3,97 ± 0,77 ᵃ 3,71 ± 0,80 ᵃ 2,92 ± 0,85 ᵇ CI (bulan) 14,85 ± 0,97 ᵃ 14,72 ± 1,24 ᵃ 13,4 ± 1,05 ᵇ Sumber : Data primer yang telah diolah, 2019.

1. Lama Sapih

Secara alamiah pedet akan menyusu pada induknya sekehendak pedet, tanpa pembatasan. Secara normal pedet menyapih ke induknya bisa mencapai umur 5-6 bulan dan pada kondisi tersebut biasanya pedet bertumbuh lebih cepat dan kuat (Djanuar, 1985).

Menurut tabel 4 diatas, lama sapih pedet sapi Madura berdasarkan kelas sapi Sonok, Taccek dan Komersil yaitu: 4,75±0,58 dan 4,61±0,64 dan 3,9±0,77 bulan. Secara rata-rata umur sapih tidak terlalu berbeda dengan penelitian Denny (2006) bahwa mayoritas peternak Sapi Madura melakukan penyapihan pada umur 4 bulan keatas. Menurut (Socheh et al, 2017) penyapihan pedet bisa dilakukan lebih awal yaitu sekitar 2 sampai 3 bulan pada saat rumen sudah berkembang sempurna atau setelah berlangsungnya siklus birahi tiga kali sejak melahirkan. Perbedaan lama sapih diatas didasarkan pada perlakuan manajemen reproduksi dan tujuan peternak dalam memelihara induk sapi Madura.

Berbeda dengan sapi Komersil, sapi Sonok dan sapi Taccek cenderung mendapat perlakuan yang berbeda pada waktu penyapihan. Lama waktu penyapihan pada sapi Sonok dan Taccek mempengaruhi timbulnya estrus kembali setelah proses kelahiran, karena waktu proses menyusui induk sapi menghasilkan hormon prolaktin yang kerja hormon tersebut menghambat kerja hormon FSH, sedangkan fungsi hormon FSH untuk memicu timbulnya estrus. Jika tidak ada hormon FSH, maka tidak akan terjadi estrus sewaktu proses menyusui. Sapi yang sedang menyusui dapat mengalami anestrus 2 sampai 3 kali lebih lama daripada sapi yang tidak menyusui (Fuquay et al., 1980). Hal ini tentu berbeda dengan peternak sapi Komersil yang mulai menyapih pedet pada umur 3-4 bulan. Peternak sapi Komersil pada umumnya menghendaki perkawinan lagi setelah beranak pada umur 2-3 bulan (Bambang et al, 2011). Sehingga, peternak yang berorientasi pada sapi potong segera memisahkan pedet dari induknya untuk mempercepat timbulnya birahi kembali setelah beranak. Adanya perbedaaan tersebut

(11)

dapat disimpulkan bahwa peternak sapi Sonok dan Taccek berorientasi pada kualitas, sedangkan peternak sapi Komersil berorientasi pada kuantitas (Kosim, 2012).

2. Service Per Conception (S/C)

Semakin rendah nilai S/C maka semakin tinggi kesuburan hewan betina, sebaliknya semakin tinggi nilai S/C maka semakin rendah kesuburan hewan betina (Novita et al., 2019). Menurut tabel 4 diatas, hasil penelitian S/C pada induk sapi madura secara rata-rata dari ketiga kelas sapi madura yaitu 1,55±0,48. Nilai S/C masing-masing dari induk sapi madura yaitu; sapi Sonok 1,38±0,45, sapi Taccek 1,49±0,57 dan sapi Komersil 1,8±0,43. Secara rata-rata nilai S/C induk sapi Madura diatas lebih besar dari penelitian (Denny, 2006) yaitu sebesar 1,27±0,48. Perbedaanya adalah penelitian Denny (2006) tidak membedakan jenis induk sapi Madura berdasarkan kelas. Penelitian Denny (2006) yang dilakukan di Kec. Pasean menghasilkan S/C dengan nilai 1,1±0,30, nilai S/C tersebut tidak terlepas karena Kec. Pasean menjadi sentra pembibitan sapi Madura unggul (Denny, 2006).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa angka S/C di tiga jenis induk sapi Madura tersebut cukup baik. Nilai S/C tersebut tergolong lebih rendah dari penelitian Johnson et all, (1987) yang menyatakan nilai yang normal berkisar antara 1,6 sampai 2,0. Besar kecilnya S/C ditentukanoleh beberapa faktor seperti: deteksi birahi (Duma et al., 2012), waktu perkawinan, fertilitas induk, kualitas semen atau pejantan Pemacek dan kualitas pakan (Hafizuddin et al., 2011). Makin rendah nilai tersebut, makin tinggi kesuburan ternak betina. Sebaliknya makin tinggi nilai S/C, makin rendah nilai kesuburan betina tersebut. Peran inseminator dan pejantan pemacek juga berpengaruh terhadap nilai S/C yang dihasilkan. Sebelum inseminasi, inseminator terlebih dahulu memeriksa ternak apakah terjadi estrus atau tidak, kalaupun estrus apakah sudah terlambat untuk diinseminasi atau belum, apabila sudah terlambat inseminator akan menunda inseminasi hingga gejala selanjutnya.

3. Days Open (DO)

Days open adalah jumlah periode dari melahirkan sampai ternak bunting kembali.

Waktu terbaik untuk mengawinkan kembali pada sapi yaitu antara 60 sampai 90 hari setelah beranak (Atabany et al., 2011). Nilai days open yang didapatkan pada penelitian ini rata-rata sebesar 4,26±1,13 bulan pada ketiga kelas induk sapi Madura. Nilai days

(12)

open diatas lebih lama dibandingkan penelitian Denny (2006) yang dilakuakn di tiga kecamatan di Kabupaten Pamekasan dengan rata-rata sebesar 118,19±23,82 hari atau sekitar 3,8 bulan, dan lebih pendek dibandingkan dengan penelitian (Farahdilla Kutsiyah et al., 2017) yang mengungkapkan nilai days open di tiga Kabupaten Pamekasan sebesar 5,53±0,65 bulan.

Masing-masing nilai days open pada induk sapi Madura yaitu: sapi Sonok 4,56±0,87 bulan, Taccek 4,46±1,26 bulan dan komersil 3,4±0,99 bulan. Nilai panjang dan pendeknya days open dipengaruhi oleh masa penyapihan. Masing-masing manajemen pemeliharaan pada ke-tiga jenis induk sapi Madura memang berbeda, terutama pada waktu penyapihan. Semakin panjang periode days open semakin sering siklus estrus terjadi. Efek lanjut adalah peternak akan dirugikan akibat pengeluaran biaya ekstra pemeliharaan, serta kemampuan untuk memperoleh pedet semakin lama, hal ini terjadi pada sapi Komersil. Berbeda dengan sapi Taccek dan Sonok. (Nurlaila. et al., 2019) menyebutkan bahwa umur penyapihan sapi Sonok bisa mencapai 5,20±0,69 bulan.

4. Post Partum Eshtrus (PPE)

Post partum estrus merupakan estrus pertama yang dialami induk sapi setelah beranak. Secara ekonomis estrus pertama setelah beranak hingga terjadinya kebuntingan merupakan faktor yang menentukan dalam rangka peningkatan efisiensi reproduksi (Leksanawati, 2010). Nilai post partum estrus induk sapi Madura di Kabupaten Pamekasan secara rata-rata adalah; 2,59±0,6 bulan, dengan PPE minimum 60 hari dan PPE maksimum 240 hari Toelihere (1985). Secara rata-rata nilai tersebut tergolong normal. Waktu involusi uterus pada sapi berkisar antara 30-50 hari (Duma et al., 2012).

Involusi uterus pada sapi biasanya tercapai menjelang periode estrus pertama setelah beranak (Rusdi et al., 2016). Masing-masing nilai pada masing-masing kelas induk sapi Madura yaitu; sapi Sonok 2,83±0,71 bulan, sapi Taccek 2,74±0,53 bulan dan sapi Komersil 2,2±0,76 bulan. Perbedaan tinggi rendahnya PPE diduga karena lamanya timbul estrus pasca melahirkan yang dipengaruhi oleh perbedaan perlakuan lama sapih dari ketiga kelas induk sapi Madura (Winarni dan Supriyadi, 2010).

Waktu untuk kembali menunjukkan tanda-tanda estrus bisa cepat dicapai bila perlakuan manajemen reproduksi dari ketiga kelas induk sapi Madura tidak berbeda jauh, dan faktor pakan selama kebuntingan tercukupi. Adanya perbedaan perlakuan manajemen antara ketiga kelas induk sapi Madura berpengaruh terhadap munculnya esrtus kembali

(13)

setelah beranak. Selama partus terjadi, energi yang masuk selama laktasi akan digunakan untuk mencegah kehilangan berat badan sehingga dengan tercukupi kebutuhan energi diharapkan estrus akan cepat kembali normal (Hafizuddin et al., 2011). Waktu PPE akan maksimal apabila induk sapi diberi hijauan dan konsentrat yang sesuai kebutuhan dan suplemen tambahan berupa vitamin dan mineral. Pengaruh menyususi terhadap interval kelahiran dan estrus pertama pada sapi telah dibuktikan dengan menghentikan proses menyusui. Post partum estrus akan diperpanjang bila ternak tersebut masih menyusui (Hunter, 1995)

Menurut Fuquay et al. (1980), sapi yang sedang menyusui akan mengalami anestrus 2 sampai 3 kali lebih lama daripada yang tidak menyusui. Disamping itu ketika sedang menyusui pedet, aktivitas ovarium dan estrus mungkin tidak dapat diamati selama 2 sampai 3 bulan lebih, terutama bila konsumsi energinya rendah. Lebih lanjut Hunter (1995), menjelaskan bahwa rangsang penyusuan akan mengaktifkan sekresi prolaktin aktivitas gonadotropin akan jauh berkurang atau bahkan terhenti sementara, diperkirakan karena kekurangan sekresi faktor hipotalamus (Gn-RH). Dengan cara ini faktor laktasi yang paling awal dan paling berat tampaknya menghambat mulainya kembali aktivitas siklus ovarium. Sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangan pedet maka intensitas rangsang penyusuan ini menyebabkan sekresi hormon gonadotropin sudah mencukupi untuk mulainya kembali pemasakan folikel dan aktivitas ovarium.

Leksanawati, (2010) menyatakan bahwa secara berangsur kebutuhan nutrisi pasca partus akan meningkat seiring dengan peningkatan produksi susu dan terjadinya proses pemulihan organ reproduksi. Sejak partus hingga kebuntingan kembali, induk sapi terlebih dahulu harus mengalami periode pengeluaran plasenta, pengeluaran lochia, estrus pertama pasca partus dan involusi uteri sehingga sangat membutuhkan ketersediaan energi di dalam tubuhnya agar pemulihan organ reproduksi pasca partus dapat berlangsung cepat. Ditambahkan oleh Socheh, (2017) hormon pemacu folikel (FSH) dari hipofisa anterior menggalakkan pertumbuhan folikel di ovarium. Dibawah pengaruh hormon itu satu atau lebih dari satu folikel dapat tumbuh menjadi cukup besar untuk membentuk benjolan bening di permukaan ovarium (folikel masak). Karena pertumbuhan ini, ovari menghasilkan hormon yang disebut estrogen, yang menyebabkan sapi dara atau sapi dewasa menampakkan tanda-tanda estrus.

(14)

5. Post Partum Mating (PPM)

Post partum mating adalah pelaksanaan inseminasi buatan atau perkawinan pada sapi setelah beranak. Nilai post partum mating induk sapi Madura di Kabupaten Pamekasan secara rata-rata adalah; 3,53±0,8 bulan, dengan PPM minimum 60 hari dan PPM maksimum 240 hari Toelihere (1985). PPM yang dianjurkan adalah 60 hari karena pada saat itu jaringan alat reproduksi telah pulih seperti saat tidak bunting (Salisbury dan Vandemark, 1985). Sedangkan, nilai PPM pada masing-masing kelas induk sapi Madura yaitu; sapi Sonok 3,97±0,77 bulan, sapi Taccek 3,71±0,80 bulan dan sapi Komersil 2,92±0,85 bulan. Post partum mating dipengaruhi oleh PPE dan ketepatan deteksi estrus yang diamati oleh peternak yang dapat menyebabkan penundaan dalam mengawinkan ternak. Menurut Hafizuddin et al., (2011), ternak dapat langsung dikawinkan pada saat PPE. Namun, pada kenyataannya peternak sapi Sonok, Taccek dan Komersil mempunyai perlakuan yang berbeda dari segi manajemen pemeliharaan, yang membuat sapi Sonok mengalami penundaan untuk dikawinkan lagi.

Umumnya peternak sapi Taccek dan sapi Sonok tidak mengawinkan ternaknya pada estrus yang pertama, tetapi menunggu dan memastikan pedet yang sedang menyusu benar-benar telah bertumbuh dengan baik tanpa mengganti pakan dengan alternatif lain.

Berbeda dengan sapi Komersil, secara ekonomis estrus pertama setelah beranak hingga terjadinya kebuntingan merupakan faktor yang menentukan dalam rangka peningkatan efisiensi reproduksi. Menurut Wahjuningsih et al., (2016) tertundanya post partum mating pada sapi Taccek dan sapi Sonok akan memperpanjang days open sehingga calving interval menjadi tinggi. Nilai PPM induk sapi Madura di lokasi penelitian lebih panjang dari nilai PPM yang dianjurkan yaitu 60 hari.

Penyebab panjangnya nillai PPM diakibatkan karena panjangnya nilai PPE.

Maiyontoni et al., (2014) menyatakan bahwa involusi uterus terjadi pada 25-35 hari setelah beranak dan dapat berfungsi normal serta menunjukkan birahi pada 30-60 hari setelah beranak. Penundaan perkawinan setelah beranak ini umumnya karena terlambatnya post partum estrus, selain itu ketidaktelitian peternak dalam mendeteksi estrus, sehingga peternak sering tidak mengetahui kalau sapi sedang estrus. Tertundanya post partum mating akan memperpanjang days open sehingga calving interval menjadi tinggi. Kurangnya konsumsi nutrien, khususnya protein dan energi, mengakibatkan

(15)

folikel-folikel sebagai penghasil hormon estrogen tidak dapat tumbuh berkembang dengan normal (Wahjuningsih et al., 2016).

6. Calving Interval (CI)

Calving Interval merupakan selang beranak sapi betina antara satu dengan yang berikutnya (Makin et al., 2015). Semakin tinggi nilai CI maka produktivitasnya semakin rendah (Leksanawati, 2010). CI ditentukan oleh lama kebuntingan dan lama waktu kosong (Nuryadi dan wahjuningsih, 2011). Nilai Calving Interval pada ke-tiga kelas sapi Madura rata-rata; 14,33±1,09 bulan. Calving interval ini tidak berbeda nyata dengan laporan (Denny, 2006) yang di lakukan di tiga Kecamatan di Kabupaten Pamekasan yakni 14,01±14,46 bulan. Penelitian (Kutsiyah et al., 2017) pada sapi Madura di Kepulauan Sapudi memperoleh angka sebesar 14,56±2,15 bulan. Duma et al., (2012) juga menyebutkan jarak beranak sapi Madura 14,9±0,1 bulan.

Masing-masing nilai CI pada induk sapi Madura yaitu; Sonok 14,85±0,97 bulan, Taccek 14,72±1,24 bulan dan Komersil 13,43±1,05 bulan. Perbedaan nilai CI pada induk sapi Madura diatas mempunyai selisih yang cukup lama. Agar induk sapi dapat beranak setiap tahun sekali maka sapi harus sudah dikawinkan dan bunting maksimal 90 hari setelah beranak (Hafizuddin et al., 2011). Nuryadi dan Wahjuningsih, (2011) menyatakan bahwa jarak waktu beranak atau calving interval (CI) yang ideal adalah 12 bulan, yaitu 9 bulan bunting dan 3 bulan menyusui.

Metode SATU SAKA (Satu tahun, satu kelahiran) belum mampu diterapkan dengan optimal pada induk sapi Madura. Nilai S/C calving interval mengalami perbedaan yang nyata antara sapi Komersil dan sapi Tacek, sapi Sonok pada tabel 4 diatas. Calving interval pada sapi Komersil lebih mendekati wacana SATU SAKA (Satu tahun, satu kelahiran) daripada nilai calving interval pada sapi Sonok dan sapi Taccek (Nurlaila et al., 2018). Adanya perbedaan tersebut didasarkan pada manajemen reproduksi yang dilakukan peternak dari ke-tiga kelas induk sapi Madura. Hasil penelitian pada sapi Taccek dan sapi Sonok menunjukkan terjadi keterlambatan kelahiran lebih dari 2 hingga 3 bulan dibandingkan dengan jarak waktu yang ideal yaitu 12 bulan. Keterlambatan juga terjadi pada sapi Komersil, namun nilai calving interval sapi Komersil tidak sepanjang sapi Taccek dan sapi Sonok. Hal ini dapat terjadi karena perkawinan setelah beranak yang dilakukan rata-rata terjadi keterlambatan dan dimungkinkan terjadi akibat kawin berulang.

Menurut Ismaya (2014) jarak sapi beranak diharapkan 12 bulan, seharusnya didapatkan

(16)

satu anak/ satu induk sapi/ tahun (one calf per cow per year). Faktor yang mempengaruhi panjang pendeknya calving interval antara lain lama sapih, post partum estrus, post partum mating, service per conception, days open, ketepatan saat mengawinkan, dan ada tidaknya kebuntingan Santosa et al., (2012). Manajemen yang berbeda di waktu penyapihan ke-tiga kelas sapi Madura menjadi faktor yang kemudian berpengaruh terhadap mempengaruhi post partum estrus, post partum mating, service per conception, days open, calving interval.

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk melakukan ujicoba budidaya rumput laut Gelidium amansii dengan menggunakan metode apung sistem longline vertikal agar dapat dibudidayakan

‘They’re looking for us, then,’ Father Kreiner said, peering at the immobile Type 102, poking her as if to see what a walking TARDIS felt like, ‘the Doctor’s friends.’..

Pap Smear adalah pemeriksaan usapan mulut rahim untuk melihat sel-sel mulut rahim (serviks) di bawah mikroskop... Pap Smear adalah tes skrining untuk mendeteksi dini

MajIis Majlis Mesyuarat Kerajaan dibahagikan kepada dua, Majlis Negeri.. yang mempunyai kuasa perundangan dan Jemaah Menteri yang mempunyai kuasa pe1aksanaan. MB Majlis

umyelinerte afferente nerver som kan påvirke smerte persepsjonen. Det henvises videre til at noe av effekten til akupunktur ikke er punkt spesifikk, og at disse kan være relevante for

KESIMPULAN Berdasarkan uraian yang telah peneliti paparkan pada bab sebelumnya, dapat disimpulkan dari penerapan Project Based Learning pada pembelajaran Pendidikan Agama Islam

Ia senang mengurus anak-anak dan rumah tangganya dengan baik termasuk mencari nafkah, Ibu Priska Sirait juga tidak mau menceritakan ketidakadilan yang ia alami di

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas remediasi bentuk umpan balik menggunakan brosur untuk mengatasi kesulitan belajar siswa tentang gerak lurus